Anda di halaman 1dari 38

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Keperawatan Post Operatif

2.1.1 Pengertian Keperawatan Post Operatif

Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat

pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya.

Tahap pasca-operasi dimulai dari memindahkan pasien dari ruangan bedah ke unit

pasca-operasi dan berakhir saat pasien pulang (Uliyah & Hidayat, 2014).

2.1.2 Jenis-Jenis Operasi

Menurut Smeltzer dan Bare (2014), jenis-jenis operasi sebagai berikut.

a. Menurut fungsinya (tujuannya)

1. Diagnostik: biopsi, laparotomi eksplorasi

2. Kuratif (ablatif): tumor, appendiktom

3. Reparatif: memperbaiki luka multiple

4. Rekonstruktif: mamoplasti, perbaikan wajah.

5. Paliatif: menghilangkan nyeri,

6. Transplantasi: penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ atau struktur

tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).

9
10

b. Menurut Luas atau Tingkat Resiko

1. Mayor

Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat

resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien.

2. Minor

Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko

komplikasi lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor.

2.1.3 Komplikasi Post Operasi

Menurut Baradero (2012) komplikasi post operasi yang akan muncul antara lain

yaitu hipotensi dan hipertensi. Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole

kurang dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi

dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan dan overdosis

obat anestetika. Hipertensi disebabkan oleh analgesik dan hipnosis yang tidak

adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak

adekuat.

Sedangkan menurut Majid, (2016) komplikasi post operasi adalah perdarahan

dengan manifestasi klinis yaitu gelisah, gundah, terus bergerak, merasa haus, kulit

dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam, bibir

dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.

10
11

2.2 Konsep Dasar Fraktur

2.2.1 Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan

luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat

diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2014).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,

pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges,

dkk, 2012).

Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur yang bias terjadi

akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian), dan biasanya

lebih banyak dialami oleh laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan

perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh dalam syok (Muttaqin

dan Sari, 2014).

2.2.2 Klasifikasi

Ada lebih dari 150 klasifìkasi fraktur, fraktur tertutup (fraktur simpel) adalah

fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit tidak ditembus oleh

fragmen tulang. Sedangkan fraktur terbuka fraktur complilcata/ kompleks/

compound) merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai

ke patahan tulang. Konsep penting yang harus diperhatikan pada fraktur terbuka

adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur

tersebut. Sehingga fraktur terbuka terbagi dalam beberapa gradasi. Gradasi fraktur

terbuka dibagi menjadi tiga; grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjangnya,

11
12

grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, dan grade III

sangat terkontaminasi serta mengalami kerusakan jariingan lunak ekstensìf,

merupakan yang paling berat (Lukman dan Ningsih, 2014).

Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). Sebaliknya fraktur tidak komplit

terjadi ketika tulang yang patah hanya terjadi pada sebagian dan garis tengah tulang

(Lukman dan Ningsih, 2014).

Klasifikasi patah tulang ditìnjau menurut sudat patah rendah atas fraktur

transversal, fraktur oblìk dan fraktur spiral. Fraktur transversa adIaah fraktur yang

garis patahnya agak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur semacam ini,

segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya

semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan biasanya mudah dikontrol dengan

bidai gips. Fraktur oblìk adalah fraktur yang garis patahnya berbentuk sudut terhadap

tulang. Fraktur ini tidak stabil dan sulit diperbaiki. Sedangkan fraktur spiral adalah

frakrur meluas yang mengelilingi tulang. Fraktur memuntir biasanya terjadi di seputar

batang tulang, timbul akibat torsi pada ekstremitas dan merupakan jenis fraktur

rendah energi yang hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan Iunak serta

cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar (Lukman dan Ningsih, 2014).

Fisura, disebabkan oleh beban lama atan trauma ringan yang terus menerus

yang disebut fraktur kelelahan, misalnya diafisis metatarsal, Fraktur impaksi adalah

fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnnya. Sedangkan

fraktur kompresì adalah fraktur di mana antara dua tulang mengalami kompresi pada

12
13

tulang ketiga yang berada diantaranya (terjadi pada tulang belakang) (Lukman dan

Ningsih, 2014).

Menurut Smeltzer dan Bare (2014), jenis fraktur sebagai berikut.

a. Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya

mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).

b. Fraktur tidak komplet, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

c. Fraktur tertutup (fraktur simpel) tidak menyebabkan robeknya kulit.

d. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/ kompleks) merupakan fraktur dengan luka

pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka

digradasi menjadi: Grade I dengan luka bersih kurang dan 1 cm panjangnya, Grade

II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif, dan Grade III,

yang sangat terkontaminasi dan mengalanii kerusakan jaringan lunak ekstensif,

merupakan yang paling berat.

Gambar 2.1
Berbagai Tipe Fraktur (Simpel, Terbuka, Kominutif dan Greenstick)

Sumber : Smeltzer dan Bare, 2014

Menurut Smeltzer dan Bare (2014), fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran

anatomis fragmen tulang fraktur bergeser dan tidak bergeser sebagai berikut.

13
14

a. Greenstick, yaitu fraktur di mana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya

membengkok.

b. Transvergal, yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.

c. Oblik, yaitu fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak

stabil dibanding transversal).

d. Spiral, yaitu fraktur memuntir seputar batang tulang.

e. Kominutif, yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

f. Depresi, yaitu fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi

pada tulang tengkorak dan tulang wajah).

g. Kompresi, yaitu fraktur di mana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang

belakang).

h. Patologik, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,

penyakit Paget, metastasis tulang, tumor).

i. Avulsi, yaitu tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada

perlekatannya.

j. Epfiseal, yaitu fraktur melalui epifisis

k. Impaksi, yaitu fraktur di mana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

lainnya.

14
15

Gambar 2.2
Berbagai tipe fraktur (transversal, oblik, spiral, impaksi, depresi,
kompresi, dan avulsi)

Sumber : Smeltzer dan Bare, 2014

2.2.3 Anatomi dan Fisiologi

Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang berasal dari

embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis menjadi tulang.

Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses mengerasnya tulang

akibat penimbunan garam kalsium. Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang

dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya, antara lain

sebagai berikut (Lukman dan Ningsih, 2014).

a. Tulang panjang (Femur, Humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang yang

disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari

epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang

rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan.

Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis.

15
16

Tulang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan

tulang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis

dibentuk dari spongy bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun

remaja tulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.

Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang

panjang. Estrogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng epifisis.

Batang suatu tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis.

Kanalis medularis berisi sumsum tulang.

b. Tulang pendek (carpals) dengan bentuk yang tidak teratur, dan inti dari

cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.

c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan

tulang concellous sebagai lapisan luarnya.

d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pendek.

e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang

berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,

misalnya patella (kap lutut).

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri

atas tiga jenis dasar, yaitu; osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi

dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Adapun matriks

tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam

polisakarida) dan proteoglikan. Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam

mineral anorganik ditimbun. Selanjutnya, osteosit adalah sel dewasa yang terlibat

16
17

dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang).

Sementara osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam

penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.

Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Di tengah

osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang

dinamakan lamella. Di dalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi

melalui prosesus yang berlanjut ke dalam kanalikuli yang halus (menghubungkan

pembuluh darah sejauh kurang dari 0,1 mili meter).

Tulang diselimuti oleh membran fibrous padat yang dinamakan periosteum.

Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memungkinkannya tumbuh, selain sebagai

tempat perlekatan tendon dan ligamen. Periosteum mengandung saraf, pembuluh

darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast,

yang merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum adalah membran vaskuler tipis

yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang

kanselus. Osteoklast, yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum,

terletak dekat endosteum dan dalam lacuna howship (cekungan pada permukaan

tulang).

17
18

Gambar 2.3
Anatomi Tulang

Sumber : Lukman dan Ningsih, 2014

Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup) dan 70%

endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90% serat

kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam

terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion

magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen

melalui proteoglikan. Adanya bahan organic menyebabkan tulang memiliki kekuatan

tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam

menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan).

18
19

Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa

pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama

hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh rangsangan hormon, faktor makanan, dan

jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel

pembentuk tulang yaitu osteoblas.

Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon

terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu

pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beberapa hari garam-

garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa

minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid,

dan disebut osteosit atau sel tulang sejati.

Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan-

tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk

suatu sistem saluran mikroskopik di tulang. Kalsium adalah salah satu komponen

yang berperan terhadap tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni

kristalisasi. Garam nonkristal serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan

(protein plus sakarida).

Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium,

kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan

dengan serat kolagen melalui proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan

tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan).

19
20

Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan kompresi

(kemampuan menahan tekanan) (Lukman dan Ningsih, 2014).

2.2.4 Etiologi

Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik dimana terdapat

tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki

daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan

olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor

(Muttaqin dan Sari, 2014).

Menurut Muttaqin dan Sari (2014), etiologi fraktur sebagai berikut.

a. Trauma langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang, hal tersebut

akan menyebabkan fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya

bersifat comminuted dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan

b. Trauma tak langsung

Apabila trauma di hantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,

trauma tersebut disebut trauma tidak langsung, misalnya jatuh dengan tangan

ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini jaringan

lunak tetap utuh.

c. Fraktur yang terjadi ketika tekanan atau tahanan yang menimpa tulang lebih besar

dari pada daya tahan tulang.

d. Keadaan kelaianan patologik adalah trauma yang terjadi seperti kondisi defisiensi

vitamin D, Osteoporosis.

20
21

e. Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.

f. Usia penderita.

g. Kelenturan tulang dan jenis tulang.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi fraktur :

a. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan

kekuatan trauma.

b. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengabsorsi energi trauma, kelenturan,

kekuatan dan densitas tulang.

Fraktur biasanya disebabkan oleh adanya trauma abduksi tibia terhadap femur

saat kaki terfiksasi pada dasar, misalnya trauma sewaktu mengendarai mobil dan juga

dapat terjadi karena pukulan langsung, kekuatan yang berlawanan, gerakan

pemuntiran tiba-tiba, dan bahkan kontraksi otot yang berlebihan (Muttaqin dan Sari,

2014).

2.2.5 Patofisiologi

Fraktur femur terbuka, pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk

mematahkan batang femur pada orang dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada

pria muda yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mengalami jatuh dan

ketinggian. Biasanya, pasien ini mengalami trauma multipel yang menyertainya.

Secara klinis, pada fraktur femur terbuka biasanya akan ditemukan juga kerusakan

neurovaskular. Kondisi ini akan memberikan manifestasi peningkatan risiko syok,

baik syok hipovolemik karena kehilangan darah (pada setiap patah satu tulang femur

diprediksi akan hilangnya darah 500 cc dan sistem vaskular), maupun syok

21
22

neurogenic disebabkan rasa nyeri yang sangat hebat akibat kompresi atau kerusakan

saraf yang berjalan di bawah tulang femur.

Kerusakan fragmen tulang femur memberikan manifestasi pada hambatan

mobilitas fisik dan akan diikuti dengan adanya spasme otot paha yang memberikan

manifestasi deformitas khas pada paha yaitu pemendekan tungkai bawah dan apabila

kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang optimal maka akan memberikan

risiko terjadinya malunián pada tulang femur. Kondisi klinik dan fraktur femur

terbuka pada fase awal akan memberikan implikasi pada berbagai masalah

keperawatan pada pasien, meliputi respons nyeri hebat akibat rusaknya jaringan lunak

dan kompresi saraf, risiko tinggi injuri pada jaringan akibat kerusakan vaskular

dengan pembengkakan lokal, risiko syok hipovolemik yang merupakan sekunder dan

cedera vaskular dengan perdanahan hebat, hambatan mobilitas fisik sekunder dan

kerusakan fragmen tulang serta adanya risiko tinggi infeksi sekunder dan port de

entree luka terbuka. Pada fase lanjut dan fraktur femur terbuka membenikan implikasi

pada kondisi terjadinya malunion, nonunion dan delayed union akibat dan cara

mobilisasi yang salah.

Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan

kendaraan bermotor atau jatuh dan ketinggian. Biasanya, pasien ini mengalami

trauma multipel yang menyertainya. Pada kondisi degenerasi tulang (osteoporosis)

atau keganasan tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis dengan tidak adanya

riwayat trauma yang memadai untuk mematahkan tulang femur. Kerusakan

neurovaskular akan memberikan manifestasi peningkatan nisiko syok, baik syok

22
23

hipovolemik karena kehilangan darah banyak ke dalam jaringan, maupun syok

neurogenik disebabkan rasa nyeni yang sangat hebat yang dialami oleh pasien.

Kerusakan fragmen tulang femur akan diikuti dengan adanya spasme otot paha yang

memberikan manifestasi deformitas khas pada paha yaitu pemendekan tungkai

bawah, dan apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang optimal

maka akan memberikan risiko terjadinya malunion pada tulang femur (Muttaqin dan

Sari, 2014).

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi yang terjadi akibat fraktur menurut Mutaqin dan Sari (2014) yaitu :

a. Komplikasi awal

1. Kerusakan arteri. Pecahnya arteri karena trauma dapat di tandai dengan tidak

adanya nadi, sianosis pada bagian distal, hematoma melebar dan rasa dingin

pada ekstermitas yang disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan

posisi pada daerah yang sakit, tindakan reduksi dan pembedahan.

2. Sindrom kompartemen. Merupakan komplikasi yang serius yang terjadi karena

terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.

3. Fat emboli sindrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada

kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan

bone marrow kuning masuk kealiran pembuluh darah dan menyebabkan kadar

oksigen dalam darah menurun. Hal tersebut ditandai dengan gangguan

pernafasan, takikardi, hipertensi, takipenia, dan demam.

23
24

4. Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada jaringan.

Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit dan masuk kedalam.

5. Nekrosis faskuler. Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu

sehingga menyebabkan nekrosis tulang.

6. Syok. Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas

kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun. Syok dapat berakibat fatal

dalam beberapa hal setelah udema cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi

dalam 48 jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan

fungsi ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera. Komplikasi lainnya

adalah infeksi, trombo emboli yang dapat menyebabkan kematian beberapa

minggu setelah cedera.

b. Komplikasi lanjut

1. Delayed union. Adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5

bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah. Hal ini

juga merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang

dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke

tulang menurun.

2. Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak

didapatkan konsilidasi sehingga terdapat sendi palsu.

3. Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi

terdapat deformitas yang berbentuk anggulasi, vagus/ valgus, rotasi,

pemendekan.

24
25

2.2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di

imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah

yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak

tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan

deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan

ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena

fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi

otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang

lainya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi

setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2014).

25
26

2.2.8 Jenis-jenis Fraktur Ekstremitas Bawah

Menurut Lewis et al (2013) jenis-jenis fraktur pada bagian ekstremitas bawah,

antara lain sebagai berikut.

a. Fraktur collum femur (fraktur hip)

Mekanisme fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung (direct) dan

trauma tidak langsung (indirect). Trauma langsung (direct) biasanya penderita

jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung terbentur

dengan benda keras. Trauma tidak langsung (indirect) disebabkan gerakan

exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena kepala femur terikat kuat

dengan ligamen didalam acetabulum oleh ligamen iliofemoral dan kapsul sendi,

mengakibatkan fraktur didaerah collum femur. fraktur leher femur kebanyakan

terjadi pada wanita tua (60 tahun keatas) dimana tulang sudah mengalami

osteoporosis.

b. Fraktur subtrochanter femur

Fraktur subtrochanter femur ialah dimana garis patah berada 5 cm distal dari

trochanter minor. Mekanisme fraktur biasanya trauma langsung dapat terjadi pada

orang tua biasanya disebabkan oleh trauma yang ringan seperti jatuh dan terpeleset

dan pada orang muda biasanya karena trauma dengan kecepatan tinggi.

c. Fraktur batang femur

Mekanisme trauma biasanya terjadi karena trauma langsung akibat

kecelakaan lalu lintas dikota-kota besar atau jatuh dari ketinggian. Patah pada

daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak sehingga

26
27

menimbulkan shock pada penderita. Secara klinis penderita tidak dapat bangun,

bukan saja karena nyeri tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya

seluruh tungkai bawah terotasi keluar, terlihat lebih pendek dan bengkak pada

bagian proximal akibat perdarahan kedalam jaringan lunak.

d. Fraktur patella

Mekanisme Fraktur dapat disebabkan karena trauma langsung atau tidak

langsung. Trauma tidak langsung disebabkan karena tarikan yang sangat kuat dari

otot kuadrisep yang membentuk muskulotendineus melekat pada patella. Hal ini

sering disertai pada penderita yang jatuh dimana tungkai bawah menyentuh tanah

terlebih dahulu dan otot kuadrisep kontraksi secara keras, untuk mempertahankan

kestabilan lutut. Fraktur langsung dapat disebabkan penderita jatuh dalam posisi

lutut fleksi, dimana patella terbentur dengan lantai.

e. Fraktur proximal tibia

Mekanisme trauma biasanya terjadi trauma langsung dari arah samping lutut,

dimana kakinya masih terfiksir ditanah. Gaya dari samping ini menyebabkan

permukaan sendi bagian lateral tibia akan menerima beban yang sangat besar yang

akhirnya akan menyebabkan fraktur intraartikuler atau terjadi patahnya permukaan

sendi bagian lateral tibia, dan kemungkinan yang lain penderita jatuh dari

ketinggian yang akan menyebabkan penekanan vertikal pada permukaan sendi.

Hal ini akan menyebabkan patah intra artikular berbentuk T atau Y.

27
28

f. Fraktur tulang tibia dan fibula

Mekanisme trauma biasanya dapat terjadi secara langsung maupun tidak

langsung. Secara langsung akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian

lebih dari 4 cm, fraktur yang terjadi biasanya fraktur terbuka. Sedangkan yang

tidak langsung diakibatkan oleh gaya gerak tubuh sendiri. Biasanya fraktur tibia

fibula dengan garis patah spiral dan tidak sama tinggi pada tibia pada bagian distal

sedang fibula pada bagian proksimal. Trauma tidak langsung dapat disebabkan

oleh cedera pada waktu olah raga dan biasanya fraktur yang terjadi yaitu tertutup.

Gambaran klinisnya berupa pembengkakan dan karena kompartemen otot

merupakan sistem yang tertutup, dapat terjadi sindrom kompartemen dengan

gangguan vaskularisasi kaki.

2.2.9 Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin dan Sari (2014) konsep dasar yang

harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi,

retensi, dan rehabilitasi.

a. Rekognisi (Pengenalan)

Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan

diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan

terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan

diskontinuitas integritas rangka.

28
29

b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)

Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen

tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya

untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara

optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau

reduksi terbuka.

Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak

kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada

kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai

mengalami penyembuhan.

c. Retensi (Immobilisasi)

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali

seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus

diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai

terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.

Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan

teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi

intrerna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi

eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen

tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang

pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan

satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau

29
30

kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan

pada tulang femur, humerus dan pelvis.

Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang

diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma,

kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau

eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur.

Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma

muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe

trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak.

d. Rehabilitasi

Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk

menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera

dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh

dan mobilisasi.

2.3 Konsep Dasar Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur

Ambulasi adalah latihan yang paling berat dimana pasien yang dirawat di

rumah sakit dapat berpartisipasi kecuali dikontraindikasikan oleh kondisi pasien. Hal

ini seharusnya menjadi bagian dalam perencanaan latihan untuk semua pasien.

Ambulasi mendukung kekuatan, daya tahan dan fleksibilitas. Keuntungan dari latihan

berangsur-angsur dapat ditingkatkan seiring dengan pengkajian data pasien

menunjukkan tanda peningkatan toleransi aktivitas. Ambulasi adalah aktivitas

30
31

berjalan. Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada

pasien paska operasi dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien turun dari tempat

tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi pasien (Asmadi,

2014).

2.3.1 Manfaat Ambulasi Dini

Ambulasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska operasi

fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali

tidak melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk mulai berjalan. Menurut

beberapa literatur manfaat ambulasi adalah sebagai berikut (Kozier, 2010).

a. Menurunkan insiden komplikasi immobilisasi paska operasi meliputi: sistem

kardiovaskuler; penurunan curah jantung, peningkatan beban kerja jantung,

hipotensi ortostatik, thrombopeblitis/ deep vein trombosis/ DVT dan atelektasis,

sistem respirasi; penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi/perfusi setempat,

mekanisme batuk yang menurun, embolisme pulmonari. Sistem perkemihan;

infeksi saluran kemih. Iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan,

sistem muskuloskeletal; atropy otot, hilangnya kekuatan otot, kontraktur,

hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan osteoporosis. Sistem gastrointestinal; paralitik

ileus, konstipasi, stress ulcer, anoreksia dan gangguan metabolism.

b. Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi

c. Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi abdomen.

d. Mempercepat proses pemulihan pasien paska operasi.

e. Mengurangi tekanan pada kulit/decubitus

31
32

f. Penurunan intensitas nyeri

g. Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal.

2.3.2 Persiapan Ambulasi Dini

Menurut Asmadi (2014), persiapan ambulasi dini sebagai berikut.

a. Latihan otot-otot kuadriseps femoris dan otot-otot gluteal:

1. Instruksikan pasien mengkontraksikan otot-otot panjang pada paha, tahan

selama 10 detik lalu dilepaskan.

2. Instruksikan pasien mengkontraksikan otot-otot pada bokong bersama, tahan

selama 10 detik lalu lepaskan, ulangi latihan ini 10-15 kali semampu pasien.

b. Latihan untuk menguatkan otot-otot ekstremitas atas dan lingkar bahu:

1. Bengkokkan dan luruskan lengan pelan-pelan sambil memegang berat traksi

atau benda yang beratnya berangsur-angsur ditambah dan jumlah

pengulangannya. Ini berguna untuk menambah kekuatan otot ekstremitas atas.

2. Menekan balon karet. Ini berguna untuk meningkatkan kekuatan genggaman.

3. Angkat kepala dan bahu dari tempat tidur kemudian rentangkan tangan sejauh

mungkin.

4. Duduk ditempat tidur atau kursi

2.3.3 Alat yang Digunakan Untuk Ambulasi

Menurut Smeltzer dan Bare (2014), alat bantu yang digunakan untuk ambulasi

adalah sebagai berikut.

a. Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari logam dan

kayu dan sering digunakan permanen, misalnya Conventional, adjustable dan

32
33

lofstrand. Kruk biasanya digunakan pada pasien fraktur hip dan ekstremitas

bawah, kedua lengan yang benar-benar kuat untuk menopang tubuh, pasien dengan

keseimbangan yang bagus.

b. Canes (tongkat) adalah alat yang ringan, mudah dipindahkan, setinggi pinggang

terbuat dari kayu atau logam, digunakan pada pasien dengan lengan yang mampu

dan sehat, meliputi tongkat berkaki panjang lurus (single straight-legged) dan

tongkat berkaki segi empat (Quad cane).

c. Walkers adalah suatu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan, setinggi

pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai empat penyangga yang

kokoh. Klien memegang pemegang tangan pada batang dibagian atas, melangkah

memindahkan walker lebih lanjut, dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien

yang mengalami kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang

tubuh, usila, pasien dengan masalah gangguan keseimbangan, pasien dengan

fraktur hip dan ekstremitas bawah.

2.3.4 Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur Ekstremitas

Bawah

Ambulasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan yang cukup

untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Beberapa pasien memerlukan

bantuan dari perawat untuk bergerak dengan aman. Berikut ini diuraikan beberapa

tahapan ambulasi yang diterapkan pada pasien: preambulation bertujuan

mempersiapkan otot untuk berdiri dan berjalan yang dipersiapkan lebih awal ketika

pasien bergerak dari tempat tidur. Sitting balance yaitu membantu pasien untuk

33
34

duduk disisi tempat tidur dengan bantuan yang diperlukan (Berger & Williams,

2014).

Pasien dengan disfungsi ekstremitas bawah biasanya dimulai dari duduk

ditempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kali selama 10 sampai

dengan 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari tempat tidur dengan bantuan

perawat sesuai dengan kebutuhan pasien. Jangan terlalu memaksakan pasien untuk

melakukan banyak pergerakan pada saat bangun untuk menghindari kelelahan.

Standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan. Perhatikan waktu pasien

turun dari tempat tidur apakah menunjukkan gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan

lain-lain. Tidak jarang pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi ortostatik. Menurut

Memperhatikan pusing sementara adalah tindakan pencegahan yang penting saat

mempersiapkan pasien untuk ambulasi. Bahkan bedrest jangka pendek, terutama

setelah cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai dengan hipotensi ortostatik.

Hipotensi ortostatik adalah komplikasi yang sering terjadi pada bedrest jangka

panjang, meminta pasien duduk disisi tempat tidur untuk beberapa menit sebelum

berdiri biasanya sesuai untuk hipotensi ortostatik yang benar. Lakukan istirahat

sebentar, ukur denyut nadi (Asmadi, 2014).

Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus berdiri tepat

didepannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak perawat dan perawat meletakkan

tangannya dibawah ketiak pasien. Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk

memastikan tidak merasa pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien

dapat mulai untuk berjalan. Perawat harus berada disebelah pasien untuk memberikan

34
35

dukungan dan dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak membuat pasien merasa

letih: lamanya periode ambulasi pertama beragam tergantung pada jenis prosedur

bedah dan kondisi fisik serta usia pasien (Smeltzer dan Bare, 2014).

Ambulasi biasanya dimulai dari parallel bars dan untuk latihan berjalan dengan

menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan perawat harus tahu weight

bearing yang diizinkan pada disfungsi ekstremitas bawah. Ada tiga jenis weight

bearing ambulation, meliputi sebagai berikut (Smeltzer dan Bare, 2014).

a. Non weight bearing ambulation; tidak menggunakan alat bantu jalan sama sekali,

berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung) dilakukan selama 3

minggu setelah paska operasi.

b. Partial weight bearing ambulation; menggunakan alat Bantu jalan pada sebagian

aktivitas, berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari beban tungkai itu

sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk (3-6 minggu) setelah paska operasi.

c. Full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari-hari memerlukan bantuan

alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh dilakuka n setelah 3 bulan paska

operasi dimana tulang telah terjadi konsolidasi.

Pasien paska operasi fraktur hip (pangkal femur) dengan ORIF dianjurkan

untuk ambulasi dini duduk dalam periode yang singkat pada hari pertama paska

operasi. Ambulasi dini dianjurkan segera pada 48 jam pada pasien paska operasi

fraktur hip. Berangsur-angsur lakukan ambulasi dengan kruk (tongkat) no weight

bearing selama 3 s/d 5 bulan proses penyembuhan baru akan terjadi. Pasien dengan

paska operasi batang femur perlu dilakukan latihan otot kuadriseps dan gluteal untuk

35
36

melatih kekuatan otot dan merangsang pembentukan kallus, karena otot–otot ini

penting untuk ambulasi, proses penyembuhan 10 s/d 16 minggu, berangsur-angsur

mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian full weight bearing dalam 12

minggu. Fraktur patella segera lakukan ambulasi weight bearing sesuai dengan

kemampuan pasien setelah paska operasi dan lakukan latihan isometris otot

kuadriseps dengan lutut berada pada posisi ekstensi. Paska operasi fraktur tibia dan

fibula lakukan ambulasi dengan partial weight bearing disesuaikan dengan tingkat

cedera yang dialami pasien (Smeltzer dan Bare, 2014).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Ambulasi Dini Pasien Paska

Operasi Ekstremitas Bawah

2.4.1 Emosi

Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan perilaku yang

dapat menurunkan kemampuan ambulasi yang baik. Seseorang yang mengalami

perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan harga diri yang rendah akan mudah

mengalami perubahan dalam ambulasi. Orang yang depresi, khawatir atau cemas

sering tidak tahan melakukan aktivitas sehingga lebih mudah lelah karena

mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi pasien

mengalami keletihan secara fisik dan emosi. Hubungan antara nyeri dan takut bersifat

kompleks. Perasaan takut seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga

dapat menimbulkan perasaan takut. Suatu bukti bahwa stimulus nyeri mengaktifkan

36
37

bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya rasa

takut (Sjamsuhidajat & Jong, 2012).

Setelah paska operasi fraktur nyeri mungkin sangat berat khususnya selama

beberapa hari pertama paska operasi. Area insisi mungkin menjadi satu-satunya

sumber nyeri, iritasi akibat selang drainase, balutan atau gips yang ketat

menyebabkan pasien merasa tidak nyaman. Secara signifikan nyeri dapat

memperlambat pemulihan. Pasien menjadi ragu-ragu untuk melakukan batuk, nafas

dalam, mengganti posisi, ambulasi atau melakukan latihan yang diperlukan. Setelah

pembedahan analgetik sebaiknya diberikan sebelum nyeri timbul dengan dosis yang

memadai. Jenis obat dan pemberian bergantung pada penyebab, letak nyeri dan

keadaan pasien (Sjamsuhidajat & Jong, 2012).

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan

aktivitas. Pasien depresi biasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi. Pasien khawatir

atau cemas lebih mudah lelah karena mereka mengeluarkan energi cukup besar dalam

ketakutan dan kecemasannya jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan

emosional (Potter & Perry, 2010).

Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan ambulasi.

Penampilan luka, balutan yang tebal drain serta selang yang menonjol keluar akan

mengancam konsep diri pasien. Efek pembedahan, seperti jaringan parut yang tidak

beraturan dapat menimbulkan perubahan citra diri pasien secara permanen,

menimbulkan perasaan klien kurang sempurna, sehingga klien merasa cemas dengan

keadaannya dan tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas. Pasien dapat

37
38

menunjukkan rasa tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan dengan cara

menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak bangun dari

tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu (Perry & Potter, 2010).

2.4.2 Gaya Hidup

Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya

mempengaruhi gaya hidup. Gaya hidup mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan

seseorang dapat dilihat dari gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia

mendefinisikan aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti,

dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur, latihan yang teratur, istirahat

yang cukup dan penanganan stres. Tahapan pegerakan dan aktivitas pasien sebelum

operasi di masyarakat atau dirumah dapat mempengaruhi pelaksanaan ambulasi

(Oldmeadow et al, 2013).

2.4.3 Dukungan Sosial

Dukungan sosial sebagai info verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata

atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dalam subjek didalam

lingkungan soisialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat

memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya

(Asmadi, 2014).

Keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan keperawatan pasien dapat

memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan, membantu

pelaksanaan latihan ambulasi atau memberi obat-obatan. Dukungan sosial yaitu

keluarga, orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi untuk membantu pasien

38
39

melaksanakan latihan ambulasi. Ambulasi dapat terlaksana tergantung dari kesiapan

pasien dan keluarga untuk belajar dan berpatisipasi dalam latihan (Oldmeadow et al,

2013).

2.4.4 Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan dapat diperoleh seseorang secara alami atau diintervensi baik

langsung maupun tidak langsung. Perkembangan teori pengetahuan telah berkembang

sejak lama. Filsuf pengetahuan yaitu Plato menyatakan pengetahuan sebagai

“kepercayaan sejati yang dibenarkan (valid)” (justifi ed true belief). Menurut

Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2005), pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan

dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari

dalam, seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia, serta

keadaan sosial budaya. Dalam Wikipedia, pengetahuan adalah informasi atau

maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang (Budiman dan Riyanto, 2013).

Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu

sebagai hasil pengenalan atas suatu pola. Pengetahuan bukanlah fakta dari suatu

kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang

terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu

yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan

adalah sebagai suatu pembentukan yang terus-menerus oleh seseorang yang setiap

39
40

saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru (Budiman

dan Riyanto, 2013).

Pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang

mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terhadap

obyek terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba dengan sendiri. Pada waktu pengindraan sampai

menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian

persepsi terhadap obyek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui

mata dan telinga. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor pendidikan formal.

Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa

dengan pendidikan yang tinggi maka orang tersebut akan semakin luas pula

pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang

berpendidikan rendah mutlak berpengetahuan rendah pula. Hal ini mengingat bahwa

peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dan Pendidikan non formal saja,

akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang

tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negative

(Notoatmodjo, 2014).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra

manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau

ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

40
41

seseorang (overt behaviour). Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan

sebagai berikut (Notoatmodjo, 2014).

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan

yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang

paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang

dipelajari antara lain dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip,

dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat

41
42

menggunakan rumus statistik dalam perhitungan- perhitungan hasil penelitian,

dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving

cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat

dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletak kan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dan formulasi-formulasj yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan dan sebagainya terhadap

suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu maten atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada.

42
43

Cara memperoleh pengetahuan yang dikutip dari Notoatmodjo (2003) dalam

Wawan & Dewi (2014) adalah sebagai berikut.

1. Cara kuno untuk mernperoleh pengetahuan

a. Cara coba salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum kebudayaan, bahkan mungkin

sebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini dilakukan dengan menggunakan

kemungkinan dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan itu tidak

berhasil maka dicoba. Kernungkinan yang lain sampai masalah tersebut dapat

dipecahkan.

b. Cara kekuasaan atau otoritas

Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-pimpinan

masyarakat baik formal atau informal, ahli agama, pemegang pemerintah, dan

berbagai prinsip orang lain yang menerima mernpunyai yang dikemukakan oleh

orang yang mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau

membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris maupun penalaran

sendiri.

c. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadipun dapat digunakan sebagai upaya memperoleh

pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang pernah

diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa lalu.

43
44

2. Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau lebih popular atau disebut

metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon

(1561-1626), kemudian dikembangkan oleh Deobold Van Daven. Akhirnya lahir

suatu cara untuk melakukan penelitian yang dewasa ini kita kenal dengan

penelitian ilmiah.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dan subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita

sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2014).

Dalam membuat kategori tingkat pengetahuan bisa juga dikelompokkan

menjadi dua kelompok jika yang diteliti masyarakat umum, yaitu sebagai berikut

(Budiman dan Riyanto, 2013).

a. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 50%.

b. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 50%.

Namun, jika yang diteliti respondennya petugas kesehatan, maka persentasenya

akan berbeda (Budiman & Riyanto, 2013).

1. Tingkat pengetahuan kategori Baik jika nilainya > 75%.

2. Tingkat pengetahuan kategori Kurang Baik jika nilainya ≤ 75%.

44
45

2.5 Penelitian Terkait

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adianta dan Ismawan (2016),

tentang dukungan keluarga terhadap perawatan pasien fraktur di Rumah Sakit

Tabanan, didapatkan hasil menunjukkan 43,5% mendapatkan dukungan

informasional cukup, 41,3% dukungan emosional baik, 47,8% dukungan instrumental

baik, 37% dukungan penghargaan kurang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hernawilly dan Fatonah (2016),

tentang faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur

ekstremitas bawah, didapatkan hasil ada hubungan faktor emosi, gaya hidup,

pengetahuan dengan pelaksanaan ambulasi dengan p value < 0,05. Ada hubungan

antara kondisi kesehatan dan dukungan sosial dengan pelaksanaan ambulasi dengan

pvalue < 0,05.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prawani, Erwin dan Novayelinda

(2017), tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pada

pasien pasca operasi fraktur ekstremitas bawah, didapatkan hasil uji statistik dengan

Pearson Chi-square bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara nyeri

terhadap pelaksanaan ambulasi dini dengan nilai nyeri p=.357. Hasil uji statistik

Fisher untuk pengetahuan didapatkan nilai p=1.000, maka dapat disimpulkan tidak

ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan terhadap pelaksanaan ambulasi

dini. Sedangkan untuk hasil uji statistik Fisher dukungan keluarga didapatkan nilai

p=.004, maka dapat disimpulkan ada hubungan yang siginfikan antara dukungan

keluarga terhadap pelaksanaan ambulasi dini. Dari beberapa faktor yang di

45
46

identifikasi diketahui bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara faktor nyeri

dan pengetahuan terhadap pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur pasca operasi

ekstremitas bawah di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru

2.6 Kerangka Teori

Skema 2.1
Kerangka Teori

Etiologi :
- Trauma langsung
- Trauma tak langsung
- tekanan atau tahanan yang menimpa
tulang lebih besar.
- Keadaan kelaianan patologik
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari
tenaga yang melawan tulang.
- Usia penderita.
- Kelenturan tulang dan jenis tulang.
(Muttaqin dan Sari, 2014)

Klasifikasi :
- Fraktur komplet
- Fraktur tidak komplet
Post Operasi Fraktur - Fraktur tertutup
- Fraktur terbuka
(Smeltzer dan Bare, 2012)
Tindakan keperawatan :
Faktor yang
- Rekognisi (Pengenalan)
Mempengaruhi
- Reduksi (manipulasi/
Ambulansi Dini:
reposisi)
- Emosi Pelaksanaan Ambulasi
- Retensi (Immobilisasi)
- Dukungan Sosial Dini
- Rehabilitasi
- Gaya hidup
(Muttaqin dan Sari, 2014)
- Pengetahuan
(Smeltzer dan Bare,
2012)

46

Anda mungkin juga menyukai