PENDAHULUAN
1
Bila semua itu sudah tidak mampu menahan serangan dari luar maka
terjadilah inflamasi atau peradangan. Peradangan itu sendiri dapat dibedakan
menjadi dua yaitu regional dan sistemik. Peradangan regional misalnya
pembengkakan yang terjadi pada pangkal femur ketika kaki mengalami bisul atau
luka yang terinfeksi kuman. Sedangkan kalau peradangan yang menyerang
seluruh tubuh atau sistemik maka manusia atau hewan tersebut suhu tubuhnya
akan meningkat dan mengalami demam kalau pada manusia.
Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meninjau lebih dalam
mengenai ilmu imunologi khususnya tentang inflamasi. Karena dengan
mengetahui suatu hewan mengalami peradangan, kita sebagai calon dokter hewan
dapat mendiagnosa lebih jauh lagi mengenai penyakit yang menyerang pada
hewan tersebut. Inflamasi menjadi indikator utama suat hewan tersebut dalam
keadaan tidak sehat, mengingat inflamasi ini berkaitan dengan sistem kekebalan
tubuh. Jika terjadi inflamasi pastilah tubuh sudah terpapar beda asing( virus dan
bakteri) sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan
agen yang membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih
luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera
diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut
inflamasi (Rukmono, 1973).
Inflamasi atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin,
bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel
yang berperan sebagai mediator inflamasi di dalam sistem kekebalan untuk
melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
3
Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap infeksi:
Ciri inflamasi salah satunya adalah udem (bengkak atau swelling), ini bisa
terjadisetelah beberapa menit terjadi cidera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang
menghasilkan peningkatan volume darah di lokasi tersebut. Permeablitas vaskuler
meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah dan muncullah udem.
Setelah beberapa jam, leukosit menempel pada sel endotel di daerah inflamasi
dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan, proses ini
disebut ekstravasasi. Berbagai faktor plasma seperti imunoglobulin, komplemen,
sistem aktivasikontak-koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil,
mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit,
limfosit, dan sitokin berinteraksi satu sama lain. Seperti gambar dibawah ini :
4
Gamabar 1. Gambar Leukosit Melewati Jaringan
A. Inflamasi akut
Inflamasi akut akan terjadi secara cepat (menit —hari) dengan ciri khas
utama eksudasi cairan, akumulasi neutrofil memiliki tanda-tanda umum
berupa rubor (redness), calor (heat), tumor (swelling), Dolor (pain),
Functiolaesa (lose of function). Seperti gambar dibawah ini:
5
Gambar 2. Gambar Tahapan terjadinya inflamasi akut.
1. Hyperaemia
Jejas yang terbentuk pertama-tama akan menyebabkan dilatasi arteri
lokal (didahului vasokonstriksi sesaat). Dengan demikian mikrovaskular
pada lokasi jejas melebar, aliran darah mengalami perlambatan, dan terjadi
bendungan darah yang berisi eritrosit pada bagian tersebut, yang disebut
hiperemia. Pelebaran ini lah yang menyebabkan timbulnya warna merah
(eritema) dan hangat. Perlambatan dan bendungan ini terlihat setelah 10-30
menit.
6
Hyperaemia di dalam inflamasi berhubungan dengan perubahan
mikrovaskular, yang disebut Lewis’ tripleresponse – berupa “a FLUSH, a
FLARE and a WEAL”. The FLUSH ditandai dengan garis putih
(dikarenakan adanya vasokonstriksi). The FLUSH merupakan garis merah
(dikarenakan dilatasi kapiler). The FLARE merupakan daerah dengan warna
merah yang lebih terang di sekitarnya (dikarenakan dilatasi arteri).
2. Exudating
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas endotel disertai
keluarnya protein plasma dan sel-sel leukosit ke daerah extravaskular yang
disebut eksudasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah dalam darah
terkonsentrasi, viskositas meningkat, sirkulasi menurun, terutama pada
pembuluh darah-pembuluh darah kecil yang sisebut stasis.
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak
cairan keluar ke dalam ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi.
Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein plasma dan
menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik
kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut
akan menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir
dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler
dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton.
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi
(di atas 1.020) dan seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel
darah putih yang melakukan emigrasi. Cairan ini tertimbun sebagai akibat
peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan protein plasma
dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan
serentetan peristiwa rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya
3. Emigration of leucocyte
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada
lokasi jejas, merupakan aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih
7
mampu memfagosit bahan yang bersifat asing, termasuk bakteri dan debris
sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya membantu
pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih
merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan
kerusakan jaringan yang berarti. Baik neutrofil, maupun sel berinti tunggal
dapat melewati celah antar sel endhotelial dengan menggunakan pergerakan
amoeboid menuju jaringan target.
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan
menyebabkan sel-sel darah merah menggumpal dan membentuk agregat-
agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut hukum fisika
aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran
aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula
sel darah putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan
endotel pada aliran yang tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan
melekat dan melapisi permukaan endotel.
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak
keluar dari pembuluh darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah
pertemuan antar-selendotel. Walaupun pelebaran pertemuan antar-sel
memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-selendotel yang tampak tertutup tanpa perubahan
nyata
4. Kemotaksi
8
darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein
plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri berupa protein maupun
polipeptida
5. Fagositosis
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis.
Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa
didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan
sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang
terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami
opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar
akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam.
Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput
sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum
menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan
fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut
degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami
pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian
mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat
menghancurkan leukosit.
B. Inflamasi kronis
Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi
panjang (berminggu-minggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses
secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan.
Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan
vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan
radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag,
limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi
proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell
&Cotran, 2003).
9
Inflamasi kronis dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat
timbul menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik.
Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon
radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap
atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya
radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas
memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang
menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi
penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu
(seperti basil tuberkel, Treponemapalidum, dan jamur-jamur tertentu),
kontak lama dengan bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika),
penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6
minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif
tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya.
Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola
morfologi reaksi (Robbins &Kumar, 1995).
10
Gamabar 3. Gambar Terjadinya Inflamasi Kronis.
11
berpengaruk saat pengaktifan makrofag adalah IFM-y . sitokin,
endotoksin, mediator lain yang diprosuksi saat terjasi radang akut, dan
matrixextraceluler, seperti fibronectin
Makrofag aktif mampu mengaktifkan zat-zat yang membuat suatu
jaringan menjadi nekrosis atau fibrosis. Contohnya adalah asam dan
basa protease, komponen komplemen dan faktor-faktor pembekuan,
oksigen reaktif NO, metabolit asam arakhidonat, sitokin IL-1, TNF san
berbagai growthfactor
b. Limfosit
Limfosit sikerahkan di kedua reaksi imun humoral dan seluler
dan bahkan dalam peradangan non imun. Antigen distimulasi (efektor
dan memori) dan berbagai jenis limfosit (T, B) menggunakan berbagai
molekul adhesi pasangan (terutama yang integrins dan ligan) dan
kemokin untuk bermigrasi ke situs peradangan. Sitokin dari makrofag
diaktifkan, terutama TNF, IL-1, da kemokin. Sel ini mempersiapkan
proses peradangan
Limfosit dan makrofag berinteraksi dakan cara dua arah, dan
reaksi-reaksi ini memainkan peran penting dalam peradangan kronis.
Limfosit T aktif akan mengaktifkan makrofag serta mengeluarkan
mediator radang untuk mempengaruhi sel lain, saat makrofag aktif,
dia akan mengaktifkan limfosit T dan tak lupa mengeluarkan mediator
radang untuk mempengaruhi sel disekitarnya.
c. Eusinofi
Eusinofil berlimpah dalam reaksi kekebalan yang diperantarai
oleh IgE dan infeksi parasit. Salah satu kemokin yang terutama
penting bagi perekrutan eusinofil adalah eotaxin, Eusinofil memiliki
granula yang mengandung protein dasar utama, yang sangat kationik
protein yang beracun bagi parasit tetapi juga menyebabkan lisis sel
epitel mamalis. Itulah sebabnya ia sangat berperan dalam memerangi
infeksi parasit tetapi juga berkontribusi pada kerusakan jaringan dalam
reaksi kekebalan.
12
d. Sel Mast
Sel ini didistribusikan secara luas di jaringan ikat dan
berpartisipasi dalam reaksi peradangan akut dan kronis. Pada reaksi
akut, antibodi IgE yang terikat pada Fc reseptor khusus mengenali
antigen, dan sel-sel degranulate dan melepaskan mediator seperti
histamin dan produksi oksidasi AA, Jenis respon terjadi selama reaksi
anafilaksis makanan, racun serangga atau obat-obatanm sering dengan
hasil becana. Bila diatur dengan benar, respon ini dapat bermanfaat
bagi tuan rumah. Sel mast juga hadir dalam reaksi peradangan kronis,
dan mungkin menghasilkan sitokin yang berkontribusi terhadap
fibrosis.
2. Mediator Peradangan
Mediator adalah caraka atau signal kimia. Mediator dalam
inflamasi/radang berperan sangat penting karena merupakan
komponen utama dalam komunikasi sel, amplifikasi inflamasi,
ataupun opsonin, yang ketiganya berguna dalam memfasilitasi
eliminasi agen penyebab radang dan juga perbaikan jaringan.
Beberapa hal yang perlu diketahui dari mediator adalah sebagai
berikut :
13
diaktivasi oleh mikroba dan jaringan yang terluka. Mekanisme
ini dapat diartikan sebagai “diaktivasi jika diperlukan,
diproduksi jika dibutuhkan”.
e. Mediator yang satu dapat merangsang dikeluarkannya mediator
yang lain misalnya, mediator TNF dan IL-1 dapat menstimulasi
dikeluarkannnya protein selektin oleh sel endotel.
f. Mediator bervariasi dalam efek dan jenis sel tempat ia bekerja.
Kebanyakan mediator (terutama yang bersifat hidrofilik) hanya
memiliki waktu hidup yang pendek karena harus segera
didegradasi agar tidak menimbulkan respon yang berlebihan.
Terdapat dua macam mediator yang dibagi berdasarkan tempat
ia berasal, yaitu mediator yang berasal dari sel (cell-
derivedmediators) dan mediator yang murni dari plasma darah
(plasma-derivedmediators).
Mediator selular dapat dibagi menjadi beberapa macam, sebagai
berikut:
1. AminaVasoakti
Aminavasoaktif maksudnya adalah berbagai macam mediator
kimia yang merupakan turunan dari amina, yang dapat bekerja
langsung pada sistem vaskular.
2. Metabolit Asam Arakidonat (AA)
AA merupakan salah satu turunan asam lemah yang terdiri atas
20atom C (Karbon) yang diperoleh dari asupan makanan
ataupun konversi dari asam lenoleat.
3. Platelet-ActivatingFactor (PAF)
Merupakan salah satu bentuk mediator yang adalah turunan dari
fosfolipid. Diberi nama PAF karena mediator ini dapat
menyebabkan agregasi dari keping-keping darah, namun
sekarang ini ditemukan pula efek dari mediator ini yang dapat
memicu terjadinya inflamasi.
14
4. ReactiveOxygenSpecies (ROS)
ROS, meskipun terlibat dalam pencernaan mikroba dan
eliminasi agen radang, juga dapat dilepaskan ke lingkungan
ekstraselular akibat terjadinya frustated-leukocyte.
5. Nitrogen Oksida (NO)
NO berperan dalam merelaksasi otot polos vaskular dan
mempromosikan terjadinya vasodilatasi.
6. Sitokin dan Kemokin
a. Sitokin
Sitokin yang paling banyak berperan dalam inflamasi akut
adalah TNF (α,β,γ) ataupun Interleukin (IL, dari 1 – 20),
selain itu terdapat pula Interferon/IFN (α,β,γ).
b. Kemokin
Merupakan protein yang bersifat terutama sebagai
kemoatraktan untuk leukosit.
7. Kandungan Lisosomal dari Leukosit
Kandungan lisosomal dari leukosit yang terdapat dalam
granulanya apabila dilepaskan akan dapat memicu terjadinya
responinflamasi.
8. Neuropeptida
Disekresikan oleh sel-sel neuron (pada sensorik dan beberapa
leukosit tertentu) yang berperand dalam amplifikasi dari
responinflamasi, misalnya substansi P dan neurokinin-A.
15
A. Obat Anti-inflamasiNonsteroid
1. Jenis Obat Anti-inflamasiNonsteroid
16
Sedangkan menurut waktu paruhnya, OAINS dibedakan menjadi:
1. AINS dengan waktu paruh pendek (3-5 jam), yaitu aspirin, asam
flufenamat, asam meklofenamat, asam mefenamat, asam niflumat,
asam tiaprofenamat, diklofenak, indometasin, karprofen, ibuprofen,
dan ketoprofen.
2. AINS dengan waktu paruh sedang (5-9 jam), yaitu fenbufen dan
piroprofen.
3. AINS dengan waktu paruh tengah (kira-kira 12 jam), yaitu diflunisal
dan naproksen.
4. AINS dengan waktu paruh panjang (24-45 jam), yaitu piroksikam dan
tenoksikam.
5. AINS dengan waktu paruh sangat panjang (lebih dari 60 jam), yaitu
fenilbutazon dan oksifenbutazon.
17
hanya dalam keadaan demam. Penurunan suhu badan berhubungan dengan
peningkatan pengeluaran panas karena pelebaran pembuluh darah
superfisial. Antipiresis mungkin disertai dengan pembentukan banyak
keringat. Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua
mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan
syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek
interleukin-1 pada hipotalamus. Aspirin dan OAINS lainnya menghambat
baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun
respon susunan syaraf pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat
mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus dan memudahkan
pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.
3. Efek Anti-inflamasi
Inflamasi adalah suaturespon jaringan terhadap rangsangan fisik atau
kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator
inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya
yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak,
dan disertai gangguan fungsi. Kebanyakan OAINS lebih dimanfaatkan
pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritisrheumatoid, osteoartritis,
dan spondilitisankilosa. Namun, OAINS hanya meringankan gejala nyeri
dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak
menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan jaringan pada
kelainan muskuloskeletal.
Meskipun semua OAINS memiliki sifat analgesik, antipiretik dan
anti-inflamasi, namun terdapat perbedaan aktivitas di antara obat-obat
tersebut. Salisilat khususnya aspirin adalah analgesik, antipiretik dan anti-
inflamasi yang sangat luas digunakan. Selain sebagai prototip OAINS,
obat ini merupakan standar dalam menilai OAINS lain. OAINS golongan
para aminofenol efek analgesik dan antipiretiknya sama dengan golongan
salisilat, namun efek anti-inflamasinya sangat lemah sehingga tidak
digunakan untuk anti rematik seperti salisilat. Golongan pirazolon
18
memiliki sifat analgesik dan antipiretik yang lemah, namun efek anti-
inflamasinya sama dengan salisilat.
19
BAB III
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
2. Inflamasi kronis
20
inflamasi. Karena obat anti inflamasi memiliki sifat analgesik, antipiretik
dan anti-inflamasi.
21
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P.,
Widjaja, A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah).
Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan 2000).
Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.)
(Setiawan, I., Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku
asli diterbitkan 1996).
Robbins, S.L. &Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar
laboratorium patologi anatomik
22