Anda di halaman 1dari 8

Efusi Perikard Masif pada Pasien dengan Limfadenitis Tuberkulosis dan

Suspek Immunodefisiensi Sindrom dengan Gejala Klinis

Frizt Alfred Tandean, Muzakkir Amir


Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Abstrak
Human immunodeficiency virus / AIDS dapat berhubungan dengan kejadian kardiovaskuler.
Salah satu menifestasi yang dapat ditimbulkan yaitu efusi perikard. Efusi perikard dapat pula
disebabkan oleh karena ko infeksi dari kuman tuberkulosis. Pada laporan kasus ini seorang
wanita 27 tahun dengan keluhan sesak dialami sejak 1 bulan terakhir disertai dengan batuk
berlendir, bengkak pada regio leher, penurunan berat badan dan terdapat faktor resiko terpapar
virus HIV. Pada pemeriksaan fisis tanda vital normal. Kami melakukan pemeriksaan
echocardiografi ditemukan gambaran efusi perikard masif, pasien kemudian didiagnosis
dengan efusi perikard masif dengan limfadenitis tuberculosis dan suspek immunodefisiensi
sindrom. Pasien kemudian diberikan penanganan terhadap tuberkulosis, 3 hari paska terapi
keluhan pasien berkurang dan dari evaluasi echocardiografi ditemukan efusi perikard minimal.
Kasus ini menunjukkan penanganan penyakit dasar yang tepat dapat memperbaiki luaran klinis
pada pasien dengan efusi perikard masif.
Kata kunci: Efusi perikard, Human Immunodeficiency virus, Tuberkulosis

Massive Pericardial Effusion in Patients with Tuberculous Lymphadenitis and Suspect


Immunodeficiency Syndrome with Clinical Symptoms
Abstract
Human immunodeficiency virus / AIDS can be associated with cardiovascular events. One
manifestation that can be caused is pericardial effusion. Pericardial effusion can also be caused
by co-infection of tuberculosis bacteria. In this case we report a 27-year-old woman with
shortness of breath experienced since last 1 month accompanied by cough, swelling in the neck
region, weight loss and there are risk factors for exposure to the HIV virus. On physical
examination vital signs within normal. We performed echocardiographic examinations found
massive pericardial effusions, the patient was then diagnosed with massive pericardial effusion
with tuberculosis lymphadenitis and suspected immunodeficiency syndrome. The patient then
given treatment for tuberculosis, 3 days after therapy patient complaints are releived and from
echocardiographic evaluation found minimal pericardial effusion. This case shows that
appropriate management of underlying disease can improve clinical outcomes in patients with
pericardial effusion.
Keywords: Pericardial effusion, Human Immunodeficiency virus, Tuberculosis

Pendahuluan

Human immunodeficiency virus / AIDS adalah pandemi global yang menginfeksi lebih
dari 34 juta orang. Afrika memiliki presentasi tertinggi dengan hampir 70% dari masyarakat
terinfeksi HIV.1 Kebanyakan pasien jika dilakukan pengecekan anti HIV pada 3 bulan awal
belum menunjukkan hasil yang positif, hal ini disebabkan karena adanya periode laten sebelum
antibodi terhadap HIV muncul. Dalam periode ini gejala HIV akut dapat terlihat.2

Pasien dengan HIV memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap angka kejadian
2
kardiovaskuler. Salah satu kejadian kardiovaskuler adalah efusi perikard. Efusi perikard
adalah adanya cairan didalam rongga antara jantung dan kantung pericardium. Terdapat
beberapa penyebab dari efusi perikard, dengan infeksi (virus dan TB) sebagai penyebab paling
umum. Efusi perikard pada pasien dengan tuberculosis dapat disebabkan karena virus HIV co-
infeksi terhadap kuman tuberkulosis.3

Laporan Kasus

Seorang wanita 27 tahun datang dengan keluhan sesak yang dialami sejak 1 bulan yang
lalu dan memberat 1 minggu terakhir. Sesak timbul saat beraktivitas dan saat beristirahat.
Pasien juga mengeluh demam, batuk dengan lendir warna putih yang dialami sejak 3 bulan
yang lalu dan bersifat hilang timbul. Penurunan berat badan 8 kg dalam 3 bulan terakhir dan
nafsu makan menurun. Keringat malam, cepat lelah, sakit kepala dan pusing yang dirasakan
ketika beraktivitas. Benjolan di leher dirasakan sejak 1 bulan terakhir. Bercak hitam di lengan,
bahu, paha dan punggung juga dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Rambut rontok juga dialami
sejak 3 tahun terakhir. BAB encer ada tanpa tanda perdarahan sejak 1 bulan terakhir.

Sebelumnya pasien telah didiagnosis dengan tuberkulosis kelenjar dengan hasil biopsi
peradangan spesifik dan BTA - sewaktu di Kendari dan disarankan untuk menjalani
pengobatan tuberkulosis selama 9 bulan. Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat
operasi sebelumnya. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, suami memiliki resiko HIV.
Terakhir berhubungan seksual 2 bulan yang lalu dengan suami. Suami memiliki keluhan yang
sama dengan yang dialami pasien sejak 3 tahun yang lalu dan tidak pernah berobat.

Dari pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran komposmentis, GCS 15, TD: 120/70
mmHg, HR: 102 kali/menit, RR: 28 kali/menit, S: 37.5C. Anemis ada. Rambut mudah tercabut.
Mulut didapatkan kandidiasis oral (+). Terdapat benjolan di leher kiri satu buah ukuran 1x1cm
dan benjolan di leher kanan ukuran 0.5cmx0.5cm konsistensi lunak. Tampak lesi berwarna
hitam ukuran 0.5x0.5 cm di lengan, bahu, paha dan punggung. Edema extremitas tidak ada.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia dengan Hb: 6.7g/dl, MCV: 83.6,
MCH: 25.6, Fe: 26, TIBC: 182, Ferritin 438, saturasi transferin 14.28%. Limfositopenia
dengan limfosit 13.4%, peningkatan fungsi hati dengan SGOT 67 U/l, peningkatan fungsi
ginjal dengan ureum 53, kreatinin 1.12, hiperkalemia dengan kalium 5.2 mmol/l. Pemeriksaan
antigen HIV dan Antibodi HIV nonreaktif. Foto thorax didapatkan cardiomegaly sesuai
gambaran efusi perikard. Elektrokardiografi didapatkan sinus ritme, HR 115 kali/menit,
normoaxis,T inverted V1-V4, low voltage. Echocardiografi didapatkan fungsi sistolik ventrikel
kiri dan ventrikel kanan baik, ejeksi fraksi 62%, disfungsi diastolik LV grade 1, efusi pericard
masif tanpa tanda tamponade. Pemeriksaan sitologi benjolan di colli sinistra dengan hasil
peradangan kronik spesifik.

Pasien diterapi dengan regimen obat anti tuberkulosis (OAT) 4 Fixed Drug
Combination 3 tablet/24jam/oral Setelah pemberian OAT selama 3 hari pasien merasa sesak
berkurang dan dilakukan echocardiography kontrol dan didapatkan hasil efusi perikard
minimal dan tidak ada tanda tamponade. Pasien kemudian diperbolehkan untuk rawat jalan.
Gambar 1. Echocardiografi sebelum terapi Obat Anti Tuberkulosis

Gambar 2. Echocardiografi setelah terapi Obat Anti Tuberkulosis


Diskusi

Efusi perikard adalah adanya cairan didalam rongga antara jantung dan kantung
pericardium. Dengan akumulasi cairan yang lambat pada rongga perikard, kantung
perikardium akan meregang sebagai kompensasi untuk menampung cairan tersebut sehingga
akan menyebabkan terjadinya tamponade.3 Gejala seperti sesak dan kelelahan, umum terjadi
pada populasi pasien dengan HIV dan bisa mengindikasikan adanya kelainan jantung kronis,
seperti efusi perikardial. Faktanya, penelitian sebelumnya menjelaskan, bahwa efusi
perikardial terdapat pada 11% kasus HIV dan merupakan salah satu kelainan jantung yang
paling umum pada orang yang terinfeksi HIV.2 Etiologi efusi perikardial pada HIV seringkali
sulit untuk diidentifikasi, namun bisa menjadi bagian dari "sindrom kebocoran kapiler" yang
terkait dengan peningkatan produksi sitokin pada stadium lanjut penyakit HIV. Infeksi HIV
stadium akhir dikaitkan dengan peningkatan risiko keganasan seperti limfoma dan sarkoma
Kaposi yang dapat menyebabkan efusi perikardial.4

Tuberkulosis adalah salah satu penyebab utama limfadenitis pada pasien HIV-positif
dan risiko tuberkulosis ekstrapulmoner dan mycobacteremia meningkat seiring dengan
imunosupresi yang meningkat, terutama di negara-negara berkembang.5 Pada pasien HIV-
positif, TB ekstrapulmoner mencakup 53 sampai 62 % kasus TB. Limfonodus servikal adalah
lokasi yang paling umum dan dilaporkan pada 60% sampai 90% pasien dengan atau tanpa
keterlibatan jaringan limfoid lainnya.6 HIV mengganggu faktor nekrosis tumor (TNF) yang
dimediasi oleh respon apoptosis makrofag terhadap M. tuberculosis dan meningkatkan
kelangsungan hidup bakteri. Produksi TNF sebagai respons terhadap infeksi M. tuberculosis
diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri, namun TNF diketahui mengaktifkan
replikasi HIV pada makrofag, yang mengindikasikan bahwa respon imun inang yang diaktifkan
untuk melawan satu patogen dapat mendorong replikasi yang lainnya. Dengan demikian, baik
HIV dan M. tuberkulosis merangsang pelepasan TNF dari sel yang terinfeksi, dan TNF
menghambat pertumbuhan bakteri sembari meningkatkan replikasi HIV.7 Pada pasien ini
kemungkinan penyebab dari efusi perikard adalah virus HIV dengan ko-infeksi kuman TB.

Terdapat beberapa gejala klinis yang ditemukan pada pasien ini beberapa di antaranya
yaitu demam. Demam dapat disebabkan oleh adanya infeksi TB maupun HIV. Demam
merupakan gejala yang paling umum terjadi pada pasien dengan infeksi HIV. Demam tampak
pada 50% hingga 90% kasus HIV. Sebelum penggunaan terapi anti retroviral, demam pada
pasien HIV sering disebabkan oleh infeksi oportunistik seperti tuberculosis, CMV, dan
toksoplasmosis. Perkembangan infeksi oportunistik pada stadium dini masih tidak tampak,
dengan pengecualian adanya infeksi kuman tuberkulosis.8

Diare dapat disebabkan oleh adanya infeksi oportunistik. Lebih dari separuh pasien
dengan human immunodeficiency virus (HIV) mengalami diare yang menurunkan kualitas
hidup . Agen infeksius oportunistik yang menyebabkan diare pada pasien HIV adalah protozoa,
jamur, virus, dan bakteri. Gut-associated lymphoid tissue (GALT) adalah kumpulan jaringan
limfoid terbesar di tubuh manusia. Saluran gastrointestinal (GI) secara teratur terpajan beragam
kompleks antigen dari mikroba dan sumber makanan. Akibatnya, sel B dan T naif dari usus
terus berinteraksi dengan antigen yang menyebabkan pematangannya menjadi sel plasma dan
sel T memori. Rangsangan sistem kekebalan yang terus-menerus ini mengarah pada keadaan
inflamasi dasar yang mendorong produksi kemokin dan molekul adhesi, yang menengahi
pergerakan limfosit ke dalam jaringan mukosa. Saluran GI ditargetkan selama semua fase
infeksi HIV, namun efek HIV pada sistem kekebalan mukosa paling jelas terlihat pada periode
infeksi akut.9

Kebotakan dapat disebabkan oleh imunodefisiensi. Terdapat 5 pasien HIV yang


dilaporkan mengalami alopesia areata. Patogenesis destruksi dari folikel rambut masih menjadi
belum diketahui secara jelas, namun terdapat keterlibatan respons autoimun yang dimediasi
oleh sel T. 10

Kandidiasis orofaningeal adalah infeksi jamur oportunistik yang terbanyak pada pasien
dengan infeksi HIV. Nilai limfosit T CD4+ absolut yang rendah telah disebutkan sebagai faktor
risiko utama terjadinya kandidiasis orofaringeal dan pedoman terbaru menyebutkan
peningkatan risiko infeksi terjadi ketika hitung limfosit T CD4+ turun dibawah 200 sel/ μL. 11

Lesi berwarna hitam pada lengan, punggung, bahu dan paha pasien menunjukkan
kecurigaan Kaposi Sarkoma. Kaposi Sarkoma adalah neoplasma vaskular, yang pertama kali
dijelaskan oleh Morris Kaposi pada tahun 1872. Lesi ini sering terdapat di daerah
mukokutaneus, biasanya kulit ekstremitas bawah, wajah, batang tubuh, genitalia dan mukosa
orofaring. Patogenesis masih tidak pasti. Studi terbaru menunjukkan hubungan infeksi HHV-
8, yang dikenal dengan KS-associated herpes virus (KSHV).12

Pada pasien ini hasil pemeriksaan antigen HIV dan antibodi HIV menunjukkan hasil
non reaktif, akan tetapi gejala klinis dan pemeriksaan fisis yang ditemukan mengarah kepada
suatu sindrom imunodefisiensi. Oleh karena itu kemungkinan pada pasien ini virus HIV masih
dalam periode laten. Jangka waktu dari infeksi HIV sampai tubuh memproduksi cukup antibodi
HIV untuk dideteksi dengan tes antibodi HIV disebut periode jendela. Antibodi biasanya
terbentuk dalam waktu 3 bulan paska terinfeksi HIV. Akan tetapi periode jendela bisa
bervariasi tergantung regimen tes HIV yang digunakan.13

Kesimpulan

Pada kasus ini dicurigai suatu manifestasi dari sindrom imunodefisiensi. Hal ini dapat
terlihat dari manifestasi klinis yang ditimbulkan dan beberapa komplikasi yang mulai terlihat
seperti efusi perikard dan limfadenitis TB. Banyak manifestasi klinis lainnya yang dapat
timbul diantaranya anemia, gangguan fungsi hati, karposi sarcoma, , demam dan diare
berkepanjangan.

Deteksi dini dan terapi awal yang tepat dapat menurunkan angka kematian terhadap
virus HIV yang disertai co-infeksi dengan penyakit lain. Seperti pada kasus ini pasien diberikan
terapi obat anti tuberkulosis dan terlihat perbaikan dari klinis dan dari pemeriksaan
echocardiografi. Untuk terapi penghambat replikasi HIV belum diberikan karena belum ada
bukti laboratorium yang positif untuk virus HIV. Langkah diagnosis HIV/AIDS pada pasien
ini dapat diulang tiga bulan kemudian untuk mendeteksi antibodi HIV sehingga dapat
dijadikan dasar terapi.

Daftar Pustaka

1. Thienemann F, Sliwa K, Rockstroh JK. HIV and the heart: the impact of antiretroviral
therapy: a global perspective. European Heart Journal, 2013, 34, 3538–46.
2. Lind A, Reinsch N, Neuhaus K, Esser S, Brockmeyer N, Potthoff A, et al. Pericardial
Effusion of HIV-infected Patients-Result of a Prospective Multicenter Cohort Study in the
Era of Antiretroviral therapy. Eur J Med Res, 2011, 16: 480-83.
3. Montadon M, Wake R, Raimon S. Pericardial Effusion complicated by tamponade : a case
report. South Sudan Medical Journal, 2012, 5:4.
4. Enakpene E, John J, Obiagwu C, Shrestha S, Kulbak G, Shetty V, et al. HIV Disease and
the Heart : A Review. Journal of Cardiol Ther, 2015, 2(2): 279-84.
5. Cortez MV, Araujo JR, Ferreira LCL, Oliveira CMC, Braga BB, Moraes MO, et al. HIV-
associated tuberculous lymphadenitis: the importance of polymerase chain reaction
(PCR) as a complementary tool for the diagnosis of tuberculosis – a study of 104
patients. An Bras Dermatol, 2011, 86(5) : 925-31.
6. Mohapatra PR, Janmeja AK. Tuberculosis Lymphadenitis. JAPI, 2009, 57:585-90.
7. Pawloski A, Jansson M, Skold M, Rottenberg ME, Kallenius G. Tuberculosis and HIV co-
infection. PLoS Pathogens, 2012, 8(2): 1-7.
8. Florence E, Bottieau E, Lyenn L, Colebunders R. Patients With HIV Infection and Fever:
A diagnostic approach. Acta Clinica Belgia, 2002, 57-4: 184-90.
9. Dikman AE, Schonfeld E, Srisarajivakul NC, Poles MA. Human Immunodeficiency Virus-
Associated Diarrhea: Still an Issue in the Era of Antiretroviral Therapy. Dig Dis Sci, 2015,
60:2236–45.
10. Sack JE, Rohjhirunsakool S, Bhawan J, Runger TM. HIV-Associated Vitiligo Totalis with
Minimal Repigmentation and Alopecia Areata Diffusa During Immune-Reconstitution. The
Open Dermatology Journal, 2008, 2: 90-92.
11. Khan PA, Malik A, Subhan HK. Profile of candidiasis in HIV infected patients. Iranian
Journal of Microbiology, 2012, 4(4): 204-9.
12. Seleit I, Attia A, Maraee A, Samaka R, Bakry O, Eid E. Isolated Kaposi Sarcoma in two
HIV negative patients. J Dermatol Case Rep, 2011, 2: 24-6.
13. Tuzuner U, Gulcen BS, Ozdemir M. Laboratory Algorithm in HIV Infection Diagnosis. J
HIV Clin Scientific Res, 2016, 3(1): 007-010.

Anda mungkin juga menyukai