Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR CRURIS ( TIBIA DAN FIBULA )

I. KONSEP TEORI
A. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula ( Smeltzer & Bare, 2017).
Patah atau fraktur tibia merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan fraktur
batang tulang panjang lainnya. Periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah
depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen
frakturnya bergeser. Karena berbeda langsung di bawah kulit, sering ditemukan juga fraktur
terbuka (Sjamsuhidajat,R.2018).

B. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
1. Trauma
a) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-
lain.
3. Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.

C. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.

D. Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang
dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan
sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi
akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit,
ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom
yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang
kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam
pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi
kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan
protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema.
Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa
menyebabkan syndrom comportement.

E. Pathways
Terlampir

F. Komplikasi
1. Dini
a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b. Kompartement Syndrom

Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup. Komplikasi
ini sangat berbahaya karena berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai
bawah. Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartment syndrome.
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra-kompartemen,
hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan
aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedem tekanan
intrakompartemen makin meninggi sampai akhrinya sedemikian tinggi sehingga
menyumbat aarteri di intrakomparmen.
Gejala: rasa sakit pada tungkai bawah dan temukan paraesthesia. Rasa sakit akan
bertambah bila jari digerakan secar pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama
dapat terjadi paralyse pada oto-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum
longus dan tibial anterior. Tekanan intrakompatemen dapat diukur langsung
dengan cra whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12jam harus dilakukan
fasciotomi.
c. Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.

d. Infeksi

System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis

Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.

f. Shock

Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas


kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.

2. Lanjut
a. Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang kominutiva sedang immobilisasinya
longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan
osteotomi.
b. Delayed union: terutama terjadi padda fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi
atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat di atasi dengan operasi tandur
alih tulang spongiosa.
c. Non union: disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai
dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut
cara papineau.
d. Kekakuan sendi: hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama.
Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak. Hal ini dapat
diatasi dengan fisioterapi

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.(Doenges, 2004
: 762)

H. Penatalaksanaan Medis
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan
deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang
bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV,
sedative atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips,
bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan
ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan
isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah ( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361 ).
Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal
dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar – tendon – bearing. Reduski harus relative
akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saatnya di mana sangat sulit mempertahankan
reduksi, sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan
gips (mis. Teknik pin dalam gips) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan berat
badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 samapi 10 hari. Aktivitas akan mengurangi
edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi gips tungkai pendek atau
brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut. Penyembuhan fraktur
memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
Fraktur terbuka atau komunitif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna
dengan batang, plat atau nail, atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut harus didorong
dalam batas alat imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya 4
sampai 6 minggu ( Smeltzer & Bare & Bare, 2001 : 2386 ).

I. Gambaran Umum ORIF ( Open Reduduction Intra Fixation )


ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang
yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar
tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary
Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka dengan Fiksasi Internal.
ORIF akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan pembedahan untuk memasukan paku,
sekrup atau pen kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur
secara bersamaan.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

1.1. Pengumpulan Data

1) Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.

2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

c)Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain.

d)Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi


petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

e)Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah


satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.

f)Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.

g)Pola-Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat


Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-


harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.

4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.

5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan


klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain.

6) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap.

7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).

8) Pola Sensori dan Kognitif


Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.

9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.

10) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan


baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena
nyeri dan keterbatasan gerak klien.

2) Pemeriksaan Fisik

Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk


mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.

2.1) Gambaran Umum

Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis


tergantung pada keadaan klien.

b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.

c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.

2.2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

a) Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,


oedema, nyeri tekan.
b) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
d) Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.


h) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
i) Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.


j) Paru

 Inspeksi :Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada


riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

 Palpasi :Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

 Perkusi :Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

 Auskultasi :Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.

k) Jantung

 Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.

 Palpasi :Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

 Auskultasi :Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

l) Abdomen

 Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

 Palpasi :Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.

 Perkusi :Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.

 Auskultasi

Peristaltik usus normal 20 kali/menit.


m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2.3) Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai


status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

A. Look (inspeksi)

1. Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).

2. Cape au lait spot (birth mark).

3. Fistulae.

4. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.

5. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak


biasa (abnormal).

6. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

7. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

B. Feel (palpasi)

1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.

2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema


terutama disekitar persendian.

3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3


proksimal,tengah, atau distal).

4. Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

C. Move (pergeraka terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan


menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif.

2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan:


a) Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tirah baring dan Meningkatkan stabilitas, meminimalkan


imobilisasi sesuai indikasi. gangguan akibat perubahan posisi.

2. Bila terpasang gips/bebat, sokong Mencegah gerakan yang tak perlu akibat
fraktur dengan bantal atau gulungan perubahan posisi.

selimut untuk mempertahankan posisi


yang netral.
3. Evaluasi pembebat terhadap resolusi
Penilaian kembali pembebat perlu
edema.
dilakukan seiring dengan berkurangnya
edema

4. Bila terpasang traksi, pertahankan Traksi memungkinkan tarikan pada aksis


posisi traksi (Buck, Dunlop, Pearson, panjang fraktur tulang dan mengatasi
tegangan otot untuk mempercepat
Russel)
reunifikasi fragmen tulang

5. Yakinkan semua klem, katrol dan tali


berfungsi baik. Menghindari iterupsi penyambungan
fraktur.
6. Pertahankan integritas fiksasi
eksternal. Keketatan kurang atau berlebihan dari
traksi eksternal (Hoffman) mengubah
tegangan traksi dan mengakibatkan
7. Kolaborasi pelaksanaan kontrol foto. kesalahan posisi.

Menilai proses penyembuhan tulang.

b. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang Mengurangi nyeri dan mencegah
sakit dengan tirah baring, gips, bebat malformasi.

dan atau traksi


2. Tinggikan posisi ekstremitas yang Meningkatkan aliran balik vena,
terkena. mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak Mempertahankan kekuatan otot dan
pasif/aktif. meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan
Meningkatkan sirkulasi umum,
kenyamanan (masase, perubahan menurunakan area tekanan lokal dan
posisi) kelelahan otot.

5. Ajarkan penggunaan teknik Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,


manajemen nyeri (latihan napas dalam, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang
mungkin berlangsung lama.
imajinasi visual, aktivitas dipersional)
6. Lakukan kompres dingin selama fase
akut (24-48 jam pertama) sesuai Menurunkan edema dan mengurangi rasa
keperluan. nyeri.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
indikasi.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme
penghambatan rangsang nyeri baik secara
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, sentral maupun perifer.
petunjuk verbal dan non verval, Menilai perkembangan masalah klien.
perubahan tanda-tanda vital)

c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler,
edema, pembentukan trombus)
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan


melakukan latihan menggerakkan mencegah kekakuan sendi.

jari/sendi distal cedera.

Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk


2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat perlunya penyesuaian keketatan
tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat. bebat/spalk.

3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas Meningkatkan drainase vena dan


yang cedera kecuali ada kontraindikasi menurunkan edema kecuali pada adanya
keadaan hambatan aliran arteri yang
adanya sindroma kompartemen.
menyebabkan penurunan perfusi.
4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) Mungkin diberikan sebagai upaya
bila diperlukan. profilaktik untuk menurunkan trombus
vena.
5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran
kapiler, warna kulit dan kehangatan Mengevaluasi perkembangan masalah
klien dan perlunya intervensi sesuai
kulit distal cedera, bandingkan dengan
keadaan klien.
sisi yang normal.

d. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam Meningkatkan ventilasi alveolar dan


dan latihan batuk efektif. perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi Reposisi meningkatkan drainase sekret dan
yang aman sesuai keadaan klien. menurunkan kongesti paru.

3. Kolaborasi pemberian obat Mencegah terjadinya pembekuan darah


antikoagulan (warvarin, heparin) dan pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah menunjukkan
kortikosteroid sesuai indikasi.
keberhasilan untuk mencegah/mengatasi
emboli lemak.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2
kalsium, LED, lemak dan trombosit menunjukkan gangguan pertukaran gas;
anemia, hipokalsemia, peningkatan LED
dan kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering berhubungan
dengan emboli lemak.

5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan


Adanya takipnea, dispnea dan perubahan
upaya bernapas, perhatikan adanya
mental merupakan tanda dini insufisiensi
stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, mungkin menunjukkan
pernapasan, retraksi sela iga dan terjadinya emboli paru tahap awal.
sianosis sentral.

e. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi


restriktif (imobilisasi)
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan perhatian, meningkatakan
rekreasi terapeutik (radio, koran, rasa kontrol diri/harga diri, membantu
menurunkan isolasi sosial.
kunjungan teman/keluarga) sesuai
keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif Meningkatkan sirkulasi darah
pada ekstremitas yang sakit maupun muskuloskeletal, mempertahankan tonus
otot, mempertahakan gerak sendi,
yang sehat sesuai keadaan klien.
mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah
reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
3. Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional
gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.
indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri
Meningkatkan kemandirian klien dalam
(kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan
klien. klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan insiden komplikasi kulit dan
keadaan klien. pernapasan (dekubitus, atelektasis,
penumonia)

Mempertahankan hidrasi adekuat, men-


6. Dorong/pertahankan asupan cairan
cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
2000-3000 ml/hari.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan
7. Berikan diet TKTP.
untuk proses penyembuhan dan mem-
pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk
sesuai indikasi. menyusun program aktivitas fisik secara
individual.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien Menilai perkembangan masalah klien.

dan program imobilisasi.

f. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit


dan aman (kering, bersih, alat tenun yang lebih luas.

kencang, bantalan bawah siku, tumit).


2. Masase kulit terutama daerah
penonjolan tulang dan area distal
Meningkatkan sirkulasi perifer dan
bebat/gips. meningkatkan kelemasan kulit dan otot
terhadap tekanan yang relatif konstan pada
imobilisasi.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah
perianal Mencegah gangguan integritas kulit dan
jaringan akibat kontaminasi fekal.
4. Observasi keadaan kulit, penekanan
gips/bebat terhadap kulit, insersi Menilai perkembangan masalah klien.

pen/traksi.

g. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma


jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan


perawatan luka sesuai protokol mempercepat penyembuhan luka.

2. Ajarkan klien untuk mempertahankan Meminimalkan kontaminasi.


sterilitas insersi pen.

Antibiotika spektrum luas atau spesifik


3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan dapat digunakan secara profilaksis,
toksoid tetanus sesuai indikasi. mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid
tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

4. Analisa hasil pemeriksaan Leukositosis biasanya terjadi pada proses


infeksi, anemia dan peningkatan LED
laboratorium (Hitung darah lengkap,
dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur
LED, Kultur dan sensitivitas untuk mengidentifikasi organisme
luka/serum/tulang) penyebab infeksi.

5. Observasi tanda-tanda vital dan


tanda-tanda peradangan lokal pada Mengevaluasi perkembangan masalah
luka. klien
h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d
kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Kaji kesiapan klien mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran


program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental
klien untuk mengikuti program
pembelajaran.
2. Diskusikan metode mobilitas dan Meningkatkan partisipasi dan kemandirian
ambulasi sesuai program terapi fisik. klien dalam perencanaan dan pelaksanaan
program terapi fisik.

3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang Meningkatkan kewaspadaan klien untuk


memerluka evaluasi medik (nyeri mengenali tanda/gejala dini yang
berat, demam, perubahan sensasi memerulukan intervensi lebih lanjut.
kulit distal cedera)

4. Persiapkan klien untuk mengikuti Upaya pembedahan mungkin diperlukan


terapi pembedahan bila diperlukan. untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi
klien.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. et.al. 2004, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Rasjad, Chairuddin. 2006. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.

Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.
Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Kompres Hangat (Tepid
Sponge) Pada Pasien Demam

Di susun Oleh :

STEFANUS EVAN RAFAEL

NIM : P180748

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIYATA HUSADA

SAMARINDA

2019
PATHWAY

Trauma

Fraktur

Perubahan status Cedera sel Diskontuinitas Luka terbuka Reaksi peradangan


kesehatan fragmen tulang

Kurang
Degranulasi sel Terapi restrictif Lepasnya lipid Port de’ entri Gg. Integritas Edema
informasi
mast pada sum-sum kuman kulit
tulang

Kurang
Pelepasan Gg. Mobilitas fisik Resiko Infeksi Penekanan pada
pengeta Terabsorbsi
mediator jaringan vaskuler
hunan masuk kealiran
kimia
darah Nekrosis
Penurunan aliran
Oklusi arteri Jaringan paru
Korteks Nociceptor darah
Emboli paru
serebri
Resiko disfungsi
Medulla
Gangguan pertukaran Penurunan laju Luas permukaan neurovaskuler
Nyeri spinali
gas difusi paru menurun

Anda mungkin juga menyukai