Anda di halaman 1dari 30

Referat

AKSES VASKULAR

Oleh :
Elva Rosiana
NIM 1908436646

Pembimbing:
dr. Ramzi Asrial, Sp.B (K) V

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagal ginjal kronik adalah merupakan suatu keadaan dimana terdapat

penurunan fungsi ginjal karena adanya kerusakan parenkim ginjal yang bersifat

kronik dan irreversible. Seseorang didiagnosis menderita gagal ginjal kronik jika

terjadi kelainan dan kerusakan pada ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 78-85% atau laju filtrasi glomerulusnya

(LFG) kurang dari 60 ml/min/1,73 m2. Penurunan LFG akan terus berlanjut

hingga pada akhirnya terjadi disfungsi organ pada saat LFG menurun hingga

kurang dari 15 ml/min/1,73 m2 yang dikenal sebagai End Stage Renal Disease

(ERSD) atau penyakit ginjal tahap akhir.1

GGK merupakan masalah kesehatan dunia dengan peningkatan insidensi,

prevalensi serta tingkat morbiditas dan mortalitas.2 Menurut data World Health

Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronik telah menyebabkan kematian

pada 850.000 orang setiap tahunnya.3 Prevalensi gagal ginjal di dunia menurut

ERSD patients pada tahun 2013 sebanyak 2.300.000 orang. Sekitar 78,8% dari

pasien GGK di dunia menggunakan terapi dialisis untuk kelangsungan hidupnya.4

Prevalensi penderita gagal ginjal kronik di Amerika Serikat menurut data dari

National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) mengalami

peningkatan yakni sebesar 14% pada tahun 2013 dari yang sebelumnya 12,5%.5

Prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia dari tahun ke tahun terus

mengalami kenaikan. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) dalam Program


Indonesia Renal Registry (IRR) melaporkan jumlah penderita gagal ginjal kronik

di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 22.304 dengan 68,8% kasus baru dan pada

tahun 2012 meningkat menjadi 28.782 dengan 68,1% kasus baru.6 Berdasarkan

data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronik berdasarkan diagnosis

dokter di Indonesia sebesar 0,2% dan penyakit batu ginjal 0,6%. Laporan IRR

menunjukkan 82,4% pasien gagal ginjal kronik di Indonesia menjalani

hemodialisis pada tahun 2014 dan jumlah pasien hemodialisis mengalami

peningkatan dari tahun sebelumnya. Laporan IRR mencatat bahwa penyebab

gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah hipertensi (37%),

diabetes melitus (27%) dan glomerulopati primer (10%).7

Penderita gagal ginjal kronik membutuhkan penanganan lebih lanjut

berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal sebagai terapi pengganti ginjal.1

Pada pasien gagal ginjal kronik stadium terminal dapat bertahan hidup apabila

dilakukan tindakan dialisis sebagai pengganti fungsi ginjal. National Kidney

Foundation and Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI) telah

mengeluarkan pendoman tentang penyakit ginjal kronis, salah satu pedoman yang

dikeluarkan meliputi metode dialisis dan akses vaskular untuk hemodialisis.8

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membahas

mengenai akses vaskular untuk hemodialisis pada penderita gagal ginjal kronik.

Rumusan Masalah

Referat ini menerangkan tentang jenis akses vaskular yang digunakan

untuk hemodialisis.
1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah :

1. Memahami dan menambah wawasan mengenai akses vaskular.

2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah didalam bidang kedokteran

khususnya bagian ilmu bedah.

3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior di

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru.

1.3 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan

mengacu kepada beberapa literatur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembuluh darah

2.1.1 Struktur pembuluh darah

Dinding arteri dan vena terdiri dari 3 lapisan, yaitu:

1. Tunika interna (Tunika intima)

Tunika interna (tunika intima) merupakan lapisan bagian dalam pembuluh

darah yang terdiri dari epitel skuamosa sederhana yang disebut endotelium yang

terletak di atas membran basal dan lapisan tipis jaringan ikat. Endotelium

bertindak sebagai penghalang selektif permeabel untuk bahan yang akan

memasuki atau meninggalkan aliran darah, mengeluarkan bahan kimia yang

merangsang pelebaran atau penyempitan kapal dan biasanya menolak sel darah

dan trombosit sehingga mengalir bebas tanpa menempel pada dinding pembuluh

darah. Ketika endotelium rusak, trombosit membentuk gumpalan darah dan ketika

jaringan di sekitar pembuluh darah mengalami peradangan, sel-sel endotel

menghasilkan molekul sel-adhesi yang menyebabkan leukosit untuk memenuhi

permukaan. Hal ini menyebabkan leukosit berkumpul di jaringan untuk tindakan

pertahanan yang dibutuhkan.

2. Tunika media

Tunika media merupakan lapisan tengah, biasanya paling tebal yang terdiri

dari otot polos, kolagen, dan dalam beberapa kasus, jaringan elastis. Jumlah otot

polos dan jaringan elastik bervariasi antara pebuluh darah yang satu dengan yang
lain. Tunika media memperkuat pembuluh dan mencegah tekanan darah pecah,

menyediakan vasomotion, perubahan dalam diameter pembuluh darah.

3. Tunika externa

Tunika externa merupakan lapisan terluar. Ini terdiri dari jaringan ikat longgar

yang sering menyatu dengan pembuluh darah, saraf, atau organ lain sekitarnya.

Gambar 2.1 Lapisan Pembuluh Darah Arteri dan Vena

2.1.2 Jenis-jenis pembuluh darah

Terdapat tiga jenis pembuluh darah, yaitu arteri, kapiler, dan vena membentuk

sistem tertutup berbentuk tabung yang membawa darah dari jantung ke sel-sel

tubuh dan kembali ke jantung. Berikut penjelasan mengenai arteri, vena dan

kapiler.
1. Arteri

Arteri membawa darah dari jantung. Arteri bercabang berulang kali menjadi

lebih kecil dan arteri yang paling kecil akhirnya membentuk arteri mikroskopis

yang disebut arteriol. cabang-cabang arteri (arteriol), ketebalan lapisan ototnya

berkurang. Dinding arteriol terkecil hanya terdiri dari endotelium dan beberapa

serat otot polos yang mengelilinginya. Arteri, terutama arteriol, memainkan peran

penting dalam mengendalikan aliran darah dan tekanan darah.

2. Kapiler

Arteriol terhubung dengan kapiler, pembuluh darah paling banyak dan paling

kecil. Diameter sebuah kapiler sangat kecil sehingga eritrosit harus melewatinya

dalam file tunggal. Dinding kapiler hanya terdiri dari endotelium, yang

memungkinkan pertukaran bahan antara darah di kapiler dan sel-sel tubuh.

Distribusi kapiler dalam jaringan tubuh bervariasi dengan aktivitas metabolik dari

setiap jaringan. Kapiler terutama melimpah di jaringan aktif, seperti jaringan otot

dan saraf, di mana hampir setiap sel dekat dengan kapiler. Kapiler kurang

melimpah di jaringan ikat, dan mereka tidak hadir di beberapa jaringan, seperti

tulang rawan, epidermis, dan lensa dan kornea mata.

Aliran darah dalam kapiler dikendalikan oleh otot sfingter prekapiler yang

berupa serat otot polos yang melingkari dasar kapiler di persimpangan arteri-

kapiler. Kontraksi sfingter prekapiler menghambat aliran darah ke jaringan kapiler

tersebut. Relaksasi sfingter memungkinkan darah mengalir ke dalam jaringan

kapiler untuk menyediakan oksigen dan nutrisi untuk sel-sel jaringan. Ketika

beberapa jaringan kapiler diisi dengan darah, yang lain tidak. Jaringan kapiler
menerima darah sesuai dengan kebutuhan sel-sel yang mereka layani. Sebagai

contoh, selama latihan fisik darah dialihkan dari jaringan kapiler dalam saluran

pencernaan untuk mengisi jaringan kapiler di otot rangka. Pola distribusi darah

sebagian besar terbalik setelah makan.

3. Vena

Setelah darah mengalir melalui kapiler, memasuki venula, vena terkecil.

Beberapa kapiler bergabung membentuk venula. Venula terkecil hanya terdiri dari

endotelium dan jaringan ikat, tetapi venula yang lebih besar juga mengandung

jaringan otot polos. Venula bersatu untuk membentuk pembuluh darah kecil. Vena

kecil bergabung membentuk vena semakin besar seperti darah dikembalikan ke

jantung. Vena yang lebih besar, terutama di kaki dan tangan, mengandung katup

yang mencegah aliran balik darah dan membantu kembalinya darah ke jantung.

Karena hampir 60% dari volume darah berada dalam pembuluh darah, vena dapat

dianggap sebagai area penyimpanan darah yang dapat dibawa ke bagian lain dari

tubuh pada saat dibutuhkan. Sinusoid vena di hati dan limpa sangat penting. Jika

darah hilang oleh perdarahan, baik volume darah maupun tekanan darah

mengalami penurunan. Sebagai tanggapan hal tersebut, sistem saraf simpatik

mengirimkan impuls untuk mengerut dinding otot pembuluh darah, yang

mengurangi volume vena dan mengkompensasi kehilangan darah. Sebuah respon

yang sama terjadi selama aktivitas otot berat untuk meningkatkan aliran darah ke

otot rangka. Perbandingan arteri, kapiler dan vena ditunjukkan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan arteri, kapiler dan vena 9

2.2 Akses vaskular

2.2.1 Definisi

Akses vaskular terdiri dari kata akses dan vaskular. Akses yang berarti

cara/jalan, sedangkan vaskular merupakan pembuluh darah. Dengan demikian

akses vaskular diartikan sebagai jalan untuk memudahkan mengeluarkan darah

dari pembuluh darah untuk keperluan tertentu, dalam kasus gagal ginjal terminal

adalah untuk proses hemodialisis.10

2.2.2 Klasifikasi

Akses vaskuler dapat dibedakan menjadi Akses vaskuler Temporer dan Akses

vaskuler Permanen.Akses vaskuler Temporer adalah Akses yang dipakai hanya

dalam jangka waktu tertentu /jangka pendekdan tidak menetap.sedang Akses

vaskuler Permanen untuk jangka panjang dan menetap. Penggunaan Akses

vaskuler ini dapat dilakukan melalui: Kanulasi Femoralis (arteri atau vena),

Kanulasi arteri brakhialis, dan Kanulasi dengan menggunakan kateter HD non

cuffed pada Vena sentral. Sedangkan Akses vaskuler Permanen, dipakai terus

menerus dan menetap untuk jangka waktu panjang. Ada tiga tipe Akses vaskuler

yang dapat dipakai jangka panjang untuk tindakan HD, yaitu: Arteriovenous
Fistula/AVF, Arteriovenous Grafts/ AVG dan Central Venous Catheter HD/CVC

HD jenis Tunneled Cuffed double lumen Catheter

1. Arteriovenous Fistula (AVF) /Cimino

a. Definisi

AVF/Cimino adalah tipe akses vaskular yang dibuat dengan cara

menyambungkan pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena melalui

operasi pembedahan. Koneksi antara vena dan arteri terjadi dibawah kulit

pasien. Tujuan penyambungan ini adalah untuk meningkatkan aliran darah

vena pasien, sehingga aliran tersebut mampu dipakai untuk mengalirkan darah

pada saat tindakan hemodialisa. Peningkatan aliran darah dan tekanan pada

vena secara bertahap juga akan memperbesar dan mempertebal dinding vena,

inilah yang disebut dengan arterialisasi dinding vena. AVF disebut juga

sebagai Cimino, karena AVF ini pertamakali dilakukan pada tahun 1966, oleh

Brescia-Cimino and Appel. Penyedia layanan kesehatan merekomendasikan

AVF dari jenis akses lain dikarenakan:

- Memberikan aliran darah yang lebih baik untuk dialisis

- Bertahan lebih lama dari akses lainnya

- Risiko terjadinya infeksi dan pembekuan darah lebih kecil

dibandingkan dengan akses lainnya.

Namun, disisi lain AVF memiliki kekurangan, yaitu :

- Kemungkinan bisa terjadi gagal maturasi

- Tidak dapat segera digunakan. Paling baik setelah 6-8 minggu

- Tidak semua pasien memiliki aliran yang adekuat


Gambar 2.2 Arteriovenous Fistula (AVF) /Cimino

b. Lokasi koneksi

Lokasi untuk AVF/Cimino adalah di radhiocephalic pada pergelangan

tangan dan brachiocephalic pada lipatan lengan. Dapat dilihat pada gambar 2.3

dan 2.4.

Gambar 2.3 Radiocephalic arteriovenous fistula


Gambar 2.4 Brachiocephalic arteriovenous fistula

c. Cara koneksi

Berikut beberapa cara koneksi pada AVF.

1. Side to end adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan

pembuluh darah vena yang dipotong dengan sisi pembuluh darah arteri.

Ditunjukkan oleh gambar 2.5.

Gambar 2.5 Side to end anastomosis


2. Side to side adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan sisi

pembuluh darah vena dengan sisi pembuluh darah arteri. Ditunjukkan pada

gambar 2.6.

Gambar 2.6 Side to side anastomosis

3. End to end adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan

pembuluh darah vena yang dipotong dengan pembuluh darah arteri yang

juga dipotong. Ditunjukkan pada gambar 2.7.


Gambar 2.7 End to end anastomosis

4. End to side adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan

pembuluh darah arteri yang dipotong dengan sisi pembuluh darah vena.

Ditunjukkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 End to side anastomosis

d. Komplikasi

1. Hematoma/infiltrasi

Hematoma terjadi karena pecahnya pembuluh darah pada saat kanulasi

atau post kanulasi HD. Pada hematoma terjadi pembengkakan jaringan karena

perdarahan, warna kemerahan dikulit bahkan sampai dengan kebiru-biruan dan

nyeri.

2. Stenosis

Stenosis dapat disebabkan karena aliran darah yang berputar-putar disatu

tempat/turbulence, terbentuknya formasi pseudoaneurysma, adanya

luka/kerusakan karena jarum fistula. Indikasi klinis adanya stenosis diantaranya

adalah episode clotting yang berulang (dua kali dalam sebulan atau lebih),
kesulitan kanulasi fistula (striktur/penyempitan pembuluh), adanya kesulitan

pembekuan darah pada saat jarum fistula dicabut dan adanya pembengkakan pada

lengan yang ada AVF nya.

3. Trombosis

Trombosis dapat disebabkan karena faktor teknik pada pembedahan,

episode hipotensi, lesi anatomik karena kerusakan IV, penggunaan AVF yang

prematur dan kemampuan koagulasi darah yang berlebihan (hypercoagulation).

4. Iskemia/”Steal syndrome”

Iskemia distal dapat terjadi kapan saja setelah AVF dibuat (dalam hitungan

jam atau bulan). Pada iskemia atau “steal syndrome” terjadi hipoksia (kehilangan

oksigen) di jaringan tangan. Pasien dengan diabetes, kelainan pembuluh, usia tua

dan atherosklerosis mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadi iskemia.

Pada iskemia manifestasi klinis yang terjadi adalah tangan teraba dingin, ada

gangguan rasa seperti kesemutan atau sampai dengan kehilangan gerak, sakit pada

tangan, luka yang tidak sembuh-sembuh, nekrosis jaringan bahkan sampai dengan

terjadi kerusakan saraf. Kadang-kadang ditemukan juga adanya udema di tangan,

yang disebabkan karena tekanan aliran vena yang tinggi ke tangan.

5. Aneurisma/Pseudoaneurisma

Aneurisma dapat disebabkan karena adanya stenosis yang dapat

meningkatkan tekanan balik pembuluh darah sehingga terjadilah ketegangan dan

kerapuhan dinding dari pembuluh darah tersebut. Aneurisma dapat juga

disebabkan atau diperburuk oleh karena kanulasi pada area yang sama secara

berulang-ulang. Pada aneurisma atau pseudoaneurisma terjadi pembekuan darah


yang tidak adekuat dan ekstravasasi darah pada saat jarum fistula dicabut. Lesi

yang lebih besar dapat dihindari dengan penempatan jarum fistula jauh dari

pembuluh darah yang aneurisma tersebut.

6. Infeksi

Penyebab infeksi AVF yang sering ditemukan adalah karena

Staphilococcus. Episode terjadinya infeksi AVF sangat jarang ditemukan, namun

demikian setiap pre atau post HD sebaiknya dilakukan cek tanda-tanda terjadinya

infeksi yaitu :

a. Adanya perubahan kulit disekitar AVF, ditandai dengan:

- Kemerahan

- Teraba panas (kenaikan temperatur)

- Pembengkakan

- Ketegangan kulit dan sakit

- Keluar cairan dari luka insisi atau tempat kanulasi

b. Keluhan pasien

- Panas/ada kenaikan suhu badan

- Letih dan lesu


1. Arteriovenous Graft (AVG)

a. Definisi

AVG adalah akses vaskular yang dibuat dengan cara menghubungkan

pembuluh darah arteri dan vena dengan menggunakan tambahan pembuluh

darah/tube sintetik yang ditanamkan/graft melalui pembedahan. Tube bisa

terbuat dari bahan sintetik politetrafluoroethylene atau biologik bovine graf

(heterograf), autograf atau homograf. AVG dibuat apabila AVF sudah tidak

dimungkinkan lagi. Pemasangannya lebih rumit sehingga kadang penderita

memerlukan rawat inap satu atau dua malam untuk memantau komplikasi

sesudah pemasangan.

Berbeda degan AVF yang menggunakan pembuluh darah asli yang

memerlukan waktu untuk matang sekitar 2 sampai 3 bulan, alat ini hanya

memerlukan waktu 2 sampai 3 minggu sebelum dapat digunakan. Tetapi AVG

ini sering mengalami kegagalan dalam bentuk thrombus dan infeksi.

Thrombus sering terbentuk didalam graft sehingga terjadi hambatan aliran

darah kemesin HD. Diperlukan perawatan yang lebih telaten untuk akses

vaskular yang menggunakan graft. Dapat dilihat pada gambar 2.9.


Gambar 2.9 Arteriovenous graft (AVG)

b. Lokasi dan cara koneksi

Berikut penjelasan mengenai lokasi dan cara koneksi dari AVG.

1. Straight graft (lurus)

Straight graft dilakukan dengan cara menghubungkan arteri radialis di

pergelangan tangan dengan vena basilika di kubiti.

2. Loop atau curve graft (Lengkung)

Loop atau curve graft dilakukan dengan cara menghubungkan arteri

brakhialis dengan vena brakhialis di bagian lengan atas atau arteri brakhialis

dengan vena aksilaris.

Cara koneksi straight graft (lurus) dan loop atau curve graft (lengkung)

dapat dilihat pada gambar 2.10.


Gambar 2.10 Straight dan loop graft

c. Kelebihan dan kekurangan

Kelebihan dan kekurangan AVG dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan AVG


Kelebihan Kekurangan
Terletak dibawah kulit Angka hospitalisasi meningkat
Area kanulasi lebih luas Berisiko mudah clotting
Mudah untuk kanulasi Angka infeksi lebih besar dari AVF
Waktu maturasi lebih pendek dibanding Keawetannya lebih rendah dibanding
AVF, hanya 2 minggu dengan AVF

d. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada AVG hampir sama dengan AVF/Cimino.


3. Central Venous Catheter Hemodialisa (CVC HD)

a. Definisi

CVC HD adalah sebuah kateter HD yang memiliki dua lumen dan satu

ujung yang diinsersikan kedalam pembuluh darah vena sentral (vena kava

inferior melalui vena femoralis atau vena kava superior melalui vena jugularis

atau vena subclavia) yang dipakai sebagai akses vaskular pada tindakan HD.

CVC HD ditunjukkan pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Central venous catheter hemodialisa (CVC HD)

CVC adalah akses vaskuler yang paling sering digunakan untuk HD pada

pasien anak di Amerika Utara, ada 78,9 % dengan CVC, 12,3 % dengan AVF

dansisanya dengan AVG. CVC terdiri dari 2 kategori, yaitu:

1. Kateter non cuff atau non tunnel (< 3 minggu)

Kateter ini memiliki satu ujung dua lumen tanpa cuff dan diinsersikan

langsung ke dalam vena kava pasien. Satu lumen disebut sebagai lumen arterial

yang akan dihubungkan dengan arterial blood line HD (ada tanda warna merah)
dan satu lumen disebut sebagai lumen venous yang akan dihubungkan dengan

venous blood line HD (ada tanda warna biru). Kateter ini termasuk kedalam tipe

pemakaian yang jangka pendek atau sementara, sampai terbentuknya akses yang

permanen.

2. Kateter tunnel cuff (> 3 minggu)

Kateter ini lebih panjang, memiliki satu ujung dengan dua lumen dan memiliki

cuff. Kateter diinsersikan kedalam venous dengan exit site di tempat yang

berbeda. Jadi ada sebagian kateter yang ditanamkan dibawah kulit pasien yang

disebut sebagai tunnel. Tunnel ini dimaksudkan sebagai barier terhadap mikroba

atau masuknya endotoksin kedalam venous.

b. Kelebihan dan kekurangan

Kelebihan dan kekurangan CVC HD dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Kelebihan dan kekurangan CVC HD


Kelebihan Kekurangan

Mudah dipasang/insersi Infeksi rate tinggi


Aliran darah rendah, sehingga
klirensnya kurang maksimal
Dapat segera digunakan Stenosis
Mengurangi rasa sakit, karena tidak ada Thrombosis
kanulasi saat HD
Mudah dilepas jika pasien beralih dari HD Malfungsi kateter
Menurunkan risiko tinggi gangguan jantung Umur keawetan CVC pendek,
umumnya kurang 1 tahun
Mudah terjadi clotting, karena aliran
darah yang tidak adekuat
c. Lokasi

1. Vena femoralis

Pengertian kateter femoralis menurut Hartigan adalah pemasangan kanul

kateter secara perkutaneous pada vena femoralis. Kateter dimasukkan ke

dalam vena femoralis yang terletak di bawah ligamen inguinalis.

Pemasangan kateter femoral lebih mudah daripada pemasangan pada

kateter subclavia atau jugularis internal dan umumnya memberikan akses

lebih cepat pada sirkulasi. Panjang kateter femoral sedikitnya 19 cm sehingga

ujung kateter terletak di vena cava inferior.

Indikasi pemasangan kateter femoral adalah pada pasien dengan PGTA

dimana akses vaskular lainnya mengalami sumbatan karena bekuan darah

tetapi memerlukan HD segera atau pada pasien yang mengalami stenosis pada

vena subclavian. Sedangkan kontraindikasi pemasangan keteter femoral

adalah pada pasien yang mengalami thrombosis ileofemoral yang dapat

menimbulkan resiko emboli.

Komplikasi yang umumnya terjadi adalah hematoma, emboli, thrombosis

vena ileofemoralis, fistula arteriovenousus, perdarahan peritoneal akibat

perforasi vena atau tusukan yang menembus arteri femoralis serta infeksi

(Gutch, Stoner & Corea, 1999). Tingginya angka kejadian infeksi tersebut,

maka pemakaian kateter femoral tidak lebih dari 7 hari.

Kanulasi femoralis dilakukan di ligamen inguinal, 1 cm arah medial dari


pulsasi dan 2 jari (± 2 cm) arah bawah dari garis lipatan, bisa di kanan atau di
kiri. Lokasi ini identik dengan pemasangan CVC kateter di femoralis

Gambar 2.12
2. Vena subclavia

Kateter double lumen dimasukkan melalui midclavicula dengan tujuan

kateter tersebut dapat sampai ke suprastrernal. Kateter vena subclavikula lebih

aman dan nyaman digunakan untuk akses vascular sementara dibandingkan

kateter vena femoral, dan tidak mengharuskan pasien dirawat di rumah

sakit.Hal ini disebabkan keran rendahnya resiko terjadi infeksi dan dapat

dipakai sampai lebih dari 1 minggu.Kateter vena subklavikula ini dapat

menyebabkan komplikasi seperti pneumotoraks, stenosis vena subklavikula,

dan menghalangi akses pembuluh darah di lengan ipsilateral oleh karena itu

pemasangannya memerlukan operator yang terlatih daripada pemasangan pada

kateter femoral. Dengan adanya komplikasi ini maka kateter vena


subklavikula ini sebaiknya dihindari dari pasien yang mengalami fistula akibat

hemodialisa.

Gambar 2.13

3. Vena jugularis interna

Kateter dimasukkan pada kulit dengan sudut 200 dari sagital, dua jari di

bawah clavicula, antara sternum dan kepala clavicula dari otot

sternocleidomastoideus. Pemakaian kateter jugularis internal lebih aman dan

nyaman. Dapat digunakan beberapa minggu dan pasien tidak perlu di rawat di

rumah sakit. Kateter jugularis internal memiliki resiko lebih kecil terjadi

pneumothoraks daripada subclavian dan lebih kecil terjadi thrombosis. Oliver,

Callery, Thorpe, Schwab & Churchill (2000) mengatakan bahwa dari 318

pemakaian kateter pada lokasi tusukan yang baru, terjadi bakteremia 5,4% setelah

pemakaian lebih dari 3 minggu pada kateter jugularis internal.


Gambar 2.14

4. Komplikasi

a. Komplikasi karena penusukan

Komplikasi karena penusukkan yang terjadi seperti disritmia atrium dan

disritmia ventrikel. Disritmia atrium dapat terjadi 40% pada pemakaian kateter

subclavian dan terjadi 20% disritmia ventrikel. Terjadi komplikasi

pneumothoraks 1-5% pada kateter subclavian tetapi kurang dari 0,1% pada

kateter jugularis internal. Selain itu, terjadi pula komplikasi akibat penusukkan

adalah emboli udara, perforasi pada dinding jantung atau vena sentral,

tamponade perikardium dan tertembusnya arteri.

b. Infeksi

Infeksi dapat menjadi penyebab kateter HD dilepas dan menyebabkan

peningkatan angka kesakitan dan angka kematian. Menurut US Renal Data

System (2006), penyebab paling sering CVC cuff dilepas karena adanya

infeksi dan angka kejadian sepsis karena CVC mendekati 80 per 100 orang per

tahun. Infeksi juga karena penggunaan kateter merupakan masalah utama.

Infeksi terjadi akibat migrasi mikroorganisme dari kulit pasien melalui lokasi
tusukan kateter dan turun ke permukaan luar kateter atau dari kateter yang

terkontaminasi selama prosedur hemodialisis. Infeksi kateter HD dapat

disebabkan karena :

- Migrasi flora kulit dari pasien melalui exit site atau ujung kateter pada saat

insersi yang menyebabkan terjadinya kolonisasi bakteremia

- Kontaminasi melalui lumen serta tutupnya pada saat flushing (Pre-Post

HD) dan koneksi HD

Menurut NKF KDOQI tahun 2006, faktor predisposisi infeksi aliran darah

pada pasien HD adalah adanya diabetes, atherosklerosis perifer, durasi

penggunaan kateter yang lama, riwayat infeksi yang sama sebelumnya, infeksi

lokal dan Staphylococcus aureus di saluran hidung. Kejadian Infeksi

CVC/Kateter HD diantaranya dapat melalui :

- Infeksi Exit site, yang ditandai dengan adanya eritema dan atau adanya

krusta atau cairan yg tidak purulen, leukositosis, suhu badan > 38°C dan

hasil kultur darah positif.

- Infeksi Tunnel, yang ditandai adanya eksudat yang purulen/bernanah

keluar dari exit site, panas dan nyeri tekan pada sepanjang tunnel.

- Infeksi sistemik, tipikal dari infeksi ini adalah adanya peningkatan suhu

badan yang tinggi, tidak selalu disertai adanya tanda-tanda infeksi CVC

dan terjadi leukositosis. Pada jam pertama pasien HD, Leukositosis dapat

pula terjadi karena penggunaan membran celluloce. Untuk memastikan hal

itu karena adanya infeksi kateter HD, lakukan kultur darah dengan

mengambil darah dari vena perifer dan melalui vena dari kateter HD
c. Disfungsi kateter

1. Malposisi

Malposisi pada awal insersi kateter HD dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan arterial, pneumothorak, Hemothorak, arritmia, emboli udara, perforasi

vena kava atau jantung dan adanya tamponade jantung.

2. Oklusi/sumbatan

a. Oklusi mekanik

Oklusi mekanik ini dapat terjadi karena adanya kateter yang tertekuk atau

ujung kateter menyentuh dinding pembuluh darah, sehingga aliran darah tidak

adekuat. Oklusi mekanik bisa juga disebabkan karena adanya kinking (kateter

mengalami penyempitan/lekatan di lubang kateter). Goldstein et al, melaporkan

bahwa ada 36 % kejadian kinking pada kateter HD non cuff dan 13,6 % pada

kateter HD cuff yang menyebabkan kateter dilepas.

b. Oklusi bekuan darah/Thrombus

Oklusi karena bekuan darah/thrombus ini terjadi karena bekuan darah

menutupi lubang lumen baik pada samping lumen atau ujung lumen. Thrombus

dapat terbentuk karena jaringan tissue pembuluh darah tumbuh pada CVC dan

menyebabkan kerusakan endothelia sehingga terbentuklah formasi thrombus.

Oklusi bisa juga karena sisa darah yang kurang bersih/adanya bekuan darah yang

menempel pada lubang kateter pada saat akhir HD (proses flushing kurang

sempurna). Adanya bekuan darah menyebabkan 26 % kateter HD tidak berfungsi.

Pada kasus trombosis vena penderita datang dengan keluhan tangan bengkak

dan nyeri serta kemerahan. Pada kasus ini biasanya dilakukan penutupan akses
HD dan dibuat yang baru. Jika sumbatan bukan pada vena dalam dapat dilakukan

trombektomi pseudoaneurisma.

c. Oklusi karena stenosis

Penderita biasanya datang denga keluhan akses tidak dapat digunakan, tangan

bengkak dan kemerahan. Kadang kadang bisa juga kronik dan penderita datang

dengan keluhan pembuluh darah dilengan menonjol pada beberapa tempat dan

jika selesai hemodialisa darah susah berhenti. Sumbatan biasanya akibat tusukan

bekas akses HD didaerah leher dan dada yang menyempit .Untuk mengatasi

masalah ini dilakukan venografi untuk mengetahui lokasi sumbatan dan jika

memungkinkan dilakukan venoplasti.

Stenosis dapat terjadi karena kateter HD pada pembuluh darah vena

merupakan benda asing, sehingga akan menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi

yang mengakibatkan terjadinya scarr/kerusakan dinding pembuluh dan pembuluh

darah menjadi menyempit (stenosis) sehingga aliran darah tidak adekuat untuk

HD

d. Oklusi formasi fibrin

Kateter adalah benda asing pada tubuh manusia yang berada dipembuluh

darah vena. Setiap benda asing dalam tubuh akan menyebabkan terjadinya iritasi.

Iritan disekitar kateter ini akan menyebabkan terjadinya jaringan fibrin pada

lumen kateter ataupun dinding kateter yang menutupi lubang lumen. Pada oklusi

fibrin ini, umumnya cairan normal salin untuk flushing bisa masuk akan tetapi

sulit/tidak lancar untuk aspirasi outflownya.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Akses vaskular untuk hemodialisa adalah jalur untuk mempertahankan

kehidupan pada penderita end stage renal disease (ESRD) / gagal ginjal

kronik.

2. Klasifikasi akses vaskular terdiri dari Arteriovenous Fistula (AVF)

/Cimino, Arteriovenous Graft (AVG) dan Central Venous Catheter

Hemodialisa (CVC HD).


DAFTAR PUSTAKA

1. Fransiska, dkk. 24 Penyebab Gagal Ginjal Rusak. Jakarta: Cerdas sehat;


2011.
2. Pongsibidang GS. Risiko Hipertensi, Diabetes, dan Konsumsi Minuman
Herbal Pada Kejadian Gagal Ginjal Kronik di RSUP DR. Wahidin
Sudirohusono Makassar 2015. Jurnal Wijayata. 2016;3(2).
3. Dharma PS, dkk,. Penyakit Ginjal Deteksi Dini dan Pencegahan.
Yogjakarta: CV Solusi Distribusi; 2015.
4. ESRD. Patients in 2013 A Global Perspective. Germany: Fresenius
Medical Care; 2013.
5. USRDS Anual Data Report. Chronic Kidney Disease in The United States.
2013.
6. PERNEFRI. 5th Report Of Indonesian Renal Registry Jakarta:
Perhimpunan Nefrolog Indonesia; 2012 [cited 13 Maret 2017].
7. Indonesian Renal Registry. 7th report of Indonesian renal registry.
Perkumpulan Nefrologi Indonesia; 2014. p. 8-18.
8. Trianto, Semadi N, Widiana GR. Faktor Resiko Infeksi Kateter
Hemodialisis Double Numen Non-Tunnelled. Mediciana. 2015;46:152-55
9. Sa’adah S. Sistem Peredaran Darah Manusia. Yogyakarta. 2018
10. Southern California Renal Disease Council, Inc. (323) 962- 2020

Anda mungkin juga menyukai