Anda di halaman 1dari 43

PENGARUH KEBIJAKAN LARANGAN

EKSPOR BIJIH DAN KONSENTRAT


TERHADAP PERKEMBANGAN INDUSTRI
PENGOLAHAN
DAN PEMURNIAN LOGAM DI INDONESIA

Diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Kebijakan


Pertambangan pada Semester I Tahun Akademik 2019-2020

oleh

Bilal Safrudin 12116044


Farhan Muarrif Razi 12117010
Thedy Senjaya 12117033
Andrew Lumbantobing 12117057
William Ramadinata Yantoro 12117086

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2019
ABSTRAK

Dengan berlakunya UU No. 4 tahun 2009, Pertambangan Indonesia telah


mengalami perubahan drastis. Mulai dari jenis perizinan, kelangsungan usaha
pertambangan yang masih berjalan maupun yang akan berjalan, wewenang
pemerintah dalam memberikan izin, serta dalam memberikan kebijakan lainnya.
Salah satu kebijakan yang paling terasa adalah pelarangan ekspor bijih dan
konsentrat. Pelarangan ekspor bijih dan konsentrat dirasa sangat berpengaruh
terhadap industri pertambangan di Indonesia, seperti produksi menurun, dan
kurangnya pemasukan negara dari sektor pertambangan.
Namun pada satu sisi, pemerintah mengarahkan untuk membangun industri
pengolahan dan pemurnian logam mengatasnamakan kedaulatan negara sehingga
bahan galian yang telah diperoleh dari industri pertambangan dapat diolah dalam
negeri, dan perusahaan tambang dapat menjual barang hasil galiannya seperti
sebelum pelarangan, tanpa mengalami kerugian. Berkembangnya industri
pengolahan dan pemurnian logam tentu akan membuka lapangan kerja baru demi
pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kata kunci :ekspor, bijih, pengolahan dan pemurnian, tambang, smelter

ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa yang Maha Pengasih lagi
Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Perkembangan Industri Pengolahan dan
Pemurnian Logam di Indonesia Guna Mempertimbangkan Larangan Ekspor Bijih
dan Konsentrat.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya serta materi
yang ada. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Perkembangan Industri
Pengolahan dan Pemurnian Logam di Indonesia Guna Mempertimbangkan
Larangan Ekspor Bijih dan Konsentrat ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi serta keinginan untuk mencari lebih lanjut mengenai materi yang kami
sampaikan.

Bandung, 25 November 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ............................................................................................................ i
ABSTRAK .....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah ....................................... 1
1.2 Ruang Lingkup Kajian ................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................... 3
1.4 Anggapan Dasar .......................................................................... 3
1.5 Hipotesis...................................................................................... 4
1.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ...................................... 4
1.7 Sistematika Penulisan ................................................................. 4
BAB II TEORI DASAR ................................................................................ 6
2.1 Peran Perundang-undangan di Indonesia .................................... 6
2.2 Peraturan Perundang-undangan Dalam Sektor Pertambangan dan
Hilirisasi Pertambangan dalam Perindustrian ................................... 6
2.3 Produk Domestik Bruto Sebagai Indikator
Pertumbuhan Negara ......................................................................... 9
2.4 Pengaruh Pengolahan dan Pemurnian Bijih Terhadap
Nilai Jual ......................................................................................... 10
2.5 Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Logam ............................ 11
BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA .......................................... 12
3.1 Peraturan Menteri ESDM No. 1 tahun 2014 ............................. 12
3.2 Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Setiap
Perusahaan Tambang ...................................................................... 14
3.3 Perkembangan Industri Pengolahan dan Pemurnian
Tambang Indonesia ......................................................................... 22
3.4 Teknis Pembangunan Smelter ................................................... 25

iv
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ............................................... 28
4.1 Analisis Kelebihan dan Kekurangan Pembangunan Industri
Pengolahan dan Pemurnian di Indonesia ........................................ 28
4.2 Analisis Kebijakan Pemerintah Tentang Larangan Ekspor Dalam
Bentuk Bijih dan Konsentrat ........................................................... 31
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 35
5.1 Simpulan ................................................................................... 35
5.2 Saran .......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 36

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Rekapitulasi Progress Pembangunan Smelter............................ 14


Gambar 3.2 Contoh Fasilitas Pengolahan Bahan Galian ............................... 21

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Produksi Barang Tambang dan Mineral ........................................ 14

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah

1.1.1 Latar belakang

Sejak mulai berkembangnya pengusahaan pertambangan di Indonesia,


peraturan-peraturan telah dibuat oleh pemerintah Indonesia yang dirasa sesuai
dengan kebutuhan pada waktu tertentu. Sebelum berlakunya UU No. 4 tahun 2009,
UU yang berlaku yang mengatur tentang kebijakan pertambangan adalah UU No.
11 tahun 1967. UU No. 11 tahun 1967 beserta turunannya tidak mengatur mengenai
kriteria ekspor bijih dan konsentrat sehingga banyak perusahaan pertambangan di
Indonesia langsung melakukan ekspor hasil tambangnya setelah ditambang, tanpa
memroses hasil tambang tersebut untuk meningkatkan nilai tambahnya. Kegiatan
ekspor bijih dan konsentrat tersebut dipercaya telah mengakibatkan berkurangnya
pendapatan negara yang dapat diperoleh, sehingga negara dianggap merugi, karena
bijih maupun konsentrat dapat mengandung mineral asosiasi yang berharga
(contohnya asosiasi emas pada bijih tembaga PT Freeport Indonesia), serta
transportasi bijih dan konsentrat akan lebih mahal karena jumlah muatan lebih besar
daripada transportasi hasil olahan logam. Hasil olahan logam untuk kepentingan
spesifikpun (seperti baja yang dibuat khusus untuk pembuatan kerangka senjata)
seringkali memiliki harga yang jauh lebih mahal daripada logam dengan
pengolahan untuk keperluan umum (seperti baja untuk tulang fondasi rumah,
kerangka bangku), yang tentunya memiliki nilai jual lebih dibanding bijih logam
tersebut (seperti bijih besi).

Dengan berlakunya UU No. 4 tahun 2009, perusahaan tambang dilarang


untuk mengekspor bijih dan konsentrat hasil tambang, dan mereka juga diwajibkan
membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian logam (contohnya smelter) untuk
meningkatkan nilai tambah barang galian. Namun dalam keadaan nyata, banyak

1
perusahaan tambang yang tidak kunjung membangun smelter, ditambah dengan
keadaan industri di Indonesia dimana tetap kurang tersedianya fasilitas penambah
nilai bahan galian lainnya. Oleh karena itu, mereka tetap dilarang ekspor, dan
menyebabkan hasil tambang mereka tidak dapat dijual, dan berpotensi
menyebabkan perusahaan merugi, dimana akan berdampak pada berkurangnya
pemasukan negara.
Karena potensi kerugian yang besar akibat kebijakan tersebut, pemerintah
berupaya untuk mengubah peraturan-peraturan mengenai pelarangan ekspor bijih
beberapa kali untuk mencapai keadaan optimal (dimana kerugian perusahaan
diminimalisir dan pendapatan negara dioptimasi sebaik mungkin), namun karena
terjadinya perubahan berkali-kali, pemerintah cenderung terlihat tidak konsisten
dalam membuat peraturan. Di sisi lain, dengan adanya pelarangan ini akan
mendorong perkembangan industri pengolahan dan pemurnian di Indonesia, yang
berpotensi menaikkan produksi industri pertambangan kembali, serta menambah
lapangan pekerjaan. Namun kebijakan ini perlu dievaluasi apakah akan
memberikan manfaat lebih kepada Indonesia atau tidak.

1.1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang akan dijawab dalam laporan ini adalah.


1. Mengapa kegiatan ekspor bijih dan konsentrat dari Indonesia dilarang oleh
pemerintah?
2. Dampak apa yang terjadi akibat pelarangan ekspor bijih dan konsentrat di
Indonesia?
3. Bagaimana perkembangan industri pengolahan dan pemurnian di Indonesia
dapat membantu membuka lapangan pekerjaan baru dan membantu
pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

1.2 Ruang Lingkup Kajian

Aspek yang diteliti dalam kajian ini adalah


2
1. UU No. 4 tahun 2009 serta peraturan turunannya yang relevan dengan
pelarangan ekspor bijih dan konsentrat,
2. perekonomian negara,
3. perusahaan pertambangan bijih,
4. produksi perusahaan pertambangan bijih,
5. mineral asosiasi berharga pada bijih,
6. proses pengolahan dan pemurnian bijih, dan
7. perkembangan industri pengolahan dan pemurnian bijih.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah.
1. Menentukan alasan mengapa kegiatan ekspor bijih di Indonesia dilarang
oleh pemerintah.
2. Mengkaji dampak-dampak yang terjadi akibat pelarangan ekspor bijih dan
konsentrat di Indonesia.
3. Menentukan dampak perkembangan industri pengolahan dan pemurnian
logam di Indonesia terhadap perekonomian di Indonesia.

1.4 Anggapan Dasar

Kegiatan ekspor bijih dan konsentrat adalah kegiatan penjualan bijih dan
konsentrat yang belum diolah menjadi produk logam jadi (contohnya logam
batangan, kerangka mobil, dan kerangka senjata). Bijih adalah bahan galian yang
memiliki nilai ekonomis jika dijual, langsung diperoleh dari penggalian bijih.
Konsentrat adalah bijih yang telah diolah untuk meningkatkan konsentrasi logam
dalam bijih, membuang mineral pengotor dalam bentuk tailings, namun belum
terolah menjadi produk logam jadi.

1.5 Hipotesis
3
Pelarangan ekspor bijih dan konsentrat yang dilakukan oleh pemerintah
terhadap perusahaan pertambangan bertujuan baik, yaitu untuk menambah
keuntungan dalam negeri berbentuk PDB dikarenakan barang jadi hasil olahan bijih
diproduksi di dalam negeri. Pemrosesan dan pemurnian bijih membutuhkan
fasilitas dalam bentuk industri pengolahan dan pemurnian logam, sehingga dengan
munculnya industri tersebut akan membuka lapangan kerja baru dan membantu
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

1.6.1 Metode
Metode yang digunakan adalah penentuan sebab akibat dari kebijakan yang
berlaku terhadap dampak yang timbul, serta akibat yang muncul secara konsekuen
terhadap pembukaan lapangan kerja baru dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.6.2 Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah.


1. studi kepustakaan, dan
2. studi berita..

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan laporan penelitian ini terbagi atas lima bab. Pembicaraan dimulai
dengan pendahuluan sebagai bab pertama memuat latar belakang dan rumusan
masalah, ruang lingkup kajian, tujuan penulisan, anggapan dasar, hipotesis, metode
dan teknik pengumpulan data, serta sistematika penulisan.

4
Selanjutnya, pada bab dua dijabarkan teori-teori mengenai peran
perundang-undangan dalam pertambangan di Indonesia, peraturan yang berlaku
yang relevan, PDB sebagai indikator pertumbuhan ekonomi negara, pengaruh
pengolahan bijih terhadap nilai jual barang, serta fasilitas pengolahan bijih menjadi
logam jadi.

Pada bab tiga, dijabarkan data yang diperoleh serta pengolahan data
mengenai dampak pelarangan ekspor bijih dan konsentrat di Indonesia.

Pada bab empat dikemukakan pembuktian-pembuktian hipotesis beserta


pembahasannya dalam hal ini adalah fakta mengenai pelarangan ekspor bijih dan
konsentrat di Indonesia.

Pada bab lima, dikemukakan simpulan yang telah didapat dari kajian fakta
mengenai pelarangan ekspor bijih dan konsentrat serta saran bagi pemerintah agar
dapat membantu membuka lapangan pekerjaan baru dan membantu pertumbuhan
ekonomi negara.

5
BAB II
TEORI DASAR

2.1 Peran Perundang-undangan di Indonesia

Di Indonesia, perundang-undangan berperan sebagai norma hukum bagi


warga negara yang berisi untuk membatasi tingkah laku manusia sebagai warga
negara yang wajib ditaati, dipatuhi, dan dilaksanakan. Aturan-aturan yang
tercantum dalam perundang-undangan merupakan pedoman bagi warga negara
dalam menjalankan hubungan antar sesama manusia. Selain itu, peran perundang-
undangan juga mengatur kehidupan manusia sebagai warga negara agar
terciptanya suasana kehidupan yang sejahtera, aman, tertib, dan harmonis.

Peran perundang-undangan ini tidak hanya berlaku untuk warga negara


Indonesia secara individual, tetapi berlaku juga untuk warga negara asing yang
berada di wilayah Indonesia, dan juga berlaku untuk kelompok, institusi maupun
organisasi yang berisi baik warga negara Indonesia ataupun warga negara asing.

Peran perundang-undangan ini mengatur dalam berbagai bidang, termasuk


perindustrian, dan pertambangan. Dengan ini, segala kegiatan yang berhubungan
dengan kegiatan perindustrian (termasuk pengolahan dan pemurnian logam) dan
kegiatan pertambangan dijelaskan dan diatur didalamnya.

2.2 Peraturan Perundang-undangan Dalam Sektor Pertambangan dan Hilirisasi


Pertambangan dalam Perindustrian

Peraturan perundang-undangan dalam sektor pertambangan di Indonesia


yang membahas mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara secara umum di
atur dalam UU Nomor 4 tahun 2009. Dalam penyelenggaraan kegiatan hilirisasi
pertambangan, sesuai amanat Pasal 103 dan Pasal 170 UU No.4 tahun 2009
pemegang IUP Operasi Produksi dan pemegang Kontrak Karya di Indonesia wajib
melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan
6
pemurnian dalam negeri. Untuk menindaklanjuti amanat tersebut, pemerintah
mengeluarkan beberapa regulasi terkait mengenai pengolahan dan pemurnian
mineral di Indonesia. Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
2014 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010. Isi
yang penting dalam PP No. 1 tahun 2014 yaitu, pemegang kontrak karya dan IUP
operasi produksi yang melakukan penambangan mineral logam dan telah
melakukan pemurnian/pengolahan, dapat melakukan penjualan ke luar negeri
dalamm jumlah tertentu. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan
pengolahan dan pemurnian serta Batasan minimum diatur oleh pemerintah dalam
Peraturan Menteri.

Sebagai tindak lanjut dari PP No.1 Tahun 2014, pemerintah mengeluarkan


Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri.
Peraturan Menteri tersebut mengatur mengenai Batasan waktu pelaksanaan
penjualan hasil pengolahan mineral logam ke luar negeri dalam jumlah tertentu dan
Batasan minimum pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Namun
sejak 12 Januari 2014 pemegang IUP operasi produksi dan kontrak karya dilarang
melakukan penjualan bijih ke luar negeri. Hal ini dikarenakan pemerintah ingin
meningkatkan nilai tambah dari hasil kegiatan penambangan dengan cara harus
dilakukannya pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.

Pada tahun 2017, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun


2017 terkait perubahan keempat Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010. PP ini
diterbitkan untuk melaksanakan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui
kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam dalam negeri. Hal tersebut
dilakukan oleh pemerintah guna untuk memberikan manfaat yang baik untuk
negara serta memberikan kepastian bagi para perusahaan pertambangan. Dalam PP
ini juga terdapat perubahan-perubahan penting yaitu :

7
• Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan IUP/IUPK paling cepat
5 tahun sebelum waktu habis kontrak.

• Divestasi saham tiap perusahaan sebesar 51% secara bertahap.

• Pengaturan tentang penetapan harga patokan untuk penjualan.

• Penghapusan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat


melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu yang
ditentukan.

Pengaturan lebih lanjut terkait tata cara peningkatan nilai tambah dan
penjualan mineral logam ke luar negeri, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri
ESDM No. 5 tahun 2017 dan Peraturan Menteri ESDM no. 6 tahun 2017.

Peraturan Menteri ESDM no. 5 tahun 2017 tentang Peningkatan Nilai


Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam
Negeri, pemerintah menjelaskan bahwa pemegang IUP OP, IUPK OP, dan IUPK
OP khusus pengolahan dan pemurnian wajib melakukan pengolahan dan pemurnian
sesuai dengan Batasan minimum yang telah di tentukan. Selain itu, nikel kadar
rendah dibawah 1,7% dan bauksit kadar rendah dibawah 42% wajib diserap oleh
fasilitas pemurnian minimum 30% dari kapasitas input smelter, dan apabila
kebutuhan dalam negeri nikel kadar rendah dan bauksit kadar rendah telah
terpenuhi, maka sisa bijih nikel dan bauksit tersebut dapat diekspor. Pemerintah
juga memberikan kesempatan pemegang KK, Izin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi (IUP OP), Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK
OP), Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) khusus pengolahan
dan/atau pemurnian, dan pihak lain untuk melakukan penjualan konsentrat ke luar
negeri untuk 5 tahun kedepan sejak diterbitkannya Permen ini, dengan syarat :

• Mengubah status Kontrak Karya menjadi IUPK Operasi Produksi.

• Memberikan komitmen untuk melakukan pembangunan smelter.

8
• Membayar bea keluar maksimum 10% sesuai progress fisik dan realisasi
keuangan pembangunan smelter.

Dalam Peraturan Menteri ESDM No. 6 tahun 2017 tentang Tata Cara dan
Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar
Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian menjelaskan bahwa setiap perusahaan
sebelum mendapatkan persetujuan ekspor, untuk melakukan kegiatan pengolahan
dan pemurnian yang disertai rekomendasi pelaksanaannya. Untuk mendapatkan
rekomendasi tersebut para pemegang izin usaha harus mengajukan permohonan
rekomendasi kepada Menteri ESDM. Dan dalam Permen ini menyatakan bahwa
rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri merupakan persyaratan
untuk mendapatkan persetujuan ekspor.

Pada tahun 2018, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan
Peraturan Menteri ESDM No. 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan
Mineral dan Batubara. Permen ini menjelaskan secara lengkap dimulai dari usaha
pertambangan, jenis-jenis ijin usaha pertambangan, pelaksanaan kegiatan
eksplorasi maupun operasi produksi, penjualan mineral hasil pengolahan dan/atau
pemurnian ke luar negeri, hingga pengakhiran kegiatan usaha pertambangan.
Permen ini mengatur tentang:

• Pengolahan dan/atau pemurnian hasil tambang sebelum diekspor sesuai


dengan ketentuan

• Divestasi saham untuk pemegang IUP/IUPK penanaman modal asing sejak


5 tahun setelah berproduksi.

• Ekspor bijih hasil pengolahan diperbolehkan setelah mendapatkan


persetujuan ekspor dari direktur jenderal hingga 11 Januari 2022

• Khusus untuk bijih nikel dan bauxite, diperbolehkan melakukan ekspor jika
niker berkadar <1,7% dan bauksit dengan kadar Al2O3 >= 42% jika pemegang
IUP/IUPK sedang atau telah membangun fasilitas pemurnian.

9
Peraturan Menteri ESDM No. 50 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan
Pertambangan Mineral dan Batubara kemudian mewajibkan pemegang IUP/IUPK
untuk memenuhi syarat kemajuan fisik fasilitasi pemurnian sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk memperoleh rekomendasi dari Direktur Jenderal
yang merupakan salah satu syarat untuk melakukan ekspor.

Peraturan Menteri ESDM No. 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Batubara No. 25 tahun
2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara mencabut ijin
untuk melakukan ekspor nikel berkada <1,7%. Untuk pemegang IUP/IUPK yang
telah mendapatkan ijin untuk ekspor, maka ijin tersebut berakhir pada tanggal 31
Desember 2019. Permen ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2020.

2.3 Produk Domestik Bruto Sebagai Indikator Pertumbuhan Negara

Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestik Product (GDP) dalam
Bahasa Inggris adalah sebuah indikator ekonomi negara yang dihitung berdasarkan
setiap barang jadi yang dibeli untuk pertama kalinya. PDB memperhitungkan
• setiap barang di pasar swalayan yang dibeli konsumen (seperti susu, telur,
mainan, mobil baru, dan
• properti yang pertama kali dijual, seperti rumah baru.
PDB tidak memperhitungkan
• barang setengah jadi, seperti dore bullion, pulp, aspal, padi, dan
• barang yang pernah diperjualbelikan sebelumnya dan diperjualbelikan
kembali, seperti pembelian rumah yang pernah ditinggali, pembelian barang
bekas
Selain pada barang-barang tersebut, PDB hanya memperhitungkan barang jadi
pertama kali pakai yang diproduksi di dalam negeri, sehingga pembelian barang

10
baru impor dari luar negeri tidak diperhitungkan pada PDB suatu negara, namun
ekspor akan menambah PDB suatu negara.

Pada sektor pertambangan, PDB akan bertambah ketika barang hasil


tambang tersebut diolah menjadi produk jadi baru, seperti mobil, telefon genggam,
emas batangan. Namun PDB tidak akan bertambah ketika suatu negara mengekspor
barang mentah, seperti bijih.

Karena karakteristik PDB yang memperhitungkan banyaknya produksi


barang jadi yang dibeli di dalam negeri, yang juga dipengaruhi oleh kesejahteraan
rakyat, PDB menjadi indikator pertumbuhan ekonomi yang baik. Pertumbuhan
ekonomi yang baik dapat terindikasi oleh PDB yang terus naik terhadap waktu.

2.4 Pengaruh Pengolahan dan Pemurnian Bijih Terhadap Nilai Jual

Produk hasil tambang secara mentah dalam bentuk bijih ataupun konsentrat
bukanlah merupakan barang yang bermanfaat bagi konsumen tingkat akhir (end
user), sehingga membutuhkan proses pengolahan. Karena perbedaan nilai manfaat
tersebut, barang yang bermanfaat bagi konsumen tingkat akhir akan memiliki harga
yang lebih mahal daripada barang mentah.

Sebagai contoh, terdapat perbedaan yang signifikan antara harga pasir besi,
harga besi cor, harga besi dengan properti khusus untuk keperluan khusus, dan
harga senjata bahan baja yang membutuhkan besi dengan properti khusus. Pasir
besi akan memiliki harga terendah, karena merupakan produk paling mentah hasil
tambang. Setelah pasir basi diproses menjadi besi cor, besi cor akan memiliki harga
yang lebih tinggi daripada pasir besi. Setelah besi cor tersebut diproses kembali
untuk menjadi besi dengan properti khusus (seperti tahan retakan dingin, memiliki
susunan kristal tertentu) akan memiliki harga yang lebih tinggi daripada besi cor,
namun masih belum dapat digunakan oleh konsumen tingkat akhir. Setelah proses
lebih lanjut, besi dengan properti khusus tersebut, atau disebut baja, dapat diproses
11
menjadi kerangka senjata, bagian dari senjata yang memiliki harga yang jauh lebih
tinggi daripada besi mentah, dan memiliki nilai guna untuk keperluan polisi dan
militer. Hal ini membuktikan bahwa dengan pengolahan dan pemurnian logam,
ditambah dengan proses lebih lanjut dapat meningkatkan nilai pada logam tersebut
secara signifikan.

2.5 Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Logam

Proses pengolahan dan pemurnian logam membutuhkan instrumen yang


dapat memroses mineral tersebut baik secara fisik, atau secara kimiawi untuk
menjadi logam. Pengolahan tersebut disebut dengan Pengolahan mineral, yang
didefinisikan sebagai pemrosesan bijih mentah atau mineral untuk memisahkan
mineral berharga dari batuan pengotor, atau gangue. Setelah proses tersebut selesai,
diperoleh hasil yang diinginkan berupa logam olahan, logam murni, ataupun barang
jadi.

12
BAB III

DATA DAN PENGOLAHAN DATA

3.1 Peraturan Menteri ESDM No. 1 tahun 2014

PP No. 1 Tahun 2014 juga telah dikeluarkan Peraturan Menteri ESDM No.
1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan
Pengelolaan dan Pemurnian Mineral Dalam Negeri. Pasal 12 ayat 5 ditetapkan
bahwa batas akhir pembangunan smelter diperpanjang kembali menjadi paling
lambat tiga tahun sejak dikeluarkan pada tanggal 11 Januari 2014. Dengan
ketentuan Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2014 tersebut jelas bahwa batas
waktu yang ditentukan oleh Pasal 103 juncto Pasal 170 UU Minerba dengan
sendirinya akan terlampaui atau industri pertambangan dapat menunda kembali
kewajiban membangun smelter hingga tahun 2017 tepatnya 12 Januari. Tidak
hanya batasan waktu, batasan jenis hasil tambang dan kadar kemurniannya juga
mengalami perubahan. Batasan minimum pengolahan dan pemurnian lebih lanjut
diatur dengan Peraturan Menteri ESDM. Sebelumnya, berdasarkan Permen ESDM,
tembaga baru boleh diekspor bila tingkat kemurnian, serta pemurnian tembaga
99%. Namun setelah dilakukan revisi, maka penjualan dapat mengekspor bijih
mineral mentah dengan tingkat kemurnian 30-40%.

Dalam Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 pemerintah masih mengizinkan


ekspor 6 komoditas mineral yang sudah diolah atau berbentuk konsentrat hingga
tahun 2017, meliputi tembaga, pasir besi, bijih besi, seng, timbal dan mangan.
Pemerintah mengatur batasan minimal kadar keenam mineral olahan tersebut yang
boleh diekspor. Sementara 6 komoditas tambang lainnya hanya boleh diekspor
setelah dimurnikan dengan hasil berbentuk logam, yaitu emas, perak, bauksit,
timah, nikel, dan kromium. Pemerintah juga mengizinkan ekspor emas dan perak
yang terkandung dalam konsentrat tembaga karena merupakan produk samping
(side mineral) bukan produk pokok. Berdasarkan ketentuan di atas, membutuhkan
waktu tujuh tahun pemegang KK dan IUP/IUPK diberi waktu untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, tentunya dengan membangun smelter

13
baik sendiri maupun bekerja sama. Artinya, amanat Undang-undang No. 4 Tahun
2009 tidak berjalan sesuai dengan ketentuan. Dimana awalnya realisasi peraturan
pembangunan smelter harus selesai pada tahun 2014. Namun nyatanya masih
belum ada yang membangun fasilitas pemurnian. Hingga akhirnya terbit lagi
peraturan baru yang justru memperpanjang jangka waktu pembangunan smelter.

Perubahan ketentuan mengenai kadar kemurnian hasil tambang juga perlu


disoroti sebab perbedaannya cukup jauh. Dengan persyaratan kemurnian konsentrat
sebesar 30-40% yang awalnya 99% tentu menjadi pertanyaan kembali kepada
pemerintah apa yang dimaksud dengan hasil tambang yang benar-benar murni.
Dengan porsi yang demikian tentu perusahaan tambang masih bisa mengekspor
bahan mentah lebih banyak daripada hasil tambang yang sudah dimurnikan, yakni
sebesar 70-60%.Ini adalah toleransi yang belum berprinsip sama- sama untung.
Karena ini sama saja dengan memberi celah bagi perusahaan untuk terus
mengekspor sebagian bahan mentahnya secara berulang-ulang berkali-kali sebelum
atau sedang membangun pabrik smelter.

Dengan proses yang sangat lambat tersebut justru membuat industri


pertambangan di Indonesia tidak semakin baik sebab hasil dari peningkatan nilai
tambah hasi tambang masih belum bisa dirasakan. Kondisi yang ditemukan ialah
penerimaan negara akan hasil tambang semakin lama semakin menurun dan
semakin banyaknya perusahaan tambang yang berkembang dan berdampak kepada
ketersediaan. Selama ini negara menanggung kerugian hingga triliunan rupiah
akibat tidak maksimalnya penerimaan negara dari royalti yang dibayarkan
perusahaan ekstraktif. Dari hasil kajian ICW terhadap PT Newmont Nusa Tenggara
sejak tahun 2004 hingga terbentuknya Undang-Undang Minerba, total
kerugian negara akibat kekurangan penerimaan royalti adalah sebesar US$ 237,4
juta. Hal ini kian memburuk dimana adanya kerusakan hutan, banjir, dan
pencemaran lingkungan yang berdampak buruk terhadap masyarakat di sekitar
pertambangan. Kondisi demikian kebijakan pengembangan industri smelter terus
menjadi perhatian hingga akhirnya muncul Undang-Undang Minerba No. 4 Tahun
2009 yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan.

14
3.2 kebijakan pemerintah Indonesia terhadap Setiap Perusahaan Tambang

Permasalahan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa


Tenggara yang dibawa ke badan arbitrase diawali oleh kebijakan pemerintah
Indonesia yang menerapkan peraturan undang-undang minerba no. 4 tahun 2009.
Kebijakan ini melarang perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia untuk

15
melakukan ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan terlebih dahulu di
smelter yang ada di wilayah Indonesia. Dalam perkembangannya, undang-undang
tersebut memerlukan adanya dukungan dalam bentuk operasional di tingkat
kementerian. Salah satu tindak lanjut dari undang-undang ini adalah terbitnya
Peraturan Menteri ESDM No. 7 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah
Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

Pemerintah Indonesia dalam menerapkan UU minerba tersebut memiliki


alasan sendiri, yaitu karena nilai ekspor dalam bentuk konsentrat sangat murah.
Selama ini, perusahaan tambang telah mengeksploitasi bahan mentah tambang di
Indonesia yang kemudian di ekspor ke negara asal perusahaan tersebut. Di negara
induk tersebut, bahan tambang diolah menjadi barang jadi dan kemudian diekspor
kembali ke Indonesia dengan harga tinggi. Sehingga pemerintah Indonesia ingin
menambahkan nilai jual dari produk tambang mineral dan batu bara dengan
mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter di wilayah Indonesia.
Akan tetapi, kebijakan yang di buat oleh pemerintah Indonesia ditentang oleh
banyak perusahaan tambang, karena dianggap memberatkan dan merugikan
sebagian besar perusahaan. Seperti Asosiasi Pengusaha Mineral se-Indonesia
(Apemindo) yang mendatangi komisi VII DPR-RI dan meminta pemerintah
membatalkan pelaksanaan UU Minerba, karena Apemindo menganggap
pemerintah tidak siap untuk memfasilitasi pembangunan smelter. Dengan
diberlakukannya UU tersebut, ada dua perusahaan tambang yang menolak yaitu PT.
Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara.

PT. Freeport dan PT. Newmont ini mengancam akan menghentikan produksinya di
Indonesia yang akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja ribuan karyawan
apabila pemerintah benar-benar menerapkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba
(Rikang, 2014). Dengan tidak adanya kesepahaman antara pemerintah dengan dua
perusahaan tambang ini kemudian membuat PT. Newmont menggugat pemerintah
Indonesia ke jalur hukum melalui mahkamah arbitrase internasional melalui the
International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID). (Hartono,
2014)

A. Penerapan UU Minerba
16
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan sumber alam
yang berlimpah, dan hal inilah yang mengundang banyak pihak datang ke Indonesia
untuk mengambil keuntungan. Salah satu hasil kekayaan alam di Indonesia yang
menarik perhatian yaitu di bidang pertambangan, sehingga banyak perusahaan
dalam, maupun luar negeri menanamkan modal dalam bidang ini. Dengan semakin
banyaknya para penanam modal dan besarnya keuntungan yang
diperoleh, disinilah peran pemerintah dalam menetapkan peraturan diperlukan guna
mempertahankan hak dan meningkatkan keuntungan Negara. Salah satu peraturan
Negara dalam menerapkan perannya adalah UU minerba nomor 4 tahun 2009 yang
berisi tentang pelarangan ekspor konsentrat / bahan mentah dan mewajibkan setiap
perusahaan membangun smelter. Diharapkan pembangunan smelter ini akan
meningkatkan investasi dalam negeri. Peraturan ini ditetapkan melalui
pertimbangan agar tercipta nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional
dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Penerapan UU tersebut mulai diberlakukan mulai 12 Januari 2014


(Supriyatno, 2014). Mulai diberlakukannya kebijakan tersebut, menteri
perekonomian menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh menjual bahan mentah
pertambangan. Pernyataan tersebut merupakan salah satu ketetapan yang diatur
dalam UU minerba No. 4 tahun 2009, dimana ketetapan ini merupakan tindak lanjut
dari implementasi UU minerba. Ada dua pasal yang menjadi fokus utama dalam
penerapan UU minerba yaitu:

1. Pasal 103 ayat 1 yang berbunyi Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan
IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) operasi produksi wajib melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri.

2. Pasal 170 Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang
sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 103 ayat (1) selambat – lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini
diundangkan.

17
Dilihat dari dua pasal di atas maka secara jelas UU minerba No. 4 tahun
2009 mengharuskan setiap perusahaan tambang yang ada di Indonesia melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri. Peraturan ini
dilakukan paling lambat 5 tahun sejak UU minerba tersebut diterbitkan. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya peraturan pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.
Dengan di berlakukannya UU tersebut merupakan salah satu usaha dari pemerintah
dalam melindungi hasil kekayaan bumi Indonesia. Sebagai indikasi SDA yang
berlimpah produksi dan ekspor bahan mentah yang mengalami peningkatan pada
setiap tahunnya. Apabila peningkatan ini di pergunakan dengan baik, maka akan
menimbulkan dampak yang besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia berupa
peningkatan devisa Negara (R, 2015). Kebijakan yang mewajibkan setiap
perusahaan tambang membangun smelter, memiliki beberapa tantangan tersendiri
bagi pemerintah Indonesia yaitu :

1. Ketika barang tambang mentah dimurnikan dan diekspor dengan tujuan


untuk meningkatkan nilai tambah, maka harus dipastikan tidak terjadi kecurangan
dari pemegang IUP (Izin Usaha Tambang) dan IUPK (Izin Usaha Tambang
Khusus) operasi produksi dalam mengolah dan memurnikan barang tambang
mentah hasil produksinya dengan kadar kemurnian yang sangat rendah hanya untuk
lolos dari UUNo 4 Tahun 2009 dan menghindari pajak ekspor yang besar. Sehingga
tujuan peningkatan nilai tambah yang diperlukan untuk mengoptimalkan
konservasi sumber daya dan batubara, memenuhi kebutuhan bahan baku industri
domestik serta memberikan dampak positif bagi perekonomian yang menghasilkan
hasil yang signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang pada
akhirnya memicu pengembangan industri pada akhirnya tidak dapat berjalan
maksimal. Seharusnya pemerintah lebih cermat dalam mengantisipasi celah – celah
yang dapat dimanfaatkan oleh “oknum-oknum” pemain barang tambang Indonesia.
Sudah seharusnya pula kata “pemurnian” disini harus dipertegas dengan tingkat
kadar pemurnian yang jelas dan standar yang baik untuk selanjutnya diatur dalam
Undang – Undang atau ketetapan pemerintah. Penerapan pengolahan dan
pemurnian bahan tambang di Indonesia masih fokus untuk "lolos" ekspor. Padahal,
pemurniannya juga pasti tidak akan mencapai 100 persen sehingga nilai tambahnya
tidak terlalu besar. Apabila pemerintah mendorong bahan mentah yang sudah
18
diolah itu digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri, dampak pengganda
ekonominya akan lebih besar.

2. Kesiapan setiap perusahaan tambang dalam membangun smelter. Smelter adalah


sebuah pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan kemurnian
kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai
tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Bahan tambang
yang didapat dari perut bumi masih tercampur dengan pengotor, mineral – mineral
lain, atau unsur –unsur tanah lain yang tidak diperlukan. Oleh karena itu bahan
tambang yang telah didapat kemudian dibersihkan dan dimurnikan pada smelter.
Pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit, diperkirakan
mencapai US$ 1,2 – 2 miliar untuk membangun sebuah smelter. Maka akan
menjadi masalah jika perusahaan tambang tidak mau membangun smelter, atau
mereka ingin membangun namun tidak mampu dan terpaksa gulung tikar, maka
otomatis akan berdampak juga pada kestabilan perekonomian Indonesia.
Pemerintah harus sigap dalam mencari solusi ini jangan sampai pada akhirnya
pemerintah melunak dan melanggar atau membatalkan ketetapan dari undang –
undang No. 4 Tahun 2009 ini. Kemudian untuk operasional diperlukan tenaga –
tenaga ahli yang terdidik dan terampil dalam pengoperasian smelter. Ini merupakan
suatu kesempatan emas bagi anak bangsa untuk “unjuk gigi” bahwa anak bangsa
tidak kalah dengan bangsa lain dalam hal kemajuan dan penguasaan IPTEK, namun
juga bisa jadi mimpi buruk jika pada akhirnya SDM Indonesia pun belum memadai.
Sehingga lagi – lagi “orang asing” kembali mengambil kesempatan – kesempatan
emas yang sudah seharusnya dapat digunakan dengan baik oleh anak bangsa.

3. Pemerintah dalam menindak tegas “oknum – oknum” yang melanggar ketetapan


Undang – Undang ini. Mayoritas pemegang saham perusahaan tambang adalah
orang – orang dengan ekonomi atas, dengan jabatan yang tidak sembarangan.
Pemerintah diharap tidak lengah dalam mendirikan hukum dan memastikan bahwa
Undang – Undang apapun yang telah disahkan dapat berjalan dengan baik tanpa
pelanggaran.

4. Pemerintah harus lebih aktif mengakomodasi kepentingan dan aspirasi rakyat


Indonesia dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dengan nasib bangsa
19
dan rakyat Indonesia. Karena pemerintah dipilih dari, rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Pemerintah harus banyak melibatkan masyarakat dalam pengambilan
keputusan dan pembuatan undang – undang.
Dengan adanya kebijakan pembangunan smelter yang diberikan oleh pemerintah
Indonesia kepada setiap perusahaan Minerba di Indonesia, PT Newmont telah
menyetujui melakukan pembangunan smelter yang mana sesuai dengan yang
dimaksud oleh UU minerba tersebut. Dengan adanya tantangan tersebut pemerintah
Indonesia juga di tuntut untuk menyiapkan kebutuhan yang diperlukan dalam
pembangunan smelter. Mengingat dalam pembangunan smelter bukanlah
merupakan perkara yang mudah, maka dari itu pemerintah harus menyiapkan
kesiapan infrastruktur di wilayah yang akan di bangun smelter. Dalam
pembangunan smelter ini di perkirakan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Proses pembangunan smelter ini Newmont meminta kelonggaran kepada
pemerintah untuk tetap diberlakukannya ekspor bahan mentah dengan persentase
penurunan bea ekspor. Hal tersebut dikarenakan smelter atau tempat pemurnian
yang ada di Indonesia seperti PT Smelting Gersik di Jawa Timur hanya mampu
menampung dan memurnikan konsentrat sejumlah 30% - 40% dari hasil produksi
PT Newmont dan PT Freeport. dengan adanya pelarangan ekspor konsentrat / bahan
mentah maka PT Newmont akan mengalami kerugian , dan akan berdampak pada
pemutusan hubungan kerja besar – besaran, sehingga akan menimbulkan dampak
sosial ekonomi yang besar (Solichah, 28). Jadi selama dilakukannya pembangunan
smelter, pemerintah Indonesia diharapkan memberikan kelonggaran kepada PT
Newmont untuk tetap melakukan ekspor kontrak selama 3 tahun kedepan. Hal
tersebut di lakukan pemerintah untuk menangani dampak yang terjadi apabila
pelarangan konsentrat di berlakukan

Namun smelter yang di bangun di Indonesia belum selesai, makan akan


terjadi pemutusan kerja besar – besaran yang akan berdampak pada ekonomi
Negara dan terjadinya pertambahan pengangguran.

Meskipun tetap diperbolehkan melakukan ekspor konsentrat. Ada beberapa


syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan tambang yaitu melakukan uji kelayakan
atau feasibility study (FS), menggelar grourt breaking sebelum 2014, serta
membayarkan uang jaminan kesungguhan untuk pembangunan smelter. Namun,
20
dalam penerapan UU tersebut, pemerintah dianggap tidak konsisten, karena
pemerintah memberikan kelonggaran kepada PT Newmont untuk tetap mengekspor
bahan mentahnya hingga 2017.

Maka dari itu dalam mematuhi UU minerba no 4 tahun 2009 Presiden


Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) meminta pemerintah untuk memaksa
perusahaan tambang melakukan setiap kebijakan yang di buat oleh undang –
undang tersebut. Apabila pemerintah tidak sigap dalam menangani kasus ini maka,
KSPI akan melakukan kampanye ke dunia Internasional dan mengajukan gugatan
hukum. Namun, setelah enam bulan melakukan perundingan untuk menyelesaikan
masalah tersebut. PT Newmont akhirnya mengajukan UU minerba ke badan hukum
arbitrase internasional karena tidak bisa melakukan ekspor konsentrat.

Pemerintah Indonesia kemudian terkesan melunak dan mengeluarkan beleid


terbaru untuk mendispensasi Newmont yaitu dengan mengeluarkan PP Nomor
1/2014 tentang Perubahan Kedua PP Nomor 23/2010 tentang Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Permen Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Nomor 1/2014 tentang Perubahan Ketiga Permen ESDM Nomor
7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan
dan Pemurnian Mineral (Wijayanto, 2014).

Dianggap bertentangan dengan UU no. 4 tahun 2009 pemerintah melalui


Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Direktorat Jenderal Minerba
Kementerian ESDM menyatakan bahwa Newmont telah melakukan pengolahan
perusahaan tambang asing tersebut tetap diberikan kelonggaran untuk mengekspor
bahan mentah mineral milik negara. Newmont telah mengolah hasil tambang
dengan kadar tembaga (Cu) mencapai 25 persen. Padahal larangan ekspor yang
telah disepakati kadar Cu hanya sampai 15 persen (Wijayanto, 2014).

Setelah mendapatkan kelonggaran dari pemerintah, PT Newmont


memberikan syarat kepada pemerintah Indonesia apabila Newmont ingin mencabut
gugatannya, maka pemerintah Indonesia harus mencabut larangan ekspor mineral,
sehingga operasional tambang mereka kembali pulih. Apa yang dilakukan oleh
21
Newmont membuat pemerintah Indonesia marah, mereka berargumen bahwa
gugatan tersebut tidak etis karena dilakukan di tengah proses perundingan. Proses
perundingan sudah mencapai kesepakatan dalam beberapa klausul. Sedangkan
klausul yang masih belum mencapai kesepakatan adalah klausul besaran royalti
yang dibayarkan Newmont kepada pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam terhadap langkah yang dilakukan


oleh Newmont. Menteri Perekonomian, sudah menyiapkan sanksi kepada PT.
Newmont apabila mereka tidak mencabut gugatan. Hal ini dirapatkan dalam
mineral mencapai kadar 30 persen berupa konsentrat tembaga. Karena itu, sidang
kabinet pada tanggal 10 Juli 2014. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tetap
membuka ruang untuk Newmont jika ingin kembali ke meja perundingan. Setelah
melalui proses diplomasi panjang, pihak Newmont akhirnya membatalkan
tuntutannya ke mahkamah arbitrase internasional.

Adanya tuntutan yang dibatalkan oleh Newmont menandakan dimulainya


nota kesepakatan antara pemerintah dan Newmont. yang mana kesepakatan tersebut
sudah dicapai, tetapi salah satu pemegang saham PT Newmont yaitu PT Pukuafu
indah melakukan gugatan ke mahkamah konstitusi pada tanggal 23 Oktober 2014
terkait di berlakukannya UU minerba No. 4 tahun 2009. Pukuafu menggugat pasal
169 tentang perubahan kontrak karya menjadi IUP PK, dan pasal 170 tentang
kewajiban melakukan pemurnian. Kembali digugat, pemerintah Indonesia tidak

22
tinggal diam. Melalui Kementerian ESDM, Pemerintah Indonesia mengancam akan
mencabut hold amandemen apabila gugatan tersebut tidak dicabut. Dirjen Minerba
Kemenetrian ESDM Menyayangkan sikap PT. NNT yang tidak konsisten. Pada
akhirnya gugatan tersebut dicabut. Juru Bicara PT Newmont menyatakan bahwa
gugatan tersebut dilayangkan tanpa konsultasi dan sepengetahuan direksi PT
Newmont lainnya. Sehingga proses penandatanganan amandemen kontrak
pertambangan bisa kembali dilanjutkan.

3.3 Perkembangan Industri Pengolahan dan Pemurnian Tambang Indonesia

3.3.1 Tahun 2014

Pada Pertengahan 2014 , Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral


(ESDM) menyatakan tengah mencari periode yang tepat dalam
mengimplementasikan relaksasi ekspor mineral, yang rencananya akan
dimasukkan di dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang
Mineral dan Batubara. Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) Luhut Binsar Panjaitan melihat relaksasi ekspor hanya berlaku
bagi perusahaan yang memang beritikad baik untuk membangun fasilitas
pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Rencananya, periode relaksasi ini
akan dilaksanakan dalam jangka waktu tiga hingga lima tahun setelah peraturannya
terbit.

Dengan demikian, perusahaan tambang harus merampungkan smelter-nya


selama jangka waktu tersebut. Jika nanti ada perusahaan yang belum
merampungkan proyek smelter-nya di periode relaksasi, pemerintah juga siap
memberikan sanksi khusus. Kendati demikian, pembahasan terkait hukuman ini
masih akan dibahas lebih lanjut.

Investor mau melihat relaksasi ini sebagai kompensasi pemerintah yang


terlambat menerbitkan peraturan turunan dari UU Minerba. Namun, ia pun tak ingin
masyarakat menganggap relaksasi ini merupakan upaya untuk menghilangkan
23
semangat hilirisasi mineral tambang. Di tahap awal, pemerintah akan mendata
progress masing-masing perusahaan tambang yang membangun smelter. Dari
angka progress tersebut, tambah Luhut, bisa terlihat berapa lama sisa waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan smelter. jika pemerintah benar-benar merevisi
ketentuan wajib membangun smelter bagi perusahaan yang ingin mengekspor
bahan galian tambangnya, maka hal tersebut bisa merusak reputasi pemerintah di
mata investor

3.3.2 Tahun 2015

Pada 2015 ini akan dibangun enam smelter nikel tambahan di samping dua
yang sudah ada yaitu PT Indoferro dan PT Cahaya Modern Mining.
Lebih lanjut, perkembangan beberapa perusahaan nikel di Indonesia mengarah pada
perkembangan yang positif. Hal tersebut yang membuat pemerintah menargetkan
nilai ekspor mineral 2016 melebihi dari 2013. Pada 2013 nilai yang didapatkan
USD3,4 miliar dari bauksit, nikel, dan pasir besi.
pada tahun 2016, akan menjadi USD17 miliar total ekspor kita. Tahun ekspor
mineral 2013 kita menjual total mineral ekspor USD15,1 miliar. Termasuk logam
dan biji, Sebagai informasi, 2015 akan dibangun delapan smelter tambahan
sehingga total akan ada delapan smelter di 2015. Lalu 2016 akan dibangun lagi 12
smelter

3.3.3 Tahun 2016


Harga komoditas tambang merosot dalam lima tahun terakhir. Sebagai
contoh harga Nikel, saat ini harganya hampir setengah dari harga lima tahun yang
lalu, dari 27.000 US$/ton (2011) menjadi US 12.000 US$/ton (2015). Sementara
harga Mangan turun dari 3.000 US$/ton menjadi 1.500 US$/ton, demikian juga
harga Seng dari 1050 US$/lb menjadi 800 US$/lb. Sesuai dengan Peraturan
Pemerintah tahun 2014 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) nomor 1 tahun 2014, maka sejak 12 Januari 2017 produk hasil pengolahan
enam komoditas mineral logam (tembaga, mangan, seng, timbal, timah dan besi),
tidak dapat dijual ke luar negeri.

24
Saat ini, terdapat dua kementerian yang menerbitkan izin pembangunan smelter
yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Khusus diberikan oleh
Kementerian ESDM dan Izin Usaha Industri (IUI) yang dikeluarkan oleh
Kementerian Perindustrian. lalu, dalam hal pemberian insentif pajak, smelter bisa
mendapat tax allowance, tapi bukan tax holliday ,Sebab, industri smelter tidak
memberikan nilai tambah atau value added pada produknya. serta Royalti Harus
diambil di Hulu bukan di pengolahannya.

3.3.4 Tahun 2017

Pada tahun 2017 awal Kebijakan pembukaan keran ekspor mineral mentah
ikut ternyata berdampak terhadap operasional pabrik pengolahan dan pemurnian
(smelter). Sebanyak 92% smelter nikel yang ada di Indonesia merugi sejak adanya
pemberlakuan kebijakan tersebut. Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan
dan Pemurnian Mineral Indonesia (AP3I) Jonatan Handjojo mengatakan saat ini
ada 25 perusahaan yang membangun smelter nikel. Dari jumlah itu, hanya dua
smelter di Morowali, Sulawesi Tengah yang masih beroperasi secara sehat.

Total investasi 23 smelter nikel yang terancam tutup itu mencapai US$ 18 miliar.
Adapun kebijakan relaksasi impor ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara. Aturan itu menyebutkan pemerintah kembali membuka keran ekspor
kepada perusahaan tambang dalam negeri dengan catatan wajib membangun
smelter paling lambat selama lima tahun ke depan.
Kebijakan itu juga diperkuat dengan aturan turunannya, yakni Peraturan Menteri
ESDM Nomor 6 Tahun 2017. Dalam aturan itu, pemerintah melonggarkan ekspor
bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen. Sedangkan ekspor bijih bauksit
dengan kadar lebih besar dari 42 persen dibuka asal sudah melalui proses
pencucian. Akibat kebijakan itu juga, jumlah pembangunan smelter setiap tahunnya
belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Tahun 2015, dari 12 smelter
bauksit atau nikel yang akan dibangun, hanya lima smelter yang terealisasi.

3.3.5 Tahun 2018

25
Hingga Februari 2018, sebanyak 52 smelter telah terbangun (27 telah
beroperasi) dan 19 smelter lainnya yang tengah dibangun dengan perkembangan di
atas 5%.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, total 71 smelter yang telah dan sedang
dibangun tersebut merupakan gabungan dari smelter yang menggunakan Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) dan Izin Usaha Industri (IUI).
Smelter timah mendominasi dengan 29 smelter yang ada. Nikel menjadi smelter
yang paling berkembang berikutnya dengan jumlah yang telah terbangun mencapai
14 unit. Selain itu, akan ada tambahan 12 smelter.
Komoditas besi telah memiliki empat smelter yang ada. Rencananya ada tambahan
tiga smelter tahun ini. Bauksit dan mangan masing-masing telah memiliki dua
smelter. Belum ada tambahan smelter yang progresnya sudah di atas 5%. Tembaga
sudah memiliki satu smelter. Rencananya akan ada tambahan satu smelter lagi.
3.3.6 Tahun 2019
Pada tahun 2019 masih tetap ada 27 smelter yang beroperasi tetapi direncanakan
akan ad 2 smelter lagi yang akan beroperasi pada akhir tahun 2019.

3.4 Teknis Pembangunan Smelter


Dalam industri pertambangan mineral logam, smelter merupakan bagian
dari proses sebuah produksi , mineral yang ditambang dari alam biasanya masih
yang tidak di inginkan . sementara ini material bawaan tersebut harus dibersihkan ,
selain itu juga harus dimurnikan pada smelter .
Smelter itu sendiri adalah sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi
meningkatkan kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga , emas dan perak
hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir
. proses tersebut telah meliputi pembersihan mineral logam dari pengotor dan
pemurniannya . Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara mengamanatkan kepada pemerintah agar konsisten
menerapkan kewajiban pembangunan pengolahan dan pemurnian (smelter)
tambang mineral . perusahaan dapat membangun smelter dengan memiliki izin
usaha pertambangan operasi produksi khusus dan pemurnian (IUPOPK pengolahan

26
dan pemurnian). Menurut Spelt dan Ten Berge, figur izin merupakan sebuah tanda
persetujuan dari pemerintah, berdasarkan peratruan perundang-undangan.

Hal- hal yang harus dilakukan perusahaan tersebut untuk memperoleh IUP OPK
pengolahan dan pemurnian ialah
1. Melampirkan Surat Permohonan pengajuan IUP OPK Pengolahan dan
pemurnian
2. Melengkapi keterangan di dalam formulir pengajuan IUP OPK Pengolahan dan
pemurnian
3. Melengkapi checklist dokumen pengajuan

sedangkan ,dokumen yang harus dilampirkan dan izin yang harus dimiliki dalam
permohonan IUP OPK Pengolahan dan pemurnian mineral ialah

1. Profil perusahaan
A) akta pendirian ,susunan direksi , pemegang saham.
B) NPWP
C) SIUP
D) Surat Keterangan Domisili
E) Tanda Daftar Perusahaan
F) Pengesahan Akta pendirian perusahaan dari yang berwenang
2. Memorandum of Understanding
A) Spesifikasi Bahan Galian
B) VOLUME ( TONASE)
C) jangka waktu MOU
D) bermeterai cukup
3. Legalitas IUP Produksi SK IUP OP yang telah terdaftar di Direktorat Jendral
Mineral dan Batubara
4. Data Teknis Pemilik Tambang/IUP OP (cadangan / sumber daya -kapasitas
produksi)-surat persetujuan AMDAL
5. Laporan Finansial Perusahaan Pemegang IUP operasi produksi
6. Perizinan Industri / perizinan berdirinya pabrik
7. Laporan keuangan perusahaan 3 tahun terakhir
8. Laporan RKAB tahun terakhir
27
9. Persetujuan AMDAL atau UKL dan UPL
10. Persetujuan FS / Studi kelayakan pabrik
11. Daftar Tenaga Ahli

sebagai konsekuensi dari diterbitkannya izin usaha pertambangan (IUP) ,


maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengawasan. pengawasan merupakan
salah satu unsur dalam kegiatan manajemen . pengawasan pada prinsipnya
dilakukan sesuai ketentuan yang ada.

28
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kelebihan dan Kekurangan Pembangunan Industri Pengolahan


dan Pemurnian Di Indonesia

Kewajiban yang diamanatkan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009


tentang Mineral dan Batubara mengernai pembangunan smelter tentu saja memberi
dampak secara langsung.

Kelebihan dari Pembangunan smelter tersebut dapat memberikan


keuntungan bagi perusahaan tambang dan pemerintah yang ada di Indonesia ,
namun disisi lain ada beberapa kelemahan yang dapat menyebabkan kerugian bagi
perusahaan tambang itu sendiri . Perusahaan tambang yang ada di Indonesia baru
beberapa yang tersedia membangun smelter , terutama perusahaan tambang yang
besar . baik perusahaan tambang milik negeri ataupun perusahaan tambang yang
mendapatkan investasi asing .

Dengan adanya smelter yang akan dibangun di Indonesia , maka ada


beberapa kelebihan yang dirasa dapat memberikan keuntungan pada perusahaan
tambang itu sendiri dan pemerintah . Yang Pertama adalah peningkatan nilai
tambah mineral dilakukan melalui kegiatan pengolahan , peleburan dan pemurnian
mineral dari bahan baku yang berbentuk bijih menjadi suatu produk akhir yang
berbentuk logam (metal).kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan produk atau
komoditi selanjutnya sehingga nilai ekonomi dan daya gunanya meningkat lebih
tinggi dari sebelumnya , serta aktivitas yang ditimbulkan akan memberikan dampak
positif terhadap perekonomian dan sosial baik bagi pusat maupun daerah .
peningkatan nilai tambah mineral dilakukan untuk mendukung ketersediaan bahan
baku . melakukan peningkatan nilai tambah mineral di Indonesia, dapat dikaitkan
dengan upaya konservasi sumber daya alam tak terbarukan . hal ini lebih diarahkan
untuk menjaga agar persediaan sumber daya alam mineral yang tak terbarukan
29
relatif tetap dapat memenuhi kebutuhan dalam masa yang relatif panjang
(Djamaluddin , Meinarni Thamrin dan Alfajrin Achmad , 2012:TG3-2)

Kedua , dengan perusahaan tambang membangun smelter m maka


perusahaan tambang membantu pemerintah dalam mengurangi angka
pengangguran yang dikarenakan masyarakat yang berada di kawasan lingkar
tambang ataupun smelter yang akan lebih berkesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan.

Ketiga , dengan adanya smelter yang berada dekat dengan perusahaan


tambang maka penerapan itu akan berdampak positif pada peningkatan kinerja
industri pertambangan nasional . penerapan aturan tersebut juga akan
meningkatkan nilai tambah ekspor nasional , mengurangi defisit perdagangan yang
semakin parah dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Selain kelebihan tentu terdapat pula kelemahan yakni pertama , dibutuhkan


biaya yang cukup mahal untuk membangun smelter. Kedua, proses dalam
membangun smelter tidak bisa dalam waktu singkat , sehingga memerlukan waktu
yang cukup lama .

30
4.2 Analisis Kebijakan Pemerintah Tentang Larangan Ekspor Dalam bentuk
Bijih dan Konsentrat

4.2.1. Dampak UU Minerba


Implikasi dari minimnya smelter adalah banyak bahan mentah tambang
yang tidak dapat dijual, pada akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi
kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya. Hal ini akan berdampak pada
tiga hal. Pertama, berkurangnya penerimaan negara. Kedua, pengurangan tenaga
kerja di sektor tambang, dan ketiga, semakin tergerusnya neraca perdagangan.
Pertama, pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan dapat berupa
penerimaan pajak (PPh), penerimaan bukan pajak (royalti tambang), dan deadrent
(sewa lahan). Penerimaan royalti sektor minerba mencapai Rp 13 triliun per tahun,
sedangkan pajak dari sektor tambang dan galian Rp 55 triliun (Kementerian
Keuangan, 2012). Penerimaan ini berpotensi anjlok jika produksi tambang minerba
menurun.

Kedua, berkurangnya produksi tambang akan berimplikasi terhadap


pengurangan tenaga kerja. Saat ini pekerja sektor pertambangan dan galian
mencapai 1,6 juta pekerja (BPS, 2012). Angka tersebut meningkat dibandingkan
Januari 2009 yang hanya 1,1 juta, atau ada peningkatan 40 persen. Kenaikan ini
disinyalir akibat peningkatan produksi tambang secara drastis yang membutuhkan
banyak tenaga kerja. Dengan adanya larangan ekspor bahan mentah, para pekerja
harus bersiap kehilangan pekerjaan. Pengurangan tenaga kerja juga akan terjadi
pada perusahaan pendukung kegiatan tambang, seperti perkapalan dan alat berat.

Ketiga, sektor pertambangan nonmigas (termasuk minerba) menyumbang


16,28 persen ekspor nasional (BI, 2012). Apabila ekspor bahan mentah menurun
akibat larangan ekspor, neraca perdagangan akan kian defisit. Hal ini akan
berdampak terhadap kian lemahnya nilai tukar rupiah yang mendongkrak biaya

31
impor. Tingginya biaya impor akan berpengaruh terhadap sejumlah produk yang
masih mengandalkan komponen impor.

UU Minerba sudah ditetapkan sejak 2009, tetapi hingga kini program


penghiliran seperti jalan di tempat. Pemerintah belum berhasil menciptakan iklim
usaha yang membuat investor tertarik membangun industri smelter di Indonesia.
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, perusahaan yang sudah dikatakan siap
dalam menghadapi UU Minerba ini hanya sebanyak 15 perusahaan. Sedangkan
masih ada 97 perusahaan yang belum ada progres yang berarti.

Permasalahan yang sering dihadapi oleh perusahaan dalam pembangunan


smelter adalah birokrasi dan tata ruang. Pertama, birokrasi dan regulasi di Indonesia
sering menghambat proses penghiliran. Perizinan yang rumit, pembebasan lahan,
hingga tumpang tindih peraturan menjadi penghalang utama. Contohnya, aturan
divestasi tambang menyebabkan pemilik tambang enggan membangun smelter.
Aturan divestasi tambang memaksa pemilik tambang mendivestasikan sahamnya
kepada pemerintah (pemda, BUMN, BUMD) dalam waktu 10 tahun. Apabila
tambang terintegrasi dengan smelter tentunya investor rugi besar apabila smelter
yang bernilai investasi besar turut didivestasikan.

Kedua, tata ruang. Investasi sering terkendala ketidakjelasan tata ruang.


Masih ada tumpang tindih antara peta kehutanan, peta pertambangan, dan rencana
tata ruang wilayah. Tumpang tindih ini, misalnya dengan kawasan lain, menjadi
penyebab ketidakpastian. Ketiga, ketersediaan infrastruktur. Smelter membutuhkan
infrastruktur penunjang seperti listrik untuk menjalankan pabrik, jalan untuk
mengangkut bahan mentah dan hasil olahan, dan pelabuhan untuk mendistribusikan
hasil produksi smelter. Kebutuhan infrastruktur tersebut gagal disediakan
pemerintah. Masih banyak jalan rusak, pelabuhan yang tidak efisien, dan sulitnya
mendapatkan akses listrik.

Infrastruktur listrik di daerah yang memiliki potensi tambang sering memiliki rasio
elektrifikasi rendah, seperti Sumatera Selatan sebesar 72,71 persen, Kalimantan
Tengah 67 persen, Kalimantan Selatan 75 persen, dan Papua 29,25 persen. Smelter
biasanya akan dibangun dekat dengan sumber tambang agar dapat menekan biaya
32
transportasi. Dengan tingkat elektrifikasi rendah, investor akan berpikir dua kali
sebelum membangun industri smelter.

Selain dampak-dampak di atas, beberapa pelaku usaha pertambangan juga


memperkirakan bahwa proyek smelter ini akan selesai pada tahun 2017. Potensi
penerimaan negara dari sektor pertambangan yang hilang diperkirakan mencapai 7-
8 miliar dolar AS, dan sekitar 30.000 orang akan kehilangan pekerjaan. Dana yang
hilang tersebut sebenarnya dapat membangun pabrik “Sponge Iron” (Sponge Iron
adalah produk dari pengolahan pasir besi maupun bijih besi) sebanyak 2000 unit
dengan asumsi pembangunan pabrik dengan kapasitas 100 ton/hari berkisar Rp 40
milyar dengan lama pembangunan sekitar 6 bulan per pabrik. Jika seluruh pabrik
didistribusikan ke seluruh provinsi di Indonesia, maka setiap provinsi akan
memiliki 60 unit pabrik pengolahan.

Kedua, jumlah tenaga kerja yang hilang akibat berhentinya sektor


pertambangan sebanyak 30.000 orang di seluruh Indonesia. Dengan dibangunnya
2000 unit pabrik Tersebut, maka akan diperlukan tenaga kerja langsung maupun
tidak langsung sebanyak 100 orang/pabrik. Maka untuk keseluruhan akan
dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 200.000 orang, defisit 170.000 orang tenaga
kerja. Ketiga, dengan adanya 2000 unit pabrik tersebut dengan kapasitas 100
ton/hari/pabrik maka total akan dihasilkan sponge iron sebanyak 70 juta ton per
tahun, sebanyak 10 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dengan
harga berkisar 400 dolar AS/ton, sisanya sebanyak 60 juta ton bisa diekspor ke luar
negeri karena sudah memenuhi syarat Peraturan Menteri ESDM dengan asumsi
harga 400 dolar AS/ton maka akan didapat devisa sebesar 24 miliar dollar AS (Rp
240 Trilyun).

4.2.1. Kesiapan Smelter

Pada Hakikatnya Indonesia baru memiliki 52 Smelter dengan hanya 3/4 nya
saja yang sudah dapat digunakan, itu pula disandingi dengan adanya pembatasan

33
Ekspor . Dilihat dari progres dari pembuatan pabrik pengolahan dan pemurnian
tambang di Indonesia ini memiliki Hasil yang positif , dari tahun ke tahun
meningkat sebesar 6- 8 jumlah smelter . Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Minerba , yang telah menetapkan pembuatan dalam jangka 3-5 tahun ini
akan berakhir tahun 2019 , dimana terdapat target penyelesaian dalam pembuatan
smelter ini . Namun halnya masih terdapat kekurangan dalam pembuatannya dan
butuh pula daya listrik lebih yang harus dikoordinasikan kepada pemerintah .

Langkah Pemerintah dalam memberikan sanksi apabila proyek ini tidak


berhasil cukup baik karena dapat menopang kinerja industri pengolahan dan
pemurnian di Indonesia ini . meskipun dampak negatif yang ada saat tahun 2014
hingga 2016 awal cukup banyak karena berkurangnya investasi dalam negeri ,
pemerintah membuat sebuah cara atau keputusan baru di tahun 2017 awal . pada
saat itu berdampak pada pembuatan smelter yang banyak terhenti karena pada
perusahaan fokus kepada ekspor bahan mentah , namun pemerintah menekankan
perusahaan dalam langkah insentif untuk tetap fokus kepada pembuatan pabrik
pengolahan dan pemurnian bahan galian tambang karena akan memiliki dampak
positif yang berkepanjangan . dilihat dari beberapa bulan kebelakang tepatnya
Agustus 2018 , banyak perusahaan tambang di Indonesia yang memang sudah
memiliki banyak smelter , seperti smelter timah mendominasi dengan 29 smelter
yang ada. Nikel menjadi smelter yang paling berkembang berikutnya dengan
jumlah yang telah terbangun mencapai 14 unit. Selain itu, akan ada tambahan 12
smelter.

Maka dari itu langkah pemerintah dalam pemberlakuan ekspor dibarengi dengan
pembuatan pabrik pengolahan dan pemurnian tambang di Indonesia merupakan
langkah yang cukup baik guna untuk mempertimbangkan kepentingan bersama dan
tetap berjalanya investasi .

34
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Pada Kondisi seperti ini , dengan melihat perkembangannya dari sejak tahun
2014 , masih banyak sekali industri pengolahan dan pemurnian yang kalang kabut
dalam proses pembuatan alat smelter. Namun, Implikasi dari minimnya smelter
adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, pada akhirnya
membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup
usahanya. Hal ini akan berdampak pada tiga hal yaitu:
1. Berkurangnya penerimaan negara.
2. Pengurangan tenaga kerja di sektor tambang.
3. Semakin tergerusnya neraca perdagangan.

Maka, dalam strategi pemerintah untuk pemurnian dan pengolahan dalam


negeri masih perlu disandingi dengan adanya aktivitas ekspor-impor guna untuk
mengurangi dampak diatas. lalu langkah pemerintah dalam pemberlakuan ekspor
dibarengi dengan pembuatan pabrik pengolahan dan pemurnian tambang di
Indonesia merupakan langkah yang cukup baik guna untuk mempertimbangkan
kepentingan bersama dan tetap berjalanya investasi.

5.2 Saran

1. Pemerintah Perlu Melakukan adanya Evaluasi Tiap Bulan melihat kinerja dari
pembuatan smelter tersebut .
2. Mengawasi kelangsungan ekspor bahan mentah yang dianggap sebagai
Pemenuhan Kebutuhan sementara perusahaan.

35
DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Resmi Larang Ekspor Bahan Mentah – Pikiran Rakyat. http://www.pikiran-


rakyat.com/ekonomi/2014/01/12/265730/pemerintah-resmi-larang-ekspor-bahan-mentah
diakses pada tanggal 22 November 2018 pukul 20.50 WIB.

Mineral Processing – Metallurgy – Encyclopedia Britannica.


https://www.britannica.com/technology/mineral-processing. diakses pada 22 November
2018 pukul 20.49.

Daud, “Pemerintah Optimis Penerimaan Naik Berkat Aturan Baru Minerba”,


http://katadata.co.id/berita/2017/01/19/ pemerintah-optimis-penerimaan-negara- naik-
dari-aturan-baru-minerba, diakses 19 Januari 2017.

Abdurachman, “Maju Mundur Smelter Freeport ...”, http://bisniskeuangan.kompas.


com/read/2016/09/14/225326026/maju. mundur.smelter.freeport.?page=all, diakses 19
Januari 2017.

Adrian Sutedi, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses: Jakarta, 2014

Hamdy Hady. Ekonomi Internasional Teori Dan Kebijakan Perdagangan Internasional:


Buku 1 Edisi Revisi, Ghalia Indonesia: Bogor, 2009

Patilima, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: Alfabeta. 2011

Majalah internal direktorat jenderal mineral dan batubara. Warta minerba: meningkatkan
kinerja sub sektor minerba, edisi xv. April 2013

Kementerian Perindustrian Republic Indonesia. Analisa Biaya Manfaat Larangan Ekspor


Bahan Mentah Minerba Dan Dampaknya Terhadap Sektor Industry: Study Kasus Nikel
Dan Tembaga. Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian .2012

Gocht, WR., Zantop,H., Eggert, RG., 1988, International Mineral Economic, Mineral
Exploration, Mine Valuation, Mineral Markets, International Mineral Policies, Springer
Verlag Berlin Heidelberg.

http : //www. Smelting.co.id, 2009, PT Smelting Gresik Copper Smelter and Refinary.

http://jdih.minerba.esdm.go.id/minerba/dok/KepmenESDM2018.pdf

36

Anda mungkin juga menyukai