BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir
berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibukotanya
merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang
menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada
masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara
tradisional telah berakar di Mesir. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam
dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah
(sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H)
yang terkenal dengan Perang Salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina,
Dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki
Usmani.
Pada 2 Juni 1798 Napoleon Bonaparte melakukan pendaratan di Alexandria
sebagai tanda di mulainya ekspedisi Perancis di Mesir. Ekspedisi yang merupakan
rencana lama pemerintahan Louis XIV tentang penyerbuan ke Mesir untuk
menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah sehingga bisa memperluas
kemenangan mereka ke arah Barat. Ekspedisi Perancis tersebut berlangsung
selama tiga tahun dan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1801.
Ekspedisi Napoleon di Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu :
1. Sistem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih
untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa
dijatuhkan oleh parlemen. Pada awal abad ke-20 istilah republik muncul
terjemahannya yaitu jumhuriyyah yang artinya orang banyak.
2. Ide persamaan (egalite) artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya
rakyat dalam pemerintahan. Napoleon mendirikan suatu badan terdiri dari
ulama-ulama al-Azhar dan pemuka-pemuka dunia dagang dari Kairo dan
daerah-daerah sekitar. Tugas badan ini adalah membuat undang-undang,
memelihara ketertiban umum dan menjadi perantara antara penguasa
Perancis dan rakyat Mesir. Selain itu juga dibentuk Diwan al Ummah yang
2
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Sejarah Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 11.
2
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Jakarta: Mizan Pustaka,
2008), hlm. 181.
5
Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah harus dikembalikan lagi menjadi sumber utama
sebagai tolok ukur pembenar bagi ide Barat karena kemajuan yang dipakai Barat
saat ini disebabkan karena mereka mengambil kekayaan intelektual dan
historisitas dari pancaran al-Qur’an. Sebaliknya dalam masyarakat Islam
mengalami kemunduran karena meninggalkan ajaran al-Qur’an yang seharusnya
menjadi pembimbing dan penunjuk jalan keberhasilan umat Islam sepanjang
zaman.
Ris‟an Rusli merumuskan, bahwa pembaharuan dalam Islam adalah
“pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam
dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern”.3
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pembaharuan dalam Islam
memiliki tujuan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dengan berpedoman pada ide-ide dasar dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. Pemahaman ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan
mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan
dasar yang riil dan jelas. Tajdid di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah
agama, akan tetapi maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan
memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan
hawa nafsu manusia sepanjang zaman, memberikan jawaban terhadap masalah-
masalah yang timbul di era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah SWT.
B. Gerakan modernis
Pergerakan ini merupakan salah satu pergerakan Islam pertama yang muncul
pada pertengahan abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap perubahan pesat yang
terjadi akibat dominasi Barat terhadap dunia Muslim. Para pendirinya
meliputi Muhammad Abduh, seorang syeikh di Universitas Al-Azhar,
dan Jamaluddin al-Afghani.4
3
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm.14.
4
Wikipedia, Modernisasi Islam, https://id.wikipedia.org/wiki/Modernisme_Islam, diakses
pada: (Senin, 11 November 2019, pukul14.10 WIB).
6
5
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 62.
6
M. Aunul Abied Shah, et.al, Islam Garda Depan: Moasaik Pemikiran Islam Timur
Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 102.
11
2) Pemikiran kependidikan
b) Kurikulum
Kurikulum al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini ia
memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke
dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar outputnya
dapat menjadi ulama modern.
Kurikulum sekolah dasar
Ia beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaklah
dimulai semenjak masa kanak-kanak. oleh karena itu mata
pelajaran agama hendaklah dijadikan sebagai inti dari semua mata
pelajaran.
Kurikulum sekolah menegah dan sekolah kejuruan
Ia mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan
tenaga ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer,
kesehatan, perindustrian dan sebgainya. Melalui pendidikan ini
Abduh merasa perlu untuk memasukkan beberapa materi khusunya
pendidikan agama, sejarah Islam dan kebudayaan Islam
13
c) Metode
4) Pembaharuan Hukum
C. Gerakan Fundamentalis
:
10
Wikipedia, Fundamentalisme. https://id.wikipedia.org/wiki/Fundamentalisme diakses
pada: (Senin, 11 November 2019, pukul 15.30 WIB).
19
Pada tahun 1964, Quthb dilepaskan karena alasan yang sama atas
campur tangan Presiden Irak pada waktu itu, yaitu ‘Abd al-Salâm
Muhammad ‘Ârif. Setelah lepas dari penjara, Quthb diminta oleh para
petinggi al-Ikhwân al-Muslimûn untuk memegang komando, akan tetapi ia
menolaknya, meskipun ia terus bekerja atas nama organisasi tersebut. Pada
akhir tahun 1965, ia dieksekusi bersama-sama anggota al-Ikhwân lainnya
pada awal tahun 1966.
24
beradab, penuh wibawa dan penuh harga diri. Suatu sikap yang sesuai
dengan statusnya sebagai orang-orang yang beriman. Ketiga, kebebasan
beragama merupakan hak asasi manusia yang karena iktikadnya itulah
layak disebut manusia. Sebab itu, orang yang melucuti manusia dari
kebebasan kemerdekaan berakidah berarti ia telah melucuti
kemanusiaannya. Keempat, akidah sebagaimana dibawa oleh Islam,
merupakan masalah kerelaan hati setelah mendapatkan keterangan dan
penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Kelima, setiap orang mukmin
adalah bersaudara apapun kelompoknya, manhâj-nya, atau alirannya.11
11
Arsyad Sobby Kesuma “Re-Interpretasi Pemikiran Ukhuwwah Sayyid Quthb” Vol.
XLII No. 1, MIQOT Januari-Juni 2018, hlm. 101-102.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab
itu diharapkan pembaca dapat memberikan saran yang bersifat konstruktif agar
dalam makalah selanjutnya lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.