Istilah birru walidain terdiri birru dan al walidain. Birru atau al- birru yg berarti
kebajikan dan al- walidain yang berarti kedua orang tua atau ibu bapak. Birru
walidain berarti berbuat kebajikan terhadap kedua rang tua
Seorang anak, meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada kedua
orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah berkeluarga.
Namun sangat disayangkan, betapa banyak orang yang sudah berkeluarga lalu
mereka meninggalkan kewajiban ini. Mengingat pentingnya masalah berbakti
kepada kedua orang tua, maka masalah ini perlu dikaji secara khusus.
Jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah ‘Azza wa Jalla melalui orang tua
adalah birrul walidain. Birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua)
merupakan salah satu masalah penting dalam Islam. Di dalam Al-Qur’an, setelah
memerintahkan manusia untuk bertauhid, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan
untuk berbakti kepada orang tuanya.
Seperti tersurat dalam surat al-Israa’ ayat 23-24, Allah Ta’ala berfirman:
ف َو ََّلٍّ ُ سانًا ۚ إِ اما يَ ْبلُغ اَن ِع ْندَكَ ْال ِكبَ َر أ َ َح ُد ُه َما أ َ ْو ِك ََل ُه َما فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما أ
َ ْض ٰى َربُّكَ أ َ اَّل ت َ ْعبُدُوا إِ اَّل إِيااهُ َوبِ ْال َوا ِل َدي ِْن إِحَ ََوق
يرا ً ص ِغ َ
َ ار َح ْم ُه َما ك َما َربايَانِي ْ ب ْ ُ
ِ الرحْ َم ِة َوقل َر ُّ
ض ل ُه َما َجنَا َح الذ ِل ِمنَ ا َ ْ ً َ َ ْ ُ
ْ تن َه ْره َما َوقل ل ُه َما ق ْوَّل ك َِري ًما َواخ ِف ُ ْ َ
Perintah birrul walidain juga tercantum dalam surat an-Nisaa’ ayat 36:
Dalam surat al-‘Ankabuut ayat 8, tercantum larangan mematuhi orang tua yang
kafir jika mereka mengajak kepada kekafiran:
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua
orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah
engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan akan Aku
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Al-‘Ankabuut (29): 8] Lihat
juga surat Luqman ayat 14-15.
“Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang
paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada
waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya
lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku
bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ [2]
“Darii ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ridha Allah bergantung kepada
keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua”
[3]
“ …Pada suatu hari tiga orang dari ummat sebelum kalian sedang berjalan, lalu
kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika
mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi
mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik
yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah dan
bertawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan
kesulitan tersebut. Salah satu di antara mereka berkata: ‘Ya Allah, sesung-
guhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku
mempunyai isteri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembala kambing,
ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikan kepada
kedua orang tuaku sebelum orang lain. Suatu hari aku harus berjalan jauh untuk
mencari kayu bakar dan mencari nafkah sehingga pulang sudah larut malam dan
aku dapati orang tuaku sudah tertidur, lalu aku tetap memerah susu
sebagaimana sebelumnya. Susu tersebut tetap aku pegang lalu aku mendatangi
keduanya namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek
menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan
memberikan kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan
kepada kedua orang tuaku. Kemudian aku tunggu sampai keduanya bangun.
Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya.
Setelah keduanya minum lalu kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah,
seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena mengharap wajah-
Mu, maka bukakanlah mulut gua ini.’ Maka batu yang menutupi pintu gua itu pun
bergeser sedikit..”[4]
Dalam silaturahmi, yang harus didahulukan adalah silaturahmi kepada orang tua
sebelum kepada yang lain. Banyak di antara saudara-saudara kita yang sering
berkunjung kepada teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri jarang,
bahkan tidak pernah. Padahal ketika masih kecil, dia selalu bersama orang
tuanya. Sesulit apa pun harus tetap diusahakan untuk bersilaturahmi kepada
kedua orang tua, karena dekat kepada keduanya -insya Allah- akan dimudahkan
rizki dan dipanjangkan umurnya.
3. Tawadhu’ (rendah hati). Tidak boleh kibr (sombong) apabila sudah meraih
sukses atau memenuhi jabatan di dunia, karena sewaktu lahir, kita berada dalam
keadaan hina dan membutuhkan pertolongan, kita diberi makan, minum, dan
pakaian oleh orang tua.
4. Memberi infaq (shadaqah) kepada kedua orang tua, karena pada hakikatnya
semua harta kita adalah milik orang tua. Oleh karena itu berikanlah harta itu
kepada kedua orang tua, baik ketika mereka minta ataupun tidak.
Seandainya orang tua masih berbuat syirik serta bid’ah, kita tetap harus berlaku
lemah lembut kepada keduanya, dengan harapan agar keduanya kembali
kepada Tauhid dan Sunnah. Bagaimana pun, syirik dan bid’ah adalah sebesar-
besar kemungkaran, maka kita harus mencegahnya semampu kita dengan dasar
ilmu, lemah lembut dan kesabaran. Sambil terus berdo’a siang dan malam agar
orang tua kita diberi petunjuk ke jalan yang benar.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Ibnu sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat yang
kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu-bapaknya.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul
Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278),
Ahmad (I/351, 409, 410, 439).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 2),
Ibnu Hibban (no. 2026 al-Mawaarid), at-Tirmidzi (no. 1899), al-Hakim (IV/151-
152), ia menshahihkan atas syarat Muslim dan adz-Dzahabi menyetujuinya.
Syaikh al-Albani rahimahullaah mengatakan hadits ini sebagaimana yang
dikatakan oleh mereka berdua (al-Hakim dan adz-Dzahabi). Lihat Shahiih Adabul
Mufrad (no. 2).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2272), Fathul Baari (IV/449),
Muslim (no. 2743), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5985, 5986), Muslim (no.
2557), Abu Dawud (no. 1693), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.