Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FARMAKOLOGI

OBAT ANALGETIK

Di Susun Oleh :

Ade Cindiawati Dwi Desmawati


Adelia Dwi Pratiwi Fela Pransiska
Andri Kusumawati Helyani
Anggun Laraswati Inka Amanda Gustiani
Anggun Wulandari Lisa Luviana
Ayu Fitria Dewi Made Ayu Citaningsih
Cindy Ayu Komalasari Maya Destriana
Cyndi Desiyani Mela Purnamasari
Dahlia Merlinda Adelsa
Dewi Permatasari Mia Khafifah
Deya paramita Nanda Agustina
Dian Nia Hidayati

AKADEMI KEBIDANAN PANCA BHAKTI


BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Cover .............................................................................................................. i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian analgetik ................................................................................ 2
2.2 Penggolongan Analgetik .......................................................................... 2
A. Analgetika Narkotik ........................................................................... 2
B. Analgetika Non Narkotik ................................................................... 3
2.3 Obat-Obatan Analgetik ............................................................................ 4
A. Obat-obatan golongan non narkotik ................................................... 4
B. Obat-obatan golongan narkotik ........................................................ 12

BAB III PENUTUP


3.1 Keisimpulan ........................................................................................... 21
3.2 Saran ....................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk
mengurangi rasa sakit atau nyeri yang diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada
tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisika sehingga menimbulkan
kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin
dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan
diteruskan ke otak yang secara umum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
analgetika non narkotik seperti asetosal, parasetamol dan analgetika narkotik
seperti morfin.

Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila


tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun
obat-obatan. Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian
obat dengan bahan-bahan lain tersebut termasuk obat tradisional dansenyawa
kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika duaatau lebih obat
sekaligus dalam satu periode (polifarmasi ) digunakanbersama-sama. Interaksi
obat berarti saling pengaruh antarobat sehingga terjadi perubahan efek. Di dalam
tubuh obat mengalami berbagai macam proses hingga akhirnya obat di keluarkan
lagi dari tubuh. Proses-proses tersebut meliputi, absorpsi, distribusi, metabolisme
(biotransformasi), dan eliminasi. Dalam proses tersebut, bila berbagai macam obat
diberikan secara bersamaan dapat menimbulkan suatu interaksi. Selain itu, obat
juga dapat berinteraksi dengan zat makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan
obat.

1.1 Tujuan
1 Mengetahui apa yang dimaksud dengan analgesic
2 Mengetahui kegunaan obat dari analgesik
3 Mengetahui mekanisme dari kerja obat-obat tersebut
4 Mengetahui macam-macam obat dari analgesik

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian analgetika


Analgetika adalah senyawa yang dalam dosis terapetik meringankan atau
menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Kesadaran akan
perasaan sakit terdiri atas dua tahap yaitu tahap penerimaan perangsang sakit
dibagian otak besar dan tahap reaksi emosional dari individu terhadap perangsang
ini. Obat penghilang nyeri (analgetika) mempengaruhi proses pertama dengan
mempertinggi ambang kesadaraan akan rasa sakit, sedangkan narkotika menekan
reaksi-reaksi psikis yang diakibatkan oleh perangsang sakit itu Berdasarkan kerja
farmakologisnya, analgetika dibagi 2 kelompok besar, yaitu analgetika narkotik
dan analgetika non narkotik.

2.2 Penggolongan Analgetika


A. Analgetika Narkotik
Zat ini mempunyai daya penghalau nyeri yang kuat sekali dengan titik
kerja yang terletak di sistem saraf sentral, mereka umumnya menurunkan
kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan
nyaman (euforia), serta mengakibatkan ketergantungan fisik dan psikis
(ketagihan, adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan
dihentikan. Analgetika narkotik atau analgesic opioid merupakan
kelompok obat yang mempunyai sifat-sifat seperti opium atau morfin.
Termasuk golongan obat ini yaitu:
1) Obat yang berasal dari opium-morfin,
2) Senyawa semi sintetik morfin,
3) Semi sintetik yang berefek seperti morfin.
Mekanisme aksi dari obat-obat golongan ini adalah menghambat adenilat
siklase dari neuron, sehingga terjadi penghambatan sintesis c-AMP (siklik
Adenosin Mono Phosphat), selanjutnya menyebabkan perubahan
keseimbangan antara neuron noradrenergik, serotonik dan kolinergik.
Mekanisme kerja yang sesungguhnya belum benar-benar jelas.

2
B. Analgetika Non Narkotik
Analgetika non-narkotik bersifat tidak adiktif dan kurang kuat
dibandingkan dengan analgetika narkotik. Obat-obat ini juga dinamakan
analgetika perifer, tidak menurunkan kesadaran dan tidak mengakibatkan
ketagihan secara kimiawi. Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati
nyeri yang ringan sampai sedang dan dapat dibeli bebas. Obat-obatan ini
efektif untuk nyeri perifer pada sakit kepala, dismenore (nyeri menstruasi),
nyeri pada inflamasi, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang.
Kebanyakan dari analgetika menurunkan suhu tubuh yang tinggi, sehingga
mempunyai efek antipiretik. Beberapa analgetika seperti aspirin,
mempunyai efek antiinflamasi dan juga efek antikoagulan. Efek samping
dari analgetika yang paling umum adalah gangguan lambung, kerusakan
darah, kerusakan hati, dan juga reaksi alergi di kulit.

Analgetika secara kimiawi dibagi atas 4 golongan yaitu :


1. Golongan salisilat
a. Asetosal
b. Salisilamid
c. Natrium salisilat
2. Golongan pirazolon
a. Antipirin
b. Aminopirin
c. Fenilbutazon
3. Golongan antranilat
a. Glafenin
b. Asam mefenamat
c. Ibuprofen
4. Golongan p-aminofenol
a. Fenasetin
b. Paracetamol

3
2.3 Obat-Obatan Analgetik
A. Obat-obatan golongan non narkotik
1. Asam mefenamat (golongan antranilat)
Asam mefenamat merupakan kelompok antiinflamasi non steroid bekerja
dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh
dengan menghambat enzim siklooksiginase sehingga mempunyai efek
analgesik, antiinflamasi dan antipiretik.
 Farmakodinamika
Asam mefenamat mempunyai sifat analgesik, tetapi efek
antiinflamasinya lebih sedikit dibandingkan dengan aspirin, karena
terikat kuat pada protein plasma maka interaksi terhadap
antikoangulan harus diperhatikan.
 Farmakokinetika
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna,
99% obat terikat oleh protein plasma. Kadar plasma tertinggi dicapai
dalam 2 jam setelah pemberian oral, dan waktu paruh dalam plasma 2-
4 jam.
 Efek Samping dan Intoksikasi
Efek samping yang paling sering terjadi (kira-kira terjadi pada 25%
dari seluruh pasien) melibatkan sistem gastrointestinal. Biasanya
berupa dispepsia atau ketidaknyamanan gastrointestinal bagian atas,
diare yang mungkin berat dan disertai pembengkakan perut, serta
perdarahan gastrointestinal. Sakit kepala, pusing, mengantuk, tegang
dan gangguan penglihatan juga umum terjadi.
 Interaksi Obat
Obat-obat anti koagulan oral seperti warfarin; asetosal (aspirin) dan
insulin.
 Cara Penyimpanan
Simpan di tempat sejuk dan kering.
 Kontraindikasi
Pada penderita tukak lambung, radang usus, gangguan ginjal, asma
dan hipersensitif terhadap asam mefenamat. Pemakaian secara hati-

4
hati pada penderita penyakit ginjal atau hati dan peradangan saluran
cerna.
 Dosis
- Untuk nyeri dosis awal 500 mg, dilanjutkan dengan dosis 250 mg,
setiap 6 jam jika di perlukan, penggunaan sebaiknya tidak lebih
dari 1 minggu.
- Untuk dismenore penggunaan saat terjadi haid, pnggunaan tidak
lebih dari 2 -3 hari.

2. Parasetamol
Penemuan parasetamol sebagai senyawa analgetika dan antipiretik dari
adanya kerancuan asetanilida yang semula digunakan sebagai antipiretik
kemudian dikembangkan senyawa-senyawa yang kurang toksik sebagi
antipiretik. Pada mulanya dicobakan senyawa para-aminofenol yang
merupakan komponen hasil oksidasi asetanilida di dalam tubuh, walaupun
demikian toksisitasnya tidak berkurang.
 Mekanisme kerja
Paracetamol bekerja mengurangi produksi prostaglandin yang terlibat
dalam proses nyeri dan edema dengan menghambat enzim
cyclooxygenase (COX).
 Efek samping
Efek samping sering terjadi antara lain hipersensitivitas dan kelainan
darah. Penggunaan kronis dari 3-4 gram sehari dapat terjadi kerusakan
hati, pada dosis diatas 6 gram mengakibatkan nekrosis hati yang tidak
reversibel. Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah dan
anorexia. Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil
dan menyusui meskipun dapat mencapai air susu. Efek iritasi, erosi
dan pendarahan lambung tidak terlihat, demikian juga gangguan
pernafasan.
 Farmakokinetik
Parasetamol adalah ekstensif dimetabolisme di hati dan dikeluarkan
melalui urin terutama sebagai tidak aktif dan konjugat glukuronat

5
sulfat, Metabolit parasetamol termasuk dihidroksilasi kecil menengah
yang memiliki aktivitas hepatotoksim, metabolit intermediate
didetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutation, namun dapat
mengakumulasi berikut overdosis parasetamol (lebih dari 150mg/kg
atau total parasetamol 10g tertelan) dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan kerusakan hati ireversibel.
 Farmakodinamika
Parasetamol adalah aminofenol derivatif yang menunjukkan aktivitas
analgesik dan antipiretik, tapi tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi,
Parasetamol adalah pemikiran untuk menghasilkan analgesia yang
melalui penghambatan pusat sintesis prostaglandin.
Interaksi resin penukar ion, kolesteramin, menurnkan absorbs
paracetamol antikoagulan :pengunaan paracetamol secara rutin dapat
menyebabkan peningkatan kadar warfarin. metoklorpropamid dan
domperidon : metoklorpropamid mempercepat absorbs paracetamol
(meningkatkan efek )
 Dosis :
- oral : 0.5-1 gram tiap 4-6 jam hingga maksimum 4 jam perhari.
- Anak 2 bulan : 60 mg pada demam pasca operasi
- Dibawah usia 3 bulan hanya dengan nasehat dokter.
- 3 bulan-1 tahun : 60-120 mg perhari
- dosis-dosis ini boleh diulang tiap 4-6jam bila diperlukan
(maksimum sebanyak 4 dosis dalam waktu 24 jam )

3. Aspirin
Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari
salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa
sakit atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti-inflamasi
(peradangan). Aspirin juga memiliki efek antikoagulan dan dapat
digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah
serangan jantung. Kepopuleran penggunaan aspirin sebagai obat dimulai
pada tahun 1918 ketika terjadi pandemik flu di berbagai wilayah dunia

6
Awal mula penggunaan aspirin sebagai obat diprakarsai oleh Hippocrates
yang menggunakan ekstrak tumbuhan willow untuk menyembuhkan
berbagai penyakit. Kemudian senyawa ini dikembangkan oleh perusahaan
Bayer menjadi senyawa asam asetilsalisilat yang dikenal saat ini. Aspirin
adalah obat pertama yang dipasarkan dalam bentuk tablet. Sebelumnya,
obat diperdagangkan dalam bentuk bubuk (puyer). Dalam menyambut
Piala Dunia FIFA 2006 di Jerman, replika tablet aspirin raksasa dipajang
di Berlin sebagai bagian dari pameran terbuka Deutschland, Land der
Ideen ("Jerman, negeri berbagai ide").
 Mekanisme kerja
Penghambatan sintesis prostaglandin di pusat pengatur panas dalam
hipotalamus dan periferdi daerah target. Lebih lanjut, dengan
menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga mencegah sensitisasi
reseptor rasa sakit terhadap rangsangan mekanik dan kimiawi. Aspirin
juga menekan rangsang nyeri pada daerah subkortikal (yaitu, talamus
dan hipotalamus).
 Farmakodinamika
Asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai
analgesic, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin dosis tinggi terapi
bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dosis toksis ini justru
memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi
demam dan hiperhidrosis.
Untuk memperoleh efek inflamasi yang baik kadar plasma perlu
dipertahankan antara 250-350 µg/ml. kadar ini tercapai dengan dosis
aspirin oral 4gram perhari untuk orang dewasa. Pada penyakit demam
reumatik, aspirin masih belum dapat digantikan oleh ains yang lain
dan masih dianggap sebagai standar dalam studi banding penyakit
arthiritis rheumatoid.
 Farmakokinetika
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorbsi dengan cepat dalam
bentuk utuh dilambung. Ttapi sebagian besar diusus halus bagian atas.
Kadar tertingi dicapai kira-kira 2 jam setelah pemberian. Kecepatan

7
absorbsinya tergantung dri kecepatan disintegrasi dan disolusi obat,
pH permukaan mukosa dan waktu pengosongan lambung. Setelah
diabsorbsi salisilat segera menyebar keseluruh jaringan tubuh dan
cairan transellular sehingga ditemukan dalam cairan senovial, cairan
spinal, liur dan air susu. Obat ini dapat menembus sawar darah otak
dan sawar urin. Kira-kira 80% sampai dengan 90% salisilat plasma
terikat di albumin. Aspirin diserap dalam bentuk utuh, dihidrolisis
menjadi asam salisilat terutama dalam hati sehingga hanya kira-kira
30 menit terdapat dalam plasma.
 Efek samping
Reye's syndrome : Iritasi lambung karena bersifat asam.
Efek terhadap Sistem syaraf : Nyeri pada ujung syaraf, sakit kepala,
epilepsi, agitasi, perubahan mental, koma, paralisis, pusing, limbung,
depresi, bingung,amnesia, sulit tidur.
Efek lain : Demam, myopathy, epistaxis, kerusakan ginjal, penurunan
fungsi ginjal, meningkatkan kreatinin, hematouria, oligouria, UTI,
asidosis, asidosis metabolit, hiperfosfatemia, hipomag-nesemia,
hiponatremia, hipernatremia, hipokalemia, hiperka-lemia
hiperkalsemia, abnormalitis elektrolit. Tumor lisi sindrom sepsis,
infeksi lain, Kerusakan jantung, gangguan pernafasan.
 Interaksi obat
Dengan Obat Lain : Meningkatkan konsentrasi serum alopurinol
sehingga dapat meningkatkan toksisitas allopurinol.
Chlorpropamide : Meningkatkan reaksi hepatorenal, monitor
hipoglikemi.
Obat lain : Cotrimoxazole : Trombositopenia Cyclosporin :
Meningkatkan konsentrasi cyclosporin dalam darah (penyesuaian
dosis) .
Dengan Makanan : Makanan & susu : Menurunkan efek merugikan
terhadap saluran cerna.
 Dosis
- Dosis : untuk nyeri dan demam

8
- Oral : 4 dd 0,5 1 g p.c., maksimum 4 g sehari
- anak-anak sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari,
- 1 – 12 tahun 4-6 dd,
- di atas 12 tahun 4 dd 320-500 mg, maksimum 2 g/hari.
- Rektal : dewasa 4 dd 0,5 – 1 g, anak-anak sampai 2 tahun 2 dd 20
mg/kg, di atas 2 tahun 3 dd 20 mg/kg p.c.

4. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang diperkenalkan banyak
negara. Obat ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak
terlalu kuat. Efek analgesiknya sama dengan aspirin. Ibuprofen tidak
dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.
 Indikasi
Nyeri & radang pada penyakit artritis (rheumatoid arthritis, juvenile
arthritis, osteoarthritis) & gangguan non sendi (otot kerangka), nyeri
ringan sampai berat termasuk dismenorea, paska bedah, nyeri &
demam pada anak-anak
 Mekanisme kerja
Menghambat sintesis prostaglandin dgn menghambat COX-1 & COX-
2
 Efek samping
Gangguan saluran cerna : dispepsia, heartburn, mual, muntah, diare,
konstipasi, anoreksia dll.
 Gangguan sistem saraf : sakit kepala, pusing,
- Gangguan pendengaran & penglihatan : tinitus, penurunan
pendengaran, gangguan penglihatan sakit kuning, kenaikan SGOT
& SGPT.
- Lain-lain : retensi cairan, gagal jantung kongestif, tekanan darah
meningkat, hipotensi, aritmia, reaksi hipersenstivitas, mulut kering
 Interaksi obat
- Dengan Obat Lain :

9
- Antikoagulan & antitrombotik : Meningkatkan efek samping
perdarahan saluran cerna.
- Aspirin : Meningkatkan efek samping & menurunkan efek
kardioprotektif dari aspirin.
- Litium : Meningkatkan konsentrasi litium dalam plasma & serum
dan dapat menurunkan klirens.
 Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas, asma, urtikaria, rinitis parah,
angioudema
 Dosis
- Artritis : 400-800 mg 3-4 kali sehari (maksimun 3.2 g/hari)
- Juvenile artritis : 30-40 mg/kg berat badan per hari dalam 3-4 dosis
terbagi (maksimum 50 mg/kg berat badan)
- Nyeri ringan s/d sedang : 200-400 mg tiap 4-6 jam, bila perlu (max
1,2 g/hari)

5. Na-diklofenak
 Indikasi
Nyeri paska bedah, nyeri & radang pada penyakit artritis & gangguan
otot kerangka lainnya, nyeri pada gout akut dan dismenorea.
 Mekanisme kerja
Penghambatan biosintesa prostaglandin, yang telah dibuktikan pada
beberapa percobaan, mempunyai hubungan penting dengan
mekanisme kerja kalium diklofenak. Prostaglandin mempunyai
peranan penting sebagai penyebab dari inflamasi, nyeri dan demam.
Pada percobaan-percobaan klinis Kalium Diklofenak juga
menunjukkan efek analgesik yang nyata pada nyeri sedang dan berat.
Dengan adanya inflamasi yang disebabkan oleh trauma atau setelah
operasi, kalium diklofenak mengurangi nyeri spontan dan nyeri pada
waktu bergerak serta bengkak dan luka dengan edema. Kalium
diklofenak secara in vitro tidak menekan biosintesa proteoglikan di

10
dalam tulang rawan pada konsentrasi setara dengan konsentrasi yang
dicapai pada manusia.
 Kontraindikasi
Pasien dengan hipersensitivitas, asma, urtikaria, rinitis parah,
angioudema, tukak lambung aktif
 Efek samping
Pencernaan :gangguan pada saluran cerna bagian atas (20% pasien)
tukak lambung, perdarahan saluran cerna.
Saraf : sakit kepala (3-9% pasien), depresi, insomnia, cemas.
Ginjal :(kurang dari 1% pasien) terganggu fungsi ginjal
(azotemia,proteinuria,nefrotik sindrom dll),
Kardiovaskular: retensi cairan, hipertensi, (3-9% pasien),
Pernapasan : asma (kurang dari 1% pasien)
Darah : lekopenia, trombositopenia, hemolitik anemia (kurang dari 1%
pasien)
Hati : hepatitis, sakit kuning (jarang), peningkatan SGOT
Lain-lain : ruam, pruritus, tinnitus, reaksi sensitivitas (1-3% pasien).
 Interaksi
Dengan Obat Lain :
 Antikoagulan : Dapat memperparah perdarahan saluran cerna.
 Metotreksat : Meningkatkan konsentrasi metotreksat.
 Glikosida jantung : Meningkatkan toksisitas glikosida jantung.
 Diuretik : Secara bersamaan dengan HCT, meningkatkan kadar
kalium dalam serum, dengan triamterene meningkatkan resiko
kerusakan ginjal.
 NSAID : Penggunaan bersama aspirin dapat meningkatkan eksresi
diklofenak melalui empedu.
 Siklosporin : Meningkatkan efek nefrotoksik siklosporin.
 Litium :Meningkatkan konsentrasi plasma litium dan menurunkan
klirens litium.
 Antidiabet :Kasus hipoglikemik & hiperglikemi (jarang terjadi)

11
 Kuinolon : Dapat meningkatkan resiko stimulasi sistem
saraf pusat
 Antasid : Dapat menunda absorpsi diklofenak.
 Kortikosteroid : Meningkatkan resiko ulser saluran cerna
 Dosis
Nyeri & dismenore :
Dosis awal : 50 mg, dilanjutkan 50 mg setiap 8 jam jika perlu
Pada pasien dengan gangguan ginjal dan hati tidak perlu penyesuaian
dosis, tetapi perlu pemantauan yang ketat

B. Obat-obatan golongan narkotik


Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid :
1. Morfin dan Alkaloid opium
 Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh tetapi dapat diansorbsi
melalui kulit luka morfin juga dapat menembus mokosa. Dengan
kedua cara pemberian in absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat
diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik yang timbul setelah pemberian
parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid
setelah suntikan IV sangat cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan
absorbs berbagai alkaloid berbeda-beda. Setelaah pemberian dosis
tunggal sebagian morfin mengalami kunjugasi dengan asam
glukoronat di hepar, sebagian dikleluarkan dalam bentuk bebas dan 10
% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar urin dan
mempengaruhi janin. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal,
sebagian kecil bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang
terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecilkn
dikeluarkan melalui cairan lambung.
Opium atau candu adalah getah papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Secara kimia opium dibagi menjadi 2 golongan : 1) gol.

12
Penantren 2) gol. Benzilisokinolin. Dari alkaloid derivate fenantren
yang alamiah telah dibuat berbagai derivate sintetik.
 Farmakologi
Dari masing-masing derivat secara kualitatif sama dan bebeda secara
kuantitatif dengan morfin. Efek morfin pada susunan saraf pusat dan
usus terutama di timbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada
reseptor µ, selain itu morfin mempunya afinitas yang lebih lemah
terhadap reseptor δ dan K. efek berupa analgesia oleh morfin dan
nakrosis dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama
yang didapakan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada
transmisi dan modulasi nyeri. Agonis opioid melalui reseptor µ, δ dan
K pada ujung sinaps aferen primer nosiseptif mengurangi penglepasan
tramsmiter, dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi
nyeri di komu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian opioid
memiliki efek analgesic yang kuat melalui pengaruh pada medulla
spinalis, selain itu µ agonis juga menimbulkan efek inhibisi
pascasinaps melalui reseptor µ di otak.
Ekskresi morfin sebagian besar melalui ginjal sebagian kecil di
keluarkan melalui tinja dan keringat
 Indikasi
Diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang
tidak dapat diobati dengan obat analgesic non opioid. Morfin sering
digunakan nyeri yang menyertai 1) infark miokard; 2) neoplasma;
3)kolik renal atau kolik empedu; 4) oklusio akut pembuluh darah
perifer, pulmonal atau koroner; 5) perikarditis akut, pleuritis dan
pneumotoraks spontan dan 6) nyeri akibat trauma.
 Efek samping
Idiosinkrasi dan Alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan
muntaah terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk
idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-
jarang dillirium lebihjarang lagi konfulsi dan insomnia. Bayi dan anak
kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asal saja dosis

13
diperhitungkan berdasarkan berat badan, tetapi oranng lanjut usia dan
pasien Penyakit berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin.
o Toleransi
Toleransi timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap
efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul
antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin.
Toleransi timbul setelah pemakaian 2-3 minggu, kemungkinan timbul
efek toleransi lebih besar apabila digunakan dosis besar secara teratur.

6. Mefiridin dan Derivat Fenilpiperidin


 Farmakodinamik
Bekerja terutama kerja sebagai agonis reseptor µ. Obat lain yang mirip
dengan meperidin ialah piminodin, ketobemidon dan fenoperidin.
 Farmakokinetik
Absorbsi meferidin setelah cara pemberian apapun langsung baik,
akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan
IM. Kadar puncak dalam plasma dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai sangat berfariasi antar individu. Setelah pemberian secara oral
sekitar 50 % mengalami metabolism lintas pertama dan kadar
maksimal dalam plasma tercapai dalam 11-2 jam. Setelah pemberian
IV kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam
pertama, kemudian penurunan berlangsung dengan lambat. Kurang
lebih 60 % meferidin dalam plasma terikat protein metabolism
meferidin terutama berlangsung dihati.
 Farmakologi
efek dari mefiridin serupa dengan morfin.
 Indikasi
Mefridin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia pada
beberapa keadaan klinis seperti tindakan diagnostic sistoskopi,
pielografiretrograd dan gastroskopi. Mefiridin digunakan jagu untuk
menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanastetik.
 Efek samping

14
Pusing, berkeringat, euporia, mulut kering, mual, muntah, perasaan
lemahl, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
 Sediaan dan dosis
- Mefiridin : 50-100 mg ( dalam bentuk tablet dan ampul)
- Alfaprodin : 60 mg ( dalam bentuk ampul 1 ml dan vial 10 ml)
- Difoneksilat : 20 mg per hari dalam dosis terbagi (dalam bentuk
tablet dan sirop)
- Loperamid : 4 – 8 mg /hari
- Fentanil dan Derivatnya

7. Metadon
 Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar dalam plasma
yang tinggi dalam 10 menit pertama. Sekitar 90 % metadon terikat
protein plasma. Metadon diabsorbsi secara baik di usus dan dapat
ditemukan diplasma setealah pemberian secara oral, kadar puncak
dicapai setelah 4 jam. Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk
dalam paru, hati, ginjal dan limpa. Hanya sebagian kecil yang masuk
otak kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam
setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan intensitas
dan lama analgesia.
 Farmakodinamik
Efek analgetik 7,5 – 10 mg metadon sama kuat dengan morfin, setelah
pemberian berulang kali timbul efek sedasi yang jelas, mungkin
karena adanya akumulasi.
 Indikasi
Analgesia : Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi oleh metadon sama
dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin.
Antitusif : Metadon merupakan antitusif yang baik, efek anti tusif 1,5
-2 mg /oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan
timbulnya adiksi pada metadon jauh lebih besar dari pada kodein.

15
Oleh karena itu sekarang metadon sudah mulai ditinggalkan sebagai
antitusif.
 Efek Samping
Menyebabkan perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental
terganggu, berkerigat, pruritus, mual dan muntah. Efek samping yang
jarang timbul adalah delirium, halusinasi selintas dan urtikaria
hemoragik.
 Sediaan dan Dosis
Metadon : 2,5 – 15 mg ( dalam bentuk tablet, vial dan ampul)

8. Propoksifen
 Farmakodinamik
Propoksifen terutama bekerja terikat pada reseptor µmeskipunkurang
selektif disbandingkan dengan morfin. Propoksifen 65-100 mg
memberikan efek yang sama kuat denga 65 mg kodein. Propoksifen
menimbulka perasaan yang panas dan iritasi ditempat suntikan.
Kombinasi propoksifen dengan asetosal berefek analgesic jauh lebih
baik jika masing-masing obat diberikan secara sendiri-sendiri.
 Farmakokinetik
Propoksifen diabsorbsi setelah pemberian oral maupun parenteral.
Seperti kodein, efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan
secara oral. Biotransformasi propoksifen dengan cara enbemetilasi
yang terjadi dalam hati.
 Indikasi
Hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai nyeri sedang,
yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi
propoksifen dengan asetosal sama kuat seperti kombinasi kodein
dengan asetosal.
 Efek samping
Propoksifen memberikan efek mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut
dan kantuk, kurang lebih sama dengan kodein
 Sediaan dan dosis

16
Propoksifen : 65 mg 4x sehari ( dalam bentuk tablet dan vial)

9. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid aatau
bila opioid endogen edang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok.
Nalokson merupakan prototif antagonis opioid yang relative murni,
demikian pula naltrekson yang dapat diberikan secara oral dan
memperlihatkan masa kerjalebih yang lama dari pada nalokson.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping memperlihatkan
efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgetik dan
depresi nafas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini
merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga memperlihatkan
efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
 Farmakodinamik
Efek tanpa pengaruh opioid pada berbagai eksperimen bahwa
nalokson memperlihatkan :
- Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang
nyerinya tinggi
- Mengantagonis efek analgetik placebo
- Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan leawat
jarum akupuntur, semua efek ini diduga berdasarkan antagonisme
nalokson terhadap opioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor K. berbeda dengan morfin, depresi
nafas ini tidak bertambah dengan bertambahnya dosis, kedua obat ini
bekerja memperberat depresi nafas oleh morfin dosis kecil, tetapi
mengantagonis depresi nafas akibat morfin dosis besar.
Efek dengan pengaruh opioid frekuensi nafas meningkat dalam 1-2
menit setelah pemberian IV, IM nalokson pada pasien dengan depresi
nafas akibat agonis opioid, efek sedatef dan efek terhadap tekanan
darah juga segera dihilangkan. Antagonis nalokson terhadap efek

17
agonis opioid sering disertai dengan terjadinya fenomena overshoot
misalnya berupa penigkatan frekuensi nafas melebihi frekuensi
sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan
dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang
timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
 Indikasi
Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi nafas
akibat takar kajak opioid, pada bayi yang dilairkan oleh ibu yang
mendapat opioid sewaktu perdalinan atau akibat tentamen suicide
dengan suatu opioid. Dalam hal ini alokson merupakan obat pilihan
untuk kasus ini.
 Sediaan dan Dosis
- Nalorfin HCL : 0,2 mg /ml unutuk anak, 5 mg/ml untuk dewasa
- Levalorvan : 1 mg/ml
- Nalokson : 0,4 mg/ml

10. Agonis Parsial


a. Pentazosin
 Farmakodinamik
Obat ini merupakan antagonis lemah pada reseptor µ tetapi merupakan
agonis yang kuat pada reseptor K dan δ sehingga tidak mengantagonis
depresi nafas oleh morfin. Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek
opioid yaitu nyebabkan analgesi, sedasi dan depresi nafas. Analgesi
yang timbul agaknya karna efek pada reseptor K, karena sifatnya
berbeda dengan analgesi akibat morfin. Analgesi timbul lebih dini dan
hilang lebih cepat daripada morfin, setelah pemberian secara IM
analgesi mencapai maksimal dalam 30 – 60 menit dan berakhir setelah
2-3 jam. Setelah pemberian oral efek maksimal dalam 1 – 3 jam dan
lama kerja agak panjang darimpada setelah pemberian IM. Depresi
nafas yang ditiimbulkannya tidak sejalan dengan dosis, pada dosis 60-
90 mg obat ini menyebabkan disporia dan efek psikotomimetik mirip
dengan morfin yang hanya dapat di antagomnis oleh aloksan. Diduga

18
timbulnya disporia dan efek psikotomimetik karena kerjanya pada
reseptor δ.
 Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui pemberian apa saja, tetapi karena
mengalami metabolism lintas pertama, bioavailabilytas per oral cukup
berpariasi. Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk
kemmudian di ekskresi sebagai metabolit melalui urin. Pada penderita
sirosis hepatis bersihannya sangat kuat.
 Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang tetapi kurang
efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga digunakan
untuk medikasi pre anastetik. Bila digunnakan untukk analgesi opstertik
pentazosin dapat mengakibatkan depresi nafas yang sebanding
meferidin.
 Sediaan dan Dosis
Pentazosin : 30 mg (secara IV/IM) dapat diulang tiap 3-4 jam, dosis
total maksimal 360 mg/ hari
Untuk analgesi optaltik diberikan dosis tunggal 20 atau 30 mg secara
IM.
Sediaan : vial 1, 1,5, 2 dan 10 ml

b. Butorfanol
Secara kimia mirip levorfanol akan tetapi profil kerjanya mirip pentazosin.
Pada penderita paska beda, suntikan 2 -3 mg butorfanol menimbulkan
analgesi dan depresi nafas menyerupai efek akibat suntikan 10 mg morfin
atau 80 mg meferidin. Seperti pentazisin dan obat lain yang dihipotesiskan
bekerja pada reseptor K dan σ, peningkatan dosis juga disertai
memberatnya depresi nafas dan menonjol.
 Farmakodinamik
Efek farmakodinamik butorfenol sama seperti pentazosin.
 Efek Samping

19
Butorfanol menyebabkan ngantuk, mual, berkeringat kadang-kadang
terjadi gangguan kardiocaskular yaitu kalpitasi dan gangguan kulit rash.
 INDIKASI butarfanol efektif mengatasi nyeri akut pasca operasi
sebanding dengan morfin eferidin atau pentazosin. Demikian pula
butorfanol sama efektif dengan mefiridin untuk medikasi preanastetik
akantetapi efek sedasinya lebih kuat.
 Sediaan dan dosis
Butorfanol : dewasa 1-4 mg IM atau 0,5 – 2 mg IV dan dapapt diulang
sampai dengan 2-4 jam

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Keisimpulan
Analgetik yaitu obat anti nyeri. Mekanisame kerja menghambat sintase PGS
ditempat yang sakit /trauma jaringan. Karakteristik:
a. Hanya efektif untuk menyembuhkan sakit
b. Tidak narkotika dan tidak menimbulkan rasa senang dan gembira
c. Tidak mempengaruhi pernapasan
d. Gunanya untuk nyeri sedang, contohnya: sakit gigi
Macam - macam Analgetik
a. Analgetik Opioid/analgetik narkotika
b. Obat Analgetik Non-narkotik 2.
Efek samping obat antipiretik dan analgetik
a. Gangguan Saluran Cerna
b. Gangguan Hati( hepar)
c. Gangguan Ginjal
d. Reaksi Alergi

3.2 Saran
Mengingat masalah yang dibahas diatas adalah obat analgetik dan antipiretik,
maka sebagai calon-calon tenaga kesehatan (bidan) yang masih menuntut ilmu
haruslah kita terus belajar untuk lebih memahami tentang obat-obatan, baik
analgetik-antipiretik maupun yang lainnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Deglin, Vallerand, 2005, Pedoman Obat Untuk Perawat, Jakarta, EGC

Sutistia G.Ganiswara .2007. Farmakologi Dan Terapi edisi V. Jakarta, Gaya Baru

Katzung. G. Bertram 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VIII Bagian ke II.
Jakarta : Salemba Medika.

Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2005. Obat-Obat Penting . Jakarta : PT
Gramedia

22

Anda mungkin juga menyukai