Oleh :
Solihatul Hasanah
NIM: 19.30.046
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Resume dengan Systemik Lupus Erythematosus (SLE) diruang poli IPD Rumah
Sakit dr. Saiful Anwar Malang yang dilakukan oleh :
NIM : 19.30.046
Sebagai salah satu syarat dalam pemenuhan tugas praktik Profesi Ners Departemen
Keperawatan Dasar, yang dilaksanakan pada tanggal 30 September 2019 – 05
Oktober 2019, yang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari :
Tanggal :
Malang, 2019
Mengetahui,
(.............................................) (.............................................)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit
“Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus
berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan
kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada
saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung
dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu
diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari
100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan
untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya
jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit
lupus diduga berkaitan dengan system imunologi yang berlebih. Penyakit
ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di
seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE ( Systemic
Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau system yang
terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai
50,8 per 100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Sedangkan di RS ciptomangunkusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani
sejak awal 1991 sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki.
Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya
ditemukan lebih dari 100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki
da perempuan. 90% kasus SLE menyerang wanita muda dengan insiden
puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita
dan laki-laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus
biasanya menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah pnderita lupus dan
sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini
tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian,
seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh
merasa kelelahan berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinarmatahari.
Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit lupus.
Factor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah
factor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stress, beberapa jenis
jenis obat dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan
keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. saat
berpergian, penderita memakai sun block atau sun screen ( pelindung kulit
dari sengatan sinar matahari ) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh
karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana
pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus erythematosus)
1. Pengertian
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang
mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini
berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio et al., 2009).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan
multisistem autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa
kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis Krishnamurthy
(2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus
sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar,
2003).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang
jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang
inti sel (Matt, 2003).
2. Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada
beberapa factor yang terlibat seperti factor genetic, obat-obatan,
hormonal dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System
imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel
dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini
dapat menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga
berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam
fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self
tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap
beberapa factor :
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
b. Hiperaktivitas sel T helper
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE
a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan
genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot
berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu
yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok
gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya
SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q
homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui
peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab
genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan
melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi
penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti.
Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu
yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T.
Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T
dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan
respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami
apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe
dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya
peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang
sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini
dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika
seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya
tidak ada gangguan sejak awal.
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan
bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya
kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
(Musai, 2010).
3. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang
biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, stress, infeksi). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi
ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks
imun maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di
dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya
antibody-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang
akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
4. Manifestasi klinik
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai
system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system
yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin
berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan
atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya
disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,
kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling
menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala
musculoskeletal berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena
ialah sendi interfalangeal proksimal, peradangan tangan,
metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain
pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,
konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid.
Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan
ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan
steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput
femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada
85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE
ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam
kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan
diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash)
berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari dapat timbul
ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk
lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak
eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk
sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang
berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan
dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis
ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang
ditemukan ialah bulla (dapat menjadi mehoragik), ekimosis, petekie
dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan
terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang
perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis
dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit
mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada
palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan
kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian
pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit,
sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat
(efusi kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (libman
sacks)
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada
yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan
pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat
ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,
tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi
papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku
serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan
berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa
menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang
dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan
darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali
terjadi anemia akibat penyakit menahun.
5. Pathway
Genetic Lingkungan (cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan
Ketidakefektif
an perfusi
jaringan
perifer
6. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan
hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan
anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik (SLE) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif,
level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan
serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada
penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau
sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE
aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang
tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah
sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit
reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan
sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan
yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada
penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody
antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang
menyerang double stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit
autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit
autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut.
Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik
(Pagana and Pagana, 2002)
c. Antinuklear antibodies (ANA)
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang
lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi
menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi
adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE
tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit
tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif
sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test
negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena
harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang
lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi
yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-
RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB
(La) (Pagana and Pagana, 2002)
7. Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan
Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat
dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat
hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara
lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi
infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat
badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan
terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan
ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 :
10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini.
Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan
memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang
meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi
(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh
karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak
perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang
rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut
adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit
lupus erythematosus :
1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada
tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena
sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan
merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat
meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut
dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam
kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal
janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6)
2) Kortikosteroid
Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis
steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian
lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang
umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan
penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial
kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti
kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk
pencegahan atau pengobatan osteoporosis karena meningkatkan
risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik
digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan
harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat.
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama
dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga
mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat
memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki
efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada
meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis
tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi
pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus
dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral
dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki
banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat
yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit.
Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan
dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik.
3) Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis
harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual
setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine
diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka
panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi
risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada
kehamilan.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Antibody anti – SM
Antibody anti – Ro
Antibody anti – La
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas dan latihan
a) Keterbatasan rentang gerak
b) Deformitas
c) Kontraktur
2) Nyeri dan kenyamanan
a) Pembengkakan sendi
b) Nyeri tekan
c) Perubahan gaya berjalan/pincang
d) Gerak otot melindungi yang sakit
3) Kardiovaskuler
a) Fenomena raynoud
b) Hipertensi
c) Edeme
d) Pericardial friction rub
e) Aritmia
f) Murmur
g) Nutrisi dan metabolic
h) Lesi pada mulut
i) Penurunan berat badan
4) Pola eliminasi
a) Peningkatan pengeluaran urin
b) Konstipasi /diare
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernapasan
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengan
gangguan aliran arteri atau vena
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas
jantung
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan
jaringan.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
f. Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan
imunodefisiensi
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
3. Perencanaan Keperawatan
a. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
1) Tujuan : pola nafas kembali efektif
2) KH : Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam
batas normal, Tidak menggunakan otot-otot bantu
pernapasan, Tanda Tanda vital dalam rentang normal
(tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg,
nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5
C)
3) Intervensi
Intervensi Rasional
Monitor kecepatan, ritme, Untuk mengetahui
kedalaman,dan usaha keadekuatan pernapasan
pasien saat bernafas
Monitor suara nafas Mengetahui adanya
seperti snoring sumbatan pada jalan nafas
Posisikan pasien semi Untuk memaksimalkan
fowler potensial ventilasi
Berikan HE tentang Informasi ini dapat
pengobatan : indikasi , membantu pasien dalam
dosis, frekuensi , dan mengonsumsi obat dengan
kemungkinan efek aman dan benar
samping.
Kolaborasi dalam Meningkatkan ventilasi
pemberian terapi oksigen dan asupan oksigen
3) Intervensi
Intervensi Rasional
Kaji suara nafas dan suara Data dasar dalam
jantung menentukan intervensi
lebih lanjut
Ukur CVP pasien Mengetahui kelebihan atau
kekurangan cairan tubuh
Monitor aktivitas pasien Mengurangi kebutuhan
oksigen
Monitor saturasi oksigen Mengetahui manifestasi
penurunan curah jantung
Kolaborasi pemberian Mengejan dapat
laksatif memperparah penurunan
curah jantung
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan
penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi
dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan
kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada
beberapa organ tubuh yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran
klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE adalah faktor genetik,
imunologi, hormonal dan lingkungan. Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk
ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala
dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap
penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk memilih obat
lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan
memperbaiki hasil induksi remisi.
SARAN
Dengan adanya makalah ini saya selaku penulis sangat berharap kepada
seluruh mahasiswa agar mampu memahami dan mengetahui tentang penyakit
lupus eritematosus. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membawa
pengaruh yang baik dan bermanfaat bagi kita semua. Saya penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta
: EGC
Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009 ; 2565-2579.
Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.