Anda di halaman 1dari 4

STRESS

Sejumlah konsepsi stres telah muncul sejak tahun 1970-an. Teori yang mendasari penelitian
ini adalah teori Person-Environment Fit (P-E Fit) (French & Caplan, 1972; French, Caplan, &
Harrison, 1982; Harrison, 1978). Prinsip dasar teori P-E Fit adalah bahwa stres muncul dari
kecocokan — atau, lebih tepatnya, ketidakcocokan — antara seorang individu dan
lingkungannya. Ketidakcocokan ini dapat terjadi pada level yang berbeda (Edwards, Caplan,
& Harrison, 1998). Sebagai contoh, stres dapat terjadi jika ada ketidaksesuaian antara
tuntutan yang ditempatkan pada seseorang dan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan
tersebut. Selain itu, ketidakcocokan antara tuntutan dan kemampuan menginduksi
mekanisme koping dan pertahanan, yang pada gilirannya mempengaruhi representasi
objektif dan subyektif dari lingkungan (Edwards et al., 1998). Ketidakcocokan antara realitas
objektif lingkungan kerja dan persepsi subyektif individu terhadap lingkungan kerja juga
dapat mengakibatkan stres.

Hasil dari stres termasuk ketegangan psikologis, yang dapat didefinisikan sebagai
penyimpangan dari fungsi normal (Edwards et al., 1998). Salah satu tekanan psikologis
semacam itu adalah ketidakpuasan. Ketidakpuasan kerja menunjukkan perasaan negatif
yang dimiliki individu mengenai pekerjaan atau aspek pekerjaan mereka (Spector, 1997).
Herzberg, Mausner, dan Snyderman (1959) merumuskan teori dua faktor yang
mengkategorikan faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpuasan kerja serta kepuasan
kerja. Mereka menggunakan istilah faktor kebersihan untuk merujuk pada faktor-faktor
yang memengaruhi ketidakpuasan kerja. Contoh-contoh faktor kebersihan termasuk
tunjangan, kebijakan organisasi, gaji, pengawasan, dan kondisi kerja. Meskipun faktor-faktor
kebersihan dapat berdampak pada ketidakpuasan kerja, mereka tidak memengaruhi
kepuasan kerja, yang telah didefinisikan sebagai "keadaan emosional yang menyenangkan
atau positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang"
(Locke, 1976, hal. 1300) . Herzberg dkk (1959) menyebut faktor-faktor yang memengaruhi
kepuasan kerja sebagai motivator. Contoh motivator meliputi prestasi, kemajuan,
pengakuan, tanggung jawab, dan pekerjaan itu sendiri

Stres yang terus-menerus dan sikap tidak dapat beradaptasi dengan masalah
menimbulkan stress kerja. Stres ini dapat menyebabkan terjadinya dampak negatif, baik berupa
gangguan fisik maupun gangguan psikologis para perawat di RS. Hermina. Hal ini sejalan
dengan definisi stress menurut Rahman, et. Al (dalam Utami dan Suana, 2015). Sehingga, dapat
diartikan bahwas tress kerja itu sndiri merupakan respon negatif atas pekerjaan maupun
lingkungan tempat kerja yang jika tidak teratasi dengan baik dan jika terjadi secara terus
menerus akan menimbulkan kelelahan emosional.
Beberapa hal yang berpotensi memicu terjdinya stress, yaitu ketidakpastian, organisasi
dan individunya sendiri. Dalam aspek ini, perawat di RS Hermina cenderung mengalami
pemicu stress yang berkaitan dengan organisasi. Para perawat merasa bahwa dengan adanya
tuntutan peran, maka akan meningkatkan beban yang berlebihan dalam organisasi. Namun ada
juga beberapa kasus stress yang dipicu oleh ketidakpastian, contohnya apakah dengan bekerja
seperti ini akan meningkatkan ekonomi keluarga.
Berdasarkan jurnal “Emotional Exhaustion To Job Performance Rating and
Organizational Citizenship Behavior” dijelaskan bahwa Burnout (kejenuhan) merupakan
gejala stress yang sangat dalam sehingga mengalami kelelahan emosional. Burnout merupakan
akibat dari stress kerja yang kronis. Menurut Maslach, ada 3 komponen yang dimiliki oleh
Burnout, yaitu:
1. Emotional exhaustion (kelelahan Emosional)
Kelelahan emosional sngat mirip dengan reaksi stress biasa, seperti Lelah, cemas,
depresi terhadap pekerjaan dan keluhan psikomotor lainnya.
Perawat yang mengalami hal ini sering menarik diri karena merasa tidak dapat
melaksanankan tugas yang dibebankan kepadanya.
2. Depersonalization
Merupakan jarak antara personal dan kurangnya hubungan dengan rekan kerja.
Dalam menajemen kerja dibutuhkan aktifitas membangun kakomunikasi. Dengan
komunikasi, hubungan antar para perawat akan terjalin. Perilaku ini mengarah pada
sikap membatasi diri terhadap rekan kerja, bersikap sinis, acuh tak acuh dan kurang
sensitive terhadap lingkungan sosialnya.
3. Berkurangnya prestasi pribadi
Hal ini berkaitan terhadap evaluasi diri. Pada penerapannya di RS. Hermina
Makassar, banyak perawat yang kurang merasa percaya atas kemampuannya dalam
menyelesaikan pekerjaan dan mengalamai stress kerja yang dialami. Hal ini lebih
berpengaruh terhadap karakter individu itu sendiri,
Organizational Citizenship Behaviour (OBC) adalah tingkah laku karyawan atau
anggota organisasi yang sifatnya sukarela diluar kewajiban kerja, yang sangat memberi
keuntungan kepada organisasi karena bisa meningkatkan efisien dan efektifitas organisasi.
Menurut Organ, Podsakod & McKenzie (2006), OCB dibagi menjadi 5 dimensi, yaitu:
1. Altruism, merupakan perilaku menolong rekan kerjan yang mengalami kesulitan.
Dalam dimensi ini, perawat di RS Hermina Makassar cenderung rendah. Ini dsebabkan
karena pembagian job yang kurang adil, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dalam
pekerjaan. Contoh lain perawat yang tidak bersedia menggantikan tugas perawat lain
yang berhalangan hadir.
2. Civic virtue, merupakan perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada
kehidupan organisasi dimana kecenderungan karyawan akan mengikuti perubahan
dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana prosedur
dalam organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber daya yang dimiliki
oleh organisasi. Pada dimensi ini, tingkat tanggung jawab perawat di RS. Hermina
masih tergolong rendah. Contohnya, partisipasi perawat maupun pekerja dalam setiap
kegiatan yang diadakan RS masih kurang, perawat tidak mempedulikan image RS
3. Conscientiousness, merupakan perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi
dari yang diharapkan organisasi, dimana perilaku sukarela ini bukan merupakan
kewajiban atau tugas dari karyawan yang bersangkutan. Hal ini juga masih terbilang
rendah pada perawat di RS Hermina. Contohnya, perawat tidak mau bekerja melebihi
jam kerjanya. Selain itu, perawat cenderung tidak patuh terhadap aturan RS seperti jam
masuk kerja, masih banyak perawat yang datang tidak sesuai dengan jadwal yang sudah
ditentukan.
4. Courtesy, merupakan perilaku dalam menjaga hubungan baik dengan rekan
kerja agar terhindar dari masalah-masalah antar karyawan. Dalam dimensi ini,
perawat di RS Hermina cukup menjaga hubungan baik, sehingga tercipatanya
sikap saling menghargai sesama perawat dan pekerja lain yang ada di RS
Hermina
5. Sportsmanship, merupakan perilaku yang memberikan toleransi terhadap
keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan.
Dalam dimensi ini, tingkat toleransi perawat juga msih rendah. Sebagai contoh,
perawat sering mengeluh dan selalu bernegatif thinking terhadap suatu
persoalan, cenderung membesar-besarkan maslah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Russel Cropanzona, Zinta S Byne dan Deborah
E. Rupp dalam jurnal “ The Relationship of Emotional Exhaustion To Job Performance Rating

and Organizational Citizenship Behaviour”, didapatkan adanya hubungan antara kelelahan

emosional terhadap kinerja. Selain itu didapatkan pula adanya hubungan antara kelelahan
emosional dan perilaku kerja yang efektif akan dimediasi oleh komitmen organisasi.
Dari semua data diatas, bisa disimpulkan bahwa Organizational Citizenship bBhavior
(OCB) memiliki peran dalam perspektif keefektifan penilaian kinerja karyawan, terutama
dalam pengembangan organisasi. Dengan OCB, visi misi serta tujuan organisasi akan dapat
tercapai secara efektif , efisien ,dan produktif. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya upaya
terstruktur dan berkelanjutan dari suatu organisasi.

Anda mungkin juga menyukai