Anda di halaman 1dari 13

Sistem Pemerintahan

Sistem Parlementer

Alan R. Ball dalam (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) menamakan sistem
pemerintahan parlementer ini dengan sebutan the parliamentary types of government dengan ciri-
ciri sebagai berikut: (1) Kepala negara hanya mempunyai kekuasaan nominal. Hal ini berarti
bahwa kepala negara hanya merupakan lambang / simbol yang hanya mempunyai tugas-tugas yang
bersifat formal, sehingga pengaruh politiknya terhadap kehidupan negara sangatlah kecil. (2)
Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya / nyata adalah perdana menteri bersama-sama
kabinetnya yang dibentuk melalui lembaga legislative / parlemen; dengan demikian kabinet
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif riil harus bertanggung jawab kepada badan
legislatif/parlemen dan harus meletakkan jabatannya bila parlemen tidak mendukungnya. (3)
Badan legislatif dipilih untuk bermacam-macam periode yang saat pemilihannya ditetapkan oleh
kepala negara atas saran dari perdana menteri.

C.F. Strong dalam (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007) menamakan sistem
pemerintahan parlementer itu dengan istilah the parliamentary executive yang ciri-cirinya sebagai
berikut: (1) Anggota kabinet adalah anggota parlemen; ciri ini berlaku antara lain di Inggris dan
Malaysia, sedang di negara-negara lain ciri ini sudah mengalami modifikasi. (2) Anggota harus
mempunyai pandangan politik yang sama dengan parlemen; ciri ini antara lain berlaku di Inggris,
sedang negara-negara yang yang tidak menganut sistem dua partai, hal itu sering dilakukan melalui
kompromi di antara partai-partai yang mendukung kabinet. (3) Adanya politik berencana untuk
dapat mewujudkan programnya; Ciri ini tampak universal. (4) Perdana menteri dan kabinetnya
harus bertanggung jawab kepada badan legislatif/parlemen. (5) Para menteri mempunyai
kedudukan di bawah perdana menteri.

Mr. Achmad Sanusi dalam (Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007)10 tentang ciri-ciri
sistem pemerintahan parlementer yaitu: (1) Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat.
(2) Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen. (3) Susunan
personalia dan program kabinet didasarkan atas suara terbanyak di parlemen. (4) Masa jabatan
kabinet tidak ditentukan dengan tetap atau pasti berapa lamanya. (5) Kabinet dapat dijatuhkan pada
setiap waktu oleh parlemen, sebaliknya parlemen dapat dijatuhkan oleh pemerintah.

SL Witman dan JJ.Wuest dalam (Syafiie, 2011)7 mengemukakan empat ciri dan syarat
sistem pemerintahan parlementer, yaitu: (1) it is based upon the diffusion of powers principle (2)
there is mutual responsibility between the executive and the legislature, hence (3) the executive
may dissolve the legislature or the must resign together with the (4) rest of the cabinet when his
policies are nt longer accepted by the majority of (5) the membership in the legislature (6) there
is mutual responsibility between the executive and the cabinet (7) the executive (prime minister,
premier or chancellor) is chosen by the titular (8) head of state (Monarch or President, according
to the support of the majority (9) in the legislature.

Douglas V. Verney

Dikutip Arend Lijphart dalam Parlementary versus Presidential Government (1952),


menyimpulkan bahwa sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang banyak dianut di
dunia. Namun demikian, ada beberapa pokok-pokok sistem pemerintahan presidensil, yaitu :

a) Hubungan antar lembaga parlemen dan pemerintahan tidak murni terpisahkan,

b) Fungsi eksekutif dibagi ke dalam dua bagian, yaitu kepala pemerintahan dan kepala negara,

c) Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara,

d) Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai suatu kesatuan

institusi yang bersifat koletif,

e) Menteri biasanya adalah anggota parlemen,

f) Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen tidak kepada rakyat

pemilih karena pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, g) Kepala pemerintahan dapat
memberikan pendapat kepada kepala negara

untuk membubarkan parlemen,

h) Kedudukan parlemen lebih tinggi daripada pemerintah,


i) Kekuasaan negara terpusat pada parlemen.

Jimly Asshiddiqie
Selain itu, menurut ahli Jilmy Asshiddiqie mengatakan bahwa dalam sistem parlementer dapat
dikemukakan enam ciri, yaitu:
(i) Kabinet dibentuk dan bertanggung jawab kepada parlement.
(ii) Kabinet dibentuk sebagai satu kesatuan dengan tanggung jawab kolektif dibawah
Perdana Menteri.
(iii) Kabinet mempunyai hak konstitusional untuk membubarkan parlemen sebelum
periode bekerjanya berakhir.
(iv) Setiap anggota kabinet adalah anggota parlement yang terpilih.
(v) Kepala pemerintahan (Perdana Menteri) tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan
hanya dipilih menjadi salah seorang anggota parlement.
(vi) Adanya pemisahan yang tegas antara kepala negara dengan kepala pemerintahan.
Berdasarkan ciri-ciri sistem pemerintahan tersebut. Pada hakekatnya kedua pendapat tersebut
tidaklah berbeda, keduanya memiliki persamaan. Dalam kaitannya dengan kedudukan Presiden
berdasarkan apa yang dijabarkan dalam ciri tersebut, kedudukan Presiden hanya ditemukan pada
sistem parlementer yang berbentuk negara republik.
Menurut dan S.L Witman J.J Wuest pada ciri yang keempat dan Jimly Asshiddiqie Pada ciri
yang keenam, kedudukan Presiden hanyalah sebagai kepala negara sedangkan kepala
pemerintahan diemban oleh Perdana Menteri.

Sistem Presidensil

Sistem pemerintahan presidensil adalah sistem pemerintahan yang badan legislatif dan badan
eksekutif boleh dikatakan tidak terdapat hubungan seperti pada sistem pemerintahan parlementer.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan hampir selalu disebut presiden –
dipilih untuk masa jabatan yang ditentukan oleh UUD dan dalam keadaan normal tidak dapat
dipaksa untuk mengundurkan diri oleh badan legislatif. Kepala pemerintahan presidensial dipilih
oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan, dan perdana menteri dipilih oleh
badan legislatif. Kemudian, sistem presidensial memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang).
Alan R. Ball menamakan sistem pemerintahan presidensil itu sebagai the presidential type of
government.
Sedangkan C.F. Strong memberi nama the non parliamentary atau the fixed executive. Sementara
itu R. Kranenburg dalam bukunya Political Theory menggunakan istilah “pemerintahan
perwakilan rakyat dengan pemisahan kekuasaan”
(Mariana, Paskalina, & Yuningsih, 2007). Jadi setidak-tidaknya ada tiga istilah yang
digunakan untuk menyebut sistem pemerintah presidensiil yaitu: (1) Presidential type of
government (pemerintahan dengan tipe presidensiil). (2) Non parliamentary (non parlementer)
atau fixed executive (jabatan eksekutif yang pasti). (3) Separation of power (sistem pemisahan
kekuasaan).
Menurut S.L Witman dan J.J Wuest dalam (Syafiie, 2011)16 mengemukakan empat ciri
dan syarat sistem pemerintahan presidensiil, yaitu: (1) It is based upon the separation of power
principle (2) The executive has no power to dissolve the legislature nor must he resign when he
loses the support of the majority of its membership (3) There is no mutual responsibility between
the president and his cabinet, the latter is wholly responsible to the chief executive (4) The
executive is chosen by the electorate. Dari urain diatas, maka dapat dikemukakan beberapa ciri –
ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu: (1) Presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala
pemerintahan (2) Presiden tidak dipilih oleh badan perwakilan tetapi oleh dewan pemilih dan
belakangan peranan dewan pemilih tidak tampak lagi sehingga dipilih oleh rakyat (3) Presiden
berkedudukan sama dengan legislatif (4) Kabinet dibentuk oleh Presiden, sehingga kabinet
bertanggung jawab kepada presiden (5) Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif,
begitupun sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
Sistem pemerintahan Presidensial menurut Sri Soemantri adalah :1“suatu sistem
pemerintahan dimana pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/badan legislatif.
Disamping presiden berkedudukan sebagai kepala negara ia juga merupakan kepala pemerintahan.
Disamping itu, presiden tidak dipilih oleh lembaga legislatif, akan tetapi oleh sejumlah pemilih.
Oleh karena itu presiden bukanlah bagian dari legislatif seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer.”
Sistem pemerintahan presidensial dalam sejarah ketatanegaraan berkembang tidak sebaimana
sistem pemerintahan perlementer yang setapak demi setapak namun sistem pemerintahan ini
berkembang secara revolusioner yakni pada masa awal berdirinya Negara Amerika Serikat di
pengaruhi karena perjuangan rakyat amerika serikat dalam melawan Kolonialisme Inggris karena
latar belakang inilah Amerika serikat menghendaki bentuk negara yang Republik dengan Presiden
sebagai Kepala Negaranya tidak menghendaki Monarki karena kebencian rakyat terhadap
pemerintahan Raja George III. Dapat dikatakan pula Sistem pemerintahan Presidensial lahir
sejalan dengan terjadinya Revolusi Prancis dan Pemikiran Montesquieu dengan Doktrin
Pemisahan Kekuasaannya.
Dalam sistem Presidensial sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Sri Soemantri Presiden tidak
hanya diletakkan sebagai kepala negara (head of chief) namun juga sebagai Kepala Pemerintahan
(head of chief). Itulah sebabnya dalam sistem presidensial tidak hanya merambah dalam ranah
eksekutif saja , tetapi juga merambah ranah legislatif dan ranah yudikatif. Selain itu karena baik
badan legislatif maupun presiden memperoleh mandat langsung dari rakyat melalui pemilu
menyebabkan kedua badan tersebut berada dalam posisi yang seimbang satu sama lain. Dan oleh
karena itu pulalah mayoritas para ahli menempatkan Posisi Presiden dan Badan Legislatif secara
vis a vis atau saling berhadap-hadapan satu sama lain.
Dari beberapa karetekristik mengenai sistem presidensial yang ditulis oleh para ahli pendapat, Ball
dan Peters termasuk yang paling jelas dalam menghadapkan posisi presiden dengan lembaga
legislatif. Karakteristiknya ialah sebagai berikut :2
1. The President is both nominal and political head of state
2. The President is not elected By The Legislature, But Directly elected from the total electorate
3. The President is not the part of the legislature, and cannot be from office by the legislature except
through the legal Process of Impeachment.
4. The President cannot dissolve the legislature and call a general election. Usually the president
and the legislature are elected for mixed term.
Selain itu menurut pakar hukum tata negara Indonesia Mahfud MD, mengemukakan ciri-ciri
sistem presidensial sebagai berikut :
1. Kepala negara menjadi kepala pemerintahan
2. Pemerintah tidak bertanggung jawab dengan kepada parlemen
3. Menteri tidak diangkat dan bertanggung jawab kepada presiden
4. Eksekutif dan legislatif sama-sama kuat.

Jimly Asshidiqie mengemukakan kebih rinci dengan membagi menjadi sembilan ciri sistem
presidensial ialah sebagai berikut :
1. Terdapat pemisahan yang jelas antara eksaekutif dan legislatif
2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak dapat dibagi dan
yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara dan sebaliknya;
4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden.
5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki eksekutif demikian pula sebaliknya;
6. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen
7. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen dalam sistem presidensial
berlaku prinsip supremasi konstitusi oleh karena itu eksekutif pertanggung jawab kepada konstitusi
8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat;
9. Kekuasaan tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer namun tersebar.
Adapun konsep sistem pemerintahan presidensial murni bila kita merujuk kepada sistem
pemerintahan presidensial di negara Amerika serikat sebagai “the outstanding example of the
presidential form of government” sistem presidensial murni itu memuat dua belas ciri yaitu:
1. Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan;
2. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat;
3. Masa Jabatan Presiden yang pasti;
4. Kabinet atau dewan menteri dibentuk oleh Presiden;
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislaif;
6. Presiden tidak dapat membubarkan badan legislative;
7. Menteri tidak boleh merangkap anggota badan legislative;
8. Menteri bertanggung jawab kepada Presiden;
9. Masa jabatan menteri tergantung pada kepercayaan Presiden;
10. Peran eksekutif dan legislatif dibuat seimbang dengan sistem checks and balances;
11. Pembuatan undang-undang oleh badan legislatif tanpa melibatkan lembaga eksekutif;
12. Hak veto Presiden terhadap Undang-undang yang dibuat oleh Badan Legislatif

Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat dikatakan dalam hal hubungan antara Eksekutif dan legislatif
pada sistem Presidensial ada sebuah pemisahan yang jelas “there is a clear-cut separation between
the executive and legislature” sehingga legislatif maupun eksekutif tidak bertanggung jawab satu
sama lain dan tidak dapat membubarkan satu sama lain. Hal yang mana demikian membuat posisi
eksekutif dalam pemerintahan dapat lebih terjamin tidak mudah dilengserkan sebagaimana posisi
eksekutif dalam sistem parlementer.
Dalam pola hubungan yang terpisah ini setidaknya ada empat keuntungan dasar dalam sistem
pemerintahan presidensial yakni :3
1. Dengan dipilih langsung kekuasaan presiden menjadi lebih legitimate karena memperoleh
mandat langsung (direct mandat) dari rakyat ;
2. Pemisahan antara eksekutif dan legislatif mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan karena
dengan terpisahnya antara eksekutif dan legislatif keduanya satu sama lain dapat saling
mengawasi.
3. Dengan posisi sentral dalam jajaran eksekutif, presiden dapat mengambil kebijakan strategis
yang amat menentukan secara cepat (speed and deciciness)
4. Dengan masa jabatan yang tetap membuat posisi presiden lebih terjamin dibandingkan dengan
sistem parlementer.
Namun meskipun jabatan presiden tetap (fixed Term) bukan berarti presiden tidak dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya seringkali dalam pemerintahan presidensial sebagai sisi
mata uang dari dual-paradoks of presidentialism berayun kepada pendulum otorialisme di
karenakan kuatnya kedudukan eksekutif apabila kekuatan-kekuatan dalam parlemen di isi oleh
mayoritas partai yang memenangkan Pemilu Eksekutif, kita pula ingat dengan adagium dari lord
acton “power tends to corrupt but absolute power corrupt absolutely”oleh karena itu pastilah ada
mekanisme pengawasan terhadap kesewenang-wenangan eksekutif bahkan bila perlu presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Jadi adalah sebuah sebuah hal wajar jika Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya mengingat
bukan tidak mungkin seorang Presiden melakukan pelanggaran-pelanggaran yang serius atau tidak
lagi memenuhi syarat untuk tetap berada dalam jabatannya.
Pemberhentian presiden/wakil presiden di tengah masa jabatannya disebut impeachment
(pemakzulan) yang secara hukum merupakan a legal process of removing an undesirable person
from public office. Tindakan pemberhentian presiden tersebut dapat dikatakan sebagai upaya luar
biaya dalam menerobos aturan mengenai Fixed term dalam sistem Presidensial.

Bagir Manan

Sistem pemerintahan presidensiil dapat dikatakan sebagai dikatakan subsistem pemerintahan


republik, karena memang hanya dapat dijalankan dalam negara yang berbentuk republik. Ada
beberapa prinsip pokok dalam sistem pemerintahan presidensiil, yaitu :

a) Terdapat pemisahan yang jelas antara kekuasaan eksekutif dan legislatif, presiden merupakan
eksekutif tunggal dan kekuasaan eksekutif tidak terbagi.

b) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara,

c) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan yang

bertanggung jawab kepadanya,

d) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan

sebaliknya,

e) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen, dan

f) Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat

dalam sistem presidensial karena presiden dalam pembentukan kabinetnya lebih cenderung
mengakomodasi individu elite parpol. Maka konsekuensinya tidak ada jaminan partai-partai di
parlemen akan mendukung presiden, sebab yang diakomodasi presidensecara kasat mata adalah
kepentingan elit parpol, bukan kepentingan parpol secara keseluruhan. Di sini tampak
perbedaanpersepsi akomodasi presiden antara elite parpol dan parpol itu sendiri menjadi pemantik
tak solidnya dukungan partai-partai di parlemen pada presiden.
Dalam hal ini Scott Mainwaring mengatakan: “...The president can attempt to buy the support of
individual politicians from opposition parties, but this option exists only if the parties
malleable”Sesungguhnya koalisi dalam sistem presidensial seharusnya, bukan merupakan jalan
utama untuk melakukan stabilitas sistem pemerintahannya, melainkan hanyalah langkah darurat
yang ditempuh presiden. Karena itu koalisi hanyalah sebuah politik kreatif untuk mensiasati dalam
menaklukkan lawan
Dalam soal ini Juan J Linz berkomentar:“Coalitions are difficult to form and rarely, ‘only
exceptionally’ do form under presidentialism”.31Alasan lain ketidakharmonisan sistem
presidensial dengan sistem
multipartai di parlemen, adalah karena adanya keterpisahan secara tugas (separation of power)
antara presiden dan parlemen dengan ditandai adanya pemilihan presiden dan pemilihan legislatif
yang berbeda,
sehingga berpotensi melahirkan jenis dukungan partai yang berbeda, sekaligus tidak paralel antara
partai yang menguasai parlemen dan partai yang memenangkan pemilihan presiden dalam pemilu
presiden. Keterpisahan politik antara keduanya akibat separation of power ini menyebabkan
terjadinya hubungan yang kaku dan tidak fleksibel antara keduanya.

SISTEM SEMI PRESIDENSIL


Sistem Pemerintahan Campuran (Quasi) Sistem campuran atau quasi adalah sistem pemerintahan
yang memadukan kelebihan dari system pemerintahan parlementer dan presidensial. Dalam sistem ini
diusahakan hal-hal yang terbaik dari kedua sistem pemerintahan tersebut. Dalam sistem pemerintahan ini,
selain memiliki Presiden sebagai Kepala Negara, juga memiliki Perdana Menteri sebagai kepala
Pemerintahan untuk memimpin kabinet yang bertanggungjawab kepada parlemen. Bila presiden tidak
diberi posisi dominan dalam sistem pemerintahan ini, presiden tidak lebih dari sekedar lambang dalam
pemerintahan. Akan tetapi presiden tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen, bahkan presiden dapat
membubarkan parlemen.Menurut (Syafiie, 2011) sistem ini diusahakan hal – hal yang terbaik dari sistem
pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidesial. Sistem ini terbentuk dari sejarah perjalanan
pemerintahan suatu negara. Seperti halnya presidensial dan parlementer, menurut (Mariana, Paskalina, &
Yuningsih, 2007)keuntungan dengan penggunaan istilah sistem pemerintahan campuran yaitu dapat
menimbulkan kesan bahwa jenis sistem pemerintahan terakhir ini masih mempunyai hubungan yang erat
dengan sistem pertama (parlementer) dan sistem kedua (presidensiil) yang kesemuanya itu berada dalam
kerangka sistem politik demokrasi liberal atau demokrasi modern. Oleh (Mariana, Paskalina, & Yuningsih,
2007) menyebutkan bahwa berhubung sistem pemerintahan campuran ini sangat khas maka perlu
ditentukan ciri-ciri utamanya, yaitu :(1) Menteri-menteri dipilih oleh parlemen. (2) Lamanya masa jabatan
eksekutif ditentukan dengan pasti dalam konstitusi. (3) Menteri-menteri tidak bertanggung jawab baik
kepada parlemen maupun kepada presiden.Lebih lanjut diuraikan oleh (Mariana, Paskalina, & Yuningsih,
2007)22 bahwa ciri yang pertama adalah merupakan ciri pokok dari sistem parlementer, sedangkan ciri
yang kedua adalah merupakan ciri pokok dari sistem pemerintahan presidensiil. Ciri yang ketiga adalah ciri
yang tidak terdapat baik dalam sistem pemerintahan parlementer maupun dalam sistem pemerintahan
presidensiil. Justru ciri ketiga ini adalah merupakan konsekuensi dari dianutnya ciri pertama dan kedua
secara bersama-sama.Lain halnya dengan pendapat sebelumnya, menurut (Sarundajang, 2012), untuk
mengulas sistem pemerintahan campuran dalam literatur tata pemerintahan banyak berkaitan dengan
terminologi semi presidensial dan semi parlementer. sistem campuran atau kuasa parlementer atau kuasa
presidensiil, ada juga menyebut sistem referendum.Sebenarnya konsep sistem pemerintahan tersebut tidak
bisa dilepaskan dari pemikiran politik Montesqieu yang menawarkan gagasan pemisahan kekuasaan serta
Jhon Locke yang menawarkan gagasan pembagian kekuasaan. Inti dari konsep
Montesqieu ini adalah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang
sewenang-wenang, maka kekuasaan perlu dipisahkan. Dalam hal ini, Montesqieu memisahkan kekuasaan
negara menjadi tiga bentuk kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Walaupun
gagasan ini bukan gagasan baru karena J. J. Rousseau maupun John Locke telah membahasnya secara
mendalam. Hanya dalam beberapa aspek terdapat perbedaan pemahaman atau penekanan mengenai ketiga
lembaga kekuasaan itu di antara mereka.15Mengapa gagasan pemisahan itu muncul? Gagasan apa yang
ada di balik pemisahan kekuasaan? Pertama adalah gagasan bahwa demi terjaminnya kebebasan politik
rakyat (political liberty) perlu ada pemisahan kekuasaan negara. Kebebasan merupakan hal penting dalam
pemikiran Montesqieu. Gagasan keharusan adanya jaminan kebebasan inilah diantaranya yang
menyebabkan Montesqieu merumuskan konsep perlunya pembatasan kekuasaan. Menurut Montesqieu
kebebasan politik sulit dijaga atau dipertahankan bila kekuasaan negara tersentralisasi atau dimonopoli oleh
seorang penguasa atau lembaga politik tertentu. Kekuasaan negara menurutnya perlu dibagi-bagi. Inilah
yang kemudian dikenal sebagai gagasan pemisahan kekuasaan negara (separation of power). Montesqieu
seperti yang diutarakan Deliar Noer,16 apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada tangan
yang sama ataupun pada badan penguasapenguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan, juga
tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan
legislatif dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili disatukan dengan dua kekuasaan itu, kemerdekaan
rakyat akan terancam karena hakim akan menjadi orang yang membuat hukum. Maka bila kekuasaan
mengadili digabungkan pada kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan
dan penindasan. Berdasarkan uraian tersebut, maka sistem pemerintahan adalah hubungan antara
penyelengara negara atau lembaga-lembaga yang melaksanakan kegiatan pemerintah dalam arti luas dalam
suatu tatanan untuk mencapai tujuan negara dengan adanya pemisahan kekuasaan yang dapat menjamin
kehidupan bernegara. Dalam arti sempit, hubungan tersebut akan dikaitkan antara lembaga eksekutif dan
lembaga legislatif yang kemudian dituangkan dalam naskah konstitusi.Di sisi lain, Bambang dalam
artikelnya menyampaikan beberapa hal yang harus disebut secara limitatif dalam konstitusi ialah public
authority hanya dapat dilegitimasi sesuai dengan ketentuan konstitusi; pelaksanaan kedaulatan rakyat
dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suffrage dan pemilihan eksekutif secara
demokratis (popular sovereignty and democratic government); pemisahan kekuasaan serta pembatasan
kewenangan yang diberikannya; adanya kebebasan kekuasaan kehakiman yang mampu menegakkan rule
of law dan melaksanakan law enforcement terhadap constitutional order, sistem konstitusi mempunyai
sistem yang bisa mengontrol lembaga kepolisian dan militer untuk mewujudkan hukum yang demokratis
dan menghormati hak-hak rakyat; dan negara memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia.

Daftar Pustaka
http://jurnal.unpad.ac.id/cosmogov/article/download/14725/7020

Syafiie, I. K. (2011). Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT. Refika Aditama, h.88
Mariana, D., Paskalina, C., & Yuningsih, N. Y. (2007). Perbandingan Pemerintahan. Jakarta:
Universitas Terbuka, h.10
Inu Kencana Syafiie, op. cit., h.90, lihat juga Mariana, D., Paskalina, C., & Yuningsih, N. Y.
(2007)., h.13
Mariana, D., Paskalina, C., & Yuningsih, N. Y., op. Cit., h.11
Saldi Isra,2010, Pergeseran Fungsi Legislasi “Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sitem
Presidensiil Indonesia”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm :23

Saldi Isra, Opcit hlm :38-39


Sulardi :hlm:17
Ibid hlm : 17-18
Ibid hlm :22
Saldi Isra, opcit hlm :42
Ibid hlm :66-67

http://jurnal.uii.ac.id/IUSTUM/article/view/4597/4058
Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin America” in Arend Lijphard (eds), Parlementary Versus
Presidential Governement, Oxford University Press, 1992, hlm. 111-115. 27
Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung Dan Problematik Koalisi dalam Sistem Presidensial”, dalam
Jurnal Konstitusi,Vol. II, No. 1, Juni 2009, Mahkamah Konstitusi Bekerjasama dengan Pusat Studi
Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Jakarta, 2009, hlm. 123.
Ibid.,
hlm. 115.
Ibid.,
hlm. 123.
Ibid.,
hlm. 115.
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 4 VOL. 21 OKTOBER
2014: 509 – 530
(Jakarta: Pusata Studi HTN UI, 2000), hlm. 163.
(New York: Russell & Russell, 1961), hlm. 283.
[3] Moh Kusnadi dan Harmelly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5,
(Jakarta: Pusat Studi HTN dan CV Sinar Bakti, 1983), hlm. 167.
(Jakarta: UI-PRESS, 1996), hlm. 59.
(Jakarta: Pt Garfindo Perkasa, 1995), hlm. 36.
Peralihan Kekuasaan (Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nakwasara), (Jakarta: Pt.
Garamedia, 1997), hlm. 21.
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan…, Op. Cit., hlm. 67.
Ibid., hlm. 76-81;
Moh. Kusnardi dan Harmally Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. 5,
(Jakarta: Pusat Studi HTN U, 1983), hlm. 180
Ibid., hlm. 245.
Rod hague dan Martin Harrop, Op., Cit. hlm. 237.
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan…, hlm. 82.
Rod hague dan Martin Harrop, Op. Cit., hlm. 237.

Anda mungkin juga menyukai