Anda di halaman 1dari 4

6.

C. Pitiriasis Versicolor

1. Definisi
Pitiriasis versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfisial kronik, disebabkan oleh
ragi genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala subyektif, ditandai
oleh area depigmentasi atau diskolorasi berskuama halus, tersebar diskret
atau konfluen, dan terutama terdapat pada badan bagian atas.
Pitiriasis Versicolor sering disebut panu/panau, tinea versikolor. Jarang
disebut dermatomycoses furfuracea, tinea flava, liver spots, chromophytosis.
2. Epidemiologi
PV merupakan penyakit universal, terutama ditemukan di daerah tropis. Tidak
terdapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi terdapat perbedaan
kerentanan berdasarkan usia, yakni lebih banyak ditemukan pada remaja dan
dewasa muda, jarang pada anak dan orang tua. Di Indonesia, kelainan ini
merupakan penyakit yang terbanyak ditemukan di antara berbagai penyakit
kulit akibat jamur.
3. Etiologi
PV disebabkan oleh Malassezia spp., ragi bersifat lipofilik yang merupakan
flora normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk ragi dapat
berubah menjadi hifa. Dahulu ragi ini digolongkan sebagai genus
Pityrosporum, tetapi kemudian direklasifikasi sebagai genus Malassezia.
Berdasarkan analisis genetik, diidentifikasi 6 spesies lipoflik pada kulit manusia
yakni M. furfur, M. sympodialis, M. globosa, M. restricta, M. slooffiae, M.
obtusa; dan satu spesies yang kurang lipofilik dan biasa terdapat pada kulit
hewan, M. pachydermatis. Selanjutnya dilaporkan spesies lain: M. dermatis,
M. yaponica, M. nana, M. caprae, M. equine. Sifat lipoflik menyebabkan ragi
ini banyak berkolonisasi pada area yang kaya sekresi kelenjar sebasea.
Beberapa studi terpisah menunjukkan bahwa M. globosa banyak
berhubungan dengan PV, tetapi studi lain menunjukkan bahwa M.
sympodialis dan M. furfur yang predominan pada PV.
4. Patogenesis
Malassezia spp, yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi
bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau faktor
predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut berupa
suhu, kelembaban lingkungan yang tinggi, dan tegangan CO2 tinggi
permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi
imunosupresif dan malnutrisi.
Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna pada
lesi kulit, yakni Malassezia sp, memproduksi asam dikarboksilat (a.l, asam
azeleat) yang mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi
(pityriacitrin) yang mempunyai metabolit kemampuan absorbsi sinar
ultraviolet sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi. Mekanisme terjadinya
lesi hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada
pemeriksaan mikroskop elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar
dari normal. Lapisan keratin yang lebih tebal juga dijumpai pada lesi
hiperpigmentasi.

5. Gambaran Klinis
Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher, dan perut,
ektremitas sisi proksimal. Kadang ditemukan pada wajah dan skalp; dapat juga
ditemukan pada aksila, lipat paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas
tegas, dapat hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan kadang eritematosa, terdiri
atas berbagai ukuran, dan berskuama halus (pitiriasiformis) Umumnya tidak
disertai gejala subyektif, hanya berupa keluhan kosmetis, meskipun kadang
ada pruritus ringan.

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi
kekuningan akibat metabolit asam dikarboksilat, yang digunakan sebagai
petunjuk lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi. Perlu diwaspadai hasil
pemeriksaan fluoresensi positif palsu yang antara lain dapat karena
penggunaan salap yang mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Hasil negative
palsu dapat terjadi pada orang yang rajin mandi.

Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menunjukkan


kumpulan hifa pendek dan sel ragi bulat, kadang oval. Gambaran demikian
menyebabkan sebutan serupa spaghetti and meatballs' atau bananas and
grapes' Sediaan diambil dengan kerokan ringan kult menggunakan skalpel
atau dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan dengan menggunakan larutan
KOH 20%, dan dapat ditambahkan sedikit tinta biru-hitam untuk memperjelas
gambaran elemen jamur.

7. Diagnosis

Dugaan diagnosis Pv jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah


predileksi berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, sampai
dengan hitam, yang berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu Wood
untuk melihat fluoresensi kuning keemasan akan menbantu diagnosis klinis.
Konfirmasi diagnosis dengan didapatkannya hasil positif pada pemeriksaan
mikologis kerokan kulit.

8. Diagnosis Banding

Beberapa kelainan dengan klinis yang mirip dan perlu dibedakan dan PV,
antara lain pitiriasis alba, eritrasma, vitligo, dermatitis seboroik, pitiriasis
rosea, morbus Hansen tipe tuberkuloid, dan tinea. Perbedaan karakteristik
klinis perlu dicermati, dan pemeriksaan penunjang yang sesuai dapat
membantu untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis.

9. Tata Laksana
Mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat dihindari
merupakan hal yang penting dalam tatalaksana PV selain terapi. Terapi dapat
menggunakan terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa pertimbangan,
antara lain luas lesi, biaya, kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek
samping.
Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain selenium sulfide bentuk
sampo 1,8% atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama 15-30
menit dan kemudian dibilas. Aplikasi yang dibiarkan sepanjang malam dengan
frekuensi 2 kali seminggu juga dapat digunakan, dengan perhatian akan
kemungkinan reaksi iritasi. Pengolesan dianjurkan di seluruh badan selain
kepala dan genitalia. Ketokonazol 2% bentuk sampo juga dapat digunakan
serupa dengan sampo selenium sulfid. Alternatif lain adalah solusio natrium
hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk lesi terbatas, berbagai krim
derivate azol misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol, ekonazol dapat
digunakan; demikian pula krim tolsiklat, tolnaftat, siklopiroksolamin, dan
haloprogin. Obat topikal sebaiknya diteruskan 2 minggu setelah hasil
pemenksaan dengan lampu Wood dan pemeriksaan mikologis langsung
kerokan kulit negatif.
Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan
terapi topikal, antara lain dengan ketokonazol 200 mg/hari selama 5-10 hari
atau itrakonazol 200 mg/hari selama 5-7 hari. Pengobatan rumatan
(maintenance)dipertimbangkan untuk menghindari kambuhan pada pasien
yang sulit menghindari faktor predisposisi; antara lain dengan sampo
selenium sulfide secara periodis atau dengan obat sistenik ketokonazol 400
mg sekali setiap bulan atau 200 mg sehari selama 3 hari tiap bulan.
10. Prognosis
Prognosis baik jika pengobatan dilakukan secara tekun dan konsisten, serta
faktor predisposisi dapat dihindari. Lesi hipopigmentasi dapat bertahan
sampai beberapa bulan setelah jamur negatif, hal ini perlu dijelaskan pada
pasien.

Referensi

1. Ashbee HR. Update on the genus Malassezia Mea Mycol 2007:45:287-303


2. Bramono K, Menaldi Sit, Widaty s, Hernani CH.
3. Prevalensi penyakit kulit, faktor risiko dermatomikosis serta sebaran jenis
dermatofitosis dan spesies penyebab: survei di daerah rural dataran
rendah Jawa Barat MDVI. 2008;35: 2-7.
4. Dali A, Amin S, lyas FS. Tinjauan mengenai penyakit jamur superficial di
Indonesia. MDVI, 2001; 28 (supl.2)228S-31S.
5. Gupta AK, Blunm R, Summerbell R. Pityriasis versicolor. JEADV
2002;16:19-33.
6. Gupta KA, Batra R, Bluhm R, Boekhout T, DawsonTL. Skin diseases
associated with Malassezia species. JAm AcadDerrnatot. 2004; 51: 785-
98.
7. Hay RJ dan Ashbee HR. Mycology. In: Buns T, Breathnach S, Grifiths ,
editor. Rooks's textbook of dermatology &"* ed, vol 2. Oxford, Wiley
Blackwell; 2010.
8. Janik MP, Heffernan MP. Yeast infection candidiasis and tinea (pityriasis)
versicolor, and malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Wolf K,
Goldsmith LA, Katz Sl, Gilchrest BA, Paller AS, Levell D, editor
9. Fitzpatrick's Dermatology in General Mediane. 8 ed. New York: McGraw-
Hill Co; 2012.p.2298-311.
10. Krisanty RiA, Bramono K, Wisnu iM. Identification of Malassezia species
from pitynasis versicolor in indonesia and its relationship with clinical
characteristics. Mycoses 200852:257-62

Anda mungkin juga menyukai