UU No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
mengatur semua tentang pungutan atas Pajak Bumi dan Bangunan
UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah membahas kewenangan dalam pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) yang telah diserahkan ke pemerintah
kabupaten atau kota.
Undang-undang yang sama mengatur Pajak Bumi dan Bangunan sektor Pertambangan, Perhutanan dan
Perkebunan (PBB P3) di bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.05/2007;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
DASAR HUKUM BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan )
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB
adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar BPHTB. Dalam
bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan berdasarkan proses jual beli.
Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam perolehan berupa jual beli. Semua jenis
perolehan hak tanah dan bangunan dikenakan BPHTB.
Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
Jual beli;
Tukar-menukar;
Hibah;
Hibah wasit;
Waris;
Penggabungan usaha;
Peleburan Usaha;
Hadiah.
Namun dari Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah:
Jual beli;
Tukar-menukar;
Hibah (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun pemberi hibah masih
hidup);
Hibah wasit (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah namun belaku setelah
pemberi hibah wasiat meninggal dunia); dan
Waris.
Dasar hukum Bea Materai serta aturan mengenai Bea Materai:
Undang undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986. Sebab sebab dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 13 tahun 1985 tentang bea materai yaitu agar lebih sederhana serta lebih sempurna, agar objek
lebih luas serta lebih mudah untuk dilaksanakan karena hanya mengenal satu jenis bea materai yaitu
materai 3000 dan 6000. (baca juga: Peran Pasar dalam Perekonomian , Fungsi Lembaga Pembiayaan)
Peraturan ini sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1995 yaitu peraturan untuk
mengatur pelaksanaan Bea Materai yang pada akhirnya dirubah menjadi Peraturan Pemerintah No. 24
tahun 2000 yang berisikan tentang perubahan tarif Bea Materai dan Besarnya batas Pengenaan Harga
Nominal yang dikenakan Bea Materai. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Mei tahun 2000. (baca
juga: Asas Pemungutan Pajak , Peran Bank Indonesia)
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonseia Nomor 133b/KMK.04/2000 tertanggal 28 April 2000
tentang pelunasan Bea Materai dengan menggunakan cara lain. Diantaranya yaitu pada pasal 1 berisikan
tentang pelunasan Bea Materai dengan cara lain yaitu dengan membubuhkan tanda Bea Materai Lunas
dengan menggunakan mesin teraan materai, teknologi percetakan, sistem komputerisasi, dan alat lain
dengan teknologi tertentu. Pada pasal 2 pelunasan Bea Materai harus mendapatkan izin tertulis dari
Direktur Jenderal Pajak dan hasil percetakan tanda Bea Materai Lunas harus dilaporkan kepada Direktur
Jenderal Pajak . (Baca Juga: Fungsi Pajak Bagi Negara , Fungsi Pajak dalam Perekonomian)
Pada pasal 3, pembubuhan Bea Materai Lunas dengan menggunakan teknologi percetakan hanya boleh
dilakukan oleh Perum Peruri atau perusahaan lain yang sudah memiliki izin dari Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dan masih banyak yang alinnya. (Baca
Juga: Pajak Penghasilan Perusahaan , Biaya Pajak Mobil Berbagai Merek)
Peraturan Mentri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 tentang tata cara pemateraian kemudian.
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 25 April 2014, dengan berlakunya peraturan ini otomatis PMK
Nomor 476/KMK.03/2002 tentang pelunasan Bea Materai dengan cara pematraian kemudian dinyatakan
tidak berlaku lagi. (Baca Juga: Fungsi Budgeter Pajak)
Pada Peraturan Mentri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 menetapkan tata cara pemateraian kemudian
merupakan cara pelunasan Bea Materai yang dilakukan oleh pejabat pos atas permintaan pemegang
dokumen yang Bea Materainya belum dilunasi. Serta Hak dan Kewajiban pejabat pos, pemilik dokumen
dan kantor pelayanan pajak sehubungan dengan pemateraian kemudian. (Baca Juga: Jenis Pajak Provinsi)
Jadi suatu dokumen yang Bea Materainya belum atau tidak dilunasi bukan berarti tidak sah, sah atau
tidaknya suatu dokumen tidak bergantung pada pelunasan Bea Materai. Dokumen tetap sah akan tetapi
harus dilakukan pelunasan Bea Materainya terlebih dahulu dan dikenakan denda sebesar 200% pada
kantor pos besar agar dokumen tersebut dapat digunakan. (Baca Juga: Jenis Jenis Pajak Pusat)