Anda di halaman 1dari 79

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan gizi di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks.
Hal ini karena gizi mempunyai spektrum yang sangat luas dan penanganannya
memerlukan keterlibatan lintas sektoral dan lintas program. Sama halnya seperti
yang di kemukakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015 – 2019 secara tegas telah memberikan arah Pembangunan Pangan
dan Gizi dengan sasaran meningkatnya ketahanan pangan dan status kesehatan serta
gizi masyarakat. Upaya untuk peningkatan tersebut memerlukan upaya lintas
bidang (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,2015).
Perencanaan yang baik akan memungkinkan pelaksanaan program lebih
baik sehingga tujuan akan lebih mudah tercapai (Ilmu Gizi Teori & Aplikasi,
2016).Sehingga ketika melakukan suatu strategi perbaikan gizi masyarakat maka
difokuskan pada kelompok rawan gizi dimana yang menjadi sasaran utama ialah
pada balita.
Adapun permasalahan gizi yang sering muncul dikalangan balita ialah gizi
kurang, gizi buruk, stunting, serta gizi lebih atau lebih dikenal dengan obesitas.
Dimana akibat gizi buruk pada balita, mereka akan mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun kecerdasan. Pada tingkat
kecerdasan, dikarenakan tumbuh kembang otak hampir 80% terjadi pada masa
dalam kandungan sampai usia 2 tahun, maka akibat masalah gizi buruk ini dapat
berpengaruh sangat serius terhadap tingkat kecerdasan penderita. Diperkirakan
Indonesia telah kehilangan Intelligence Quotient (IQ) 220 juta IQ poin dan
penurunan produktivitas hingga 20-30%. (Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat
Indonesia,2015).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 yang diperoleh, penderita gizi buruk
di Indonesia pada tahun 2013, menunjukan prevalensi 5,7 %. Jika dibandingkan
dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 dan tahun 2010 terlihat meningkat.
Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu pada tahun 2007 tercatat 5,4 %,
dan tahun 2010 mengalami penurunan hingga 4,9 % sementara gizi lebih sebesar

1
11,9%, sedangkan balita yang mengalami stunting di Indonesia ialah sebesar 32,9%
yang sudah termasuk dalam kategori tinggi. Berbanding terbalik dengan target yang
seharusnya ialah 28% berdasarkan RPJMN 2015-2019.
Sementara itu Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 pada provinsi Sulawesi
Tenggara, menunjukan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,0 % di atas prevalensi
nasional. Gizi kurang 15,9%, gizi lebih 3,9%, dan stunting ≥40 % dimana Sulawesi
Tenggara masuk dalam urutan ke 9 dari 15 provinsi yang masuk kategori berat.
Penyebab tingginya masalah gizi di Sulawesi tenggara, dikelompokkan
menjadi 2 yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung.Dimana penyebab
langsung meliputi kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi dan
menderita penyakit infeksi, sedangkan penyebab tidak langsung masalah gizi yaitu
ketersediaan pangan rumah tangga, kemiskinan, pola asuh yang kurang memadai,
pendidikan yang rendah, serta pelayanan kesehatan yang juga turut berperan.
Faktor konsumsi makanan merupakan penyebab langsung dari kejadian gizi
buruk pada balita. Hal ini disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak
memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu
beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman sehingga akan berakibat secara
langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Faktor penyakit infeksi
berkaitan dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan
penyakit pernapasan akut (ISPA). Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar
dari kekurangan gizi, yang mana faktor ini erat kaitannya terhadap daya beli pangan
di rumah tangga sehingga berdampak terhadap pemenuhan zat gizi.
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk. Hal ini dikarenakan bayi yang mengalami
BBLR akan mengalami komplikasi penyakit karena kurang matangnya organ,
menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan gizi saat balita. Faktor
pendidikan Ibu erat kaitannya dengan pengetahuan Ibu mengenai gizi sehingga akan
berakibat terhadap buruknya pola asuh balita (Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2017).
Soropia merupakan salah satu daerah pesisir yang terletak di Kabupaten
Konawe. Soropia merupakan sebuah kecamatan yang terdiri dari 1 kelurahan dan 14
desa yakni, kelurahan Toronipa, Desa Sorue jaya, Desa Tapulaga, Desa Leppe, Desa
Bajo indah, Desa Bokori, Desa Mekar, Desa Bajoe, Desa Telaga biru, Desa

2
Atowatu, Desa Sawapudo, Desa Soropia, Desa Waworaha, Desa Saponda, dan
Saponda laut. Berdasarkan profil kesehatan Sulawesi Tenggara tahun 2016 di
Kabupaten Konawe ditemukan >20 kasus gizi buruk dimana hal ini merupakan
masalah yang harus ditangani banyak faktor yang dapat menyebabkan munculnya
kasus gizi buruk di daerah tersebut, namun secara umum disebabkan oleh kondisi
ekonomi dan daya beli yang rendah, sebab lain adalah akses pelayanan kesehatan
terutama kunjungan ke posyandu sangat rendah, faktor pengetahuan orang tua dan
sosial budaya setempat juga berpengaruh meskipun kecil.
Berdasarkan keadaan di atas maka kami memutuskan untuk melakukan
pengumpulan data agar dapat memperoleh faktor determinan yang menyebabkan
timbulnya berbagai permasalahan gizi di Kabupaten Konawe khususnya Kecamatan
Soropia.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Status Gizi dan Faktor Determinan pada Balita di Kabupaten Konawe
Kecamatan Soropia?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Gambaran Status Gizi pada Balita dan Faktor-faktor
determinan di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui status gizi balita di Kecamatan Soropia
2) Untuk mengetahui faktor penyakit infeksi seperti diare dan ISPA terhadap
status gizi balita di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
3) Untuk mengetahui faktor asupan makan terhadap status gizi balita di
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
4) Untuk mengetahui faktor pola makan terhadap status gizi balita di
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
5) Untuk mengetahui faktor pola asuh ibu terhadap status gizi balita di
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
6) Untuk mengetahui faktor sanitasi terhadap status gizi balita di Kecamatan
Soropia Kabupaten Konawe

3
7) Untuk mengetahui faktor tingkat pendapatan terhadap status gizi balita di
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
8) Untuk mengetahui faktor tingkat pengetahuan terhadap status gizi balita di
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
9) Untuk mengetahui faktor pelayanan kesehatan terhadap status gizi balita di
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe.

D. Manfaat
1. Bagi masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai berbagai faktor yang
mempengaruhi terjadinya masalah gizi, sehingga dapat dilakukan upaya
pencegahan dan perbaikan.
2. Bagi intansi terkait khususnya Puskesmas dan Dinas kesehatan
Memberikan informasi tentang faktor determinankejadian status gizi pada balita
di Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe sehingga upaya peningkatan status
gizi bisa dilakukan.
3. Bagi peneliti
Memberikan pengalaman langsung dalam penelitian di dalam bidang Gizi
Masyarakat yang memberi latihan cara dan proses berfikir secara ilmiah.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Status Gizi
1. Pengertian status gizi
Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari status tubuh yang berhubungan dengan
gizi dalam bentuk variable tertentu. Jadi intinya terdapat suatu variable yang
diukur (misalnya berat badan dan tinggi badan) yang dapat digolongkan ke
dalam kategori gizi tertentu misalnya ; baik, kurang, dan buruk (Supariasa,dkk
2001).
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang . Status
gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat
gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin. Status gizi kurang terjagi bila tubuh mengalami kekurangan
satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh
memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek
toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang,
maupun status gizi lebih (Almatsier, 2004).

2. Penilaian status gizi


Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian
secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat
penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian
status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi
makanan, statistik vital dan faktor ekologi.
a. Penilaian secara langsung
1) Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau
dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, dkk., 2016).

5
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan
mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar
dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut
indeks antropometri.
Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun
yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health
Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS).
Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi Anak (Balita)

INDEKS STATUS GIZI AMBANG BATAS

>+ 2 Standar Deviasi


Gizi lebih
(SD)

 - 2 SD Sampai + 2
Berat badan menurut umur Gizi baik
SD
(BB/U)
< -2 SD Sampai  -3
Gizi kurang
SD
Gizi buruk < -3 SD
Tinggi badan menurut umur Normal  -2 SD
(TB/U) Pendek (Stunted) < -2 SD
Gemuk > + 2 SD
 + 2 SD Sampai - 2
Normal
Berat badan menurut tinggi SD
badan (BB/TB) < -2 SD Sampai  -3
Kurus (Wasted)
SD
Kurus sekali < -3 SD
Sumber : Keputusan Menkes RI No. 920/Menkes/SK/VII/2002

6
a) Indeks berat badan menurut umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang
penyakit infeksi, penurunan nafsu makan, atau jumlah makanan yang
dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat
labil.
Dalam keadaan normal, yaitu ketika keadaan kesehatan baik
dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin,
berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya,
dalam keadaan yang abnormal, terdapat 2 kemunkingan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih
lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan
ini, indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu
cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan
yang labil, maka indesk BB/U lebih menggambarkan status gizi
seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa, dkk, 2016).

b) Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)


Indeks antropometri ini menggambarkan status gizi masa
lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U
selain memberikan gambaran tentang status gizi msa lampau juga
berkaitan erat dengan status sosial ekonomi (Supariasa, dkk, 2016).

c) Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)


Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu
(Supariasa, dkk., 2016).
Berbagai indeks antropometri, untuk menginterpretasinya
dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas yang paling
umum digunakan saat ini adalah dengan memakai standar deviasi
unit (SD) atau disebut juga Z-Skor.

7
Rumus perhitungan Z-Skor adalah :
Z-Skor = Nilai individu subyek-Nilai median Baku Rujukan
Nilai Simpang Baku Rujukan

2) Klinis
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk
menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-
perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat
gizi . Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial
epithelialtissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada
organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid
(Supariasa, dkk.,2016).
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh,
termasuk riwayat kesehatan. Bagian tubuh yang harus lebih diperhatikan
dalam pemeriksaan klinis adalah kulit, gigi, gusi,bibir, lidah, mata
(Arisman dalamYuliaty, 2008).
3) Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan
spesimen yang diuji secara laboratorium yang dilakukan pada berbagai
macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain :
darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot
(Supariasa, dkk., 2016).
4) Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan
status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan
melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa, dkk., 2016).

b. Penilaian secara tidak langsung


1) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi
secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang
dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu antara lain :
1. Metode recall 24 jam

8
2. Metode esthimated food record
3. Metode penimbangan makanan (food weighting)
4. Metode dietary history
5. Metode frekuensi makanan (food frequency).
2) Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan
menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian
berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai akibat
penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi
(Supariasa, dkk., 2001).
3) Faktor ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi
beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan
yang tersedia sangat bergantung pada keadaan ekologi seperti iklim,
tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa, dkk., 2016).

B. Penyakit Infeksi
1. Diare
Diare apat menyebabkan anak tidak nafsu makan sehingga terjadi
kekurangan jumlah makanan dan minuman yang masuk kedalam tubuhnya, yang
dapat berakibat gizi kurnag. Anak yang menerita diare mengalami penurunan
cairan serta gangguan keseimbngan zat gizi dan elektrolit. Serangan diare
berulang atau diare akut yang berat pada anak gizi kurang merupakan risiko
kematian (Depkes, 1997 dalam Lupiana, 2010).
Anak yang menderita diare berulang-ulang dengan masa kesakitan lebih
lama akan mempunyai berat badan lebih rendah daripada tidak pernah diare,.
Diare yang berulang-ulang akan menyebabkan anak menderita KEP dan keasaa
ini bisa berkaitan padatingginya morbiditas dan mortalitas (Depkes RI, 2001
dalam Punarsih, 2013).
Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara
yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain
itu penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan

9
nafsu makan (Arisman, 2004). Salah satu penyakit infeksi yang mempengaruhi
terjadinya gizi buruk adalah diare.
Menurut WHO (2015), dikatakan diare bila keluarnya tinja yang lunak
atau cair dengan frekuensi tiga kali atau lebih sehari semalam dengan atau tanpa
darah atau lendir dalam tinja. Sedangkan menurut Depkes (2013), diare adalah
buang air besar lembek atau cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya
lebih dari tiga kali atau lebih dalam sehari. Jenis diare dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Disentri yaitu diare yang disertai darah dalam tinja.
2. Diare persisten yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus
menerus.
3. Diare dengan masalah lain yaitu diare yang disertai penyakit lain, seperti:
demam dan gangguan gizi.
Berdasarkan waktunya, diare dibagi menjadi dua yaitu diare akut dan
diare kronis. Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari disebut diare akut,
sedangkan diare yang lebih dari 14 hari disebut diare kronis (Widjaja, 2002).

2. ISPA
ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya
menular dan dapat menimbulkan gejala penyakit infeksi mulai ringan sampai
penyakit yang parah. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan okeh virus atau
bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala :
tenggorakan sakit atau nyeri telan,pilek,batuk kering,atau berdahak. Periode
prevalensi ISPA dihitung dalam 1 bulan terahir (Riskesdas 2013).

C. Asupan Makan
Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang
dikonsumsi setiap hari. Umumnya asupan makanan dipelajari untuk dihubungkan
dengan keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau individu. Informasi ini dapat
digunakan untuk perencanaan pendidikan gizi khususnya untuk menyusun menu
atau intervensi untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM), mulai dari
keadaan kesehatan dan gizi serta produktivitasnya. Mengetahui asupan makanan
suatu kelompok masyarakat atau individu merupakan salah satu cara untuk menduga

10
keadaan gizi kelompok masyarakat atau individu bersangkutan (Sumarno, dkk
dalam Gizi Indonesia, 1997).
Dalam metode recall 24 jam, subyek dan orangtua atau pengasuh mereka
diminta oleh ahli gizi, yang telah terlatih dalam teknik wawancara, mengingat
asupan makanan yang tepat subyek selama periode 24 jam sebelumnya atau
sebelumnya hari, sehingga aktual dalam menilai asupan individu. Namun, satu kali
24 jam recall tidak cukup untuk menggambarkan asupan biasa individu yang
meliputi makanan serta nutrisi lainnya, sehingga perlu dilakukan selama beberapa
hari.
Metode recall 24 jam ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan metode recall 24 jam yaitu :
1. Mudah dilaksanakan dan tidak terlalu membebani responden,
2. Biayanya relatif murah karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat
yang luas untuk wawancara.
3. Cepat sehingga dapat mencakup banyak responden.
4. Dapat digunakanan untuk responden yang buta huruf.
5. Dapat memberikan gambaran nyata makanan yang benar-benar dikonsumsi
individu sehingga dapat dihitung asupan zat gizi sehari.
6. Lebih objektif dibandingkan dengan metode dietary history.
7. Baik digunakan di klinik
Kelemahan metode Recall :
1. Ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat responden. Oleh sebab
itu,responden harus mempunyai daya ingat yang baik sehingga metode ini tidak
cocok dilakukan pada anak-anal <8 tahun (wawancara dapat dilakukan kapada
ibu atau pengasuhya), lansia, dan orang yang hilang ingatan atau yang pelupa.
2. Sering terjadikesalahan dalam memperkirakan ukuran porsi yang dikonsumsi
sehingga menyebabkan over atau underestimate. Hal ini disebabkan oleh the flat
slope syndrome, yaitu kecendrungan bagi responden yang kurus untuk
melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang
gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit (under estimate)
3. Membutuhkan tenaga atau petugas terlatih dan terampil dalam menggunakan
alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang di pakai menurut kebiasaan

11
masyarakat. Pewanwancara harus dilatih untuk dapat secara tepat menanyakan
makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh responden, dan mengenal cara-
cara pengolahan makanan serta pola pangan daerah yang akan diteliti secara
umum.
4. Tidak dapat menggambarkan asupan makanan yang actual jika hanya dilakukan
recall satu hari.
5. Sering terjadi kesalahan dalam melakukan konversi ukuran rumah tangga (URT)
ke dalam ukuran berat.
6. Jika tidak mencatat penggunaan bumbu, saos, dan minuman, menyebabkan
kesalahan perhitungan jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi
7. Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan penelitian.
8. Untuk mendapat gambaran konsumsi makanan yang actual, recall jangan
dilakukan pada saat panen, hari pasar, hari akhir pecan pada saat melakukan
upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain
Lingkungan yang paling baik untuk pelaksanaan recall 24 jam adalah
dirumah responden karena lingkungan tersebut sudah dikenal sehingga dapat
meningkatkan partisipasi responden, keakuratan data, dan ketepatan URT yang
digunakan (Supariasa, dkk, 2016).

D. Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang
dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan
juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau sekelompok orang atau keluarga
memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis,
kebudayaan dan sosial (Suhardjo, 1989).
Kebiasaan makan merupakan suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan
dalam perilaku yang berhubungan dengan makanan seperti tata krama makan,
frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang
makanan, distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap
makanan (suka atau tidak suka) dan pemilihan bahan yang hendak dimakan. Jadi
pola makan merupakan suatu kebiasaan makan yang ada dalam suatu kelompok

12
masyarakat tertentu atau suatu keluarga dalam hal macam dan jumlah bahan
makanan yang di makan setiap hari.
1) Frekuensi Pangan
Frekuensi pemberian makanan sumber protein pada balita adalah berapa kali
perhari pemberian pangan sumber protein pada balita, berapa kali dalam
seminggu, hingga berapa kali per tahun, setelah itu dibuat rata-rata harian.
Seberapa sering makanan sumber protein dikonsumsi dapat menjadi indikator
kemungkinan kekurangan maupun kelebihan protein. Cara menyajikan frekuensi
pangan sumber protein berdasarkan frekuensi yang paling sering dikonsumsi,
baik protein hewani maupun nabati.
2) Jenis makanan
Jenis makanan dapat dikelompokan menjadi dua yaitu makanan utama dan
makanan selingan. Makanan utama adalah makanan yang dikonsumsi seseorang
berupa makan pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan
pokok, lauk pauk, sayur, buah dan minuman.

E. Pola Asuh Gizi


Pengasuhan atau Pola asuh merupakan upaya dari lingkungan terutama
lingkungan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal (Israwati, 2010). Keluarga adalah lingkungan pertama
yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Pengaruh keluarga dapat dilihat
dari cara keluarga dalam mengasuh (merawat dan mendidik) anak, ibu merupakan
anggota keluarga yang sangat berperan dalam mengasuh anak agar tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang berkualitas (Puspaningtyas et al, 2012; Adriani dan
Kartika, 2011).
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu “pola” dan “asuh”. Pola berarti corak,
model, sistem, cara kerja, bentuk (Struktur) yang tetap (Pusat bahasa, 2008).
Sedangkan asuh berarti menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil
(Israwati, 2010).
Menurut Amala (2002) dalam Handono (2010) Pola asuh didefinisikan
sebagai cara atau perilaku yang dipraktekan oleh pengasuh (ibu, bapak, nenek,
kakak, atau orang lain) dalam membimbing, memberikan kasih sayang,
pemeliharaan kesehatan, dukungan emosional, pemberian pendidikan, pemberian

13
makanan, minuman dan pakaian serta hal lain yang berkaitan dengan kepentingan
hidupnya. Sedangkan pola pengasuhan anak merupakan suatu usaha yang dilakukan
oleh seorang ibu atau pengasuh lain (bapak, ibu, nenek, anggota keluarga lain)
dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat,
memperhatikan kebersihan anak, memberikan stimulasi, serta memberikan kasih
sayang dan sebagainya yang dibutuhkan anak untuk pertumbuhan dan
perkembangan. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan
fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan
anak yang baik, peran dalam keluarga dan masyarakat, sifat, pekerjaan sehari-hari,
adat atau kebiasaan keluarga dan masyarakat (Eka dan Setiyaningsih, 2012).
Pola pengasuhan merupakan bentuk umum atau khusus cara mengasuh anak
yang meliputi pengasuhan anak sebelum dan sesudah persalinan, pemberian ASI
dan pemberian makanan, serta pengasuhan bermain. Pemberian ASI yang dimaksud
adalah pengasuhan dari aspek perilaku ibu dalam mempersiapkan ASI untuk
anaknya (Soetjiningsih, 2014). Air Susu Ibu (ASI) sebaiknya diberikan segera
setelah bayi lahir . ASI yang pertama keluar berupa kolostrum yang mengandung zat
anti bodi. Disamping mempunyai nilai gizi tinggi ASI dapat menurunkan morbiditas
dan mortalitas anak, serta yang terpenting yaitu untuk perkembangan anak
(Arisman, 2010).

F. Sanitasi
Definisi sanitasi dari Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation =
WHO) adalah sebagai berikut: "Sanitation pada umumnya merujuk kepada
penyediaan sarana dan pelayanan pembuangan limbah kotoran manusia seperti urin
dan feces. Istilah 'sanitasi' juga mengacu kepada pemeliharaan kondisi higienis
melalui upaya pengelolaan sampah dan pengolahan limbah cair.Sanitasi termasuk
didalamnya empat prasarana teknologi (walaupun seringkali hanya yang pertama
yang berkitan erat dengan istilah 'sanitasi'): Pengelolaan kotoran manusia (feces),
sistem pengelolaan air limbah (termasuk instalasi pengolahan air limbah), sistem
pengelolaan sampah, sistem drainase atau disebut juga dengan pengelolaan
limpahan air hujan.

14
Terdapat sedikit perbedaan defenisi yang digunakan saat ini. Misalnya,
untuk beberapa organisasi, promosi higiene dianggap sebagai bagian tak terpisahkan
dari sanitasi, Dengan demikian, Water Supply and Sanitation Collaborative
Council (Badan kolaborasi penyediaan air dan sanitasi dunia) mendefenisikan
sanitasi sebagai: "pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan atau
penggunaan kembali limbah kotoran manusia (feces), limbah cair dan sampah
rumah tangga dan juga berkaitan dengan promosi higiene.
Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus benar-benar
diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan ruang
(bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih,
pembuangan sampah/limbah, kamar mandi dan jamban/ WC dan halaman rumah.
Kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting
bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang akan memudahkan
terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare dan
cacingan. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit
saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat nyamuk. Oleh karena
itu penting membuat lingkungan menjadi layak untuk tumbuh kembang anak
sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu atau pengasuh anak dalam menyediakan
kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan.
Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak lebih mudah
terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi (Poedjiadi,
1994). Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih,
ketersediaan jamban, serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin
tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena
penyakit kurang gizi (Soekirman, 2000).

G. Tingkat Pendapatan
Tingkat pendapatan adalah total jumlah pendapatan dari semua anggota
keluarga , termasuk semua jenis pemasukan yang diterima oleh keluarga dalam
bentuk uang, hasil menjual barang, pinjaman dan lain-lain (Thaha, 1996 dalam
Rasifa 2006).

15
Menurut Madanijah (2004) peningkatan pendapatan merupakan salah satu
faktor yang memberikan peluang untuk membeli pangan dengan kualitas maupun
kuantitas yang lebih baik. Besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap
pola konsumsi. Penghasilan keluarga akan menentukan daya beli keluarga termasuk
makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan yang tersedia
dalam rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo
dalam Yuliati, 2008).
Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan ) masyarakat, pengaruh promosi
melalui iklan, serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya
hidup, dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru di kalangan masyarakat ekonomi
menengah ke atas. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi
yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan
pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi. Kecenderungan untuk mengkonsumsi
makanan jenis siap santap ( fast food ), seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan
lain- lain, telah meningkat tajam terutama dikalangan remaja, generasi muda dan
kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Keluarga dengan pendapatan tinggi dapat membeli makanan apa pun,
termasuk makanan sehat bergizi namun juga makanan tinggi kalori/ lemak/gula,
junk food, fast food, soft drink, yang merupakan penyumbang besar terhadap
masalah obesitas. Sebaliknya, keluarga dengan pendapatan rendah cenderung
mengonsumsi makanan yang kurang bergizi sehingga sering mengantarkan mereka
pada kondisi buruk (Nurmalina, 2011).

H. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil “tahu” manusia ini terjadi setelah orang melakukan
pengeindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra
manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian
ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih baik dari pada yang
tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

16
Tingkat pengetahuan sangatlah penting dalam melihat ataupun mengukur
status gizi keluarga, khususnya pada balita. Dan orang yang ikut berperan penting
dalam menentukan status gizi keluarga iyalah ibu. Sehingga ibu perlu mempunyai
pengetahuan ataupun mendapatkan informasi mengenai gizi dan nutrisi demi
tercapainya status gizi yang baik.
Tingkat pengetahuan gizi ibu adalah kemampuan seorang ibu dalam
memahami konsep dan prisnsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi.
Dimana, tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman, faktor
pendidikan, lingkungan, sosial, sarana dan prasarana maupun derajat penyuluhan
yang diperoleh (kismoyo,2005)

I. Pelayanan Kesehatan
1. Status Imunisasi
Kementerian Kesehatan melaksanakan Program Pengembangan
Imunisasi (PPI) pada anak dalam upaya menurunkan kejadian penyakit pada
anak. Program imunisasi untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) pada anak yang tercakup dalam PPI adalah satu kali imunisasi
BCG, tiga kali imunisasi DPT-HB, empat kali imunisasi polio, dan satu kali
imunisasi campak (Riskesdas, 2010).
Imunisasi BCG diberikan pada bayi umur kurang dari tiga bulan;
imunisasi polio pada bayi baru lahir, dan tiga dosis berikutnya diberikan dengan
jarak paling cepat empat minggu; imunisasi DPT-HB pada bayi umur dua, tiga,
empat bulan dengan interval minimal empat minggu; dan imunisasi campak
paling dini umur sembilan bulan. Dalam Riskesdas, informasi tentang cakupan
imunisasi ditanyakan pada ibu yang mempunyai balita umur 0-59 bulan
(Riskesdas, 2010).
Untuk setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat imunisasi
lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu kali BCG, tiga kali
DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Oleh karena jadwal
imunisasi untuk BCG, polio, DPT-HB, dan campak yang berbeda, bayi umur 0-
11 bulan tidak dianalisis cakupan imunisasi. Hal ini disebabkan bila bayi umur
0-11 bulan dimasukkan dalam analisis, dapat memberikan interpretasi yang

17
berbeda karena sebagian bayi belum mencapai umur untuk imunisasi tertentu,
atau belum mencapai frekuensi imunisasi tiga kali (Riskesdas, 2010).
Oleh karena itu hanya anak umur 12-23 bulan yang dimasukkan dalam
analisis imunisasi. Ada beberapa alasan untuk analisis imunisasi hanya 12-23
bulan, yaitu karena imunisasi kelompok umur anak 12-23 bulan dapat mendekati
perkiraan “valid immunization”, survei-survei lain juga menggunakan umur 12-
23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi sehingga dapat dibandingkan, dan
bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada pengumpulan data lebih rendah
dibanding kelompok umur di atasnya. Walaupun referens umur untuk imunisasi
adalah umur 12-23 bulan, tetapi hal tersebut hanya untuk metode pengumpulan
data, sedangkan dalam penyajian data tetap disebut sebagai imunisasi bayi
(Riskesdas, 2010).

2. Pemantauan Pertumbuhan Balita


Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk
mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk
mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat
diperlukan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti
Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain
(Riskesdas, 2010).
Pada Riskesdas 2010, ditanyakan frekuensi penimbangan anak umur 6-59
bulan selama enam bulan terakhir yang dikelompokkan menjadi “tidak pernah
ditimbang selama enam bulan terakhir”, ditimbang 1-3 kali yang berarti
“penimbangan tidak teratur”, dan 4-6 kali yang diartikan sebagai “penimbangan
teratur”. Data pemantauan pertumbuhan balita ditanyakan kepada ibu balita atau
anggota rumah tangga yang mengetahui.
Ada kecenderungan semakin tinggi kelompok umur anak, semakin
rendah cakupan penimbangan rutin (≥ 4 kali selama enam bulan terakhir).
Sebaliknya semakin tinggi umur anak semakin tinggi pula persentase anak yang
tidak pernah ditimbang. Persentase penimbangan anak baduta menurut jenis
kelamin tidak berbeda, tetapi menurut tempat tinggal ada kecenderungan di
daerah perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan (Riskesdas, 2010).

18
Persentase penimbangan rutin (≥ 4 kali selama enam bulan terakhir)
menurut pendidikan dan status ekonomi tidak terlihat jelas kecenderungannya.
Kecenderungan terdapat pada kategori yang tidak pernah ditimbang dimana
terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi,
semakin rendah persentase anak umur 6-23 bulan yang tidak pernah ditimbang
(Riskesdas, 2010).
Menurut tempat tinggal persentase pemanfaatan rumah sakit dan
Puskesmas sebagai tempat penimbangan balita lebih tinggi di perkotaan
daripada di perdesaan. Sebaliknya, persentase penimbangan di Posyandu dan
Polindes lebih tinggi di perdesaan daripada di perkotaan. Ada kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi semakin tinggi
penimbangan di rumah sakit dan Puskesmas, namun penimbangan di Posyandu
dan Polindes semakin rendah (Riskesdas, 2010).

3. Kepemilikan KMS dan Buku KIA


Data kepemilikan KMS menurut karakteristik anak balita, orangtua, dan
tempat tinggal. Persentase kepemilikan KMS menurut umur, semakin tinggi
umur anak semakin rendah persentase kepemilikan KMS yang dapat
menunjukkan. Persentase KMS yang sudah hilang semakin tinggi dengan
meningkatnya umur anak. Persentase kepemilikan KMS menurut jenis kelamin
anak balita tidak menunjukkan adanya perbedaan. Ada kecenderungan semakin
tinggi kelompok umur semakin rendah kepemilikan KMS yang dapat
menunjukkan. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat pendidikan dan status
ekonomi cenderung semakin rendah persentase anak balita yang tidak pernah
memiliki KMS (Riskesdas, 2013).

4. Pemberian Kapsul Vitamin A


Kapsul vitamin A diberikan setahun dua kali pada bulan Februari dan
Agustus, sejak anak berusia enam bulan. Kapsul biru (dosis 100.000 IU)
diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul merah (dosis 200.000 IU)
untuk anak umur 12-59 bulan (Riskesdas, 2013).

19
5. Berat Badan Lahir
Kategori berat badan lahir anak balita dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
:< 2500 gram, 2500- 3999 gram, dan ≥ 4000 gram (Riskesdas, 2013).

6. Pola Pemberian ASI


Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu
maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting yang
fundamental pada kelangsungan hidup bayi, kolostrum yang kaya dengan zat
antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan, dan gizi bayi. Untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas bayi dan balita, Inisiasi menyusu dini mempunyai
peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi
perdarahan pasca melahirkan (postpartum)(Riskesdas, 2013).
Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran
karena masa amenorhoe lebih panjang, pemulihan status gizi yang lebih baik
sebelum kehamilan berikutnya. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada
ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah usia 6
bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan
tetap memberikan ASI sampai minimal umur 2 tahun. Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasi kepada ibu untuk
menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya (Riskesdas, 2013).
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan utama bagi bayi, namun tidak
semua bayi mendapatkan ASI dari ibunya. Periode pemberian ASI sebaiknya
adalah sejak lahir sampai bayi berumur 2 tahun, tetapi tidak semua b\ayi dapat
disusui selama periode tersebut (Riskesdas, 2013).
Dalam laporan Riskesdas, pola menyusui dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu menyusui eksklusif, menyusui predominan, dan menyusui parsial
sesuai definisi World Health Organization (WHO) :
 Menyusui eksklusif adalah tidak memberi bayi makanan atau minuman lain,
termasuk air putih, selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau
mineral tetes; ASI perah juga diperbolehkan). Pada Riskesdas 2010,
menyusui eksklusif adalah komposit dari pertanyaan: bayi masih disusui,
sejak lahir tidak pernah mendapatkan makanan atau minuman selain ASI,
selama 24 jam terakhir bayi hanya disusui (tidak diberi makanan selain ASI).

20
 Menyusui predominan adalah menyusui bayi tetapi pernah , memberikan
sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/
minuman prelakteal sebelum ASI keluar. Pada Riekesdas 2010, menyusui
predominan komposit dari pertanyaan: bayi masih disusui, selama 24 jam
terakhir bayi hanya disusui, sejak lahir tidak pernah mendapatkan makanan
atau minuman kecuali minuman berbasis air, yaitu air putih atau air teh.
 Menyusui parsial adalah menyusui bayi serta diberikan makanan buatan
selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lainnya sebelum bayi
berumur enam bulan, baik diberikan secara kontinyu maupun diberikan
sebagai makanan prelakteal. Pada Rieksedas 2010, menyusui parsial adalah
komposit dari pertanyaan: bayi masih disusui, pernah diberi makanan
prelakteal selain makanan atau minuman berbasis air seperti susu formula,
biskuit, bubur, nasi lembek, pisang atau makanan yang lain.

21
J. Kerangka Teori

Gambar 1.1 Kerangka Teori (Sumber:UNICEF 1990)

K. Kerangka Konsep

Pola asuh gizi

Gambar 1.2 Kerangka Konsep

22
L. VIM
Berikut matriks variabel yang akan dikaji dalam laporan perencanaan program gizi:
Tabel 2
VIM Matriks Faktor Determinan Status Gizi Anak Balita

Variabel Indikator Metode Referensi


BB/U Supariasa dkk
Status gizi Antropometri
Menurut Z-Score : , 2016
1.Gizi Buruk (< - 3SD)
2.Gizi Kurang (-3SD- < -2SD)
3.Gizi Baik (-2SD – 2SD)
4.Gizi Lebih (>2SD)
TB/U
Menurut Z-Score
1.Sangat Pendek(< - 3SD)
2.Pendek (-3SD - < -2SD)
3.Normal (-2SD – 2SD)
4.Tinggi (>2SD)
BB/TB
1.Sangat kurus(< - 3SD)
2.Kurus (-3SD - < -2SD)
3.Normal (-2SD – 2SD)
4.Gemuk (>2SD)
Diare Wawancara Punarsih,
Penyakit
ISPA dengan 2013
Infeksi
Kuesioner
Asupan Energi Recall 2 x 24 Supariasa
Asupan
1.Baik (≥100% AKG) jam dkk, 2016
Makan
2.Sedang (80 – 99% AKG)
3.Kurang (70 – 80% AKG)
4.Defisit (<70% AKG)
Asupan Protein
1.Baik (≥100% AKG)
2.Sedang (80 – 99% AKG)
3.Kurang (70 – 80% AKG)
4.Defisit (<70% AKG)
Jenis FFQ Supariasa
Pola Makan
Frekuensi dkk, 2016

23
1. Pengetahuan ibu dalam Wawancara
Pola Asuh Eka dan
pemberian ASI ekslusif dan lembar
Gizi Setiyaningsih,
dan pemberian MP-ASI kuesioner
2012,
2. Perilaku ibu dalam
Arisman,
memberikan makan pada
2010
balita.
Ketersediaan Air Bersih Lembar wahyudi
Sanitasi
Kepemilikan Jamban obeservasi Amrih
Tempat Sampah Santoso
SPAL (2003)
Azwar, A
(1990) dan
Depkes RI
2004
Proporsi pengeluaran pangan Wawancara Berg, Muscal
Tingkat
dengan (1985)
Pendapatan
kuesioner Soekirman,
2000
PGS Wawancara Robert j
Tingkat
Pengolahan makanan dengan bansley, Jodie
Pengetahuan
Pola makan kuesioner bookins
Cara memilih bahan makanan pisher, 2003
Higene penjamah Ali khomsan,
Menu seimbang. 2000
Kelengkapan Imunisasi Lembar Ranuh, dkk
Pelayanan
Pemberian Kapsul vitamin A . Kuesioner 2011
Kesehatan
Cakupan penimbangan Dan lembar
Kepemilikan KMS Observasi

24
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat Dan Waktu


Pengumpulan data dasar dilaksanakan selama 8 hari yang dimulai pada tanggal 8
April - 15 Mei 2018 di Desa Samajaya Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan survey
Cross Sectional, yaitu penelitian yang menggambarkan tentang status gizi dan faktor
determinannya.
C. Definisi Operasional (DO) Dan Kriteria Objektif (KO)

Tabel 3. Definisi Oprasional (Do) Dan Kriteria Objektif (Ko)

Variable DO Instrument KO Skala


NO
Status Gizi Menurut Sunita Detecto, a. Indeks BB/U
1
Almatsier 2009, Papan Ukur Gizi Buruk : < -
status gizi adalah Panjang 3SD
keadaan tubuh Badan, Gizi Kurang : -3SD
sebagai akibat Mikrotoa - < -2SD
konsumsi makanan dan Dacin Gizi Baik : -2SD -
dan penggunaan 2SD
zat-zat gizi, yang Gizi Lebih : >2SD
dibedakan antara b. Indeks TB/U
status gizi buruk, Sangat Pendek: < -
kurang, baik, dan 3SD
lebih Pendek : -3SD - < -
2SD
Normal : -2SD – Ordinal
2SD
Tinggi : >2SD
Gizi Lebih : >2SD
c. Indeks TB/U
Sangat kurus: < -
3SD
Kurus : -3SD - < -
2SD
Normal : -2SD –
2SD
Gemuk : >2SD

25
1. Diare a. Ya : apabila
2 Penyakit Kuesioner
BAB konsistensi menderita penyakit
Infeksi dengan
lembek atau cair infeksi dalam 2
metode
dari biasanya minggu terakhir
wawancara
yang b. Tidak: apabila
frekuensinya balita tidak pernah
lebih dari 3x/hari. menderita penyakit
infeksi dalam 2
2. ISPA minggu terakhir
ISPA adalah
penyakit infeksi
yang disebabkan
mikroorganisme
yang terbatas Nominal
pada struktur—
struktur termasuk
rongga hidung,
faring, dan laring.
Infeksi tersebut
diantaranya,
common cold,
pharyngytis,
sinusitis, croub,
epiglotitis akut,
dan influenza.

Asupan Energi
3 Asupan Asupan makanan Form recall
1.Baik (≥100% AKG)
makan adalah semua jenis 3x24 jam
2.Sedang (80 – 99%
makanan dan dengan
AKG)
minuman yang metode
3.Kurang (70 – 80%
dikonsumsi setiap wawancara
AKG)
hari. Umumnya
4.Defisit (<70% AKG)
asupan makanan
Asupan Protein Ordinal
dipelajari untuk
1.Baik (≥100% AKG)
dihubungkan
2.Sedang (80 – 99%
dengan keadaan gizi
AKG)
masyarakat suatu
3.Kurang (70 – 80%
wilayah atau
AKG)
individu.
4.Defisit (<70% AKG)

Tidak pernah : 0
4 Pola makan Pola makan adalah Form FFQ
Jarang < 4x/Bln : 1
suatu cara atau dengan
Kurang dari 3x/mgg : 5
usaha dalam metode
3 – 4x/mgg : 10
pengaturan jumlah wawancara
1x/hari : 15
dan jenis makanan
2 x/hari : 25

26
dengan informasi Setiap kali makan
gambaran dengan (≥2x/hr) : 50
meliputi
mempertahankan Jawaban responden,
kesehatan, nutrisi, dibandingkan dengan
mencegah atau kategori :
membantu
kesembuhan Cukup : ≥ nilai median
penyakit (Depkes Kurang : < nilai
RI, 2009). median

1. Pengetahuan ibu Kuesioner


5 Pola asuh Kriteria Objektif :
dalam dengan
ibu
pemberian ASI metode Baik : >70%
ekslusif wawancara
Cukup : 60-70%
Yaitu
pengetahuan Ibu Kurang : <60%
tentang ASI
ekslusif dan
sampai berapa
lama diberikan
kepada anaknya.

2. Perilaku ibu
dalam
memberikan
makan pada
balita.
Yaitu tentang
bagaimana sikap
ibu dalam
mengasuh anak
dalam pemberian
makannya yang
meliputi jenis dan
frekuensi makan
anak.

1. Ketersediaan Lembar 1. Ketersediaan air


6 Sanitasi
Air Bersih observasi bersih
Yang dimaksud Baik : Jika
adalah sumber air memenuhi kriteria
bersih yang (jernih, tidak berasa
digunakan dalam dan tidak berbau)
melakukan
aktivitas rumah Kurang : Jika tidak
tangga. memenuhi kriteria

27
2. Kepemilikan 2. Kepemilikan
Jamban Jamban
Yang dimaksud Baik : jika
adalah sarana menggunakan leher
yang angsa
dipergunakan
ketika akan Kurang : jika
BAB/BAK. menggunakan
jamban jenis lain
3. Tempat Sampah (cemplung,
Yang dimaksud plengsengan)
adalah sarana
yang disediakan 3. Ketersediaan
untuk membuang tempat sampah
sisa-sisa dari Baik : Jika
aktivitas rumah tersedianya tempat
tangga yang sampah
sudah tidak dapat
digunakan lagi Kurang : jika tidak
(sampah rumah tersedianya tempat
tangga). sampah

4. SPAL 4. SPAL
Sarana Baik : Jika terletak
pembangunan ≥10 meter dari
yang digunakan sumber air
untuk
pembuangan air Kurang : Jika
bekas dari kamar terletak <10 meter
mandi, dapur, dari sumber air
tempat cuci, dan
air hujan yang
meliputi bentuk
saluran
pembuangan air,
kelancaran air
limbah, dan
karakteristik air
limbah. Dimana
jarak antara
lubang peresapan
SPAL terletak ≥
10 meter dari
sumber air
sehingga tidak
mencemari air
bersih.

28
7 Tingkat Tingkat pendapatan Kuesioner Cukup : pengeluaran
Pendapatan keluarga adalah pangan < 60 % total
hasil estimasi konsumsi pangan dan
pengeluaran pangan nonpangan
terhadap total Ordinal
Kurang: pengeluaran
pengeluaran pangan
pangan ≥ 60 % total
dan non pangan
konsumsi pangan dan
keluarga.
nonpangan.

8 Tingkat Pengetahuan gizi Kuesioner Cukup : bila


pengetahuan ibu adalah pengetahuan gizi ibu ≥
pengetahuan yang 60 % dari total
dimiliki oleh ibu jawaban yang benar
tentang triguna Ordinal
Kurang : bila
makanan, PUGS,
pengetahuan gizi ibu <
menu seimbang,
60 % dari total
dan KMS
jawaban yang benar
Cakupan Vitamin A
9 Pelayanan Menurut Prof. Dr. Lembar
Kesehatan Soekidjo observasi Lengkap : jika cakupan
Notoatmojo, Vitamin sesuai umur
pelayanan adalah Tdk lengkap : jika
sebuah sub system cakupan vitamin tidak
pelayanan sesuai umur
kesehatan yang
tujuan utamanya Cakupan
adalah pelayanan penimbangan
preventif, dan Rutin : ≥ 3x
promotif. penimbangan
selama 5 bulan
terkahir
Tdk rutin : kunjungan Nominal
<3x penimbangan
selama 5 bulan
terakhir

Cakupan imunisai
Lengkap : apabila
mendapat semua
jenis imunisasi
Tidak lengkap : apabila
tidak mendapatkan
semua jenis
imunisasi

Kepemilikian KMS

29
dan Buku KIA
 Ya, dapat
menunjukan
 Ya, tidak dapat
menunjukan
(disimpan
kader/bidan/posyand
u)
 Pernah memiliki tapi
sudah hilang
 Tidak pernah
memiliki

D. Populasi Dan Sampel


1) Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang berada di Kecamatan
Soropia yang berjumlah 192 balita pada Kabupaten Konawe. Dimana diketahui
populasi pada masing-masing desa yaitu :
1) Desa Leppe : sebanyak 54 balita
2) Desa Bajoe Indah : sebanyak 63 balita
3) Desa Mekar : sebanyak 39 balita
4) Desa Samajaya : sebanyak 36 balita

2) Sampel
a) Besar Sampel
n= N (Arikunto, 2010)
1 + N (d2)
Ket.
n = besar sampel
N = Jumlah populasi
d = 0.05
Maka,
n= N
1 + N (d2)
n= 192
1 + 192 (0.05)2

30
= 192
1 + 0.48
= 129.7 ~ 130 balita.
Sehingga Proporsi pada setiap desanya adalah :
P = n x t
N
Dimana,
P = Jumlah proporsi sampel
N = Jumlah populasi
n = jumlah balita di setiap desa
t = Sampel
Maka,

Proporsi sampel pada Desa Samajaya

𝑛
𝑃= 𝑥𝑡
𝑁
36
= 𝑥 130 = 24.3~ 24 𝑏𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎
192

b) Metode Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling.

Kriteria Sampel
1. Balita yang berusia antara 0 - 59 bulan.
2. Apabila dalam satu keluarga memiliki dua atau lebih anak balita maka yang
diambil menjadi sampel yaitu anak pertama.

E. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung denga menggunakan
kuesioner yang diberikan kepada responden yang berisi pertanyaan serta
jawaban yang telah disiapkan serta untuk data kesehatan balita siperoleh
dengan melihat catatan KMS, catatan buku KIA.

31
b. Data Sekunder
Data skunder meliputi populasi dan keadaan umum lokasi penelitian yang
diperoleh dari camat atau kepala Desa setempat.
2. Cara pengumpulan Data
a. Status Gizi
Cara pengumpulan status gizi balita adalah dengan data status gizi balita
diperoleh melalui pengukuran antropometri dengan menggunakan indeks
BB/U dan TB/U
Alat Ukur :
Alat ukur yang digunakan ialah timbangan digital, Papan Panjang Badan,
Mikrotoa dan Dacin
Cara Pengukuran :
1) Meletakkan alat ukur pada suatu bidang yang rata, kuat / keras dan tidak
bergoyah. Misalnya pada lantai, tembok ataupun meja, dan pada tiang
yang kokoh ketika menggunakan dacin.
2) Memastikan alat yang digunakan menunjukkan angka “00,00” sebelum
digunakan.
Ketika menimbang bayi
1) Pakaian harus seminim mungkin, sepatu dan baju/pakaian yang cukup
tebal harus ditanggalkan.
2) Kantong celana timbang tidak dapat digunakan untuk bayi.
3) Bayi ditidurkan dalam kain sarung.
4) Geserlah anak timbang sampai tercapai keadaan seimbang, kedua ujung
jarum terdapat pada satu titik.
5) Lihatlah angka pada skala batang dacin yang menunjukan berat badan
bayi. Catat berat badan dengan teliti sampai satu angka desimal, misalnya
7,5 kg.
Ketika menimbang anak
Dengan cara yang sama seperti menimbang bayi, tetapi dapat digunakan
kantong celana timbang, kain sarung atau keranjang. Harus selalu diingat
bahwa sebelum anak ditimbang, jarum menunjukkan skala 0 (nol) setelah
ditambahkan kain sarung atau keranjang.

32
Ketika mengukur tinggi/panjang badan pada anak menggunakan :
Mikrotoa
Pengukuran tinggi badan untuk anak balita yang sudah dapat berdiiri
dilakukan dengan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise) yang
mempunyai ketelitian 0,1 cm.
Papan ukur panjang badan
Untuk bayi atau anak yang belum dapat berdiri, digunakan alat pengukur
panjang badan dengan ketelitian mendekati angka satu desimal.

b. Penyakit Infeksi
Data tentang variabel penyakit infeksi dikumpulkan dengan metode
wawancara langsung kepada ibu balita dengan menggunakan quesioner
c. Asupan Makan
Cara pengumpulan data untuk variabel asupan makan dalam indikator
tingkat kecukupan enrgi protein adalah menggunakan metode recall 24 jam.

d. Pola Makan
Cara pengumpulan data untuk variabel pola makan dalam indikator
frekuensi makan dan jenis makanan adalah menggunakan metode FFQ.

e. Kerawanan Pangan
Cara pengumpulan data digunakan metode wawancara dengan
menggunakkan alat bantu Kuesioner.

f. Pola Asuh
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan
kuesioner.

g. Sanitasi Rumah
Data diperoleh langsung dari responden. Data tersebut diperoleh dengan
melakukan wawancara kepada ibu sampel menggunakan kuesioner dan
kuesioner observasi.
h. Pengetahuan Gizi Ibu
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara menggunakan
kuesioner.

33
i. Pendapatan Keluarga
Cara pengumpulan data digunakan metode wawancara dengan
menggunakkan alat bantu quesioner.

j. Pelayanan Kesehatan
Data tentang kesehatan anak di kumpulkan dengan cara :
1) Data Primer kesehatan balita diperoleh dengan Wawancara (lihat catatan
KMS, catatan buku KIA).
2) Data sekunder kesehatan balita diperoleh dengan menggunakan lembar
Kuesioner.

E. Pengolahan Data
Menurut Arikunto (2006) pengolahan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Editing
Editing adalah pengecekan jumlah kuesioner, kelengkapan data,
diantaranya kelengkapan identitas, lembar kuesioner, dan kelengkapan isian
kuesioner sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian dapat dilengkapi segera
oleh peneliti.
2. Coding
Coding adalah melakukan pemberian kode berupa angka untuk
memudahkan untuk pengolahan data. Kode disini menggunakan kode untuk
jawaban ”ya” code 1, untuk jawaban ”tidak”, code 0, untuk jawaban “tidak
relevan” dengan coding 66 dan “lain-lainnya” coding 77.Untuk kuesioner pola
asuh ibu, pelayanan kesehatan balita, penyakit infeksi, serta sanitasi rumah
tangga. Sedangkan untuk pola makan dikembangkan dengan lembar FFQ,
tingkat pendapatan dan pengetahuan diolah berdasarkan jawaban responden,
serta asupan makan energi dan protein dikembangkan dengan lembar recall 24
jam.
3. Entry data
Entry data adalah memasukkan data yang diperoleh menggunakan fasilitas
komputer dengan program SPSS.

34
4. Tabulating
Tabulating adalah pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian
kemudian dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan.

F. Analisa Data
Analisa yang digunakan merupakan Analisa Univariat yaitu menganalisis
variabel-variabel yang ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi
dan proporsinya, dan menggunakan Analisa Bivariat yaitu digunakan unutk
membuktikan hipotesis penelitian antara variable independen dan dependen.

35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Letak Geografis
Desa Sama Jaya merupakan Desa yang terletak pada dataran yang
sebagian besar dataran rendah dengan ketinggian dari pemukiman laut
antara 0 – 50 M, yang dihuni sebagian besar suku Bajo dan suku – suku lain
yang telah lama membaur dengan masyarakat itu sendiri dan luas wilayah
Desa Sama Jaya 131 Ha.
Gambar 3. Peta Desa Samajaya

Berikut batas wilayah desa Samajaya :


- Sebelah Utara berbatasan dengan gunung Tahura.
- Sebelah Selatan berbatasan dengan pulau Bokori.
- Sebelah Barat berbatasan dengan Bajo Indah.
- Sebelah Timur berbatsan dengan Desa Mekar.

b. Keadaan Demografi
Berdasarkan Data Administrasi Pemerintahan Desa, jumlah penduduk
Desa Sama Jaya tercatat 88 KK dan 324 JIWA yang tersebar pada 3
dusun.

36
c. Pembagian Wilayah Desa
Wilayah Desa Sama Jaya terdiri dari wilayah dataran, wilayah
perbukitan, dan wilayah pantai. Desa Sama Jaya dibagi dalam 3 Dusun dan
6 RT. Tabel berikut menjelaskan pembagian wilayah Desa Sama Jaya.

Tabel 4. Pembagian Wilayah Desa Sama Jaya

Jumlah Jiwa Kepala


No Nama Dusun L P Total
Keluarga
1. Dusun I (Puto) 54 50 104 Jiwa 31
2. Dusun II (Danakang) 57 51 108 Jiwa 29
3. Dusun III (Kalaki) 58 54 112 Jiwa 28
Jumlah 169 Jiwa 155 Jiwa 324 Jiwa 88 KK

d. Keadaan Sosial
Desa Sama Jaya dihuni oleh masyarakat yang memiliki latar belakang
Syang beragam. Kondisi ini dapat dilihat dari (1) tingkat pendidikan, (2)
jenis Mata Pencaharian. Tabel berikut menggambarkan kondisi sosial
mayarakat berdasarkan tingkat pendidikan
Tabel 5. Tingkat Pendidikan Masyarakat

Tingkat
No Jumlah
Pendidikan
1. Tamat SD 102
2. Tamat SMP 28
3. Tamat SLTA 12
4. Tamat S-I 1
5. Sedang diperguruan tinggi 2
Jumlah 145

d. Mata Pencaharian
Kondisi masyarakat Sama Jaya yang beragam, berimplikasi pada
sistim mata pencaharian yang dikembangkan. Masyarakat memiliki
sistim mata pencaharian yang beragam pula. Sesuai dengan karakteristik
masyarakat Desa Sama Jaya, maka sistim mata pencaharian yang

37
dikembangkan adalah sebagai nelayan. Mayoritas masyarakat berprofesi
sebagai nelayan. Tabel berikut menjelaskan sistim mata pencaharian
masyarakat Desa Sama Jaya.
Tabel 6. Mata Pencaharian

Jumlah
Jenis Pekerjaan
n %
- Pedagang 7 4,92
- PNS 1 0,70
- Nelayan 102 71,83
- Lain-lain/Tidak Menentu 32 22,53
Jumlah 142 100

e. Sarana dan Prasarana Desa


Adapun Sarana dan Prasarana Desa Yaitu sbb:

Tabel 7. Sarana / Prasarana Desa

Jenis Sarana Jumlah/ Tahun


No. Lokasi Kondisi
Prasarana Volume Pengadaan
Sarana kesehatan
1.
Polindes 1 Unit Dusun I 2010 Baik

Sarana Pemerintahan

Balai Pertemuan
2. 1 Unit Dusun I 2000 Rusak
Desa

Pos Kamling 1 Unit Dusun II 2000 Rusak

Sarana Air Bersih


3. Kurang
1 Unit Dusun III 2010
Perpipaan Baik

Sarana Umum

Dermaga 1 Unit Dusun III 2014 Rusak


4. Sementara
1 Unit Dusun III 2017
Tambatan Perahu Pekerjaan

MCK 1 Unit Dusun III 2000 Rusak

38
2. Gambaran Umum Sampel
Gambaran secara umum anak balita yang telah didata dan diwawancarai
disajikan dalam beberapa variabel dan penjelasnya yaitu, Status gizi, penyakit
infeksi, asupan energi dan protein anak balita, pola makan, pola asuh gizi,
sanitasi rumah tangga, pendapatan keluarga, tingkat pengetahuan, pelayanan
kesehatan.

a. Umur Balita
Umur sampel anak balita dikelompokkan ke dalam tiga kelompok
dinyatakan pada tabel berikut:
Tabel 8.
Distribusi Sampel Menurut Usia Didesa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Usia (bulan) n %
Bayi (<12bulan) 7 29
Anak Balita (12-36 bulan) 8 33
>36 bulan 9 38
Jumlah 24 100

Dari tabel di atas didapatkan bahwa gambaran umum sampel sebanyak


29% bayi Desa Samajaya berusia <12 bulan, 33% anak balita Desa Samajaya
berusia antara 12 hingga 36 bulan dan 38% berusia diatas 36 bulan.

b. Status Gizi Balita


Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk
anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi
juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh
keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Instrumen yang
digunakan untuk mengukur status gizi anak balita yaitu dengan pengukuran
antropometri (BB/U, TB/U, BB/TB) yang dapat digolongkan ke dalam
kategori gizi tertentu misalnyan : baik, kurang, buruk. Berikut tabel status gizi
anak balita di Desa Samajaya.

39
Tabel 9.

Distribusi Status Gizi Balita di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Indikator BB/U n %
Buruk 2 8,3
Kurang 3 12,5
Baik 19 79,2
Total 24 100
Indikator TB/U n %
Sangat pendek 1 4,2
Pendek 5 20,8
Normal 18 75,0
Total 24 100
Indikator BB/TB n %
Sangat kurus 2 8,3
Kurus 2 8.3
Normal 19 79,2
Gemuk 1 4,2
Total 37 100.0

Pada tabel di atas terlihat distribusi status gizi balita dengan indikator
BB/U menunjukkan bahwa 8,3% anak balita memiliki status gizi
buruk.12,5% anak balita berada pada kategori gizi kurang dan Indikator TB/U
menunjukan bahwa 4,2% berada pada kategori sangat pendek, dan 20,8%
pada kategori pendek. Sedangkan pada indikator BB/TB menunjukkan bahwa
8,3% berada pada kategori sangat kurus, dan 8.3% anak balita berada pada
kategori kurus, 4,2% anak balita berada pada kategori gemuk.

c. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak menjadi
buruk. Memburuknya keadaan anak akibat penyakit infeksi dapat
menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi berkurang
(Moeji. 2003).
Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa
cara yaitu menghilangkan bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare.
Selain itu penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga

40
menurunkan nafsu makan (Arisman, 2004). Adapun tabel distribusi penyakit
infeksi pada balita antara lain :

Tabel 10. Distribusi Penyakit Infeksi Anak Balita di Desa Samajaya


Kecamatan Soropia 2018
Diare n %
Ya 7 29.2
Tidak 17 70.8
Total 24 100
ISPA n %
Ya 3 12,5
Tidak 21 87,5
Total 24 100

Pada tabel di atas terlihat distribusi sampel menurut penyakit infeksi


yang mengalami Diare sebesar 29.2% (n=7). Sedangkan yang mengalami
ISPA 12,5% (n=3).

d. Asupan makan
Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang
dikonsumsi setiap hari. Umumnya asupan makanan dipelajari untuk
dihubungkan dengan keadaan gizi masyarakat suatu wilayah atau individu.
Sunita almatsier (2002) menyatakan bahwa gizi buruk dan gizi kurang pada
anak dapat terjadi karena kekurangan makanan sumber energi secara umum.
Asupan makan disajikan dalam tabel distibusi sebagai berikut :

Tabel 11.
Distribusi Asupan makan Balita di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Asupan energy Asupan potein


Keterangan
n % n %
Baik (≥100%AKG) 17 70,8 17 70,8
Sedang (80-90%AKG) 0 0 1 4,2
Kurang (70-80%AKG) 4 16,7 5 20,8
Defisit (<70%AKG) 3 12,5 1 4,2
Jumlah 24 100 24 100

41
Pada tabel diatas terlihat distribusi asupan makan, menunjukkan bahwa
indikator asupan energi sebesar 12,5% (n=3) defisit dan 16,7% (n=4) kurang.
Indikator asupan protein sebesar 4,2% (n=1) defisit dan 20,8% kurang (n=5).

e. Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh
satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat
tertentu. Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau
sekelompok orang atau keluarga memilih makanan sebagai tanggapan
terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo,
1989). Pola makan disajikan dalam tabel distibusi sebagai berikut :

Tabel 12.
Distribusi Pola Makan Balita di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Pola Makan n %
Cukup (> median) >188 13 54,2
Kurang (< median) <188 11 55,8

Total 24 100

Pada tabel diatas terlihat distribusi pola makan, menunjukkan bahwa


indikator pola makan menunjukkan bahwa 55,8% (n=11) berkategori pola
makan kurang.

f. Pola Asuh Gizi


Adapun distribusi pola asuh gizi disajikan dalam bentul tabel berikut:

Tabel 13.
Distribusi Pola Asuh Gizi di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Kategori n %
Baik (> 70%) 9 37,5
Cukup (60-70%) 6 25,0
Kurang (<60%) 9 37,5
Total 24 100,0

42
Pada tabel distribusi pola asuh gizi di Desa Samajaya menunjukkan
bahwa sebesar 37,5% (n=9) berada dalam kategori kurang.

g. Sanitasi Rumah Tangga


Pada pengumpulan data sanitasi rumah tangga dengan indikatir
ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis jamban, ketersediaan
SPAL, dan sarana pembuangan sampah. Tabel distribusi sanitasi rumah
tangga dapat dilihat di bawah ini :
Tabel 14.
Distribusi sanitasi rumah tangga di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Ketersediaan air bersih n %


Mata air (gunung) 23 95,8
Air ledeng/PDAM 1 4,2
Total 24 100
Ketersediaan jamban dirumah n %
Ada 23 95,8
Tidak 1 4,2
Total 24 100
Jenis jamban n %
Cemplung/Cubluk 24 100
Total 24 100
Ketersediaan SPAL n %
Laut 24 100
Total 24 100
Sarana Pembuangan sampah n %
Dibakar 15 62,5
Dibuang sembarangan (laut) 9 37,5
Total 24 100

Pada tabel di atas terlihat distribusi sanitasi rumah dengan indikator


ketersediaan air bersih menunjukkan 95,8% (n=23) masyarakat menggunakan
sumber air dari mata air gunung. Indikator kepemilikan jamban 4,2% (n=1)
tidak memiliki jamban di rumah, jenis jamban yang digunakan 100% jamban
cemplung/cubluk. Sarana pembuangan sampah dengan dibakar sebanyak

43
62,5% (n=15), sedangkan 37,5% (n=9) membuang sampah sembarangan
(laut).

h. Tingkat pendapatan
Menurut Madanijah (2004) peningkatan pendapatan merupakan salah
satu faktor yang memberikan peluang untuk membeli pangan dengan kualitas
maupun kuantitas yang lebih baik. Besar kecilnya pendapatan keluarga
berpengaruh terhadap pola konsumsi. Penghasilan keluarga akan menentukan
daya beli keluarga termasuk makanan, sehingga mempengaruhi kualitas dan
kuantitas makanan yang tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya
mempengaruhi asupan zat gizi (Suhardjo dalam Yuliati, 2008).

Dikatakan kurang apabila pengeluaran pangan ≥ 60 % total konsumsi


pangan dan nonpangan berdasarkan proposal. Adapun tabel distribusi
frekuensi pendapatan keluarga balita sebagai berikut :

Tabel 15. Distribusi tingkatan pendapatan keluarga di Desa Samajaya


Kecamatan Soropia 2018

Tingkat pendapatan n %
Cukup 12 50,0
Kurang 12 50,0
Total 24 100

Pada tabel di atas terlihat distribusi frekuensi pendapatan keluarga


balita (pengeluaran pangan) menunjukkan bahwa 50,0% (n=12) termasuk
kategori kurang.

i. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil “tahu” manusia ini terjadi setelah orang
melakukan pengeindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni : indra penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari
pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

44
pengetahuan akan lebih baik dari pada yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2003).

Tabel 16. Distribusi tingkatan pengetahuan keluarga di Desa Samajaya


Kecamatan Soropia 2018

Tingkat pengetahuan n %
Baik 4 16,7
Kurang 20 83,3
Total 24 100

Dari tabel distribusi pengetahuan responden di Desa Samajaya


Kecamatan Soropia 2018 menunjukkan 83,3% (n=20) memilki pengetahuan
yang kurang.

j. Pelayanan kesehatan
Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo, pelayanan adalah sebuah sub
system pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah untuk pelayanan
preventif, dan promotif, indikator yang di nilai adalah kepemilikan KMS,
Kelengkapan Imunisasi, dan pemberian kapsul Vitamin A. Adapun tabel
pelayanan kesehatan berdasarkan kepemilikan KMS sebagai berikut :

Tabel 17. Distribusi pelayanan kesehatan berdasarkan kepemilikan KMS di


Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Kepemilikan KMS balita n %


Tidak pernah memiliki 3 12,5
Pernah memiliki tapi sudah hilang 6 25,0

Ya, simpan oleh kader 2 8,3

Ya, dapat menunjukkan 13 54,2

Total 24 100

Pada tabel diatas terlihat distribusi kepemilikian KMS balita


menunjukkan bahwa 12,5% (n=3) tidak pernah memiliki KMS, 25,0% (n=6)
pernah memiliki KMS namun sudah hilang.

45
Tabel 18. Distribusi sampel menurut pelayanan kesehatan berdasarkan
Penerimaan kapsul Vitamin A di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Penerimaan Kapsul Vit.A n %


Ya 21 83,8
Tidak 3 16,2
Total 24 100

Pada tabel diatas terlihat distribusi penerimaan kapsul Vitamin A pada


balita balita menunjukkan bahwa 16.2% (n=3) tidak menerima kapsul vitamin
A, dan sebanyak 83.8% (n=21) mendapatkan kapsul vitamin A.

Tabel 19. Distribusi sampel menurut pelayanan kesehatan berdasarkan


imunisasi di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Imunisasi n %
Lengkap 15 62,5
Tidak lengkap 9 37,5
Total 24 100

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa distribusi imunisasi pada


balita menunjukkan bahwa 37,5% (n=9) imunisasi tidak lengkap, dan 62,5%
(n=15) mendapatkan imunisasi lengkap.

46
3. Faktor-faktor Determinan Masalah Gizi Balita
1) Hubungan antara Diare dan ISPA dengan status gizi balita (TB/U dan
BB/TB)
Tabel 20. Hubungan antara Diare dan ISPA dengan status gizi balita (TB/U
dan TB/BB)

Status Gizi (TB/U) Status Gizi (TB/BB)


Penyakit
Pendek Normal Total Wasting Normal Total
Infeksi Diare
n % n % n % n % n % n %
Ya 0 0,0 3 12,5 3 12,5 1 4,2 2 8,3 3 12,5
Tidak 4 16,7 17 70,8 21 87,5 5 20,8 16 66,7 21 87,5

Total 4 16,7 20 83,3 24 100 6 25 18 75 24 100

P=1,000 P=1,000

Penyakit Pendek Normal Total Wasting Normal Total


Infeksi ISPA n % n % n % n % n % n %
Ya 3 12,5 14 58,3 17 70,8 5 20,8 12 50,0 17 70,8
Tidak 1 4,2 6 25,0 7 29,2 1 4,2 6 25,0 7 29,2
Total 4 16,7 20 83,3 24 100 6 25 20 75 24 100
p=1,000 p=0,629

Berdasarkan tabel distribusi di atas terlihat bahwa 100% balita dengan


status gizi pendek tidak mengalami diare. Dan balita yang menderita penyakit
infeksi diare dalam satu bulan terakhir berstatus gizi wasting sebesar 4,2%.
Sedangkan balita yang menderita penyakit infeksi ISPA dalam satu bulan
terakhir berstatus gizi pendek sebesar 12,5%, dan balita yang berstatus gizi
wasting sebesar 20,8%.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara penyakit infeksi diare dengan status gizi stunting anak balita
di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-
square pada penyakit infeksi diare dengan status gizi wasting berdasarkan
indeks TB/BB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit infeksi

47
diare dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini dapat
dilihat dari nilai p>α (1,000 >0,05).
Dan untuk penyakit infeksi ISPA dari hasil uji statistic chi-square
dengan tingkat kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai
p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit infeksi
ISPA dengan status gizi stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan
indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-square pada penyakit infeksi ISPA
dengan status gizi wasting berdasarkan indeks TB/BB disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara penyakit infeksi ISPA dengan status gizi wasting,
hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,629 >0,05).

2) Hubungan Antara Asupan Makan Dengan Status Gizi Balita (BB/U,


TB/U dan BB/TB).
Tabel 21. Hubungan Antara Asupan Makan Dengan Status Gizi Balita (BB/U,
TB/U dan BB/TB)

Status Gizi (TB/U) Status Gizi (TB/BB)


Asupan Energi Pendek Normal Total Wasting Normal Total
n % n % n % n % n % n %
3 12,5 14 58,3 17 70,8 5 20,8 12 50,0 17 70,8
Baik
1 4,2 6 25,0 7 29,2 1 4,2 6 25,0 7 29,2
Kurang
Total 4 16,7 20 83,3 24 100 6 25 18 75 24 100
P=1,000 P=0,62

Asupan Pendek Normal Total Wasting Normal Total


Protein n % n % n % n % n % n %
Baik 2 8,3 15 62,5 17 70,8 5 20,8 12 50,0 17 70,8

Kurang 2 8,3 5 20,8 7 29,2 1 4,2 6 25,0 7 29,2


4 16,6 20 83,3 24 100 6 25 18 75 24 100
Total
P=0,552 P=0,62

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian kecil (4,2%)


status gizi balita dengan asupan energi kurang memiliki status gizi pendek.
Sedangkan untuk asupan protein sebesar 16,6% berstatus gizi pendek. Dan untuk

48
asupan energi menurut indeks TB/BB terdapat 4,2% anak balita termasuk ke
dalam kategori asupan energi kurang dengan status gizi wasting, sedangkan
untuk asupan protein menurut indeks TB/BB dapat dilihat bahwa 4,2% anak
balita termasuk ke dalam kategori asupan protein kurang dan berstatus gizi
wasting.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara asupan energi dengan status gizi stunting berdasarkan indeks
TB/U. Begitupula uji statistik chi-square pada asupan protein dengan status gizi
wasting berdasarkan indeks TB/U disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan protein dengan status gizi wasting, hal ini dapat dilihat
dari nilai p>α (0,552>0,05).
Dan untuk asupan energi berdasarkan indeks TB/BB dapat dilihat dari
hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai
p = 0,62 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan dengan status gizi wasting anak balita di Desa
Samajaya berdasarkan indeks TB/BB. Begitupun dengan uji statistik chi-square
pada asupan protein dengan status gizi wasting berdasarkan indeks TB/BB
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan protein
dengan status gizi wasting, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,62>0,05).

3) Hubungan antara pola makan dengan status gizi balita (TB/U dan BB/TB)

Tabel 22. Hubungan Pola Dengan Status Gizi Balita (TB/U) Dan (TB/BB)
Di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Status Gizi (TB/U) Status Gizi (BB/TB)


Pola
Pendek Normal Total Wasting Normal Total
Makan
n % n % n % n % n % n %
Cukup 3 12,5 10 41,7 13 54,2 3 12,5 10 41,7 13 54,2
Kurang 3 12,5 8 33,3 11 45,8 1 4,2 10 41,7 11 45,8
Total 6 25 18 75 24 100 4 16,7 20 83,4 24 100
p=0,531 p=0,406

49
Berdasarkan tabel di atas tedapat bahwa 12,5% anak balita dengan pola
makan kurang berstatus gizi pendek berdasarkan indeks TB/U. Sedangkan
untuk indeks BB/TB terdapat 4,2% anak balita dengan pola makan kurang
berstatus gizi wasting.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,531 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola makan dengan status gizi stunting anak
balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Sama halnya dengan uji
statistik chi-square pada pola makan dengan status gizi wasting berdasarkan
indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pola makan dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini
dapat dilihat dari nilai p>α (0,406>0,05).

4) Hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita (TB/U dan BB/TB)
Tabel 23. Hubungan antara pola asuh dengan status gizi balita (TB/U dan
BB/TB)

Status Gizi (TB/U) Status Gizi (TB/BB)


Pola
Pendek Normal Total Wasting Normal Total
Asuh
n % n % n % n % n % n %
Cukup 3 12,5 12 50 15 62,5 3 12,5 12 50 15 62,5
Kurang 1 4,2 8 33,3 9 37,5 3 12,5 6 25,0 9 37,5

Total 4 16,7 20 83,3 24 100 6 25 18 75 24 100


P=0,819 P=1,000

Berdasarkan tabel distribusi diatas dapat diketahui bahwa 4,2% anak


balita dengan pola asuh kurang berstatus gizi pendek berdasarkan indeks TB/U.
Sedangkan sebagian kecil 12,5% anak balita dengan pola asuh kurang berstatus
gizi wasting berdasarkan indeks TB/BB.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,819 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan status gizi stunting anak
balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Hal ini sama dengan uji

50
statistik chi-square pada pola asuh dengan status gizi wasting berdasarkan
indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pola asuh dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini
dapat dilihat dari nilai p>α (1,000>0,05)

5) Hubungan Antara Sanitasi Rumah Tangga Dengan Status Gizi Balita


(BB/U , TB/U dan BB/TB).

Tabel 24. Hubungan Sanitasi Rumah Tangga Dengan Status Gizi Balita (TB/U)
Dan (BB/TB) Di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Sanitasi Rumah
Status Gizi (TB/U) Status Gizi (BB/TB)
Tangga
Ketersediaan Dan Pendek Normal Total Wasting Normal Total
Sumber Air Bersih n % n % n % n % n % n %
Mata Air 5 20,9 18 75 23 95,8 3 12,5 20 83,4 23 95,8
Air PDAM 1 4,2 0 0 1 4,2 1 4,2 0 0 1 4,2
Total 6 25,1 18 75 24 100 4 16,7 29 83,4 24 100
p=0,138 p=,009
Ketersediaan Jamban
Ada 6 25 17 70,8 23 95,8 4 16,6 19 79,2 23 95,8
Tidak Ada 0 0 1 4,2 1 4,2 0 0 1 4,2 1 4,2
Total 6 25 18 75 24 100 4 16,6 20 83,4 24 100
p=0,840 p=0,965
Jenis Jamban
Cemplung/Cubluk 6 25 18 75 24 100 4 16,6 20 83,4 24 100
Total 6 25 18 75 24 100 4 16,6 20 83,4 24 100
Ketersediaan SPAL
Laut 6 25 18 75 24 100 4 16,6 20 83,4 24 100
Total 6 25 18 75 24 100 4 16,6 20 83,4 24 100
Sarana Pembungan Sampah
Dibakar 4 16,7 11 45,8 15 62,5 1 4,2 14 58,3 15 62,5
Dibuang dilaut 2 8,4 7 29,2 9 37,5 3 12,5 6 25,1 9 37,5
Total 6 25,1 18 75 24 100 4 16,7 20 83,3 24 100
p=0,265 p=0,139

51
Berdasarkan tabel di atas, Indikator Ketersediaan Dan Sumber Air Bersih
menurut indeks TB/U dengan status gizi pendek terdapat 20,9% keluarga anak
balita memiliki ketersediaan dan sumber air bersihnya dari mata air
pegunungan dan 4,2% keluarga anak balita memiliki ketersediaan dan sumber
air bersih dari air PDAM. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi
wasting terdapat 12,5% keluarga anak balita memiliki ketersediaan dan
sumber air bersihnya dari mata air pegunungan, dan 4,2% keluarga anak balita
memiliki ketersediaan dan sumber air bersih dari air PDAM.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p=0,138 karena nilai p>α maka tidak ada hubungan antara
ketersediaan dan sumber air bersih dengan status gizi stunting anak balita di
Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Hal ini sama dengan uji statistik chi-
square pada dengan ketersediaan dan sumber air bersih status gizi wasting
berdasarkan indeks BB/TB tidak ada hubungan antara ketersediaan dan sumber
air bersih dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini
dapat dilihat dari nilai p>α (0,009>0,05)
Untuk Indikator Ketersediaan Jamban menurut indeks TB/U dengan
status gizi pendek terdapat 25% keluarga anak balita memiliki ketersediaan
jamban. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi wasting terdapat
16,6% keluarga anak balita memiliki ketersediaan jamban.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,840 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara ketersediaan jamban dengan status gizi
stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Hal ini sama
dengan uji statistik chi-square pada ketersediaan jamban dengan status gizi
wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara ketersediaan jamban dengan status gizi wasting anak balita di Desa
Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,965>0,05)
Untuk indikator jenis jamban menurut indeks TB/U dengan status gizi
pendek terdapat 25% keluarga anak balita memiliki jenis jamban
cemplung/cubluk. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi wasting
terdapat 16,6% keluarga anak balita memiliki ketersediaan jamban. Untuk uji

52
statistic chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat salah satu sel yang
kosong.
Untuk indikator ketersediaan SPAL menurut indeks TB/U dengan status
gizi pendek terdapat 25% keluarga anak balita memiliki SPAL langsung ke
laut. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi wasting terdapat
16,6% anak balita memiliki SPAL langsung ke laut. Untuk uji statistic chi-
square tidak dapat dilakukan karena terdapat salah satu sel yang kosong.
Untuk indikator sarana pembuangan sampah menurut indeks TB/U
dengan status gizi pendek terdapat 16,7% keluarga anak balita memilih
membuang sampah dengan cara di bakar, untuk keluarga anak balita yang
memilih membuang sampah di laut terdapat 8,4%. Sedangkan untuk indeks
BB/TB dengan status gizi wasting terdapat 4,2% keluarga anak balita memilih
membuang sampah dengan cara di bakar dan untuk keluarga anak balita yang
memilih membuang sampah di laut terdapat 8,4%.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,265 karena nilai p>α maka tidak ada hubungan antara
pembuangan sampah dengan status gizi stunting anak balita di Desa Samajaya
berdasarkan indeks TB/U. Sama dengan uji statistik chi-square pada
pembuangan sampah dengan status gizi wasting berdasarkan indeks BB/TB
tidak ada hubungan antara pembuangan sampah dengan status gizi wasting
anak balita di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,139>0,05)

6) Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Status Gizi Balita (TB/U


dan BB/TB).
Tabel 25. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Status Gizi
Balita (TB/U dan BB/TB)

Tingkat Status gizi balita TB/U Status gizi balita BB/TB


Pengetahuan Pendek Normal Total Wasting Normal Total
Ibu n % n % n % n % n % n %
Baik 0 0,0 4 16,6 4 16,7 1 4,2 3 12,5 4 16,7

Kurang 4 16,7 16 66,6 20 83,3 5 25,0 15 62,5 20 83,3

Total 4 16,7 20 83,4 24 100 5 29,2 18 75 24 100


P=1,000 P=1,000

53
Berdasarkan tabel diatas hubungan status gizi dengan tingkat pengetahuan
ibu terdapat 16,7% anak balita berstatus gizi stunting dengan tingkat
pengetahuan ibu kurang. Sedangkan menurut indeks BB/TB tedapat 25% anak
balita berstatus gizi wasting dengan tingkat pengetahuan ibu kurang.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi
stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Sama halnya
dengan uji statistik chi-square pada tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi
wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara pengertahuan ibu dengan status gizi wasting anak balita di
Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (1,000>0,05).

7) Hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi balita (TB/U dan
BB/TB
Tabel 26. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan status gizi balita
(TB/U danBB/TB)
Status gizi balita TB/U & BB/TB
Tingkat Total
Pendek Normal Total kurus Normal
Pendapatan
n % n % n % n % n % n %
Cukup 2 8,3 10 41,7 12 50,0 1 4,2 11 45,8 12 50,0

Kurang 2 8,3 10 41,7 12 50,0 5 20,8 7 29,2 12 50,0

Total 4 16,6 20 83,4 24 100 6 25 18 75 24 100

P=1,000 P=0,155

Berdasarkan tabel distribusi di atas terdapat bahwa 8,3% keluarga dengan


tingkat pendapatan kurang memiliki anak balita berstatus gizi pendek (TB/U).
Sedangkan menurut indeks BB/TB anak balita dengan tingkat pendapatan
keluarga kurang berstatus gizi wasting sebesar 20,8%.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status
gizi stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U.

54
Begitupula uji statistik chi-square pada tingkat pendapatan keluarga dengan
status gizi wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi wasting anak
balita di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,155>0,05).

8) Hubungan antara pelayanan kesehatan dengan status gizi balita (TB/U


dan BB/TB)

Tabel 27. Hubungan Pelayanan Kesehatan Dengan Status Gizi Balita (TB/U) Dan
(BB/TB) Di Desa Samajaya Kecamatan Soropia 2018

Pelayanan
Status Gizi (TB/U) Status Gizi (BB/TB)
Kesehatan
Pemberian Pendek Normal Total Wasting Normal Total
Kapsul Vit. A n % n % n % n % n % n %
Ya 6 25 15 62,5 21 87,5 4 16,6 17 70,9 21 87,5
Tidak 0 0 3 12,5 3 12,5 0 0 3 12,5 3 12,5
Total 5 25 18 75 24 100 4 16,6 20 83,4 24 100
p=0,565 p=0,825
Imunisasi
Lengkap 5 20,9 10 41,7 15 62,5 3 12,5 12 50 15 62,5
Tidak
1 4,2 8 33,2 9 37,5 1 4,2 8 33,3 9 37,5
Lengkap
Total 6 25,1 18 74,9 24 100 4 16,7 20 83,3 24 100
p=0,444 p=0,551

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa anak balita yang


berstatus gizi stunting dan wasting mendapatkan kapsul vitamin A sebaliknya
anak balita yang tidak mendapatkan kapsul vitamin A justru status gizinya
normal baik dilihat dari indeks TB/U ataupun TB/BB sedangkan untuk yang
mendapatkan kapsul vitamin A dan berstatus gizi pendek sebesar 25% dan
yang berstatus gizi wasting 16,6% mendapatkan kapsul vitamin A. Dan untuk
indikator imunisasi 4,2% anak balita dengan status gizi stunting termasuk
dalam kategori imunisasi tidak lengkap, dan anak balita yang berstatus gizi
wasting 4,2% balita termasuk kategori imunisasi tidak lengkap.

55
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
indikator Cakupan Pemberian Vit.A diperoleh nilai p = 0,565 karena nilai p>α
maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pelayanan
kesehatan (Cakupan Vit.A) dengan status gizi stunting anak balita di Desa
Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-square pada
tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi wasting berdasarkan indeks
BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pelayanan kesehatan
(Cakupan Vit.A) dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal
ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,825>0,05). Dan untuk hasil uji statistic chi-
square berdasarkan indikator cakupan imunisasi pada anak balita di dengan
tingkat kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai p = 0,444 karena nilai p>α maka
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pelayanan
kesehatan (Cakupan Imunisasi) dengan status gizi stunting anak balita di Desa
Samajaya berdasarkan indeks BB/TB.

A. PEMBAHASAN
1. Status Gizi Balita
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat interaksi antara asupan
energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan
kesehatan tubuh. Status gizi yang disebut sebagai nutrition status merupakan
ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu.
Pengukuran status gizi anak balita yang digunakan adalah pengukuran
antropometri (BB,TB/PB, BB//TB)
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan
secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjagi bila
tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi
lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan,
sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi
terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih (Almatsier,
2004).

56
Pada pengumpulan data ini variabel terikat yaitu status gizi balita yang
dilihat dari tiga indikator dan variabel bebas yaitu penyakit infeksi, tingkat
konsumsi energi dan protein, pola makan, pola asuh, sanitasi rumah tangga,
tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan dan pelayanan kesehatan. Pada
pengumpulan data ini untuk status gizi balita kami mengukur 3 indikator
yaitu, BB/U, TB/U dan TB/BB. Untuk mengetahui faktor-faktor determinan
kami menghubungan variabel bebas dengan variabel terikat tetapi dilihat dari
dua sudut yaitu TB/U untuk melihat apakah ada balita yang mengalami
stunting dan TB/BB untuk melihat apakah ada balita yang mengalami
wasting.
Berdasarkan hasil yang didapatkan setelah melakukan pengambilan
data selama kurang lebih satu minggu di Desa Samajaya Kabupaten Soropia
bahwa masalah utama anak balita yang ditemukan adalah status gizi.
Indikator BB/U menunjukkan bahwa 8,3% anak balita memiliki status gizi
buruk. 12,5% anak balita berada pada kategori gizi kurang dan Indikator
TB/U menunjukan bahwa 4,2% berada pada kategori sangat pendek, dan
20,8% pada kategori pendek. Sedangkan pada indikator BB/TB menunjukkan
bahwa 8,3% berada pada kategori sangat kurus, 8.3% anak balita berada pada
kategori kurus, dan 4,2% anak balita berada pada kategori gemuk. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 9.

2. Faktor-Faktor Determinan Masalah Gizi Balita


a. Hubungan Antara Penyakit Infeksi Diare Dan ISPA Dengan Status Gizi
Balita (TB/U) Dan (TB/BB).
Penyakit infeksi yang dimaksud adalah penyakit diare dan penyakit
ISPA yang dialami anak balita dalam satu bulan terakhir. Infeksi mempunyai
efek terhadap status gizi untuk semua usia. Tetapi lebih nyata pada kelompok
anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi,
protein, dan gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan
makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua
kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal (Thaha,
1995).

57
Berdasarkan data Riskesdas 2013 penyakit yang dapat ditularkan
melalui udara salah satunya adalah penyakit ISPA (Riskesdas, 2013)
prevalensi ISPA adalah (25,0%). ISPA merupakan Infeksi saluran pernapasan
akut disebabkan okeh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas
disertai salah satu atau lebih gejala: tenggorakan sakit atau nyeri telan, pilek,
batuk kering, atau berdahak.
Diare adalah gangguan buang air besar/BAB ditandai dengan BAB
lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair. Berdasarkan riskesdas
2013 prevalensi diare adalah 3,5%. Adanya penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan akut (ISPA) maupun diare pada balita menyebabkan
makanan yang dikonsumsi balita akan terhambat penyerapannya dan energi
yang didapatkan dari makanan akan habis atau berkurang.
Berdasarkan tabel 20, terlihat bahwa 100% balita dengan status gizi
pendek tidak mengalami diare. Dan balita yang menderita penyakit infeksi
diare berstatus gizi wasting sebesar 4,2%. Sedangkan balita yang menderita
penyakit infeksi ISPA gizi pendek sebesar 12,5%, dan balita yang berstatus
gizi wasting sebesar 20,8%.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara penyakit infeksi diare dengan status gizi stunting anak balita
di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-
square pada penyakit infeksi diare dengan status gizi wasting berdasarkan
indeks TB/BB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit infeksi
diare dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya , hal ini dapat
dilihat dari nilai p>α (1,000 >0,05).
Dan untuk penyakit infeksi ISPA dari hasil uji statistic chi-square
dengan tingkat kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai
p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara penyakit infeksi
ISPA dengan status gizi stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan
indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-square pada penyakit infeksi ISPA
dengan status gizi wasting berdasarkan indeks TB/BB disimpulkan bahwa

58
tidak ada hubungan antara penyakit infeksi ISPA dengan status gizi wasting,
hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,629 >0,05).
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat di simpulkan bahwa tidak ada
hubungan signifikan antara penyakit infeksi dengan status gizi anak balita di
Desa Samajaya baik dengan indeks TB/U ataupun TB/BB. Sehingga dapat
dikatakan bahwa anak balita yang mengalami penyakit infeksi tidak
berpengaruh terhadap kejadian wasting disebabkan tindakan penganganan
yang secara dini dilakukan yaitu dengan membawa anak kepuskesmas ketika
penyakit infeksi terjadi. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Putri, Maya S, dkk (2015) bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi
(IMT/U, BB/U, TB/U, dan BB/TB) dengan penyakit infeksi pada anak umur
1-3 tahun di Desa Mopusi Kecamatan Loloyan Kabupaten Bolaang
Mongondow Induk. Hasil penelitian ini memang tidak sesuai dengan teori
yang sebenarnya yang menyatakan bahwa penyakit infeksi akan
menyebabkan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan
bahan makanan melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi
seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan
(Arisman, 2004).

b. Hubungan Antara Asupan Makanan Dengan Status Gizi Balita (TB/U)


Dan (TB/BB).

Asupan makanan adalah semua jenis makanan dan minuman yang


dikonsumsi setiap hari. Anak dengan usia di bawah dua tahun rentan
mengalami masalah gizi. Asupan gizi dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental. Asupan energi yang tidak mencukupi dalam
waktu jangka panjang dapat menyebabkan gizi kurang yang berdampak pada
kekurangan energi-protein.
Berdasarkan tabel 21, diketahui bahwa sebagian kecil (4,2%) status gizi
balita dengan asupan energi kurang memiliki status gizi pendek. Sedangkan
untuk asupan protein sebesar 16,6% berstatus gizi pendek. Dan untuk asupan
energi menurut indeks TB/BB terdapat 4,2% anak balita termasuk ke dalam
kategori asupan energi kurang dengan status gizi wasting, sedangkan untuk

59
asupan protein menurut indeks TB/BB dapat dilihat bahwa 4,2% anak balita
termasuk ke dalam kategori asupan protein kurang dan berstatus gizi wasting.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara asupan energi dengan status gizi stunting berdasarkan
indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-square pada asupan protein dengan
status gizi wasting berdasarkan indeks TB/U disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan status gizi wasting,
hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,552>0,05).
Ketidakbermaknaan hubungan antara asupan makanan balita dengan
kejadian wasting kemungkinan dikarenakan terjadinya bias informasi saat
melakukan pengumpulan data (recall), berupa kesulitan ibu mengingat
makanan apa saja yang dikonsumsi oleh balitanya dalam 24 jam terakhir.
Sehingga informasi tentang jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi tidak
sesuai dengan yang sebenarnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Novayeni, dkk, 2011 terdapat hubungan antara asupan energi dengan status
gizi dan tidak terdapat hubungan antara asupan protein dengan staus gizi
balita di Kelurahan Tamamaung. Hasil penelitian oleh Mariani (2002)
terdapat hubungan positif antara kecukupan konsumsi protein dengan status
gizi anak balita, begitu juga penelitian oleh Dewi (2012) menemukan ada
hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi balita BB/TB.
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan asupan protein
dan energi dengan status gizi balita, namun mengingat banyaknya faktor yang
mempengaruhi status gizi dan pada penelitian ini tingkat asupan protein dan
energi dan tidak memiliki hubungan bermakna dengan status gizi balita, maka
kejadian malnutrisi memungkinkan lebih disebabkan faktor lain.

c. Hubungan Antara Pola Makan Dengan Status Gizi Balita (TB/U) Dan
(TB/BB).
Pola makan yang baik terdiri dari konsumsi makanan yang berkualitas
yaitu konsumsi makanan yang sehat dan bervariasi, serta konsumsi makanan
yang cukup dari segi kuantitas diikuti dengan menerapkan perilaku makan

60
yang benar. Jika hal ini diterapkan, makan akan menghasilkan status gizi anak
yang normal.
Berdasarkan tabel 22 terdapat bahwa 12,5% anak balita dengan pola
makan kurang berstatus gizi pendek berdasarkan indeks TB/U. Sedangkan
untuk indeks BB/TB terdapat 4,2% anak balita dengan pola makan kurang
berstatus gizi wasting.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,531 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola makan dengan status gizi stunting anak
balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Sama halnya dengan uji
statistik chi-square pada pola makan dengan status gizi wasting berdasarkan
indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pola makan dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini
dapat dilihat dari nilai p>α (0,406>0,05). Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Sari, Gustiva, dkk. 2016. Berdasarkan hasil uji
statistik dengan uji Fisher menunjukkan adanya hubungan antara pola makan
dengan status gizi (p<0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian Waladow et al
dengan hasil yang menunjukkan nilai signifikan p (0,00) yang berarti ada
hubungan yang bermakna antara pola makan dengan status gizi. Meskipun
beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan pola makan dengan
status gizi, tetapi hasil penelitian yang kami lakukan di Desa Samajaya tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sulistyadewi, dan Puspaningryum (2017) dimana tidak
ada hubungan antara pola makan dengan status gizi balita di Taman kanak-
kanak Denpasar Selatan.

d. Hubungan Antara Pola Asuh Dengan Status Gizi Balita (TB/U) Dan
(TB/BB).

Pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua meliputi
pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-lain) dan
kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, perlindungan, dan
lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku dimasyarakat agar anak

61
dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga
meliputi pola interaksi orang tua dengan anak dalam pendidikan karakter
anak (Latifah, 2008).
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang
penting dalam proses pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30% anak
dibawah lima tahun yang mengalami stunted merupakan konsekuensi dari
praktek pemberian makan yang buruk dan infeksi berulang. (WHO, 2011;
UNICEF, 2008 dalam Wijogowati, 2010). Hal ini juga sesuai dengan
pendapat Husaini, 2000 dalam Rahim, 2011 bahwa peran keluarga terutama
ibu dalam mengasuh anak akan menentukan tumbuh kembang anak.
Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara makan yang
sehat, memberi makanan yang bergizi dan mengontrol besar porsi yang
dihabiskan akan meningkatkan status gizi anak
Dari hasil penelitian di Desa Samajaya Pola Asuh Gizi tidak
mempengaruhi status gizi balita kejadian stunting dan wasting. Berdasarkan
tabel 23 distribusi pola asuh gizi dengan status gizi balita dapat diketahui
bahwa 4,2% anak balita dengan pola asuh kurang berstatus gizi pendek
berdasarkan indeks TB/U. Sedangkan sebagian kecil 12,5% anak balita
dengan pola asuh kurang berstatus gizi wasting berdasarkan indeks TB/BB.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,819 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan status gizi stunting anak
balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Hal ini sama dengan uji
statistik chi-square pada pola asuh dengan status gizi wasting berdasarkan
indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pola asuh dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini
dapat dilihat dari nilai p>α (1,000>0,05).
Penelitian yang dilakukan di Desa Samajaya berbeda dengan penelitian
yang dilakukan di Puskesmas Ranotana Weru Manado yaitu berdasarkan
dengan 51 responden diperoleh 31 responden yaitu pola asuh ibu baik dengan
status gizi baik, pola asuh ibu kurang dengan status gizi baik sebanyak 1
responden, pola asuh baik denga status gizi tidak baik sebanyak 11

62
responden. Salah satu faktor yang berperan penting dalam status gizi balita
adalah pola asuh (Mustapa, Sirajuddin, Salam, 2013).
Masalah gizi di pengaruhi oleh banyak faktor yang saling
mempengaruhi secara kompleks. Salah satu yang mempengaruhinya yaitu
ibu, keadaan gizi di pengaruhi oleh kemampuan ibu menyediakan pangan
yang cukup untuk anak serta pola asuh yang di pengaruhi oleh faktor
pendapatan keluarga, pendidikan, prilaku dan jumlah saudara. Hal tersebut
didukung dengan hasil dari Husin (2008) dengan 82 responden yang
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pola asuh dengan status gizi
balita umur 24-59 bulan. Sulistijani (2001) mengemukakan seiring
bertambahnya usia anak ragam makanan harus bergizi lengkap dan seimbang
yang mana penting untuk menunjang tumbuh kembang dan status gizi anak.
Responden yang termasuk dalam kategori pola asuh ibu kurang status gizi
baik sebanyak 1 responden, hal ini karena pola asuh ibu dipengaruhi oleh
faktor pendidikan ibu, lingkungan, serta budaya.
Menurut Rikesdas (2013) semakin tinggi pendidikan orang semakin
rendah prevalansi gizi buruk pada balita. Hal tersebut mendukung penelitian
dari Suhendri (2009) dengan hasil yang signifikan antara status gizi rendah
dengan pendidikan rendah. Sedangkan pada responden pola asuh ibu baik
status gizi tidak baik sebanyak 11 responden. Hal ini terjadi karena status gizi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdiri dari factor langsung seperti
konsumsi makanan, atau serta yang bisa berhubungan dengan gizi dan infeksi
faktor tidak langsung seperti pendapatan orang tua yang merupakan faktor
yang penting menentukan kualitas dan kuantitas serta berpengaruh terhadap
pemenuhan zat gizi (Supriasa, Bakri, Fajar, 2002).

e. Hubungan Antara Sanitasi Rumah Tangga Dengan Status Gizi Balita


(TB/U) Dan (TB/BB).

Sanitasi adalah Status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup


perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya
(Notoadmojo, 2003). Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan
anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal- hal

63
yang perlu diperhatikan berksaitan dengan rumah dan ingkungan. Kebersihan
perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi
tumbuh kembang anak.
Berdasarkan tabel 24 diketahui bahwa Indikator Ketersediaan Dan
Sumber Air Bersih menurut indeks TB/U dengan status gizi pendek terdapat
20,9% keluarga anak balita memiliki ketersediaan dan sumber air bersihnya
berasal dari mata air dari pegunungan dan 4,2% keluarga anak balita memiliki
ketersediaan dan sumber air bersih dari air PDAM. Sedangkan untuk indeks
BB/TB dengan status gizi wasting terdapat 12,5% keluarga anak balita
memiliki ketersediaan dan sumber air bersihnya berasal dari mata air dari
pegunungan, dan 4,2% keluarga anak balita memiliki ketersediaan dan
sumber air bersih dari air PDAM. Menurut kriteria air bersih baik, yaitu jika
tersedianya air bersih yang memenuhi syarat ( Jernih, Tidak berwarna/keruh,
Tidak berasa, Tidak berbau) dan sumber mata air dan sumur gali merupakan
air bersih. Jadi pada Desa Samajaya dari data yang ada, ketersediaan air
bersih yang digunakan keluarga anak balita adalah 100% menggunakan air
bersih.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,138 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara ketersediaan dan sumber air bersih dengan
status gizi stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U.
Hal ini sama dengan uji statistik chi-square pada dengan ketersediaan dan
sumber air bersih status gizi wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara ketersediaan dan sumber air
bersih dengan status gizi wasting anak balita di Desa Samajaya, hal ini dapat
dilihat dari nilai p>α (0,009>0,05).
Untuk Indikator Ketersediaan Jamban menurut indeks TB/U dengan
status gizi pendek terdapat 25% keluarga anak balita memiliki ketersediaan
jamban. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi wasting terdapat
16,6% keluarga anak balita memiliki ketersediaan jamban.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,840 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada

64
hubungan yang signifikan antara ketersediaan jamban dengan status gizi
stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Hal ini sama
dengan uji statistik chi-square pada ketersediaan jamban dengan status gizi
wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara ketersediaan jamban dengan status gizi wasting anak
balita di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,965>0,05).
Untuk indikator jenis jamban menurut indeks TB/U dengan status gizi
pendek terdapat 25% keluarga anak balita memiliki jenis jamban
cemplung/cubluk. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi wasting
terdapat 16,6% keluarga anak balita memiliki ketersediaan jamban. Untuk uji
statistic chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat salah satu sel yang
kosong. Untuk kriteria jamban baik, yaitu jika menggunakan jamban jenis
leher angsa, dan kriteria kurang bila menggunakan jenis jamban selain leher
angsa. Jadi pada Desa Samajaya dari data yang ada, ketersediaan jamban
keluarga berkategori kurang sebesar 100%. Dikarenakan lingkungan tempat
tinggal ibu hamil yaitu di daerah pesisir, dan rumah yang di tempati berada di
atas laut ( rumah panggung ), sehingga jamban yang paling banyak digunakan
yaitu jenis cemplung.
Untuk indikator ketersediaan SPAL menurut indeks TB/U dengan
status gizi pendek terdapat 25% keluarga anak balita memiliki SPAL
langsung ke laut. Sedangkan untuk indeks BB/TB dengan status gizi wasting
terdapat 16,6% anak balita memiliki SPAL langsung ke laut. Untuk uji
statistic chi-square tidak dapat dilakukan karena terdapat salah satu sel yang
kosong.
Untuk ketersediaaan SPAL, keluarga ibu hamil 100% memiliki
ketersediaaan SPAL jenis SPAL+Langsung ke got/laut. Syarat minimal
SPAL yang memenuhi syarat kesehatan :
1. Jarak antara lubang peresapan SPAL terletak tidak kurang dari 10 m dan
sumur/pompa tangan, sehingga tidak mencemari sumber air bersih.
2. Tidak bebau.
3. SPAL mudah dikuras atau dibersihkan dan tidak menimbulkan genangan
air yag terbuka. Dengan mengobservasi SPAL, keluarga anak balita yang

65
memiliki spal jenis SPAL+Langsung ke Got/Laut termasuk tidak
memenuhi kriteria spal yang baik. Oleh karena itu semua keluarga anak
balita 100% tidak memiliki spal berkriteria baik.
Untuk indikator sarana pembuangan sampah menurut indeks TB/U
dengan status gizi pendek terdapat 16,7% keluarga anak balita memilih
membuang sampah dengan cara di bakar, untuk keluarga anak balita yang
memilih membuang sampah di laut terdapat 8,4%. Sedangkan untuk indeks
BB/TB dengan status gizi wasting terdapat 4,2% keluarga anak balita
memilih membuang sampah dengan cara di bakar dan untuk keluarga anak
balita yang memilih membuang sampah di laut terdapat 8,4%.
Syarat dalam pengolahan tempat sampah rumah tangga/ tempat
pembuangan sampah pribadi di rumah- rumah :
1. Pisahkan sampah kering/ non organik dalam wadah plastik.
2. Tempat sampah harus terlindungi dari sinar matahari langsung, hujan,
angin dan lai sebagainya.
3. Hindari tempat sampah menjadi sarang binatang seperti kecoa, lalat,
belatung, tikus, kucing, semut, dan lain-lain.
4. Buang sampah dalam kemasan plastik yang tertutup rapat agar tidak
mudah berserakan dan mengeluarkan bau yang tidak sedap.
Dengan mengobservasi sarana pembuangan sampah, keluarga anak
balita yang memilih membuang sampah dengan cara di bakar dan dibuang
sembarangan, tidak memenuhi syarat pengolahan tempat sampah yang baik.
Oleh karena itu keluarga anak balita 100% tidak memiliki sarana
pembuangan sampah yang baik.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 0,265 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pembuangan sampah dengan status gizi
stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Hal ini sama
dengan uji statistik chi-square pada pembuangan sampah dengan status gizi
wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara pembuangan sampah dengan status gizi wasting anak
balita di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,139>0,05).

66
Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara hygene dengan status gizi balita di Desa Samajaya. Hal ini tidak
senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmayana, dkk. 2014.
Berdasarkan hasil uji Chi-Square yang dilakukannya diperoleh hasil yang
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara sanitasi lingkungan
dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan. Maka dapat dikatakan
bahwa ibu yang memperhatikan kondisi sanitasi lingkungan baik didalam
rumah dan dilingkungan sekitar anak akan berdampak positif kepada keadaan
status gizi anak, dimana digambarkan pada hasil penelitian ini yang termasuk
dalam kategori baik dalam kondisi sanitasi lingkungan menunjukkan 72,7%
tinggi badan anak normal di posyandu Asoka II wilayah pesisir keluarahan
barombong. Sedangkan kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik
didominasi oleh balita stunting.
Penelitian yamg kami lakukan di Desa samjaya mengenai hubungan
hygene dengan status gizi anak balita tidak menunjukkan nilai yang
signifikan, hal ini juga tidak sesuai dengan teori Supariasa dkk (2012:31)
dalam bukunya menuliskan bahwa keadaan sanitasi lingkungan yang kurang
baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare,
kecacingan, dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak menderita infeksi
saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang
menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang kekurangan zat gizi
akan mudah terserang penyakit, dan petumbuhan akan terganggu.

f. Hubungan Antara Tingkat Pendapatan Dengan Status Gizi Balita


(TB/U) Dan (TB/BB).
Salah satu karakteristik keluarga adalah tingkat pendapatan keluarga.
Keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan
konsumsi pangan dan gizi terutama pada balita rendah dan hal ini
mempengaruhi status gizi pada anak balita (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2012).
Salah satu penyebab dasar dari wasting dan stunting adalah kondisi ekonomi
keluarga yang rendah (miskin). Kemiskinan mengakibatkan keluarga tersebut
mengalami keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan gizi keluarga dari segi
kualitas maupun kuantitas.

67
Berdasarkan tabel distribusi di atas terdapat bahwa 8,3% keluarga
dengan tingkat pendapatan kurang memiliki anak balita berstatus gizi pendek
(TB/U). Sedangkan menurut indeks BB/TB anak balita dengan tingkat
pendapatan keluarga kurang berstatus gizi wasting sebesar 20,8%.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status
gizi stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U.
Begitupula uji statistik chi-square pada tingkat pendapatan keluarga dengan
status gizi wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi wasting anak
balita di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,155>0,05). Hal
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handini, Dian, dkk.
2013. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan bahwa Kemiskinan sebagai penyebab gizi
kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum (Suhardjo, 2002).

g. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Status Gizi Balita


(TB/U) Dan (TB/BB).

Pengetahuan tentang gizi yang baik tentunya akan membuat status gizi
balita baik pula. Memiliki pengetahuan tentang gizi seimbang yang baik, akan
memunculkan sikap untuk menyusun menu makanan balita dengan tepat dan
bervariasi. Pada dasarnya pengetahuan akan memunculkan sikap dan
membentuk perilaku untuk bertindak dalam pemenuhan gizi balitanya. Selain
itu dengan pengetahuan baik akan memperbaik cara ibu dalam pemenuhan
gizi balitanya, dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan balita dapat
terpenuhi. Sehingga pengetahuan yang baik memungkinkan memiliki status
gizi yang baik pula. Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi dapat membuat
perilaku ibu dalam memperhatikan gizi balitanya menjadi kurang maksimal.
Tentunya akan berbeda dengan yang telah memiliki pengetahuan yang baik.
Mayoritas dari responden yang berpengetahuan kurang dan memiliki balita

68
dengan status gizi kurang, mereka kurang baik dalam menyusun menu untuk
balitanya. Kebanyakan memberikan menu makanan yang sama untuk
balitanya. Selain itu responden belum mengetahui prinsip gizi seimbang
balita yang menjadi dasar pemenuhan gizi balita. tersebut bukan berarti ibu
tidak memberikan banyak makanan untuk balitanya. Namun dengan
kurangnya pengetahuan sikap ibu dalam memilih, mengolah dan
menghidangkan makanan untuk balita menjadi kurang benar sehingga zat gizi
yang terkandung dalam makanan menjadi berkurang.
Hal ini sejalan dengan pendapat Sibagariang (2010) bahwa salah satu
penyebab timbulnya masalah gizi adalah dari faktor pengetahuan. Sama
halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zuraida (2012)
berdasarkan analisis regresi logistik berganda diperoleh hasil bahwa
pengetahuan gizi ibu dan sikap gizi ibu mempengaruhi status gizi balita,
variabel pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang paling kuat
hubungannya dengan status gizi balita.
Dari hasil penelitian di desa Samajaya bahwa dari 24 sampel, berdasarkan
tabel distribusi menunjukkan 83,3% (n=20) memilki pengetahuan yang
kurang. Berdasarkan tabel hubungan status gizi dengan tingkat pengetahuan
ibu terdapat 16,7% anak balita berstatus gizi stunting dengan tingkat
pengetahuan ibu kurang. Sedangkan menurut indeks BB/TB tedapat 25%
anak balita berstatus gizi wasting dengan tingkat pengetahuan ibu kurang.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
diperoleh nilai p = 1,000 karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi
stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Sama
halnya dengan uji statistik chi-square pada tingkat pengetahuan ibu dengan
status gizi wasting berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status gizi wasting anak
balita di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (1,000>0,05).
Jadi, penelitian yang di lakukan di Desa Samajaya mengenai hubungan
tingkat pengetahuan dengan status gizi anak balita tidak memiliki hubungan
ynag signifikan. Hal ini senada Cholifatun Ni’mah1, Lailatul Muniroh.

69
Berdasarkan uji hubungan didapatkan p wasting= 0,581, dan p stunting=
0,605, p wasting dan p stunting >α artinya tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan wasting dan stunting pada balita keluarga miskin di
Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Astuti dan Taurina (2012) yang menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak
prasekolah dan sekolah dasar di Kecamatan Godean berdasarkan indeks
BB/TB. Penelitian Anindita (2012) juga menyatakan hal yang sama, bahwa
tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan stunting pada balita.

h. Hubungan Antara Pelayanan Kesehatan Dengan Status Gizi Balita


(TB/U) Dan (TB/BB).
Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakan
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang
optimal, pemeliharaan, dan energi. Banyak peneliti menemukan masalah gizi
buruk disebabkan oleh ketidaktahuan terhadap gizi sehingga banyak jenis
bahan makanan yang tidak dimanfaatkan untuk konsumsi anak. Pola asuh
makan anak akan selalu terkait dengan pemberian makan yang akhirnya akan
memberikan sumbangan terhadap status gizi anak. Ibu memiliki peranan
penting dalam menatalaksanakan makanan bagi anak serta menjamin
terpenuhinya kebutuhan anak akan makanan bergizi. Aspek sanitasi
lingkungan juga sangat menentukan kondisi kesehatan bayi. Kurangnya
perhatian keluarga, terutama ibu, dalam hal sanitasi lingkungan dapat
meningkatkan kerentanan bayi terhadap penyakit infeksi dan mengurangi
kesempatan anak untuk mengeksplorasi lingkungan.
Berdasarkan tabel 27 di atas dapat diketahui bahwa anak balita yang
berstatus gizi stunting dan wasting mendapatkan kapsul vitamin A sebaliknya
anak balita yang tidak mendapatkan kapsul vitamin A justru status gizinya
normal baik dilihat dari indeks TB/U ataupun TB/BB sedangkan untuk yang
mendapatkan kapsul vitamin A dan berstatus gizi pendek sebesar 25% dan
yang berstatus gizi wasting 16,6% mendapatkan kapsul vitamin A. Dan untuk
indikator imunisasi 4,2% anak balita dengan status gizi stunting termasuk

70
dalam kategori imunisasi tidak lengkap, dan anak balita yang berstatus gizi
wasting 4,2% balita termasuk kategori imunisasi tidak lengkap.
Dari hasil uji statistic chi-square dengan tingkat kemaknaan α = 0,05,
indikator Cakupan Pemberian Vit.A diperoleh nilai p = 0,565 karena nilai
p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
pelayanan kesehatan (Cakupan Vit.A) dengan status gizi stunting anak balita
di Desa Samajaya berdasarkan indeks TB/U. Begitupula uji statistik chi-
square pada tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi wasting
berdasarkan indeks BB/TB disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
pelayanan kesehatan (Cakupan Vit.A) dengan status gizi wasting anak balita
di Desa Samajaya, hal ini dapat dilihat dari nilai p>α (0,825>0,05). Dan untuk
hasil uji statistic chi-square berdasarkan indikator cakupan imunisasi pada
anak balita di dengan tingkat kemaknaan α = 0,05, diperoleh nilai p = 0,444
karena nilai p>α maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara pelayanan kesehatan (Cakupan Imunisasi) dengan status gizi
stunting anak balita di Desa Samajaya berdasarkan indeks BB/TB.

71
B. ANALISIS MASALAH
1) Identifikasi Masalah 28
No. Indikator Target Pencapaian saat Gap Ket.
ini
1 Status Gizi
a) buruk 0,5% 8,3% -7,8% BM
b) kurang 13.9%* 12,5% 1,4% TM
c) pendek 19.2%* 25% -5,8% BM
d) kurus 5.3%* 16,6% -11,3% BM

2 Penyakit infeksi
a) Diare 25,2%***** 29,2% -4% TM
b) ISPA *** 12,5% 12,7% TM
25,2%*****
***
3 Tingkat konsumsi
a) Energi Kurang 47.8%** 29,2% 18,6% BM
b) Protein Kurang 25.1%** 25% 0,1% BM
4 Pola makan baik 50%******* 54,2% 4,2% TM
5 Pola asuh baik 50%******* 62,5% 12,5% TM
6 Sanitasi
a) ketersediaan air 69.4%* 100% -30,6% TM
bersih 76.2%* 0% 19,6% BM
b) kepemilikan jamban 50%* 0% 0% BM
c)tempat pembuangan
sampah
7 Pendapatan keluarga 14,7%*** 50% 35,3% BM
kurang
8 Pengetahuan cukup 50%******* 16,7% 33,3% BM
9 Pelayanan kesehatan
a)penerimaan kapsul 85%**** 83,8% 1,2% BM
vitamin A
b) imunisasi lengkap 62,5% 0,5 BM
63%******

* Riskesdas 2013, **SDT, ***BPS SULTRA 2014, ****Jurnal, ***** RPJMN


2003, ****** RPJMN 2015-2019, ******* Hipotesis

72
C. Prioritas Masalah

Tabel 29. Prioritas Masalah

Besar masalah Importancy


No Masalah Kriteria T R Jumlah
(%) P S RI DU SB PB PC
1 Tingkat pengetahuan Kurang 83,3 5 4 5 2 4 2 1 5 5 40.000
2 Asupan Energi Kurang 29,2 4 5 4 3 3 2 1 5 4 28.800
3 Tingkat Pendapatan Kurang 50 4 3 4 3 4 3 1 3 3 15.552
Tidak
4 Cakupan Imunisasi 37,5 2 4 3 4 4 2 1 4 5 15.360
Lengkap
Cakupan Pemberian
5 Kurang 16,2 3 3 3 4 4 2 1 4 4 13.824
Vit.A
Sarana Pembuangan
6 Tidak ada 100 5 4 2 3 3 1 1 3 3 3.240
Sampah
7 Asupan Protein Kurang 25 3 5 2 2 2 1 1 5 5 3.000
8 Ketersediaan Jamban Kurang 100 4 3 2 2 4 1 1 3 3 1.728

Keterangan :
 P = Prevalensi (besarnya masalah).
 S = Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
 RI = Rate Of Increase (kenaikan besarnya masalah)
 DU = Derajat Keinginan Masyarakat Yang Tidak Terpenuhi
 SB = Social Benefit (keuntungan social karena selesainya masalah)
 PB = Rasa prihatin masyarakat

73
 PC = Suasana politik
 T = Kelayakan teknologi
 R = Sumber daya tersedia

1. Rumusan Masalah
1. Kurangnya pengetahuan ibu balita di Desa Samajaya Kecamatan Soropia.
2. Kurangnya asupan energi anak balita di Samajaya Kecamatan Soropia.
3. Kurangnya tingkat pendapatan keluarga balita di Desa Samajaya Kecamatan
Soropia.
4. Tidak lengkapnya cakupan imunisasi di Desa Samajaya Kecamatan Soropia.
5. Tidak lengkapnya cakupan pemberian Vit. A di Desa Samajaya Kecamatan
Soropia.
6. Tidak tersedianya sarana pembuangan sampah di Desa Samajaya Kecamatan
Soropia.
7. Kurangnya asupan ptotein anak balita di Desa Samajaya Kecamatan Soropia.
8. Kurangnya ketersediaan jamban keluarga balita di Desa Samajaya Kecamatan
Soropia.

2. Penyebab Masalah.

Tingkat Tingkat Cakupan Asupan


pengetahuan pendapata Pemberian protein
ibu n Vit.A

Status
3.
gizi

Asupan Cakupan Sarana Ketersediaan


energi Imunisasi pembuangan jamban
sampah

Gambar 4.Diagram Masalah Tulang Ikan

74
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Prevalensi kejadian status gizi kurang 75,7%, Stunting 18,6%, Wasting 14% di Desa
Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
2. Prevalensi kejadian penyakit infeksi diare 62,8% anak balita mengalami diare di
Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
3. Prevalensi kejadian penyakit infeksi ISPA 16,3% anak balita mengalami ISPA di
Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
4. Prevalensi asupan energi 74,4% anak balita termasuk kategori kurang di Desa Bajo
Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
5. Prevalensi asupan protein 37,2% anak balita termasuk kategori kurang di Desa Bajo
Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
6. Prevalensi pola makan 48,8% anak balita termasuk kategori kurang di Desa Bajo
Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
7. Prevalensi pola asuh ibu balita 90,7% termasuk dalam kategori kurang di Desa Bajo
Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
8. Sanitasi rumah tangga dengan indikator ketersediaan air bersih 100% masyarakat
menggunakan sumber mata air, indikator ketersediaan jamban 100% masyarakat
memiliki jamban dengan jenis leher angsa 25,6% dan jenis cemplung/cubluk 74,4%,
ketersediaan SPAL 2,3% SPAL + penampungan tertutup di pekarangan dan 97,7%
langsung ke laut, indikator sarana pembuangan sampah 27,9% sampah di bakar dan
72,1% sampah dibuang disembarang tempat.
9. Prevalensi tingkat pendapatan keluarga balita 86,0% termasuk dalam kategori
kurang di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
10. Prevalensi tingkat pengetahuan ibu balita 100% termasuk dalam kategori kurang di
Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
11. Pelayanan kesehatan dengan indikator kepemilikan KMS 32,6% balita tidak
memiliki KMS, indikator pemberian kapsul vitamin A 14,0% balita tidak
mendapatkan vitamin A, dan indikator imunisasi 30,23% anak balita tidak
mendapatkan imunisasi lengkap di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten
Konawe Tahun 2018.

75
12. Berrdasarkan data yang dikumpulkan selama delapan hari ditemukan bahwa tidak
adanya hubungan antara penyakit infeksi, asupan makan, pola makan, pola asuh,
sanitasi rumah tangga, tingkat pendapatan, tingkat pengetahuan dan pelayanan
masyarakat terhadap status gizi anak balita baik dilihat dari indeks TB/U ataupun
TB/BB di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Tahun 2018.
B. Saran
Tingkat pengetahuan ibu masih sangat rendah di Desa Bajo Indah Kecamatan
Soropia, sehingga perlu adanya intervensi dan di harapkan kepada pemerintah setempat
lebih sering mengadakan sosialisasi dan penyuluhan tentang kesehatan anak agar dapat
memperbaiki status gizi anak balita yang berada di Desa Bajo Indah Kecamatan Soropia.
Selain itu dapat pula dilakukan pemanfaatan pekarangan guna meningkatkan tingkat
pendapatan keluarga.

76
DAFTAR PUSTAKA

77
78
79

Anda mungkin juga menyukai