Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu penyakit sistemik. Sayangnya, masih banyak
yang belum diketahui bagaimana awal terjadinya ataupun faktor pencetus apa saja yang perlu
diperhatikan agar tidak terjadi PGK. Meskipun belum tersedia data epidemiologi yang jelas
tentang prevalensi PGK di Indonesia, jumlah penderitanya tampak semakin meningkat. Angka

pertumbuhannya diperkirakan mencapai sekitar 20% setiap tahunnya.1 Laporan dari berbagai
pusat penanganan penyakit ginjal menunjukkan prevalensi penderita PGK berkisar antara 100 -

150 di antara satu juta penduduk Indonesia.2 Kondisi ini menjadi masalah jika ditinjau dari segi

ekonomi, karena biaya pengobatan penyakit ini besar sekali.3

Ada beberapa pilihan terapi yang tersedia untuk penderita PGK pada stadium terminal
yaitu hemodialisis (HD), peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Terbatasnya jumlah donor
ginjal untuk transplantasi dan tingginya komplikasi yang mungkin terjadi akibat peritoneal

dialisis membuat HD cenderung menjadi pilihan yang utama.4 Menurut laporan dari Indonesian
Renal Registry, jumlah penderita HD baru pada tahun 2014 sebanyak 17.193 jiwa dan jumlah
penderita aktif yang dilaporkan sebanyak 11.689. Jumlah pasien baru ini meningkat dari tahun ke
tahun, akan tetapi penderita yang aktif tidak berubah seiring dengan penambahan jumlah

penderita baru.5

Hemodialisis rutin dalam jangka panjang memerlukan pemasangan akses vaskular


permanen yang selain harus berfungsi dengan baik, juga relatif nyaman, produktif, dan bisa

diterima secara sosial oleh penderita.6,7 Pertama kali diperkenalkan oleh Brescia dan Cimino di

tahun 1966,8 fistula arteriovenosa (FAV) atau yang lebih terkenal sebagai pirau Brescia- Cimino
(Brescia-Cimino shunt) masih dianggap sebagai akses vaskular terbaik untuk HD, terutama
karena angka patensinya yang tinggi, lebih rendah insidensi infeksi dan komplikasinya
dibandingkan dengan kateter vena sentral atau graft arteriovenosa. Data menunjukkan 80%
penderita yang mengalami PGK menggunakan FAV sebagai akses vaskuler untuk HD. 9
Sejumlah operasi FAV telah dilakukan di rumah sakit di seluruh dunia. Namun, masalah yang
masih menjadi perhatian adalah angka kegagalan primer yang masih tinggi, yaitu berkisar antara

20 – 60%.10-12

Tulisan ini bertujuan membahas secara ringkas mengenai PGK, HD, dan FAV dari
bacaan literatur yang tersedia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik

Penyakit gagal ginjal kronik adalah kerusakan atau gangguan fungsi dan struktur ginjal selama
tiga bulan atau lebih dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) disertai dengan
manifestasi kelainan patologi ginjal, atau kerusakan ginjal meliputi komposisi darah atau urin
dan kelainan pada uji pencitraan ginjal. Penyakit gagal ginjal kronik terjadi bila ginjal
mengalami penurunan fungsi LFG di bawah 60 ml/menit/1.73m2 dengan atau tanpa kerusakan
ginjal. Intervensi berupa terapi pengganti ginjal dilakukan pada saat keadaan LFG mencapai <15

ml/menit/1.73 m2 agar penderita tidak mengalami uremia, yaitu retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah. Klasifikasi PGK menurut NKF-K/DQQI dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Stadium Gagal Ginjal Kronik Menurut NKF-KDOQI9


Penyebab PGK bersifat multifaktorial. Umumnya dibagi menjadi pre-renal, renal, dan
post-renal. Pre-renal terjadi karena penurunan kecepatan perfusi darah ke dalam ginjal akibat
proses degeneratif ataupun kelainan sistemik (usia, gagal jantung, sirosis hepatis). Renal berasal
dari ginjal itu sendiri seperti infeksi (glomerulonefritis kronik, DM, SLE, polikistik, pielonefritis,
nefrolitiasis, nefrosklerosis), yang akan mengganggu perfusi darah ke ginjal untuk disaring.
Kerusakan nefron mengakibatkan jaringan normal ginjal berubah menjadi jaringan fibrosis. Post-

renal disebabkan karena obstruksi traktus urinarius.13-15

Proses kerusakan ginjal berhubungan dengan penyakit awal yang mendasarinya. Awalnya
terjadi pengurangan massa ginjal dan jumlah nefron. Hiperfiltrasi dan hipertrofi terjadi sebagai
kompensasi nefron ginjal yang tersisa terhadap kerusakan karena sklerosis. Selanjutnya terjadi
peningkatan tekanan dan aliran darah pada kapiler glomerulus. Proses terjadinya maladaptive
seiring dengan peningkatan tekanan dan aliran darah nefron menyebabkan perubahan struktur
dengan akibat terjadi sklerosis nefron yang tersisa. Nefron yang sudah sklerosis menjadi tidak
berfungsi dan ireversibel walaupun penyebab awalnya telah disembuhkan atau hilang. Proses
fisiologis yang berperan dalam sklerosis nefron ini adalah sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (RAA). Sistem RAA ini memacu peningkatan vasopresin (anti diuretic hormon)
sehingga memperburuk progresivitas kerusakan ginjal. Semakin rendah LFG maka semakin
sedikit nefron yang tersisa. Kerusakan nefron ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum.2,15

Gejala PGK yang dikeluhkan tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Sindroma
uremia karena terjadinya penumpukan limbah nitrogen berlebihan dari protein bermanifestasi
sebagai gejala seperti mual, muntah, anoreksia, letargi, lemah, dan nokturia. Gejala komplikasi
lebih lanjut dapat berupa anemia, hipertensi, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan

elektrolit berat, dan koma.2,15

Penatalaksanaan penderita PGK meliputi terapi spesifik terhadap penyakit yang

mendasari, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat pemburukan


(progresivitas) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular,
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, serta terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.2

2.2 Hemodialisis

Hemodialisis dilakukan apabila fungsi ginjal penderita menurun hingga mencapai suatu
titik dimana akumulasi dari zat sisa dapat mengganggu fungsi tubuh. Hemodialisis diindikasikan
apabila keadaan tersebut sudah tidak dapat ditangani dengan penggunaan obat- obatan dan diet.
Hemodialisis dilakukan secara teratur sebanyak 2-3 kali per minggu. Prinsip dasar dari HD
adalah mengalirkan darah dari tubuh ke ginjal buatan untuk dilakukan penyaringan darah melalui
suatu membran semi- permiabel agar terjadi proses difusi dan ultrafiltrasi darah di dalamnya.

Darah yang sudah disaring kemudian dikembalikan ke dalam tubuh.16

Tiga komponen utama yang terlibat dalam HD adalah dializer, dialisat dan sistem

penghantaran darah. Dializer adalah alat yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam

kompartemen-kompartemen didalamnya, dengan dibatasi oleh membran semi-permiabel. 17


Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik limbah-limbah tubuh dari darah. Sementara
buffer yang umumnya dipakai adalah bikarbonat karena memiliki risiko hipotensi yang lebih
rendah dibandingkan dengan natrium. Kadar setiap zat di cairan dialisat juga diatur sesuai
dengan kebutuhan. Air yang digunakan juga diproses agar tidak menimbulkan risiko

kontaminasi.18 Sistem penghantaran darah dapat dibagi menjadi bagian yang di mesin dialisis
dan akses dialisis di tubuh penderita. Bagian yang di mesin terdiri atas pompa darah, sistem
pengaliran dialisat, dan berbagai monitor. Sementara akses di tubuh penderita juga dibagi atas
beberapa jenis, antara lain fistula, graft atau kateter. Prosedur yang dinilai paling efektif adalah
suatu fistula yang dibuat dengan menyambung arteri dan vena sebagai sebuah pirau. Salah satu

prosedur yang paling banyak digunakan adalah FAV.19


2.3 Pembuluh darah

2.3.1 Struktur pembuluh darah

Dinding arteri dan vena terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

1. Tunika interna (Tunika intima)

Tunika interna (tunika intima) merupakan lapisan bagian dalam pembuluh darah yang terdiri

dari epitel skuamosa sederhana yang disebut endotelium yang terletak di atas membran basal dan

lapisan tipis jaringan ikat. Endotelium bertindak sebagai penghalang selektif permeabel untuk

bahan yang akan memasuki atau meninggalkan aliran darah, mengeluarkan bahan kimia yang

merangsang pelebaran atau penyempitan kapal dan biasanya menolak sel darah dan trombosit

sehingga mengalir bebas tanpa menempel pada dinding pembuluh darah. Ketika endotelium

rusak, trombosit membentuk gumpalan darah dan ketika jaringan di sekitar pembuluh darah

mengalami peradangan, sel-sel endotel menghasilkan molekul sel-adhesi yang menyebabkan

leukosit untuk memenuhi permukaan. Hal ini menyebabkan leukosit berkumpul di jaringan untuk

tindakan pertahanan yang dibutuhkan.

2. Tunika media

Tunika media merupakan lapisan tengah, biasanya paling tebal yang terdiri dari otot polos,

kolagen, dan dalam beberapa kasus, jaringan elastis. Jumlah otot polos dan jaringan elastik
bervariasi antara pebuluh darah yang satu dengan yang lain. Tunika media memperkuat

pembuluh dan mencegah tekanan darah pecah, menyediakan vasomotion, perubahan dalam

diameter pembuluh darah.

3. Tunika externa

Tunika externa merupakan lapisan terluar. Ini terdiri dari jaringan ikat longgar yang sering

menyatu dengan pembuluh darah, saraf, atau organ lain sekitarnya.

Gambar 1 Lapisan Pembuluh Darah Arteri dan Vena

2.3.2 Jenis-jenis pembuluh darah


Terdapat tiga jenis pembuluh darah, yaitu arteri, kapiler, dan vena membentuk sistem tertutup

berbentuk tabung yang membawa darah dari jantung ke sel-sel tubuh dan kembali ke jantung.

Berikut penjelasan mengenai arteri, vena dan kapiler.

1. Arteri

Arteri membawa darah dari jantung. Arteri bercabang berulang kali menjadi lebih kecil dan

arteri yang paling kecil akhirnya membentuk arteri mikroskopis yang disebut arteriol. cabang-

cabang arteri (arteriol), ketebalan lapisan ototnya berkurang. Dinding arteriol terkecil hanya

terdiri dari endotelium dan beberapa serat otot polos yang mengelilinginya. Arteri, terutama

arteriol, memainkan peran penting dalam mengendalikan aliran darah dan tekanan darah.

2. Kapiler

Arteriol terhubung dengan kapiler, pembuluh darah paling banyak dan paling kecil. Diameter

sebuah kapiler sangat kecil sehingga eritrosit harus melewatinya dalam file tunggal. Dinding

kapiler hanya terdiri dari endotelium, yang memungkinkan pertukaran bahan antara darah di

kapiler dan sel-sel tubuh. Distribusi kapiler dalam jaringan tubuh bervariasi dengan aktivitas

metabolik dari setiap jaringan. Kapiler terutama melimpah di jaringan aktif, seperti jaringan otot

dan saraf, di mana hampir setiap sel dekat dengan kapiler. Kapiler kurang melimpah di jaringan

ikat, dan mereka tidak hadir di beberapa jaringan, seperti tulang rawan, epidermis, dan lensa dan

kornea mata.

Aliran darah dalam kapiler dikendalikan oleh otot sfingter prekapiler yang berupa serat otot

polos yang melingkari dasar kapiler di persimpangan arteri-kapiler. Kontraksi sfingter prekapiler

menghambat aliran darah ke jaringan kapiler tersebut. Relaksasi sfingter memungkinkan darah

mengalir ke dalam jaringan kapiler untuk menyediakan oksigen dan nutrisi untuk sel-sel
jaringan. Ketika beberapa jaringan kapiler diisi dengan darah, yang lain tidak. Jaringan kapiler

menerima darah sesuai dengan kebutuhan sel-sel yang mereka layani. Sebagai contoh, selama

latihan fisik darah dialihkan dari jaringan kapiler dalam saluran pencernaan untuk mengisi

jaringan kapiler di otot rangka. Pola distribusi darah sebagian besar terbalik setelah makan.

3. Vena

Setelah darah mengalir melalui kapiler, memasuki venula, vena terkecil. Beberapa kapiler

bergabung membentuk venula. Venula terkecil hanya terdiri dari endotelium dan jaringan ikat,

tetapi venula yang lebih besar juga mengandung jaringan otot polos. Venula bersatu untuk

membentuk pembuluh darah kecil. Vena kecil bergabung membentuk vena semakin besar seperti

darah dikembalikan ke jantung. Vena yang lebih besar, terutama di kaki dan tangan,

mengandung katup yang mencegah aliran balik darah dan membantu kembalinya darah ke

jantung. Karena hampir 60% dari volume darah berada dalam pembuluh darah, vena dapat

dianggap sebagai area penyimpanan darah yang dapat dibawa ke bagian lain dari tubuh pada saat

dibutuhkan. Sinusoid vena di hati dan limpa sangat penting. Jika darah hilang oleh perdarahan,

baik volume darah maupun tekanan darah mengalami penurunan. Sebagai tanggapan hal

tersebut, sistem saraf simpatik mengirimkan impuls untuk mengerut dinding otot pembuluh

darah, yang mengurangi volume vena dan mengkompensasi kehilangan darah. Sebuah respon

yang sama terjadi selama aktivitas otot berat untuk meningkatkan aliran darah ke otot rangka.

Perbandingan arteri, kapiler dan vena ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2 Perbandingan arteri, kapiler dan vena 9


2.4 Akses vaskular

2.4.1 Definisi

Akses vaskular terdiri dari kata akses dan vaskular. Akses yang berarti cara/jalan, sedangkan

vaskular merupakan pembuluh darah. Dengan demikian akses vaskular diartikan sebagai jalan

untuk memudahkan mengeluarkan darah dari pembuluh darah untuk keperluan tertentu, dalam

kasus gagal ginjal terminal adalah untuk proses hemodialisis.10

2.4.2 Klasifikasi

Akses vaskuler dapat dibedakan menjadi Akses vaskuler Temporer dan Akses vaskuler

Permanen.Akses vaskuler Temporer adalah Akses yang dipakai hanya dalam jangka waktu

tertentu /jangka pendekdan tidak menetap.sedang Akses vaskuler Permanen untuk jangka

panjang dan menetap. Penggunaan Akses vaskuler ini dapat dilakukan melalui: Kanulasi

Femoralis (arteri atau vena), Kanulasi arteri brakhialis, dan Kanulasi dengan menggunakan

kateter HD non cuffed pada Vena sentral. Sedangkan Akses vaskuler Permanen, dipakai terus

menerus dan menetap untuk jangka waktu panjang. Ada tiga tipe Akses vaskuler yang dapat

dipakai jangka panjang untuk tindakan HD, yaitu: Arteriovenous Fistula/AVF, Arteriovenous
Grafts/ AVG dan Central Venous Catheter HD/CVC HD jenis Tunneled Cuffed double lumen

Catheter

1. Arteriovenous Fistula (AVF) /Cimino

a. Definisi

AVF/Cimino adalah tipe akses vaskular yang dibuat dengan cara menyambungkan

pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena melalui operasi pembedahan. Koneksi

antara vena dan arteri terjadi dibawah kulit pasien. Tujuan penyambungan ini adalah untuk

meningkatkan aliran darah vena pasien, sehingga aliran tersebut mampu dipakai untuk

mengalirkan darah pada saat tindakan hemodialisa. Peningkatan aliran darah dan tekanan

pada vena secara bertahap juga akan memperbesar dan mempertebal dinding vena, inilah

yang disebut dengan arterialisasi dinding vena. AVF disebut juga sebagai Cimino, karena

AVF ini pertamakali dilakukan pada tahun 1966, oleh Brescia-Cimino and Appel. Penyedia

layanan kesehatan merekomendasikan AVF dari jenis akses lain dikarenakan:

- Memberikan aliran darah yang lebih baik untuk dialisis

- Bertahan lebih lama dari akses lainnya

- Risiko terjadinya infeksi dan pembekuan darah lebih kecil dibandingkan dengan

akses lainnya.

Namun, disisi lain AVF memiliki kekurangan, yaitu :

- Kemungkinan bisa terjadi gagal maturasi

- Tidak dapat segera digunakan. Paling baik setelah 6-8 minggu

- Tidak semua pasien memiliki aliran yang adekuat


Gambar 2 Arteriovenous Fistula (AVF) /Cimino

b. Lokasi koneksi

Lokasi untuk AVF/Cimino adalah di radhiocephalic pada pergelangan tangan dan

brachiocephalic pada lipatan lengan. Dapat dilihat pada gambar 2.3 dan 2.4.

Gambar 3 Radiocephalic arteriovenous fistula


Gambar 4 Brachiocephalic arteriovenous fistula

c. Cara koneksi

Berikut beberapa cara koneksi pada AVF.

1. Side to end adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah vena

yang dipotong dengan sisi pembuluh darah arteri. Ditunjukkan oleh gambar 2.5.

Gambar 5 Side to end anastomosis

2. Side to side adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan sisi pembuluh darah

vena dengan sisi pembuluh darah arteri. Ditunjukkan pada gambar 6.


Gambar 6 Side to side anastomosis

3. End to end adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah vena

yang dipotong dengan pembuluh darah arteri yang juga dipotong. Ditunjukkan pada

gambar 7.
Gambar .7 End to end anastomosis

4. End to side adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah arteri

yang dipotong dengan sisi pembuluh darah vena. Ditunjukkan pada gambar 2.8.

Gambar 8 End to side anastomosis

2.5 Fistula Arteriovenosa

Untuk memulai proses HD diperlukan akses vaskular untuk mengalirkan darah dari tubuh

ke dalam dialyzer, dan setelah dilakukan dialisis lalu dikembalikan lagi ke dalam tubuh. 20 Akses
vaskular untuk HD sendiri ada yang bersifat permanen ataupun temporer. Berdasarkan laporan
Japanese Society for Dialysis Therapy pada tahun 2008, akses vaskular yang digunakan antara
lain FAV sebanyak 89.7%, graft arteriovenosa sebanyak 7.1%, superfisialisasi 1.8%,
penggunaan indwell catheter jangka panjang 0.5%, penggunaan kateter jangka pendek 0.5%,

dialisis jarum tunggal 0.2%, direct arterial puncture 0.1%, dan metode lainnya 0.1%.21

Akses vaskular berupa FAV merupakan akses pilihan untuk proses dialisis yang adekuat.
Hasilnya lebih baik untuk penderita jika dibandingkan dengan penggunaan graft maupun kateter.
Dari segi biaya, pemasangan dan perawatan FAV memerlukan biaya yang lebih murah jika
dibandingkan dengan akses vaskular lainnya. Di samping komplikasi infeksinya yang lebih
rendah, FAV juga dilaporkan memiliki tingkat mortalitas yang lebih rendah dibandingkan

dengan penggunaan akses vaskular lainnya.22


Besarab et al.23 menyatakan bahwa perawatan FAV jauh lebih rendah dibandingkan
dengan penggunaan graft. Akan tetapi, jika dilihat dari segi patensi jangka pendek dan tingkat
kegagalan di tahap awal, FAV memiliki nilai yang lebih jelek jika dibandingkan dengan
penggunaan graft.

Dalam tulisannya dikatakan bahwa tingkat kegagalan pada tahap awal pemasangan FAV
adalah dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pembuatan graft. Teknik
operasi dan skrining yang tepat sangatlah dibutuhkan dalam pemasangan FAV sebagai upaya
untuk meminimalisir angka kegagalan dini. Hal ini dibutuhkan karena FAV sebenarnya lebih
unggul dalam penggunaan jangka panjang dan dalam hal biaya jika dibandingkan dengan graft.

Fistula arteriovenosa juga bisa menimbulkan beberapa komplikasi seperti aneurisma

(51%), hipertensi vena (16.7%), infeksi (4.4%), trombosis (3.3%), dan steal syndrome (1.1%).24
Pemasangan FAV dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain dengan membuat
anastomosis antara arteri radialis dan vena sefalika (pirau Brescia-Cimino), arteri brachialis dan
vena sefalika, atau arteri brakialis dan vena basilika. Pirau Brescia-Cimino (FAV) merupakan
pilihan utama untuk akses vaskuler dan fistula brachio-cephalica menjadi pilihan kedua apabila

arteri dan vena yang akan dianastomosis tidak memenuhi persyaratan pembuatan fistula.24,25

Ates et al.26 dalam penelitiannya membandingkan jumlah komplikasi dari jenis


pemasangan akses vaskular yang dilakukan. Dari seluruh sampel yang diteliti, didapatkan
kejadian komplikasi pada FAV radiosefalika (Brescia-Cimino Shunt) sebesar 30.4%, pada FAV
brakiosefalika sebesar 74.7%, dan pada polytetrafluoroethylene graft (PTFE Graft) sebesar
66.9%. Jenis komplikasi dari teknik pemasangan pirau Brescia-Cimino berdasarkan penelitian ini
adalah trombosis (9.3%), hematoma (6.9%), aneurisma (4.0%), edema (3.8%), infeksi (3.3%),
dan steal syndrome (3.1%). Untuk FAV brakiosefalika, persentase kejadian komplikasinya
adalah aneurisma (22.7%), steal syndrome (19.3%), edema (18.6%), hematoma (5.9%),
trombosis (4.5%), dan infeksi (3.7%).

Fistula arteriovenosa sebagai akses vaskuler pilihan untuk HD memiliki kendala utama,

yakni tingginya tingkat kegagalan pada tahap awal pemasangannya.23 Oleh sebab itu dikatakan
bahwa sebelum melakukan pemasangan pirau Brescia-Cimino, pembuluh darah yang akan
dianastomosiskan perlu dievaluasi dengan menggunakan Doppler Ultrasound. Kandidat yang
baik untuk kesuksesan pemasangan FAV adalah jika diameter arteri radialis maupun vena
sefalika minimal 2 mm. Penggunaan arteri dan vena dengan diameter kurang dari 1,5 mm dapat

mengakibatkan kegagalan fistula.27 Angka patensi FAV di dalam literatur tampak sangat
bervariasi (Table 2). Untuk tahun pertama, angka patensi FAV berkisar dari 50% sampai 86%;
sedangkan untuk tahun kedua berkisar dari 51% sampai 80%.

Tabel 2. Angka Patensi Fistula Arteriovenosa

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi angka patensi FAV. Faktor- faktor
tersebut antara lain adalah DM, tekanan darah, indeks massa tubuh, laju aliran darah, serta teknik

penusukan pada lokasi anastomosis.34 Diabetes melitus, menurut para peneliti ini tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap patensi FAV.

Dalam penelitian ini meskipun terdapat kalsifikasi vaskular, tetapi tidak ditemukan
perbedaan yang ermakna antara diameter vaskular dan laju aliran darah pada penderita DM
maupun penderita normal. Akan tetapi, maturasi akses vaskular pada penderita DM terbentuk
lebih lama dengan kejadian steal syndrome yang lebih tinggi dibandingkan dengan penderita
normal.

Hipotensi pada akhir sesi dialisis dengan penurunan laju aliran darah memiliki dampak
yang buruk terhadap patensi FAV. Tekanan darah diastolik yang rendah memiliki hubungan
dengan kegagalan dini fungsi FAV. Hipertensi memiliki dampak jangka panjang terhadap
pembentukan arteriosklerosis yang dapat mengakibatkan penurunan laju aliran darah pada
anastomosis, sehingga memicu pembentukan trombus dengan akibat tidak dapat digunakannya
lagi FAV yang telah terpasang.

Teknik penusukan akses vaskuler juga berpengaruh pada angka patensinya. Penelitian

yang dilakukan oleh Struthers et al.35 menunjukkan bahwa teknik Rope Ladder dan teknik
Buttunhole memiliki efek yang berbeda terhadap penderita. Penusukan dengan teknik Buttunhole
lebih baik dalam hal mempertahankan ukuran fistula jangka panjang jika dibandingkan dengan
teknik Rope Ladder. Teknik Buttonhole akan mengurangi tingkat kejadian terbentuknya
aneurisma pada akses vaskular, dimana aneurisma merupakan komplikasi tersering (51%) yang

mengakibatkan kerusakan akses vaskular.24,35

2.4 Tipe-tipe Fistulo Arteriovenosa

2.4.1. Fistula Radiosefalika

Fistula radiosefalika pertama kali dibuat oleh Brescia pada tahun 1966

dengananastomosis arteri radialis dan vena sefalika pada pergelangan tangan.36 KDIQO
merekomendasikan fistula radiosefalika sebagai pilihan pertama, dimana kelebihan dari fistula
ini adalah komplikasi steal syndrome yang lebih rendah. Dengan menjadikan fistula
radiosefalika sebagai pilihan pertama, pembuluh darah yang lebih proksimal akan lebih terjaga
sehingga dapat digunakan sebagai cadangan apabila terjadi kegagalan maturasi. Posisi fistula
pada pergelangan tangan juga membuat pasien lebih nyaman. Fistula ini juga jarang memerlukan
tindakan superfisialisasi dan dapat mendilatasi vena-vena yang lebih proksimal sehingga

memudahkan proses pembuatan fistula lainnya. 37,38 Fistula radiosefalika memiliki beberapa
kelemahan yaitu kegagalan maturasi yang paling besar jika dibandingkan dengan FAV

lainnya.36,37 Selain itu fistula ini juga memiliki aliran darah yang lebih rendah jika

dibandingkan dengan fistula yang letaknya lebih proksimal.38


Gambar 8. Fistula

Radiosefalika

2.4.2 Fistula Brakiosefalika

Fistula ini dibuat dengan menghubungkan vena sefalika dengan arteri brakialis dengan

menggunakan anastomosis end-to-side.37 Fistula brakiosefalika merupakan pilihan kedua pada

pasien dengan pembuluh darah yang kurang baik atau gagal dengan fistula radiosefalika. 36-37
Fistula brakiosefalika dapat menjadi pilihan pertama pada populasi tertentu seperti usia tua,
diabetes melitus (DM), dan pasien dengan banyak komorbid. Hal ini disebabkan karena proporsi
fistula yang mencapai maturasi lebih banyak dengan patensi yang lebih baik jika dibandingkan

fistula radiosefalika.36,37

Kelebihan fistula ini adalah kemungkinan maturasi dan patensi yang lebih baik dari pada

fistula radiosefalika. Hal ini karena vena sefalika memiliki ukuran lebih besar dengan aliran
darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan vena pada lengan bawah. Lokasi yang berada di
lateral dan cukup superfisial juga memungkinkan prosedur kanulasi yang mudah. Kekurangan
dari fistula ini adalah kejadian steal syndrome yang lebih tinggi jika dibandingkan fistula
radiosefalika. Selain itu vena sefalika sering menjadi tempat flebotomi sehingga dapat terbentuk

stenosis maupun thrombosis yang menyebabkan fistula ini tidak dapat dibuat.36-38
Gambar 9. Fistula Bradiosefalika

2.4.3 Fistula Brakiobasilika

Fistula brakiobasilika merupakan pilihan hanya apabila fistula radiosefalika dan brakiosefalika

gagal ataun tidak dapat dibuat.37 Vena basilika lebih sulit dilakukan venipunksi sehingga lebih

terjaga dari perubahan akibat prosedur traumatik. 36 Pembuatan fistula ini memerlukan keahlian
yang lebih jika dibandingkan dengan fisula lain karena lokasinya yang dalam sehingga memiliki
angka morbiditas peri-operative, risiko hematoma, infeksi luka, dan pembengkakan lengan pasca

operasi yang lebih tinggi.37

Lokasi vena basilika yang dalam membuat prosedur elevasi dan transposisi diperlukan

agar vena ini dapat digunakan sebagai akses HD. 38 Fistula biasanya matur selama 4-8 minggu
lalu dilakukan operasi kedua untuk mengangkat fistula ke permukaan agar mudah dilakukan

kanulasi.36,38 Fistula ini memiliki kelebihan dalam hal maturasi dan patensi. Pada pasien
dengan DM, angka maturasi fistula ini lebih tinggi tiga kali lipat jika dibandingkan dengan
fistula radiosefalika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa fistula ini juga lebih unggul
dalam hal maturasi dari pada fistula brakiosefalika, akan tetapi penelitian belum jelas mengenai

patensi jika dibandingkan dengan brakiobasilika.37


Gambar 10.Fistula Brakiobasilika

Tabel 3. Tabel perbedaan keuntungan dan kerugian masing-masing tipe fistula


2.5 Komplikasi Fistula Arteriovenosa

2.5.1 Aneurisma

Aneurisma merupakan dilatasi pembuluh darah yang bersifat lokal, sedangkan true
aneurysm merupakan dilatasi dari seluruh dinding pembuluh darah, dan pseudoaneurism jika
dindingnya terdiri atas jaringan fibrosa atau trombus.

Definisi aneurisma menurut The Society for Vascular Surgery adalah dilatasi fokal dari
lapisan tunika intima, media dan adventisia pembuluh darah. Sedangkan definisi menurut
KDOQI adalah dilatasi abnormal dari dinding pembuluh darah yang berisi darah dari akibat
abnormalitas pada dinding pembuluh darah. Sampai saat ini tidak ada definisi baku untuk kriteria
dan klasifikasi dari aneurisma FAV. Valenti dkk mendefinisikan aneurisma FAV sebagai adanya
pembesaran segemen dari vena dengan diameter > 18 mm sedangkan Balaz dkk mendefinisikan
aneurisma sebagai dilatasi dari ketiga lapisan vena dengan diameter minimal 18 mm.38-39

Peningkatan aliran darah karena perbedaan tekanan pada sirkulasi arteri dan vena

menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah yang melewati fistula. Akibat peningkatan
tekanan dan aliran darah, vena akan mengalami distensi kearah lateral dan distal, dimana proses
ini merupakan proses maturasi FAV yang alamiah. Kanulasi berulang akan menyebabkan
degenerasi dinding pembuluh darah, selain itu peningkatan tekanan karena stenosis, maupun
adanya predisposisi genetik akan menyebabkan terbentuknya aneurisma. Aneurisma juga dapat
terbentuk pada FAV yang tidak pernah digunakan, disebabkan oleh hipertensi yang tidak
terkontrol, dimana proses ini akan terjadi dalam bulan hingga tahun pasca terbentuknya FAV.39

Walaupun demikian, kebanyakan dari aneurisma yang terbentuk adalah kombinasi antara

aneurisma dan pseudoaneurisma, yang biasanya timbul akibat tusukan berulang yang
melemahkan dinding pembuluh darah.24 Selain itu masih tidak adanya keseragaman definisi dari
true aneurysm, false aneurysm dan pseudoaneurisma membuat angka kejadian aneurisma yang
sebenarnya sulit diketahui.6 Pada pemeriksaan fisis, aneurisma tampak sebagai dilatasi vena yang
terlokalisir maupun menyeluruh dan pada USG doppler ditemukan adanya dilatasi dari seluruh
pembuluh darah, selain itu dapat pula ditemukan stenosis atau trombus.39
Ukuran saja bukan merupakan indikasi untuk tindakan operatif. Prosedur kanulasi

berulang akan menyebabkan lapisan kulit menjadi fibrotik bahkan nekrosis sehingga
meningkatkan resiko ruptur. Erosi kulit, ulserasi, atau perdarahan merupakan indikasi
dilakukannya tindakan operasi. Tindakan yang biasa dilakukan adalah ligasi fistula dilanjutkan
dengan pembuatan fistula baru dengan vena yang berbeda.39

Pencegahan merupakan terapi terbaik untuk aneurisma. Teknik kanulasi yang baik akan

mencegah terbentuknya aneurisma.39 Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan rotasi


tempat tusukan dan menghindari tusukan pada tempat yang mengalami dilatasi. Selain itu
aneurisma harus dimonitor setiap sesi HD untuk melihat tanda-tanda penipisan kulit, lapisan
kulit yang nekrotik, atau pembesaran aneurisma dengan cepat.39,40

Terdapat beberapa faktor yang merupakan faktor risiko kejadian aneurisma. Kelemahan

dinding pembuluh darah yang dapat bersifat kongenital ataupun aquired akibat perubahan
degeneratif pada dinding pembuluh darah karena proses inflamasi lokal. 38 Aneurisma yang
terbentuk merupakan kombinasi dari perubahan fisiologis, akibat pembuatan fistula, dan
perubahan patologis yang terjadi setiap kali pasien menjalani HD.39

Faktor yang mengakibatkan terbentuknya aneurisma antara lain adalah durasi follow up,
kanulasi berulang, teknik kanulasi, lokasi fistula (lokasi yang lebih proksimal memiliki resiko
yang lebih tinggi untuk terbentuknya aneurisma), hematoma tusukan, dan infeksi FAV. Faktor
pasien yang berperan antara lain usia, DM, penyakit vaskular perifer, hipertensi, dislipidemia,
deposisi kolagen abnormal pada pembuluh darah akibat uremia, penyakit kolagen kongenital
seperti sindroma Alport, dan adult polycystic kidney disease juga dilaporkan memiliki
kecenderungan terbentuk aneurisma.

Aneurisma juga dapat terbentuk pada FAV yang tidak pernah digunakan, disebabkan oleh
hipertensi yang tidak terkontrol, dimana proses ini akan terjadi dalam bulan hingga tahun pasca
terbentuknya FAV. Pada daerah yang belum pernah dikanulasi, aneurisma dapat terjadi akibat
terjadi akibat shear stress yang abnormal.Rerata waktu kejadian terbentuknya aneurisma FAV
adalah berkisar antara 3-4 tahun.39Terada dkk melaporkan pada penelitian mereka bahwa
beberapa faktor penyebab terbentuknya aneurisma maupun pseudoaneurisma vena adalah
kesalahan pada teknik anastomosis, injeksi berulang, trauma pada sisi masuk, dan infeksi.39

Proses terjadinya aneurisma pada FAV sudah dimulai sejak akses tersebut dibuat. Vena
sefalika dan arteri brakialis akan mengalami peningkatan ukuran diameter dalam waktu 8
minggu pasca operasi. Fistula arteriovenosa akan menyebabkan peningkatan gradien tekanan
yang besar antara arteri inflow yang bertekanan besar dan vena outflow yang memiliki resistensi
rendah, membuat aliran darah meningkat dan masuk kedalam fistula. Kombinasi antara resistensi
outflow vena yang rendah dan kemampuan dinding vena untuk melebar membuat vena yang
telah berubah menjadi arteri, dapat menghasilkan aliran yang tinggi tetapi dengan gradien
tekanan yang rendah. Hal ini akan menyebabkan vena yang telah menerima tekanan dari arteri,
akan menjadi melebar kearah lateral dan distal, tetapi tidak secara aksial, sehingga berberbentuk
meliuk-liuk.39

Selain itu, salah satu efek dari peningkatan aliran darah di vena adalah terjadinya
remodeling dari dinding vena.38 Aliran darah yang tinggi melewati fistula akan menyebabkan
terbentuknya shear force yang akan menyebabkan kerusakan dari serabut elastis pada lapisan
intima pembuluh darah yang akan menyebabkan terjadinya remodeling kearah luar dan dilatasi
yang terjadi perlahan sehingga terjadi peningkatan ukuran kaliber lumen pembuluh darah dimana
proses ini akan menyebabkan pembesaran ukuran vena. Aliran yang tinggi ditambah dengan
shear force dari dari proses dialisis akan menyebabkan kerusakan jaringan pada dinding vena.
Kerusakan dinding vena akan menyebabkan perubahan jaringan menjadi jaringan kolagen yang
sifatnya inferior sehingga terbentuk aneurisma. Sekali terbentuk, aneurisma akan mengalami
progresi secara spontan dikarenakan tekanan pada dinding pembuluh darah akan menjadi
semakin tinggi seiring dengan penambahan ukuran aneurisma.39

Stenosis terutama pada vena sentral, yang biasanya disebabkan oleh karena pemasangan

kateter vena sentral dalam jangka waktu lama, akan menyebabkan peningkatan tekanan pada
vena, sehingga mempercepat pembentukan aneurisma.38
Kanulasi merupakan salah satu prosedur dasar namun sangat penting. Seorang pasien HD
kronis memerlukan setidaknya 312 kali tusukan pertahun, sehingga memungkinkan terbentuknya
komplikasi kronis akibat prosedur kanulasi.Sebagai akibat dari tusukan berulang yang terjadi
setiap sesi HD, akan terjadi kerusakan jaringan lokal, trauma, inflamasi, dan dapat terjadi infeksi,
yang akan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.Jaringan fibrosis yang timbul
sebagai respon perbaikan jaringan akan menyebabkan terbentuknya pembesaran fistula dan
terbentuknya aneurisma. Selain itu stenosis yang terjadi pada dinding pembuluh darah akan

memudahkan terbentuknya aneurisma.39

Pseudoaneurisma merupakan dilatasi yang pulsatile atau semakin membesar yang

dikarekan adanya perdarahan subkutan yang disebabakan oleh karena adanya kehilangan
kontinuitas dari dinding pembuluh darah. Pseudoaneurisma biasanya disebabkan karena kesalah
terutama pada proses kanulasi, dimana proses kanulasi berulang pada satu titik yang sama akan
menyebabkan kelemahan dan kehilangan kontinuitas dari dinding pembuluh darah vena sehingga
terbentuk pseudoaneurisma.40 Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan
teknik kanulasi yang tepat seperti teknik rope ladder ataupun buttonhole dengan jarum tumpul.40

2.5.2 Trombosis

Hubungan antara trombosis AVF/AVG dan kematian. Sebagian besar trombosis

AVF/AVG ditemukan terkait dengan mortalitas yang tinggi, khususnya untuk semua penyebab

awal dan mortalitas CV setelah trombosis. Sebagai catatan, hubungan dengan peningkatan risiko

kematian jangka panjang, sementara dikurangi, juga bertahan bahkan dalam kasus pemulihan

AVF/AVG cepat yang dilakukan dalam penundaan 7 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa

trombosis AVF/AVG harus dipertimbangkan sebagai kejadian klinis utama. Selain itu, perhatian

khusus mungkin harus diberikan pada waktu restorasi AVF/AVG serta manajemen jangka

pendek dan menengah dari pasien ini setelah trombosis AVF/AVG. 41


Dalam pedoman internasional, pencegahan disfungsi VA direkomendasikan untuk

menghindari underdialysis serta untuk mencegah trombosis. Uji klinis telah menilai dampak

pengawasan VA aktif dan intervensi pencegahan untuk stenosis VA pada kelangsungan hidup

VA, tetapi tidak pada kelangsungan hidup pasien . Meskipun demikian, dua penelitian besar

telah melaporkan bahwa konversi dari VA permanen ke kateter dikaitkan dengan peningkatan

mortalitas, sehingga secara tidak langsung menunjukkan dampak VA.kegagalan pada kematian.

Studi ini sesuai menunjukkan hubungan yang kuat dari trombosis VA pada kelangsungan hidup

pasien .

Trombosis akses vaskular dikaitkan dengan peningkatan mortalitas: hipotesis

patofisiologis Berbagai mekanisme dapat menjelaskan kelangsungan hidup jangka pendek yang

buruk setelah trombosis VA, termasuk kelainan hidroelektrolitik terkait dengan ketidakmampuan

untuk melakukan sesi dialisis, kebutuhan akan kateter sementara, komplikasi yang terkait dengan

penempatan kateter sentral serta prosedur revaskularisasi. Komplikasi utama angioplasti

endovaskular dan trombektomi termasuk ruptur vena, emboli paru dan embolisasi arteri perifer .

Namun, tingkat komplikasi yang dilaporkan rendah, dengan tingkat keparahan ringan pada

sebagian besar kasus. Komplikasi langsung seperti itu kemungkinan besar tidak bertanggung

jawab atas peningkatan mortalitas CV jangka panjang yang diamati dalam penelitian ini. 41

Penggunaan jangka panjang dari kateter sentral sebagai VA merupakan faktor yang

terkenal terkait dengan peningkatan risiko kematian dalam dialisis. Yang penting, mengingat

bahwa peningkatan risiko kematian diamati bahkan dalam kasus pemulihan VA cepat atau segera

(<7 hari), hubungan antara kegagalan VA dan kematian akan menunjukkan bahwa yang terakhir
bukan semata-mata konsekuensi dari ketidakmampuan dialisis jangka panjang atau dampak

buruk penggunaan kateter sentral jangka panjang sebagai VA .41,42

Trombosis VA kemungkinan merupakan penanda risiko, yaitu konsekuensi dari faktor

risiko yang belum diidentifikasi, terkait dengan hasil CV yang buruk. Peningkatan aktivasi

koagulasi telah diamati pada pasien dialisis dan mungkin sebagian terlibat dalam komplikasi VA.

Trombosis VA juga diduga terkait dengan kondisi patologis sistemik, seperti yang disoroti oleh

penurunan kadar albumin serum dan penurunan berat badan, yang dapat menyebabkan

peningkatan mortalitas CV. Namun, hs-CRP, yang sebelumnya terbukti menjadi prediktor kuat

dari hasil CV, tidak terkait dengan trombosis VA dalam kasus ini..41

Trombosis AVF/AVG sangat terkait dengan peningkatan semua penyebab dan mortalitas
CV pada pasien yang menjalani HD pemeliharaan, terutama dalam 90 hari pertama setelah
kejadian dan ketika akses dipulihkan >7 hari setelah trombosis. Akibatnya, klinisiharus
memberikan perhatian khusus pada waktu restorasi VA serta manajemen pasien ini setelah
restorasi VA. Dalam semua kasus, trombosis AVF harus dianggap sebagai peristiwa klinis
utama. Relevansi klinis dari penargetan risiko pasien secara keseluruhan dengan pengobatan
yang lebih agresif setelah restorasi VA memerlukan eksplorasi lebih lanjut dalam uji coba
khusus.41

2.5.3 Infeksi

Infeksi fistula arteriovenosa sering dikenali secara klinis. Tanda dan gejala infeksi lokal

mungkin termasuk salah satu dari berikut: nyeri, iritasi, nyeri tekan, kemerahan, kehangatan,

pembengkakan difus atau lokal, cairan serosa atau purulen, dan kerusakan kulit. Kurangnya

tanda dan gejala tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi yang tidak terdeteksi secara
klinis, terutama dalam kasus sepsis yang tidak dapat dijelaskan, leukositosis, atau demam yang

tidak diketahui asalnya.42

Penatalaksanaan harus mencapai keseimbangan antara upaya penyembuhan bakteriologis

dan pelestarian situs akses vena.Dalam melakukannya, sangat penting untuk mengenali tanda

dan gejala infeksi terkait cangkok sejak dini ketika mungkin dapat menerima terapi dengan

antibiotik sistemik dan tindakan lokal. Banyak infeksi lokal dari tempat insersi arteriovenosa

dapat disembuhkan dengan terapi medis agresif dini tanpa menggunakan eksisi.

Namun, pembentukan abses di dekat tempat insersi , drainase purulen dari infeksi yang

membedah ke bahan dan pelebaran aneurisma yang terinfeksi memerlukan eksisi bedah cangkok

atau segmennya. Hal ini terutama benar ketika sumber bakteremia adalah infeksi cangkok PTFE

yang jelas. Ini adalah pengalaman pribadi kami bahwa eksisi konservatif dari segmen yang

terinfeksi dari cangkok PTFE dikaitkan dengan tingginya tingkat infeksi berulang yang

memerlukan eksisi cangkok total. Oleh karena itu, observasi dan tindak lanjut yang cermat

diperlukan ketika tindakan bedah konservatif digunakan.42

Ketika bakteremia terjadi tanpa adanya tanda-tanda klinis infeksi cangkok, infeksi

cangkok arteriovenosa diam mungkin tidak terdeteksi. Episode tersebut mungkin lebih umum

daripada apa yang umumnya dihargai dan dapat menjelaskan tingginya angka bakteremia

berulang pada pasien dengan cangkok sintetis .

Demam pada pasien HD mungkin memiliki berbagai etiologi, dan terapi antimikroba

harus disesuaikan . Ketika sumber demam diduga karena akses HD , terapi antimikroba harus
andal mencakup spesies gram positif (termasuk S. aureus yang sensitif methicillin), karena
organisme ini menyumbang sekitar dua pertiga dari Bakteremia terkait akses HD. Enterococci
dan organisme gram negatif merupakan mayoritas bakteremia yang tersisa, dan terapi

antimikroba harus menargetkan organisme ini juga. Berdasarkan data yang disebutkan
sebelumnya, maka untuk mengobati pasien HD dengan demam kecurigaan mengarah infeksi
secara empiris dengan kombinasi vankomisin parenteral ditambah gentamisin.41

2.5.4 Stenosis

Disfungsi akses hemodialisis merupakan masalah utama bagi pasien yang menjalani

hemodialisis. Hal ini umumnya karena stenosis vena, yang mengurangi aliran dalam akses

arteriovenosa hemodialisis, sehingga menyebabkan dialisis yang buruk. Fistula cenderung

berkembang menjadi stenosis paling sering baik di lokasi juksta-anastomosis dan vena aliran

keluar. Stenosis vena perifer adalah penyebab paling umum dari disfungsi fistula arteriovenosa

dan dapat menyebabkan trombosis akses. Pengobatan lini pertama stenosis harus angioplasti

balon. Penempatan stent di vena perifer umumnya tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan

khusus. Stenosis vena dalam daerah perianastomosis adalah penyebab utama disfungsi akses

vaskular . Mekanisme dasar yang mendasari stenosis vena adalah hiperplasia neointimal karena

produksi sitokin, proliferasi sel, dan pembentukan pembuluh mikro . Hal ini dipicu oleh tekanan

intraluminal yang tinggi, aliran darah turbulen, kalsifikasi vaskular, cedera endotel, dan

peningkatan kadar fibronektin . Perkembangan stenosis fistula AV juga dipengaruhi oleh

kapasitansi vena, teknik pembedahan, dan lokasi fistula AV.42

Pada pasien hemodialisis, fistula AV asli adalah akses vaskular pilihan karena patensi

superior dan tingkat komplikasi yang rendah. Stenosis vena itu sendiri tidak menyebabkan

kehilangan darah tetapi dapat diperumit oleh pembentukan aneurisma dengan ruptur dan

kehilangan darah berikutnya.


Aneurisma diamati dalam segmen vena postanastomosis pertama dengan adanya stenosis

yang relevan secara hemodinamik pada posisi juksta-anastomosis Terapi pilihan adalah

anastomosis AV baru menggunakan segmen vena yang sehat yang terletak beberapa sentimeter

lebih proksimal, tetapi sedekat mungkin dengan yang sebelumnya. anastomosis mungkin, untuk

mempertahankan area maksimum untuk kanulasi.42

2.5.5 Trauma

Trauma paling umum pada fistula AV adalah kanulasi jarum berulang selama dialisis.

Teknisi dialisis dan pasien diajarkan untuk memutar tempat penyisipan jarum selama setiap

dialisis. Kanulasi yang tepat adalah keterampilan penting dan mendasar yang harus dikuasai oleh

setiap perawat hemodialisis. Kanulasi pertama harus dilakukan oleh perawat yang memiliki

keahlian yang hebat.

Untuk mengurangi waktu perdarahan setelah penarikan jarum, semua fistula AV

superfisial harus dikanulasi pada sudut 25 derajat . Ada 3 teknik kanulasi yang berbeda yang

meliputi tangga tali, lubang kancing, dan tusukan area.

Tempat tusukan tersebar di sepanjang akses vaskular, mulai dari distal, dan berlanjut ke

proksimal. Ini adalah metode yang paling populer. Teknik lubang kancing terdiri dari menusuk

situs yang sama, dalam arah yang sama dan pada sudut dan kedalaman yang sama. Beberapa

tusukan awal dibuat menggunakan jarum tajam dan setelah saluran terbentuk, jarum tumpul

digunakan. Teknik tusukan area melibatkan penyisipan jarum dalam area fistula yang terbatas.

Teknik ini dikaitkan dengan lebih banyak komplikasi seperti pembentukan aneurisma, penipisan

kulit di tempat tusukan, peningkatan risiko perdarahan di sepanjang jarum, dan waktu perdarahan

yang lebih lama setelah penarikan jarum .43


Bagian standar dari pengajaran pasien harus mengenai penanganan perdarahan

interdialitik yang mencakup kompresi dengan kain bersih dan memanggil fasilitas dialisis untuk

instruksi. Mereka juga harus diinstruksikan untuk pergi ke Ruang Gawat Darurat atau menelepon

911 untuk pendarahan yang lebih parah dan tidak terkendali. Semua pasien harus diajari untuk

mengompres akses pendarahan, mencuci kulit di atas akses dengan sabun dan air setiap hari dan

sebelum dialisis, dan juga mengenali tanda dan gejala infeksi. Semua pasien harus tahu untuk

menghindari membawa barang berat yang menutupi lengan akses, menghindari memakai

pakaian oklusif, memakai pakaian pelindung di atas vena fistula yang terbuka jika bekerja di

sekitar mesin atau alat tajam.43

2.5.6 Gangguan agregasi trombosit

Abnormalitas biokimia trombosit pada senyawa ADP dan serotonin bersama dengan

tromboksan A2 menyebabkan agregasi trombosit yang rusak dapat berkontribusi pada

peningkatan kecenderungan perdarahan pada pasien dialisis . Jumlah trombosit biasanya tidak

cukup rendah untuk menyebabkan peningkatan perdarahan.

Perubahan faktor 8 dan faktor Von Willebrand juga dapat memainkan peran penting

seperti halnya anemia dengan menyebabkan agregasi trombosit yang rusak seperti yang

ditunjukkan oleh penelitian in vitro. Hemodialisis meningkatkan komplikasi hemostatik ini tetapi

penggunaan heparin selama dialisis dapat menjadi faktor penyebab peningkatan kecenderungan

perdarahan dari situs akses dialisis termasuk perdarahan petekie, lepuh darah, ekimosis, dan

hematoma. Hal ini tidak biasa untuk kehilangan darah akses akut terjadi karena koagulopati yang

mendasari meskipun secara teoritis dapat memperpanjang perdarahan dari alasan lain.43
Agen antiplatelet, seperti dipyridamole dan aspirin dosis rendah dengan atau tanpa

sulfinpyrazone, aspirin plus clopidogrel, telah dipelajari dalam upaya untuk mengurangi

trombosis graft tetapi bukti yang bertentangan ada dalam hal ini dan tidak ada rekomendasi nyata

untuk penggunaan agen antiplatelet untuk mencegah trombosis cangkok. Dalam satu uji klinis,

peran aspirin ditambah clopidogrel versus plasebo ganda dipelajari dalam mencegah trombosis

cangkok, tetapi penelitian dihentikan karena peningkatan risiko perdarahan yang nyata di antara

mereka yang menerima terapi aktif .Pada akhir penelitian, terapi antiplatelet ganda tidak

dikaitkan dengan manfaat yang signifikan dalam mencegah trombosis. Demikian pula,

pemberian warfarin tidak meningkatkan kelangsungan hidup cangkok dan berhubungan dengan

perdarahan yang signifikan.43

2.5.7 Gagal Jantung kongestif

Beberapa faktor telah dikaitkan dengan perkembangan HOCF pada pasien HD. Ini

termasuk lokasi (AVF lengan atas dengan anastomosis arteri brakialis), jenis kelamin pria dan

ekspansi volume . Penentuan hubungan yang tepat antara AVF dan disfungsi jantung telah

terbukti bermasalah karena pengamatan bahwa pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir

selalu memiliki tingkat kelebihan volume sekunder untuk retensi garam dan air . Faktor

peracikan yang mendasari menambah penghinaan terhadap cedera dan termasuk beban tekanan

karena sklerosis arteri, meningkat curah jantung (CO) sekunder untuk anemia dan hipertensi .

Selanjutnya, sebagian besar pasien HD mungkin memiliki penyakit jantung struktural

bersamaan. Terlepas dari perangkap ini, beberapa seri menggambarkan fungsi jantung yang

memburuk setelah pembentukan AVF yang dapat menunjukkan hubungan penyebab .44

Gagal jantung kongestif (CHF) diketahui terkait dengan ESRD. Perubahan patofisiologi
yang melibatkan aktivasi kronis sistem renin-angiotensin-aldosteron dengan konsekuensi retensi
garam dan air berkontribusi pada remodeling ventrikel progresif dan disfungsi jantung [6].
Memang, sebagian besar pasien ESRD telah mengalami CHF sebelum inisiasi dialisis dan pasien
ESRD dengan PJK bersamaan membuat prognosis yang lebih buruk. Efek hemodinamik AVF
dipelajari pada pasien yang mengalami AVF traumatis dan ini dikaitkan dengan peningkatan CO
[4]. Studi perintis pada pertengahan 1940-an menemukan bahwa pasien dengan AVF besar

mengalami peningkatan CO dan hal ini berkurang dengan kompresi AVF . .44

Belakangan diketahui bahwa fistula membentuk sirkuit resistansi rendah bertekanan


rendah dalam konteks sistem arteri perifer bertekanan tinggi dan resistansi tinggi. Oleh karena
itu, shunting aliran dari sistem arteri dengan resistensi tinggi ke sistem vena dengan resistensi
yang lebih rendah sesuai dengan peningkatan aliran balik vena dan konsekuensial peningkatan
CO. Selanjutnya, AVF dapat menurunkan impendensi arteri yang dapat berkontribusi pada
pengurangan volume sirkulasi efektif dengan aktivasi konsekuensial dari baroreseptor dan tonus
simpatis. Efek bersih dari perubahan tersebut menghasilkan CO suprafisiologis. Dalam satu studi
kehadiran AVF dikaitkan dengan pelebaran jantung . Pasien transplantasi ginjal dengan AVF
yang berfungsi mengalami peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV) (53 vs.
49 mm; P<0,01) dibandingkan dengan mereka yang tidak. Beberapa penelitian telah melaporkan
dampak AVF pada indeks ekokardiografi yang sesuai dengan fungsi jantung. Temuan konsisten
yang melibatkan peningkatan kontraktilitas dan CO terjadi dalam waktu singkat setelah
konstruksi AVF. Dalam beberapa laporan, parameter pengisian diastolik terganggu dan AVF
dapat berhubungan dengan peningkatan 15-20% CO. Beberapa penulis menyarankan bahwa
dekompensasi jantung pada ESRD dan AVF terjadi sebagai akibat dari penyakit kardiovaskular
yang mendasarinya; meskipun ada bukti yang muncul bahwa pembuatan AVF dapat
menghadirkan faktor risiko independen untuk CHF de novo. Dalam sebuah studi observasional
dari 562 pasien penciptaan AVF lebih prediktif perkembangan gagal jantung dekompensasi

daripada riwayat CHF sebelumnya (OR 9,54 vs 2,52). .44

VF berkontribusi pada remodeling LV berdasarkan peningkatan massa dan diameter


dinding, yang mungkin sekunder dari peningkatan CO. Hubungan ini mungkin tidak tergantung
pada aktivasi kronis yang mendasari RAAS, karena pasien yang telah menjalani transplantasi
ginjal mungkin memiliki hipertrofi LV persisten dalam konteks dari AVF fungsional residual.
Selanjutnya, ligasi AVF pasca transplantasi telah dikaitkan dengan regresi hipertrofi LV yang
signifikan. Apakah ini mengarah pada pengurangan kejadian kardiovaskular yang merugikan
masih harus dilihat. Protein keluarga sirtuin, yang merupakan histone deacetylases, telah terlibat
dalam berbagai proses fisiologis dan patologis, termasuk penuaan, resistensi stres dan
peradangan. Gen Sirtuin-1 (Sirt 1) endogen mungkin memiliki peran penting dalam patogenesis
gagal jantung, dan pada model hewan, ekspresi berlebihan Sirt1 memiliki efek perlindungan
terhadap mitigasi stres oksidatif. Lebih lanjut, perubahan epigenetik dari keluarga gen ini dapat
terlibat dalam penyakit kardiovaskular dan diabetes sehingga dapat menjadi area potensial untuk

terapi yang ditargetkan. .44

ESRD mewakili proporsi yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia.
AVF tetap menjadi pilihan manajemen vital pada individu yang tidak layak atau menunggu KT.
Meskipun AVF ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien, sayangnya sebagian dari
populasi ini berisiko HOCF karena konstruksi AVF. Pengembangan dan penerapan skrining
standar termasuk parameter ekokardiografi dan mengevaluasi mereka yang memiliki penyakit
jantung sebelumnya, sangat penting untuk mengidentifikasi pasien HD dengan risiko HOCF
tertinggi. Model komputasi untuk memprediksi Qa setelah AVF sedang dalam pengembangan
dan dapat menjadi bagian mendasar dari skrining, karena dapat membantu dokter dalam
menetapkan akses vaskular yang paling sesuai. Selain itu, evaluasi lebih lanjut dari rasio
aliran/curah jantung dapat membantu stratifikasi risiko yang lebih baik dan mengelola pasien

dengan risiko lebih tinggi.44


BAB III

KESIMPULAN

Jumlah penderita PGK di Indonesia terlihat semakin meningkat. Angka pertumbuhannya


diperkirakan mencapai sekitar 20% setiap tahunnya. Beberapa faktor risiko yang menjadi
penyebab PGK telah diketahui seperti usia, gagal jantung, sirosis hepatis, glomerulonefritis
kronik, DM, SLE, polikistik, pielonefritis, nefrolitiasis, nefrosklerosis, dan obstruksi traktus
urinarius. Terbatasnya jumlah donor ginjal untuk transplantasi dan tingginya komplikasi yang
mungkin terjadi akibat peritoneal dialisis membuat HD cenderung menjadi pilihan yang utama
apabila fungsi ginjal penderita sudah sangat menurun. Akses vaskuler yang paling banyak
digunakan untuk HD rutin adalah pemasangan FAV. Kelebihan dan kekurangannya telah dibahas
di dalam berbagai penelitian. Secara keseluruhan angka patensinya tampak sangat bervariasi
antar peneliti

Dalam beberapa penelitian jumlah komplikasi dari jenis pemasangan akses vaskular
fistula yang dilakukan. Dari seluruh sampel yang diteliti, didapatkan kejadian komplikasi pada
FAV radiosefalika (Brescia-Cimino Shunt) sebesar 30.4%, pada FAV brakiosefalika sebesar
74.7%, dan pada polytetrafluoroethylene graft (PTFE Graft) sebesar 66.9%. Jenis komplikasi
dari Teknik pemasangan AV Fistula berdasarkan penelitian ini adalah trombosis (9.3%),
hematoma (6.9%), aneurisma (4.0%), edema (3.8%), infeksi (3.3%), dan steal syndrome (3.1%).
Untuk FAV brakiosefalika, persentase kejadian komplikasinya adalah aneurisma (22.7%), steal
syndrome (19.3%), edema (18.6%), hematoma (5.9%), trombosis (4.5%), dan infeksi (3.7%).
Maka dari itu , dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahi tatalaksana yang tepat
mengenai komplikasi dari pemasangan AV Fistula pada Pasien yang menjalani Hemodialisis.

REFERENSI

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (Balitbangkes). Laporan hasil riset kesehatan dasar
(Riskesdas) Indonesia tahun 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010.

2. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. (Editors). Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid II, Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014:2159-62.

3. Prodjosudjadi W, Suhardjono, Suwitra K, Pranawa, Widiana IG, Loekman JS, et al. Detection and
prevention of chronic kidney disease in Indonesia: Initial community screening. Nephrology (Carlton)
2009;14(7):669-74.

4. Corrigan RM. The experience of the older adult with end-stage renal disease on hemodialysis. Thesis,
Queen’s University, Canada, 2011.

5. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 7th Report of Indonesian Renal Registry 2014,2014:2-5.

6. Mortaz SS, Davati A, Ahmadloo MK, Taheri HR, Golfam F, Tavakoli A, et al. Evaluation of patency
of arteriovenous fistula and its relative complications in diabetic patients. Urology Journal
2013;10(2):894-7.

7. Erkut B, Ünlü Y, Ceviz M, Becit N, Ate ş A, Ҫolak A, et al. Primary arteriovenous fistulas in the
forearm for hemodialysis: Effect of miscellaneous factors in fistula patency. Renal Failure 2006;28:275-
81.

8. Brescia MJ, Cimino JE, Appel K, Hurwich BJ. Chronic hemodialysis using venipuncture and a
surgically created arteriovenous fistula. N Engl J Med 1966;275:1089-92.

9. National Kidney Foundation K/DOQI clinical practice guidelines for vascular access. Am J Kidney Dis
2006;48(1)Suppl 1:S176-274.

10. Masengu A & Hanko J. Patient factors and hemodialysis arteriovenous fistula outcomes. J V asc
Access 2017;18(Suppl 1):19-23.
11. Allon M, Robbin ML. Increasing arteriovenous fistulas in hemodialysis patients: problems and
solutions. Kidney Int 2002;62(4):1109-24.

12. Dember LM, Beck GJ, Allon M, Delmez JA, Dixon BS, Greenberg A, et al. Effect of clopidogrel on
early failure of arteriovenous fistulas for hemodialysis: a randomized controlled trial. JAMA
2008;299(18):2164- 71.

13. Wilson LM. Gagal ginjal kronik. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-
proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2006:912-7.

14 Tao L & Kendall K. Sinopsis organ sistem ginjal. Jakarta: Karisma Publishing Group;2013:154.

15 Joanne M, Bargman, Skorecki K. Chronic kidney disease. In: Kasper D, Fauci A, Hauser S, et al.
(Editors). Harrison’s principle of internal medicine. 2 nd Vol. 19th Edition. USA: McGraw-Hill Education;
2015:1811-21.

16. Spiegel D & Moore R. The patient receiving chronic renal replacement with dialysis. In: Manual of
nephrology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2009:194- 203.

17. Depner TA. Hemodialysis adequacy: Basic essentials and practical points for the nephrologist in
training. hemodial int. 2005;9:241-54.

18. Septiwi C. Hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan kualitas hidup pasien hemodialisis di unit
hemodialisis RS Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia, 2010.

19. Carpenter CB & Lazarus JM. 2000. Dialisis dan transplantasi dalam terapi gagal ginjal. Dalam:
Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-13. Jakarta: EGC;2000:1443-54.

20. Sukandar E. Gagal ginjal dan panduan terapi dialisis. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD; 2006:162-73.

21. Kukita K, Ohira S, Amano I, Naito H, Azuma N, Ikeda K, et al. 2011 update Japanese Society for
dialysis therapy guidelines of vascular access construction and repair for chronic hemodialysis. Ther
Apher Dial. 2015;19(S1):1-39.

22. McGrogan DG, Maxwell AP, Inston NG, Krishnan H, Field M. Preserving arteriovenous fistula
outcomes during surgical training. J Vasc Access 2014;15(6):474-80.

23. Besarab A, Allon M, Robbin ML. Resolved: fistulas are preferred to grafts as initial vascular access
for dialysis. J Am Soc Nephrol. 2008;19(9):1629-33.

24. Ganie FA, Lone H, Dar AM, Lone GN, Wani ML. Native arterio-venous fistula is the vascular access
of choice for hemodialysis in end stage renal disease. Int Cardiovasc Res J. 2013;7(2):67-70.

25. Malovrh M. V ascular access for hemodialysis: arteriovenous fistula. Ther Apher Dial.2005;9(3):214-
7.
26. Ates A, Ozyazicioglu A, Yekeler I, Ceviz M, Erkut B, Karapolat S, et al. Primary and secondary
patency rates and complications of upper extremity arteriovenous fistulae created for hemodialysis.
Tohoku J Exp Med. 2006;210(2):91-7.

27. Kordzadeh A, Chung J, Panayiotopoulos YP. Cephalic vein and radial artery diameter in formation
of radiocephalic arteriovenous fistula: A systematic review. J Vasc Access. 2015;16(6):506-11.

28. Juan A, Armadans L, Eugenio F. The function of permanent vascular access. Nephrol Dial Transpl.
2000;5:402-8.

29. Kazemzadeh GH, Modaghegh MHS, Ravari H, Daliri M, Hoseini L, Nateghi M. Primary patency rate
of native AV fistula: Long term follow up. Int J Clin Exp Med. 2012;5(2):173-8.

30. Tsuchida K, Nagai K, Yokota N, Okada D, Muromiya Y, Suenaga T, et al. Simple surgical method
for a native arteriovenous fistula of chronic hemodialysis patients and the patency rate. J V asc Access
2015;16(Suppl 10):S13-7.

31. Dixon BS, Novak L, Fangman J. Hemodialysis vascular access survival: upper-arm native
arteriovenous fistula. Am J Kidney Dis 2002:39:92-101

32. Fitzgerald JT, Schanzer A, Chin AI, McVicar JP, Perez R V, Troppmann C. Outcomes of upper arm
arteriovenous fistulas for maintenance hemodialysis access. Arch Surg. 2004;139(2):201-8.

33. Al-Jaishi AA, Oliver MJ, Thomas SM, Lok CE, Zhang JC, Garg AX, et al. Patency rates of the
arteriovenous fistula for hemodialysis: a systematic review and meta-analysis. Am J Kidney Dis.
2014;63(3):464-78.

34. Smith GE, Gohil R, Chetter IC. Factors affecting the patency of arteriovenous fistulas for dialysis
access. J Vasc Surg 2012;55:849-55.

35. Struthers J, Allan A, Peel RK, Lambie SH. Buttonhole needling of ateriovenous fistulae: a
randomized controlled trial. ASAIO J. 2010;56(4):319-22.

36. Hammes M. Hemodialysis Access: The Fistula. In: Penido MG, ed. Technical Problems in Patients
on Hemodialysis. London: InTech Open; 2011. p.17-34.

37.Quancer KB, Arici M. Arteriovenous Fistulas and Their Characteristics Sites of Stenosis. AJR Am J
Roentgenol. 2015 Oct;205(4):726-34.

38. Koo K. Arteriovenous fistula creation for hemodialysis and its complications. In: UpToDate, Collins
KA, Motwani S (eds), UpToDate, Waltham, MA, 2020

39 Ozcan S, Odabasi D, Kutay V. Our experience in the surgical treatment of venous Aneurysm
appearing as secondary to the upper extremity arteriovenous fistula in patients with chronic renal failure.
Acta Medica Mediter 2014; 30:569e72.

40 Shah R, Vachharajani TJ, Agarwal AK. Aneurysmal Dilatation of Dialysis Arteriovenous Access.
Open Urol. Nephrol. J 2013;6:1-5.
41. George M Nassar dkk, . Infectious complications of the hemodialysis access . Kidney International,
Vol. 60 (2001), pp. 1–13

42. Sophie Girerd , dkk. Arteriovenous fistula thrombosis is associated with increased all-cause and
cardiovascular mortality in haemodialysis patients from the AURORA trial . Clinical Kidney Journal,
2020, vol. 13, no. 1, 116–122

43. Fahad Saeed, Nadia Kousar , dkk. Blood Loss through AV Fistula: A Case Report and
Literature Review . SAGE-Hindawi Access to Research International Journal of Nephrology
Volume 3 . 2011, Article ID 350870, 6 pages

44. Saad Moughal, dkk .High-output cardiac failure secondary to arteriovenous fistula: a wide-
based literature review. 2020. Vascular & Endovascular Surgery, interventional cardiology

Anda mungkin juga menyukai