Tutorial MG 4 Blok 3.3
Tutorial MG 4 Blok 3.3
c. Manifestasi Klinis
Gejala utama pada penyakit delirium adalah kesadaran yang menurun. Gejala-gejala lain adalah
penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik, ada yang bingung atau
cemas, gelisah dan panik, ada pasien yang terutama berhalusinasi dan ada yang hanya berbicara
komat-kamit dan inkoherent.
d. Penalaksanaan
a) Penderita harus dijaga terus, lebih-lebih ia sangat gelisah, sebab ia berbahaya untuk diri sendiri
(jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun untuk orang lain.
b) Dicoba menenangkan penderita dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau dengan
kompres es, penderita mungkin menjadi lebih tenang bila ia melihat orang tua, barang yang ia kenal
dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap, penderita tidak tahan terlalu di isolasi. Terhadap
gejala-gejala psikiatrik, bila sangat mengganggu dapat diberi neroleptika, terutama yang mempunyai
dosis efektif tinggi.
c) Bila kondisi ini merupakan foksisitas antikolinergik digunakan fisostigmin salisilat 1-2 mg IV atau
im. (dosis 15-30 menit)
d) Dilakukannya terapi untuk memberi dorongan perbaikan fisik sensorik dan lingkungan
e) Untuk gejala-gejala psikosis digunakan haloperidol 2-10 ms
f) Insomnia diobati dengan benzodiazepin.
B. Demensia
a) Definisi
Suatu sindrom akibat penyakit/gangguan otak yang biasanya bersifat kronik-progresif,yang ditandai
oleh berbagai gangguan fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran, gangguan fungsi kognitif antara
lain pada intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi,
perhatian dan konsentrasi, penyesuaian dan kemampuan bersosialisasi .
b) Etiologi
Sebagian besar disebabkan oleh penyakit alzheimer dan vaskular. Penyebab lain adalah parkinson,
HIV dan trauma kepala ,serangan stroke yang berturut-turut, cedera otak atau cardiac arrest , Faktor
genetik,Gangguan elektrolit, Hipoksia ,Anoreksia, gangguan jantung dan fungsi pernapasan
,Ensefalopati uremik kronik ,Obat-obatan, logam dan paparan kimiawi industri.
2.4.2.3 Manifestasi Klinis
1. Pada stadium awal, pasien menunjukkan kesulitan untuk mempertahankan kinerja mental fatig
dan cenderung gagal bila diberi suatu tugas baru atau kompleks.
2. Orientasi, daya ingat, persepsi dan fungsi intelektual pasien memburuk
3. Pasien tampak introvert dan kurang peduli terhadap akibat tingkah lakunya
4. Diperkirakan 20-30% pasien tipe Alzheimer mengalami halusinasi dan 30-40% mempunyai gejala
waham, terutama waham curiga dan tidak sistematik
5. Terdapat depresi dan ansietas pada sebagian besar pasien. Pasien dapat mengalami afasia,
apraksia dan agnosia
6. Kejang.
2.4.2.4 Penatalaksanaan
Demensia dapat disembuhkan bila tidak terlambat. Secara umum, terapi pada demensia adalah
perawatan medis yang mendukung, memberi dukungan emosional pada pasien dan keluarganya,
serta farmakoterapi untuk gejala yang spesifik. Terapi simtomatik meliputi diet, latihan fisik yang
sesuai, terapi rekreasional dan aktivitas, serta penanganan terhadap masalah-masalah lain.
Sebagai farmakoterapi, benzodiazepin diberikan untuk ansietas dan insomnia, anti depresan untuk
depresi, serta anpsikotik untuk gejala waham dan halusinasi (Arif Mansjoer, 2001; 192).
Sementara itu takrin telah digantikan oleh donepezil, yang menyebabkan lebih sedikit efek samping
dan memperlambat perkembangan penyakit alzheimer selama 1 tahun atau lebih. Ibuprofen juga
bisa memperlambat perjalanan penyakit ini. Obat ini paling baik jika diberikan pada stadiun dini.
(http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=698)
2.4.3.6 Penatalaksanaan
Untuk mempercepat pemulihan amnesia biasanya diberikan terapi atau obat-obatan yang
meningkatkan fungsi otak. Diluar terapi dan obat-obatan, cara yang paling ampuh adalah
menyediakan kondisi yang memberi rasa aman bagi penderita. Kebanyakan penderita amnesia justru
sembuh bukan diruang praktek, namun ketika menjalani kehidupan secara normal. Teknik
mengingat kembali sering kali berhasil. Menggunakan hipnotis atau wawancara yang diawali dengan
obat (wawancara dilakukan setelah orang tersebut tenang dengan obat secara infus seperti
amobarbital atau midazolam), dokter menanyakan orang yang amnesia mengenai masa lalunya
2. ETIOLOGI
a. Etiologi organobiologik: zat psikoaktif.
Ada 3 kelompok besar dari zat psikoaktif yang disalahgunakan, yaitu depresan, stimulant dan
halusinogen (psychedelics). Depresan adalah obat yang menghambat atau mengekang aktivitas
system saraf pusat. Obat ini mengurangi rasa tegang dan cemas, menyebabkab gerakan melambat
dan merusak proses kognitif. Dalam dosis tinggi, obat dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan
kematian. Contoh depresan: alcohol, barbiturate, opioid/narkotik. Stimulan merupakan obat yang
meningkatkan aktivitas system saraf. Beberapa jenis obat ini menyebabkab perasaan euphoria dan
percaya diri. Jenis dari stimulant adalah amfetamin, ekstasi, kokain dan nikotin. Sedangkan zat
halusinogen adalah obat yang menghasilkan distorsi sensoria tau halusinasi, termasuk perubahan
besar dalam persepsi warna dan pendengaran. Contoh obat: lysergic acid diethylamide/LSD,
phencyclidine/PCP dan mariyuana (Nevid, et al., 2005).
b. Etiologi psikologik: konflik, suatu pertentangan batin,frustasi, gagal dalam mencapai tujuan, tidak
terpenuhi kebutuhan psikologis seperti rasa aman, nyaman, perhatian, dan kasih sayang.
c. Etiologi sosiokultural: problem keluarga, problem dengan lingkungan, pendidikan, pekerjaan,
perumahana, ekonomi, akses pelayanan kesehatan, problem hukum/criminal dan problem
psikososial lainnya.
Efek Amfetamin :
1) Efek Psikologis dan Fisik akut :
• Peningkatan stimulasi, insomnia, dizziness, tremor ringan
• Euforia/disforia, bicara berlebihan
• Meningkatkan rasa percaya diri dan kewaspadaan diri
• Cemas, panik
• Supresi nafsu makan
• Dilatasi pupil
• Peningkatan energi, stamina dan penurunan rasa lelah
• Dengan penambahan dosis.dapat meningkatkan libido
• Sakit kepala
• Gemerutuk gigi
• Stereotipi atau perilaku yang sukar ditebak
• Perilaku kasar atau irasional, mood yang berubah-ubah, termasuk kejam dan agresif
• Bicara tak jelas
• Paranoid, kebingungan dan gangguan persepsi
• Sakit kepala, pandangan kabur, dizziness
• Psikosis (halusinasi. delusi, paranoia)
• Gangguan cerebrovaskular
• Kejang
• Koma
• Gemerutuk gigi
• Distorsi bentuk tubuh secara keseluruhan
Kardiovaskular
• Takikardia (mungkin juga bradikardi .hipertensi)
• Palpitasi, aritmia
• Stimulasi kardiak (takikardia, angina, Ml)
• Vasokonstriksi/hipertensi
• Kolaps kardiovaskuler
Pernapasan
• Peningkatan frekwensi napas dan kedalaman pernapasan
• Kesulitan bernapas/gagal napas
Gastrointestinal
• Mual dan muntah
• Konstipasi, diare atau kram abdominal
• Mulut kering
• Mual dan muntah
• Kram abdominal
Kulit
• Kulit berkeringat, pucat
• Hiperpireksia
• Kemerahan atau flushing
• Hiperpireksia, disforesis
Otot
Peningkatan refleks tendon
3) Gejala Intoksikasi:
a. Agitasi
b. Kehilangan berat badan
c. Takikardia
d. Dehidrasi
e. Hipertermi
f. Imunitas rendah
g. Paranoia
h. Delusi
i. Halusinasi
j. Kehilangan rasa lelah
k. Tidak dapat tidur
l. Kejang
m. Gigi gemerutuk, rahang atas dan bawah beradu
n. Stroke
o. Masalah kardiovaskular
p. Kematian
e. Heroin
Merupakan golongan opoida semi sintetik, Heroin dibuat dari getah buah poppy. Dijual dalam
bentuk bubuk putih atau coklat. Digunakan dengan cara disuntik, di rokok ataupun dihidu .
Pengguna heroin di Indonesia menjadi ancaman besar penyebaran HIV/AIDS, hepatitis C dan B.
Penggunaan heroin secara terus menerus berkesinambungan mendorong terjadinya toleransi dan
ketergantungan. Dosis yang terus meningkat membuat penggunanya masuk dalam overdosis,
meskipun overdosis juga merupakan dorongan dari keinginan bunuh diri. Jika pengguna dengan
ketergantungan mengurangi atau menghentikan penggunaannya akan mengalami gejala putus zat
yakni gelisah, rasa nyeri otot dan
tulang, diare, muntah dan merinding.
1) Efek Opioid
Sistim saraf
• Analgesi
• Euforia
• Sedasi, mengantuk, depresi pernapasan
• Penekanan refleks batuk
• Pupil konstriksi
Gastroitestinal
• Mual dan muntah
• Konstipasi
• Spasme bilier (peningkatan tonus sfingter)
Endokrin
• Perubahan hormon sex pada wanita ( kadar FSH dan LH rendah, peningkatan kadar prolaktin)
berdampak pada gangguan siklus menstruasi , penurunan libido, galaktorrhea
• Penurunan kadar testosteron pada laki laki,penurunan libido
• Meningkatnya hormon anti diuretik (ADH), penurunan kadar ACTH
Lainnya
• Gatal-gatal, berkeringat, kulit kemerahan (reaksi histamin)
• Kekeringan pada daerah mulut.mata dan kulit pengeluaran urin yang sulit
• Tekanan darah rendah
f. Ganja
Ganja merupakan kumpulan daun, tangkai, buah kanabis sativa yang dikeringkan dan dirajang. Ganja
dapat pula diolah dalam bentuk minyak hashish yang merupakan cairan pekat berwarna coklat.
Penggunaannya adalah dengan cara dirokok dengan atau tanpa tembakau (dilinting), dengan pipa,
atau digunakan dalam campuran dengan zat lainnya. Penggunaan dengan cara dicampur makanan
dan diseduh seperti teh juga ditemukan di beberapa tempat, namun demikian pengolahan ganja
dengan cara dimasak seperti ini melarutkan sebagian besar zat aktif ganja. Zat aktif dalam ganja
adalah THC (delta-9- tetrahydrocannabinol). Membran sel syaraf tertentu dalam otak yang
mengandung reseptor protein akan mengikat erat THC. Baunya menyengat asam-manis.
Penggunaan terus menerus dalam waktu yang lama akan mengakibatkan kerusakan memori, proses
belajar dan perilaku sosial sehingga penggunanya meninggalkan berbagai aktivitas sekolah/kerja dan
interaksi sosial. Karena reaksi terhadap rangsang melambat, maka pengguna sering mengalami
kecelakaan, juga dapat terlibat pada berbagai masalah hukum. Penggunaan dirokok akan
memberikan risiko kanker paru, dan risiko infeksi dalam jangka panjang. Karena jumlah zat kimia
serta tar pada ganja lebih banyak dari tembakau, maka risiko penggunaannya lebih besar dari
penggunaan rokok tembakau itu sendiri. Kanabis tidak menyebabkan overdosis yang fatal. Ganja
akan memberikan dampak sebagai berikut:
a. Sulit mengingat sesuatu
b. Waktu reaksi melambat
c. Sulit konsentrasi
d. Mengantuk dan tidur
e. Anxietas
f. Paranoia
g. Mempengaruhi persepsi seseorang atas waktu
h. Mata merah
1) Intoksikasi/Overdosis Opioida :
a. Merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan secara cepat
b. Atasi tanda vital (Tekanan Darah, Pernafasan, Denyut Nadi, Temperatur suhu badan)
c. Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis 0,01 mg/kg.BB secara iv, im, sc
d. Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi penurunan kesadaran
e. Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital
3) Intoksikasi Kanabis
a. Umumnya tidak perlu farmakoterapi dapat diberikan terapi supportif dengan 'talking down'
b. Bila ada gejala ansietas berat:
• Lorazepam 1-2 mg oral
• Alprazolam 0.5 - 1 mg oral
• Chlordiazepoxide 10-50 mg oral
c. Bila terdapat gejala psikotik menonjol dapat diberikan Haloperidol 1-2 mg oral atau i.m ulangi
setiap 20-30 menit
4. Intoksikasi Alkohol
a. Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 ml Dextrose 40%
b. Kondisi Koma :
• Posisi menunduk untuk cegah aspirasi
• Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit
• Injeksi Thiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke Encephalopathy. Lalu 50 ml
Dextrose 40% iv (berurutan jangan sampai terbalik)
c. Problem Perlaku (gaduh/gelisah):
• Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif
• Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau merasa terancam
• Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
• Beri dosis rendah sedatif; Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5 mg oral, bila gaduh gelisah berikan
secara parenteral (i.m)
5) Intoksikasi Halusinogen
a. Intervensi Non Farmakologik :
• Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung
• Reassurance : bahwa obat tersebut menimbulkan gejala-gejala itu ; dan ini akan hilang dengan
bertambahnya waktu (talking down)
b. Intervensi Farmakologik:
• Pilihan untuk bad trip (rasa tidak nyaman) atau serangan panik
• Pemberian anti ansietas ; Diazepam 10-30 mg oral /im/iv pelan atau Lorazepam 1-2 mg oral
Adiksi
Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap hal-hal tertentu yang
menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang mengalaminya. Dalam adiksi, terdapat tuntutan
dalam diri penyalahguna narkoba untuk menggunakan secara terus menerus dengan disertai
peningkatan dosis terutama setelah terjadinya ketergantungan secara fisik dan psikis serta terdapat
pula ketidak mampuan untuk mengurangi atau menghentikan konsumsi narkoba meskipun sudah
berusaha keras.
Adiksi atau ketergantungan terhadap narkoba merupakan suatu kondisi dimana seseorang
mengalami ketergantungan secara fisik dan psikologis terhadap suatu zat adiktif.
Adiksi narkoba adalah suatu masalah yang sangat kompleks. Untuk itu perlu dipahami bagaimana
karakteristik adiksi itu sendiri. Roger & McMillins (1991) mengatakan bahwa adiksi dapat
digolongkan sebagai suatu “penyakit” yang memiliki kriteria sebagai berikut :
• Merupakan penyakit primer
Seringkali tidak diperlukan suatu kondisi awal khusus untuk dapat menyebabkan seseorang menjadi
penyalahguna.
• Kronis
Penyakit adiksi ini merupakan kondisi yang berulangkali kambuh dan terus menerus menerus
menginggapi penyalahguna narkoba seumur hidupnya. Yang mendorong dirinya untuk tidak
terjerumus adalah dukungan dari lingkungannya (terutama keluarga sebagai kelompok sosial inti),
adaptasi sikap sesuai dalam menghadapi masalah ini, dan komitmen pribadi yang lagi-lagi muncul
selain dari dalam diri penyalahguna, juga karena dukungan lingkungannya.
• Progresif
Penyakit adiksi dengan kondisi fisik dan psikologis penderita semakin lama akan mengarah pada
keadaan yang memburuk.
• Potential fatal
Bila tidak ditolong dapat mengakibatkan kematian atau mengalami komplikasi medis, psikologis dan
sosial yang serius.
Dampak penyakit adiksi :
Bagi penyalahguna, dalam kecanduan seseorang terdapat suatu lingkaran yang tidak berhenti
kecuali seseorang mulai melakukan intervensi (memutuskan pola adiksi tersebut) pada intinya,
lingkaran ini menjelaskan ketidaknyamanan yang dialami seorang penyalahguna dimana dia
menggunakan narkoba sebagai sarana untuk meningkatkan kondisinya, yang selanjutnya justru akan
mendorong penyalahguna tersebut untuk mengalami rasa tidak nyaman kembali.
Keadaan fisik dan psikis yang muncul ketika penyalahguna narkoba mulai mengalami
ketergantungan narkoba menyebabkan ketidaknyamanan yang ditunjukan oleh perubahan perilaku
dan ekspresi verbal dan non vebal.
Pola perilaku negatif pada diri penyalahguna narkoba tersebut menambah parah keadaan psikis yang
sebaliknya akan juga memperburuk keadaan perilaku penyalahguna narkoba tersebut.
Berbagai macam pola negative (fisik, psikis, dan perilaku) mendorong penyalahguna narkoba untuk
harus mengkonsumsi narkoba, hal ini akan memperburuk kembali keadaan fisik dan psikisnya dan
akan membentuk perilaku yang semakin negatif.
Tahap-tahap perubahan :
Sebagai suatu penyakit kronis, adiksi tidak dapat disembuhkan. Pulih merupakan kata yang lebih
tepat dalam menggambarkan upaya seseorang mengatasi penyakit ini. Pemulihan (recovery)
seorang penyalahguna narkoba berlangsung seumur hidup dimana dia dan lingkungannya harus
berjalan beriringan dalam mempertahankan pemulihan mereka.
Tujuan pemulihan diawali oleh stabilitas fisik penyalahguna. Selanjutnya diarahkan agar
penyalahguna memandang dirinya serta lingkungannya melalui sudut pandang yang positif disertai
dengan penerimaan diri, sehingga penyalahguna menyadari dirinya sebagai individu yang memiliki
peran, hak serta kewajiban di dalam masyarakat. Dalam proses tersebut penyalahguna tidak akan
dapat mempertahankan pemulihannya jika tidak didukung oleh pola interaksi yang sehat dengan
lingkungan.
Pada dasarnya program pemulihan ditargetkan kepada proses reintegrasi penyalahguna ke
masyarakat umum dimana dirinya memiliki peran serta kualitas hidup yang memadai untuk hidup
wajar sebagai bagian dari masyarakat.
Memotivasi individu yang mengalami ketergantungan pada narkoba untuk mau menghentikan pola
penggunaan zatnya bukanlah hal mudah. Ada tahap-tahap perubahan yang dialami oleh seorang
penyalahguna narkoba yang mempengaruhi proses pemulihannya.
3. GANGGUAN PSIKOTIK
SKIZOFRENIA
3.1.1Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah”atau “pecah”, dan “phren”
yang artinya “jiwa”. Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis atau kambuh di tandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism) antara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang terkena.
Perpecahan pada pasien digambarkan dengan adanya gejala fundamental (atau primer) spesifik,
yaitu gangguan pikiran yang di tandai dengan gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi.
Gejala fundamental lainnya adalah gangguan afektif, autisme dan ambivalensi. Sedangkan gejala
sekunder adalah waham dan halusinasi.
Berdasarkan DSM-IV, skizofrenia merupakan gangguan yang terjadi dalam durasi paling sedikit
selama enam bulan, dengan satu bulan fase aktif gejala (atau lebih) yang di ikuti munculnya delusi,
halusinasi, pembicaraan yang tidak terorganisir dan adanya perilaku yang katatonik serta adanya
gejala negatif.
3.1.2Epidemiologi
Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada suatu waktu dalam hidupnya.
Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua persen penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa
akan terkena penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang terjangkit
penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa kini sedang mengidap skizofrenia.
Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada usia 16 sampai 25 tahun pada
laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun.
Penyakit yang satu ini cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.
3.1.3Etiologi
Etiologi atau penyebab skizofrenia yang lebih rinci dijelaskan oleh Kaplan dan Sadock (1997) sebagai
berikut:
a. Model diatesis-stress
Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan lingkungan adalah model
diatesis-stress. Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan
memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.
b. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofiologis untuk daerah tertentu di otak
termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling
berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin melibatkan patologi
primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial untuk patologi primer pasien
skizofrenik.
c. Genetika
Penelitian klasik awal tentang genetika dari skizofrenia dilakukan di tahun 1930-an yang menemukan
bahwa seseorang kemungkinan menderita skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita
skizofrenia adalah berhubungan dengan dekatnya hubungan persaudaraan tersebut. Populasi
Prevalensi dalam populasi umum 1%, saudara kandung pasien skizofren 8%, anak dengan salah satu
orangtua skizofren 12%, kembar dua telur dari pasien skizofren 12%, anak dengan kedua orangtua
skizofren 40%, kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %.
d. Faktor psikososial
Klinisi harus mempertimbangkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi skizofrenia karena
para ahli telah membuktikan bahwa terapi obat saja tidak cukup untuk mendapatkan perbaikan
klinis yang maksimal. Secara historis telah diperdebatkan bahwa suatu faktor psikososial secara
langsung dan secara kausatif berhubungan dengan perkembangan skizofrenia.
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas
dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk klozapin, khasiat
dan potensi antipsikotik berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis
reseptor dopaminergik tipe 2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik
(seperti amfetamin) merupakan salah satu psikotomimetik. Namun belum jelas apakah
hiperaktivitas dopamin ini karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya
reseptor dopamin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah mengenai
hipotesa ini, dimana hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas untuk skizofrenia karena antagonis
dopamin efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua,
beberapa data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan
kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang dengan obat antipsikotik.
Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan
keadaan hipodopaminergik.
Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur dopamin yaitu:
1. Mesolimbik dopamin pathways: merupakan hipotesis terjadinya gejala positif pada penderita
skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian
ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumbens di daerah limbik. Jalur
ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham dan
gangguan pikiran. Antipsikotik bekerja melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor
dopamin D2. Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamin pathways menyebabkan gejala positif
meningkat.
2. Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah VTA ke daerah serebral korteks
khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai mediasi dari
gejala negatif dan kognitif pada penderita skizofrenia. Gejala negatif dan kognitif disebabkan
terjadinya penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal
korteks. Penurunan dopamin di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer dan
sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau
melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2. Peningkatan dopamin pada mesokortikal dapat
memperbaiki gejala negatif atau mungkin gejala kognitif.
3. Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia nigra pada batang otak ke daerah
basal ganglia atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal. Penurunan
dopamin di nigostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan gangguan pergerakan seperti yang
ditemukan pada penyakit parkinson yaitu rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau
peningkatan dopamin di jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan hiperkinetik
seperti korea, diskinesia.
4. Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah hipotalamus ke hipofisis
anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular dopamin pathways mempengaruhi oleh inhibisi
dan penglepasan aktif prolaktin, dimana dopamin berfungsi melepaskan inhibitor pelepasan
prolaktin. Sehingga jika ada gangguan dari jalur ini akibat lesi atau penggunaan obat antipsikotik,
maka akan terjadi peningkatan prolaktin yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea, amenorea
atau disfungsi seksual.
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti mengenai hubungannya
dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas
dengan serotonin. Selain itu, beberapa peneliti melaporkan pemberian antipsikotik jangka panjang
menurunkan aktivitas noradrenergik
3.1.4Tipe-Tipe Skizofrenia dan Kriteria Diagnostiknya
Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan di muka, dalam PPDGJ III
skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang
kriterianya di dominasi dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Skizofrenia Paranoid
- Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak
nyata / menonjol
- Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik
tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh
halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c)Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control),
dipengaruhi (delusion of influence), atau “Passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-
kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.
Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada pasien skizofrenik terdisorganisasi
atau katatonik jika mereka mengalami episode pertama penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid
cenderung lebih besar dari pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid
menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon emosional, dan perilakunya
dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik. Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang,
pencuriga, berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.
b. Skizofrenia Hebefrenik
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda
(onset biasanya mulai 15-25 tahun).
- Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang menyendiri (solitary), namun
tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.
- Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2
atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan.
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan
hampa perasaan.
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering disertai oleh cekikikan
(giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases)
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol.
Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary
delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku
tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose). Adanya suatu preokupasi yang
dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.
c. Skizofrenia Katatonik
- Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia
- Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta
aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh
stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan posisi
tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya
untuk menggerakkan, atau pergerakkan kearah yang berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya menggerakkan
dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / ”waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi
yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap
perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
- Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis
skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-
gejala lain.
- Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk
skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol
dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan pengawasan yang ketat
untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain. Perawatan medis mungkin
ddiperlukan karena adanya malnutrisi, kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh
dirinya sendiri.
d. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated)
Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah dimasukkan kedalam salah satu
tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut
PPDGJ III yaitu:
- Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
- Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.
- Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.
e. Depresi Pasca-Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis umum skizzofrenia) selama
12 bulan terakhir ini;
(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya);
dan
(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode
depresif, dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi episode depresif. Bila
gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe
skizofrenia yang sesuai.
f. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua :
(a) Gejala “negative” dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas
menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau
isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria
untuk diagnosis skizofenia;
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang
nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom
“negative” dari skizofrenia;
(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis atau
institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negative tersebut.
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus menerus adanya gangguan
skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi
tipe lain skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang tidak
logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau
halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.
g. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan
perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari :
- Gejala “negative” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham,
atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
- Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai
kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri
secara sosial.
- Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya
sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai
menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur, atau penjahat.
h. Skizofrenia Lainnya
i. Skizofrenia YTT
3.1.6Gejala dan Gambaran Klinis Skizofrenia
Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut Bleuler, yaitu primer dan
sekunder.
Gejala-gejala primer :
Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain didalamnya yang berpikir,
timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan pikiran atau “pressure of thoughts”. Bila suatu ide
berulang-ulang timbul dan diutarakan olehnya dinamakan preseverasi atau stereotipi pikiran.
Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada inkoherensi sering tidak ada
hubungan antara emosi dan pikiran, pada pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi
biasanya jalan pikiran tidak dapat diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat cepat,
tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.
a. Fase prodromal
Fase prodormal ditandai dengan deteriorasi yang jelas dalam fase kehidupan, sebelum fase aktif
gejala gangguan dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau akibat gangguan penggunaan zat,
serta mencakup paling sedikit dua gejala dari kriteria A pada criteria diagnosis skizofrenia. Awal
munculnya skizofrenia dapat terjadi setelah melewati suatu periode yang sangat panjang, yaitu
ketika seorang individu mulai menarik diri secara social dari lingkungan.
Individu yang mengalami fase prodromal dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga
bertahun-tahun, sebelum gejala lain yang memenuhi kriteria untuk menegakkan diagnosis
skizofrenia muncul. Individu dengan fase prodormal singkat, perkembangan gejala gangguannya
lebih jelas terlihat daripada individu yang mengalami fase prodormal panjang
c. Fase residual
Fase residual terjadi setelah fase aktif gejala paling sedikit terdapat dua gejala dari kriteria A pada
criteria diagnosis skizofrenia yang bersifat menetap dan tidak disebabkan oleh gangguan afek atau
gangguan penggunaan zat. Dalam perjalanan gangguannya, beberapa pasien skizofrenia mengalami
kekambuhan hingga lebih dari lima kali. Oleh karena itu, tantangan terapi saat ini adalah untuk
mengurangi dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Penegakan diagnosis dapat menghasilkan dua kemungkinan, yaitu prognosis positif apabila di
dukung oleh beberapa aspek berikut, seperti onset terjadi pada usia yag lanjut, faktor pencetusnya
jelas, adanya kehidupan yang relatif baik sebelum terjadinya gangguan dalam bidang social,
pekerjaan dan seksual, fase prodromal terjadi secara singkat, munculnya gejala gangguan mood,
adanya gejala positif, sudah menikah dan adanya system pendukung yang baik.
Sedangkan prognosis negatif dapat ditegakkan apabila muncul beberapa keadaan seperti berikut:
onset gangguan lebih awal, faktor pencetus tidak jelas, riwayat kehidupan sebelum terjadi gangguan
kurang baik, fase prodromal terjadi cukup lama, adanya perilaku yang autistik, melakukan perlarian
diri, statusnya lajang, bercerai atau pasangan meninggal, adanya riwayat keluarga yang mengidap
skizofrenia, munculnya gejala negatif, sering kambuh secara berulang dan tidak adanya system
pendukung yang baik
GANGGUAN WAHAM
A. Definisi
Gangguan waham didefinisikan sebagai suatu gangguan gangguan psikiatri yang didominasi oleh
gejala-gejala waham (Kaplan, 2013). Waham (delusi) adalah kepercayaan yang salah yang didasari
kesimpulan yang salah tentang kenyataan luar, tidak sesuai dengan latar belakang intelegensi dan
kebudayaan pasien, serta tidak bisa dikoreksi dengan penalaran (Nuhriawangsa, 2014).
B. Etiologi
Menurut Kaplan (2012), etiologi gangguan waham masih belum diketahui secara pasti. Ada
beberapa dugaan mengenai penyebab terjadinya gangguan waham, antara lain dilihat dari faktor
genetik, dimana didapatkan data bahwa gangguan waham lebih sering terjadi pada seseorang
dengan riwayat keluarga menderita penyakit yang sama atau menderita skizofrenia. Selain itu,
gangguan waham juga dapat dipengaruhi dari faktor biologikal yang menghubungkan adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter di otak dengan kejadian gangguan waham.
C. Epidemiologi
Sebuah studi di Spanyol pada tahun 2008 di sebuah rumah sakit, didapatkan data 370 pasien dirawat
dan didiagnosis dengan gangguan waham menetap, dimana ditemukan rata-rata usia pasien-pasien
adalah 55 tahun. Wanita lebih sering menderita gangguan waham menetap dibandingkan laki-laki
dengan rasio 3:1 (Chopra et al., 2011).
Menurut Kaplan et al. (2013), Insidensi gangguan waham menetap yaitu 1 sampai dengan 3 kasus
baru per 100.000 populasi, usia rata-rata pasien kurang lebih 40 tahun, dengan rentang usia untuk
onsetnya berkisar 18-90 tahun.
D. Patofisiologi
Waham tidak selalu menjadi tanda adanya gangguan/penyakit, tetapi juga merupakan tanda bahwa
pasien secara aktif mencoba untuk mengatasi situasi dirinya yang mengalami kemunduran, pasien
berusaha mencoba untuk kembali ke keadaan yang sebelumnya baik. Permasalahan terbesar pasien
adalah adanya kebutuhan untuk mewujudkan apa yang dia harapkan menjadi kenyataan (Cameron,
2013)
Menurut Cameron (2013), waham terjadi sebagai manifestasi dari adanya keinginan atau usaha
seseorang untuk memasukkan material fantasi dengan kenyataan hidup sehari – hari. Ada teori yang
disebut khayalan termotivasi atau defensif. Yang satu ini menyatakan bahwa beberapa dari mereka
orang-orang yang cenderung akan menderita timbulnya gangguan delusional di saat-saat ketika
menghadapi kehidupan dan menjaga harga diri yang tinggi menjadi tantangan signifikan. Dalam hal
ini, pandangan orang lain sebagai penyebab kesulitan pribadi mereka dalam rangka melestarikan
pandangan positif tentang diri sendiri
Teori lain dari pembentukan waham adalah proses kognitif disfungsional yang menyatakan bahwa
delusi mungkin timbul dari terdistorsi cara orang menjelaskan hidup untuk diri mereka sendiri. Selain
itu, stres terus-menerus telah dihubungkan dengan kemungkinan yang lebih tinggi delusi
berkembang. Contoh stressors tersebut imigrasi atau status sosial – ekonomi rendah (Anonim, 2011)
Peneliti, Orrin Devinsky, MD, dari Langone NYU Medical Center, melakukan penelitian yang
mengungkapkan pola konsisten cedera pada lobus frontal dan belahan kanan otak manusia pada
pasien dengan delusi tertentu dan gangguan otak. Devinsky menjelaskan bahwa defisit kognitif yang
disebabkan oleh luka pada belahan kanan, hasil dikompensasi oleh belahan otak kiri untuk cedera
yang kemudian menghasilkan delusi (Anonim, 2011).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim dari Warwick Medical School di University of Warwick,
Coventry, Inggris, dipimpin oleh Andrea Schreier, Ph D., menunjukkan bahwa anak – anak yang
mengalami bullying lebih mungkin mengembangkan gejala psikotik pada masa remaja awal (Anonim,
2011).
Fakta – fakta latar belakang menunjukkan bahwa delusi yang umum di masa kanak – kanak maupun
dewasa dan bahwa anak – anak yang mengalami gejala tersebut lebih rentan untuk
mengembangkan psikosis di kemudian hari (Anonim, 2011).
Selanjutnya, studi ini menunjukkan bahwa risiko gejala psikotik, termasuk delusi, adalah dua kali
lipat untuk anak-anak yang mengalami bullying pada usia delapan atau sepuluh. Para penulis
berkomentar bahwa bullying dapat menyebabkan stress kronis yang dapat memiliki efek pada
kecenderungan genetik untuk skizofrenia dan mengakibatkan berangkat gejala (Anonim, 2011).
E. Manifestasi Klinis
Berikut gambaran gejala klinis pasien gangguan waham bila dilihat dari status mentalis (Kaplan,
2013) :
1. Keadaan umum
Pasien gangguan waham biasanya memiliki penampilan baik, tanpa ada bukti disintegrasi nyata
aktivitas sehari-hari dan kepribadian. Terkadang pasien terlihat aneh, pencuriga, atau menunjukan
sikap bermusuhan.
2. Alam Perasaan
Penderita gangguan waham memiliki mood yang konsisten dengan isi wahamnya. Penderita dengan
waham kebesaran memiliki mood euphoria, seorang penderita dengan waham kejar adalah
pencuriga.
3. Gangguan persepsi
Gangguan persepsi dengan gangguan waham tidak memiliki halusinasi yang menonjol atau
menentap. Menurut DSM-IV waham raba dan cium mungkin ditemukan jika hal tersebut adalah
konsisten dengan waham, sebagai contohnya waham aromatik tentang bau badan.
4. Pikiran
Gangguan pikiran pada waham merupakan gejala utama dari gangguan waham biasanya sistematis
dan karakteristiknya adalah dimungkinkan. Sensorium dan kognisi
5. Orientasi
Penderita dengan gangguan waham tidak memiliki kelainan dalam orientasi kecuali pada mereka
yang memiliki waham spesifik tentang orang, tempat, dan waktu
6. Daya ingat
Daya ingat dan kondisi kognitif lainnya adalah intak pada pasien dengan gangguan waham
7. Kejujuran
Penderita dengna gangguan waham biasanya dapat dipercaya informasinya, kecuali jika hal tersebut
membahayakan wahamnya.
F. Diagnosis Banding
Berdasarkan PPDGJ III, diagnosis banding dari gangguan waham (F22.0) antara lain (Maslim, 2013) :
1. Gangguan kepribadian paranoid (F60.0)
2. Gangguan psikotik akut lainnya dengan predominan waham (F23.3)
3. Skizofrenia paranoid (F20.0)
G. Diagnosis
Berdasarkan PPDGJ III, pedoman diagnostik gangguan waham (F22.0) antara lain (Maslim, 2013) :
1. Waham-waham merupakan satu-satunya ciri khas klinis atau gejala yang paling mencolok.
Waham-waham tersebut (baik tunggal maupun sebagai suatu system waham) harus sudah ada
sedikitnya 3 bulan lamanya, dan harus bersifat khas pribadi (personal) dan bukan budaya setempat.
2. Gejala-gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif yang lengkap mungkin terjadi secara
intermitten, dengan syarat bahwa waham-waham tersebut menetap pada saat-saat tidak terdapat
gangguan afektif itu
3. Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak
4. Tidak boleh ada halusinasi auditorik atau hanya kadang-kadang saja ada dan bersifat sementar
5. Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siaran pikiran, penumpulan afek,
dsb)
H. Terapi
Terdapat beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita gangguan waham
menetap, antara lain :
1. Perawatan di Rumah Sakit
Pada umumnya pasien dengan gangguan waham menetap dapat diobati dasar rawat jalan. Tetapi
klinis harus mempertimbangkan beberapa hal (Kaplan, 2013) :
a. diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis pada diri pasien untuk menentukan apakah
terdapat kondisi medis nonpsikiatrik yang menyebabkan penyakit ini.
b. Pasien perlu diperiksa tentang kemampuannya mengendalikan impuls kekerasan yang mungkin
berhubungan dengan waham
c. Perilaku tentang waham mungkin secara bermakna telah mempengaruhi kemampuannya untuk
berfungsi didalam keluarga atau pekerjaan
2. Farmakoterapi
Antipsikotik telah digunakan sejak tahun 1970 sebagai pengobatan gangguan waham menetap.
Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa Pimozide (Orap) mungkin efektif pada gangguan waham
menetap tipe somatic (Kaplan, 2013). Terapi kombinasi juga sering dilakukan, termasuk
mengkombinasi obat antipsikotik dengan antidepresan. Secara keseluruhan, penderita gangguan
waham menetap sangat berespon terhadap pengobatan (antipsikotik) yang diberikan, dimana 50%
dilaporkan sembuh dari gejalanya, 90% menunjukkan adanya perubahan klinisnya (Chopra et al.,
2011).
3. Psikoterapi
Memberikan informasi dan edukasi yang benar mengenai penyakit pasien, sehingga diharapkan
keluarga dapat menerima pasien dan mendukungnya kea rah penyembuhan. Memberitahukan
kepada keluarga untuk tidak memberikan tekanan emosional kepada pasien, keluarga juga
diharapkan mampu mengawasi kepatuhan pasien untuk lebih mendengarkan dan berkomunikasi
dengan pasien (Chopra et al., 2011). Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu kepuasan
penyesuaian sosial (Kaplan, 2013).
GANGGUAN BIPOLAR
A. Definisi
Kelainan bipolar dikarakteristikan dengan perpindahan suasana hati dari deprisi yang dalam sampai
euphoria hebat (mania), dengan periode menghalangi alam perasaan normal
(mary c. Townsend, 1998)
Gangguan bipolar I merupakan salah satu dari dua gangguan mood utama selain gangguan depresi
mayor , sering disebut sebagai gangguan afektif atau mood
Gangguan bipolar ditandai dengan perubahan berbagai derajat kambuhan alam perasaan dari
defresi sampai kegembiraan diselingi periode normal
(marilynn e. Doengoes, 2006)
B. Tahap Perkembangan
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan
peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan. Gangguan bipolar harus
diobati secara kontinu, tidak boleh putus. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering
mengakibatkan buruknya compliance untuk berobat karena dikira sudah sembuh
“Jangan menganggap remeh gangguan bipolar, gangguan bipolar yang tidak diterapi dengan baik
akan membahayakan jiwa penderita itu sendiri. Gangguan jiwa bukan hanya ‘milik’ negara-negara
miskin atau sedang berkembang seperti Indonesia. Pada kenyataannya, gangguan jiwa menjadi salah
satu dari empat masalah kesehatan utama di negara maju. Dan gangguan bipolar termasuk salah
satu contohnya. Boleh dibilang, insiden gangguan bipolar tidak tinggi, berkisar antara 0,3-1,5%.
Namun, angka itu belum termasuk yang misdiagnosis. Risiko kematian terus membayangi penderita
bipolar. Biasanya kematian itu dikarenakan mereka mengambil jalan pintas alias bunuh diri. Risiko
bunuh diri meningkat pada penderita bipolar yang tidak diterapi yaitu 5,5 per 1000 pasien.
Sementara yang diterapi ’hanya’ 1,3 per 1000 pasien.
Layaknya sebuah magnet, gangguan bipolar memiliki dua ’kutub’ yaitu manik dan depresi. Dari situ
pulalah nama bipolar itu berasal. Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III, gangguan ini bersifat episode berulang yang menunjukkan suasana perasaan pasien dan
tingkat aktivitasnya jelas terganggu, dan gangguan ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian
suasana perasaan serta peningkatan energi dan aktivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu
lain berupa penurunan suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang
khas adalah terdapat penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai dengan
tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, sedangkan depresi cenderung
berlangsung lebih lama. Episode pertama bisa timbul pada setiap usia dari masa kanak-kanak sampai
tua. Kebanyakan kasus terjadi pada dewasa muda berusia 20-30 tahun. Semakin dini seseorang
menderita bipolar maka risiko penyakit akan lebih berat, kronik bahkan refrakter.
b. Biokimia
Kadar rendah norepinefrin dan dopamin selama suatu episode depresi, sebaliknya kelihatan
sebenarnya seorang individu mengalami suatu episode manik. Jadi respon – respon perilaku
kegembiran dan europi dapat berhubungan dengan suatu kelebihan dari biogenik amin ini dalam
otak. Individu – individu manik memiliki suatu distribusi natrium intra seluler yang rendah cendrung
untuk kembali kenormal saat mania berkurang.
Dari tabel 1, dapat terlihat bahwa episode manik dibagi menjadi 3 menurut derajat
keparahannya yaitu hipomanik, manik tanpa gejala psikotik, dan manik dengan gejala psikotik.
Hipomanik dapat diidentikkan dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa ovulasi
(’estrus’) atau seorang laki-laki yang dimabuk cinta. Perasaan senang, sangat bersemangat untuk
beraktivitas, dan dorongan seksual yang meningkat adalah beberapa contoh gejala hipomanik.
Derajat hipomanik lebih ringan daripada manik karena gejala-gejala tersebut tidak mengakibatkan
disfungsi sosial
Pada manik, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir seluruh pekerjaan dan
aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu optimis. Perasaan mudah tersinggung dan
curiga lebih banyak daripada elasi. Bila gejala tersebut sudah berkembang menjadi waham maka
diagnosis mania dengan gejala psikotik perlu ditegakkan
Bertolakbelakang dengan hipomanik/manik, gejala pada depresi terjadi sebaliknya. Suasana hati
diliputi perasaan depresif, tiada minat dan semangat, aktivitas berkurang, pesimis, dan timbul
perasaan bersalah dan tidak berguna. Episode depresi tersebut harus berlangsung minimal selama 2
minggu baru diagnosis dapat ditegakkan. Bila perasaan depresi sudah menimbulkan keinginan untuk
bunuh diri berarti sudah masuk dalam depresif derajat berat
❖ Virus Genetik
Hingga saat ini, etiologi dan patofisiologi gangguan bipolar masih belum dapat dijelaskan. Virus pun
sempat dituding sebagai biang kerok. Serangan virus pada otak berlangsung pada masa janin dalam
kandungan atau tahun pertama sesudah kelahiran. Namun, gangguan bipolar bermanifestasi 15-20
tahun kemudian. Telatnya manifestasi itu timbul karena diduga pada usia 15 tahun kelenjar timus
dan pineal yang memproduksi hormon yang mampu mencegah gangguan psikiatrik sudah berkurang
50%. Akhir-akhir ini, penelitian mengarah pada keterlibatan genetik. Pemikiran tersebut muncul
berawal dari ditemukannya 50% penderita bipolar yang memiliki riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga. Keturunan pertama dari seseorang yang menderita gangguan bipolar berisiko menderita
gangguan serupa sebesar 7 kali. Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama pada
kembar monozigot (40-80%), sedangkan kembar dizigot lebih rendah, yakni 10-20%. Pola penurunan
tersebut tidak mengikuti hukum Mendel. Beberapa studi berhasil membuktikan keterkaitan antara
gangguan bipolar dengan kromosom 18 dan 22, namun masih belum dapat diselidiki lokus mana dari
kromosom tersebut yang benar-benar terlibat. Beberapa diantaranya yang telah diselidiki adalah
4p16, 12q23-q24, 18 sentromer, 18q22, 18q22-q23, dan 21q22. Yang menarik dari studi kromosom
ini, ternyata penderita sindrom Down (trisomi 21) berisiko rendah menderita gangguan bipolar.
Sejak ditemukannya beberapa obat yang berhasil meringankan gejala bipolar, peneliti mulai
menduga adanya hubungan neurotransmiter dengan gangguan bipolar. Neurotransmiter tersebut
adalah dopamine, serotonin, dan noradrenalin. Kandidat gen yang berhubungan dengan
neurotransmiter tersebut pun mulai diteliti seperti gen yang mengkode monoamine oksidase A
(MAOA), tirosin hidroksilase, catechol-O-metiltransferase (COMT), dan serotonin transporter (5HTT.
Tak berhenti sampai disitu, peneliti juga mempunyai ‘tersangka’ baru yaitu gen yang mengekspresi
brain derived neurotrophic factor (BDNF). BDNF adalah neurotropin yang berperan dalam regulasi
plastisitas sinaps, neurogenesis dan perlindungan neuron otak. BDNF diduga ikut terlibat dalam
mood. Gen yang mengatur BDNF terletak pada kromosom 11p13. Terdapat 3 penelitian yang
mencari tahu hubungan antara BDNF dengan gangguan bipolar. Dan hasilnya, positif.
❖ Komorbid
Sebagian besar penderita bipolar tidak hanya menderita bipolar saja tetapi juga menderita gangguan
jiwa yang lain (komorbid). Penelitian oleh Goldstein BI dkk, seperti dilansir dari Am J Psychiatry 2006,
menyebutkan bahwa dari 84 penderita bipolar berusia diatas 65 tahun ternyata sebanyak 38,1%
terlibat dalam penyalahgunaan alkohol, 15,5% distimia, 20,5% gangguan cemas menyeluruh, dan
19% gangguan panik. Sementara itu, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) menjadi
komorbid yang paling sering didapatkan pada 90% anak-anak dan 30% remaja yang bipolar.
❖ Kelainan otak
Terdapat perbedaan gambaran otak antara kelompok sehat dengan penderita bipolar. Melalui
pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan positron-emission tomography (PET), didapatkan
jumlah substansia nigra dan aliran darah yang berkurang pada korteks prefrontal subgenual. Tak
hanya itu, Blumberg dkk dalam Arch Gen Psychiatry 2003 pun menemukan volume yang kecil pada
amygdala dan hipokampus. Korteks prefrontal, amygdala dan hipokampus merupakan bagian dari
otak yang terlibat dalam respon emosi (mood dan afek). Penelitian lain menunjukkan ekspresi
oligodendrosit-myelin berkurang pada otak penderita bipolar. Seperti diketahui, oligodendrosit
menghasilkan membran myelin yang membungkus akson sehingga mampu mempercepat hantaran
konduksi antar saraf. Bila jumlah oligodendrosit berkurang, maka dapat dipastikan komunikasi antar
saraf tidak berjalan lancar.
❖ Wawancara Psikiatrik
Sama seperti kebanyakan gangguan jiwa yang lain, pemeriksaan laboratorium tidak terlalu
diperlukan. Cukup dengan wawancara psikiatri yang runut dan pemeriksaan fisik yang lengkap,
diagnosis gangguan bipolar dapat ditegakkan. Pertama-tama, hendaknya menilai dulu kondisi medik
umum guna menyingkirkan adanya gangguan mental organic (F00-F09). Selanjutnya, mencari tahu
apakah gangguan mental yang dialami pasien merupakan akibat dari penggunaan zat psikoaktif (F10-
19). Dan terakhir, menyingkirkan kemungkinan skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan
waham lainnya (F20-29).
❖ Medikamentosa
Sudah lebih dari 50 tahun lithium digunakan sebagai terapi gangguan bipolar. Keefektivitasannya
telah terbukti dalam mengobati 60-80% pasien. ‘Pamornya” semakin berkibar karena dapat
menekan ongkos perawatan dan angka kematian akibat bunuh diri. Tapi bukan berarti lithium tanpa
cela. Terdapat segelintir orang yang kurang memberi respon terhadap lithium di antaranya
penderita dengan riwayat cedera kepala, mania derajat berat (dengan gejala psikotik), dan yang
disertai dengan komorbid. Bila penggunaanya dihentikan tiba-tiba, penderita cepat mengalami
relaps. Selain itu, indeks terapinya sempit dan perlu monitor ketat kadar lithium dalam darah.
Gangguan ginjal menjadi kontraindikasi penggunaan lithium karena akan menghambat proses
eliminasi sehingga menghasilkan kadar toksik. Di samping itu, pernah juga dilaporkan lithium dapat
merusak ginjal bila digunakan dalam jangka lama. Karena keterbatasan itulah, penggunaan lithium
mulai ditinggalkan. Antipsikotik mulai digunakan sebagai antimanik sejak tahun 1950-an. Antipsikotik
lebih baik daripada lithium pada penderita bipolar dengan agitasi psikomotor. Perhatian ekstra harus
dilakukan bila hendak merencanakan pemberian antipsikotik jangka panjang terutama generasi
Panduan Obat-Obatan Bipolar Berdasarkan British Association of Psychopharmacology (Sumber:
Journal of Psychopharmacology 2003)
Lithium
· Dosis tunggal 800 mg, malam hari.
· Dosis direndahkan pada pasien diatas 65 tahun dan yang mempunyai gangguan ginjal.
Kadar lithium dalam serum harus dipantau setiap 3-6 bulan, sedangkan tes fungsi ginjal dan tiroid
diperiksa setiap 12 bulan.
Tremor, poliuria, polidipsi, peningkatan berat badan, gangguan kognitif, gangguan saluran cerna,
rambut rontok, leukositosis, jerawat, dan edema
Karbamazepin
· Dosis inisial 400 mg.
· Dosis maintenance 200-1600 mg/hari.
Darah rutin, dan tes fungsi hati dilakukan pada 2 bulan pertama.
Lelah, mual, diplopia, pandangan kabur, dan ataxia
Lamotrigine
· Dosis inisial 25 mg/hari pada 2 minggu pertama, lalu 50 mg pada minggu kedua dan ketiga.
· Dosis diturunkan setengahnya bila pasien juga mendapat valproate.
4. GANGGUAN ANSIETAS
GANGGUAN CEMAS
DEFINISI GANGGUAN CEMAS
Cemas didefinisikan sebagai suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan adanya bahaya
yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman.
Rasa tersebut ditandai dengan gejala otonom seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, rasa sesak
di dada, tidak nyaman pada perut, dan gelisah.
Rasa cemas dapat datang dari eksternal atau internal. Masalah eksternal umumnya terkait dengan
hubungan antara seseorang dengan komunitas, teman, atau keluarga. Masalah internal umumnya
terkait dengan pikiran seseorang sendiri
Gejala-gejala cemas pada dasarnya terdiri dari dua komponen yakni, kesadaran terhadap sensasi
fisiologis ( palpitasi atau berkeringat ) dan kesadaran terhadap rasa gugup atau takut. Selain dari
gejala motorik dan viseral, rasa cemas juga mempengaruhi kemampuan berpikir, persepsi, dan
belajar. Umumnya hal tersebut menyebabkan rasa bingung dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat
menganggu belajar dengan menurunkan kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya
ingat dan menganggu kemampuan untuk menghubungkan satu hal dengan lainnya.
Aspek yang penting pada rasa cemas, umumnya orang dengan rasa cemas akan melakukan seleksi
terhadap hal-hal disekitar mereka yang dapat membenarkan persepsi mereka mengenai suatu hal
yang menimbulkan rasa cemas.
Teori Psikoanalitik
Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya “ 1926 Inhibitons, Symptoms, Anxiety” bahwa
kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat diterima
menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal, kecemasan
menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam. Jika kecemasan
naik di atas tingkatan rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu sinyal, ia akan timbul
sebagai serangan panik.
Teori Perilaku
Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang spesifik. Contohnya,
seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya semena-mena, akan
segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses generalisasi, ia akan menjadi tidak
percaya dengan wanita. Bahkan seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya yang cemas.
Teori Eksistensi
Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang bersifat kronis. Inti
dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak bertujuan. Rasa
cemas adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi dan arti.
Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari timbulnya cemas yang
patologis antara lain:
• Sistem saraf otonom
• Neurotransmiter
Neurotransmiter
1. Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa serangan panik,
insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi
noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan cemas, adalah pasien
tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk terkait dengan peningkatan
aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergik terlokalisasi secara primer pada locus
ceruleus pada rostral pons, dan memiliki akson yang menjurus pada korteks serebri, sistem limbik,
medula oblongata, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukan bila diberi stimulus
pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak
menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia, didapatkan pasien dengan gangguan serangan
panik, bila diberikan agonis reseptor β-adrenergik ( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor α-2
adrenergik dapat mencetuskan serangan panik secara lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya,
clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan pengurangan gejala cemas.
2. Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran serotonin dalam
gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan peningkatan 5-hydroxytryptamine pada
prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian tersebut juga
dilakukan berdasarkan penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine pada gangguan
obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga menunjukkan kemungkinan
relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki reseptor serotonergik ditemukan
dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju pada korteks serebri, sistem limbik,
dan hipotalamus.
3. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan benzodiazepine, yang
meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A. Walaupun benzodiazepine potensi rendah
paling efektif terhadap gejala gangguan cemas menyeluruh, benzodiazepine potensi tinggi seperti
alprazolam dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi gangguan serangan panik
Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan peningkatan ukuran ventrikel otak
terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada satu studi MRI, sebuah
defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien dengan gangguan serangan panik.
Beberapa studi pencitraan otak lainnya juga menunjukan adanya penemuan abnormal pada
hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada hemisfer kiri. fMRI, SPECT, dan EEG menunjukan penemuan
abnormal pada korteks frontal pasien dengan gangguan cemas, yang ditemukan juga pada area
oksipital, temporal, dan girus hippocampal. Pada gangguan obsesif kompulsif diduga terdapat
kelainan pada nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI menunjukan pengingkatan aktivitas pada
amygdala.
Berdasarkan pertimbangan neuroanatomis, daerah sistem limbik dan korteks serebri dianggap
memegang peran penting dalam proses terjadinya cemas.
Korteks Serebri
Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio parahippocampal, cingulate gyrus, dan
hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan cemas. Korteks temporal juga dikaitkan
dengan gangguan cemas. Hal ini diduga karena adanya kemiripan antara presentasi klinis dan EEG
pada pasien dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif kompulsif.
Sistem Limbik
Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem limbik juga memiliki reseptor
GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan stimulasi pada primata juga menunjukan jikalau sistem
limbik berpengaruh pada respon cemas dan takut. Dua area pada sistem limbik menarik perhatian
peneliti, yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampal, yang diduga berkaitan dengan rasa
cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan gangguan obsesif kompulsif.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM-IV), gangguan cemas
terdiri dari :
(1) Serangan panik dengan atau tanpa agoraphobia;
(2) Agoraphobia dengan atau tanpa Serangan panik;
(3) Fobia spesifik;
(4) Fobia sosial;
(5) Gangguan Obsesif-Kompulsif;
(6) Post Traumatic Stress Disorder ( PTSD );
(7) Gangguan Stress Akut;
(8) Gangguan Cemas Menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder).
GANGGUAN PANIK
Definisi Gangguan Panik
Gangguan panik ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak diperkirakan.
Serangan panik adalah periode kecemasan dan ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya
kurang dari satu tahun), yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Frekuensi pasien dengan gangguan panik mengalami serangan panik adalah bervariasi dari serangan
multiple dalam satu hari sampai hanya beberapa serangan selama setahun.
Penelitian epidemiologi telah melaporkan prevalensi seumur hidup untuk gangguan panik adalah
1,5-5% dan untuk serangan panik adalah 3-5,6%. Sebagai contohnya, satu penelitian terakhir pada
lebih dari 1.600 orang dewasa yang dipilih secara acak di Texas menemukan bahwa angka prevalensi
seumur hidup adalah 3,8% untuk gangguan panik, 5,6% untuk serangan panik dan 2,2% untuk
serangan panik dengan gejala yang terbatas yang tidak memenuhi kriteria diagnostik lengkap
Jenis kelamin wanita 2-3 kali lebih sering terkena dibandingkan laki-laki. Faktor sosial satu-satunya
yang dikenali berperan dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau
perpisahan yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda, usia rata-rata
timbulnya adalah kira-kira 25 tahun, walaupun dapat berkembang pada setiap usia.
Faktor Biologis
Gejala gangguan panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan
fungsi otak. Beberapa penelitian telah menghasilkan hipotesis yang menyebabkan disregulasi sistem
saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonomik dapat
menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang
berulang, dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang.
Sistem neurotransmitter utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan
gammaaminobutyric acid (GABA).
Faktor Genetika
Angka prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan panik. Berbagai
penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat pada
sanak saudara derajat pertama pasien dengan gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara
derajat pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian juga pada kembar
monozigot.
Faktor Psikososial
Teori kognitif perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dipelajari baik dari
perilaku modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik.
Teori psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan yang tidak berhasil
dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan suatu
sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda, lengkap dengan gejala
somatik.
Peneliti menyatakan bahwa serangan panik kemungkinan melibatkan arti bawah sadar peristiwa
yang menegangkan dan bahwa patogenesis serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor
neurofisiologis yang dipicu oleh reaksi psikologis.
Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan relatif singkat dan disertai
gejala somatik. Suatu serangan panik secara tiba-tiba akan menyebabkan minimal 4 dari gejala-
gejala somatik berikut:
1. Palpitasi
2. Berkeringat
3. Gemetar
4. Sesak napas
5. Perasaan tercekik
6. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman
7. Mual dan gangguan perut
8. Pusing, bergoyang, melayang atau pingsan
9. Derealisasi atau depersonalisasi
10. Ketakutan kehilangan kendali atau menjadi gila
11. Rasa takut mati
12. Parestesi atau mati rasa
13. Menggigil atau perasaan panas.
Serangan panik sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat selama 10
menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu perasaan ancaman kematian dan
kiamat. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber ketakutannya.
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah sejumlah gangguan medis
dan juga gangguan mental. Untuk gangguan medis misalnya infark miokard, hipertiroid, dan
hipoglikemia. Sedangkan diagnosis banding psikiatri untuk gangguan panik adalah pura-pura,
gangguan buatan, fobia sosial dan spesifik, gangguan stress pasca traumatik,dan gangguan depresi.
a. Farmakoterapi
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati gangguan panik adalah obat anti depresi dan obat
anti cemas:
1. SSRI ( Serotonin Selective Reuptake Inhibitors), terdiri atas beberapa macam dapat dipilih salah
satu dari sertralin, fluoksetin, fluvoksamin, escitalopram, dll. Obat diberikan dalam 3-6 bulan atau
lebih, tergantung kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah sehingga dapat mencegah
kekambuhan
2. Alprazolam; awitan kerjanya cepat, dikonsumsi biasanya antara 4-6 minggu, setelah itu secara
perlahan-lahan diturunkan dosisnya sampai akhirnya dihentikan. Jadi setelah itu dan seterusnya,
individu hanya minum golongan SSRI
b. Psikoterapi
Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat meredakan secara relatif cepat serangan panik dan menenangkan individu,
namun itu dapat dicapai bagi yang telah berlatih setiap hari. Prinsipnya adalah melatih pernafasan
(menarik nafas dalam dan lambat, lalu mengeluarkannya dengan lambat pula), mengendurkan
seluruh otot tubuh dan mensugesti pikiran ke arah konstruktif atau yang diinginkan akan dicapai.
Dalam proses terapi, dokter akan mebimbing secara perlahan-lahan, selama 20-30 menit. Setelah
itu, individu diminta untuk melakukannya sendiri di rumah setiap hari.
Psikoterapi Dinamik
Pasien diajak untuk lebih memahami diri dan kepribadiannya, bukan sekedar menghilangkan
gejalanya semata. Pada psikoterapi ini, biasanya pasien lebih banyak berbicara, sedangkan dokter
lebih banyak mendengar. Terapi ini memerlukan waktu panjang, dapat berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun. Hal ini tentu memerlukan kerjasama yang baik antara individu dengan dokternya,
serta kesabaran kedua belah pihak.
Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita dengan fungsi premorbid
yang baik sertai durasi serangan yang singkat bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.
FOBIA
Definisi Fobia
Fobia berasal dari bahasa Yunani yaitu Fobos yang berarti ketakutan. Fobia adalah suatu ketakutan
yang tidak irasional yang menyebabkan penghindaran yang disadari objek, aktifitas / situasi yang
ditakuti. Reaksi fobia menyebabkan gangguan pada kemampuan seseorang untuk berfungsi dalam
kehidupannya. Fobia dibedakan dalam tiga jenis menurut jenis objek atau situasi ketakutan yaitu
agorafobia, fobia spesifik, dan fobia sosial.
Fobia spesifik adalah suatu rasa takut yang kuat dan persisten pada suatu objek atau situasi. Fobia
sosial disebut juga gangguan kecemasan sosial adalah rasa takut yang berlebihan terhadap
penghinaan dan rasa malu dalam berbagai lingkungan sosial.
Epidemiologi Fobia
Diperkirakan 5 – 10 % dari seluruh populasi mengalami gangguan ini. Gangguan yang ditimbulkan
dari fobia, apabila tidak dihiraukan, dapat menyebabkan munculnya gangguan cemas lainnya,
gangguan depresi, dan gangguan yang berhubungan dengan penggunaan obat terlarang dan
alkhohol.
Fobia spesifik lebih sering dijumpai dibandingkan dengan fobia sosial. Gangguan ini paling sering
dialami perempuan dan kedua tersering pada pria. Prevalensi 6 bulan fobia spesifik berkisar antara 5
– 10 / 100 orang. Rasio wanita berbanding laki – laki adalah 2 : 1, walaupun rasio untuk fobia
terhadap darah, injeksi dan cedera berkisar antara 1 : 1. Puncak onset fobia spesifik darah-suntikan-
sakit berkisar antara 5 – 9 tahun. Sedangkan puncak onset fobia situasional berkisar pada umur 20.
Umumnya objek penyebab rasa takut adalah hewan, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dan
kematian.
Prevalensi untuk fobia sosial berkisar antara 3 – 13 %. Untuk prevalensi 6 bulannya berkisar antara 2
– 3 / 100 orang dimana kaum perempuan lebih sering mengalami fobia sosial dibandingkan pria,
namun pada studi klinis seringkali ditemukan kebalikannya. Puncak onset fobia sosial adalah pada
masa remaja, namun berkisar antara usia 5 hingga 35 tahun.
Etiopatogenesis Fobia
Prinsip-prinsip umum pada fobia terdiri dari faktor psikoanalitik dan faktor perilaku.
Faktor Psikoanalitik
Teori Sigmund Freud menyatakan neurosis fobik, merupakan penjelasan analitik untuk fobia spesifik
dan fobia sosial. Rasa cemas adalah sinyal untuk menyadarkan ego, bahwa dorongan terlarang di
alam bawah sadar yang akan memuncak dan untuk menyadarkan ego untuk melakukan mekanisme
pertahanan melawan daya insting yang mengancam. Fobia merupakan hasil konflik yang terpusat
pada masalah masa kanak-kanak yang tidak terselesaikan. Jika tindakan represi untuk mencegah
cemas gagal, sistem ego seseorang akan mengaktifkan mekanisme pertahanan yang berupa
“mengalihkan” ( displacement ), dimana masalah yang tidak selesai dari masa kanak-kanak akan
dialihkan kepada objek atau situasi yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan rasa cemas.
Objek atau situasi tersebut menjadi simbol dari masalah yang dahulu dialaminya ( Symbolization ).
Mekanisme pertahanan ego terhadap rasa cemas terdiri dari tiga hal, yakni represion, displacement,
dan symbolization. Sehingga rasa cemas tersebut teratasi dengan membentuk phobic neurosis.
Pada agoraphobia atau erythrophobia, rasa cemas diduga datang dari rasa malu yang
mempengaruhi superego. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat temperamen yang berbeda yang
menyebabkan mereka dapat menangani stimuli stress dari luar dengan cara yang berbeda. Dalam
memunculkan fobia, diperlukan tingkat stress yang cukup, seperti kekerasan dalam rumah tangga,
terkucilkan dari kehidupan sosial sampai kehilangan orang yang dicintai.
Faktor Perilaku
John B. Watson memiliki hipotesis mengenai fobia, dimana fobia muncul dari rasa cemas dari stimuli
yang menakutkan yang muncul bersamaan dengan stimuli kedua yang bersifat netral. Jika dua
stimuli dihubungkan bersamaan, stimuli netral tersebut bisa membangkitkan kecemasan oleh dirinya
sendiri. Contohnya pada seseorang yang fobia dengan kucing, dahulu ia pernah dicakar oleh kucing,
dimana cakaran tersebut merupakan stimuli yang menakutkan, sedangkan kucing tersebut
merupakan stimuli yang netral, namun karena stimuli tersebut muncul secara bersamaan, sehingga
kucing tersebut juga menjadi stimuli yang menakutkan.
Teori pembebasan perilaku menyatakan , kecemasan adalah dorongan yang memotivasi organisme
melakukan perilaku tertentu untuk menghilangkan pengaruh yang menyakitkan. Teori ini dapat
diaplikasikan pada fobia spesifik terhadap situasi tertentu atau fobia sosial, dengan contoh dimana
seseorang dapat menghindari berbicara didepan khayalak ramai. Organisme belajar, dengan
tindakan tertentu dapat menghilangkan stimulus yang mendatangkan kecemasan Penghindaran
tersebut menjadi gejala yang stabil karena efektif dalam melindungi seseorang dari kecemasan fobik
Fobia Sosial
Penelitian melaporkan jika beberapa anak kemungkinan memiliki faktor keturunan berdasarkan
inhibisi perilaku yang konsisten. Hal ini cukup sering pada anak-anak dengan orang tua yang memiliki
gangguan serangan panik, dan mungkin berkembang menjadi pemalu yang parah saat dewasa. Hal
ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan didikan keluarga yang tertutup, kurang perduli, dan
terlalu protektif mengenai anak mereka. Beberapa hal kecil dapat menjadi indikator dari sifat
seseorang, seperti seseorang yang berkuasa mungkin cenderung berjalan dengan dagu terangkat
dan melakukan kontak mata, dibandingkan dengan seseorang yang dikalahkan sering berjalan
dengan kepala tertunduk dan jarang melakukan kontak mata.
Secara spesifik, penggunaan obat antagonis reseptor β-adrenergik ( propanolol ) untuk fobia kinerja
contohnya berbicara di depan publik. Seseorang dengan fobia kinerja biasanya melepaskan lebih
banyak norepinephrine atau epinephrine, secara sentral maupun perifer, dibandingkan orang-orang
non-fobik, atau orang-orang tersebut lebih sensitif terhadap stimulasi kadar adrenergik yang normal.
Pengamatan bahwa mono amine oxidase inhibitor (MAOI) yang lebih efektif dibandingkan obat-
obatan tricylcic pada terapi fobia sosial menyeluruh, diduga jikalau aktivitas dopaminergik
berhubungan dengan patogenesis gangguan fobia sosial.
Faktor genetik diduga memiliki keterkaitan dengan fobia sosial. Anggota keluarga tingkat pertama
pada seseorang dengan gangguan fobia memiliki kecenderungan untuk mengalami fobia sosial
sebanyak tiga kali lebih sering dibandingkan dengan yang tidak.
Fobia ditandai oleh kesadaran akan kecemasan yang berat ketika pasien terpapar situasi atau objek
spesifik. DSM-IV-TR menyatakan bila serangan panik dapat terjadi pada pasien dengan fobia spesifik
atau fobia sosial, namun mereka sudah mengetahui kemungkinan terjadinya serangan panik
tersebut. Paparan terhadap stimulan tertentu dapat mencetuskan terjadinya serangan panik.
Seseorang yang memiliki fobia akan menghindari stimulus fobianya, bahkan sampai pada taraf yang
berlebihan. Contohnya seorang pasien fobia mungkin menggunakan bus untuk bepergian jarak jauh
daripada pesawat terbang. Seringkali, pasien dengan gangguan fobia juga memiliki masalah dengan
gangguan penggunaan zat-zat terlarang sebagai upaya pelarian mereka dari rasa cemas tersebut.
Selain itu, diperkirakan sepertiga dari seluruh pasien fobia juga memiliki keadaan depresif yang
berat.
Pada pemeriksaan status mental ditandai dengan adanya ketakutan yang irasional dan ego-distonik
terhadap situasi, aktifitas atau objek tertentu. Pasien umumnya menceritakan bagaimana cara
mereka menghindari stimulus tersebut. Umumnya pasien dengan fobia juga memiliki gejala depresi.
Fobia Spesifik
Revisi keempat dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM-IV-TR ),
menggunakan isitilah fobia spesifik untuk dicocokkan dengan hasil revisi kesepuluh dari International
Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems ( ICD-10 ).
A. Ketakutan yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak beralasan, ditandai oleh adanya
atau antisipasi dari suatu obyek atau situasi spesifik (misalnya, naik pesawat terbang, ketinggian,
binatang, mendapat suntikkan, melihat darah).
B. Pemaparan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respon kecemasan segera, dapat berupa
serangan panik yang berhubungan dengan situasi atau predisposisi oleh situasi.
Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum, diam
membeku, atau melekat erat menggendong.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan .
Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan
D. Situasi fobik dihindari atau kalau dihadapi adalah dengan kecemasan atau dengan penderitaan
yang jelas.
E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti secara
bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau
hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita fobia.
F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
G. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik dihubungkan dengan objek atau situasi
spesifik tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain, seperti Gangguan Obsesif-Kompulsif
(misalnya,seseorang takut kotoran dengan obsesi tentang kontaminasi), Gangguan Stres
pascatrauma (misalnya,penghindaran stimulus yang berhubungan dengan stresor yang berat0,
Gangguan Cemas Perpisahan (misalnya,menghindari sekolah), Fobia Sosial (misalnya,menghindari
situasi sosial karena takut merasa malu), Gangguan Panik dengan Agorafobia, atau Agorafobia Tanpa
Riwayat Gangguan Panik.
Sebutkan tipe :
• Tipe Binatang
• Tipe Lingkungan Alam (misalanya, ketinggan, badai, air)
• Tipe Darah, Injeksi, Cedera
• Tipe Situasional (misalnya, pesawat udara, elevator, tempat tertutup)
• Tipe Lainnya (misalnya, ketakutan tersedak, muntah, atau mengidap penyakit ; pada anak-anak,
ketakutan pada suara keras atau karakter bertopeng).
a. Gejala psikologis atau otonomik harus merupakan manifestasi primer dari anxietas, dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti waham atau pikiran obsesif.
b. Anxietas harus terbatas pada adanya objek situasi fobik tertentu.
c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Fobia Sosial
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk suatu diagnosis pasti:
• Gejala-gejala psikologis, perilaku /otonomik harus merupakan manifestasi primer dari anxietas dan
bukan sekundari gejala lain seperti waham / pikiran obsesif
• Anxietas harus hanya terbatas / menonjol pada situasi sosial tertentu saja
• Penghindaran dari situasi fobik harus merupakan gambaran yang menonjol
Diagnosis fobia harus dapat dibedakan dari ketakutan yang sesuai dan rasa malu yang normal. DSM-
IV-TR membantu dalam pembedaan dengan mengharuskan gejala mengganggu kemampuan pasien
berfungsi secara tepat. Kondisi medis non-psikiatrik yang dapat mencetuskan fobia berupa
penggunaan obat-obat atau zat-zat terlarang, tumor sistem saraf pusat, dan penyakit
serebrovaskuler. Skizofrenia merupakan diagnosis banding untuk fobia spesifik dan fobia sosial. Hal
ini dikarenakan fobia dapat menjadi salah satu gejala psikosis mereka. Namun berbeda dengan
pasien skizofrenia, pasien yang mengalami fobia menyadari ketidaklogisan dari rasa cemasnya dan
tidak memiliki imajinasi yang bizar seperti pada psikosis.
Dalam penegakan diagnosis banding, harus mempertimbangkan gangguan serangan panik,
agoraphobia, dan gangguan pribadi menghindar. Pada kasus-kasus individual, penegakan
diagnosisnya cukup sulit, namun secara umum pasien yang mengalami fobia akan segera merasa
cemas ketika dihadapkan dengan stimulannya. Dan umumnya pada fobia sosial, pasien akan merasa
cemas bila dihadapkan pada situasi yang spesifik.
Pasien dengan agoraphobia merasa nyaman dengan adanya orang lain dalam situasi yang
menimbulkan kecemasan, berbeda dengan pasien dengan fobia sosial akan semakin merasa cemas.
Gejala pada fobia sosial berupa wajah yang kemerahan, kedutan otot, dan rasa cemas yang
menyebabkannya ingin segera meninggalkan situasi mencemaskan tersebut.
Diagnosis banding untuk fobia spesifik adalah hipokondriasis, gangguan obsesif-kompulsif, dan
gangguan kepribadian paranoid. Hipokondriasis dibedakan dimana pasien merasa sudah sakit,
sedangkan fobia pasien merasa takut akan terkena penyakit. Pada pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif, penegakan diagnosis lebih sulit karena untuk membedakan alasan mereka menjauhi
stimulan tersebut kadang-kadang kurang jelas. Pasien dengan gangguan kepribadian paranoid akan
cenderung menghindari segala macam stimuli dibandingkan dengan fobia spesifik yang akan merasa
cemas hanya pada stimuli tertentu.
Diagnosis banding untuk fobia sosial adalah gangguan depresif berat dan gangguan kepribadian
schizoid. Penghindaran dari segala bentuk sosialisasi akan mengarah pada gangguan depresi berat.
Pada gangguan kepribadian schizoid, pasien umumnya tidak ingin berinteraksi dibandingkan takut
berinteraksi dengan sosial.
Penatalaksanaan Fobia
Terdapat beberapa macam bentuk terapi, yakni terapi perilaku, psikoterapi dan berbagai modalitas
terapi lainnya.
Terapi Perilaku
Salah satu terapi yang paling sering digunakan dan dipelajari adalah terapi perilaku. Kesuksesan
terapi ini bergantung pada :
• komitmen pasien dengan terapi
• permasalahan dan tujuan terapi yang jelas
• berbagai strategi yang dapat digunakan untuk menangani masalah.
Terapi perilaku yang sering digunakan adalah desensitisasi sistematis, dimana pasien dipajankan
dengan stimuli-stimuli yang berkekuatan menimbulkan cemas yang paling rendah hingga yang paling
kuat. Dengan penggunaan obat-obat antianxietas, hipnosis, dan instruksi relaksasi otot, pasien
diajarkan untuk membentuk suatu mekanisme respon yang baru terhadap stimulus-stimulus
tersebut. Selain itu,, terdapat terapi perilaku yang lain yakni image flooding, dimana pasien
dipajankan dengan gambar-gambar stimulus cemas sampai pada masa dimana pasien tidak
merasakan cemas lagi.
Psikoterapi
Dahulu psikiater-psikiater percaya bahwa psikoterapi merupakan terapi yang terutama, namun
dengan seiring berjalannya waktu, psikiater dihadapkan pada kenyataan bahwa psikoterapi tidak
mengurangi kecemasan yang timbul dari respon pasien terhadap stimulus tersebut. Kemudian para
psikiater berinisiatif untuk menghimbau pasien menghadapi sumber-sumber kecemasannya.
Terapi Lainnya
Hipnosis, terapi suportif, dan terapi keluarga berguna pada terapi gangguan fobia. Hipnosis
digunakan untuk meningkatkan sugesti ahli terapi bahwa objek fobik tidaklah berbahaya, dan teknik
hipnosis diri diajarkan pada pasien sebagai metode relaksasi jika berhadapan dengan objek fobik.
Psikoterapi suportif dan terapi keluarga berguna dalam membantu pasien secara aktif menghadapi
objek fobik selama pengobatan. Obat-obatan seperti antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat
berguna pada pasien dengan fobia spesifik, benzodiazepine, psikoterapi, atau terapi kombinasi
dapat digunakan pada kasus fobia spesifik. Pasien dengan fobia sosial, psikoterapi dan farmakoterapi
berguna untuk menangani gangguan fobia sosial. Menggabungkan kedua bentuk terapi diduga
meningkatkan efektivitas terapi. Obat-obatan yang dapat digunakan pada fobia sosial berupa :
• Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
• Benzodiazepine
• Venlafaxine
• Buspirone
Perjalanan Penyakit dan Prognosis Fobia
Belum banyak diketahui tentang prognosis fobia, namun kecenderungan menjadi kronis dan dapat
terjadi komorbiditas dengan gangguan lain seperti depresi, penyalahgunaan alkohol, dan obat bila
tidak mendapat terapi. Menurut National Institute of Mental Health,
• 75% orang dengan fobia spesifik dapat mengatasi ketakutannya dengan terapi kognitif perilaku
• 80% orang dengan fobia sosial membaik dengan farmakoterapi, terapi kognitif perilaku atau
kombinasi
• Agorafobia dengan gangguan panik yang diterapi :
o 30-40%: bebas gejala untuk waktu yang lama
o 50%: gejala ringan yang tidak menggangu kehidupa
sehari - hari
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder, GAD) merupakan kekhawatiran yang
berlebih dan meresap disertai oleh berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan bermakna
dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau penderitaan yang jelas bagi pasien. Beberapa gejala somatik
yang dialami adalah ketegangan otot, iritabilitas, kesulitan tidur, keluhan epigastrik dan kegelisahan
sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial
dan pekerjaan.
Prevalensi gangguan cemas menyeluruh antara 3-8% dan rasio antara perempuan dan laki-laki
sekitar 2:1. Usia onset sukar untuk ditentukan karena mereka melaporkan mengalami kecemasan
selama yang dapat mereka ingat.
Faktor Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ini adalah lobus oksipitalis yang
mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik dan korteks frontal
juga dihipotesiskan terlibat pada timbulnya gangguan ini. Pada pasien juga ditemukan sistem
serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan adalah GABA, serotonin,
norepinefrin, glutamat, dan kolesitokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emission Tomography)
ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak.
Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien gangguan anxietas
menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada pasien wanita. Sekitar 25% dari keluarga tingkat
pertama penderita juga mengalami gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan
kembar didapatkan angka 50% pada kembar monozigotik dan 15% pada kembar dizigotik.
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari konflik bawah sadar yang
tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif anxietas dihubungkan dengan perpisahan
dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi dihubungkan dengan kehilangan cinta dari
objek yang penting. Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal sedangkan anxietas
superego merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri
(merupakan anxietas yang paling matang).
Gejala utama adalah anxietas, ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom, dan kewaspadaan secara
kognitif. Kecemasan bersifat berlebihan dan mempengaruhi aspek kehidupan pasien. Ketegangan
motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan dan sakit kepala. Hiperaktivitas otonom timbul
dalam bentuk pernafasan yang pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran
pencernaan. Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk iritabilitas.
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan serta keluhan
somatik berulang-ulang. Adanya gejala-gejala lain yang bersifat sementara, terutama depresi, tidak
menyingkirkan gangguan anxietas menyeluruh sebagai diagnosis utama, selama pasien tidak
memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32), gangguan anxietas fobik (F40), gangguan
panik (F41.0) atau gangguan obsesif kompulsif (F42).
Termasuk :
• Neurosis anxietas
• Reaksi anxietas
• Keadaan anxietas
Gangguan anxietas menyeluruh perlu dibedakan dari kecemasan akibat kondisi medis umum
maupun gangguan yang berhubungan dengan penggunaan zat. Diperlukan pemeriksaan medis
termasuk tes kimia darah, EKG dan fungsi tiroid. Gangguan psikiatrik lain yang merupakan diagnosis
banding adalah gangguan panik, fobia, gangguan obsesfi kompulsif, hipokondriasis, gangguan
somatisasi, gangguan penyesuaian dengan kecemasan, dan gangguan kepribadian.
a) Farmakoterapi
Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepin dimulai dengan dosis terendah dan
ditingkatkan sampai mencapai respon terapi, Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah
dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-rata
adalah 2-6 minggu.
Buspiron
Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala kognitif dibanding dengan gejala somatik. Tidak
menyebabkan withdrawl. Kekurangannya adalah efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu.
Terdapat bukti bahwa penderita yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan
respon yang baik dengan buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepin
dengan buspiron kemudian dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi
buspiron sudah mencapai maksimal.
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Sertraline dan paroxetine merupakan pilihan yang lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian
fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI efektif terutama pada pasien gangguan anxietas
menyeluruh dengan riwayat depresi.
b) Psikoterapi
Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan belum tampak,
didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar, menilik egostrength,
relasi obyek, serta keutuhan diri pasien. Dari pemahaman akan komponen-komponen tersebut, kita
sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah menjadi lebih matur; bila
tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
Gangguan anxietas menyeluruh merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin berlangsung seumur
hidup. Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami
gangguan depresi mayor.
Suatu obsesi adalah pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang menganggu (intrusif). Sedangkan
kompulsi adalah pikiran atau perilaku yang disadari, dibakukan, dan rekuren, seperti menghitung,
memeriksa, atau menghindari.
Seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif biasanya menyadari irasionalitas dari obsesi dan
merasaka bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik. Gangguan obsesif-kompulsif dapat
merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesi dapat menghabiskan
waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas normal seseorang, fungsi pekerjaan,
aktivitas sosial yang biasanya, atau hubungan dengan teman dan anggota keluarga.
Prevalensi gangguan obsesi kompulsif sebesar 2-2,4%. Sebagian besar gangguan dialami pada saat
remaja atau dewasa muda (umur 18-24 tahun), tetapi bisa terjadi pada masa kayak. Perbandingan
laki-laki : perempuan berimbang, dan seringkali dilatar belakangi oleh ciri kepribadian anankastik
yang menonjol.
Penyebab gangguan obsesi kompulsif bersifat multifactorial, yaitu interaksi antara factor biologik,
genetik, factor psikososial.
Faktor Biologik
Neurotransmitter
1. Sistem Serotonergik
Telah banyak pengujian obat yang mendukung hipotesis bahwa disregulasi dari obat-obat
serotonergik lebih efektif dari obat yang mempengaruhi sistem neurotransmitter lain, tetapi
patofisiologi jelas hubungan serotonin dapat mempengaruhi gangguan obsesif kompulsif masih
belum jelas. Studi klinis yang telah meneliti konsentrasi metabolisme serotonin pada cairan
serebrospinal dan afinitasnya dan jumlah platelet-binding sites dari tritiated imipramine (Trofranil),
yang berhubungan dengan daerah perlekatan reuptake serotonin, dan telah dilaporkan temuan
variabel pada pasien gangguan obsesi kompulsif.
2. Sistem noradrenergik
Pada masa sekarang ini, sudah berkurang bukti-bukti nyata yang menyatakan bahwa disfungsi pada
sistem noradrenergik pada gangguan obsesi kompulsif. Laporan anekdotal menunjukkan kemajuan
pada gejala obsesi kompulsif yang menggunakan clonidine oral, obat yang menurunkan jumlah
pelepasan norephineprin dari ujung saraf presinaptik.
Neuroimunnologi
Berdasarkan sejumlah kejadian nyata, terdapat hubungan positif antara infeksi streptokokus dan
gangguan obsesi kompulsif. Infeksi Streptokokus hemoliticus grup-a dapat menyebabkan demam
rematik, dan berkisar antara 10-30% dari pasien tersebut berkembang menjadi Sydenham’s chorea
dan menunjukkan gejala obsesi kompulsif.
Genetik
Terdapat studi yang mendukung hipotesis bahwa terdapat pengaruh genetik pada gangguan obsesi
kompulsif. Terdapat bukti tiga sampai lima kali lebih besar kemungkinan mendapatkan gangguan
obsesi kompulsif atau jenis lainnya pada angka kejadian. Studi juga menunjukkan hubungan
gangguan obsesi kompulsif pada pasien kembar lebih tinggi pada kembar monozigot daripada
kembar dizigot. Studi lain juga menunjukkan peningkatan angka kejadian pada gangguan yang
menyerupai obsesi kompulsif, gangguan tik, gangguan bentuk tubuh, hipokondriasis, gangguan
makan, dan gangguan kebiasaan, seperti menggigit kuku.
Seperti telah disebutkan, studi telah menyarankan hubungan yang memungkinkan antara kasus
gangguan obsesi kompulsif sebelunya dan beberapa tipe sindrom tik motorik. Sebagian besar studi
keluarga dari probandus dengan gangguan obsesi kompulsif ditemukan peningkatan angka kejadian
kelainan Tourette dan tik motorik yang kronis hanya disekitar kerabat yang juga mendapatkan
kelainan tik. Hasil studi juga menunjukkan kotransmisi antara sindrom Tourette, gangguan obsesi
kompulsif, dan tik motorik kronis pada keluarga.
Faktor Kebiasaan
Berdasarkan studi teori, obsesi adalah kondisi yang menstimulus. Hubungan antara stimulus netral
menjadi berasosiasi dengan ketakutan atau anxietas melalui proses dari hasil pengkondisian yang
berhubungan yang menyebabkan anxietas. Pada objek sebelumnya dan dikatakan bahwa stimuli
yang sesuai dapat mencetuskan anxietas atau rasa tidak nyaman.
Kompulsi diartikan dalam arti lain. Ketika seseorang menemukan bahwa melakukan suatu tindakan
dapat mengurangi anxietas yang berhubungan dengan pikiran yang obsesif, ia menjadikan kegiatan
tersebut sebagai strategi untuk melakukan kegiatan kompulsi atau kebiasaan untuk mengendalikan
anxietas. Secara bertahap, karena efek pengurangan anxietas, strategi tersebut menjadi menetap,
menjadi suatu pola kebiasaan yang kompulsif. Mempelajari teori menunjukkan teori yang berguna
untuk menjelaskan beberapa aspek dari gangguan obsesi kompulsif, sebagai contoh ide-ide yang
mencetuskan anxietas tidaklah sepenuhnya menyebabkan ketakutan, dan tindakan yang dilakukan
hanyalah berupa pola atau suatu kebiasaan.
Faktor Psikososial
Faktor Personalitas
Gangguan obsesi kompulsif dihubungkan dengan pikiran obsesif yang perduli pada detail,
perfeksionalitas, dan personalitas lainnya. Sebagian besar orang dengan gangguan obsesi kompulsif
tidak memiliki gejala kompulsif yang menyertai sebelumnya. Hanya sekitar lima belas sampai tiga
puluh lima persen dari pasien dengan gangguan obsesi kompulsif yang terdapat gangguan obsesif
yang berkembang.
Faktor Psikodinamik
Insight psikodinamik mungkin dapat membantu pada pemahaman masalah pada penatalaksanaan,
kesulitan interpersonal, dan masalah pesonalitas yang sesuai dengan gangguan Axis I. Tidak sedikit
pasien dengan gangguan obsesi kompulsif menolak berkooperatif dengan pengobatan secara efektif
dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) dan terapi kebiasaan. Bagaimanapun juga
gejala dari gangguan obsesi kompulsif mungkin saja disertai secara biologis, gangguan psikodinamis
mungkin menyertai. Pasien dapat menjadi sadar bahwa gejalanya dapat menetap.
Kontribusi lainnya untuk pengertian psikodinamis melibatkan dimensi interpersonal. Studi telah
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang saling mendukung pasien melalui partisipasi aktif
dalam ritual atau modifikasi pada rutinitas sehari-hari. Akomodasi studi pada keluarga yang
berhubungan dengan stress yang terjadi pada keluarga, penolakan kebiasaan yang dilakukan pasien,
dan keadaan keluarga yang miskin. Seringkali anggota keluarga terlibat dalam usaha untuk
mengurangi kecemasan atau mengontrol ekspresi kemarahan pasien. Pola ini atau hubungannya
disesuaikan dengan pola penatalaksanaan yang akan dilakukan. Dengan melihat pada pola hubungan
interpersonal dari perspektif psikodinamik, pasien dapat mempelajari bagaimana kelainan pasien
dapat mempengaruhi orang lain.
Penelitian menyarankan bahwa gangguan obsesi kompulsif dapat meningkatkan angka stresor
lingkungan, terutama pada mereka yang dalam proses kehamilan, kelahiran, atau proses tumbuh
kembang pada anak-anak.
1. Pikiran, impuls, atau layangan yang berulang dan menetap yang dialami, pada suatu saat selama
gangguan, dirasakan mengganggu dan tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan
yang jelas.
2. Pikiran, impuls, atau bayangan tidak hanya kekhawatiran berlebihan tentang masalah kehidupan
yang nyata.
3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, Impuls, atau bayangan tersebut untuk
menetralkannya dengan pikiran atau tindakan lain
4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan obsesional adalah hasil dari pikirannya
sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran)
Kompulsi seperti yang didefinisikan oleh (1) dan (2) :
1. Perilaku berulang (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental
(misalnya, berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang dirasakannya mendorong
untuk melakukan sebagai respon terhadap suatu obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus
dipatuhi secara kaku.
2. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau mengurangi penderitaan atau
mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan; akan tetapi, perilaku atau tindakan mental
tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa yang mereka maksudkan untuk
menetralkan atau mencegah, atau secara jelas berlebihan.
B. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang menyadari bahwa obsesi atau kompulsi
adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan : hal ini tidak berlaku untuk anak-anak.
C. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaaan yang jelas, menghabiskan waktu (lebih dari 1
jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik),
atau kegiatan atau hubungan sosial biasanya.
D. Jika terdapat gangguan Aksis I lainnya, Isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya (misalnya,
preokupasi dengan makanan yang terdapat pada Gangguan Makan; mencabut rambut yang terdapat
pada Trikotilomania; perhatian pada penampilan yang terdapat pada Gangguan Dismorfik Tubuh;
preokupasi dengan zat yang terdapat pada suatu Gangguan Penggunaan Zat; preokupasi dengan
menderita suatu penyakit serius yang terdapat pada Hipokondriasis; preokupasi dengan dorongan
atau fantasi seksual yang terdapat pada Parafilia; atau perenungan bersalah yang terdapat pada
Gangguan Depresi Mayor.
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misal, penyalahgunaan zat,
pengobatan) atau suatu kondisi medis umum
Sebutkan Jika :
Dengan tilikan buruk : jika, selama sebagian besar waktu episode terakhir, orang tidak menyadari
bahwa obsesi dan kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Mengingat faktor utama penyebab gangguan obsesif kompulsif adalah faktor biologik, maka
pengobatan yang disarankan adalah pemberian farmakoterapi dan terapi perilaku.
Obat-obatan yang umum digunakan pada gangguan obsesif-kompulsif berupa SSRI sebagai terapi lini
pertama contohnya fluoxetine, fluvoxamine, paroxetine, sertraline, dan citalopram; antidepresan
trisiklik seperti clomipramine yang terbukti paling efektif dibandingkan dengan obat-obatan trisiklik
lainnya. Obat-obatan tersebut memiliki efek samping, SSRI memiliki efek samping berupa rasa mual,
gangguan tidur, nyeri kepala, dan rasa gelisah yang sifatnya transient sehingga tidak terlalu
mengganggu. Untuk pengobatan dengan clomipramine perlu diperhatikan pemberian dosis awal,
karena memiliki efek samping gangguan sistem gastrointestinal, hipotensi ortostatik, dan efek
antikolinergi serta sedasi berat. Bila terapi dengan SSRI dan clomipramine tidak efektif, dapat
diberikan beberapa obat lain seperti valproat, litihium, atau carbamazepine. Venlafaxine, pindolol,
dan obat-obatan MAOI (phenelzine) juga dapat digunakan sebagai tambahan.
Terapi perilaku pada seseorang dengan gangguan obsesif-kompulsif dapat berupa exposure and
response prevention dimana pasien dipanjankan dengan stimulusnya namun diingatkan dan diawasi
untuk menahan perasaan kompulsifnya. Desensitisasi, thought stopping, dan thought flooding,
merupakan terapi yang dapat digunakan pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Untuk
keberhasilan dari terapi perilaku, sebaiknya terapi ini digabungkan dengan obat-obatan, psikoterapi,
dan yang terutama memerlukan tingkat komitmen pasien yang tinggi. Dalam proses terapi,
diperlukan dukungan dari keluarga yang cukup sehingga pasien dapat mempertahankan tingkat
komitmennya terhadap terapi yang dijalaninya. Dalam kondisi tertentu, terapi kelompok juga dapat
membantu seorang pasien dalam terapinya.
Pada kasus-kasus yang ekstrim, dapat dipertimbangkan terapi elektro-konvulsi dan bedah psikis.
Yang umumnya digunakan terkait dengan kasus gangguan obsesif-kompulsif adalah cingulotomy
yang sukses pada 25-30 % pasien. Selain itu juga terdapat capsulotomy.Teknik bedah nonablasi
dimana menanamkan elektrode-elektrode pada nukleus-nukleus ganglia basal. Terapi-terapi ini
dilakukan dengan bantuan MRI. Komplikasi dari terapi bedah tersebut umumnya adalah kejang, yang
dapat diterapi dengan fenitoin.
Lebih dari 50% pasien dengan gangguan obsesif kompulsif gejala awalnya muncul mendadak.
Permulaan gangguan terjadi setelah adanya peristiwa yang menimbulkan stres, seperti kehamilan,
masalah seksual, kematian keluarga. Seringkali pasien merahasiakan gejala sehingga terlambat
datang berobat. Perjalanan penyakit bervariasi, sering berlangsung panjang, beberapa pasien
mengalami perjalanan penyakit yang berfluktuasi sementara sebagian lain menetap dan terus-
menerus ada.
Kira-kira 20-30 % pasien mengalami perbaikan gejala yang bermakna, sementara 40-50% perbaikan
sedang, sedangkan sisanya 20-40% gejalanya menetap atau memburuk. Sepertiga gangguan obsesif
kompulsif disertai gangguan depresi, dan semua pasien dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki
risiko bunuh diri.
Indikasi prognosis buruk adalah: kompulsi yang diikuti, awitan masa kanak, kompulsi yang bizarre,
memerlukan perawatan rumah sakit, ada komorbiditas dengan gangguan depresi, adanya
kepercayaan yang mengarah ke waham dan adanya gangguan kepribadian(terutama kepribadian
skizotipal). Indikasi adanya prognosis yang baik adalah adanya penyesuaian sosial dan pekerjaan
yang baik, adanya peristiwa yang menjadi pencetus, gejaja yang episodik.
5. GANGGUAN AFEKTIF
Gangguan afektif adalah gangguan dengan gejala utama adanya perubahan suasana perasaan
(mood) atau afek, biasanya ke arah depresi dengan atau tanpa ansietas yang menyertainya, atau ke
arah elasi (suasana perasaan meningkat).
Gangguan afektif dibedakan atas:
• Episode tunggal atau multipel
• Tingkat keparahan gejala
o Dengan atau tanpa gejala somatik
o Mania dengan gejala psikotik, mania tanpa gejala psikotik, hipomania
• Depresi ringan, sedang, berat tanpa gejala psikotik, berat dengan gejala psikotik
Etiologi
Dasar umum untuk gangguan ini tidak diketahui. Penyebabnya merupakan interaksi antara faktor
biologis, faktor genetik, dan faktor psikososial. Kelainan metabolit amin biogenik seperti
hydroxyindoleacetic acid (5 HIAA), homovanillic acid (HVA), 3-metoksi-4-hidroksifenilglikol (MHPG)
dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal dilaporkan ditemukan pada pasien. Pola penurunan
genetika terjadi melalui mekanisme yang kompleks. Bukan hanya tidak mungkin untuk
menyingkirkan faktor psikososial, namun faktor nongenetik mungkin memainkan peranan kausatif
dalam perkembangan gangguan ini pada sekurangnya beberapa orang pasien.
Manifestasi Klinis
Episode Manik
Pada kelompok ini terdapat afek yang meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan
aktivitas fisik den mental, dalam berbagai derajat keparahan. Kategori ini hanya untuk satu episode
manik tunggal (yang pertama), termasuk gangguan afektif bipolar, episode manik tunggal.
Termasuk:
1. Hipomania
• Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania, afek yang meninggi atau berubah disertai
peningkatan aktivitas menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut, pada
suatu derajat intensitas dan bertahan melebihi siklotimia, serta tidak ada halusinasi atau waham,
• Menimbulkan pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial.
2. Mania tanpa gejala psikotik
• Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1 minggu dan cukup berat sampai mengacaukan
seluruh atau hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang biasa dilakukan
• Perubahan afek harus disertai energi yang bertambah, sehingga terjadi aktivitas berlebihan,
percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur berkurang, ide-ide perihal kebesaran, dan
terlalu optimistik.
3. Mania dengan gejala psikotik
• Gambaran klinis lebih berat daripada mania tanpa gejala psikotik
• Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi waham
kebesaran (delusion of persecution). Waham dan halusinasi sesuai dengan keadaan afek tersebut.
Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan ini memiliki episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) di mana afek pasien dan
tingkat aktivitasnya jelas terganggu. Pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai
penambahan energi dan aktivitas (mania atau hipomania) dan pada waktu lain berupa penurunan
afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi).
Yang khas biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode. Episode manik biasanya mulai tiba-
tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan, episode depresi cenderung berlangsung
lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali pada orang berusia
lanjut. Kedua macam episode itu seringkali terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau
trauma mental lain.
Episode Depresi
Gejala utama:
1. Afek depresi
2. Kehilangan minat dan kegembiraan, serta
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktivitas.
Gejala lainnya:
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik
5. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresi, dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan sekurang-kurangnya 2
minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala
luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
Termasuk:
Termasuk:
1. Episode depresi ringan
• Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama
• Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
• Tidak boleh ada gejala berat di antaranya
• Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu
• Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya
2. Episode depresi sedang
• Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama
• Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
• Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu
• Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah
tangga
3. Episode depresi berat tanpa gejala psikotik
• 3 gejala utama harus ada
• Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di antaranya harus berintensitas
berat
• Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien
mungkin tidak mau atau tidak mampu melaporkan banyak gejalanya secara terperinci
• Biasanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, tetapi bila gejala amat berat
dan muncul sangat cepat bisa kurang dari 2 minggu
• Sangat tidak mungkin pasien mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, atau urusan rumah
tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas
4. Episode depresi berat dengan gejala psikotik
• Gejala seperti depresi berat tersebut di atas
• Disertai waham, halusinasi, atau stupor depresi. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa,
kemiskinan, atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggungjawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau halusinasi olfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh,
atau bau kotoran atau anjing yang membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju
kepada stupor.
Gangguan Suasana Perasaan Menetap
1. Siklotimia
Ciri esensial adalah ketidakstabilan menetap dari afek (suasana perasaan), meliputi banyak periode
depresi ringan dan hipomania ringan, di antaranya tidak ada yang cukup parah atau cukup lama
untuk memenuhi kriteria yang lain.
2. Distimia
Ciri esensial adalah afek depresi yang berlangsung cukup lama dan tidak pernah atau jarang sekali
cukup parah untuk memenuhi kriteria gangguan depresi berulang ringan atau sedang.
Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung sekurang-kurangnya beberapa
tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu yang tak terbatas.
Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Gangguan ini cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan mengalami kekambuhan.
Stresor kehidupan seringkali mendahului episode pertama gangguan mood dibandingkan episode
selanjutnya. Episode depresi yang tidak diobati biasanya berlangsung selama 6-13 bulan, sedangkan
bila diobati sekitar 3 bulan. Sebagian pasien dengan diagnosis awal gangguan depresi berat
menderita episode manik 6-10 tahun setelah episode depresi awal. Gangguan depresi bukan
merupakan gangguan yang ringan, cenderung menjadi kronik, dan mengalami relaps. Prognosis
diperkirakan baik bila episode ringan, tidak ada gejala psikotik, dan tinggal di RS dalam waktu
singkat.
Penatalaksanaan
Prinsip umum:
• Keamanan pasien harus dijamin
• Pemeriksaan diagnostik yang lengkap harus dilakukan
• Rencana pengobatan harus disusun untuk mengatasi semua gejala yang diperkirakan akan muncul
• Terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stresor pada pasien
• Strategi pengobatan harus disampaikan kepada keluarga pasien
• Pengobatan yang paling efektif adalah kombinasi farmakoterapi dan psikotera
Gambar manajemen gangguan psikotik
Indikasi rawat:
• Perlu prosedur diagnostik
• Ada risiko bunuh diri atau membunuh
• Ada penurunan kemampuan dasar yang jelas
• Riwayat gejala yang berkembang dengan pesat dan hancurnya sistem pendukung pasien
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang dapat dilakukan adalah terapi kognitif, terapi
interpersonal, dan terapi perilaku.