Anda di halaman 1dari 98

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2018


UNIVERITAS PATTIMURA

TUMOR SINONASAL

Disusun Oleh:

Jean M. Usmany

2013-83-013

Pembimbing:

dr. Rodrigo Limmon, Sp.THT-KL., MARS

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan
judul “Tumor Sinonasal” tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura di Rumah Sakit Umum
Daerah dr. M.Haulussy Ambon periode 07 Mei – 09 Juni 2018 . Di samping itu, laporan
kasus ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua tentang kejadian
Tumor Sinonasal.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
dr. Rodrigo Limmon, Sp.THT-KL, MARS selaku pembimbing dalam penyusunan
laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada rekan–rekan anggota
Kepaniteraan Klinik serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan
kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu adanya masukan, kritik maupun saran yang membangun sangat diharapkan.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar–besarnya semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan pengetahuan bagi kita semua.

Ambon, Mei 2018

Penulis

ii
iii
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas
Nama : Ny. MN

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 65 Tahun

Pekerjaan :-

Tempat tinggal : Benteng

Agama : Kristen Protestan

Tempat Pemeriksaan : Poli THT RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

Tanggal Pemeriksaan : 9 Mei 2018

II. Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan Utama : Hidung kiri keluar darah

Anamnesis terpimpin :

Pasien datang dengan keluhan hidung kiri keluar darah yang dialami sejak bulan
Maret. Darah yang keluar kental dan keluhan dirasakan terus menerus tiap hari,
terutama sewaktu pasien bersin. Sewaktu datang ke Poliklinik THT, pasien
mengaku masih ada sedikit darah yang keluar. Keluhan ini disertai rasa
tersumbat pada lubang hidung kiri. Keluhan lainnya berupa telinga kiri
mengalami penurunan pendengaran (+), berbunyi (+), berdenging (+), nyeri (-),
batuk (+), demam (-).

RPD : -
Riwayat keluarga : Tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini

1
Riwayat Kebiasaan :
 Melakukan aktivitas rumah tangga seperti biasanya
 Memasak menggunakan tungku
 Merokok (-), alkoholik (-)
Riwayat Pengobatan :
 Kapsul Batuk 3x1
 Cefadroxil 2x1
 Sistenol
 Kapsul Nyeri 3x1
III. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan tanda vital:

 Tekanan darah : 110/60


 Nadi : 85x/m
 Pernapasan : 20 x/m
 Suhu : 37 0C

Pemeriksaan telinga

1. Otoskopi Dekstra Sinistra


Daun Telinga Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Liang Telinga massa coklat (+) massa coklat (+)

Membran Timpani Tidak dapat dievaluasi Tidak dapat dievaluasi karena


karena terdapat massa terdapat massa coklat
coklat

2
2. Tes Pendengaran Kanan Kiri
Rinne (+) (+)
Weber Lateralisasi ke kanan

Swabach Sama dengan pemeriksa Memendek

Kesimpulan Normal Tuli Sensorineural

Pemeriksaan Hidung Dekstra Sinistra


dan SPN
1. Inspeksi/palpasi Bentuk/ukuran Bentuk/ukuran
Normal/ NT (-) Normal/ NT (-)
2. Rhinoskopi anterior
Cavum Lapang/secret (-) Lapang/secret (-)
Concha Hiperemis (-)/ Hiperemis (+)/
edem (-) edem (-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)

3. Rhinoskopi Dalam batas normal Massa pada cavum nasi


Posterior sinistra, permukaan licin,
sekret (+)
Mulut : Candidiasis oral (-), mukosa bibir lembab, sianosis (-), gigi lengkap

Pemeriksaan Tenggorokan
1. Inspeksi
Tonsil : T1/T1, hiperemis (-), edem (-)
Orofaring : Hiperemis (-), granuler (-), post nasal drip (+)
Uvula : Deviasi (-)
2. Laringoskopi indirek : Tidak dilakukan

Pemeriksaan Leher
Kelenjar Limfe: tidak terdapat pembesaran

3
Tyroid : tidak terdapat pembesaran
Nodul : tidak terdapat pembesaran

IV. RESUME

Pasien datang dengan keluhan hidung kiri keluar darah yang dialami sejak
bulan Maret. Darah yang keluar kental dan keluhan dirasakan terus menerus tiap
hari, terutama sewaktu pasien bersin. Sewaktu datang ke Poliklinik THT, pasien
mengaku masih ada sedikit darah yang keluar. Keluhan ini disertai rasa sesak pada
kedua lubang hidung sehingga membuat pasien bernapas lewat mulut. Keluhan
lainnya berupa telinga kiri mengalami penurunan pendengaran (+), berbunyi (+),
berdenging (+), nyeri (-), batuk (+), demam (-). Riwayat penyakit dahulu tidak ada,
Riwayat kebiasaan pasien, melakukan aktivitas rumah tangga seperti biasanya,
memasak menggunakan tungku, merokok (-), alkoholik (-). Pada pemeriksaan
telinga baik kanan maupun kiri, dari inspeksi dan palpasi dalam batas normal,
namun tidak dapat dievaluasi untuk membran tympani karena terdapat massa
kecoklatan di liang telinga. Tes pendengaran dengan menggunakan garpu tala
didapatkan telinga kanan normal, sedangkan telinga kiri tuli sensorineural. Hasil
pemeriksaan fisik Hidung dari depan didapatkan hidung kanan dalam batas normal,
sedangkan hidung kiri terlihat lapang, sekret (+), hiperemis (+), edema concha (-).
Sedangkan pemeriksaan hidung dari belakang ditemukan massa pada cavum nasi
sinistra, permukaan licin, sekret (+). Pemeriksaan Mulut dalam batas normal. Pada
pemeriksaan tenggorokan, untuk tonsil dalam batas normal, untuk orofaring PND
(+), hiperemis (-), dan untuk uvula normal. Pemeriksaan leher dalam batas normal.

V. Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium : -
Rontgen : Foto SPN, CT Scan (dianjurkan)
PA :-

4
VI. Diagnosis : Tumor Sinonasal
VII.Diagnosis banding : Karsinoma Nasofaring dan Angiofibroma
nasofaring
VIII. Terapi
a. Tindakan :-
b. Medikamentosa:
Oral
- Antibiotik :-
- Inflamasi :-
- Penunjang :-
- Simptomatik : Kapsul nyeri (Na diclofenac 25 gr, PCT 250 gr,
Diazepam 1 gr) 3x 1 cap
- Roboransia :-

Topikal :-

IX. Anjuran :
a. Istirahat yang cukup

5
b. Hindari makanan yang diasapi/dibakar, tinggi lemak & kolesterol
c. Hindari faktor-faktor pemicu seperti asap rokok, menggunakan AC,
kipas angin.

6
BAB II

TINJAUAN TEORI

1.1 Defenisi
Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel (ganas)
pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal
(sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang
merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit
diketahui secara dini. Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang
ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas.1,2
1.2 Epidemiologi
Keganasan pada sinonasal jarang terjadi. Umumnya ditemukan di Asia dan
Afrika daripada di Amerika Serikat. Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah
peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma nasofaring. Pria yang terkena
1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang
berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus
maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-15%
terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma
ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3,4
1.3 Anatomi dan Fisiologi
A. Hidung
Secara umum, hidung dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian luar
(eksternal) dan bagian dalam (internal). Di bagian luarnya, hidung dibentuk oleh
tulang, kulit dan otot. Osteokartilago hidung dibungkus oleh beberapa otot yang
berfungsi dalam pergerakan hidung meski minimal. Kulit yang melapisi tulang
hidung dan tulang rawan hidung merupakan kulit yang tipis dan mudah untuk
digerakkan serta mengandun banyak kelenjar sebasea. Sedangkan dibagian
dalamnya terdiri atas dua kavum berbentuk seperti terowongan yang dibatasi oleh
septum nasi.3

7
Gambar 1. (kiri) Struktur dinding lateral hidung. (kanan) Anatomi septum nasi 5

Setiap kavum nasi terhubung dengan nostril dibagian depan dan choana
dibagian belakang. Didalam cavum nasi anterior inferior terdapat vestibulum yang
berisi kelenjar sebasea dan rambut hidung dan dibagian lateralnya terdapat tiga
susun turbin konka yang disebut konka nasalis superior, media dan inferior.5
Vaskularisasi hidung berasal dari arteri karotis baik eksterna maupun
interna. Persarafan hidung terdiri atas fungsi sensorik dan autonom. Cabang
sensorik nya terbagi tiga yaitu, nervus ethmoidalis anterior, cabang ganglion
sphenopalatina dan cabang saraf infraorbitalis, sedangkan fungsi autonomnya yang
berasal dari serat saraf parasimpatis yang berasal dari nervus petrosus superfisial
terbesar.5
Secara umum fungsi hidung terdiri atas fungsi respirasi, indera penciuman
sebab didalamnya terdapat nervus olfaktorius dan bulbus olfaktori, konka dan
vaskular didalamnya melembabkan udara inspirasi, cilia dan rambut hidung yang
terdapat pada anteroinferior cavum nasi melindungi saluran pernapasan atas,
memperbaiki kualitas resonansi suara yang dikeluarkan, serta fungsi refleks nasal.5

B. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan
posterior. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang–tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara
(ostium) ke dalam rongga hidung. Sinus maxillaris, frontalis dan ethmoidalis
anterior masuk dalam kelompok anterior, kesemua sinus ini bermuara pada meatus
medius. Sedangkan kelompok posterior terdiri atas sinus ethmoidalis posterior dan

8
sinus sphenoidalis. Sinus ethmoidalis bermuara dengan meatus superius cavum nasi
dan sinus sphenoidalis bermuara pada resesus sphenoethmoidalis.1,5

Gambar 2. Anatomi sinus paranasalis. (kiri) Potongan frontal. (kanan)Tampak depan 6

Sinus paranasal dilapisi dengan pseudostratified epitel kolumnar, atau epitel


pernapasan, juga disebut sebagai membran Schneiderian (epitel). Sinus maksilaris
adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia.
Kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan
sekret ke dalam meatus media.1
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus
– sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi
2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1
Sinus etmoid berongga–rongga, terdiri dari sel–sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel–sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior dan
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil–kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel–sel sinus etmoid posterior
biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis.1

9
Dibagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus
etmoid dari rongga orbita. Dibagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan
dengan sinus sfenoid.1
Sinus frontalis mempunyai kapasitas total volume 6-7 ml. Sinus frontalis
mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis sedangkan sinus sfenoidalis
mempunyai kapasitas total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya
ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior. Mukosa sinus terdiri
dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel goblet, dan kelenjar
submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir
mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia,
kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.2
Secara umum, fungsi dari sinus-sinus ini adalah melembabkan dan
menghangatkan udara inspirasi, melindungi komponen beberapa organ dalam
tengkorak akibat adanya perbedaan suhu intrakranial, berperan dalam resonansi
suara dan meringankan tempurung kepala agar tidak terlalu berat akibat adanya
beberapa komponen organ yang di bebankan pada tengkorak.5

1.4 Etiologi dan Faktor Resiko6,7


Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara
lain :
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok
pipa, mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko
terbesar penyebab kanker pada kepala dan leher.7

10
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker
kepala dan leher.7
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal,
termasuk diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit
sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan
sepatu.1,4,7,8,9
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV9
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr7,9
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.7
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih
sering pada pria dibandingkan pada wanita.7

Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama
kali terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras
radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan. 1,4,8
1.5 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan,
debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun
mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan

11
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang
menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu
sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu
fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan
dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen,
sedangkan pada fase promosi sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap
inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker.
Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan
karsinogen yang berbeda.9,10
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun.
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan
masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan
fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran)
sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke
organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.9,10
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan
kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal
sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis
sejak dini dan di berikan terapi.10
1.6 Klasifikasi Tumor
1. Tumor Jinak
a. Papiloma Skuamosa
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis
mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap.

12
Etiologinya mungkin disebabkan oleh virus, namun perubahan epitel pada
papiloma skuamosa dapat bervariasi dalam berbagai derajat diskeratosis. Lesi
seringkali diamati pada sambungan mukoutaneus hidung anterior, terutama
pada batas kaudal anterior dan septum. Untuk kepentingan diagnosis ataupun
pengobatan, eksisi lesi dilakukan dengan anestesi lokal dan di periksakan
untuk biopsi.1,8
b. Papiloma Inversi
Papiloma inversi ini membalik ke dalam epitel permukaan. Jarang
ditemukan pada hidung dan sinus paranasalis, seringkali berasal dari dinding
lateral hidung dan secara makroskopis terlihat hanya seperti gambaran polip.
Tumor ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor
ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas (pada
10% kasus). Lebih sering dijumpai pada laki-laki usia tua. Terapi pada tumor
ini adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi
media.1,7,8
c. Displasia Fibrosa
Displasa fibrosa sering mengacu pada tumor fibro-oseus tak berkapsul
yang melibatkan tulang-tulang wajah dan sering mengenai sinus paranasalis.
Etiologinya tidak diketahui, tumor ini merupakan tumor yang tumbuh lambat,
jarang disertai nyeri dan cenderung timbul sekitar waktu pubertas dimana
pasien datang dengan alasan kosmetik akibat asimetri wajah. Karena
pertumbuhan tumor kembali melambat dengan bertambahnya usia, maka
kebutuhan akan pengobatan bergantung pada derajat deformitas atau ada
tidaknya nyeri. Meskipun reseksi total diperlukan pada terapi tumor ini tapi
pada mayoritas kasus hanya dilakukan pengangkatan sebagian tumor saja
untuk memulihkan kontur dan fungsi wajah.8
d. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa
yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus
paranasal dan mendorong bola mata keanterior.1,8

13
2. Tumor Ganas
a. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum yang sering
ditemukan pada karsinoma sinonasal, sekitar 60% dari semua kasus.
Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam hidung atau
sinus maksila, tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya sudah melibatkan
hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Karsinoma sel skuamosa merupakan
neoplasma epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi
atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan nonkeratinizing. Karsinoma
sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar
60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan
frontalis (sekitar 1%). Gejala berupa rasa penuh atau hidung tersumbat,
epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau
palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum
nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi.1,8,10
Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi, invasi
tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti pada
mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik,
karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler.
Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated,
demarcated atau infiltratif.10
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi
seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif.4
i. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi
skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler
(sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular
bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai
kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak

14
beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini
dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau buruk.1,3,7,8
ii. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical Cell, transitional)
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang di
karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern.
Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas.
Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk. Diferensiasi
buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari olfactory
neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin.3,7,10
b. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan
histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang cepat
memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik
berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk
trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor
berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel
pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio
inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran mitosis
atipikal.7,8

c. Rhabdomyosarkoma
Kejadian Rhabdomyosarcoma pada daerah kepala dan leher berkisar antara 35-
45% kasus, 10% terjadi pada traktus sinonasal. Secara histologi, tumor
Rhabdomyosarcoma ini terbagi atas lima kategori besar yaitu, embrional (paling
sering), alveolar, botryoid embrional, spindel sel embrional dan anaplastik. Jenis
embrional dan alveolar merupakan tumor yang sering terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda meskipun begitu kejadian anaplastik pun juga sering terjadi pada
usia dewasa. Angka keberhasilan terapi dan bertahan hidup dalam jangka lima
tahun 35% lebih rendah pada orang dewasa.4,7,8

15
Rhabdomyosarcoma yang terjadi pada traktus sinonasal atau tumor diluar
parameningeal orbita akan berkembang lebih agresif dibanding tumor yang berada
dilokasi yang lain. Metastase sistemik maupun regional sering terjadi.
Penatalaksanaan yang diperlukan melibatkan banyak modalitas terapi seperti
kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan.4,7,8,12
d. Chondrosarkoma
Chondrosarcoma merupakan tumor dengan pertumbuhan tumor lambat yang
berasal dari struktur kartilago. Angka kejadiannya berkisar antara 5-10% pada
kepala dan leher, terbanyak pada maxilla dan mandibula. Tumor ini berkembang
dari tingkat I ke tingkat III berdasarkan pada kecepatan mitosis, seluler, dan ukuran
sel. Ukuran tumor memiliki korelasi dengan kemajuan agresivitas, kecepatan
metastasis dan kemampuan bertahan hidup pasien. Pilihan terapi untuk
Chondrosarcoma adalah pembedahan. Radiasi pasca pembedahan dianjurkan
utamanya jika ditemukan hasil grade tumor yang tinggi setelah pemeriksaan
histologi.7,12
e. Limfoma Maligna Sinonasal
Limfoma pada sinonasal ditemukan sekitar 5.8-8% dari limfoma ekstranodal
pada kepala dan leher. Meskipun jarang, tumor ini merupakan tumor ganas non
epithelial yang sering ditemukan pada keganasan hidung. Kebanyakan limfoma
yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural killer (NK). Meskipun
demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma primer dapat
juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada sinonasal jarang ditemukan di negara
barat, umumnya dijumpai di negara-negara Asia. Limfoma sinonasal dengan
origin sel T maupun sel NK sering ditemukan pada usia muda dan berkaitan
dengan infeksi virus Epstein-Barr. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies
selalu ditemukan.. Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel
skuamosa dapat ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi
baik. Terapi pada tumor ini adalah radioterapi untuk lesi lokal dan kemoterapi
untuk keterlibatan sistemik dan rekurensi sistemik. Angka ketahanan hidup 5
tahun pada segala jenis tipe limfoma ini adalah 52%.3,4,7

16
f. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40
hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Gejala utama berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi
dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya. Gambaran histologi
yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular, dan solid. Tipe cribriform
paling sering ditemukan dengan gambaran khas penampakan “swiss cheese”.
Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan
tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis. Terapi pembedahan dan adjuvant
radioterapi adalah pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk terapi pada
adenokarsinoma. Prognosisnya jelek dan biasanya penderita meninggal dunia
disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.3,4,7
g. Olfactory Neuroblastoma
Esthesioneuroblastoma (ENB) atau dikenal dengan nama neuroblastoma
olfaktorius adalah tumor ganas yang muncul dari epitel olfaktorius pada dinding
superior nasi. Merupakan 7-10% keganasan yang ditemukan di sinonasal pada
kisaran usia 10-20 dan 50-60 tahun baik pada wanita maupun laki-laki. Secara
mikroskopis, tumor terdiri dari gambaran sel bulat berbentuk rosette,
pseudorosette, ataupun berbentuk lembaran dan cluster. Tumor ini
mengekspresikan penanda neuroendokrin seperti neuron-specific enolase (NSE),
chromogranin, dan synaptophysin yang sangat berguna dalam membedakannya
dengan small cell carcinoma lainnya. Terapi bedah eksisi tumor dengan batas
bebas tumor merupakan pilihan terapi pada tumor ini. Penambahan terapi dengan
radioterapi postoperatif meningkatkan angka kesembuhan pada penyakit ini.4,7

17
h. Mukosal Melanoma Maligna
Sekitar 1% kasus melanoma maligna ditemukan pada 20% kasus melanoma
maligna dengan origin kepala dan leher. Umumnya didapatkan pada daerah kavum
nasi kemudian pada sinus maxillaris dan kavum oral. Biasanya ditemukan pada usia
50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita, dapat
ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik, didapatkan massa
polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Tumor
ini menyebar melalui aliran darah atau secara limfatik. Metastasis nodul servikal
dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. Melanoma bisa terjadi sebagai sindrom
autosomal dominan familial sekitar 8% dari 12 % semua kasus. Terapi bedah yaitu
reseksi tumor dengan batas yang jelas adalah pilihan utama pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian radioterapi lokoregional.3,4,7

1.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-12
% keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis.
Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan
pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor
resiko.1
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta
arah dan perluasannya. Gejala yang dikeluhkan dapat dikategorikan sebagai
berikut:1
Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada Sekret,
sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang
besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.1,7

18
Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis atau
penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.1,7
Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi
atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,
tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.1,4,7
Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.1,4,7
Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang
keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau menembus
basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya
bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya
muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang dipersarafi
nervus maksilaris dan mandibularis.1,4,7
2. Pemeriksaan Fisis
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat
asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring
melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda
tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi
terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan
nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium
dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang
bermetastasis ke kelenjar leher.1

19
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan, dan
organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk
mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang
ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka
tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah
diangkat.7
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang
dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak, maka
selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker, maka ada
tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau diberikan
kemoterapi atau radioterapi.7
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa
fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga dapat
membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan terevaluasi
dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan endoskopi dapat
merupakan pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi sebagai media biopsi
dan juga terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.7
c. Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran
seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya dikonfirmasi
dengan pemeriksaan CT scan.7,8

Gambar 3. Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris8

20
d. CT - Scan

Gambar 4. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk lobus tajam
sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid, sinus
sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris.8

CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang sinus
paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri
persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal
dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan
merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan
dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor,
vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.3
e. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan daerah
sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal yang
tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran perineural,
membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan
terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi
foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image
berguna untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa
pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak.3,7

21
f. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam tubuh.
Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini diserap terutama
oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak energi. Karena kanker
cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga menyerap lebih banyak zat
radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar
bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk
staging dan surveillance. 3,7
4. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem TNM
didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T, N, dan M dengan
memberi indeks angka dan huruf, yaitu:
1. T = Tumor primer
a. Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4.
b. Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.
2. N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional
a. Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.
b. Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.
3. M = Metastase jauh
Indeks angka saja : M0 dan M1.7
Tiap–tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri–sendiri untuk tiap
jenis atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama dengan
kulit, dsb. Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus dipakai.

22
Penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal menurut
American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, yaitu:

Sinus Maksillaris 3,7,12


Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi
T1
dan destruksi tulang.
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga
T2 palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding
posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid.
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris,
T3 jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa
pterigoid, sinus etmoidalis.
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
T4a pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus
sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater,
T4b otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi
maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.

Kavum Nasi dan Ethmoidal 3,7,12


Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa
T1
invasi tulang
Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor
T2 meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks,
dengan atau tanpa invasi tulang
Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus
T3
maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita,
T4a kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis
anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak,
T4b fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2,
nasofaring atau klivus.

Kelenjar Getah Bening Regional (N) 3,7


Nx Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm

23
Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel
N2 kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau
kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm
Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih
N2c
dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Metastasis Jauh (M) 3,7


Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal 3,7


0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
Iva T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVb T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IVc Semua T Semua N M1

1.8 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini

24
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan
pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.4,7
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita,
total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan
kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana
kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull
base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi. 1,7
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia prevertebral,
ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-pasien dengan
resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik dan chiasma
optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah mencegah insisi
pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya perawatan di rumah
sakit lebih singkat.4
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat menyebabkan
kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit an menelan.
Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah penyembuhan luka,
penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah, restorasi pemisahan

25
oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara, menelan, dan pemisahan
kavum nasi dan kavum cranii.1,4,7
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya
terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal,
radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi
melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel
kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif
pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat
berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). 2,9
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut
kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk
terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant
maupun neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun
sebagai terapi paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor,
mengurangi obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko
tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah
dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada
metastasis regional.4,10

26
1.9 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior dan posterior
dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.4
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii.
Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin dimulut,
dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan drainase lumbal
dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika gagal, harus dilakukan
intervensi pembedahan.4
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh obstruksi pada
aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan dakriosisto
rhinostomi mungkin perlu dilakukan.4
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci untuk menghindari
komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan kacamata prisma merupakan
terapi yang paling sederhana.4

1.10 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan
yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan,
status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya
berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini.1,3
Angka ketahanan hidup 5 tahun berdasarkan penelitian Patel dkk, low-
grade neoplasma seperti esthesioneuroblastoma 78%, adeno- karsinoma 52%,
karsinoma sel skuamos 44%, undifferentiated carcinoma 37%, serta mucosal
melanoma 18%.4

27
Walaupun demikian, pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil
yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka
ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.1

28
BAB III

DISKUSI

Pasien ini didiagnosis dengan Tumor Sinonasal berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan yang dilakukan.
NO Perbandingan Yang ditemukan pada pasien Berdasarkan literatur
1 Gejala Pasien datang dengan keluhan Gejala nasal.
hidung kiri keluar darah yang 
Obstruksi hidung unilateral dan
dialami sejak bulan Maret. Darah rinorea.
yang keluar kental dan keluhan 
Jika ada sekret, sering sekret
dirasakan terus menerus tiap hari, yang timbul bercampur darah
terutama sewaktu pasien bersin. atau terjadi epistaksis.

Sewaktu datang ke Poliklinik Tumor yang besar 
THT, pasien mengaku masih ada deformitas hidung. 1,7,13

sedikit darah yang keluar. Gejala orbital.


Keluhan ini disertai rasa 
Perluasan tumor kearah orbital
tersumbat pada lubang hidung  gejala diplopia, proptosis
kiri. Keluhan lainnya berupa atau penonjolan bola mata,
telinga kiri mengalami penurunan oftalmoplegia, gangguan visus
pendengaran (+), berbunyi (+), dan epifora.1,7,14
berdenging (+), nyeri (-), batuk Gejala fasial
(+), sakit kepala (+), demam (-). 
Penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka
jika sudah mengenai nervus
trigeminus.1,4,7
Gejala intrakranial
 Sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan
visus. Dapat disertai likuorea.
2 Pemeriksaan Hasil pemeriksaan fisik hidung Periksa dengan seksama kavum nasi
Hidung
dari depan didapatkan hidung dan nasofaring melalui rinoskopi
kanan dalam batas normal, anterior dan posterior. Deskripsi
sedangkan hidung kiri terlihat massa sebaik mungkin, apakah
lapang, sekret (+), hiperemis (+), permukaannya licin, merupakan
edema concha (-). Sedangkan pertanda tumor jinak atau

29
pemeriksaan hidung dari belakang permukaan berbenjol-benjol, rapuh
ditemukan massa pada cavum nasi dan mudah berdarah, merupakan
sinistra, permukaan licin, sekret pertanda tumor ganas. Jika dinding
(+). lateral kavum nasi terdorong ke
medial berarti tumor berada di sinus
maksila. Pemeriksaan naso-
endoskopi dan sinuskopi dapat
membantu menemukan tumor dini.
Adanya pembesaran kelenjar leher
juga perlu dicari meskipun tumor ini
jarang bermetastasis ke kelenjar
leher.

3 Pemeriksaan Foto polos SPN   Foto polos sinus paranasal


Penunjang
kurang berfungsi dalam
mendiagnosis dan menentukan
perluasan tumor kecuali pada
tumor tulang seperti osteoma.
Tetapi foto polos tetap
berfungsi sebagai diagnosis
awal, terutama jika ada erosi
tulang dan perselubungan padat
unilateral, harus dicurigai
keganasan dan buatlah
tomogram atau CT Scan.
 CT Scan merupakan sarana
terbaik karena lebih jelas
memperlihatkan perluasan
tumor dan destruksi tulang.
 MRI atau magnetic resonance
imaging dapat membedakan
jaringan tumor dari jaringan
normal tetapi kurang begitu
baik dalam memperlihatkan
destruksi tulang. Foto polos
paru diperlukan untuk melihat
adanya metastase tumor di paru.

30
 Biopsi  diagnosis pasti
berdasarkan pemeriksaan
histopatologi.
4 Penatalaksanaan Kapsul nyeri (Na diclofenac 25 gr,  Pembedahan
PCT 250 gr, Diazepam 1 gr) 3x 1 Terapi bedah yang dilakukan
cap. biasanya adalah terapi kuratif
dengan reseksi bedah. Pengobatan
terapi bedah ini umumnya
berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi
bedah dilakukan pada lesi jinak
atau lesi dini (T1-T2).
Tumor yang berlokasi di
kavum nasi dapat dilakukan
berbagai pendekatan bedah seperti
reseksi endoskopi nasal, transnasal,
sublabial, sinus paranasalis, lateral
rhinotomy atau kombinasi dari
bedah endoskopi dan bedah
terbuka (open surgery).
 Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut
radioterapi kadang-kadang
digunakan sendiri pada stadium I
dan II, atau dalam kombinasi dengan
operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi
radiasi yang diberikan setelah
dilakukannya terapi utama seperti
pembedahan). Pada tahap awal
kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal
alternatif untuk operasi. Terapi
radiasi juga digunakan untuk terapi
paliatif pada pasien dengan kanker
tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi
yang diberikan dapat berupa

31
teleterapi (radiasi eksternal) maupun
brachyterapi (radiasi internal). 2,9
 Kemoterapi
Kemoterapi biasanya
diperuntukkan untuk terapi tumor
stadium lanjut.

Pasien ini di diagnosis banding dengan karsinoma nasofaring dan


angiofibroma nasofaring seperti tertera pada tabel 1. sebagai berikut:

Tabel 1. Temuan klinis pada Kasus, karsinoma nasofaring, angiofibroma nasofaring


Kasus Karsinoma Angiofibroma
nasofaring nasofaring

Hidung kiri keluar darah Gejala yang sering muncul Gejala umumnya adalah

dirasakan terus menerus, antara lain: epistaksis hidung tersumbat yang

hidung tersumbat ringan atau sumbatan progresif dan epistaksis

unilateral pada lubang hidung. berulang yang masif.

hidung kiri. Gangguan telinga  Rinore kronis  gangguan

Keluhan lainnya berupa tinitus, otalgia, gangguan pnciuman.

telinga kiri mengalami pendengaran.

penurunan pendengaran
(+), berbunyi (+),
berdenging (+), nyeri (-),
batuk (+), sakit kepala (+),
demam (-).

32
BAB IV
PENUTUP

IV.1. KESIMPULAN
- Pada penderita dapat ditegakan diagnosis tumor sinonasal berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos
SPN telah dilakukan, serta CT-scan telah dianjurkan namun belum dilakukan.
- Dasar diagnosis pada kasus ini berdasarkan keluhan berupa hidung kiri keluar
darah dirasakan terus menerus, hidung tersumbat unilateral pada lubang
hidung kiri. Keluhan lainnya berupa telinga kiri mengalami penurunan
pendengaran (+), berbunyi (+), berdenging (+), nyeri (-), batuk (+), sakit
kepala (+), demam (-). Selain itu, diagnosis didukung oleh hasil pemeriksaan
fisik yaitu pemeriksaan fisik hidung dari depan didapatkan hidung kanan
dalam batas normal, sedangkan hidung kiri terlihat lapang, sekret (+),
hiperemis (+), edema concha (-). Sedangkan pemeriksaan hidung dari
belakang ditemukan massa pada cavum nasi sinistra, permukaan licin, sekret
(+).
- Pada pasien ini tatalaksana umum yang diberikan bersifat simptomatik yaitu
pemberian kapsul nyeri (Na diclofenac 25 gr, PCT 250 gr, Diazepam 1 gr) 3x
1 cap.
- Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut
seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan
yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor
lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil
pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Shavilla E, Aroeman NA, Dewi YA, Permana AD. Prevalensi Kanker


Sinonasa; di Poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung, Januari 2013-
Juli 2015. [cited on Juni 11 2018]. Available from:
http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/tumed/article/download/31/28
2. Hanriko R, Muhartono. Papiloma dan karsinoma sinonasal. Jurnal kesehatan.
2017; 7(1): 161-4.
3. Rahman S, Firdaus MA. Tumor sinus paranasal dengan perluasan intrakranial
dan metastasis ke paru. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1 (3): 150-6.
4. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on
Juni 11 2018]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article
/846995-overview#showall
5. American Head & Neck Society. Sinonasal Malignancy. [cited on April 4th
2013]. Available from:
https://www.ahns.info/resources/education/patient_education/skullbase/
6. McCollister KB, Hopper BD, Michel MA. Sinonasal neoplasm: Update on
classification, imaging features, and management. [cited on Juni 11th 2018].
Available from: https://appliedradiology.com/articles/sinonasal-neoplasms-
update-on-classification-imaging-features-and-management
7. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. 2011. USA. [cited on Juni 4th 2018]. Available from : http://www.
cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-cancer
8. Stevenson M. Nasal Cavity and Paranasal Sinuses Cancer Staging. [cited on
Juni 11 2018]. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/2047703-overview
9. Lund VJ, Clarke PM, Swift AC, McGarry GW, Kerawala C, etc. Nose and
Paranasal sinus tumor: UK National Multidisciplinary Guideline. The journal
of Laryngology and Otology. 2016; 130: 111-118.

34
10. Kazi M, Awan S, Junaid M, Qaedaeer S, Hassan NH. Management of
Sinonasal Tumors: Prognostic factors and Outcomes. Indian J Otolaryngeal
Head Neck Surgery. 2013; 65 (1): 155-9.

35
REFERENSI

36
37
38
39
40
41
REFERENSI

42
43
44
45
46
REFERENSI

47
48
49
50
51
52
53
54
REFERENSI

55
56
57
REFERENSI

58
59
60
REFERENSI

61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
REFERENSI

71
72
REFERENSI

73
74
75
76
77
78
79
80
REFERENSI

81
82
83
84
85
86
87
88
89
REFERENSI

10

90
91
92
93
94
95

Anda mungkin juga menyukai