Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir
berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibukotanya
merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang
menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada
masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara
tradisional telah berakar di Mesir. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam
dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiah
(sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H)
yang terkenal dengan Perang Salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina,
Dinasti Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki
Usmani.
Pada 2 Juni 1798 Napoleon Bonaparte melakukan pendaratan di Alexandria
sebagai tanda di mulainya ekspedisi Perancis di Mesir. Ekspedisi yang merupakan
rencana lama pemerintahan Louis XIV tentang penyerbuan ke Mesir untuk
menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah sehingga bisa memperluas
kemenangan mereka ke arah Barat. Ekspedisi Perancis tersebut berlangsung
selama tiga tahun dan berakhir pada tanggal 31 Agustus 1801.
Ekspedisi Napoleon di Mesir setidaknya menghasilkan tiga ide baru yaitu :
1. Sistem pemerintahan republik yang didalamnya kepala negara dipilih
untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa
dijatuhkan oleh parlemen. Pada awal abad ke-20 istilah republik muncul
terjemahannya yaitu jumhuriyyah yang artinya orang banyak.
2. Ide persamaan (egalite) artinya persamaan kedudukan dan turut sertanya
rakyat dalam pemerintahan. Napoleon mendirikan suatu badan terdiri dari
ulama-ulama al-Azhar dan pemuka-pemuka dunia dagang dari Kairo dan
daerah-daerah sekitar. Tugas badan ini adalah membuat undang-undang,
memelihara ketertiban umum dan menjadi perantara antara penguasa
Perancis dan rakyat Mesir. Selain itu juga dibentuk Diwan al Ummah yang
2

dalam waktu tertentu mengadakan sidang untuk membicarakan hal-hal


yang berkaitan dengan kepentingan nasional.
3. Ide kebangsaan. Dalam maklumat Napoleon dinyatakan bahwa orang
Perancis merupakan satu bangsa (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah
orang asing yang datang ke Mesir dari Caucacus sehingga sekalipun
mereka itu orang Islam tetapi berlainan dengan orang Mesir.
Ide-ide yang dibawa oleh Napoleon ke Mesir pada waktu itu belum
mempunyai pengaruh yang nyata bagi umat Islam Mesir. Walaupun demikian
ternyata ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan
kelemahan dan kemunduran mereka.
Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk
mengembangkan balance of power yang telah pincang dan membahayakan Islam.
Kontak Islam dengan Barat saat itu berlainan dengan kontak Islam dengan Barat
di periode klasik. Pada periode klasik, Islam berada pada masa kejayaannya dan
Barat sedang dalam kegelapan. Namun keadaan itu menjadi terbalik, Islam sedang
dalam kegelapan dan Barat semakin maju dan Islam yang ingin belajar dari Barat.
Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan
atau modernisasi dalam Islam. Pemuka-pemuka Islam mengeluarkan
pemikirannya bagaimanakah cara membuat umat Islam maju kembali seperti pada
masa periode klasik. Usaha ke arah itu pun mulai dijalankan di kalangan umat
Islam.
Dalam makalah ini penulis menitikberatkan pembaharuan di Mesir yang
dipelopori Al-Afghani, Muhammad Abduh, Qosim Amin, Rasyid Rida., Hasan al-
Banna dan Sayyid Qutb.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan pembaharuan dalam Islam?


2. Bagaimana pemikiran tokoh gerakan modernis (Al-Afghani, Muhammad
Abduh, Qosim Amin) di Mesir?
3. Bagaimana pemikiran tokoh gerakan fundamentalis (Rasyid Rida., Hasan
al-Banna dan Sayyid Qutb) di Mesir?
3

C. Tujuan Pembahasan

Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan definisi pembaharuan dalam Islam.


2. Menjelaskan pemikiran tokoh gerakan modernis (Al-Afghani, Muhammad
Abduh, Qosim Amin) di Mesir
3. Menjelaskan pemikiran tokoh gerakan fundamentalis (Rasyid Rida., Hasan
al-Banna dan Sayyid Quthb) di Mesir.
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam

Dalam Bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi dan


modernisme, seperti yang terdapat umpamanya dalam “aliran-aliran modern
dalam Islam dan Islam dan Modernsasi”.1

Nurcholish Madjid menambahkan, mengenai perlunya modernisasi atau


pembaharuan dalam Islam adalah merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban
yang mutlak. Modernisasi adalah merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran
Tuhan Yang Maha Esa.2

Secara sederhana gerakan pembaharuan dalam Islam atau sering diistilahkan


dengan tajdid dapat diartikan sebagai upaya, baik secara individual maupun
kelompok pada kurun waktu tertentu untuk mengadakan perubahan dari persepsi
dan praktek keislaman yang telah mapan kepada bentuk pemahaman dan
pengamalan baru.

Menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari at-Tajdid


dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di dunia
Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari
kata modernisme. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti segala
macam pikiran, aliran, gerakan dan usaha baru untuk mengubah berbagai paham,
adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru
yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Pembaharuan dalam bentuk modernisme dilakukan dengan mengadopsi
peradaban Barat karena modernitasnya menjadi pola ukuran kemajuan pada saat
itu. Dalam aplikasi pembaharuannya dilakukan dengan membangun interpretasi
baru terhadap sumber nilai fundamen utama yang tertuang dalam al-Qur’an dan

1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Sejarah Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 11.
2
Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Jakarta: Mizan Pustaka,
2008), hlm. 181.
5

Sunnah. Al-Qur’an dan Sunnah harus dikembalikan lagi menjadi sumber utama
sebagai tolok ukur pembenar bagi ide Barat karena kemajuan yang dipakai Barat
saat ini disebabkan karena mereka mengambil kekayaan intelektual dan
historisitas dari pancaran al-Qur’an. Sebaliknya dalam masyarakat Islam
mengalami kemunduran karena meninggalkan ajaran al-Qur’an yang seharusnya
menjadi pembimbing dan penunjuk jalan keberhasilan umat Islam sepanjang
zaman.
Ris‟an Rusli merumuskan, bahwa pembaharuan dalam Islam adalah
“pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam
dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern”.3
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa pembaharuan dalam Islam
memiliki tujuan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern dengan berpedoman pada ide-ide dasar dalam al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah saw. Pemahaman ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan
mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan
dasar yang riil dan jelas. Tajdid di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah
agama, akan tetapi maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan
memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan
hawa nafsu manusia sepanjang zaman, memberikan jawaban terhadap masalah-
masalah yang timbul di era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah SWT.

B. Gerakan modernis

Pergerakan ini merupakan salah satu pergerakan Islam pertama yang muncul
pada pertengahan abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap perubahan pesat yang
terjadi akibat dominasi Barat terhadap dunia Muslim. Para pendirinya
meliputi Muhammad Abduh, seorang syeikh di Universitas Al-Azhar,
dan Jamaluddin al-Afghani.4

3
Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm.14.
4
Wikipedia, Modernisasi Islam, https://id.wikipedia.org/wiki/Modernisme_Islam, diakses
pada: (Senin, 11 November 2019, pukul14.10 WIB).
6

1. Jamaluddin Al-Afghani (1837-1897 M)


a. Biografi Jamaluddin Al-Afghani

Menurut Taufiqurrahman dalam bukunya Pemikiran Dan Gerakan


Pembaharuan Islam: Abad Modern dan Kontemporer, Sayyid Jamaluddin
al-Afghani (1837-1897 M) lahir di As’adabat, Kuna, wilayah timur
Afghanistan. Ia termasuk bangsawan dimana nasabnya sampai kepada
Hasan Ibn Ali. Masa kecil al-Afghani mendapat pengajaran dari ayahnya
dalam al-Qur’an dan membacanya. Kemudian belajar bahasa Persia dan
Arab secara konvensional, filsafat dan tasawuf yang biasa diajarkan
bangsa Persia hingga dewasa ini. Ia mempelajari ilmu pasti dengan cara
modern di India dan mengadakan perjalanan keliling dunia Islam. Al-
Afghani menekuni ilmu mantiq, etika, politik dan teologi. Tetapi dalam
biografi yang lain Jamaluddin al-Afghani dikenal lahir di Iran dan
berpendidikan Syi’ah, bukannya seorang Sunni Afghan seperti yang
diakuinya. Klaim sebagai warga Iran ini dalam rangka meyakinkan
kesesuaiannya dengan kalangan Muslim Sunni. Sebagai orang yang
terdidik dalam ajaran Syi’ah ia sangat dikenal sebagai filosof Muslim.

Pada usia dua puluh tahun, al-Afghani menjadi pembantu pangeran


Dust Muhammad Khan di Afghanistan. Tahun 1864 ia menjadi penasehat
Sharm Ali Khan dan beberapa tahun kemudian menjadi Perdana Menteri.
Ketika terdesak oleh Inggris karena mencampuri urusan politik
Afghanistan, ia pergi ke India dan mengenal pendidikan modern. Ketika
India jatuh ke tangan Inggris ia pergi ke Mesir (1871). Di Mesir (1879) ia
mempunyai murid seperti Muhammad Abduh dan Saad Zaghlul. Tahun
1883 al-Afghani pindah ke Paris dan mendirikan Jamiyat al-Wustqa,
beranggotakan orang India, Mesir, Suriah dan Afrika Utara dengan tujuan
memperkuat persaudaraan muslim. Tahun 1889 al-Afghani diundang ke
Rusia untuk menyelesaikan persengketaan antara Rusia dan Persia. Namun
karena ada perselisihan antaranya dengan Syah Nasir al-Din, al-Afghani
dipaksa keluar dari Persia. Kemudian diundang Sultan Abdul Hamid II
(1892) dan menetap di Istambul. Tetapi karena al-Afghani melontarkan ide
7

demokrasi yang bertentangan dengan kekuasaan Sultan, maka ia di penjara


sebagai tahanan politik dan tidak bisa mengembangkan ide-ide politik dan
agama sampai wafatnya tahun 1897.

b. Pemikiran Pembaharuan Islam Jamaluddin al-Afghani


Pemikiran pembaharuan Islam Jamaluddin al-Afghani berdasarkan
keyakinan bahwa reformasi Islam adalah penting lantaran ia merupakan
basis bagi pencapaian teknik dan ilmiah, solidaritas politik dan kekuasaan.
Dalam pandangan tentang kemunduran umat Islam yang berakibat
pada penguasaan ekonomi dan politik oleh orang Barat, al-Afghani
mengatakan bahwa hal ini disebabkan :
1) Umat Islam telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya dan
mengikuti ajaran yang datang dari luar dan asing bagi Islam. Mereka
kehilangan cita-cita dan menjadi fatalis dan statis karena salah
interpretasi tentang arti qadha dan qadar.
2) Ukhuwah Islamiyah melemah dikalangan umat Islam ditingkat lokal
atau internasional, baik disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan
Sunni dan Syiah maupun perpecahan antara alim ulama dan raja-raja
Islam.
3) Kemalasan untuk melakukan ijtihad, karena mereka sudah merasa
puas dengan apa yang dihasilkan ulama masa klasik.
4) Mereka menganggap segala yang berasal dari Barat dianggap haram
dan bid’ah atau subhat yang harus diperangi.
Untuk mengobati penyakit umat Islam semacam itu maka al-Afghani
memberikan pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
1) Kejayaan kembali umat Islam terwujud kalau kembali kepada ajaran
Islam yang murni dengan meneladani pola hidup sahabat khususnya
Khulafa’ al Rasyidun.
2) Perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat secara politik,
ekonomi dan kebudayaan.
3) Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam ilmu dan teknologi,
dimana umat Islam harus belajar tentangnya, yang pada hakikatnya
hanya mengambil kembali apa yang dulu disumbangkan Islam kepada
8

Barat dan kemudian secara selektif di kritisi menggunakannya untuk


kejayaan Islam.
Menurut Jamaluddin al-Afghani, pada intinya Islam sangat tepat
dijadikan sebagai landasan bagi sebuah masyarakat modern. Islam adalah
agama akal dan membebaskan penggunaan akal pikiran. Al-Afghani
berdalih, bahwasanya al-Qur’an harus ditafsirkan dengan akal dan
mestilah dibuka kesempatan bagi penafsiran ulang (reintrepetasi) oleh
para individu dalam setiap zaman. Dengan menekankan penafsiran al-
Qur’an secara rasional, al-Afghani yakin bahwa Islam mampu menjadi
dasar bagi sebuah masyarakat ilmiah modern, sebagaimana ia telah
menjadi dasar masyarakat muslim masa pertengahan yang dibangun
berdasarkan keimanan. Selain itu ia juga berdalih bahwa jika dipahami
secara baik Islam merupakan sebuah keyakinan dinamis sebab ia
mendorong sikap aktif, yakni sikap tanggung jawab terhadap urusan
dunia.
Terkait dengan penjajahan Barat yang menguasai wilayah Islam
termasuk Mesir, al-Afghani melihat bahwa Barat telah banyak melakukan
pengrusakan terhadap akidah Islam melalui paham Barat seperti
evolusialisme dan materialism. Sebagai bentuk tanggungjawabnya
sebagai tokoh ia melakukan dua sikap: Pertama, menulis buku al-Radd
‘ala al-Dahriyyin, suatu risalah yang menerangkan suatu kerusakan yang
ditimbulkan oleh paham materialisme dan menetapkan bahwa agama
adalah dasar kebudayaan dan kekufuran adalah perusak kemajuan. Kedua,
melakukan upaya menghimpun masyarakat Islam dalam satu payung
pemerintahan. Karena hal ini dirasakan tidak memungkinkan maka al-
Afghani menggagas untuk menghimpun Negara-negara Islam dalam satu
ikatan yang kokoh. Ide ukhuwawah Islamiyah atau Pan-Islamisme
merupakan ide menyatukan Negara-negara Islam yang otonom,
berkeadilan, atas dasar musyawarah dan diikat oleh perjanjian
persahabatan serta dipimpin oleh pemerintahan yang paling besar dan
kuat.
9

c. Relevansi Pemikiran Pembaharuan Jamaluddin al-Afghani


dengan kehidupan sekarang
Di era perkembangan jaman sekarang ini visi Afghani sangat
berpengaruh untuk meningkatkan peradaban Islam, pertama adalah
pembela dunia Islam dalam menghadapi serbuan dan pelanggaran Barat,
kedua melakukan pembaharuan di kalangan muslim untuk dapat
menghadapi pengaruh Barat dan merebut kemerdekaan, ketiga
menganjurkan Islam sebagai agama harus bangkit.

2. Muhammad Abduh (1849-1905 M)


a. Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M (1265 H) di
Mahallah Nasr, suatu perkampungan agraris termasuk Mesir Hilir di
Propinsi Gharbiyyah. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Chairullah,
seorang berdarah Turki sedangkan ibunya Junainah binti Utsman al-Kabir
mempunyai silsilah keluarga besar keturunan Umar Bin Khattab. Tahun
1866 Muhammad Abduh pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Ketika
berada di Al-Azhar ia bertemu Jamaluddin al-Afghani yang datang ke
Mesir dan kemudian Abduh bergabung bersama al-Afghani untuk
memperluas studinya. Di bawah bimbingan Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh belajar filsafat dan ilmu sosial serta politik. Termasuk
didalamnya terdapat Sa’d Zaghlul. Al-Afghani aktif memberikan dorongan
kepada siswa-siswanya ini untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri
mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu.
Tahun 1878 Muhammad Abduh mendapat tugas mengajar di
perguruan tinggi Dar al-‘Ulm yang baru saja didirikan. Dia memanfaatkan
ini sebagai peluang untuk berbicara dan menulis soal politik dan social,
dan khususnya soal pendidikan nasional, selama periode kesadaran
nasional kian tinggi di Mesir. Setahun kemudian Abduh diberhentikan dari
jabatan mengajarnya di Dar al-‘Ulm karena sikap politiknya yang
dianggap terlalu keras. Tetapi kemudian Abduh diangkat oleh perdana
menteri menjadi editor sebuah koran resmi di Mesir yakni Al-Waqa’i’ Al
10

Mishriyah. Dalam posisi itu Muhammad Abduh menjadi sangat


berpengaruh dalam membentuk pendapat umum. Dengan semakin kritis,
posisi Abduh semakin terancam dan kemudian diasingkan dari Mesir
selama tiga tahun. Pada 1888 ia diizinkan kembali ke Kairo, diangkat
menjadi hakim, dan menjadi anggota dewan administratif Al-Azhar pada
1895. Selain itu ia juga diangkat menjadi Mufti Besar Mesir. Muhammad
Abduh meninggal pada 11 Juli 1905.
b. Upaya Pembaharuan Muhammad Abduh
1) Pemikiran Keagamaan

Pemikiran pembaharuan Abduh dalam bidang agama antara lain


tentang kemunduran umat Islam. Abduh berpendapat bahwa hal ini
disebabkan oleh umat Islam sendiri yang tidak melaksanakan ajaran
Islam sebenarnya. Mereka lebih cenderung pada tarekat yang ekstrim
dan menimbulkan pengkultusan syeikh tarekat serta dijadikannya
perantara dengan Tuhan.

Sejalan dengan yang dikatakan Harun Nasution, yang menjadikan


umat Islam mundur menurut Abduh adalah paham jumud yang
terdapat dalam Islam. Dalam kata jumud mengandung arti keadaan
membeku, keadaan statis, tidak ada perubahan. Karena pengaruh
paham jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau
menerima perubahan, umat Islam berpegang teguh pada tradisi.5

Oleh karenanya, Abduh menuntut agar umat Islam tidak terjebak


pada kejumudan dan mampu menggunakan akalnya dengan benar agar
dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Sesuai dengan agama
Islam adalah agama yang sangat menghargai akal pikiran, dan dengan
akal yang benar bisa menambah kepercayaan kita dalam mengimani
Allah dengan sempurna.6

5
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 62.
6
M. Aunul Abied Shah, et.al, Islam Garda Depan: Moasaik Pemikiran Islam Timur
Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 102.
11

Untuk menyesuaikan dan melakukan reinterpretasi baru tersebut


maka Abduh beranggapan perlunya pintu ijtihad di buka. Ijtihad
menurutnya bukan hanya boleh, malah penting dan perlu di adakan.
Namun demikian, yang dimaksudkan adalah tidak semua orang bebas
untuk melakukan ijtihad, hanya mereka yang sudah memenuhi syarat-
syarat. Sedangkan bagi mereka yang tidak memenuhi syarat, harus
mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya.

Lapangan bagi ijtihad menurut Abduh dalam kutipan Nasution,


ialah hanya mengenai soal-soal muamalah saja. Adapun soal ibadat,
karena ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan
antara manusia dengan manusia, tidak menghendaki perubahan
menurut zaman. Oleh karena itu, ibadah bukanlah lapangan ijtihad
sebenarnya untuk zaman modern ini.

2) Pemikiran kependidikan

Abduh lebih dikenal sebagai seorang pendidik, karena sepanjang


hidupnya dia tidak pernah lepas dari memberikan pengajaran baik di
al-Azhar, Darul Ulum, ataupun di rumahnya sendiri. Namun keinginan
untuk menjadi seorang pendidik terutama menjadi Syaikh al-Azhar
tidak pernah terwujud walaupun sebenarnya kemampuan Abduh sudah
tidak diragukan lagi. Hal ini disebabkan karena ketidaksenangan
penguasa terhadap ide-idenya sehingga sampai akhir hayatnya ia
dikucilkan. Namun demikian ia masih bisa memberikan terobosan
kepada al-Azhar melalui para murid-muridnya.
Upaya pembaharuan yang dilakukan oleh Abduh berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh gurunya al-Afghani yang memilih melakukan
pembaruan melalui politik. Ide yang di ajukan oleh Abduh pada
gurunya yaitu mengusulkan agar mereka berdua pindah ke tempat yang
jauh, yang tidak dikenal orang, di tempat tersebut barulah mereka
memilih 10 pemuda yang cerdas, setelah 10 pemudah tersebut didik
berdasarkan apa yang mereka inginkan maka 10 pemudah tersebut
dapat pula mendidik 10 pemudah cerdas lainnya dan begitu seterusnya.
12

Sehingga dengan begitu Abduh berkeyakinan dalam waktu singkat


akan memperoleh sedikitnya seratus pimpinan pembaharuan. Namun,
usulan yang ditawarkan Abduh kepada gurunya tidak disetujui hingga
akhirnya mereka berpisah karena perbedaan cara yang akan ditempuh
dalam melakukan pembaharuan.
Untuk lebih jelasnya secara rinci pemikiran tentang pendidikan
Abduh meliputi:

a) Sistem dan struktur lembaga pendidikan

Dalam pandangan Abduh, ia melihat semenjak masa kemunduran


Islam, sistem pendidikan yang berlaku di seluruh dunia Islam lebih
bercorak dualisme. Oleh karenanya perlu melakukan lintas disiplin
antar kurikulum madrasah dan sekolah maka jurang pemisahan
antara golongan ulama dan ilmuwan modern dapat diperkecil.

b) Kurikulum
 Kurikulum al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini ia
memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke
dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar outputnya
dapat menjadi ulama modern.
 Kurikulum sekolah dasar
Ia beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaklah
dimulai semenjak masa kanak-kanak. oleh karena itu mata
pelajaran agama hendaklah dijadikan sebagai inti dari semua mata
pelajaran.
 Kurikulum sekolah menegah dan sekolah kejuruan
Ia mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan
tenaga ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer,
kesehatan, perindustrian dan sebgainya. Melalui pendidikan ini
Abduh merasa perlu untuk memasukkan beberapa materi khusunya
pendidikan agama, sejarah Islam dan kebudayaan Islam
13

c) Metode

Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dengan


metode hafalan dengan metode rasional dan pemahaman (Insight).
Siswa di samping menghafal Sesuatu juga harus memahami tentang
materi yang di hafalnya. Ia juga menghidupkan kembali metode
munazarah dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan taklid buta
terhadap para ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan Ilmiah di
dalam al-Azhar.

Selain itu ia juga membuat metode yang sistematis dalam


menafsirkan al-Qura‟an yang di dasarkan pada lima prinsip, yaitu:

 Menyesuaikan Peristiwa-peristiwa yang ada pada masanya dengan


nash-nash al-Qur‟an.
 Menjadikan al-Qur‟an sebagai sebuah kesatuan.
 Menjadikan surat sebagai dasar untuk memahami ayat
 Menyederhanakan bahasa dalam penafsiran
 Tidak melalaikan peristiwa-peristiwa sejarah untuk menafsirkan
ayat-ayat yang turun pada waktu itu.
3) Pembaharuan Politik

Dalam bidang politik, Muhammad Abduh sebagaimana dalam


kutipan Ris‟an Rusli, berpendapat bahwa kekuasaan negara haruslah
dibatasi oleh konstitusi. Pemerintah wajib bersikap adil terhadap
rakyat. Sebaliknya terhadap pemerintah yang adil rakyat harus patuh
dan setia. Muhammad Abduh menghendaki kehidupan politik yang
demokratis yang di dasarkan atas musyawarah.

Sejalan dengan yang dikatakan Halil Thahir, bahwa sebenarnya


Muhammad Abduh sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat
bangsa dan negaranya dengan tetap mempertahankan konsep
demokratisnya. Dalam ungkapannya sebgai berikut:
14

Dalam pemikirannya tentang nasionalitas negara, musyawarah dan


perundang-undangan dan dasar yang dipegang warga negara seperti:
bahasa, tradisi dan moral ia menerangkan hal-hal yang harus di jaga
dan dipertahankan oleh warga negara maka ia tidak boleh melalaikan
bahasa, agama, moral dan negaranya, bagaimanapun keadaan negara
itu. Pemerintah atau rakyat biasa harus menjunjung tinggi prinsip-
prinsip dasar musyawarah (demokrasi), sehingga akan terdapat satu
pendapat umum yang menyatukan mereka dalam satu wadah, tidak
dipecah-pecah oleh nafsu dan maksud-maksud tertentu.

Demikianlah kiranya pokok pikiran Abduh tentang politik dan


semangat nasionalismenya. Sedangkan mengenai kepala negara Abduh
dalam kutipan Ris‟an, adalah manusia biasa yang mempunyai nafsu, ia
dapat berbuat salah. Untuk meluruskan kesalahan itu diperlukan
kesadaran dan keberanian rakyat yang berfungsi sebagai alat kontrol,
nilai ini menggambarkan bahwa Abduh ingin menanamkan nilai-nilai
demokratis di Mesir khususnya. Sikap demokratis akan melahirkan
kebebasan berpikir dan bertindak yang pada perkembangan selanjutnya
akan menumbuhkan sikap dinamis dan akan membuahkan kemajuan.

4) Pembaharuan Hukum

Pembaharuan hukum secara praktis dilakukan oleh Abduh setelah


ia menjabat sebagai mufti negara. Di lembaga ini ia banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dengan tidak menganut fatwa-
fatwa keagamaan dengan tidak menganut mazhab dan aliran tertentu.
Hal ini disebabkan keyakinan akan pentingnya akal dan ijtihad untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat itu. Salah satu
pendapatnya yang berbeda dengan pandangan ulama tradisional,
seperti menyembelih lembu setelah dipukuli hingga lemas dan tidak
menyebut nama Allah, yang dihukumi Abduh sebagai sah dan halal
dagingnya.
15

Masih dalam soal hukum, menurut Abduh sebagaimana dikutip


Iqbal, Abduh sangat menolak umat Islam yang mencari sistem hukum
yang tidak sejalan dengan tradisi budaya dan masyarakat. Dalam hal
ini Abduh menolak adopsi sistem hukum barat untuk umat Islam.
Menurut Abduh hukum yang akan dijalankan untuk masyarakat
haruslah sesuai dengan kepribadian masyarakat itu sendiri. Hukum
Barat hanya sesuai dengan kepribadian dan identitas masyarakat Barat
yang sangat menjunjung tinggi semangat libralisme. Kalau ini
diterapkan untuk masyarakat Muslim, maka mereka akan kehilangan
identitasnya sebagai masyarakat yang religius. Ini akan membuat
masyarakat muslim mengalami keterpecahan.7

c. Relevansi Pemikiran Pembaharuan Muhammad Abduh dengan


kehidupan sekarang
Jika dilihat dari beberapa segi,misalnya dalam segi agama pemikiran
Muhammad Abduh masih digunakan sampai sekarang, contohnya
pemikirannya tentang penerapan ijtihad. Selain itu dalam segi pendidikan
pemikiran beliau kurikulumnya menggunakan metode menghafal masih
banyak digunakan sampai sekarang ini dalam dunia pendidikan.

3. Qosim Amin (1861-1908 M)


a. Biografi Qosim Amin

Qasim Amin adalah tokoh pembaharu muslim Mesir populer yang


dilahirkan di negeri Thurah wilayah pinggiran kota Kairo, tahun 1277
H/1861 M. Ayahnya bernama Muhammad Bek Amin keturunan Turki,
berprofesi sebagai seorang tentara dari Iraq kemudian dipindahkan ke
Mesir. Sementara ibunya adalah seorang wanita Mesir dari Al-Sa„id.
Qasim Amin kecil, sejak awal menempuh pendidikan tingkat dasar di
Madrasah ra‟s al-tin di wilayah Iskandariah, kemudian ia melanjutkan
pendidikannya ke sekolah menengah madrasah al- Tajhiziyyun yang ada
di Kairo. Setelah tamat, iapun melanjutkan lagi studinya ke sekolah tinggi
7
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.74.
16

hukum (madrasah al-huquq), dan berhasil memperoleh ijazah lesence


pada tahun 1298 H/1881 M. Setelah pendidikannya selesai, ia kemudian
bekerja di sebuah kantor pengacara milik Mustafa Fahmi di kota Kairo.
Namun, tidak lama kemudian, ia berangkat studi lagi ke Perancis untuk
mendalami ilmu di bidang hukum pada Universitas Montpellier. Qasim
Amin berhasil meraih gelar sarjana hukum di universitas tersebut, yang
dengan ilmunya itu telah membawanya menjadi hakim terkenal di Mesir
dan juga bekerja sebagai pengacara.8

Qasim Amin kembali ke Mesir tahun 1302 H/1885M. Ia diangkat


menjadi hakim pada sebuah lembaga kehakiman yang bernama al-
Mahkamah al-Mukhwalatah. Kemudian setelah pindah ke berbagai kota
dengan provesi sebagai hakim, ia diangkat menjadi mustashar (hakim
agung) pada mahkamah al- Istinaf pada tahun 1309 H/1892M. Tahun 1900
M, ia mendirikan lagi sebuah organisasi sosial Islam yang diberi nama al-
Jam„iyah al- khayriyah al-Islamiyah.9

Episode kehidupan Qasim Amin berikutnya, tahun 1899M,


menerbitkan buku kontroversialnya yang berjudul Tahrir al-Mar‟ah
(emansipasi wanita) yang menuntut penghapusan “adat hijab” yang
berbeda dengan hakikat hijab dalam ajaran Islam. Dia menuntut agar kaum
wanita di Mesir, mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak serta
sejajar dengan kaum pria, Selain itu, dia juga menuntut perubahan dalam
praktek poligami dan perceraian yang dianggapnya banyak merugikan
wanita di Mesir. Qasim bekerja pada Pengadilan Mesir, dan pekerjaan itu
digelutinya hingga ia wafat pada tahun 1908, dalam usia 45 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, emansipasi wanita menurut Qasim Amin


ini mendapat kecaman dari kalangan ulama Islam tradisional Mesir, dan
dari beberapa tokoh Nasional Mesir. Namun, di samping ada kelompok
yang menentang, ternyata ada juga pihak yang mendukung. Oleh sebab itu,
Qasim Amin dengan lantang menjawab kecaman dan kritikan itu dengan
8
Erasiah,Tokoh emansipasi wanita Islam di Mesir pada abad ke 19 M. Kafaah: Journal of
Gender Studies, 2014.
9
17

menulis buku al-Mar‟at al-Jadidah (Wanita Modern). Maka, di dalam


buku keduanya inilah ia mengemukakan contoh-contoh konkrit
perbandingan antara wanita Mesir, wanita Eropa dan juga wanita Amerika.

b. Pemikiran Qosim Amin tentang Emansipasi Wanita

Qasim Amin banyak menjadikan wanita sebagai model, namun ia tetap


memberlakukan prinsip multiple kritik terhadapnya. Di berbagai tempat ia
begitu kritis terhadap Barat sedangkan di tempat lain ia juga mengkritisi
kondisi bangsanya sendiri. Dari sinilah terlihat kekhasan Qasim Amin
sebagai pembaharu Islam, di mana gagasan pembaharuannya tetap
menonjolkan gagasan Islam substantif sebagai satu determinan dalam
melihat realitas social umat dan meminjam budaya dan pola pikir Barat
sejauh diperlukan untuk mendukung dan menjelaskan gagasannya. Berikut
ini akan diuraikan beberapa ide pokok yang dicetuskan oleh Qasim Amin
sebagai berikut:

1) Pentingnya Pendidikan bagi Kaum Wanita dan Kaitannya dengan Tugas


Rumah Tangga dan Masyarakat
Qasim Amin berpendapat bahwa pendidikan wanita merupakan
satu-satunya alat untuk membebaskan kaum wanita dari praktek
pemarginalan dan pensubordinasian yang menyiksa mereka.
2) Wanita dan Hijab
Perintah hijab yang disyariatkan mencakup tiga tingkatan menurut
kadar ketertutupannya yang didasarkan pada dalil al-Qur'an dan Sunnah
Nabi, yaitu: Pertama, hijab berarti dibatasi olen dinding dan ruangan
khusus bagi wanita. Derajat kedua dari hijab, yaitu keluarnya para
wanita dalam keadaan tubuh tertutup rapat, atau tidak tampak auratnya.
Ketiga, wanita yang keluar rumah hendaknya menutup seluruh
tubuhnya mulai dari kepala hingga ujung kaki, sedangkan wajah dan
dua telapak tangan boleh tampak jika dalam keadaan aman dari fitnah.
3) Segi agama
Qasim Amin, menyatakan bahwa tradisi hijab yang ada saat itu tidak
perlu dipertahankan. Hal ini disebabkan karena masalah hijab yang
18

dikenal di kalangan masyarakat Mesir tersebut tidak termasuk di dalam


nash.
4) Segi Sosial
Dari segi sosial, Amin melihat bahwa wanita Islam jauh tertinggal
dibandingkan dengan bangsa Barat yang disebabkan keterbatasan
pendidikan yang diberikan kepada kaum wanita. Di saat seorang wanita
memasuki usia dua belas hingga empat belas tahun, mereka tidak
diperbolehkan lagi menampakkan diri dan harus berkurung diri di
rumah. Hal ini mengakibatkan tersiksanya kaum wanita yang tidak
mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
c. Relevansi Pemikiran Pembaharuan Qasim Amin dengan
kehidupan sekarang

Relevansi pemikiran pembaharuan Qasim Amin dengan kehidupan


sekarang ini tentu sangat terlihat dan masih diterapkan hingga sekarang.
Pemikirannya tentang emansipasi wanita memberikan kebebasan bagi
wanita untuk berpendidikan dan menjadi lebih baik baik.

C. Gerakan Fundamentalis

Fundamentalis adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran


paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini
sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental). Karenanya, kelompok-
kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-
kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka
menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar
daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah
"tercemar".Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat
terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga
mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali
ke tradisi mereka.10 Adapun tokoh pembaharuannya adalah sebagai berikut

:
10
Wikipedia, Fundamentalisme. https://id.wikipedia.org/wiki/Fundamentalisme diakses
pada: (Senin, 11 November 2019, pukul 15.30 WIB).
19

1. Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M)

Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan


Tarablus Syam pada tahun 1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah
Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn
Muhammad Bahauddin Ibn Manla Ali Khalifah. Keluarganya dari keturunan
yang terhormat berhijrah dari Baghdad dan menetap di Qalmun. Kelahirannya
tepat pada 27 Jumad al-Tsanil tahun 1282 H/ 18 Oktober tahun 1865 M.

a. Ide pembaharuan di Bidang Pendidikan

Erat kaitannya dengan konsep “jihad” yang dikemukakannya, Rasyid


menganjurkan umat Islam memiliki satu kekuatan untuk menghadapi
beratnya tantangan dunia modern. Kekuatan itu hanya dapat dimiliki jika umat
Islam bersedia menerima peradaban Barat. Jalan untuk memperoleh peradaban
Barat itu ialah berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi Barat itu
sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berlawanan dengan Islam,
bahkan umat Islam wajib mempelajari dan menerima ilmu pengetahuan dan
teknologi itu bila mereka ingin maju.

Di bidang pendidikan ia mendirikan sekolah sebagai misi Islam dengan


nama Madrasah al-dakwah Wa al-Irsyad di Kairo pada tahun 1912 M. Para
alumni madrasah ini disebarkan keberbagai dunia Islam. Muhammad Rasyid
Ridha sebagai penggerak pembaharuan Islam yang masih condong pada
ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Ia sebagai penyokong aliran Wahabi, karena
dalam ajaran aliran tersebut dikemukakan pengakuan bermazhab salaf yang
bertujuan mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan al-Hadis.

b. Ide Pembaharuan di Bidang Agama

Menurut Rasyid Ridha, umat Islam dapat mengejar ketinggalannya dari


bangsa Eropa, jika mereka kembali kepada ajaran Islam sebenarnya
sebagaimana telah diajarkan Nabi Muhammad saw dan dipraktekkan oleh
sahabat. Dengan demikian, Rasyid menganjurkan untuk menggali kembali
teks al-Qur’an.
20

Ijtihad adalah modal awal demi keberlangsungan syariat Islam yang


memenuhi seluruh kebutuhan pembaruan “karena syariat Islam adalah syariat
penutup dari Tuhan, dan hikmah dari semua itu adalah bahwasanya Allah swt,
telah menyempurnakan agama ini dan menjadikannya agama yang universal
antara ruh dan jasad, dan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada
umatnya untuk berijtihad yang benar dan dalam mengambil istinbat. Kedua
sisi ini sangat sesuai dengan kemaslahatan manusia di setiap tempat dan
waktu.

c. Ide Pembaharuan di Bidang Politik dan Hukum

Untuk melaksanakan hukum harus ada kekuasaan dalam bentuk negara.


Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk
kekhalifahan. Kepala negara dibantu oleh ulama-ulama pembantu. Khalifah
hendaklah seorang mujtahid, karena ia mempunyai kekuatan legislatif. Di
bawah kekhalifahan seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat dapat tercapai.

d. Relevansi Pemikiran Pembaharuan Rasyid Rida dengan kehidupan


sekarang
Pemikiran Rasyid Rida di masa sekarang ini sering dapat dijadikan acuan,
misalnya dalam dunia pendidikan, beliau menekankan untuk “jihad” dalam hal
ini jihad yang dimaksudkan yaitu dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk menghadapi tantangan di era modern ini.

2. Hasan al.-Banna (1906 -1949 M)


a. Biografi singkat Hasan al-Banna

Nama lengkapnya adalah Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna as-


Sa’ati, atau lebih dikenal dengan panggilan Hasan al-Banna, seorang da’i
pembaharu. Ia dilahirkan pada hari Ahad tanggal 25 Sya’ban 1324 H.
bertepatan tangal 14 Oktober 1906 M, di Hamudiyah, Provinsi Buhairah,
Mesir.

Ayahnya bernama Asy-Syaikh al-Alim Ahmad Abdurrahman al-Banna


as-Sa’ati, salah seorang ulama besar di zamannya. Beliau merupakan
21

ulama yang menertibkan dan mensyarah kitab Musnad al-Imam Ahmad


bin Hanbal asy-Syaibani.

Hasan al-Banna dieksekusi pada jam 8 malam, hari Sabtu 12 Februari


1949, bertepatan tanggal 14 Rabiul Tsani 1368 di depan kelompok Syubbanul
Muslimin di tengah-tengah Kairo. Kurang dari seperempat abad, Hasan al-
Banna berhasil membangun pondasi kokoh bagi jamaah Ikhwa>nul
Muslimin..

b. Metode Pembaharuan Hasan al-Banna

Hasan al-Banna membangun pondasi dakwahnya dengan berpegang pada


al-Quran dan Sunnah. Dua hal ini dianggap sebagai sumber pokok umat Islam
dalam berakidah, bersyariah dan berakhlak.

Pembaharuan yang dilakukan oleh al-Banna memiliki karakter tersendiri


yang membedakannya dengan para pembaharu sebelumnya. Setidaknya
terdapat tiga karakter pembaharuan al-Banna: pertama; dakwah Islam secara
komprehensif, dalam artian Islam harus masuk ke dalam kehidupan manusia
secara sempurna, tanpa adanya pemisahan antara negara dan agama atau
pemisahan dunia dan akhirat. Kedua; dakwah secara universal, artinya
dakwah tidak terbatas pada daerah atau person tertentu, akan tetepi dakwah
Islam harus disebarkan di seluruh dunia. Ketiga; ajakan mendirikan khilafah
Islamiyyah, yaitu bagaimana agama Allah – Islam - bisa menguasai bumi dan
mendirikan negara Islam. Sehingga dengan demikian, tajdid (pembaharuan)
yang dilakukan oleh Hasan al-Banna telah merambah ke berbagai aspek, baik
pembaharuan di bidang akidah, fikih, pendidikan Islam, maupun politik.

1) Metode tajdid Hasan al-Banna dalam menghidupkan akidah

Secara ringkas, metode Hasan al-Banna dalam pemaparannya tentang


akidah dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Memperhatikan pengaruh akidah terhadap jiwa


b) Men-counter syubhat akidah modern
c) Memperkuat hubungan manusia dengan sang Pencipta
22

d) Menghindari sikap takfir (mengafirkan orang lain) dan tadhlil


(menyesatkan orang lain.
2) Tajdid dalam fikih

Pembaharuan fikih yang dilakukan Hasan al-Banna adalah dengan


menjauhkan umat Islam dari pembahasan njlimet terkait cabang-cabang fikih,
pembuatan istilah-istilah asing, dan asumsi-asumsi fikih atas hukum peristiwa
yang belum terjadi.

3) Tajdid dalam pendidikan Islam

Gagasan tentang pembaruan pendidikan al-Banna banyak dituangkanya


dalam kitab Majmuah ar-Rasail (Himpunan Risalah) karyanya. Dalam
risalahnya itu, Hasan al-Banna membuat metode pendidikan yang dirumuskan
dalam 10 prinsip, yang merupakan ringkasan dakwah Ikhwanul Muslimin.
Kesepuluh prinsip tersebut adalah pemahaman, ikhlas, amal, jihad,
pengorbanan, ketaatan, sabat, tajarrud, persaudaraan, dan percaya diri.

4) Tajdid dalam politik

Politik dalam pandangan Hasan al-Banna adalah bagian dari agama.


Sebab, Islam menurutnya adalah agama dan negara. Selain politik dipandang
sebagai bagian dari agama, ia merupakan cara dakwah Ikhwanul Muslimin.

Selanjutnya, Hasan al-Banna dengan tegas menekankan bahwa


memisahkan agama dengan politik bukanlah termasuk ajaran Islam. Selain
pembaharuan-pembaruan di atas, Hasan al-Banna juga melakukan
pembaharuan terkait pemahaman jihad. Dalam hal ini, ia membuat risalah
khusus tentang jihad.

Pembaruan lainnya yang dilakukan Hasan al-Banna adalah gerakan


dakwahnya. Dalam dakwahnya ini ia memvariasi metode dan gaya
berdakwah.
23

d. Relevansi Pemikiran Pembaharuan Hasan al-Banna dengan


kehidupan sekarang
Setidaknya terdapat beberapa karakter pembaharuan al-Banna yang dapat
diterapkan di masa sekarang: pertama; dakwah Islam secara komprehensif,
dalam artian Islam harus masuk ke dalam kehidupan manusia secara
sempurna, tanpa adanya pemisahan antara negara dan agama atau pemisahan
dunia dan akhirat. Kedua; dakwah secara universal, artinya dakwah tidak
terbatas pada daerah atau person tertentu, akan tetepi dakwah Islam harus
disebarkan di seluruh dunia.

3. Sayyid Quthb (1906-1966 M)


a. Biografi singkat Sayyid Qutb

Sayyid Quthb dilahirkan pada tanggal 9 Oktober tahun 1906 M15 di


desa Mûshâ, distrik Asyût, Mesir atas (325 Kilometer dari Kairo). Nama
lengkap beliau adalah Sayyid Quthb Ibrâhîm Husein Syâdzilî. Ia
dibesarkan dan berasal dari keluarga yang menitik-beratkan ajaran Islam
dan mencintai al-Qur’an. Keluarganya merupakan salah satu keluarga
yang memiliki tanah yang luas, meskipun tidak kaya. Ayahnya adalah
seorang anggota Partai Nasionalis Mustafâ Kâmil, pengelola majalah al-
Liwâ’ dan seorang tokoh masyarakat dan pernah menikah sebanyak dua
kali. Quthb hidup dalam tengah-tengah empat saudara kandung dan ia
adalah anak kelima.

Pada tahun 1964, Quthb dilepaskan karena alasan yang sama atas
campur tangan Presiden Irak pada waktu itu, yaitu ‘Abd al-Salâm
Muhammad ‘Ârif. Setelah lepas dari penjara, Quthb diminta oleh para
petinggi al-Ikhwân al-Muslimûn untuk memegang komando, akan tetapi ia
menolaknya, meskipun ia terus bekerja atas nama organisasi tersebut. Pada
akhir tahun 1965, ia dieksekusi bersama-sama anggota al-Ikhwân lainnya
pada awal tahun 1966.
24

b. Pemikiran pembaharuan Sayyid Quthb

Sayyid Quthb sangat mementingkan arti persaudaraan (ukhuwwah)


kepada siapapun penghuni alam ini. Karena menurutnya semua penghuni
alam ini adalah diciptakan oleh pencipta yang satu, karena itu diwajibkan
untuk menjaga demi keharmonisan. Akan tetapi dalam hubungan terkait
keyakinan nampaknya Quthb memberikan penekanan yang lebih yakni
selalu waspada terhadap gangguan-gangguan yang datang dari umat Islam
sendiri maupun dari luar Islam yang kerapkali merongrong umat Islam
dengan berbagai cara.

Ukhuwwah merupakan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam


ajaran Islam. Perbedaan bahasa, suku, warna kulit dan kebudayaan, bahkan
keyakinan (agama) dalam beragama dan bermazhab tidak boleh menjadi
penghalang untuk tumbuhnya ukhuwwah. Karena hal tersebut telah
disinyalir oleh al-Qur’an dalam surah al-Hujurât/49: 13. Ayat tersebut
memberikan sebuah konsep bagaimana ajaran Islam menjamin asas
persamaan (equality), persaudaraan (brotherhood), persahabatan
(friendship) dan kerjasama (cooperation). Ide-ide tersebut dipertegas
dengan pernyataan Quthb dalam menafsirkan ayat-ayat tentang ukhuwwah
dalam kitab tafsirnya Fî Zhilâl al-Qur’ân.

Pertama, Quthb memandang penting arti ukhuwwah, karena dengan


adanya sifat ukhuwwah kehidupan yang diidam-idamkan yakni kehidupan
yang damai, rukun akan dengan cepat terwujud dengan baik. Hal itu
disebabkan masing-masing kelompok yang berbeda akan memandang
sebagai suatu keluarga besar yang utuh dan saling keterkaitan dalam ikatan
persaudaraan yang erat. Persaudaraan (ukhuwwah), menurutnya, tidaklah
hanya antarumat Islam saja akan tetapi terhadap kelompok-kelompok
penganut agama lain pun hendaklah berperilaku sama (memandang
mereka seperti saudara). Pemikiran Quthb dalam hal ini tentang konsep
ukhuwwah bisa dikatakan sebuah pemikiran yang inklusif dan lunak
dengan batasan-batasan tertentu yang dianggap prinsipil.
25

Kedua, jika dilihat dari pemikiran Quthb tentang ukhuwwah


nampaknya klaim-klaim terhadap Quthb sebagai seorang fundamentalis,
tokoh garis keras, konservatif, radikal dan sebagainya mesti ditinjau ulang.
Hal tersebut terlihat dari kecintaan Quthb terhadap persaudaraan
(ukhuwwah) karena dengan persaudaraan menurutnya akan menciptakan
kedamaian. Term jihad yang dipakai oleh Quthb menjadi dasar tuduhan
terhadap Quthb yang disinyalir beraliran radikal dan keras nampaknya
hanya sebuah pemutar balikan fakta. Jihad yang dimaksud oleh Quthb
adalah perlawanan terhadap segala macam bentuk tirani, penindasan dan
kapitalisme yang datang dan menimpa umat Islam baik itu yang
dimunculkan oleh umat di luar Islam ataupun dari kalangan umat Islam
sendiri. Untuk melawan itu, Quthb menggunakan istilah jihad sebagai
bentuk pembelaan dari ketertindasan.

Ketiga, karakteristik pemikiran Quthb dalam hal ini tentang ukhuwwah


nampaknya bisa dikatagorikan sebagai bentuk pemikiran yang tidak keras
(lunak) atau radikal dan ekslusif sebagaimana diungkapkan oleh para
pemikir pada umumnya. Hal tersebut terlihat dari pemikirannya yang
memandang betapa pentingnya sifat ukhuwwah. Ukhuwwah yang
dimaksudkan Quthb tidak hanya terbatas pada satu kelompok umat, akan
tetapi menurutnya persaudaraan tidaklah terbatas oleh tempat, golongan
dan waktu, darimana-pun, dan dari golongan manapun ia berasal,
hendaknya selalu bersikap ramah dan penuh persaudaraan karena dengan
adanya sifat saling saudara maka akan tercipta kehidupan yang rukun dan
damai. Pemikiran Quthb penuh penghormatan kepada mereka yang
berbeda— baik itu dalam bentuk keyakinan— akan tetapi sikap terbuka
dan toleran Quthb hanyalah berlaku ketika mereka (yang berbeda) tersebut
juga mempunyai sifat atau perlakuan yang sama terhadap umat Islam.

Sedangkan beberapa bentuk pemikiran Quthb yang dianggap cukup


terbuka. Pertama, menurut Quthb, bahwa toleransi adalah unsur yang
paling penting bagi terwujudnya perdamaian. Kedua, menurut Quthb,
seorang Mukmin apabila berpaling mereka melaku-kannya dengan
26

beradab, penuh wibawa dan penuh harga diri. Suatu sikap yang sesuai
dengan statusnya sebagai orang-orang yang beriman. Ketiga, kebebasan
beragama merupakan hak asasi manusia yang karena iktikadnya itulah
layak disebut manusia. Sebab itu, orang yang melucuti manusia dari
kebebasan kemerdekaan berakidah berarti ia telah melucuti
kemanusiaannya. Keempat, akidah sebagaimana dibawa oleh Islam,
merupakan masalah kerelaan hati setelah mendapatkan keterangan dan
penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Kelima, setiap orang mukmin
adalah bersaudara apapun kelompoknya, manhâj-nya, atau alirannya.11

Dari beberapa poin pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa


karakter pemikiran Quthb tidaklah secara keseluruhan ekstrem atau radikal
sebagaimana selama ini dikenal.

c. Relevansi Pemikiran Pembaharuan Sayyid Quth dengan


kehidupan sekarang

Dalam kehidupan di masa sekarang ini pemikiran Sayyid Quth sangat


memberikan dampak positif, dikarenakan beliau mengajarkan kebebasan,
toleransi antar sesama. Pertama, menurut Quthb, bahwa toleransi adalah
unsur yang paling penting bagi terwujudnya perdamaian. Kedua, menurut
Quthb, seorang Mukmin apabila berpaling mereka melaku-kannya dengan
beradab, penuh wibawa dan penuh harga diri. Suatu sikap yang sesuai
dengan statusnya sebagai orang-orang yang beriman. Ketiga, kebebasan
beragama merupakan hak asasi manusia yang karena iktikadnya itulah
layak disebut manusia. Sebab itu, orang yang melucuti manusia dari
kebebasan kemerdekaan berakidah berarti ia telah melucuti
kemanusiaannya. Keempat, akidah sebagaimana dibawa oleh Islam,
merupakan masalah kerelaan hati setelah mendapatkan keterangan dan
penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Kelima, setiap orang mukmin
adalah bersaudara apapun kelompoknya, manhâj-nya, atau alirannya.

11
Arsyad Sobby Kesuma “Re-Interpretasi Pemikiran Ukhuwwah Sayyid Quthb” Vol.
XLII No. 1, MIQOT Januari-Juni 2018, hlm. 101-102.
27

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa


pemikiran pembaharuan di Mesir dapat dipahami ada 2 gerakan pembaharuan
pemikiran Islam di mesir, yaitu :
Gerakan Modernis merupakan salah satu pergerakan Islam pertama yang
muncul pada pertengahan abad ke-19 sebagai tanggapan terhadap perubahan pesat
yang terjadi akibat dominasi Barat terhadap dunia Muslim. Para pendirinya
meliputi Muhammad Abduh, seorang syeikh di Universitas Al-Azhar,
dan Jamaluddin al-Afghani, Qasim Amin.

Gerakan Fundamental adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran


paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini
sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental).

Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat


terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga
mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali
ke tradisi mereka. Tokoh-tokohnya antara lain : Rasyid Rida, Hasan al-Banna dan
Sayyid Qutb.

B. Saran

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh sebab
itu diharapkan pembaca dapat memberikan saran yang bersifat konstruktif agar
dalam makalah selanjutnya lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai