Tutorial 3.3 MG 2
Tutorial 3.3 MG 2
Definisi
Migren merupakan kelainan kompleks yang ditandai dengan sakit kepala berulang, unilateral, dan
pada beberapa kasus dikaitkan dengan adanya aura yang timbul sebelum nyeri kepala atau
setelahnya.
Etiologi
Migren diduga bersifat neurovascular (hingga saat ini masih kontroversial).Terdapat peran factor
genetik yang cukup besar pada migren.
Klasifikasi
Berdasarkan consensus PERDOSSI tahun2013 :
- Migrentanpa aura
- Migrendengan aura
- Sindrom periodic pada anak yang pada umumnya menjadi precursor migren
- Migren retinal
- Komplikasi migren
- Probable migren
Manifestasiklinis
Terdapat 4 stadium migrensederhana:
1. Prodromal
2. Aura
Aura merupakan gejala disfungsi serebralfokal yang pulih menyeluruh dalam <60menit.Beberapa
contoh aura :gangguan visual homonym, parestesia unilateral, kesemutan dan kelemahan, afasia.
3. NyeriKepala
Nyeri kepala berdenyut unilateral, terutamapadadaerahfronto-temporal, dapat berlangsung dalam
hitungan jam-hari.Nyeri terjadi secara bertahap dan lebih berat pada malam hari.Gejala penyerta
diantaranya mual/muntah, fotofobia/fonofobia, dan aura.
4. Postdromal
Gejala ini dapat berupa perubahan nafsu makan, perubahan mood, serta agitasi.
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, menurut HIS sebagai berikut:
1. Kriteriamigrentanpa aura
- Sekurang-kurangnya lima nyerikepalaberlangsungselama 4-72 jam (belum diobati atau sudah
diobati namun belum sembuh) DAN
- Nyeri kepala mempunyai sedikitnya 2 dari gejala berikut:
➢ Lokasi unilateral
➢ Kualitas berdenyut
➢ Intensitas nyeri sedang-berat
➢ Keadaan diperberat oleh aktivitas fisik atau diluar kebiasaan rutin.
- Selama nyeri kepala disertai satu dari gejala berikut: mual/muntah ATAU foto fobia dan fono fobia.
2. Kriteria migren dengan aura
- Aura tipikal terdiri atas gejala visual dan/atau sensoris, dan/atau berbahasa yang berkembang
secara bertahap, durasi tidak boleh lebih dari 1 jam pulih sempurna dan berhubungan dengan
timbulnya nyeri kepala yang memenuhi criteria migren tanpa aura.
Tata laksana
1. Non – medikamentosa
Hindari pencetus nyeri seperti perubahan pola tidur, makanan, stress dan rutinitas sehari-hari,
cahaya terang, kelap-kelip, perubahan cuaca, berada di tempat tinggi seperti di gunung atau
pesawat udara.
2. Terapiabortif
a. Non-spesifik
- Parasetamol 100-600mg tiap 6- jam
- Aspirin 500-1000mg tiap 4-6jam, dosismaks 4g/hari
- Ibuprofen 400-800mg tiap 6 jam, dosismaks 2,4gr/hari
b. Spesifik
- Sumatrapin 6mg subkutanatau 50-100mg per oral
- Derivate ergot seperti ergotamine 1-2 mg yang dapatdiberikan secara peroral, subkutan, maupun
per rektal.
TENSION HEADACHE
Nyri kepala tegang otot juga dikenal dengan nama-nma sebagai berikut : tension headache, muscle
contraction headache, psycomyogenic headache, strss headache, essential headache, dan
psychogenic headache, merupakan bentuk nyei kepala yang banyak ditemukan dan paling peka
terhadap analgesik.
KLASIFIKASI
Nyeri kepala tegang otot merupakan salah satu jenis nyeri kepala yang terdapat dalam klasifikasi
yang dibuat oleh The International Headache Society (1988). Sementara itu subklasifikasi nyeri
kepala tegang otot adalah sebagai berikut :
1. Nyeri kepala tegang otot episodik
a. Berhubungan dengan gangguan otot perkranial
b. Tidak berhubungan dengan otot perikranial
2. Nyeri kepala tegang otot kronis
a. Berhubungan dengan gangguan otot perikranial
b. Tidak berhubungan dengan otot perikranial
3. Nyeri kepala tegang otot yang tak terklasifikasikan
PATOGENESIS
Dahulu diyakini bahwa nyeri kepala tegang otot disebabkan oleh kontraksi otot perikranial yang
berkepanjangan. Travel menemukan adanya trigger point, titik yang bila disuntik dengan saline akan
timbul rasa nyeri persis sepeti rasa nyeri tension headache. Penemuan ini mebuktikan adanya
ubungan antara nyeri kepala dengan ketegangan otot.
Akhir-akhir ini, ketegngan otot sebagai faktor penyebab tunggal munculnya nyeri kepala tegang otot
mulai disangsikan. Haber (1985) menemukan adanya hubungan yang erat antara nyeri kepala tegang
otot dengan faktor psikologik pada sebagian penderita.
Memperhatikan hasil-hasil penelitian yang masih kontrovrsial tersebut maka The International
Headache Society membagi nyeri kepala tegang otot menurut klasifikasi di atas. Jadi sampai
sekarang patognesis yang pasti belum jelas benar.
GAMBARAN KLINIK
Umumnya nyeri bilateral, nyeri seperti diikat, ditindh barang berat, ata perasaan tidak enak di
kepala, nyeri dapat berlangsung hanya 30 menit akan tetapi dapat pula terus-menerus sampai 7 hari,
nyeri berkurang setelah tidur, pemeriksaan neurologik tidak menunjukkan adanya kelainan, tidak
ditemukan nausea, vomittus, fono/fotofobia.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis : Menggali keluhan utama (intensitas nyei, sejak kapan, memberat, membaik, sudh
berapa kali sakit kepala dalam sebulan, riwayat penykit, riwayat kelurga, riwayat pengobatan, dll)
2. Pemfis :
Dikatakan nyeri kepala tegang otot yang berhubungan dengan gangguan otot perikranial bila
ditemukan adanya ketegangan otot perikranial dengan cara palpasi. Jika tidak ada ketegangan otot
maka dikenal sebagai idophatic headache.
Apabila bentuk diatas ditemukan akan tetapi serangan nyeri kepala terjadi paling sedikit 15 hari tiap
bulannya dan teah berlangsung lebih dari 6 bulan serta mungkin pula disertai salah satu gejala
nausea, fotofobia, fonofobia tapi tidak dengan vomitus maka diagnosanya adalah nyeri kepala
tegang otot kronik.
Tipe yang lain, yaitu semua bentuk nyeri kepala yang mirip dengan gejala sebagaimana diuraikan di
atas, tetapi tidak memenuhi syarat untuk diagnosis salah satu nyeri kepala tegang otot dan juga
tidak memenuhi kriteria untuk nyeri kepala migren tanpa aura.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. CT- scan
b. MRI
c. EMG
TATALAKSANA
1. Non farmakologi : pendekatan psikologik (psikoterapi), relaksasi, meditasi, yoga, dll.
2. Farmakologi : analgesik, sedativa, dan minor transquilizers.
Perlu juga edukasi yang baik ke pasien agar pasien benar-benar mengerti dan pengobatan menjadi
bermanfaat baginya
NEURALGIA TRIGEMINAL
Definisi
Neuralgia trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah satu sisi yang berulang. Disebut
trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang
saraf trigeminal. Saraf yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke
otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf trigeminal sesuai dengan daerah
distribusi persarafan salah satu cabang saraf trigeminal yang diakibatkan oleh berbagai penyebab.
Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa
orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri
yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik.
Epidemiologi
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2 pada wanita per satu juta
populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio
3:2), dan merupakan penyakit pada kelompok usia dewasa (dekade enam sampai tujuh). Hanya 10 %
kasus yang terjadi sebelum usia empat puluh tahun.
Sumber lain menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada mereka yang berusia di atas 50
tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-anak.
Neuralgia trigeminal merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi sangat mengganggu
kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya pemberian obat untuk mengatasi trigeminal
neuralgia biasanya cukup efektif. Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak,
sehingga nyeri berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak mengetahui dan menyalahartikan
neuralgia trigeminal sebagai nyeri yang ditimbulkan karena kelainan pada gigi, sehingga pengobatan
yang dilakukan tidaklah tuntas
Klasifikasi
Neuralgia Trigeminal (NT) dapat dibedakan menjadi:
1. NT Tipikal
2. NT Atipikal
3. NT karena Sklerosis Multipel
4. NT Sekunder
5. NT Paska Trauma
6. Failed Neuralgia Trigeminal
Bentuk-bentuk neuralgia ini harus dibedakan dari nyeri wajah idiopatik (atipikal) serta kelainan lain
yang menyebabkan nyeri kranio-fasial.
Etiologi
Mekanisme patofisiologis yang mendasari NT belum begitu pasti, walau sudah sangat banyak
penelitian dilakukan. Kesimpulan Wilkins, semua teori tentang mekanisme harus konsisten dengan:
1. Sifat nyeri yang paroksismal, dengan interval bebas nyeri yang lama.
2. Umumnya ada stimulus 'trigger' yang dibawa melalui aferen berdiameter besar (bukan serabut
nyeri) dan sering melalui divisi saraf kelima diluar divisi untuk nyeri.
3. Kenyataan bahwa suatu lesi kecil atau parsial pada ganglion gasserian atau akar saraf sering
menghilangkan nyeri.
4. Terjadinya NT pada pasien yang mempunyai kelainan demielinasi sentral.
Kenyataan ini tampaknya memastikan bahwa etiologinya adalah sentral dibanding saraf tepi.
Paroksisme nyeri analog dengan bangkitan dan yang menarik adalah sering dapat dikontrol dengan
obat-obatan anti kejang (karbamazepin dan fenitoin).
Tampaknya sangat mungkin bahwa serangan nyeri mungkin menunjukkan suatu cetusan 'aberrant'
dari aktivitas neuronal yang mungkin dimulai dengan memasukkan input melalui saraf kelima,
berasal dari sepanjang traktus sentral saraf kelima.
Patogenesis
Neuralgia trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang melibatkan sistem persarafan
trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya
kompresi oleh salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan
usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima sampai delapan persen
kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma,
tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada
sebagian kasus yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia trigeminal bisa
mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini, apapun penyebabnya, bisa
menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan
produksi ectopic action potential pada saraf trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang
berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak
terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh
pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah
pencetus mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Gambaran Klinis
Serangan neuralgia trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa detik sampai semenit. Beberapa
orang merasakan sakit ringan, kadang terasa seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri
yang cukup kerap, berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik. Penderita neuralgia trigeminal yang
berat menggambarkan rasa sakitnya seperti ditembak, kena pukulan jab, atau ada kawat di
sepanjang wajahnya. Serangan ini hilang timbul dan bisa jadi dalam sehari tidak ada rasa sakit.
Namun, bisa juga sakit menyerang setiap hari atau sepanjang minggu kemudian, tidak sakit lagi
selama beberapa waktu. Neuralgia trigeminal biasanya hanya terasa di satu sisi wajah, tetapi bisa
juga menyebar dengan pola yang lebih luas. Jarang sekali terasa di kedua sisi wajah dlm waktu
bersamaan.
Diagnosis
Kunci diagnosis adalah riwayat. Umumnya, pemeriksaan dan tes neurologis (misalnya CT scan) tak
begitu jelas. Faktor riwayat paling penting adalah distribusi nyeri dan terjadinya 'serangan' nyeri
dengan interval bebas nyeri relatif lama. Nyeri mulai pada distribusi divisi 2 atau 3 saraf kelima,
akhirnya sering menyerang keduanya. Biasanya, serangan nyeri timbul mendadak, sangat hebat,
durasinya pendek (kurang dari satu menit), dan dirasakan pada satu bagian dari saraf trigeminal,
misalnya bagian rahang atau sekitar pipi. Nyeri seringkali terpancing bila suatu daerah tertentu
dirangsang (trigger zone)
Trigger zones sering dijumpai di sekitar cuping hidung atau sudut mulut. Yang unik dari trigger zone
ini adalah rangsangannya harus berupa sentuhan atau tekanan pada kulit atau rambut di daerah
tersebut. Rangsang dengan cara lain, misalnya dengan menggunakan panas, walaupun
menyebabkan nyeri pada tempat itu, tidak dapat memancing terjadinya serangan neuralgi.
Pemeriksaan neurologis pada neuralgia trigeminal hampir selalu normal.
Suatu varian neuralgia trigeminal yang dinamakan tic convulsive ditandai dengan kontraksi sesisi dari
otot muka yang disertai nyeri yang hebat. Keadaan ini perlu dibedakan dengan gerak otot muka yang
bisa menyertai neuralgi biasa, yang dinamakan tic douloureux. Tic convulsive yang disertai nyeri
hebat lebih sering dijumpai di daerah sekitar mata dan lebih sering dijumpai pada wanita.
Tatalaksana
Sebagian besar obat yang digunakan pada penyakit ini mempunyai cukup banyak efek samping.
Penyakit ini juga terutama menyerang mereka yang sudah lanjut usia. Karena itu, pemilihan dan
pemakaian obat harus memperhatikan secara cermat kemungkinan timbulnya efek samping. Dasar
penggunaan obat pada terapi neuralgia trigeminal dan neuralgia saraf lain adalah kemampuan obat
untuk menghentikan hantaran impuls aferen yang menimbulkan serangan nyeri.
Carbamazepine
Obat yang hingga kini dianggap merupakan pilihan pertama adalah carbamazepine. Bila efektif maka
obat ini sudah mulai tampak hasilnya setelah 4 hingga 24 jam pemberian, kadang-kadang bahkan
secara cukup dramatis. Dosis awal adalah 3 x 100 hingga 200 mg. Bila toleransi pasien terhadap obat
ini baik, terapi dilanjutkan hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis hendaknya disesuaikan dengan
respons pengurangan nyeri yang dapat dirasakan oleh pasien. Dosis maksimal adalah 1200 mg/hari.
Karena diketahui bahwa pasien bisa mengalami remisi maka dosis dan lama pengobatan bisa
disesuaikan dengan kemungkinan ini. Bila terapi berhasil dan pemantauan dari efek sampingnya
negatif, maka obat ini sebaiknya diteruskan hingga sedikitnya 6 bulan sebelum dicoba untuk
dikurangi. Bila nyeri menetap maka sebaiknya diperiksa kadar obat dalam darah. Bila ternyata kadar
sudah mencukupi sedangkan nyeri masih ada, maka bisa dipertimbangkan untuk menambahkan
obat lain, misalnya baclofen. Dosis awal baclofen 10 mg/hari yang bertahap bisa dinaikkan hingga 60
hingga 80 mg/hari.
Gabapentin
Gabapentin adalah suatu antikonvulsan baru yang terbukti dari beberapa uji coba sebagai obat yang
dapat dipertimbangkan untuk nyeri neuropatik. Obat ini mulai dipakai di Amerika pada 1994, sebagai
obat anti epilepsi. Waldeman menganjurkan pemberian obat ini bila carbamazepin dan phenitoin
gagal mengendalikan nyerinya. Dosis awal 300 mg, malam hari, selama 2 hari. Bila tidak terjadi efek
samping yang mengganggu seperti pusing, ngantuk, gatal, dan bingung, obat dinaikkan dosisnya
setiap 2 hari dengan 300 mg hingga nyeri hilang atau hingga tercapai dosis 1800 mg/hari. Cara kerja
gabapentin dalam menghilangkan nyeri masih belum jelas benar. Yang pasti dapat dikemukakan
adalah bahwa obat ini meningkatkan sintesis GABA dan menghambat degradasi GABA. Karena itu,
pemberian gabapentin akan meningkatkan kadar GABA di dalam otak.
BELLS PALSY
2.1 Definisi
Bell’s palsy didefenisikan sebagai isolasi unilateral lower motor neuron, dan kelemahan wajah
tanpa sebab yang jelas. Penyebab paling umum adalah karena kelumpuhan mendadak nervus facialis
(N VII).
2.2 Epidemiologi
Insidennya diperkirakan 20-25 per 100.000 penduduk pertahun namun kejadian yang tepat pada
anak-anak tidak diketahui.
2.3 Etiologi
Etiologinya belum diketahui, diduga oleh virus. Dari pemeriksaan kadar antibodi, pada sebagian
pasien didapatkan peningkatan antibodi terhadap virus Epstein Barr, Herpes Simpleks, Herpes
Zoster. Pada sebagian besar pasien (70%) didapatkan sebelumnya riwayat pemaparan pada udara
dingin atau radang saluran napas bagian atas.
2.4 Patofisiologi
Nervus fasialis merupakan saraf motorik yang mengontrol gerakan volunteer dari otot-otot wajah.
Sarah ini juga terdiri dari komponenn sensorik. Serat sensorik mensarafi sensari pengecapan dari dua
pertiga depan liadah. Serat lain mengantarkan sensasi dari kanalis auditorius eksternus. Serat
autonon mengontrol sekresi dari kelenjar mandibula, sublingual dan lakrimal.1
Jalur sistem saraf pusat yang terlibat dalam pergerakan wajah mulai dari korteks kedua hemisfer
dan turun sepanjang serat piramidalis untuk membentuk sinaps pada intik nucleus di batang otak.
Nervus fasialis keluar dari nucleus pada dasar pons di batang otak. Kemudian melewati meatus
akustikus internus terus ke kanalis fasialis tulang petrosus temporal bersama nervus akustikus. Saat
melewati tulang petrosus tempolal, nervus fasialis berbelok ke posterior untuk memberi cabang
yang mengontrol fungsi kelenjar lakrimal. Kemudian berjalan ke belakang dan lateral mengelilingi
vestibulum telinga tengah dan mengirim cabang ke otot strapedius yang mengatur reflex stapedius.
Kerusakan nervus fasialis di proksimal cabang ini menyebabkan hiperakusis (hipersensitivitas yang
nyeri terhadap suara keras).1
Nervus fasialis mempunyai cabang yang menyuplai chorda timpani, yang mengontrol sekersi kelenjar
submandibula dan sublingual dan sensasi rasa dua pertiga depan lidah. Nervus fasialis keluar dari
tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan kemudian berjalan melalui kelenjar parotis, dimana
berakhir di cabang temporal, zigomatikum, buccal, mandibula dan servikal untuk mensuplai otot-
otot ekspresi wajah dan penutupan kelopak mata.1
Dahi menerima inervasi dari kedua hemisfer serebri. Lesi unilateral pada sistem saraf pusat di atas
inti nervus fasialis melibatkan badan sel atau serat saraf yang berhubungan dengan inti fasial akan
menyebabkan paralisis hanya pada setengah bagian bawah wajah saja. Sebaliknya, lesi di inti fasial
batang otak atau pada saraf itu sendiri akan menyebabkan paralisiswajah bagian bawah dan juga
dahi.1
Paralisis nervus fasial ada yang tipe sentral dan tipe perifer. Pada tipe sentral melibatkan jaras
kortikolbulbar yang mengahantarkan impuls dari korteks serebri ke nukleus dari saraf fasial. Lesi
tipe sentral menyebabkan paralisis pada setengah otot-otot wajah bagian bawah pada sisi yang
berlawanan dari sisi lesi karena setengah otot-otot wajah bagian atas dipersarafi secara bilateral
oleh jaras kortikobulbar, sedangkan bagian bawahnya hanya dipersarafi oleh jaras kortikobulbar
kontralateral dari sisi wajah.
Bell’s palsy terjadi akibat adanya disfungsi dimanapun disepanjang bagian perifer nervus facial dari
level pons bagian distal. Terjadinya lesi perifer pada nervus fasial menyebabkan terjadinya paralisis
total pada daerah wajah sesisi lesi nya. Patofisiologi dari kelumpuhan nervus fasialis belum pasti,
tetapi banyak penulis percaya bahwa adanya keterlibatan sistem imun yang disebabkan oleh
kerusakan local pada myelin setelah infeksi virus. 2 Ini sering terjadi 2 atau 3 minggu setelah terjadi
infeksi virus. Sejumlah patologi spesifik juga bisa menyebabkan kelumpuhan lower motor neuron
nervus fasialis akut. Invasi virus aktif pada nervus, iskemia vaskuler, dan demielinisasi imun juga
terlibat. Peran pembengkakan saraf pada patofisiologinya masih belum jelas. Peningkatan bukti
mengimplikasikan bahwa penyebab utama bell’s palsy adalah virus herpes yang laten (virus herpes
simpleks tipe 1 dan virus herpes zoster ), yang mana merupakan reaktivasi dari nervus cranial
ganglia.3
2.5 Diagnosis
Gejala khas dari Bell’s Palsy adalah paralisis otot wajah dan sering menyebabkan distorsi wajah yang
signifikan. Wajah bagian atas dan bawah paresis dan sudut mulut terkulai. Penderita tidak dapat
menutup mata pada sisi yang terlibat dan dapat berkembang keratitis pajanan di malam hari. Rasa
pada dua pertiga anterior lidah hilang pada sisi yang terlibat pada separuh kasus. Parestesi jarang
terjadi.1,2
Kebanyakan anak-anak dan keluarga menduga anak tersebut menderita stroke atau tumor
intrakranial. Onset kelemahan sering mendadak dan memburuk dengan cepat, kelemahan wajah
maksimal dalam dua hari. Anak yang lebih tua kadang mengeluhkan kesemutan pada wajah, kering
pada mulut dan mata yang terkena, hilangnya rasa pada bagian depan lidah, nyeri telinga, dan
intoleransi suara yang keras pada bagian wajah yang terkena. Orang tua kadang menemukan anak
mereka mengalami kesulitan dalam berbicara, membasahi mata sisi yang terkena, air sering
mengalir keluar dari mulut ketika minum atau menggosok gigi.2
Penegakan diagnosis Bell’s palsy pada anak-anak cukup sulit. Anamnesis yang lengkap dan
pemeriksaan fisik yang detail diperlukan. Pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk
menyingkirkan keterlibatan sistem saraf pusat (hemiparesis, keterlibatan saraf kranial, dsb) dan
paralisis wajah UMN. Bell’s palsy tidak sama dengan paralisis nervus wajah, tapi merupakan
pengecualian dengan diagnosis paralisis nervus wajah idiopatik onset akut.2
Kelemahan wajah ditemukan dengan meminta anak-anak menutup mata mereka dan
memperlihatkan gigi mereka. Pada pemeriksaan fisik ditemukan mendatarnya lipatan kening dan
nasolabial pada sisi yang terkena. sulitnya menutup mata, dan keringnya mulut di sisi terkena.
Biasanya gejalan bertahan dalam 2 hingga 4 minggu dan akan sembuh sendiri. Penatalaksanaan awal
dalam 3 hari setelah onset dengan steroid tidak terbukti pada anak-anak.2,3
TATA LAKSANA 1
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 6 hari,
diturunkan perlahan-lahan dengan total pemakaian 10 hari), dimana window periodenya 7 hari
onset penyakit.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang
sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang
sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir > 2 tahun = 20 mg/kgBB PO selama 10 hari
.Antiviral dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat
mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama
dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c. Perawatan mata:
· Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.
· Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan tidak
mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
· Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan
menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan
fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu :
mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
Prognosis
Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat
tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri otot wajah yang ringan sekitar 10% dan
5% penyembuhan dengan gejala sisa berat.
EPILEPSI
DEFINISI EPILEPSI
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang sebagai
akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan
listrik abnormal oleh berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa (stereotipik),
berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan
oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak
akut (unprovoked).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi secara bersama-
sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis bangkitan, faktor pencetus,
dan kronisitas.
EPIDEMIOLOGI EPILEPSI
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Dari banyak studi
menunjukkan angak kejadian epilepsi cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5 –
4 %. Rata-rata epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di negara
berkembang mencapai 50 – 70 kasus per 100.000 penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia
berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilespsi 1,1 – 1,8 juta. Berkaitan dengan umur,
grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada
kelompok usia lanjut.
KLASIFIKASI EPILEPSI
Berdasarkan etiologinya, epilepsi dapat kita bedakan menjadi dua yaitu:
1. Epilepsi primer atau epilepsi idiopatik
Epilepsi disebut idiopatik jika tidak ada penyebab anatomi yang spesifik untuk kejang. Kejang ini
dapat ditimbulkan karena abnormalitas turunan dalam sistem saraf pusat (SSP). Kelompok idiopatik
termasuk penderita epilepsi yang mengalami penghentian antikonvulsan mendadak (terutama
benzodiazepin dan barbiturat)
PATOFISIOLOGI EPILEPSI
Sel neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion
yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan
polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan
menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai
terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat
neuron lain.
Sel glia yang merupakan bagian terbesar dari sel-sel di susunan saraf pusat, mempunyai peranan
dalam mempertahankan keseimbangan ionik, agar depolarisasi yang telah terjadi dapat disusul
dengan repolarisasi. Karena kemampuan tersebut, sel glia banyak berperan dalam inhibisi.
Sampai saat ini patofisiologi epileptik belum diketahui dengan jelas. Ada hipotesis yang menduga
bahwa suatu epileptogenesis dapat terjadi karena adanya sekelompok neuron yang secara intrinsik
mempunyai kelainan pada membrannya, ini bisa didapat atau diturunkan. Neural abnormal tersebut
akan menunjukkan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar, kemudian melalui hubungan yang
efisien akan mengimbas depolarisasi pada sebagian besar neuron-neuron lainnya. Bila proses inhibisi
juga mengalami gangguan , entah kerena suatu cedera iskemia atau genesis akibat gangguan mutasi,
maka kumpulan neuron abnormal yang diimbasnya akan bersama-sama dalam waktu yang hampir
bersamaan melepaskan potensial aksinya, sehingga terjadilah kejang.
Pada kejang umum primer, letak massa neuron yang abnormal sampai saat ini belum diketahui, ada
dugaan terletak di kelompok sel-sel subkortikal, sedangkan pada kejang parsial massa neuron
abnormal terletak di lapisan-lapisan tertentu di neokorteks atau hipokampus. Suatu kejang parsialis
dapat menjadi umum sekunder bila massa neuron abnormal di neokorteks atau hipokampus
melibatkan neuron yang terletak di subkortikal.
ETIOLOGI EPILEPSI
Etiologi epilepsi :
1. Idiopatik
Penyebab tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatik tapi penyebabnya belum diketahui, termasuk di sini Sindroma West, Sindroma
Lennox Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus
3. Simtomatik
Disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat, misalnya cedera kepala, infeksi SSP,
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neuro-degeneratif
JENIS-JENIS EPILEPSI
a. Epilepsi Parsial Sederhana
Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada epilepsi parsial sederhana. Gerakan
ditandai dengan gerakan klonik atau tonik yang tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan
wajah, leher dan tungkai. Kejang versif terdiri atas pemutaran kepala dan gerakan mata gabungan
adalah sangat lazim. Automatisme tidak terjadi pada epilepsi parasial sederhana tetapi beberapa
penderita mengeluh aura (misal, dada tidak enak dan nyeri kepala), yang dapat merupakan satu –
satunya manifestasi kejang. Setelah kejangnya anak mengalami kesukaran dalam menggambarkan
aura, dan sering menyebutnya sebagai “perasaan lucu” atau “sesuatu merayap di dalam saya”. Rata
– rata kejang berlangsung selama 10 – 22 detik. Kejang parsial sederhana dapat dirancukan dengan
gerenjit (tics), namun tics ditandai dengan pengangkatan bahu, mata berkedip – kedip dan wajah
menyeringai serta terutama melibatkan wajah dan bahu. Tics dapat tertekan sebentar, tetapi kejang
parsial tidak dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan gelombang paku atau gelombang tajam
unilateral atau bilateral, atau gambaran paku multifokal pada penderita dengan kejang parsial
sederhana, gelombang paku ombak di daerah temporal tengah (daerah Rolandik). Jenis epilepsi ini
mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati, dicegah
dengan antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur 15 tahun. Anak dengan jenis epilepsi
ini mempunyai inteligensi, tingkah laku, dan kemampuan bersekolah yang tidak berbeda dengan
populasi umum. Jenis epilepsi ini cukup sering dijumpai.
Ciri dan jenis epilepsi ini adalah :
1. Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5 – 10 tahun
2. Serangan terutama terjadi sewaktu tidur
3. Respon terhadap obat antikonvulsan baik
4. Prognosis baik
5. Sumber (fokus) epilepsinya adalah di daerah temporal tengah, pada satu sisi atau pada kedua sisi
di otak
6. Serangan – serangan kejang akan menghilang atau berhenti bila mencapai usia remaja, demikian
juga halnya dengan gelombang paku di daerah temporal tengah yang terlihat pada pemeriksaan EEG
akan menghilang.
Bangkitan grandmal disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau bangkitan mayor (serangan
besar). Bangkitan grandmal merupakan jenis epilepsi yang sering dijumpai. Serangan grandmal yang
khas adalah sebagai berikut : penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai kejang
tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku ), yang kemudian diikuti oleh kejang klonik (badan dan
anggota gerak berkejut - kejut, kelojotan ).
Bila penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia akan jatuh seperti benda mati. Pada fase
tonik badan menjadi kaku. Bila kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru
melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut sebagai jeritan epilepsi (epileptic cry).
Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi biru (sianosis) karena pernafasan terhenti
dan terdapat pula kongesti (terbendungnya) pembuluh darah balik vena. Biasanya fase kejang tonik
ini berlangsung selama 20 – 60 detik. Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang
klonik yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua anggota gerak pada fase klonik
ini berkejang klonik (kelojotan) juga otot pernafasan dan otot rahang. Pernafasan menjadi tidak
teratur, tersendat - sendat, dan dari mulut keluar busa. Lidah dapat tergigit waktu ini dan penderita
dapat pula mengompol. Bila penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar, kejang
klonik dapat mengakibatkan luka – luka karena kepala digerak – gerakkan sehingga terantuk – antuk
dan luka.
Biasanya fase klonik ini berlangsung kira – kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama. Setelah fase klonik
ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini biasanya berlangsung kira – kira 1 menit. Setelah
itu penderita tertidur, yang lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1 – 3 jam. Bila pada saat
tidur ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang tampak bengong. Lama keadaan
bengong ini berbeda –beda. Ada penderita yang keadaan mentalnya segera pulih setelah beberapa
menit serangan selesai. Ada pula yang lebih lama, sampai beberapa jam atau hari. Sebagian besar
penderita merasakan sakit kepala setelah serangan, yang dapat berlangsung sampai satu atau dua
hari, dan berkurang setelah dibawa tidur. Bila serangan berlangsung singkat, penderita biasa mampu
melanjutkan aktivitasnya setelah beberapa menit serangan selesai. Pada serangan yang hebat, yang
berlangsung lama, maka setelah fase klonik penderita berlanjut ke dalam keadaan koma dan
kemudian tidur dalam. Sewaktu berangsur pulih dari tidur dalam ini penderita dapat pula
menunjukkan berbagai gejala, misalnya omongan kacau, anggota gerak terasa lemah, dan merasa
nyeri di kepala.
Kelemahan umum, mual, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot, gelisah, mudah tersinggung, dan
berbagai perubahan tingkah laku merupakan gejala pasca serangan yang serign dijumpai. Gangguan
pasca serangan ini dapat berlangsung beberapa saat, namun dapat juga sampai beberapa jam.
Serangan grandmal dapat berlangsung singkat namun dapat pula berlangsung lama. Ada yang
berlangsung kurang dari satu menit, namun ada pula yang lamanya melebihi satu jam. Frekuensi
serangan grandmal sangat bervariasi. Ada penderita yang mengalami serangan beberapa kali sehari,
ada pula yang hanya satu kali seminggu, satu kali setahun, atau satu kali dalam beberapa tahun.
Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan grandmal timbul secara beruntun, berturut – turut
sebelum penderita pulih dari serangan sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat, dan
disebut status epileptikus. Dapat berakibat fatal, memautkan dan dapat pula mengakibatkan
terjadinya cacat pada penderitanya.
i. Epilepsi Mioklonik
Epilepsi masa anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari kontraksi otot sebentar, sering
kontraksi otot simetris dengan kehilangan tonus tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan. Ada 5
jenis epilepsi mioklonik yaitu :
1. Mioklonus benigna masa bayi
Mulai semasa bayi dan terdiri dari kelompok gerakan mioklonik yang terbatas pada leher, badan dan
tungkai. Aktivitas mioklonik dapat terancukan dengan spasme infantil. Pada penderita mioklonus
benigna EEG normal. Prognosis baik.
2. Epilepsi mioklonik khas masa anak awal
Anak dengan epilepsi mioklonik khas adalah hampir normal sebelum mulainya kejang dengan
kehamilan, persalinan, dan kelahiran yang tidak luar biasa dan tanda perkembangan utuh. Rata –
rata mulai umur dua setengah tahun, tetapi berkisar 6 bulan sampai 4 tahun. Frekuensi kejang
bervariasi. Beberapa menderita kejang demam atau kejang afibril tonik – klonik menyeluruh yang
mendahului mulainya epilepsi mioklonik. EEG menunjukkan kompleks gelombang paku cepat dan
latar belakang irama normal.
3. Epilepsi mioklonik kompleks
Terdiri dari kelompok penyakit yang heterogen dengan prognosis yang secara seragan buruk. Secara
khas kejang tonik – klonik setempat atau menyeluruh mulai selama umur tahun pertama
mendahului mulainya epilepsi mioklonik. Kejang – kejang menyeluruh sering disertai dengan infeksi
saluran pernafasan atas dan demam rendah serta sering berkembang menjadi status epileptikus.
4. Epilepsi mioklonik juvenil
Biasanya umur 12 – 16 tahun. Penderita merasa jingkatan mioklonik yang sering pada saat jaga, yang
membuat sukar menyisir rambut. EEG menunjukkan tonjolan dan pola gelombang 4 – 6 per detik
tidak teratur, yang diperbesar dengan rangsangan cahaya.
5. Epilepsi mioklonik progresif
Perburukan mental merupakan tanda khas dan menjadi nyata dalam 1 tahun dari mulainya kejang.
Kelainan neurologis terutama tanda serebelum dan ekstrapiramidalis, merupakan temuan yang
menonjol. EEG menunjukkan discharge (rabas) gelombang poli paku, terutama pada daerah oksipital
dengan pelambatan progresif dan latar belakang yang kacau. Jingkatan mioklonik sukar
dikendalikan, tetapi kombinasi asam valproat dan benzodiazepin efektif dalam mengendalikan
kejang menyeluruh.
Anamnesis
Mengenai bangkitan kejang yang timbul perlu diketahui mengenai pola serangan, keadaan sebelum,
selama dan sesudah serangan, lama serangan, frekuensi serangan, waktu serangan terjadi dan faktor
– faktor atau keadaan yang dapat memprovokasi atau menimbulkan serangan. Perlu diusahakan
agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan, agar dapat diketahui fokus serta
klasifikasinya. Ditanyakan apakah gejala prodormal, aura, keadaan selama serangan (di mana atau
bagaimana kejang mulai, bagaimana penjalarannya) dan keadaan sesudah kejang (parese Todd,
nyeri kepala, segera sadar, mengacau, kesadaran menurun ).
Ditanyakan pula lama (duration), masing – masing keadaan tersebut, waktu serangan (pagi, siang
malam, waktu mau tidur, sedang tidur, mau bangun, sedang bangun). Apakah ada rangsang tertentu
yang dapat menimbulkan serangan misalnya melihat televisi, bernafas dalam, lapar, letih, obat-
obatan tertentu dan sebagainya.
Riwayat keluarga ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit saraf
dan penyakit lainnya. Hal ini misalnya perlu untuk mencari adanya faktor hereditas.
Riwayat masa lalu (past history), ditanyakan mengenai keadaan ibu waktu hamil (riwayat
kehamilan), misalnya penyakit yang dideritanya, perdarahan pervaginam, obat yang dimakan. Secara
teliti ditanyakan pula mengenai riwayat kelahiran penderita, apakah letak kepala, letak sungsang,
mudah atau sukar, apakah terdapat perdarahan antepartum, apakah digunakan cunam atau vakum
ekstraksi atau sectio caesaria, ketuban pecah dini, asfiksia, Penyakit apa saja yang pernah diderita (
trauma kapitis, radang selaput otak atau radang otak, ikterus, reaksi terhadap imunisasi, kejang
demam). Bagaimana perkembangan (milestones) kecakapan mental dan motorik.
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara generalis dan neurologis. Diperiksa
keadaan umum, tanda – tanda vital, kepala, jantung, paru, perut, hati dan limpa, anggota gerak dan
sebagainya.
Pada pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan, motorik dan mental, tingkah laku,
berbagai gejala proses intrakranium, fundus okuli, penglihatan, pendengaran, saraf otak lain, sistem
motorik, sensorik, refleks fisiologis dan patologis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah
o Darah : Darah tepi rutin, pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi (misal : kadar gula darah,
elektrolit)
o Cairan serebrospinalis (CSS) : untuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan, berdarah, xantokrom,
jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula, NaCl dan pemeriksan lain atas indikasi.
3. Pemeriksaan radiologis
o Foto tengkorak diperhatikan simetri tulang tengkorak, destruksi tulang, klasifikasi intrakranium
yang abnormal, tanda peninggian tekanan intrakranial seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika.
o CT brain
o MRI (lebih baik daripada CT brain)
TATALAKSANA EPILEPSI
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien sesuai dengan
perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya
tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain : menghentikan bangkitan , mengurangi frekuensi
bangkitan tanpa efek samping / dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan
dan kematian.
Penderita epilepsi umumnya cenderung untuk mengalami kejang secara spontan tanpa faktor
provokasi yang kuat atau yang nyata. Tidak dapat diramalkan kapan kejang akan timbul. Timbulnya
serangan kejang ini harus dicegah, karena hal itu dapat menimbulkan cedera atau kecelakaan, di
samping kejang itu sendiri dapat mengakibatkan kerusakan pada otak. Untuk maksud ini, pada
penderita epilepsi diberikan obat antikonvulsan secara rumat. Dosis serta macam antikonvulsan
yang digunakan bersifat individual , bergantung kepada hasil pengobatan. Sebaiknya mulai dengan 1
macam antikonvulsan dengan dosis rendah. Bila hasilnya kurang memuaskan dapat ditinggikan.
Obat
Tipe Kejang
Dosis (mg/kgBB/hari)
Efek samping
Fenobarbital
Semua bentuk kejang
3–8
• Mengantuk
• Hiperaktif
• Iritabilitas
• SJS
Karbamazepin
• Psikomotor
• Grandmal
• Fokal motor
10 – 20
• Vertigo
• Mengantuk
• Diplopia
• Anemia
• Leucopenia
Dilantin
Semua bentuk kejang kecuali petit mal, mioklonik
5 – 10
• Sedasi
• Nistagmus
• Ataksia
Pirimidon
Semua bentuk kejang kecuali petit mal
12 – 25
• Mengantuk
• Hiperaktif
Etoksuksimid
Petit mal
20 – 60
• Leukopeni
• Ruam kulit
• Disfungsi hati
Diazepam
Semua bentuk kejang
0,2 – 0,5
Pemakaian sukar
Valproat
Petit mal
30 – 40
• Penambahan berat
• Alopesia
• Hepatotoksisitas
• Tremor
Gabapentin
• Parsial kompleks
• Menyeluruh
100 – 300
• Mengantuk
• Pusing
• Ataksia
• Tremor
• Muntah
• Nistagmus
Nitrazepam
• Mioklonik
• Spasme infantil
0,2 – 1
• Mengantuk
• Iritabilitas
• Depresi
• Saliva berlebih
- Kejang Demam
Kejang demam ialah kejang yang terjadi waktu demam (suhu badan meninggi). Dan demam ini
disebabkan oleh radang atau infeksi di luar rongga tenggorok, misalnya oleh radang tenggorok,
radang paru, influenza. Setelah usia 6 tahun jarang sekali ditemukan kejang demam. Pada bayi atau
anak suhu badan yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya serangan kejang. Semakin tinggi suhu
badan, semakin besar kemungkinan terjadinya serangan kejang. Kira – kira 3 % dari anak pernah
mengalami kejang demam.
Bila seorang anak mengalami kejang sewaktu suhu badannya tinggi maka ada 3 kemungkinan yang
terutama harus dipikirkan. Anak tersebut kemungkinan menderita :
1. kejang demam
2. epilepsi yang dicetuskan oleh demam
3. radang otak atau radang selaput otak
Yang paling sering dijumpai adalah kejang demam. Kejang demam umumnya mempunyai ciri berikut
:
1. terjadi pada usia 6 bulan – 4 tahun
2. bersifat umum ( kejang umum )
3. berlangsung singkat, kurang dari 15 menit
4. terjadi dalam waktu beberapa jam setelah suhu meningkat
5. bila setelah keadaan tenang dilakukan pemeriksaan EEG, maka hasil EEG normal.
Kejang demam yang mempunyai ciri tersebut di atas dinamakan juga kejang demam yang khas. Bila
kejang demam tidak sesuai dengan cirri di atas, dinamakan kejang demam tidak khas.
Otak yang sedang berada dalam aktivitas kejang membutuhkan dan menggunakan lebih banyak
oksigen. Demam sendiri juga meningkatkan kebutuhan akan oksigen. Jadi dalam keadaan kejang
demam kita dapatkan keadaan dimana suplai oksigen berkurang, sedangkan kebutuhan akan
oksigen meningkat. Dengan demikian terjadilah kekurangan oksigen. Bila hal ini berlangsung lama,
maka sebagian sel – sel otak akan mati. Diduga bila kejang demam berlangsung lebih lama dari 20
menit maka didapatkan kematian sebagian jaringan otak.
Umumnya penderita kejang demam tidak menjadi penderita epilepsi di kemudian hari. Hanya 3 %
yang menjadi epilepsi. Dengan demikian, tidaklah beralasan untuk menganggap penderita kejang
demam sebagai penderita epilepsi
KOMPLIKASI EPILEPSI
Akut :
- Status epileptikus
Komplikasi yang menyebabkan keadaan gawat darurat dapat berupa status epileptikus
- Trauma kepala
Penderita epilepsi jenis grandmal umumnya jatuh waktu serangan, karena kesadarannya menghilang
disertai badan menjadi kaku. Hal ini dapat mengakibatkan gegar otak, memar otak yang dapat
menyebabkan penurunan inteligensi.
Kronik :
- Kecerdasan rendah
Epilepsi jenis spasme infantil disertai dengan tingkat kecerdasan yang rendah disebabkan cedera
otak yang luas. Penderita menderita retardasi mental. Perkembangannya menjadi terhambat.
- Gangguan emosional
Gangguan emosional yang dialami penderita, menjadi depresif oleh penyakit yang dideritanya, serta
tekanan – tekanan psikis yang dialami dari lingkungannya.
Penyakit Parkinson
Definisi
Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang memiliki karakterstik tanda-tanda klinis
parkinsonisme, sperti tremor saat istirahat, rigiditas, ataksia, bradikinesia, dan instabilitas postural.
Penyakit parkinson harus dibedakan dengan Parkinsonisme, yaitu gejala Parkinson pada gangguan di
ganglia basal akibat penyebab non-degeneratif, seperti stroke, toksisitas, dan lain-lain.
Epidemiologi
Penyakit Parkinson dikenal sebagai salah satu penyakit neurologis tersering, mempengaruhi sekitar
1% individu berusia lebih dari 60 tahun. Insidens penyakit Parkinson adalah 5-21 kasus per 100.000
populasi per tahun dan prevalensinya adalah sekitar 120 kasus per 100.000 populasi. Insidens dan
prevalens meningkat seiring bertambahnya usia dan umur rata-rata pasien saat awitan awal adalah
sekitar 60 tahun. Penyakit ini lebih sering mempengaruhi laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 3:2.
Etiologi
• Sporadis: kombinasi stres oksidatif terhadap neuron dopaminergik, racun lingkungan (sebagai
contoh: pestisida), penuaan dipercepat, genetik.
• Familial (10%): mutasi autosomal dominan pada α –synuclein, gen autosomal resesif Parkin atau
mutasi gen DJ-1 (onset muda). MPTP (neurotoksin).
Patofisiologi
• Kerusakan neuron dopaminergik pada pars compacta substansia nigra, sehingga mengurangi
dopamin pada striatum. Hal ini menyebabkan disinhibisi jaras tidak langsung dan menurunkan
aktivitas jaras langsung, menyebabkan peningkatan inhibisi pada area-area motorik.
• α –synucleinopathy: penumpukan α –synuclein di badan Lewy sehingga menyebabkan neuritis
pada substansia nigra.
Manifestasi klinis
• Gejala motor positif:
- Tremor saat istirahat (resting tremor): tremor asimetris 4-5 kali/detik, “pill-rolling” (seperti
memutar pil) terutama pada tangan.
- Rigiditas: hipertonus pipa timbal (lead pipe hypertonus), cogwheeling (seperti pemutar roda)
karena superimposisi dari tremor.
• Gejala motor negatif
- Bradikinesia: pergerakan lambat dengan amplitudo kecil, kesulitan memulai pergerakan.
• Instabilitas postural: temuan lanjut berupa jatuh, shuffling gait dengan akselerasi dan badan fleksi.
• Gejala penyerta: wajah topeng (masked facies), hipoponia, aprosodia (pembicaraan monoton),
disartia, mikrografia, shuffling gait dengan penurunan ayunan lengan.
• “Freezing”: terjadi saat berjalan, dicetuskan oleh langkah awal atau penghalang/ tujuan;
berlangsung beberapa detik.
• Kognisi: bradifrenia (kelambatan bereaksi/ berpikir), temuan lanjut berupa demensia.
• Perilaku: perubahan karakter, penurunan pembicaraan spontan, depresi, gangguan tidur,
kecemasan.
• Otonomik: temuan lanjut berupa konstipasi, retensi urin, atau disfungsi seksual.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan secara klinis dengan ditemukannya dua dari tiga tanda kardinal, yakni tremor
saat istirahat, rigiditas, dan bradikinesia. Pasien umumnya berusia 55 tahun atau lebih dengan
parkinsonisme asimetrik yang berprogresi lambat dengan tremor saat istirahat dan bradikinesia atau
rigiditas. Tidak ada tanda bahaya seperti disfungsi otonomik berat, gangguan keseimbangan,
demensia, atau kelainan gerak mata. Pada kasus-kasus seperti ini, diagnosis akan dikonfirmasi
dengan terapi dopaminergik (levodopa atau agonis dopamin) yang memeberikan pemulihan bagi
gejala motorik pasien. MRI dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi diagnosis banding lain
seperti stroke, lesi desak ruang (tumor, abses), hidrosefalus tekanan normal, dan penyakit lain.
Tata Laksana (lihat Gambar 1)
• Terapi farmakologis diberikan bila terdapat gangguan fungsional. Pemilihan obat disesuaikan
dengan:
- Usia pasien;
- Stadium perjalanan penyakit;
- Efek samping obat;
- Biaya
• Terapi simtomatik dalam tata laksana Parkinson dibagi menjadi
- Terapi medis
o Terapi farmakologis: obat dopaminergik agonis dopamin, kolinergik, terapi gejala non-motorik;
o Terapi nonfarmakologis: edukasi, self-help group, latihan, terapi wicara;
- Terapi operatif
o Ablative/ lesioning (thalidotomi, pallidektomi);
o Deep brain stimulation (pallidum, nukleus subtalamikus).
• Obat-obatan yang digunakan sebagai terapi medis antara lain:
- Dopaminergik:
o Levodopa (L-dopa)/ benserazide
o Agonis DA: bromocryptine, pramipexole, ropinirole
o Inhibitor MAOB: selegilin
o Inhibitor COMT: entacapone, tokapone
o Antagonis reseptor NMDA: amantadin
- Antikolinergik: triheksapenidil (THP)
• Penggunaan levodopa jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi motorik dan komplikasi
non-motorik. Komplikasi motorik dapat berupa fluktuasi motorik dan diskinesia. Komplikasi non-
motorik dapat berupa sensorik, motorik, dan pskiatrik.
• Pembedahan: thalatomi, pallidotomi, stimulasi otak dalam (talamik, pallidal, subtalamik),
transplatasi sel punca dopaminergik embrionik.
NEUROPATI
2.1. Definisi
Neuropati adalah keadaan dengan gangguan fungsi dan struktur pada saraf tepi. (Markam, 2008)
2.2. Epidemiologi
Neuropati dapat mengenai semua umur, terbanyak pada usia 30 – 50 tahun, laki – laki relatif lebih
banyak daripada wanita. (Harsono, 2011)
2.3. Etiologi
Neuropati dapat disebabkan oleh infeksi (endotoksin difteria, sindrom Guillain-Barre), gangguan
metabolik (defisiensi vitamin B1 dan B12, keracunan logam berat, obat-obatan), gangguan endokrin
(diabetes mellitus), alergi, trauma, gangguan vaskular dan kompresi. (Snell, 2002)
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan jumlah saraf yang terkena, neuropati dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: (Harsono,
2011)
2.5.1. Mononeuropati
Lesi bersifat fokal pada saraf tepi atau lesi bersifat fokal majemuk yang terpisah – pisah dengan
gambaran klinis yang simetris atau tidak simetris. Penyebabnya adalah proses fokal misalnya
penekanan pada trauma, tarikan, luka,penyinaran, berbagai jenis tumor, infeksi fokal dan gangguan
vaskular. Mononeuropati yang sering terjadi antara lain:
a. Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan saat saraf ini melalui
terowongan karpal. Nervus medianus tersusun oleh belahan fasikulus lateralis dan belahan fasikulus
medialis. Nervus ini membawa serabut-serabut radiks ventralin dan dorsalis C6, C7, C8 dan T1. Otot
– otot yang disarafinya antara lain m. pronator teres, m. pronator kuadratus, mm. lumbikales, mm.
fleksor digitorum profundus dan mm. interosease sisi radial, m. oponens polisis dan m. abductor
polisis brevis. Gambaran klinis CTS adalah : (Ginsberg, 2005; Mardjono dan Sidharta, 2009)
1) Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari atau saat bekerja
2) Pengecilan dan kelemahan otot – otot eminensia tenar
3) Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nevus medianus
4) Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan perkusi pada
telapak tangan daerah terowongan karpal (tanda Tinel)
5) Kondisi ini sering bilateral
Gambar 1. Carpal Tunnel Syndrome, akibat kompresi pada n. medianus sehingga menyebabkan
nyeri, parestesi dan hipestesi pada distribusi n. medianus
Carpal Tunnel Syndrome seringkali berhubungan dengan kondisi medis, seperti deformitas lokal
(misalnya sekunder akibat osteoartritis,fraktur), diabetes mellitus, artritis rheumatoid, miksedema,
akromegali dan amiloidosis. Diagnosis dapat dipastikan secara elektrodiagnostik. Pemeriksaan
penunjang untuk mencari penyebab meliputi kadar glukosa darah, laju endap darah dan fungsi
tiroid. Pilihan terapi dapat meliputi : (Ginsberg, 2005)
1) Balut tangan, terutama pada malam hari, pada posisi ekstensi parsial pergelangan tangan
2) Injeksi lokal terowongan karpal dengan kortikosteroid
3) Dekrompesi n. medianus pada pergelangan tangan dengan pembedahan pada divisi fleksor
retinakulum.
b. Neuropati ulnaris
Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa tempat di sepanjang
perjalanannya, tetapi terutama pada siku. N. ulnaris mensarafi otot – otot m. fleksor karpi ulnaris, m.
digitorum profundus sisi ulnar, m. palmaris brevis, m. lumbrikalis sisi ulnar, keuda m. interosei
dorsalis sisi ulnar, m. abductor polisis dan m. fleksor polisis brevis. Karena kelumpulan otot – otot
tersebut, maka tangan yang lumpu memperlihatkan sikap khas yang disebut sebgai “claw hand”.
Gejala klinis neuropati ulnaris meliputi: (Ginsberg, 2005; Mardjono dan Sidharta, 2009)
1) Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku ke lengan sampai
batas ulnaris tangan
2) Atrofi dan kelemahan otot – otot intrinsic tangan
3) Hilangnya sensasi tangan pada distribusi n. ulnaris
4) Deformitas berupa claw hand yang khas pada lesi kronik.
Gambar 2. Neuropati ulnaris, area parestesi dan claw hand pada distribusi n. ulnaris
Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang perjalanan n. ulnaris. Lesi
ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada malam hari, dengan posisi siku ekstensi untuk
mengurangi tekanan pada saraf. Untuk lesi yang lebih berat, dapat dilakukan dekompresi bedah atau
transposisi n. ulnaris, namun belum dapat dijamin keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan jika
terdapat kerusakan n. ulnaris terus – menerus, yang ditunjukkan dengan gejala nyeri persisten
dan/atau gangguan motorik progresif. (Ginsberg, 2005)
c. Palsi radialis
Otot – otot yang disarafi n. radialis ialah m. triseps, m. ankoneus, m. brakioradialis, m. ekstensor
karpi radialis longus, m. ekstensor karpi radialis brevis, m. supinator, m. digitorum, m. ekstensor
digiti kuniti, m. ekstensor karpi ulnaris, ketiga m. ekstensor polisis dan m. ekstensor indiksis. Tekanan
pada n. radialis di lengan atas menyebabkan wrist drop akut dan kadang hilangnya sensasi pada
distribusi n. radialis superfisial. Umumnya, n. radialis sering mengalami trauma pada 1/3 bagian
bawah, sehingga m. triseps dan m. brakioradialis tidak lumpuh. (Mardjono dan Sidharta, 2009)
Lesi yang sering merusak bagian atas n. radialis adalah fraktur tulang humerus, terutama bagian n.
radialis yang melilit dari bagian dorsomedial tulang humerus ke bagian ventrolateralnya. Bagian ini
sering juga terkena penekanan dan kehilangan fungsi sementara. Umumnya hal ini terjadi akibat
kelainan postur lengan atas dalam waktu lama, misalnya tidur sambil duduk dengan menempatkan
ketiak pada sandaran kursi, terutama jika tidur nyenyak karena intoksikasi alkohol, sering disebut
juga sebagai “Saturday night palsy”. Tangan menjadi menjulai dan tidak dapat didorsofleksikan (wrist
drop / drop hand). Semua otot yang disarafi n. radialis tidak dapat digerakkan, tetapi defisit sensorik
yang mengiringi hanya terbatas pada kulit dorsum manus selebar metacarpus pertama dan kedua.
(Mardjono dan Sidharta, 2009)
Gambar 3. Palsi radialis, menyebabkan wrist drop dan hilangnya sensasi pada distribusi n. radialis.
2.5.2. Polineuropati
Neuropati jenis ini menyebabkan kelainan fungsional yang simetris, biasanya disebabkan oleh
kelainan – kelainan difus yang mempengaruhi seluruh susunan saraf pusat seperti gangguan
metabolik, keracunan, keadaan defisiensi, dan reaksi imuno-alergik. Bila gangguan hanya mengenai
akar saraf spinalis maka disebut poliradikulopati dan bila saraf spinalis juga ikut terganggu makan
disebut poliradikuloneuropati. Gangguan fungsi saraf tepi terutama bagian distal tungkai dan lengan,
senosrik dan motorik. Tungkai terkena terlebih dahulu. Gangguan saraf otak otak dapat terjadi pada
polineuropati yang berat seperti kelumpuhan nervus facialis bilateral dan saraf – saraf bulbar
misalnya pada poliradikuloneuropati (sindrom Guillain-Barre). (Harsono, 2011)
Polineuropati dapat disebabkan oleh infeksi (lepra, difteri, penyakit Lyme, HIV), inflamasi (sindrom
Guillain-Barre, polineuropati demielinasi kronik, sarkoidosis, sindrom Sjorgen, vaskulitis-lupus,
poliartritis), neoplastik (paraneoplastik, paraproteinemik), metabolik (diabetes mellitus, uremia,
miksedema, amiloidosis), nutrisi ( defisiensi vitamin, teruata tiamin, niasin dan B12), toksik (alkohol,
timbal, arsen, emas, merkuri, talium, insektisida, heksana) dan obat-obatan (isoniazid, vinkristin,
sisplastin, metronidazole, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron). Polineuropati yang sering ditemukan
adalah: (Ginsberg, 2005)
a. Neuropati Diabetika
Neuropati diabetika adalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh degenerasi saraf perifer atau
otonom sebagai akibat diabetes mellitus. Neuropati merupakan komplikasi tersering pada diabetes
mellitus. Neuropati DM dapat bersifat akut dan reversibel sampai dengan bentuk kronis dan
ireversibel. Umumnya neuropati diabetika terjadi setelah adanya intoleransi glukosa yang cukup
lama.
Patofisiologi adalah pada diabetes mellitus, peranan insulin memobilisasi glukosa sangat minimal.
Dalam kondisi hiperglikemik glukosa diubah oleh aldose reduktase menjadi sorbitol. Akumulasi
sorbitol dapat terjadi 24 – 48 jam setelah hiperglikemia, terutama pada neuron, lensa, pembuluh
darah dan eritrosit. Sorbitol bersifat higroskopik, sehingga akan meningkatkan tekanan osmotik sel.
Mio-inositol merupakan bagian plasma dan membrane sel. Pada diabetes mellitus, mio inositol
banyak diekskresikan melalui urin dan sebaliknya akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel
mempengaruhi pengambilan mio-inositol. Rendahnya kadar mio-inositol ini menyebabkan gangguan
fungsi aTP-ase, sehingga terjadi gangguan konduksi saraf. Mio-inositol merupakan precursor
polifosfo-inositida yang penting dalam mengatur aksi potensial saraf. Penimbunan sorbitol dan
penurunan mio-isonitol menyebabkan gangguan pada sel Schwan dan akson. Proses ini
menyebabkan terjadinya demielinisasi dan degenerasi akson. (Harsono, 2011)
Gambaran klinik neuropati terlihat pada 20% penderita diabetes mellitus, tetapi dengan pmeriksaan
elektrofisiologi pada diabetes mellitus asimtomatik tampak bahwa penderita sudah mengalami
neuropati subklinik. Pada kasus yang jarngan, neuropati mungkin merupakan tanda awal suatu
diabetes mellitus. Bentuk-bentuk gambaran klinik neuropati diabetika adalah sebagai berikut:
(Harsono, 2011)
1) Polineuropati sensorik – mototrik simetris
Bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat dimulai dari adanya rasa tebal atau kesemutan,
terutama pada tungkai bawah dan menurunnya serta hilangnya refleks tendon Archilles. Kadang –
kadang ada rasa nyeri di tungkai. Nyeri ini dapat mengganggu penderita pada waktu malam hari,
terutama pada waktu penderita sedang tidur. Kadang – kadang penderita mengeluh sukar berjinjit
dan sulit berdiri dari posisi jongkok.
2) Neuropati otonom
Keluhan ini bermacam – macam, bergantung pada saraf otonom mana yang terkena. Penderita
dapat mengeluh diare yang bergantian dengan konstipasi, dialtasi lambunng atau disfagia. Gangguan
pengosongan kandung kemih disebabkan oleh kaarena mukosanya kurang peka lagi. Impotensi lebih
sering dijumpai dan ini semakin nyata apabila neuropati bentuk lain sudah terjadi. Impotensi terjadi
secara perlahan – lahan, mulai dari gangguan ereksi sampai gangguan ejakulasi. Gangguan
berkeringat dapat dalam bentuk hyperhidrosis, berkeringan hanya keluar banyak di sekitar wajah,
leher dan dada bagian atas, terutama sesudah makan. Sementara itu, gangguan lain dapat
berbentuk hipotensi ortostatik dan bahkan sinkop yang sulit diatasi.
Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukan tanda dan gejala klinik suatu neuropati pada penderita
diabetes mellitus. Pemeriksaan laboratorium terutama pemeriksaan darah untuk glukosa dalam
keadaan puasa dan 2 jam sesudah makan. Untuk konfirmasi diagnosis neuropati dilakukan
pemeriksaan ENMG.
b. Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu demielinasi polineuropati akut. Insidensinya sekitar 1 hingga 2
kasus per 100.000 orang per tahun. Etiologi tidak diketahui, dan penyakit ini dapat muncul spontan
atau setelah suatu prodoma virus, infeksi Mycoplasma, reaksi alergi, tindakan bedah, diduga kuat
terdapat suatu dasar imunologis. Keadaan pencetus yang paling sering dilaporkan adalah infeksi
Campylobacter jejuni, yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam. (Price dan Wilson,
2006)
Patofisiologinya ialah adanya suatu kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) mengubah sel
dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu,
limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag akan menyerang myelin. Selain itu, limfosit T
menginduksi limfosit B untuk menghasilkan antibodi yang menyerang bagian tertentu dari selubung
myelin, menyebabkan kerusakan myelin. Demielinasi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya
gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan parestesia yang berasal dari aktivitas impuls
abnormal dalam saraf sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson abnormal yang sudah rusak.
Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya
sensasi. (Price dan Wilson, 2006)
Pasien memperlihatkan kelemahan motorik yang progresif cepat dan asendens serta dapat
menyebabkan kematian akibat kegagalan otot pernapasan. Keterlibatan sensorik biasanya jauh lebih
ringan daripada disfungsi motorik. Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi
sarung tangan dan kaus kaki (gloves and stocking pattern), tetapi kadang – kadang gangguan tampak
segmental. Hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan. Temuan histopatologik dominan adalah
infiltrasi saraf perifer oleh makrofag dan limfosit reaktif, dan demielinisasi segmental. Cairan
serebrospinal biasanya memperlihatkan peningkatan kandungan protein, tetapi reaksi selnya
minimal.
Terdapat beberapa varian GBS yaitu polineuropati demielinatif inflamatori akut (AIDP), neuropati
aksonal motor akut (AMAN), dan sindroma Miller-Fisher (MFS). AIDP merupakan 90 % dari GBS yang
gejalanya dimulai dengan parestesia pada jari-jari kaki dan ujung jari tangan, diikuti kelemahan dan
arefleksia yang memberat dengan cepat. Kelemahan mencapai plato (menetap) dalam empat
minggu, setelahnya dimulai pemulihan. Beberap kasus adalah ganas, lengkap dalam satu atau dua
hari. Pada puncak penyakit ini, kebanyakan pasien lumpuh lengkap dan tidak dapat bernafas. Bahkan
dengan perawatan intensif modern, sekitar 5 % pasien tewas karena paralisis nafas, henti jantung
(mungkin karena disfungsi otonom), sepsis, dan komplikasi lain. Sepuluh persen dari yang pulih
memiliki kelemahan residual. Walau mudah mendiagnosis jenis yang klasik ini, GBS sering terlalaikan
karena tampilan klinis yang atipik seperti oftalmoplegia, ataksia, kehilangan sensori, dan
disotonomia.
Dua kelainan laboratorium utama pada GBS adalah penurunan kecepatan konduksi saraf atau blok
konduksi serta peninggian protein CSS dengan relatif sedikit sel (dissosiasi albuminositologik). Saraf
tepi memperlihatkan sel mononuklir perivenular, demielinasi (protein mielin adalah sumber
peninggian protein CSS), dan makrofag. Kerusakan aksonal, yang berperan pada defisit permanen
bervariasi dan mungkin berat. Kelainan patologi paling berat pada akar dan pleksus spinal serta
kurang nyata pada saraf yang lebih distal. Pada fase pemulihan, saraf memiliki selubung mielin tipis,
menunjukkan regenerasi mielin. AMAN memperlihatkan kerusakan akson dengan sedikit inflamasi.
Plasmaferesis / penggantian plasma dan immunoglobulin intravena adalah terapi terpilih.
Pengobatan ini telah terbukti dapat mempercepat penyembuhan sehingga mengurangi resiko
komplikasi. Prednisone oral 60mg/hari efektif pada kasus sedang, sedangkan ACT 120 ug/hari dapat
diberikan pada kasus berat. Sindrom Guillain-Barre biasanya merupakan penyakit monofasik, dengan
80% pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi, waktu untuk mencapai
kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan – bulan, yang bisa disertai nyeri,
ansietas dan depresi yang seringkali tidak disadari. Kematian terjadi pada 5 – 10% pasien akibat
disritmia jantung, emboli paru atau sepsis yang menyebabkan imobilitas. Lebih dari 10% mengalami
kecacatan permanen dan beberapa mengalami relaps. Indicator untuk prognosis yang buruk
mencakup: (Ginsberg, 2005)
1) Usia pasien yang meningkat
2) Onset kelemahan yang cepat
3) Kebutuhan ventilasi
4) Antibodi antigangliosida
5) Penyakit diare yang mendahului
6) Parameter elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan.
Polimiositis
Definisi
Polimiositis merupakan penyakit jaringan ikat menahun yang ditandai dengan peradangan yang
menimbulkan nyeri dan degenerasi dari otot-otot. Polimiositis biasanya menyebabkan kelemahan
simetris disertai atropi otot, terutama mengenai otot-otot paroksimal gelang bahu dan pelvis, leher
dan faring. Apabila peradangan otot disertai bercak merah disebut dermatomiositis.
Polimiositis dan dermatomiositis adalah inflamasi miopati idiopatik (IMI). Walaupun penyakit
tersebut diakui dapat dibedakan dari penyakit jaringan ikat lainnya, namun sulit dibedakan dengan
inflamasi otot yang menyertai penyakit autoimun.
Epidemiologi
Polimiositis dan dermatomiositis jarang terjadi, insiden pertahun 5-10 kasus per sejuta. Penyakit ini
lebih sering dijumpai pada wanita dari pada pria pada semua kelompok umur.
Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, diduga faktor pencetusnya yaitu virus atau reaksi
autoimun yang berperan dalam timbulnya penyakit ini. Picorna virus telah diidentifikasi pada otot
penderita polimiositis, dan pemeriksaan serologis juga membuktikan keterlibatan virus Coxsackie
baik pada anak maupun dewasa.
Patofisiologi
Kelainan ini diduga berhubungan dengan sistem imun tubuh. Adanya cedera otot yang diperantarai
oleh virus atau mikrovaskuler menyebabkan pelepasan dari autoantigen otot. Autoantigen ini
kemudian disampaikan ke T Limfosit oleh makrofag dalam otot. Aktifasi T Limfosit menyebabkan
proliferasi dan pelepasan sitokin seperti interferon gamma (IFN-gamma) dan Interleukin 2 (IL-2). IFN-
gamma menyebabkan aktivasi makrofag lagi dan pelepasan mediator inflamasi seperti IL-1 dan
tumor necrosis factor-alpha (TNF-alfa).
Sitokin kemudian menyebabkan ekspresi yang menyimpang dari histokompabilitas kompleks mayor
(MHC) molekul kelas I dan Iidan adesi molekul pada sel otot. Kerusakan serat otot terjadi ketika
CD8+ T Limfosit (sitotoksik) bertemu dengan antigen bersama dengan MCH molekul kelas I pada sel
otot. Makrofag kemudian menyebabkan kerusakan otot, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung melalui sekresi sitokin.
MYASTENIA GRAVIS
1. DEFINISI
a. Merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang
kerjanya kesadaran seseorang (volunter).
b. Pada kondisi ini terjadi cepatnya kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan dapat
memakan waktu 10-20 kali dari kondisi normal.
c. Serangan paling sering terjadi pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
2. PATOFISOLOGI
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan serabut otot disebut
sinaps neuromuskuler atau hubungan neuromuskuler. Hubungan neuromuskuler merupakan suatu
sinaps kimia antara saraf dan otot yang terdiri dari tiga komponen yaitu unsur presinaps, element
post sinaps, dan celah sinaps yang mempunyai lebar 200 A. Unsur presinaps terdiri dari akso
terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetil kolin yang merupakan neurotransmiter. Sedangkan
membran post sinaps memiliki reseptor asetil kolin dan sanggup menghasilkan potensial lempeng
akhir yang selanjutnya dapat mencetuskan potensial aksi otot.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neurovaskuler, maka membran akson terminal presinaps
mengalami depolarisasi sehingga aseti kolin dilepaskan dalam celah sinaps, kemudian asetil kolin
bedifusi kedalam celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetil kolin pada membran post
sinaps sehingga kan menimbulkan depolarisasi lempeng akhir (EPP) oleh karena influk ion natrium
dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba. Jika EPP mencapai ambang maka akan tejadi potensial
aksi. Potensial aksi ini yang memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot.
Pada Myastenia gravis konduksi neuromuskuler terganggu, jumlah reseptor asetilkolin berkurang,
mungkin dapat cedera auto imun. Antibody terhadap protein reseptor asetilkolin dalam serum
banyak penderita myastenia gravis. Hal ini bisa terjadi karena kerusakan resptor primer atau
sekunder oleh suatu organ primer yang belum dikenal.
Pada Myastinea gravis secara makroskopis otot-ototnya tampak normal. Namun secara mikroskopis
pada banyak beberapa kasus ditemukan infiltrasi limfoid dalam otot dan organ lain. Tapi pada otot
rangka tidak ditemukan kelainan persisten.
3. MANIFESTASI KLINIS.
4. PENATALAKSANAAN.
b. Terapi Imunosupresif
Tujuan untuk menurunkan produksi Antibody antireseptor atau mengeluarkan langsung dari
perubahan plasma.
Terapinya mencakup:
1) Terapi Kortikostiroid : Penekanan resptor imun pasien sehingga menurunkan jumlah hambatan
Antibody.
2) Pertukaran plasma ( Plasmaferesis ) : Tehnik yang memungkinkan pembuangan plasma selektif
dan komponen plasma pasien. Pertukaran plasma menghasilkan reduksi sementara dalam titer
sirkulasi antibody.
c. Pembedahan
Timektomy: ( pembedahan yang mengangkat timus ), tindakan ini mencegah pembentukan
Antireseptor Antibody.
B.Epidemiologi
Sindrom Lambert-Eaton pertama kali dihubungkan dengan kejadian kanker paru-paru. Angka insiden
dan prevalensi sindrom Lambert-Eaton tidak diketahui secara pasti, akibat jarangnya kasus ini.
Kanker lainnya yang kemungkinan dapat menimbulkan sindrom ini antara lain lymphoproliferative
disorders, timoma, keganasan pada ginjal, dan saluran reproduksi. Angka insiden sindrom Lambert-
Eaton di Amerika Serikat tidak diketahui secara pasti. Diperkirakan bahwa sekitar 3% pasien dengan
karsinoma paru (small cell lung cancer) atau sekitar 4 per 1 juta orang di Amerika Serikat mengalami
sindrom ini.3
Sindrom Lambert-Eaton yang bersifat idiopatik terjadi lebih sering pada wanita dan dapat terjadi
pada semua usia. Keadaan ini sering dihubungkan dengan gangguan autoimun pada target organ
spesifik pada pasien dan anggota keluarganya. Beberapa produk dari gen HLA, memiliki prevalensi
yang cukup tinggi sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom ini.2
C.Etiologi
Pada keseluruhan kasus, terdapat dua jenis sindrom Lambert-Eaton, yaitu yang berkaitan dengan
karsinoma dan tanpa karsinoma (idiopatik). Kedua jenis penyebab sindrom ini berkaitan dengan
penyakit autoimun.5
Pada sekitar 40 - 50% dari pasien, sindrom Lambert-Eaton terjadi sebagai akibat adanya suatu
sindrom paraneoplastik yang berhubungan dengan karsinoma paru. Penyebab sindrom Lambert-
Eaton yang bukan dari suatu karsinoma paru menyumbang hingga 50 - 60% dari keseluruhan kasus
dan terjadi sebagai penyakit autoimun idiopatik, dengan etiologi yang tidak diketahui.3
D.Patogenesis
Sindrom Lambert-Eaton adalah penyakit autoimun yang amat jarang ditemukan, dimana terjadi
gangguan pada transmisi neuromuskuler. Berbeda dengan miastenia gravis, di mana terjadi
penghambatan neurotransmiter (senyawa kimia yang mentransmisikan impuls) akibat adanya
antibodi tertentu, terjadinya sindrom ini disebabkan oleh tidak cukupnya pelepasan
neurotransmitter oleh sel saraf, sehingga pengurangan pelepasan neurotransmiter asetilkolin dari
saraf terminal ke dalam celah sinaptik. Kelainan presinaptik ini disebabkan oleh autoantibodi
terhadap protein membran sel saraf, VGCC. Saluran ini juga berfungsi sebagai zona aktif dari
membran presinaptik.2
NMJ memiliki tiga komponen dasar, yang terdiri dari 1) motor nerve terminal presinaps sebagai
tempat sintesis, penyimpanan, dan pelepasan asetilkolin; 2) ruang sinaptik, dan 3) membran sel otot
pasca sinaps, yang berisi reseptor asetilkolin dan enzim asetilkolinesterase. Transmisi neuromuskuler
dimulai ketika aksi potensial dari saraf memasuki terminal saraf dan memicu pelepasan asetilkolin.
Eksositosis vesikel sinaptik yang mengandung asetilkolin membutuhkan kalsium, yang akan masuk ke
dalam terminal depolarisasi saraf melalui VGCC. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaptik dan
berinteraksi dengan reseptor asetilkolin pada membran sel otot pasca sinaps, menyebabkan
depolarisasi lokal pada endplate potential (EPP). Jika EPP mencapai ambang batas untuk
menimbulkan potensial aksi, maka akan menimbulkan kontraksi otot. Aksi dari asetilkolin pada
membran pasca sinaptik diakhiri oleh enzim asetilkolinesterase.2
Pada sindrom Lambert-Eaton, pelepasan spontan asetilkolin berlangsung normal, namun terjadi
gangguan pada pelepasan asetilkolin dari vesikel presinaptik yang kemudian diikuti oleh depolarisasi.
Produksi antibodi presinaptik terhadap VGCC dianggap sebagai penyebab dari gangguan ini.
Penghambatan antibodi tertentu terhadap VGCC, menyebabkan kalsium tidak dapat mengalir ke
bagian terminal saraf saat terjadi depolarisasi, sehingga asetilkolin tidak dapat dilepaskan. Saat ini
telah banyak ditemukan subtipe dari kanal kalsium, namun semua ditentukan oleh kanal kalsium
subunit α1. Penelitian pada awalnya menyebutkan keterlibatan kanal kalsium tipe L- dan N- sebagai
antibodi dalam sindrom ini. Pada akhirnya, antibodi yang terbukti berhubungan dengan VGCC
subtipe P/Q. Antibodi tidak hanya menghambat voltage-gated Ca++ channel pada NMJ tetapi juga
menghadap pada reseptor muskarinik, sehingga menciptakan gangguan otonom.2
Sindrom Lambert-Eaton disebabkan oleh keadaan idiopatik atau adanya sindrom paraneoplastik
yang memproduksi suatu antibodi terhadap presynaptic voltage-gated P/Q calcium channels (VGCC),
yang mengakibatkan penurunan masuknya kalsium ke dalam terminal presinaptik, sehingga terjadi
kegagalan pengikatan vesikel pada membran presinaptik yang melepaskan asetilkolin.2
Sindrom Lambert-Eaton sangat sering dikaitkan dengan keganasan pada paru, meskipun yang
disebabkan oleh faktor idiopatik ditemukan pada hampir 40% kasus. 2
E.Manifestasi Klinis
Gejala khas dari sindrom ini sangat mirip dengan gejala umum yang ditunjukkan oleh pasien dengan
miastenia gravis, namun ada beberapa perbedaan penting dalam perkembangan penyakit ini.
Sehingga sindrom Lambert-Eaton awalnya mungkin didiagnosis sebagai miastenia gravis akibat
kesamaan gejala klinis yang ditunjukkannya.2
Karakteristik klinis sindrom Lambert-Eaton terdiri dari kelemahan dan cepat lelahnya otot proksimal
pada ekstremitas bawah yang bersifat progresif subakut, dengan berkurang atau menghilangnya
refleks peregangan otot dan didapatkannya disfungsi otonom. Diagnosis sering tertunda selama
berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun karena gejala sering tidak mengganggu dan kelainan
pada pemeriksaan fisik mungkin tidak terdeteksi pada awal perjalanan penyakit. Distribusi khas dari
kelemahan melibatkan otot fleksor pinggul dan otot-otot pinggul lainnya, otot-otot proksimal pada
ekstremitas atas, otot leher, dan otot-otot interosei. Otot-otot pinggul biasanya mengalami
kelemahan lebih parah daripada otot-otot pada ekstremitas atas sehingga menunjukkan kecacatan
yang jelas. Pasien sering mengeluh kesulitan yang timbul ketika berdiri dari posisi duduk dan menaiki
tangga dan terkadang pasien bahkan terjatuh. Pasien umumnya melaporkan bahwa kelemahan pada
otot berulang, memburuk ketika beraktivitas berat dan membaik dengan sendirinya setelah
beristirahat. Atrofi otot jarang terjadi.2
Pasien mungkin mengalami keluhan nyeri pada pinggul dan paha bagian belakang. Sekitar 25% kasus
memiliki keterlibatan saraf kranial. Ptosis, kelemahan wajah, disfagia, disartria, dan kesulitan
mengunyah dapat terjadi tetapi biasanya ringan dan cenderung terjadi dalam fase lanjut
dibandingkan dalam perjalanan penyakit dari miastenia gravis. Keterlibatan sistem pernapasan
jarang terjadi dan biasanya secara signifikan lebih ringan daripada miastenia gravis. Kejadian gagal
nafas juga amat jarang terjadi. Sekitar 80% dari pasien dengan sindrom Lambert-Eaton memiliki
gejala disfungsi otonom. Gejala gangguan otonom yang paling umum adalah disfungsi ereksi pada
pria dan xerostomia (mulut kering) pada kedua jenis kelamin.2
Gejala lainnya adalah terdapat perlambatan reaksi pupil terhadap rangsang cahaya, dismotilitas
gastrointestinal, hipotensi ortostatik, dan retensi urin. Pemeriksaan modalitas otonom dapat
mengungkapkan kelainan pada berkeringat, refleks kardiovagal, dan sekresi air liur.2
Keluhan awal yang paling umum adalah kelemahan otot proksimal pada ekstremitas bawah. Pada
pemeriksaan akan didapatkan penurunan refleks tendon dan disfungsi otonom. Keterlibatan dari
otot bulbar atau pernafasan sangat jarang ditemukan pada sindrom ini. Diagnosis dikonfirmasi
dengan pemeriksaan elektrofisiologi, melalui stimulasi repetitif. Saat ini sudah tersedia pemeriksaan
untuk mengetahui kadar serum antibodi voltage-gated calcium channel.2
F.Penegakan Diagnosis
Diagnosis sindrom Lambert-Eaton didapatkan berdasarkan keluhan dan gejala klinis, pemeriksaan
elektrodiagnostik, dan pemeriksaan antibodi (VGCC). Tanda klinis yang khas dari sindrom ini adalah
kelemahan pada otot-otot ekstremitas atas, gangguan otonom, dan arefleksia. Pada pemeriksaan
elektrodiagnostik didapatkan abnormalitas dari pemeriksaan stimulus repetitif, terutama pada
stimulasi post exercise, yaitu terjadi peningkatan (increment) CMAP lebih dari 100%. Peningkatan
amplitudo CMAP ini berlangsung singkat dan paling tinggi ketika stimulasi berikutnya dilakukan
setelah penghentian latihan otot. Stimulasi post exercise memiliki sensitivitas 84 - 96% dan
spesifisitas 100% untuk sindrom Lambert-Eaton.2
Pemeriksaan elektrodiagnostik mampu menunjang diagnostik secara spesifik dan cepat untuk
membantu menegakkan diagnosis sindrom Lambert-Eaton. Sebagai akibat terjadinya penghambatan
pada voltage-gated Ca+ channel, terjadi penurunan influks kalsium selama depolarisasi pada
membran presinaptik. Vesikel yang mengandung asetilkolin tidak mampu berikatan dengan
membran presinaptik sehingga terjadi pengurangan jumlah asetilkolin yang dilepaskan ke dalam
celah sinaptik. Oleh karena itu, hanya sedikit endplate potential yang akan mencapai ambang batas,
sehingga potensial aksi terjadi lebih sedikit dan mengurangi jumlah serat otot berkontraksi atau
sama sekali tidak menimbulkan kontraksi serat otot. Hal ini tercermin pada hasil pemeriksaan
elektrofisiologi, dimana didapatkan amplitude CMAP menurun.5
Setelah diberikan latihan dalam durasi yang singkat (10 detik), hantar saraf menunjukkan amplitudo
potensial aksi otot yang meningkat. Durasi yang singkat dari kontraksi otot ini menyebabkan terjadi
depolarisasi pada terminal saraf. Hal ini memungkinkan kalsium untuk masuk dan terakumulasi ke
dalam saraf terminal dengan lebih cepat. Hal ini disebabkan untuk meningkatkan jumlah kalsium,
vesikel harus lebih banyak terikat pada membran presinaptik sehingga lebih banyak asetilkolin yang
dilepaskan. Hal ini akan mengakibatkan kontraksi otot menjadi normal atau mendekati normal dan
amplitudo akan kembali normal. Efek ini memiliki durasi yang singkat akibat kalsium dengan cepat
dikosongkan oleh mitokondria dari saraf terminal.5
Pada hasil pemeriksaan awal, pada CMAP didapatkan amplitudo yang menurun. Pemeriksaan ENMG
single-fiber menunjukkan peningkatan jitter dan penghambatan yang mengalami perbaikan sesaat,
yang merupakan ciri khas dari sindrom ini.5
G.Penatalaksanaan
Pemilihan pengobatan yang paling penting adalah melakukan reseksi terhadap keganasan yang
berhubungan dengan sindrom ini. Namun apabila keganasan tidak ditemukan sebagai faktor
penyebab maka obat-obatan imunosupresif dan inhibitor asetilkolinesterase dapat digunakan
dengan tingkat keberhasilan cukup baik. Berdasarkan patofisiologi sindrom ini, penggunaan obat
yang mampu meningkatkan pelepasan asetilkolin dari saraf motorik presinaptik terminal diharapkan
mampu memberikan perbaikan yang signifikan pada pasien sindrom Lambert-Eaton. Pasien sindrom
Lambert-Eaton idiopatik harus melakukan skrining setiap 6 bulan dengan pencitraan thoraks untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya keganasan.6
Imunoterapi harus dipertimbangkan untuk pasien keganasan yang berespon terhadap terapi tetapi
gejala neurologis yang tidak membaik. Selain itu dapat diindikasikan untuk pasien tanpa keganasan
yang mengalami ketidakmpuan secara signifikan meskipun sudah mendapatkan terapi simptomatis.
Terapi sindrom Lambert-Eaton ini bersifat individual, dengan pertimbangan disesuaikan dengan
tingkat ketidakmampuannya, terkait kondisi medis yang mendasari dan prognosis hidup pasien.
Pemberian imunoterapi pada umumnya hampir sama seperti yang digunakan dalam terapi miastenia
gravis, meskipun respon terhadap pengobatan sering kurang sesuai dengan yang diharapkan.4
3,4-Diaminopyridine (3,4-DAP) telah terbukti memperbaiki gejala pasien dengan sindrom Lambert-
Eaton pada placebo controlled prospective trial oleh Lundh dan McEvoy. Banyak praktisi
mempertimbangkan penggunaan 3,4-DAP sebagai terapi utama untuk sindrom Lambert-Eaton. 3,4-
DAP bekerja menghambat voltage gated potassium channels pada saraf terminal, yang berperan
untuk memanjangkan potensial aksi dan pembukaan dari VGCC, meningkatkan masuknya kalsium
sehingga pelepasan asetilkolin dapat ditingkatkan. Pemberian dosis bervariasi dan dosis berulang
dapat ditingkatkan untuk mengoptimalkan respon pasien 3,4 DAP biasanya ditoleransi dengan baik
namun tidak disetujui untuk penggunaan secara klinis di Amerika Serikat. Dengan demikian, obat ini
tersedia hanya untuk penggunaan khusus seperti dalam kegiatan penelitian.4
Guanidin hidroklorida juga mampu meningkatkan pelepasan asetilkolin dari terminal saraf
presinaptik. Guanidin meningkatkan kalsium dalam terminal saraf oleh menghambat pengambilan
kalsium oleh organela subselular. Penggunaan guanidin sudah sangat terbatas karena potensi
hematopoietik dan toksik pada ginjal. Golongan penghambat asetilkolinesterase kadang diberikan
juga. Namun pemberian obat ini memiliki manfaat yang terbatas, melalui mekanisme
memperlambat metabolisme dari kondisi dengan jumlah asetilkolin yang rendah. Secara klinis,
kolinesterse inhibitor tidak efektif sebagai monoterapi. Peningkatan manfaatnya apabila
digabungkan dengan obat yang memfasilitasi pelepasan asetilkolin, seperti 3,4 DAP atau guanidin.
Pada pasien yang gagal berespon terhadap terapi simptomatis, imunoterapi adalah salah satu
pilihannya.4
Plasmafaresisdan intravenous immunoglobulin (IVIG) dapat digunakan untuk imunoterapi jangka
pendek karena memberikan awal yang relatif cepat tetapi keuntungan jangka pendek. Respon klinis
untuk plasmafaresis terjadi sekitar 10 hari dan untuk IVIG sekitar 2 minggu, agak lebih lambat
dibandingkan respon terapi pada pasien miastenia gravis. Manfaat dari kedua terapi ini berlangsung
sekitar 6-8 minggu. Indikasi dilakukan plasmafaresis dan IVIG pada pasien dengan kelemahan yang
parah, atau keterlibatan bulbar dan otot pernapasan.
NYERI
A. Pengertian
Nyeri adalah suatu perasaan yang tidak menyenangkan dan disebabkan oleh stimulus spesifik seperti
mekanik, termal, kimia atau elektrik pada ujung-ujung syaraf serta dapat diserahterimakan kepada
orang lain.
Nyeri adalah suatu sensori yang tidak menyenangkan dari suatu pengalaman emosional disertai
kerusakan jaringan secara aktual maupun potensial atau kerusakan jaringan secara menyeluruh.
Wolf welfsel Feurst (1974) Mengatakan bahwa nyeri merupakan suetu keadaan atau peraaa
menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang dapat menimbulkan ketegangan.
Tamsuri, 2007 mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya.
B. Etiologi
Adapun Etiologi Nyeri yaitu:
1. Trauma pada jaringan tubuh, misalnya kerusakkan jaringan akibat bedah atau cidera.
2. Iskemik jaringan.
3. Spasmus otot merupakan suatu keadaan kontraksi yang tak disadari atau tak terkendali, dan
sering menimbulkan rasa sakit. Spasme biasanya terjadi pada otot yang kelelahan dan bekerja
berlebihan, khususnya ketika otot teregang berlebihan atau diam menahan beban pada posisi yang
tetap dalam waktu yang lama.
4. Inflamasi pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada
pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.
5. Post operasi setelah dilakukan pembedahan.
C. Klasifikasi
1. Nyeri akut
Selang waktunya lebih singkat dengan tanda – tanda klinis antara laina berkeringat banyak, tekanan
darah naik, nadi naik, pucat dan dengan respon pasien, umunya menaggis, teriak atau mengusap
daerah yang nyeri.
2. Nyeri kronik
Mempunyai selang waktu yang lebik lama dan dapat berlangsung lebih dari enam bulan.
3. Nyeri intensitasnya
- nyeri berat ( 7 – 10 )
- nyeri sedang ( 3 – 6 )
- nyeri ringan ( 0 – 3 )
4. Nyeri berdasarkan tempatnya
a. Pheriperal pain, yakni nyeri yang terasa pada permukaan tubuh,misalnya pada kulit, mukosa.
b. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-
organ tubuh visceral.
c. Refered pain, yakni nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh
yang ditransmisikan kebagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
d. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord,
batang otak, talamus dan lain-lain.
5. Nyeri berdasarkan sifatnya
a. Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
b. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu lama.
c. Proxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut
biasanya ± 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
D. Patofisiologi
Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki
medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya samapai didalam
massa berwarna abu – abu di medula spinalis. Terdapat tesan nyeri dapat berinteraksi dengan
inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan
kekorteks cerebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks cerebral, maka otak
menginterprestasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan
pengetahuan yang lalu serta asosoasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri.
Semua kerusakan seluler disebabkan oleh stimulus termal, mekanik, kimiawi atau stimulus listrik
menyebabkan pelepasan substansi yang mengahasilkan nyeri
F. Manifestasi Klinis
1. Gangguam tidur
2. Posisi menghindari nyeri
3. Gerakan meng hindari nyeri
4. Raut wajah kesakitan (menangis,merintih)
6. Perubahan nafsu makan
7. Tekanan darah meningkat
8. Nadi meningkat
9. Pernafasan meningkat
10. Depresi
1. Non farmakologi
a. Relaksasi distraksi, mengalihkan perhatian klien terhadap sesuatu
b. Contoh : membaca buku, menonton tv , mendengarkan musik dan bermain
c. Stimulaisi kulit, beberapa teknik untuk stimulasi kulit antara lain :
1). Kompres dingin
2). Counteriritan, seperti plester hangat.
2. Farmakologi adalah obat:
a. Obat
b. Injeksi