Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas segala Rahmat, Petunjuk, dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
untuk memenuhi tugas mata kuliah LUKA MAHIR dengan judul “Asuhan Keperawatan luka
bedah”. Makalah ini dapat digunakan sebagai wahana untuk menambah pengetahuan, dan referensi
tambahan dalam belajar Keperawatan Komunitas.Makalah ini dibuat sedemikian rupa agar
pembaca dapat dengan mudah mempelajari dan memahami efisiensi keperawatan keluarga secara
lebih lanjut.

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada semua sumber yang namanya tidak bisa kami
sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam mempersiapkan, melaksanakan, dan
menyelesaikan penulisan makalah ini.Segala upaya telah dilakukan untuk menyempurnakan
makalah ini, namun tidak mustahil apabila dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kesalahan.Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan
dalam menyempurnaan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah pengetahuan dan
wawasan tentang Efisiensi Koperasi.

Pontianak, september 2018

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembedahan atau operasi adalah segala tindakan pengobatan yang menggunakan cara
invasive dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani, umumnya
dilakukan dengan membuat sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka.
Pembedahan dilakukan karena beberapa alasan, seperti diagnostic (biopsy, laparatomi
eksplorasi). Kuratif (eksisi massa tumor, pengangkatan apendiks yang mengalami
inflamasi), reparative (memperbaiki luka multiple) rekonstruksi dan paliatif.
Dalam beberapa kasus penyakit atau cedera, operasi diperlukan untuk mengobati atau
menyelidiki lebih lanjut kondisi pasien. Dalam prosedur bedah, luka bedah atau sayatan
akan dibuat untuk membuka lapisan jaringan yang diperlukan untuk mengakses sumber
penyakit atau cedera. Pada akhir operasi, daerah yang mengalami pemotongan lapisan kulit
dilakukan penjahitan, yang memungkinkan kedua tepi kulit untuk menyatu saat
penyembuhan luka berlangsung. Untuk melakukan penyatuan jaringan kulit dapat
menggunakan benang, staples, dan lain-lain.
Data world Health Organization (WHO) yang dikutip oleh Haynes et al (2009)
menunjukan bahwa selama lebih dari satu abad, perawatan bedah telah menjadi komponen
penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahunnya terdapat
234 juta tindakan pembedahan yang dilakukan diseluruh dunia.
Berdasarkan Data Tabulasi Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Tahun 2009, tindakan pembedahan menempati urutan ke-11 dari 50 pertama pola penyakit
di rumah sakit seindonesia dengan 12.8%, diperkirakan 32% diantaranya merupakan
tindakan laparatomi.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi, etiologi dan patofisiologi tentang luka bedah ?
b. Bagaimana menginterpretasi data yang terkait dengan klien yang mengalami luka
bedah ?
c. Bagaimana menetapkan rencana keperawatan untuk klien dengan luka bedah ?
d. Bagaimana mengimplementasikan intervensi keperawatan intuk mengelola luka bedah
dan mencegah komplikasi ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, memberikan, dan melaksanakan asuhan keperawatan
pada klien yang mengalami luka bedah.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui anatomi kulit
b. Mengetahui definisi dari luka bedah
c. Mengetahui jenis luka
d. Mengetahui proses penyembuhan luka
e. Mengetahui faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka
f. Mengetahui perawatan pasien praoperasi dan pascaoperasi
g. Mengetahui indikasi perawatan luka
h. Mengetahui bagian dari merawat luka
BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI
Kulit merupakan organ yang cukup luas yang terdapat di permukaan tubuh, dan
berfungsi sebagai pelindung untuk menjaga jaringan internal dari trauma, bahaya radiasi
ultraviolet, temperature yang ekstrim, toksin dan bakteri.
Kulit terdiri dari beberapa lapisan; epidermis, dermis, dan lapisan jaringan subkutaneus.
Epidermis merupakan lapisan bagian luar kulit. Ketebalan dari pada epidermis ini
bervariasi tergantung pada tipe kulit. Pada bagian epidermis terdapat 5 lapisan mulai dari
bawah sampai ke atas yaitu stratum basale atau germinatium, stratum spinosum, stratum
granulosum, stratum lucidum, dan stratum corneum.
Dermis, lapisan dermis lebih tebal dari lapisan epidermis. Fungsi utama adalah
sebagai penyokong untuk epidermis. Pada lapisan dermis strukturnya lebih kompleks dan
terdapat dua lapisan bagian superficial papillary dan bagian dalam reticular dermis.
Sedangkan fungsi dari dermis adalah untuk keseimbangan cairan melalui pengaturan aliran
darah kulit, termoregulasi melalui pengontrolan aliran darah kulit dan juga sebagai faktor
pertumbuhan dan perbaikan dermal.
Kelenjar keringat ektrim adalah proses pendinginan tubuh. Keringat diproduksi
dalam suatu tubulus coiled dalam dermis dan ditransportasi oleh saluran kelenjar keringat
melalui epidermis untuk dikeluarkan.
Folikel rambut dibuat dari keratin, tertanam dalam epidermis dan dermis, kemudian
hypodermis. Folikel rambut ini dikelilingi oleh jaringan ikat fibrosa pada epidermis.
Kelenjar keringat apokrin ini ditemukan pada lokasi aksila, areola putting susu, dan
regional anal. Apokrin juga diproduksi dalam tubulus coiled dalam dermis. Aktifitas
bakteri pada kulit yang normal ada hubungannya dengan pengeluaran keringat yang
menyebabkan bau badan.
Kelenjar sebasae, kelenjar ini memproduksi subtansi minyak yang disebut dengan
sebum. Paling menyolok pada kulit bagian kepala, muka, bahu atas. Pada masa remaja
kelenjar sebasae meningkat ukurannya dan sebum banyak diproduksi dalam merespon
tingkat hormone khususnya androgen. Peran pentingnya adalah dalam perkembangan
jerawat.
Lapisan subkutaneus merupakan lapisan lemak dan jaringan ikat yang banyak
terdapat pembuluh darah dan saraf. Pada lapisan ini penting untuk pengaturan termperatur
pada kulit.
Kuku juga merupakan kulit yang berlokasi pada akhir jari tangan dan kaki. Kuku ini
berupa plat yang padat yang dibuat dari keratin. Adapun fungsinya sebagai penghias.
Selain itu, kuku pada jari tangan juga dapat mengidentifikasi kesehatan seseorang dimana
pada kuku yang berwarna pink menandakan suplai oksigenisasi baik. (Suriadi,2004)

B. DEFINISI
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patologis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter &
Perry,2006)
Luka operasi atau bedah adalah luka yang dibuat oleh tenaga terlatih dengan
menggunakan pisau bedah dalam lingkungan steril untuk tujuan tertentu.(dalam buku
Suriadi, 2015).
C. JENIS LUKA
Berdasarkan sifat kejadiannya, luka dibagi menjadi dua jenis, yaitu luka disengaja
atau tidak disengaja. Luka disengaja misalnya terkena radiasi atau bedah, sedangkan luka
tidak disengaja misalnya terkena trauma.
Luka tidak disengaja juga dibagi menjadi luka tertutup dan luka terbuka. Luka
tertutup jika tidak terjadi robekan.sedangkan luka terbuka terjadi robekan seperti luka
abrasi (luka akibat gesekan), luka puncture (luka akibat tusukan), dan luka hautration
(luka akibat alat-alat yang digunakan dalam perawatan luka).
Pada kasus luka bedah tipe luka mencakup :
1. Luka bedah bersih, adalah luka yang tidak menunjukan tanda-tanda peradangan
dan tidak melibatkan system pernapasan, gastrointestinal, atau saluran urogenital.
Pada luka ini penyembuhan lebih mudah.
2. Luka bersih terkontaminasi, adalah luka bersih dengan resiko tinggi infeksi, yang
melibatkan system gastrointestinal , pernapasan atau saluran urogenital, yang
selama prosedur operasi tidak memiliki penyulit.
3. Luka terkontaminasi, adalah luka terbentuk ketika mengalami kontak dengan
benda dari luar masuk kedalam luka. Luka tersebut bias terkena peluru, pisau atau
benda runcing lainnya, atau kontaminasi yang dapat disebabkan oleh sejumlah
besar tumpahan dari saluran pencernaan ke dalam luka. Setiap jaringan yang
melangalami peradangan yang sangat atau terdapat infeksi sekitar luka, luka
bedah tersebut dianggap terkontaminasi.
4. Luka bedah kotor terinfeksi, adalah luka yang mengalami infeksi dan terdapat
benda asing yang menetap (bias peluru atau puing-puing lainnya) pada luka
tersebut. Luka ini juga mencakup luka trauma dari sumber kotor dimana
penyembuhan tertunda, luka bedah yang terinfeksi dengan nanah atau kotoran.

D. Proses penyembuhan luka


1. Luka Tertutup
Penyembuhan luka terdiri dari 3 fase, yaitu inflamasi (lag phase), poliferasi
(fibroplasia phase), dan maturase (remodeling phase).
a. Fase inflamasi
Fase inflamasi merupakan fase pertama penyembuhan luka yang berlangsung
segera setelah terjadinya luka sampai 4-6 hari berikutnya. Tujuan fase ini adalah
mencapai hemostatis, melepaskan jaringan mati, dan mencegah infeksi invasive.
Fase inflamasi memulai proses penyembuhan luka setelah vasokontriksi awal,
pembuluh-pembuluh darah mangalami dilatasi, kapiler menjadi permeabel
terhadap protein plasma dan sel-sel darah putih melekat pada endotel venula kecil
serta bermigrasi melalui dinding pembuluh darah. Dalam beberapa jam, luka
menjadi terisinoleh eksudat inflamasi yang terdiri dari sel-sel darah putih, sel-sel
darah merah, protein plasma dan benang fibrin.
Substansi yang dilepaskan oleh cidera jaringan bertindak sebagai mediator
proses inflamasi. Histamin yang dibebaskan dari sel mast, granulosit dan platelet
menyebabkan vasodilatasi dan permeabilitas pembuluh darah meningkat. Tetapi
efek histamin dibatasi oleh periode waktu yang singkat (kurang dari 30 menit).
Penelitian lebih mutakhir menunjukan bahwa kinin dan prostaglandin, terutama
PGE1 dan PGE2, merupakan mediator respon inflamasi. Kallidin dan bradikinin
dilepaskan dari alfa2-globulin plasma oleh kerja enzimatik kallikrein yang
dijumpai dalam plasma dan granulosit. Kinin dan komponen-komponen system
komplemen menyebabkan sel-sel lokal melepaskan prostaglandin kinin,
prostaglandin dan komponen system komplemen bertindak sebagai mediator
respon inflamasi untuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan sebagai
faktor kemotaktik untuk sel-sel radang.
Lekosit menginvasi luka dan mulai memakan debris sel dan bakteri. Mula-
mula lekosit pelimorf yang lebih banyak, tetapi sel-sel dengan masa hidup singkat
ini digantikan oleh monosit, yang dapat melanjutkan aktivitas makannya untuk
beberapa minggu. Monosit juga diperlakukan untuk merespon fibroblast normal.

b. Fase proliferasi
Fase proliferasi dimulai pada hari ke-4 sampai 14-21 hari setelah terjadinya
luka. tujuan fase ini adalah pembentukan jaringan granulasi, penyusunan system
kapiler baru, dan penutupan luka. fase ini ditandai oleh proliferasi jaringan
(jaringan granulasi), angiogenesis, dan epitelialisasi.
Fase ini merupakan contoh interaksi yang kompleks antara sel-sel dan sitokin
selama proses penyembuhan. Awalnya, makrofag mengaktifkan VEGF (vascular
endothelial growth factor), dan FGF (fibroblast growth factor) serta TGF
(transforming growth factor)-B1 dan TGF-a untuk pembentukan pembuluh darah
yang baru. Selain makrofag, fibroblas juga mengaktifkan FGF-2 yang
memberikan stimulus untuk regenerasi sel endotel. Sementara itu, sel endotel juga
memproduksi IGF (insulin growth factor) yang membantu proliferasi keratinosit
dan fibroblast. Kemudian, keratinosit pun membentuk TGF-a dan TGF-B1,2,3
untuk memberikan stimulus terhadap keratinosit sendiri dan juga fibroblas.
Akhirnya, fibroblas menjadi aktif dan membentuk kolagen. Fibroblas juga aktif
memberikan stimulus untuk sel-sel lain dengan memproduksi sitokin seperti FGF-
2, PDGF (platelet devired growth factor), dan KGF (keratinocyte growth factor)
yang memberikan stimulus pada keratinosit.
Faktor-faktor pertumbuhan (growth factors), yang sebagian telah dijelaskan,
merangsang pembentukan kolagen. Selama fase proliferasi ini, produksi kolagen
tipe III meningkatkan untuk membentuk matriks sementara, yang akan digantikan
oleh kolagen tipe I pada fase selanjutnya.
Konsep utama pembentukan jaringan granulasi adalah pembentukan matriks.
Pembentukan matriks ini bertujuan untuk menggantikan struktur skeletal dermis.
Proses ini melibatkan sel-sel, mediator inflamasi, dan serum darah. Pada awalnya,
interaksi platelet dan serum membentuk bekuan darah. Bekuan darah ini
merupakan matriks provisional, yang berfungsi sebagai media sementara untuk
interaksi sel-sel dan mediator inflamasi. Selanjutnya, peran bekuan darah tersebut
digantikan oleh matriks kolagen.
Sebenarnya, antiogenesis merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembentukan jaringan granulasi. Pembuluh darah kapiler yang baru terbentuk
menunjang viabilitas jaringan granulasi. Salah satu parameter yang digunakan
untuk menentukan viabilitas jaringan adalah kemerahan, yang merupakan tanda
perfusi yang adekuat di area tersebut. demikian pula, system kapiler yang baik
menghasilkan perfusi yang adekuat. Oleh karena itu, neovaskularisasi merupakan
bagian yang terpenting dalam pembentukan jaringan granulasi.

c. Fase maturasi
Fase yang dimulai pada saat fase proliferasi masih berlangsung; sama halnya
dengan fase proliferasi yang sudah bermula pada saat fase inflamasi masih
berjalan. Fase maturasi berlangsung selama 6 bulan sampai 1 tahun. Tujuan fase
ini adalah mencapai kekuatan pertautan pada jaringan (tensile strength) yang
makin kuat hingga mencapai maksimum yaitu sekitar 80% kekuatan pertautan
jaringan kulit normal. Fase ini ditandai oleh penyesuaian kembali (remodeling)
simpanan kolagen dan kontraksi parut.
Secara alami, luka dalam tahap penyembuhan membutuhkan serat kolagen
yang tersusun dalam barisan dan tumpukan yang teratur untuk pembentukan
parut. Komposisi serat yang ideal dapat diibaratkan seperti barisan tentara yang
berjajar rapi. Akan tetapi, proses untuk mendapatkan barisan yang rapi
membutuhkan waktu yang lama. Pada awalnya, kolagen tersusun secara acak dan
tidak teratur sehingga pada saat palpasi dilakukan, parut teraba padat dan lebih
menonjol bila dibandingkan dengan permukaan kulit sekitar. Hal ini tidak dapat
dihindari karena dibutuhkan proses untuk mengubah kolagen yang acak menjadi
teratur, supaya tercipta parut yang halus, lembut dan datar.

2. Luka terbuka
Walaupun luka terbuka menyembuh dengan proses yang sama seperti pada luka
tertutup, terdapat perbedaan tertentu secara klinis. Luka terbuka menyembuh secara
skunder (secondary intention) dimana epitelisasi dan kontraksi luka mempunyai peran
lebih besar daripada untuk luka tertutup (penyembuhan primer). Perbedaan utama
antara penyembuhan luka primer dan skunder. Setelah beberapa hari luka terbuka
terisi jaringan granulasi yang terdiri dari sel-sel radang, substansi dasar , fibroblant,
dan puncak kapiler, yang menyebabkan jaringan granulasi berwarna kemerahan. Luka
terbuka menutup dengan proses kontraksi luka bahkan luka abdomen dapat
berkontraksi menjadi jaringan parut linier yang tipis. Gambaran akhir luka terbuka
dapat diperkirakan dengan mendekatkan kedua tepi luka jahitan yang digunakan
untuk menutup luka berperan dalam kontraksi luka yang normal.
Kekuatan kontraksi luka berasal dari sel-sel hidup. Walaupun dipedebatkan ,
kekuatan kontraksi luka sekarang telah ditentukan berasal dari miofibroblast
(fibroblast dengan modifikasi) yang mempunyai sifat-sifat fibroblast dan selotot
polos. Kontraksi dapat diperkecil dengan segera menggantikan kulit yang hilang
dengan “thick graft” atau “pedicle flaps” “thin split thickness skin graft “
menghalangi kontraksi sebagian. Di daerah jaringan yang terfiksasi kontraksi
maksimal mungkin dapat menutup kerusakan yang besar epitelialisasi dapat menutup
kerusakan 1-2cm, terapi kerusakan lebih besar mungkin menjadi ulkus terbuka
kronik. Setelah priode waktu yang lama area ini dapat mengalami bentuk sangat
ganas, karsinoma sel skuamosa, mungkin akibat stimulasi proliferatif kronik sel-sel
epitel penutupan yang adekuat dengan “graft” dapat mencegah transformasi maligna.

E. Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka


Pada dasarnya, proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dibagi
menjadi dua kelompok besar; faktor lokal dan faktor sistemik.
Yang dimaksud dengan faktor lokal adalah semua kondisi yang berhubungan langsung
dengan lokasi luka, sedangkan faktor sistemik merupakan keseluruhan kondisi sistemik
individu yang terluka.
1. Faktor-faktor lokal
a. Infeksi
Luka selalu rentan terhadap resiko infeksi. Sebagian besar luka kronis mengalami
kontaminasi; dan kolonisasi bakteri tidak selalu menghalangi proses
penyembuhan luka, kecuali jumlah bakteri menjadi sangat tinggi dan
menyebabkan infeksi. Sebaliknya, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya
kolonisasi dan infeksi akan menaikkan beban metabolic tubuh, karena energi yang
seharusnya digunakan untuk menyembuhkan luka justru digunakan tubuh untuk
menyingkirkan bakteri; kondisi ini disebut bacterial bio-burden.
b. Benda asing
Adanya benda asing pada luka menyebabkan energi penyembuhan luka dialihkan
demi menyingkirkan “musuh” yang berupa benda asing. Hasilnya adalah proses
penyembuhan luka yang lebih lambat dari pada yang seharusnya.
c. Hipoksia/iskemia
Iskemia jaringan adalah musuh terbesar bagi penyembuhan luka. proses
penyembuhan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya jika jaringan luka
mengalami iskemia, yang biasanya diakibatkan oleh suplai darah dari arteri yang
jumlahnya tidak adekuat atau terganggu karena hambatan aliran balik darah dari
jaringan perifer. Kondisi ini menyebabkan apoptosis sel endotel yang kemudian
mengganggu kerja system mikrovaskular dalam memberikan suplai nutrisi dan
oksigen. Keadaan yang miskin oksigen menciptakan kondisi anaerob, dan
selanjutnya metabolisme anaerob akan menghasilkan ATV (adenosine-
triphosphate) dalam jumlah yang kecil atau bahkan tidak menghasilkan ATV
sama sekali yang kemudian mengakibatkan jaringang mengalami iskemia dan
nekrosis.
d. Insufisiensi vena
System vascular yang terdiri dari komponen arteri dan vena bertanggung jawab
mencukupi kebutuhan perfusi jaringan. Aliran balik vena sama pentingnya dengan
aliran arteri dalam menjaga jaringan agar tetap tercukupi kebutuhan perfusinya.
Ketika aliran vena mengalami gangguan, metabolisme jaringan dan seluler akan
mengalami kekacauan dan tidak dapat berfungsi secara baik akibat terkumpulnya
hasil sisa metabolisme secara in situ. Secara klinis, darah yang terkumpul
tersebut pada akhirnya akan menimbulkan hambatan aliran darah. Aliran darah
lokal menjadi tidak mampu memenuhi asupan nutrisi dan oksigen yang
merupakan kebutuhan metabolisme jaringan. Secara keseluruhan, gangguan pada
system vaskularisasi yang lebih sering melibatkan ekstremitas bawah akan
mengurangi perfusi jaringan yang kemudian berujung pada kerusakan jaringan
yang berlanjut; proses penyembuhan luka tidak dapat berlanjut.
e. Toksin lokal
Akumulasi toksin infeksi bakteri serta sisa metabolisme akan menginduksi proses
nekrosis jaringan dan meningkatkan beban metabolic karena terjadi pengalihan
penggunaan energy demi mengeliminasi toksin yang ada. Dengan demikian,
akumulasi toksin dapat mengakibatkan terhambatnya proses penyembuhan luka.
f. Jaringan parut/riwayat trauma sebelumnya
Riwayat trauma, terutama crush injury, dapat meninggalkan bekas luka atau
jaringan parut yang tampak buruk, kehilangan elastisitas, dan teraba lebih padat
dari pada kulit normal, dan kurang baik kualitas jaringannya. Proses
penyembuhan luka pada jaringan parut akan berjalan lambat atau bahkan tidak
dapat berlanjut.
g. Kerusakan akibat radiasi
Radiasi mempengaruhi proliferasi sel dan menginduksi kerusakan jaringan dan
apoptosis sel karena radiasi menimbulkan panas yang berpenetrasi ke dalam sel.
Hasil akhir proses penyembuhan pada luka akibat radiasi yang berat dapat berupa
jaringan parut, yang sama buruknya dengan jaringan parut akibat crush injury.
Secara ringkas, faktor-faktor lokal diatas dapat berinteraksi satu sama lain ketika
dua keadaan atau lebih terjadi pada suatau area luka. Akan tetapi, ada tiga poin
utama yang peling memengaruhi proses penyembuhan yang normal, yaitu
viabilitas jaringan, benda asing, dan kontaminasi bakteri yang berlebihan.

2. Faktor-faktor sistemik
a. Malnutrisi
Beberapa nutrisi memegang peranan yang penting dalam proses penyembuhan
luka sehingga penyembuhan luka akan terganggu bila kecukupan nutrisi tersebut
tidak tercapai. Berikut adalah daftar nutrisi yang berpengaruh pada proses
penyembuhan luka.
1) Glukosa sebagai bahan bakar utama sintesis kolagen
2) Arginine dan methionine untuk deposisi matriks, proliferasi sel, dan
angiogenesis
3) Glutamin meningkatkan aksi sel polimorfonuklear (PMN)
4) Magnesium (Mg), mangan (Mn), copper (Cu), kalsium (Ca), dan zat besi (Fe)
merupakan co-faktor dalam produksi kolagen
5) Vitamin C memengaruhi modifikasi kolagen
6) Glisin, arginine, methionine, mengontrol inflamasi
7) Zink (Zn) memengaruhi re-epitelisasi dan deposisi kolagen
8) Zink (Zn), vitamin-vitamin, selenium (Se), dan Copper (Cu) memiliki peranan
pada fungsi imunitas
9) L-arginin memengaruhi fungsi endotel dan fungsi metabolic dan juga sintesis
NO (nitric oxide)
10) Albumin memertahankan tekanan onkotik dan mencegah edema
b. Diabetes Mellitus
Patogenesis diabetes mellitus meliputi banyak jalur, baik jalur metabolic,
vascular, maupun neuropati yang seluruhnya bersumber dari sorbitol. Sorbitol
merupakan produk sisa hasil metabolisme glukosa yang tidak efektif dan tidak
efisien, dan akan bersifat toksik seiring terjadinya akumulasi, terutama pada
jaringan retina, ginjal, system vascular, mauoun system saraf tepi. Hal ini
menjelaskan mengapa penyakit diabetes mellitus sering diikuti komplikasi berupa
disfungsi retina (diabetic retinopathy), gagal ginjal kronis, mikroangiopati, dan
juga neuropati.
Sorbitol yang terakumulasi dan bersifat toksik nampaknya memicu deposisi
albumin di perikapiler. Protein non-fungsional, yang berasal dari peningkatan
vaskularisasi dermis, akan mengganggu difusi oksigen dan nutrisi pada organ-
organ perifer, termasuk kulit pada ekstremitas bagian bawah.
c. Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid sistemik dapat mengakibatkan gangguan imunitas yang
menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi maupun sepsis. Kedua
kondisi tersebut dapat mengakibatkan kegagalan jaringan luka dalam berespon
terhadap pengobatan.
d. Alkoholisme
Beberapa studi menyebutkan bahwa konsumsi alcohol dan paparan etanol dapat
menghambat proses penyembuhan luka. disebutkan juga bahwa konsumsi alcohol
secara kronis dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Terlebih lagi, paparan
terhadap alcohol dapat memengaruhi proliferasi sel, menghambat angiogenesis,
menurunkan baik oksigenasi jaringan maupun produksi kolagen, serta
memengaruhi keseimbangan protein pada jaringan luka.
e. Kanker/keganasan
Seseorang yang menderita kanker lebih rentan mengalami masalah dalam
penyembuhan luka karena banyaknya paparan tehadap radioterapi dana tau
kemoterapi sebagai upaya pengobatan kanker. Penurunan fungsi organ yang
spesifik, gangguan metabolisme, dan asupan nutrisi yang buruk akan melemahkan
system imunitas tubuh penderita kanker yang menyebabkan penderita lebih rentan
terhadap infeksi dan sepsis sehingga mengalami proses penyembuhan luka yang
terganggu.
f. Uremia
Akumulasi ureum yang bersifat toksik akan menimbulkan kondisi asidosis
metabolic. Ketika ginjal sudah tidak dapat mengeliminasi toksin yang sudah
terakumulasi, pasien akan jatuh pada kondisi gagal ginjal dan membutuhkan
dialysis secara rutin. Kondisi ini memengaruhi system imun yang membuat pasien
menjadi rentan terhadap infeksi. Seperti telah disinggung di atas, adanya infeksi
akan mengahambat proses penyembuhan luka.
g. Penyakit kuning/jaundice
Penyakit kuning/jaundice terjadi akibat kegagalan fungsi hepar. Kondisi ini
kemudian menyebabkan penurunan jumlah faktor-faktor pembekuan darah,
penurunan kadar protein plasma, dan kegagalan regulasi glukosa; dengan
demikian, jaundice merupakan faktor penghambat penyembuhan luka.
h. Kemoterapi
Obat yang digunakan dalam kemoterapi memiliki sifat sitotoksik, dengan
demikian proses regenerasi sel dan penyembuhan luka tertentu akan terganggu.
i. Usia tua
Waktu penyembuhan luka pada pasien geriatri lebih lambat jika dibandingkan
dengan pasien dari kelompok usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan oleh
adanya fungsi organ tubuh, penyakit penyerta dan penurunan kemampuan
regenerasi jaringan tubuh akibat proses penuaan yang terjadi pada pasien geriatri.
j. Merokok
Kebiasaan buruk berupa konsumsi rokok memiliki efek signifikan pada proses
penyembuhan luka.substansi kimia yang terkandung pada rokok, seperti nikrotin,
hydrogen sianida, dan CO akan memicu terjadinya vasokontriksi. Dengan
demikian, pasien yang merokok beresiko tinggi mengalami kegagalan penerimaan
graft maupun flap. Segala substansi kimia yang terdapat pada rokok juga
mengakibatkan peningkatan agregasi platelet, penurunan deposisi kolagen, serta
penurunan pembentukan prostasiklin.
F. Perawatan Pasien PraOperasi dan PascaOperasi
Pasien mengungkapkan pengetahuan tentang prosedur pembedahan, termasuk
persiapan sesnsasi praoperasi dan perawatan sesnsasi pasca operasi dan
mendemonstrasikan latihan pascaoperasi dalam penggunaan alat sebelum prosedur
pembedahan atau dengan pembedahan darurat selama periode pascaoperasi segera.
 Kaji pemahaman pasien tentang diagnosis, prosedur bedah, rutinitas praoperasi dan
regimen pascaoperasi. Evaluasi hasrat pasien terhadap informasi tentang diagnosis
dan prosedur.
 Klarifikasi dan jelaskan diagnosis dan prosedur pembedahan sesuai kebutuhan, bila
mungkin tekankan sensasi(miss, mulut kering, haus, kelemahan otot). Karena
informasi sering membantu dalam menurunkan stres dan ansietas.
 Jelaskan peristiwa praoperasi(dimana pasien berada sebelum, selama, dan setelah
operasi)
 Obat-obatan praoperasi dan waktu operasi(waktu yang dijadwalkan , durasi yang
diperkirakan

G. Pengangkatan Jahitan
Apabila ingin mengangkat jahitan, maka yang perlu dinilai adalah keutuhan kulit
yang sudah terlihat, sebagaimana sudah diketahui fungsi jahitan adalah untuk
mempertautkan atau menyatukan tepi-tepi luka. Bila pertautan tepi luka sudah cukup kuat,
dimana terjadi perletakan tepi luka dengan adanya serat-serat fibrin (jaringan fibrin,fibrin
mesh) yang secara klinis tampak luka sudah menutup, maka fungsi jahitan sudah tidak
diperlukan lagi.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mengangkat jahitan mencakup
 Vaskularisasi, umumnya daerah yang memiliki vaskularisasi baik, misalnya wajah,
proses penyembuhan berlangsung cepat, sementara daerah/jaringan yang memiliki
vaskularisasi kurang baik (misalnya tungkai dan tendon) proses penyembuhan
membutuhkan waktu lebih lama.
 Pergerakan, daerah-daerah yang relatif sering bergerak misalnya sendi lutut, proses
penyembuhan bisa terjadi lebih lama. Oleh karenanya proses penyembuhan luka
pada sendi/persendian diupayakan dengan mengistirahatkan sendi yang terlihat.

H. Penutupan Luka
Hal yang harus diperhatikan pada prinsip penutupan luka adalah mengupayakan
kondisi lingkungan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang lembab dan baik,
sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung dengan optimal.
Kulit berfungsi sebagai sarana pengatur penguapan cairan tubuh dan sebagai barier
terhadap invasi mikrobial patogen, ketika terjadi luka, fungsi ini menurun.

I. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengenai luka yang terjadi pada bagian ekstremitas bawah perlu di identifikasi
riwayat pasien dan trauma, hal ini akan mendukung ke arah diagnosa luka. Yang penting
dikaji adalah faktor resiko penyakit vaskuler perifer yang mencakup; penyakit jantung,
stroke, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, trauma, imobilisasi, faktor kehamilan,
kegemukan dan riwayat merokok.

J. Penatalaksanaan
Sejalan dengan luka melalui fase-fase penyembuhan banyak elemen seperti nutrisi
yang adekuat, kebersihan, istirahat, dan posisi. Menentukan seberapa cepat proses
penyembuhan terjadi, faktor-faktor ini dipengaruhi oleh intervensi keperawatan.
Pengkajian keperawatan spesifik dan intervensi yang menunjukan faktor ini dan membantu
untuk meningkatkan penyembuhan luka.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Diagnosa Keperawatan
1. Kurang pengetahuan b.d prosedur pembedahan, rutinitas praoperasi, dan perawatan
pasca operasi
2. Nyeri kronik b.d proses penyakit, cedera, atau prosedur bedah
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan sekresi trakeobronkial sekunder
terhadap efek anestesia; batuk tidak efektif sekunder terhadap depresi SSP atau nyeri
dan splinting otot; dan kemungkinan spasme laring sekunder terhadap selang
endotrakeal atau reaksi alergi terhadap anestesik

B. Rencana Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi

Kurang pengetahuan b.d Pasien mengungkapkan 1. Kaji pemahaman pasien


prosedur pembedahan, pengetahuan tentang tentang diagnosis,
rutinitas praoperasi, dan prosedur pembedahan, prosedur bedah, rutinitas
perawatan pasca operasi termasuk persiapan dan praoperasi, dan regimen
sensasi praoperasi dan pascaoperasi.
perawatan dan sensasi 2. Kaji faktor-faktor yang
pascaoperasi, dan mempengaruhi
mendemostrasikan latihan kemampuan pasien
pascaoperasi dan untuk belajar.
penggunaan alat sebelum 3. Tentukan pengalaman
prosedur pembedahan atau bedah masa lalu dan efek
dengan pembedahan darurat, positif atau negatifnya
pada pasien.
selama periode pascaoperasi 4. Klarifikasi dan jelaskan
segera. diagnosis dan prosedur
pembedahan sesuai
kebutuhan. Bila
mungkin, tekankan
sensasi (mis. Mulut
kering, haus, kelemahan
otot).
5. Jelaskan peristiwa
praoperasi
6. Jelaskan aktivitas,
latihan, dan tindakan
pencegahan pascaoperasi
7. Sebelum pasien
dipulangkan, ajarkan ia
tindakan pencegahan
terhadap aktivitas yang
diprogramkan:
beristirahat maksimal,
meningkatkan aktivitas
secara bertahap sesuai
toleransi, menghindari
mengangkat benda berat
(>4,5 kg), menghindari
menyetir (seringkali
selama 4-6 mgg)
8. Berikan waktu untuk
pasien mengajukan
pertanyaan dan
mengekspresikan
perasaan ansietas;
bersikaplah
menenangkan dan
mendukung
Nyeri kronik b.d proses 1. Pantau pasien
penyakit, cedera, atau terhadap
Dalam 1 jam intervensi,
prosedur bedah ketidaknyamanan
persepsi subjektif pasien
pada interval sering.
tentang ketidaknyamanan
Gunakan metode
menurun, seperti ditunjukkan
formal untuk
skala nyeri.
mengkaji nyeri. Satu
metode adalah
meminta pasien
merentangkan
ketidaknyamanan
pada skala 0 (tidak
ada kenyamanan)
sampai 10 (nyeri
hebat).
2. Berikan analgesic
opioid (mis, morfin)
dan analgesic
antagonis-agonis
campuran yang
berhubungan (mis.
Butorfanol).
3. Buat sebuah
pendekatan sistemik
untuk
penatalaksanaan
nyeri bagi setiap
pasien. Untuk
mencapai hasil
terbaik, perawat
primer harus
berkolaborasi dengan
tim pengendalian
nyeri, ahli bedah, ahli
anestesi, dan pasien.
4. Periksa catatan
analgesia pasien
untuk dosisi terakhir
dan jumlah obat-
obatan yang
diberikan selama
pembedahan dan di
ruangan pemulihan
pascaoperasi.
Kondisikan waktu
dan dosis analgesia
pascaoperasi dengan
obat yang diberikan
sebelumnya.
5. Rencanakan untuk
memberikan
analgesic yang
dijadwalkan secara
intermiten sebelum
prosedur yang
menimbulkan nyeri
dan ambulasi dan
waktu tidur.
6. Tambahkan terapi
analgesic dengan
sedatif dan
tranquilizer untuk
memperpanjang dan
meningkatkan
analgesia. Jangan
menukarkan sedatif
atau tranquilizer
untuk analgesic.

Bersihan jalan nafas tidak Pasien diharapkan; 1. Kaji status


efektif b.d peningkatan pernapasan,
1. Jalan napas bersih,
sekresi trakeobronkial termasuk bunyi
ditandai dengan
sekunder terhadap efek napas, setiap 1-2 jam
bunyi napas normal
anestesia; batuk tidak efektif selama periode
pada auskultasi, FP
sekunder terhadap depresi pascaoperasi segera
12-20 kali/menit
SSP atau nyeri dan splinting dan setiap 8 jam
dengan kedalamaan
otot; dan kemungkinan selama pemulihan.
dan pola normal
spasme laring sekunder Perhatikan dan
(eupnea),
terhadap selang endotrakeal laporkan ronki yang
normotermia, dan
atau reaksi alergi terhadap tidak bersih dengan
warna kulit normal.
anestesik batuk, pernapasan
berat takipnea
(FP>20 kali/menit),
gelisah sianosis, dan
demam.
2. Anjurkan bernapas
dalam dan batuk
setiap 2 jam atau
lebih sering selama
72 jam pertama
pascaoperasi. Jika
krekels halus terjadi
(dan jika tidak
dikontraindikasikan),
minta pasien masuk
untuk mengeluarkan
sekresi. Permudah
bernapas dalam dan
batuk dengan
mendemostrasikan
bagaimana menekan
abdomen.
DAFTAR PUSTAKA

Pamela L, 2000. Keperawatan medical-bedah, Jakarta: EGC

Suriadi, 2004. Perawatan luka, Jakarta: CV. Sagung seto

Waluyo agung, 2002. Keperawatan medical-bedah brunner & suddarth vol.1. E/8, Jakarta: EGC

Suriadi, 2015. Pengkajian luka dan penangannya, Jakarta: CV. Sagung seto

Tyasmono, 2012. Manajemen luka, Jakarta: EGC

Theddeus, 2016. Panduan klinis manajemen luka, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai