Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Beberapa orang di Indonesia pastilah mengenal sunnah dan juga
bid’ah. Adanya kedua kata diatas juga mengakibatkan beberapa pertentangan
dan juga penolakan terhadap sesuatu, terutama yang baru, yang muncul pada
kemajuan dunia yang semakin pesat. Beberapa orang yang masih hijau, di
mungkinkan menelan mentah-mentah pengertian dua kata diatas, terutama
kata bid’ah yang semakin marak seiring berkembangnya teknologi yang ada
di dunia.
Agama Islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw. yang bertujuan untuk menyempurnakan agama-agama yang sebelumnya.
Al-Qur’an adalah kitabnya. Di dalam Al-Qur’an terdapat berbagai macam
hukum-hukum atau aturan yang mengatur kehidupan manusia dalam bidang
sosial, politik, ibadah, dan lain-lain, demikian juga dalam urusan manusia dan
juga tuhannya. Namun, karena sifat hukum Al-Qur’an yang sangat umum,
maka dalam penjelasannya, Nabi Muhammad Saw. sendirilah yang
mempraktekannya atau adanya suatu permasalahan dari suatu kaum yang ada
yang memunculkan suatu penjelasan dimana umat Islam wajib untuk
mematuhinya setelah Al-Qur’an, yaitu sunnah.
Namun, dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi menjadikan
banyaknya permasalahan baru yang tak ada di dalam Al-Qur’an dan juga
sunnah. Sebagian orang berijtihad untuk menentukan aturan baru, namun ada
juga yang langsung mengatakan bahwa itu adalah sebuah bid’ah. Adanya hal
tersebut mengakibatkan sebuah perdebatan, pertentangan, dan juga penolakan
terhadap sesuatu yang baru. Bahkan beberapa kebudayaan yang merupakan
tradisi Indonesia asli pun juga dinyatakan sebagai bid’ah dan keberadaannya
hampir dilarang oleh sebagian kelompok.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konsep sunnah dan bid’ah?
2. Apa saja pembagian sunnah dan bid’ah?
3. Bagaimana bid’ah pada masa rasul dan sahabat?
4. Bagaimana kelompok anti bid’ah dan dalilnya?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian konsep sunnah dan bid’ah
2. Mahasiswa mampu mengetahui pembagian sunnah dan bid’ah
3. Mahasiswa mampu mengetahui bid’ah pada masa rasul dan sahabat
4. Mahasiswa kelompok anti bid’ah dan dalilnya

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Sunnah
A. Konsep Sunnah
Secara etimologis (bahasa) kata sunah adalah jamak dari kata sunnah.
Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw berarti jalan
Rasulallah saw yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh
beliau.Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya.
Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah ayat 23 yang berbunyi
“Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan
perubahan pada Sunnatullah itu”. Artinya, bahwa cabang-cabang hukum
syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak
berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan
mengantarkan kepada keridhoan Allah swt.
Sunnah secara etimologis bermakna 'perilaku atau cara berperilaku
yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Ada sunnah yang
baik dan ada sunnah yang buruk, seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih
yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: "Barangsiapa membiasakan
(memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam, dia akan
mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang
yang mengikuti kebiasaan baik itu setelahnya dengan pahala yang sama sekali
tidak lebih kecil dari pahala orang-orang yang mengikuti melakukan
perbuatan baik itu. Sementara, barangsiapa yang membiasakan suatu
perbuatan buruk dalam Islam, ia akan mendapatkan dosa atas perbuatannya itu
dan dosa dari perbuatan orang yang melakukan keburukan yang sama setelah
nya dengan dosa yang sama sekali tidak lebih kecil dari dosa-dosa yang
ditimpakan bagi orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu."
Kata "sunnah" yang dipergunakan oleh hadits tadi adalah kata sunnah
dengan pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang membuat perilaku
tertentu dalam kebaikan atau kejahatan. Atau, siapa yang membuat kebiasaan

3
yang baik dan yang membuat kebiasaan yang buruk. Orang yang membuat
kebiasaan yang baik akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan dari
nperbuatan orang yang membuat kebiasaan yang buruk makai a akan
mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat. Adapun dalam pengertian syariat, kata
sunnah mempunyai pengertian tersendiri atau malah lebih dari satu
pengertian.
Pada hakikatnya, dalam terminologi syariat, sunnah mempunyai lebih
dari satu makna. Kata sunnah dalam pengertian terminologis fuqaha adalah
'salah satu hukum syariat' atau antonim dari fardhu dan wajib. Ia bermakna
sesuatu yang dianjurkan dan didorong untuk dikerjakan. Ia adalah sesuatu
yang diperintahkan oleh syariat agar dikerjakan, namun dengan perintah yang
tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga, orang yang mengerjakannya akan
mendapatkan pahala, dan orang yang tidak mengerjakannya tidak
mendapatkan dosa kecuali jika orang itu menolaknya dan sebagainya. Dalam
pengertian ini, dapat dikatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum shalat shubuh
adalah sunnah, sementara shalat shubuh itu sendiri adalah fardhu.
Adapun sunnah secara terminologis (istilah) yang disimpulkan oleh
para ulama ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhamad saw baik
berupa ucapan (hadits), aksi (perbuatan) maupun determinasi atau
pengakuannya

Menurut para ahli ushul fiqih, sunnah adalah apa yang diriwayatkan
dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Ia dalam
pandangan ulama ushul ini, adalah salah satu sumber dari berbagai sumber
syariat. Oleh karena itu, ia bergandengan dengan Al-Qur'an. Misalnya, ada
redaksi ulama yang mengatakan tentang hukum sesuatu: masalah ini telah
ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur'an dan sunnah.
Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah.
Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi

4
saw, berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi--baik fisik maupun
akhlak--atau juga sirah (biografi Rasul saw.).
B. Pembagian Sunnah
1. Sunnah Qauliyyah (perkataan nabi)
Yaitu hadist hadist rasulullah SAW yang belaiu katakan dalam berbagai
tujuan dan konteks yang memuat berbagai maksud syara’ baik yang
berkaitan dengan aqidah, akhlak, maupun yang lainnya. Contoh
Rasulullah bersabda dalam hadistnya sebagai berikut : “dari Ibnu Abbas,
dari Nabi SAW bila seseorang kaum hendak bersetubuh dengan istrinya
bacalah dengan mum Altah. Ya tuhan jauhkanlah syitan dari pada kamu
dari pada anaknya engkau anugrahkan kepada kami kalau terjadi anak
dengan persetubuhan itu niscaya setan tidak akn memberi bahaya kepada
anak itu menjadi anak yang baik. (Buchari)”
2. Sunnah Fi’liyyah (perbuatan Nabi SAW)
Segala perbuatan rasul ataupun pekerjaannya yang dipahami dan
dilakukan nabi diikuti umatnya sampai kepada kita. Salah satu contoh dari
sunnah ini adalah : “Dari Aisyah istri Nabi SAW. Sesungguhnya nabi
apabila mandi karena Jannabah dimuali nya dengan membasuh kedua
belah tangannya, lalu berwudhu sebagai mana wudhunya sebagai
sembahyang, kemudian itu dimasukan anak jarinya ke dalam air dan
digosokkannya pangkal rambut kepalanya. Kemudian dituangkan keatass
kepalanya tiga sauk air dengan kedua belah tangannya, dan dituamgkan
air kepada segenap tubuhnya.”
3. Sunnah Tagririyah
Bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu
ucapa dihadapan nabi atau pada masa nabi, nabi mengetau apa yang
dilakukan orang itu dan mampu menyangganya, namun nabi diam dan
tidak menyanggahnya, maka hal ini merupakan perlakuan dari nabi.
Keadaan diam nabi itudapat dibedakan dalam 2 bentuk : pertama, nabi
mengetahui bahwa perbauatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh nabi.

5
Dalam hal ini kadang-kadang nabi mengetahui bahwa si pelaku tarjih.
Umpamanya pada suatu waktu nabi melipat kedua tangannya di bawah
dada pada waktu berdiri sedang solat, dan pada waktu lain menluruskan
tangannya dibawah. Dalam hal ini tidak dapat dikatakan ada pertentangan
antara 2 perbuatan nabi, sehungga di katakan bahwa perbuatan yang
dilakukan beliau kemudian membatalkan atau mensahkan apa yang
dilakukan nabi sebelumnya. Bila nabi melakukan suatu perbuatan yang
bukan merupakann penjelasan terhadap sebelumnya, tidak ada pula dalil
yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk nabi, tetapi dapat di
ketahui sifat dan perbuatan wajib, nadab atau mubah. Melalui penjelasan
langsung dari nabi atau tidak maka mayoritas ulama figih dan kalam
sepakat mengatakan bahwa umat dituntut mengikuti perbuatan itu baik
dalam yang berbentuk baik, nadab dan ibadah. Kedua, bentuk perbuatan
tersebut berlaku secara umum untuk nabi sendiri atau untuk umatnya.
Perbuatan nabi dapat diketahui merupakan penjelasan hokum untuk umat
dan menjadi hokum yang harus dipatuhi untuk umat dalam hal ini tidak
ada perbedaan pendapat dari ulama semua sepakat. Penjelasan dalam
bentuk ini adalah yang dikemukakan nabi dengan ucapan dengan jelas,
seperti sabda nabi : “sholatlah kamu sebagai mana kamu melihat saya
sholat”.
C. Sunnah pada Masa Nabi

1. Mendahulukan Kaki Kanan Saat Memakai Sandal Dan Kaki Kiri Saat
Melepasnya

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Jika kalian memakai
sandal maka dahulukanlah kaki kanan, dan jika melepaskannya, maka
dahulukanlah kaki kiri. Jika memakainya maka hendaklah memakai keduanya
atau tidak memakaikeduanya sama sekali.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6
2. Menjaga Dan Memelihara Wudhu

Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu Anhu bahwa


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,“Istiqamahlah
(konsistenlah) kalian semua (dalam menjalankan perintah Allah) dan kalian
tidak akan pernah dapat menghitung pahala yang akan Allah berikan.
Ketahuilah bahwa sebaik-baik perbuatan adalah shalat, dan tidak ada yang
selalu memelihara wudhunya kecuali seorang mukmin.”(HR. Ahmad dan
Ibnu Majah)

3. Bersiwak (Menggosok Gigi dengan Kayu Siwak)

Diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda,“Siwak dapat
membersihkan mulut dan sarana untuk mendapatkan ridha Allah.” (HR.
Ahmad dan An-Nasa`i)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Andaikata tidak
memberatkan umatku niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak
setiap kali hendak shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bersiwak disunnahkan setiap saat, tetapi lebih sunnah lagi saat hendak
berwudhu, shalat, membaca Al-Qur`an, saat bau mulut berubah, baik saat
berpuasa ataupun tidak, pagi maupun sore, saat bangun tidur, dan hendak
memasuki rumah.

Bersiwak merupakan perbuatan sunnah yang hampir tidak pernah dilakukan


oleh banyak orang, kecuali yang mendapatkan rahmat dari Allah. Untuk itu,
wahai saudaraku, belilah kayu siwak untuk dirimu dan keluargamu sehingga
kalian bisa menghidupkan sunnah ini kembali dan niscaya kalian akan
mendapatkan pahala yang sangat besar.

7
4. Shalat Istikharah

Diriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu Anhu bahwa ia berkata,


“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallammengajarkan kepada kita tata cara
shalat istikharah untuk segala urusan, sebagaimana beliau mengajarkan surat-
surat Al-Qur`an kepada kami.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, lakukanlah shalat ini dan berdoalah dengan doa yang sudah
lazim diketahui dalam shalat istikharah.

5. Berkumur-Kumur Dan Menghirup Air dengan Hidung Dalam Satu Cidukan


Telapak TanganKetika Berwudhu

Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Radhiyallahu Anhu, bahwa


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallamberkumur-kumur dan menghirup air
dengan hidung secara bersamaan dari satu ciduk air dan itu dilakukan
sebanyak tiga kali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

6. Berwudhu Sebelum Tidur Dan Tidur Dengan Posisi Miring Ke Kanan

Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu Anhu bahwa


Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallambersabda, “Jika kamu hendak tidur,
maka berwudhulah seperti hendak shalat, kemudian tidurlah dengan posisi
miring ke kanan dan bacalah, ‘Ya Allah, Aku pasrahkan jiwa ragaku kepada-
Mu, aku serahkan semua urusanku kepada-Mu, aku lindungkan punggungku
kepada-Mu, karena cinta sekaligus takut kepada-Mu, tiada tempat berlindung
mencari keselamatan dari (murka)-Mu kecuali kepada-Mu, aku beriman
dengan kitab yang Engkau turunkan dan dengan nabi yang Engkau utus’. Jika
engkau meninggal, maka engkau meninggal dalam keadaan fitrah. Dan
usahakanlah doa ini sebagai akhir perkataanmu.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)

8
7. Berbuka Puasa Dengan Makanan Ringan

Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata,


“Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallamberbuka puasa sebelum shalat
maghrib dengan beberapa kurma basah. Jika tidak ada maka dengan beberapa
kurma kering. Jika tidak ada, maka beliau hanya meminum beberapa teguk
air.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

8. Sujud Syukur Saat Mendapatkan Nikmat Atau Terhindar Dari Bencana

Sujud ini hanya sekali dan tidak terikat oleh waktu. Diriwayatkan dari
Abu Bakrah Radhiyallahu Anhuia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam mendapatkan sesuatu yang menyenangkan atau disampaikan kabar
gembira maka beliau langsung sujud dalam rangka bersyukur kepada
Allah.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

9. Tidak Begadang Dan Segera Tidur Selesai Shalat Isya`

Hal ini berlaku jika tidak ada keperluan saat begadang. Tetapi jika ada
keperluan, seperti belajar, mengobati orang sakit dan lain-lain maka itu
diperbolehkan. Dalam hadits shahih dinyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam tidak suka tidur sebelum shalat isya` dan tidak suka
begadang setelah shalat isya`.

10. Mengikuti Bacaan Muadzin

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhu bahwa dia


mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian
mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin,
kemudian bershalawatlah kepadaku. Barangsiapa yang bershalawat
kepadaku, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian
mintakan wasilah untukku, karena wasilah merupakan tempat di surga yang

9
tidak layak kecuali bagi seorang hamba Allah dan aku berharap agar akulah
yang mendapatkannya. Barangsiapa yang memintakan wasilah untukku maka
ia akan mendapatkan syafaatku (di akhirat kelak).” (HR. Muslim)

D. Sunnah pada Masa Sahabat


elain Al-Quran sebagai sumber pertama hukum Islam, sunnah Rasulullah
Saw. menempati urutan kedua sebagai sumber hukum Islam. Hal ini terlihat
dengan Sabda Rasulullah Saw. ketika menjelang wafat beliau;

‫ حدثنا‬:‫ قال‬،‫ حدثنا محمد بن إبراهيم الدؤلي‬:‫ قال‬،‫ حدثنا أحمد بن دحيم‬:‫ قال‬،‫حدثنا سعيد بن عثمان‬
‫ عن‬،‫ عن أبيه‬،‫ عن كثير بن عبد هللا بن عمرو بن عوف‬،‫ حدثنا الحنيني‬:‫ قال‬،‫علي بن زيد الفرائضي‬
‫ كتاب‬:‫ "تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما‬:‫ صلى هللا عليه وسلم‬,‫ قال رسول هللا‬:‫ قال‬،‫جده‬
"‫ صلى هللا عليه وسلم‬,‫هللا وسنة نبيه‬
“Aku meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kamu berpegang
kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-
Nya.”
Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul Saw. tersebut.
Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan
Alquran sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah
yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada sunnah
Nabi Saw. berarti mengikuti petunjuk Nabi Saw. dan memelihara
kemurniannya.
Para sahabat mengetahui kedudukan Sunnah maka mereka berpegang
teguh padanya dan mengikuti atsar-atsar Rasulullah Saw.. Mereka tidak mau
menyalahi ataupun berpaling dari Sunnah. Karena itu, mereka sangat berhati-
hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Saw. karena khawatir berbuat
kesalahan dan takut Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan dan
pengubahan.
Setelah wafatnya Nabi Saw., Abu Bakar diangkat menjadi khalifah.
Komitmen Abu Bakar untuk menegakkan hukum Allah dan Sunnah Rasul

10
Saw. dibuktikan dengan kebijakannya memerangi kaum munafik. Beliau
bersumpah bahwa orang yang tidak mau membayar zakat akan diperanginya
karena tindakan itu berseberangan dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah
Saw. Beliau mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima perang untuk
salah satu tujuan itu, juga karena adanya apresiasi sunnah terhadapnya.
Kepengikutan sahabat terhadap Sunnah setelah khalifah ini terus berlanjut,
misalnya di dalam pemerintah Umar, Usman, dan Ali.
Secara umum dapat dikemukakan tiga poin penting tentang metode
sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
a. Menyedikitkan Riwayat
Sebagaimana telah di jelaskan bahwa Sunnah merupakan sumber
syari’at Islam yang utama setelah Alquran. Oleh karena itu, para sahabat
menempuh segala cara untuk memeliharanya. Di antara mereka lebih memilih
bersikap ‘sedang (tidak banyak dan tidak sedikit) dalam meriwayatkan hadits’
dari Rasulullah Saw., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap
‘sedikit dalam meriwayatkan hadits.
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan
kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin
kuat ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar meminta dengan
keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan
orang mengembangkan periwayatan hadits. Ketika mengirim para utusan ke
Iraq beliau mewasiatkan supaya mereka mengembangkan segi
kebagusan tajwid-nya, serta mencegah mereka memperbanyak riwayat.[6]
Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang
memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu
Hurairah ketika ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada
era pemerintahan Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekiranya saya
membanyakkan, tentulah umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.
Sahabat Umar dan sahabat-sahabat lain secara bersama-sama bersikap
ketat dalam hal periwayatan untuk memelihara Alquran di samping

11
memelihara Sunnah. Umar sungguh khawatir manusia sibuk meriwayatkan
hadits dengan mengabaikan Alquran, sedangkan Alquran merupakan undang-
undang Islam. Maka, beliau menghendaki kaum muslimin menghafal Alquran
dengan baik, kemudian memperhatikan hadits yang mulia yang belum
dibukukan seluruhnya pada masa Rasulullah Saw., sebagaimana Alquran.
Atas dasar inilah, umar menetapkan suatu cara kepada mereka, yaitu
keharusan dilakukannya pembuktian ilmiah dan sedikit meriwayatkan hadits
karena takut terjatuh dalam kesalahan.
Jadi, para sahabat melakukan hal itu semua karena berhati-hati dalam
persoalan-persoalan agama dan memelihara kemaslahatan kaum muslimin,
bukan maksud hendak menjauhi hadits Nabi Saw., dan bukan pula bermaksud
mengabaikannya. Maka, tidak boleh seseorang menganggap cara yang
ditempuh para sahabat dan Umar pada khususnya, sebagai sikap
meninggalkan atau menjauhi Sunnah.
b. Berhati-hati dalam Meriwayatkan Hadits
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah
berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya.
Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan
penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah
sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat
melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa sunnah
yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat
lainnya.
c. Para sahabat melarang periwayatan hadits yang belum dapat dipahami Umum

Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena


dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut.
Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat mengundang
kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman
yang keliru tersebut. Misalnya, seperti hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz,

12
“Saya membonceng Rasulullah Saw. naik keledai milik beliau yang diberi
nama Ufair. Kemudian beliau bertanya,
“Hai Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya
dan apa hak hamba-hamba atas Allah?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas
hamba-hamba-Nya adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan (sesuatu apapun) dengan-Nya”. Saya bertanya, “Apakah saya
tidak (perlu) memberi kabar gembira kepada manusia?” Beliau menjawab,
“Tidak, (karena khawatir) mereka berpangku tangan (lalai, tidak beramal).

E. Contoh Sunnah Dalam Kehidupan


1. Makruh Tidur Tengkurap
Abu Dazr Radhiallaahu ‘anhu menuturkan : “Nabi Muhammad SAW
pernah melintasi aku, dikala itu aku sedang berbaring tengkurap. Maka
Nabi membangunkanku dengan kakinya sambil bersabda : “Wahai
Juaidab (panggilan Abu Dzar), seseungguhnya berbaring seperti ini adalah
cara berbaringnya penghuni neraka”. (H.R. Ibnu Majah dan dinilai shahih
oleh Al-Albani)
2. Membaca Doa-Doa dan Dzikir
Yang keterangan shahih dari Rasulallah SAW, seperti : (Allaahumma qinii
yauma tab’atsu ‘ibaadaka)” Ya Allah, peliharalah aku dari adzab-Mu pada
hari Engkau membangkitkan kembali segenap hamba-hamba-Mu”. Dibaca
3x. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al Albani)
3. Mencuci Kedua Tangan Tiga kali
Berdasarkan hadist Rasulullah SAW Artinya : Bila salah seorang
diantaramu bangun tidur, janganlah ia menyelamkan tangannya ke dalam
bejana, sebelum ia mencucinya tiga kali (HR. Bukhari no. 162 dan
Muslim np. 278)
4. Tidak Mencela Makanan

13
Memakan makanan yang disukai dan tidak mencela makanan ketika
makanan itu tidak kita sukai. Sebagaimana yang dipraktekkan Nabi SAW
dalam hadist Artinya : “Rasulullah SAW tidak mencela makanan sama
seklai. Jika beliau mau mala beliau memakannya, dan jika tidak makan
beliau mninggalkannya” (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad dan At-Tirmidzi)
5. Tidak Minum Langsung dari Mulut Teko
Jika hendak minum, endaklah menuangkan air ke gelas terlebih dahulu.
Dan tidak minum langsung dari mulut teko. Karena Rasulullah SAW
melarang akan hal demikian, dalam hadits Artinya : “Rasulullah SAW
melarang minum langsung dari mulut ceret atau teko”. (HR. Bukhori dan
Ahmad)
6. Tidak berlebihan dalam Makan dan Tidak juga Kekurangan
Nabi Muhammad SAW menasehati dengan bijak dalam segala hal,
termasuk dalam makanan. Setiap orang harus mengkira-kira seberapa
banyak yang dia butuhkan aar tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan.
Sebagaimana Rasulullah SAW dalam hadits bersabda, Artinya : “sepertiga
untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas”.
(HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah)
7. Jangan Berbicara Ketika Berada di WC/Kamar Mandi
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu Anhu’ Bahwa Rasulullah SAW,
bersabda : “Bila dua orang diantara kamu buang air, hendaklah saling
membelakangi dan jangan berbicara. Karena sesungguhnya Allah murka
akan hal itu”.
8. Tidak Boleh Menghadap atau Membelakangi Kiblat, ketika Buang air
Kecil dan Besar
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu’ Bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “Bila kamu mendatangi temoat buang air, janganlah
menghadap kiblat atau membelakanginya (HR. Bukhari dan Muslim)
9. Membaca Bismillah

14
Ketika ingin memakainya atau ignin melepasnya, Imam an Nawawi
mengatakan hal ini disunnahkan untuk setiap pekerjaan
10. Do’a Memakai Baju/Pakaian
Kaum muslimin,rahimakumullah. Hendaklah setiap kali kita memaki
baju,baik gamis, naju koko, jaket, kaos ataupun jenis baju lainnya,kita
membaca :
ARAB
“Segala puji bagi Allah yang telah memakaikan kepadaku pakaian ini dan
yang telah memberikan riski pakaian ini kepadaku tanpa ada daya dan
kekuatan dariku” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Majah, lihat
Irwaa’ul Ghaliil 7/47)
11. Memulai dengan Sisi Kanan Ketika Memakainya, Sesuai dengan Sabda
Rasulullah SAW.
Yang berbunyi : “jika kalian memakai (pakaian) maka mulailah dengan
sisi kanan kalian” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan Ibn Majah dan hadist ini
Shahih)

2.2 Bid’ah
A. Konsep Bid’ah
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu
tanpa ada contoh. Bid’ah menurut istilah (syar’i atau terminologi) adalah
sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya dari
Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari ibadah.
Syekh Aly Mahfudh telah mendefinisikan bid’ah secara rinci dalam
kitabnya Al ibda’fi Madharil Ibtida’. Menurut bahasa bid’ah adalah segala
sesuatu yang diciptakan dengan tidak diketahui contoh-contohnya. Sedangkan
menurut istilah yaitu suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin) yang
berkisar pada masalah-masalah agama (syari’at Islamiyah), dilakukan

15
menyerupai syari’at dengan cara berlebihan dalam pengabdian kepada Allah
Swt.
Pendapat Syekh Aly Mahfudh tersebut bersumber pada firman Allah
yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw adalah bukan rasul yang berbuat
sewenang-wenang tanpa ada contoh dari rasul-rasul sebelumnya. Tugas beliau
merupakan kelanjutan dari tugas-tugas nabi terdahulu, bahkan Allah
menjadikan beliau sebagai nabi akhir zaman, maka beliau tidak akan berbuat
sesuatu apapun kecuali apa yang telah diriwayatkan Allah melalui malaikat
Jibril.Karena itu secara tegas Nabi bersabda “Barang siapa yang mengada-
adakan dalam ajaran Islam ini yang tidak ada sumbernya dari Islam, maka
urusan itu ditolak (fasid).
Definisi bid’ah oleh Imam asy Syathibi', adalah "cara beragama yang
dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal
itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT". Ini
merupakan definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta
meliputi seluruh aspek bid'ah.
Dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu hal yang tidak terdapat
pada konteks ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, baik dalam masalah
aqidah maupun syariah yang aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam Al-
Qur’an dan As-Sunnah secara tafshil (rinci).
Hukum-hukum bid’ah diberikan menurut dasar pengertian bid’ah,
maka menurut golongan yang memandang tiap-tiap bid’ah tercela bid’ah tiu
semuanya dihukum haram, tidak ada yang dihukum makruh, apa lagi sunnah
dan sebagainya. Maka semua bid’ah itu maksiat. Maksiat dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Bid’ah kabirah, (dipandang besar dosa apabila mengerjakannya).
Ialah bid’ah yang menghasilkan kerusakan umum seperti menetapkan
bahwa akal sendiri sanggup mengetahui hukum Tuhan, tidak perlu kepada
syara’, dan seperti mengingkari segala hadits Nabi karena mencukupi
dengan Al-Qur’an saja.

16
2. Bid’ah Shaghirah (dipandang kecil dosanya).
Ialah bid’ah yang mengenai satu-satu suku pekerjaan, yang
berdasarkan syuhbat. Maka bid’ah seperti ini, walaupun masuk dalam sifat
sesat namun tidak diancam dengan neraka.

17
B. Pembagian Bid’ah

Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua: yaitu bid’ah
hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela).
Dalam hal ini, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i-
mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas
Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam. Berkata:

Al-Imam al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika


membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-
Laughat (3/22), beliau mengatakan:

18
Bahkan dalam Syarh Shahih Muslim dan Raudhat al-Thalibin, al-Imam al-
Nawawi membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian. Bahkan beliau juga
membagi bid’ah secara lebih rinci, yaitu menjadi lima hukum sesuai dengan alur
yang diikutioleh mayoritas ulama. Pembagian bid’ah menjadi dua, dan bahkan
menjadi lima, juga dilakukan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitab
Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, beliau berkata:

19
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah mengucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga
bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan
sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila
masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut
bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka
menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hokum.”
(Fath al-Bari, 4/253).

20
C. Bid’ah pada Masa Nabi

1. Hadist Sayidina Mu’adz bin Jabal


“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah, bila
seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjama’ah,
maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat
kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan
mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk
ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari mu’adz bin
jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya
tentang jumlah rokaaat sholat yang telah dilaksanakan, akan tetapi mu’adz
langsung masuk dalam solat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat
mereka, namun setelah rasululloh selesai sholat, maka mu’adz segera
menggati rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah rasulullah selesai
sholat, mereka melaporkan perbuatan mu’adz bin jabbal yang berbeda
dengan kebiasaan mereka. Lalu mereka menjawab :“ mua’adz setelah
memulai cara yang baik buat sholat kalian.”
Hadist ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam
ibadah, seperti sholat atau lainnya apabila sesuai dengan tuntunan syara’.
Dalam hadist ini nabi Muhammad tidak menegur Mu’adz dan tidak pula
berkata “ mengapa kamu membuat cara baru dalam sholat sebelum
bertanya kepadaku?”. Bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan
Mu’adz sesuai dengan kaidah berjamaah yaitu makmum harus mengikuti
imam.
2. Hadist sayyidina bilal
“ Abu Hurairah meriwayatkan bahwa nabi Muhammad bertanya kepada
bilal letika sholat fajar. “hai bilal, kebaikan apa yang paling engkau
harapkan pahalanya dalam islam, karena aku telah mendengar suara kedua
sandalmu di syurga?” ia menjawab: “ kebaikan yang paling aku harapkan
pahalanya adalah aku belum pernah berwudlu, baik siang maupun malam,

21
kecuali aku melanjutkannya dengan sholat sunnat 2 rakaat yang aku
tentukan waktunya,” dalam riwayat lain, beliau muhammad berkata
kepada bilal: “ dengan apa kamu mendahuluiku me syurga ?”. Ia
menjawab : “ aku belom pernah adzan kecuali aku sholat sunnah 2 rakaat
setelahnya dan aku belom pernah hadats, kecuali aku berwudlu setelahnya
dan harus aku teruskan dengan sholat sunnah 2 rakaat karena Allah”, nabi
Muhammad berkata : “ dengan 2 kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”.
Menurut al-hafizh ibn hajar dalam fath – bari (3/34), hadist ini
memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah,
karena bilal memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu nabi
muhammd pun membenarkannya. Nabi Muhammad belum pernah
menyuruh atau mengerjakan sholat 2 rakaat setiap selesai berwudlu atau
setiap selesai adzan, akan tetapi bilal melakukannya atas ijtihadnya
sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada nabi Muhammad.
Ternyata nabi Muhammad membenarkannya, bahkan memberinya kabar
gembira tenang derajat di surga, sehingga sholat 2 rakaat setiap selesai
wudlu menjadi sunnah bagi seluruh ummat.
3. Hadist ibn Abbas
Sayyidina ibn abbas berkata: “ aku mendatangi rasulullah pada akhir
malam, lalu aku shoalat dibelakangnya. Ternyata beliau mengambil
tanganku dan menarikku lurus disebelahnya. Setelah rasulullah memulai
sholatnya, aku mundur kebelakang, lalu rasulullah menyelesaikan
sholatnya. Setelah aku mau pulang, beliau berkata : “ada apa, aku
tempatkan kamu harus disebelahku, tetapi kamu malah mundur?”. Aku
menjawab : “iya rasulullah tidak selayaknya bagi seseorang sholat lurus
disebelahmu sedang engkau rasulullah telah menerima karunia dari
Allah”. Ibn abbas berkata : “ternyata beliau senang dengan jawabanku lalu
mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertianku
terhadap agama”.

22
Hadist ini memperbolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam
agama apabila sesuai dengan syara’. Ibn abbas mundur kebelakang
berdasarkan ijtihadnya, padahal sebelumnya rasulullah SAW telah
menariknya berdiri lurus disebe;ah beliau ternuyata beliau tidak
menegurnya bahkan merasa senang dan memberinya hadiah sebuah doa.
Dan seperti inilah yang dimaksut bid’ah hasanah.

D. Bid’ah pada Masa Sahabat


1. Penghimpunan Al-Qur’an dalam mushhaf

“Syaidina Umar mendatangi Khalifah Abu Bakar dan berkata :


“Wahai Khalifah Rasulullah SAW saya melihat pembunuhan dalam
peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal Al-Qur’an
bagaimana kalau Anda menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushhaf”
Khalifah menjawab:”Bagaimanna kita akan melakukan sesuatu yang
belum pernah dilakukanoleh Rasulullah SAW?” Umar berkata: “Demi
allah ini baik”. Umar terus menyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya
Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid

23
bin Tsabit, dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia
menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW? “Keduanya menjawab: “Demi Allah ini
baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah
melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu
Bakar dan Umar dalam rencana ini”. (HR. Bukhari, 24)
Umar mengusulkan penghimpunan Al-Qur’an dalam satu mushhaf
Abu Bakar mengatakan, bahwa hal ini belum pernah dilakukan oleh
Rasulullah SAW. Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu
tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dengan demikian, tindakan beliau ini tergolong Bid’ah. Dan para ulama
sepakat bhwa menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushhaf hukumnya
wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar Al-Quran tetap terpelihara.oleh
karena itu, penghimpun Al-Quran ini tergolong bid’ah hasanah yang
wajibah.
2. Shalat Tarawih

Di antara perkara bid’ah yang ada sejak zaman Nabi Muhammad


SAW dan para sahabat adalah shalat tarawih, yang oleh kaum muslimin
diperdebatkan tentang pelaksanaan dan jumlah rakaatnya.

24
“Abdurahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan
Ramadhan aku pergi ke masjid bersamaUmar bin Khaththab. Ternyata Orang-orang
dimasji berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada
juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar bin Khaththab
berkata:”Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan mereka dalam satu
imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin
Ka’ab. Malam berikutnya, aku kemasjid lagi bersama Umar bin Khaththab, dan
mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu,
Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir
malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pda waktuitu, orang-orang
menunaikan tarawih di awal malam”. (HR. Bukhari, 25)

Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah.


Beliau hanya melakukan beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak
pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan
mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar As-
Shiddiq.

Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih


pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang
beliau lakukan ini tergolong Bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau
mengatakan: “sebaik-baik bid’ah adalah bid;ah hasanah”.

25
3. Adzan Jumat

“Al-Sa’ib bin Yazid berkata: “Pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan
Umar adzan Jum’at pertama dilkaukan setelah imam duduk di atas
mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak,
maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di
Pasar Madinah”. (HR. Bukhari, 26)
Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan Umar adzan jum’at
dikumandangkan apabila imam telah duduk diatas mimbbar. Pada masa
Utsman , kota Madinah semakin luas, populasi penuduk semakin
meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jumat
sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama
yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera
berkumpul untuk menunaikan ibadah shalat Jumat, sebelum imam hadir
ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya.
Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan
dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula
menamaainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur yang
sunnahnya harus diikuti berdasarkan haddits sebelumnya.

26
E. Contoh Bid’ah dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Perayaan bertepatan dengan kelahiran nabi Muhammad SAW pada bulan
Rabiul Awal

Merayakan kelahiran Nabi SAW adalah Bid’ah, karena perayaan


ini, tidak ada dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam aksi Salaf Shalih dan
pada generasi-generasi yang dipilih sebagai pilihan. Perayaan Maulid Nabi
SAW baru terjadi setelah abad ke empat Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata:”Aku tidak tahu apa yang harus
dilakukan ini berdasarkan pada kitab dan Sunnah,dan tidaak pula jawaban
yang dinukil bahwahal ini pernah dilakukan oleh para ulama yang
merupakan penutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang
teguh terhadap atsar (keterangan). Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah
yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan
merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh
orang-orang yang hobi makan” (Risalatul Maurid fi Amalil Maulid)

Syaikul IslamIbnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Begitu pula


yang diada-adakan oleh sebagian besar manusia, baik karena hanya
menghubungkan orang-orang nasrani yang didukung oleh Nabi Isa AS
atau karena cinta para Nabi SAW, perlu dibawa Nabi SAW sebagai
perayaan. Padahal tanggal lahir dia masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh mualaf salaf
(dahulu). Jika sekiranya hal ini8 memang merupakan kehormatan yang
murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka lebih berhak,
pasti mereka lebih suka dan lebih menghargai pada Rasulullah SAW
daripada kita. Mereka lebih giat daripada melakukan yang baik.

Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah


SAW disetujui dalam persetujuan, mentaati dan menerima permintaan
beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir dan batin agama yang

27
dibawanya, juga memperjuangkannya dengan hati, tangan dan lisan.
Begitulah jalan generasi awal, dari kaum Muhajirin, Ansor dan Tabi’in
yang mengikuti mereka dengan baik. (Iqtida ‘Ash-ShirathAl-Mustaqim
1/615)

2. Tabbaruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang


peninggalan, dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah
meninggal
Tabarruk (mengharapkan berkah) dari makhluk. Dan ini merupakan
salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga
dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang
awam.
Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan
bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan
bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan kecuali dari
yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah SWT. Allah-
Lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia
tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.
Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang
peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah
meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik
bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan
berkah, atau termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa
menziarahi barang-barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya
merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah SWT.
Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah
dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah SAW,
sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus Rasulullah
di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ; dengan

28
dalil bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan
kuburan beliau setelah wafat.
Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat
duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka
juga tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para
sahabat yang mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal.
Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan tidak
pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya
disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke
tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-
ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad SAW, di
Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di injak kaki
Rasulullah SAW mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at
yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau
menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk,
dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi Rasulullah
SAW, pernah shalat atau tidur disana. Para ulama telah mengetahui secara
pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam, bahwa menciumi dan
mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk syariat
Rasulullah SAW” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 2/759-802]

3. Bid’ah dalam hal ibadah dan taqqarrub kepada Allah SWT


Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup
banyak. Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan
tidak adanya dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan
dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya
termasuk kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW.

29
“Artinya : Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya
perintah kami maka dia tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]
Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa sekarang ini,
sungguh banyak sekali, di antaranya ; Mengeraskan niat ketika shalat.
Misalnya dengan membaca dengan suara keras.
“Artinya : Aku berniat untuk shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”
Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman.
“Artinya : Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan
memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal
Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Hujarat : 16]
Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan
aktifitas lisan. Termasuk juga dzikir berjama’ah setelah shalat. Sebab yang
disyariatkan yaitu bahwa setiap membaca dzikir yang diajarkan itu
sendiri-sendiri, di antara juga adalah meminta membaca surat Al-Fatihah
pada kesempatan-kesempatan tertentu dan setelah membaca do’a serta
ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Termasuk juga
dalam katagori bid’ah, mengadakan acara duka cita untuk orang-orang
yang sudah meninggal, membuatkan makanan, menyewa tukang-tukang
baca dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat memberikan manfaat
kepada si mayyit. Semua itu adalah bid’ah yang tidak mempunyai dasar
sama sekali dan termasuk beban dan belenggu yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu.
Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang diadakan pada
kesempatan-kesempatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan-perayaan tersebut sama
sekali tidak mempunyai dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal yang
dilakukan khusus pada bulan Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus.

30
Sebab tidak ada bedanya dengan keistimewaannya dibandingkan dengan
bulan-bulan yang lain, baik dalam pelaksanaan umrah, puasa, shalat,
menyembelih kurban dan lain sebagainya.
Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala
macamnya. Semuanya bid’ah dan diada-adakan karena dia bertentangan
dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan baik dari segi redaksinya, bentuk
pembacaannya dan waktu-waktunya.
Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban
dengan ibadah tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang
harinya. Tidak ada keterangan yang pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang amalan khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula
yaitu membangun di atas kuburan dan mejadikannya seperti masjid serta
menziarahinya untuk ber-tabarruk dan bertawasul kepada orang mati dan
lain sebagainya dari tujuan-tujuan lain yang berbau syirik.
Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu ialah
pengantar pada kekafiran. Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam
agama ini sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan RasulNya. Bid’ah lebih jelek dari maksiat besar sekalipun.
Syetan akan bergembira dengan terjadinya praktek bid’ah melebihi
kegembiraannya terhadap maksiat yang besar. Sebab, orang yang
melakukan maksiat, dia tahu apa yang dia lakukannya itu maksiat
(pelanggaran) maka (ada kemungkinan) dia akan bertaubat. Sementara
orang yang melakukan bid’ah, dia meyakini bahwa perbuatannya itu
adalah cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
dia tidak akan bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu akan dapat mengikis sunnah-
sunnah dan menjadikan pelakunya enggan untuk mengamalkannya.
Bid’ah akan dapat menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
akan mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab
rusak dan melencengnya hati dari kebenaran.

31
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa) kata sunah adalah jamak dari kata sunnah.
Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw berarti jalan
Rasulallah saw yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh
beliau.Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya.
Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah ayat 23 yang berbunyi
“Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan
perubahan pada Sunnatullah itu”. Artinya, bahwa cabang-cabang hukum
syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak
berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan
mengantarkan kepada keridhoan Allah swt.

Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu


tanpa ada contoh. Bid’ah menurut istilah (syar’i atau terminologi) adalah
sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada tuntunannya dari
Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari ibadah.

3.2 Saran
Diharapkan dengan di susunnya makalah ini, dapat menjadi suatu
bahan pembelajaran bagi pembaca. Serta untuk selanjutnya makalah Aswaja
yang dibuat penyusun, diharapkan adanya saran-saran yang membangun.
Dikarenakan penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunannya.

32
DAFTAR PUSTAKA

Aqil, Said.2012.MEMBUMIKAN ASWAJA PEGANGAN PARA GURU


NU.Surabaya:Khalisa

33

Anda mungkin juga menyukai