I. KONSEP TEORI
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur Tibia Fibula adalah terputusnya tulang tibia dan fibula ( Smeltzer & Bare, 2017).
Patah atau fraktur tibia merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan fraktur
batang tulang panjang lainnya. Periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah
depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen
frakturnya bergeser. Karena berbeda langsung di bawah kulit, sering ditemukan juga fraktur
terbuka (Sjamsuhidajat,R.2018).
B. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya :
1. Trauma
a) Trauma langsung : Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b) Trauma tidak langsung : Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2. Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-
lain.
3. Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri : usia lanjut
4. Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
C. Manifestasi Klinis
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang.
Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa hari setelah cedera.
D. Patofisiologi
Ketika patah tulang, terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang
dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan
sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi
akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit,
ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk
memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom
yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang
kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam
pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi
kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan menyebabkan
protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema.
Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa
menyebabkan syndrom comportement.
E. Pathways
Terlampir
F. Komplikasi
1. Dini
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup. Komplikasi
ini sangat berbahaya karena berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai
bawah. Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartment syndrome.
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra-kompartemen,
hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan
aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedem tekanan
intrakompartemen makin meninggi sampai akhrinya sedemikian tinggi sehingga
menyumbat aarteri di intrakomparmen.
Gejala: rasa sakit pada tungkai bawah dan temukan paraesthesia. Rasa sakit akan
bertambah bila jari digerakan secar pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama
dapat terjadi paralyse pada oto-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum
longus dan tibial anterior. Tekanan intrakompatemen dapat diukur langsung
dengan cra whitesides. Penanganan: dalam waktu kurang 12jam harus dilakukan
fasciotomi.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan
lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
2. Lanjut
a. Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang kominutiva sedang immobilisasinya
longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan
osteotomi.
b. Delayed union: terutama terjadi padda fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi
atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat di atasi dengan operasi tandur
alih tulang spongiosa.
c. Non union: disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai
dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut
cara papineau.
d. Kekakuan sendi: hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama.
Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak. Hal ini dapat
diatasi dengan fisioterapi
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
2. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menurun
(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
5. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.(Doenges, 2004
: 762)
H. Penatalaksanaan Medis
Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu :
a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah
mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan
deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya.
Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang
bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV,
sedative atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips,
bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan
ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan
isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah ( Smeltzer & Bare, 2001 : 2360 – 2361 ).
Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal
dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar – tendon – bearing. Reduski harus relative
akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saatnya di mana sangat sulit mempertahankan
reduksi, sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan
gips (mis. Teknik pin dalam gips) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan berat
badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 samapi 10 hari. Aktivitas akan mengurangi
edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi gips tungkai pendek atau
brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut. Penyembuhan fraktur
memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
Fraktur terbuka atau komunitif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna
dengan batang, plat atau nail, atau fiksasi eksterna. Latihan kaki dan lutut harus didorong
dalam batas alat imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya 4
sampai 6 minggu ( Smeltzer & Bare & Bare, 2001 : 2386 ).
1. Pengkajian
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain.
f)Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap.
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image).
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa
nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
2) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.
a) Sistem Integumen
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi
perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
g) Hidung
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
i) Thoraks
Perkusi :Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi :Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
l) Abdomen
Palpasi :Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
Auskultasi
A. Look (inspeksi)
1. Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi).
3. Fistulae.
B. Feel (palpasi)
4. Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat
di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap
dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
2. Bila terpasang gips/bebat, sokong Mencegah gerakan yang tak perlu akibat
fraktur dengan bantal atau gulungan perubahan posisi.
b. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi, stress/ansietas.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang Mengurangi nyeri dan mencegah
sakit dengan tirah baring, gips, bebat malformasi.
c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler,
edema, pembentukan trombus)
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
d. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran
alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi Reposisi meningkatkan drainase sekret dan
yang aman sesuai keadaan klien. menurunkan kongesti paru.
f. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
pen/traksi.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. et.al. 2004, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Rasjad, Chairuddin. 2006. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang Imumpasue.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III. Jakarta : EGC.
Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Kompres Hangat (Tepid
Sponge) Pada Pasien Demam
Di susun Oleh :
NIM : P180748
SAMARINDA
2019
PATHWAY
Trauma
Fraktur
Kurang
Degranulasi sel Terapi restrictif Lepasnya lipid Port de’ entri Gg. Integritas Edema
informasi
mast pada sum-sum kuman kulit
tulang
Kurang
Pelepasan Gg. Mobilitas fisik Resiko Infeksi Penekanan pada
pengeta Terabsorbsi
mediator jaringan vaskuler
hunan masuk kealiran
kimia
darah Nekrosis
Penurunan aliran
Oklusi arteri Jaringan paru
Korteks Nociceptor darah
Emboli paru
serebri
Resiko disfungsi
Medulla
Gangguan pertukaran Penurunan laju Luas permukaan neurovaskuler
Nyeri spinali
gas difusi paru menurun