Anda di halaman 1dari 26

Referat Kepanitraan Klinik Farmasi Kedokteran

EFEKTIFITAS CHLORAMPHENICOL TERHADAP PENGOBATAN

THYPOID

Oleh:

Dessi Sriani 13700229

Ifana Nur’Aini 14700040

Irsyad Ramadhan 14700107

Gita Qatrunnada 14700169

Ni Made Kosiki 15700010

Fakultas Kedokteran

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Tahun Pelajaran 2019/2010


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh

infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella

typhi. Namun dapat pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A,

Salmonella typhi B, dan Salmonella paratyphi C. Komplikasi dapat lebih

sering terjadi pada individu yang tidak diobati sehingga memungkinkan

terjadinya pendarahan dan perforasi usus ataupun infeksi fecal seperti

visceral abses. Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif yang

menyebabkan spektrum sindrom klinis yang khas termasuk gastroenteritis,

demam enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal seperti

osteomielitis atau abses. Manifestasi klinis demam tifoid dimulai dari yang

ringan (demam tinggi, denyut jantung lemah, sakit kepala) hingga berat

(perut tidak nyaman, komplikasi pada hati dan limfa (Rahmasari, 2018).

Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada penderita demam

tifoid yaitu terapi antibiotik seperti penggunaan Ciprofloxacin, Cefixime,

Kloramfenikol, Tiamfenikol, Azitromisin, Ceftriaxone dan terapi

kortikosteroid seperti penggunaan Dexametasone. Namun, perlu

diperhatikan dalam penggunaan antibiotik maupun kortikosteroid dalam

pengobatan demam tifoid. Penggunaan secara sembarangan menyebabkan

peningkatan kejadian demam tifoid yang resistensi terhadap antibiotik

maupun timbulnya efek samping terhadap antibiotik maupun kortikosteroid

2
yang justru memperburuk kondisi penderita demam tifoid.Terapi non

farmakologis untuk demam tifoid yaitu tirah baring, diet lunak rendah serat

serta menjaga kebersihan (Rahmasari, 2018).

Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat

bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia,

dan Mikoplasma. Chloramphenicol mencegah sintesis protein dengan

berikatan pada subunit ribosom 50S. Efek samping yang ditimbulkan adalah

supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik pada anak,

pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam (Rahmasari,

2018). Maka penulis ingin mengetahui tentang efektivitas terapi

Chloramphenicol pada demam typoid.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Typoid

1. DEFINISI
Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

yang di sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini di tandai oleh

panas berkepanjangan, di topang dengan bakteremia tanpa keterlibatan

struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus

multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar

limfe usus dan peyer’s patch. ( Soedarmo dkk, 2010 )

Penyebab utama dari penyakit ini adalah mikroorganisme

Salmonella Typhosa dan Salmonella Typhi, A, B, dan C.

Mikroorganisme ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia dan

makanan atau minuman yang terkena mikroorganisme yang di bawa

oleh lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah

lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat

beterbangan di udara, mikroorganisme ini hidup di sanitasi yang buruk

seperti lingkungan kumuh, makanan dan minuman yang tidak higenis

Manifestas Klinik. (Ngastiyah, 2005 )

Gejala demam typhoid sering kali muncul setelah 1 sampai 3

minggu terpapar mulai dari tingkat sedang hingga parah. Gejala klasik

yang muncul mulai dari demam tinggi, malas, sakit kepala, konstipasi

atau diare, Rose-Spot pada dada dan Hepatosplenomegali. Rose spot

4
adalah suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran

1 sampai 5 mm, sering kali di jumpai pada daerah abdomen, thoraks,

ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tetapi tidak pernah di

laporkan di temukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari

ke 7 sampai 10 dan bertahan selama 2 sampai 3 hari. ( Soedarmo et al.

2010 ).

Periode inkubasi demam typhoid pada anak antara 5 sampai 40 hari

dengan rata-rata 10 sampai 14 hari. Gejala klinis ringan tidak

memerlukan perawatan, sedangkan gejala klinis berat harus di rawat.

Anak mengalami demam tinggi pada sore hingga malam hari dan turun

pada pagi hari. Banyak penderita demam typhoid yang di akibatkan

kurang masukan cairan dan makanan. ( Soedarmo et al. 2010 ).

Penderita typhoid perlu di rawat di rumah sakit untuk isolasi agar

penyakit ini tidak menular ke orang lain. Penderita harus istirahat total

minimal 7 hari bebas panas. Istirahat total ini untuk mencegah terjadinya

komplikasi di usus. Makanan yang di konsumsi adalah makanan lunak

dan tidak banyak berserat. Sayuran dengan serat kasar seperti daun

singkong harus di hindari, jadi harus benar-benar di jaga makanannya

untuk memberi kesempatan kepada usus menjalani upaya

penyembuhan. (Soedarto, 2007 ).

5
2. ETIOLOGI

Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik

gram negatif berbentuk basil dan bersifat patogen pada manusia.

Penyakit ini mudah berpindah dari satu orang ke orang lain yang kurang

menjaga kebersihan diri dan lingkungannya yaitu penularan secara

langsung jika bakteri ini terdapat pada feses, urine atau muntahan

penderita dapat menularkan kepada orang lain dan secara tidak langsung

melalui makanan atau minuman. Salmonella typhi berperan dalam

proses inflamasi lokal pada jaringan tempat bakteri berkembang biak

dan merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada

jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Jumlah bakteri yang

banyak dalam darah (bakteremia) menyebabkan demam makin tinggi.

Penyakit typoid ini mempunyai hubungan erat dengan lingkungan

terutama pada lingkungan yang penyediaan air minumnya tidak

memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi yang buruk pada lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid tersebar yaitu polusi

udara, sanitasi umum, kualitas air temperatur, kepadatan penduduk,

kemiskinan dan lain-lain. beberapa penelitian di seluruh dunia

menemukan bahwa laki-laki lebih sering terkena demam tifoid, karena

laki-laki lebih sering bekerja dan makan di luar rumah yang tidak

terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari daya tahan tubuh,

wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat atau

mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu teori yang

6
menunjukkan hal tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke

dalam sel-sel hati, maka hormon estrogen pada wanita akan bekerja

lebih berat (Ardiaria., 2019).

3. PATOGENESIS

Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam

tubuh manusia. Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat

mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam

jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4

proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri

bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran

darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya

elektrolit dan air ke lumen intestinal. Bakteri Salmonella typhi bersama

makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.Pada saat

melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel

mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di

ileum dan jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch

merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella typhi.

Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada

mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi

usus.Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan

ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo

7
Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa. Setelah periode

inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus

torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum

tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.

Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau

dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati,

limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan

produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun

sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam

tifoid. Penularan Salmonella typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu

melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang

berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama

dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang

ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya

(Ardiaria., 2019).

4. DIAGNOSIS

Diagnosis di tegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam,

gangguan gastrointestinal dan mungkin di sertai perubahan dan

gangguan kesadaran dengan kriteria ini maka seorang klinis dapat

membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti di

tegakkan melalui isolasi ( Salmonella Typhi ) dari darah. Pada dua

minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi ( Salmonella Typhi )

8
dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya.

Biakan spesimen yang beasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai

sensitivitas tertinggi, hasil positif di dapat pada 90% kasus. Akan tetapi

prosedur ini sangat invasif sehingga tidak di gunakan dalam praktek

sehari-hari.

Pada keadaan tertentu dapat di lakukan biakan spesimen empedu

yang di ambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

Pemeriksaan demam typhoid ada beberapa jenis yaitu untuk mendeteksi

atibodi ( Salmonella Typhi ) dalam serum antigen tehadap Salmonella

Typhi dalam darah, serum, urin dan DNA ( Salmonella Typhi ) dalam

darah dan faeses polymerase chain reaction telah di gunakan untuk

memperbanyak gen salmonella sel. Typhoid secara spesifik pada darah

pasien dan hasil dapat di peroleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini

spesifik dan lebih sensitif di banding dengan biakan darah. ( Sumarmo

S.dkk 2008 ).

5. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi

penatalaksanaan yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi

penunjang (baik simptomatik maupun suportif), serta pemberian

antimikroba. Selain itu diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam

tifoid yang meliputi komplikasi intestinal maupun ekstraintestinal

(Depkes RI, 2006).

9
a. Istirahat dan Perawatan

Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan dilakukan

sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan

BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus

dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu

diperhatikan dan dijaga.

b. Diet dan Terapi Penunjang

Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat, yaitu

berupa:

 Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita

tanpa gejala meteorismus, dan diet bubur saring pada

penderita dengan meteorismus. Hal ini dilakukan untuk

menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan

perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar

meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses

penyembuhan .

 Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat

muntah dan diare.

 Primperan (metoclopramide) diberikan untuk

mengurangi gejala mual muntah dengan dosis 3 x 5 ml

setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja

penderita sudah tidak mengalami mual lagi.

10
c. Pemberian Antimikroba

Pada demam tifoid, obat pilihan yang digunakan dibagi

menjadi lini pertama dan lini kedua. Kloramfenikol,

kotrimosazol, dan amoksisilin/ampisilin adalah obat demam

tifoid lini pertama. Lini kedua adalah kuinolon (tidak dianjurkan

untuk anak dibawah 18 tahun), sefiksim, dan seftriakson.

Kloramfenikol dengan dosis 4 x 500 mg per hari dapat diberikan

secara oral maupun intravena, diberikan sampai dengan 7 hari

bebas panas. Kloramfenikol bekerja dengan mengikat unit

ribosom dari kuman salmonella, menghambat pertumbuhannya

dengan menghambat sintesis protein. Sementara kerugian

penggunaan kloramfenikol adalah angka kekambuhan yang

tinggi (5-7%), penggunaan jangka panjang (14 hari), dan

seringkali menyebabkan timbulnya karier. Tiamfenikol, dosis

dan efektifitasnya pada demam tofoid sama dengan

kloramfenikol yaitu 4 x 500 mg, dan demam rata-rata menurun

pada hari ke-5 sampai ke-6.

Komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya

anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan

kloramfenikol. Ampisillin dan Amoksisilin, kemampuan untuk

menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol,

dengan dosis 50- 150 mg/kgBB selama 2 minggu. Trimetroprim-

sulfamethoxazole, (TMPSMZ) dapat digunakan secara oral atau

11
intravena pada dewasa pada dosis 160 mg TMP ditambah 800

mg SMZ dua kali tiap hari pada dewasa. Sefalosforin Generasi

Ketiga, yaitu seftriakson dengan dosis 3- 4 gram dalam dekstrosa

100 cc diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan

selama 3-5 hari. Golongan Flurokuinolon (norfloksasin,

siprofloksasin).

Secara relatif obat – obatan golongan ini tidak mahal, dapat

ditoleransi dengan baik, dan lebih efektif dibandingkan obat –

obatan lini pertama sebelumnya (kloramfenikol, ampisilin,

amoksisilin dan trimethoprimsulfamethoxazole). Flurokuinolon

memiliki kemampuan untuk menembus jaringan yang baik,

sehingga mampu membunuh S.thypi yang berada dalam stadium

statis dalam monosit/makrofag dan dapat mencapai level obat

yang lebih tinggi dalam kantung empedu dibanding dengan obat

yang lain. Obat golongan ini mampu memberikan respon

terapeutik yang cepat, seperti menurunkan keluhan panas dan

gejala lain dalam 3 sampai 5 hari. Penggunaan obat golongan

flurokuinolon juga dapat menurunkan kemungkinan kejadian

karier pasca pengobatan. 20 Kombinasi 2 antibiotik atau lebih

diindikasikan pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid,

peritonitis atau perforasi, serta syok septik. Pada wanita hamil,

kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 karena

menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan

12
grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan

pada trimester pertama karena memiliki efek teratogenik. Obat

yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson

(Santoso, 2009).

B. Chloramphenicol

1. Definisi

Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas. Di

Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk

demam tifoid. Obat ini bekerja menghambat sintesis protein kuman

dengan cara berikatan pada ribosom 50S sehingga menghambat

pembentukan rantai peptida. Kloramfenikol tidak boleh diberikan bila

lekosit < 2000/mm³. (Tjay dan Rahardja, 2007).

2. Farmakodinamik

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman.

Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim

peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses

sintesis protein kuman. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada

konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid

terhadap kuman-kuman tertentu. Spektrum anti bakteri meliputi

D.pneumoniae, S. Pyogenes, S.viridans, Neisseria, Haemophillus,

Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. Multocida, C.diphteria,

13
Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia, Treponema, dan kebanyakan

kuman anaerob (Raymond, 2009)

3. Farmakokinetik

Menurut Raymond (2009) Setelah pemberian oral, kloramfenikol

diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai hingga 2 jam

dalam darah. Untuk anak biasanya diberikan dalam bentuk ester

kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk

ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan

kloramfenikol. Untuk pemberian secara parenteral diberikan

kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan

membebaskan kloramfenikol. Masa paruh eliminasinya pada orang

dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu

sekitar 24 jam.Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan

albumin.Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh,

termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. Di dalam hati

kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu paruh memanjang

pada pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di reduksi

menjadisenyawa arilamin yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24 jam,

80-90% kloramfenikol yang diberikan oral diekskresikan melalui ginjal.

Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi hanya 5-10% yang

berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau

hidrolisat lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi

14
terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metaboltnya dengan

sekresi tubulus. Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk

aktif tidak banyak berubah sehingga tidak perlu pengurangan dosis.

Dosis perlu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar.

4. Toksisitas

Efek samping yang dapat terjadi Rasa pedih dan terbakar mungkin

terjadi saat aplikasi kloramfenikol pada mata. Reaksi hipersensitivitas

dan inflamasi termasuk konjunctivitis, terbakar, angioneuro edema,

urtikaria vesicular/ maculopapular dermatitis (jarang terjadi) (McEvoy,

2002).

15
BAB III

PENELITIAN

1. “Perbandingan kloramfenikol dengan seftriakson terhadap lama hari

turun demam pada anak demam tifoid.”

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nuraini, Fuzna Avisha dkk (2015)

Pada penelitian ini pengambilan sampel menggunakan data rekam medik pasien

dmeam tifoid di RSUD Al-ihsan periode 2014. Dari analisis data dimulai dengan

analisis karakteristik pasien demam tifoid. Selanjutnya dilakukan analisis

perbandingan penggunaan kloramfenikol dengan seftriakson terhadap lama hari

turun dmeam tifoid yang diolah dengan metose uji analitik Mann Whitney

menggunakan program komputer SPSS (Statistical product and service solution)

versi 17.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan lama hari

turun demam antara pasien demam tifoid anak yang diberikan kloramfenikol dan

seftriakson di RSUD Al-Ihsan Bandung.

Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukan bahwa lama hari turun

demam pada kelompok antibiotik seftriakson yaitu sebesar 2 hari, sedangkan

kelompok kloramfenikol 5 hari (p=0,000) dengan Odds Ratio 299,6. Simpulan,

lama hari turun demam kelompok seftriakson lebih cepat daripada kelompok

kloramfenikol dalam mempengaruhi lama hari turun demam anak demam tifoid.

16
2. “Perbandingan Efektifitas Klinis antara Kloramfenikol dan Perbandingan

Efektifitas Klinis antara Kloramfenikol dan Tiamfenikol dalam Pengobatan

Demam Tifoid pada Anak.”

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rismarini dkk (2001) Demam

tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan kloramfenikol masih

merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid. Dari beberapa penelitian

di temukan 3-8% kuman Salmonella telah resisten terhadap kloramfenikol, 2-4%

mengalami kekambuhan dan menjadi pengidap kuman, disamping adanya efek

samping penekanan sumsum tulang dan anemia aplastik. Seftriakson dan

siprofloksasin dapat memberikan hasil yang lebih baik tetapi belum dapat dipakai

secara luas karena harganya mahal.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbandingan efektifitas klinis

kloramfenikol dan tiamfenikol dalam pengobatan demam tifoid pada anak.

Penelitian uji acak tersamar ganda dilakukan pada anak dengan demam tifoid yang

dirawat dibagian IKA FK UNSRI / RS Moh Husein (RSMH) Palembang antara

Maret – Nopember 1999. Lima puluh orang anak memenuhi kriteria penelitian,

terdiri dari 27 anak laki-laki dan 23 anak perempuan, 41 (82%) anak usia 5 tahun

atau lebih, hanya 9 (18%) usia di bawah 5 tahun. Dua puluh lima anak mendapat

kloramfenikol, yang lain mendapat tiamfenikol. Pada kelompok kloramfenikol

demam kembali normal dalam waktu 3,04 + 2,11 hari sedangkan dengan

tiamfenikol dalam waktu 2,68 + 1,57 hari.

17
Secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam hal lamanya

turun demam, membaiknya nafsu makan, hilangnya nyeri perut serta pulihnya

kesadaran antara kelompok kloramfenikol dengan kelompok tiamfenikol. Terdapat

1 penderita yang tidak sembuh dengan kloramfenikol sehingga diganti dengan

seftriakson, sementara dari kelompok tiamfenikol semuanya sembuh. Tidak

ditemukan pasien yang kambuh dan pengidap kuman setelah pengobatan. Kejadian

anemia selama pengobatan sama pada kedua kelompok. Walaupun tidak berbeda

secara bermakna, kelompok tiamfenikol dapat keluar rumah sakit 1 hari lebih cepat

sedangkan harga obat hanya sedikit lebih mahal dari kloramfenikol.

Dari penelitian ini didapatkan efektifitas klinis kloramenikol masih sangat

baik. Efektifitas tiamfenikol juga sangat baik, sebanding dengan kloramfenikol,

tetapi tiamfenikol mempunyai beberapa kelebihan antara lain demam lebih cepat

turun, nafsu makan lebih cepat membaik serta sakit perut lebih cepat menghilang.

Satu pasien secara klinis dianggap resisten terhadap kloramfenikol tetapi dapat

dibuktikan secara in-vitro karena biakan tidak tumbuh. Semua isolat S. typhi yang

tumbuh masih sensitif terhadap kloramfenikol maupun obat standar lain yaitu

ampisilin dan kotrimoksazol. Pada kedua kelompok tidak ditemukan kasus yang

kambuh ataupun pengidap kuman setelah pengobatan. Biaya perawatan pasien yang

mendapat tiamfenikol hanya sedikit lebih mahal dibandingkan kloramfenikol.

Dalam pengobatan demam tifoid pada anak tiamfenikol dapat dijadikan

sebagai obat pilihan pertama menggantikan kloramfenikol, walaupun masih perlu

penelitian lebih lanjut oleh karena belum dapat dilihat angka kekambuhan dan

pengidap kuman setelah pengobatan.

18
3. “Cost-Effectiveness Analysis Kloramfenikol Dan Seftriakson Untuk

Pengobatan Demam Tifoid Pada Pasien Dewasa Di Rumah Sakit Sanglah

Denpasar”

Penelitian yang dilakukan oleh Lorensia, Amelia dkk (2018) Penelitian ini

merupakan salah satu evaluasi ekonomi kesehatan yang bersifat observasional

dengan melakukan studi perbandingan (comparative study) antara dua alternatif

yang ada dengan menggunakan perspektif rumah sakit dan pengambilan data yang

dilakukan secara retrospektif pada bulan Januari 2017 sampai dengan Juli 2018.

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah CEA dengan outcome klinis

yaitu lama rawat inap dan waktu bebas demam. Data dianalisis menggunakan

independent sample ttest.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas biaya

kloramfenikol dan seftriakson yang diberikan kepada pasien dewasa yang

didiagnosis demam tifoid di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Pada penelitian ini

dilakukan perbandingan antara dua alternatif yang ada dengan menggunakan

perspektif rumah sakit. Metode retrospektif digunakan untuk mengumpulkan data

dari rekam medis pasien, yang didiagnosis dan dirawat inap di Rumah Sakit

Sanglah Denpasar selama Januari 2017 hingga Juli 2018.

Analisis ACER menunjukkan tingkat seftriakson yang lebih rendah dan

efektivitas yang lebih tinggi berdasarkan lama tinggal dan waktu mencapai suhu

19
normal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa seftriakson lebih cost-

effective daripada kloramfenikol.

20
BAB IV

DISKUSI

Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas. Di Indonesia,

kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Obat ini

bekerja menghambat sintesis protein kuman dengan cara berikatan pada ribosom

50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida. Kloramfenikol tidak boleh

diberikan bila lekosit < 2000/mm³.( Tjay dan Rahardja, 2007)

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol

kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu (Raymond,

2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rismarini dkk (2001) yang

berjudul “Perbandingan Efektifitas Klinis antara Kloramfenikol dan

Perbandingan Efektifitas Klinis antara Kloramfenikol dan Tiamfenikol dalam

Pengobatan Demam Tifoid pada Anak.” Demam tifoid masih merupakan masalah

kesehatan di Indonesia dan kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk

pengobatan demam tifoid. Dari penelitian ini didapatkan efektifitas klinis

kloramenikol masih sangat baik. Efektifitas tiamfenikol juga sangat baik, sebanding

dengan kloramfenikol, tetapi tiamfenikol mempunyai beberapa kelebihan antara

lain demam lebih cepat turun, nafsu makan lebih cepat membaik serta sakit perut

lebih cepat menghilang. Satu pasien secara klinis dianggap resisten terhadap

kloramfenikol tetapi dapat dibuktikan secara in-vitro karena biakan tidak tumbuh.

21
Semua isolat S. typhi yang tumbuh masih sensitif terhadap kloramfenikol maupun

obat standar lain yaitu ampisilin dan kotrimoksazol. Pada kedua kelompok tidak

ditemukan kasus yang kambuh ataupun pengidap kuman setelah pengobatan. Biaya

perawatan pasien yang mendapat tiamfenikol hanya sedikit lebih mahal

dibandingkan kloramfenikol.

22
BAB V

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Kloramfenikol merupakan antibiotik dengan spektrum luas dan masih

merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Obat ini bekerja

menghambat sintesis protein kuman dengan cara berikatan pada

ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida.

Kloramfenikol tidak boleh diberikan bila lekosit < 2000/mm³.

2. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman.

Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi

kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-

kuman tertentu.

3. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rismarini dkk (2001), Dari

penelitian ini didapatkan efektifitas klinis kloramenikol masih sangat

baik. Efektifitas tiamfenikol juga sangat baik, sebanding dengan

kloramfenikol, tetapi tiamfenikol mempunyai beberapa kelebihan. Dari

hasil penelitian didapatkan Pada kedua kelompok tidak ditemukan kasus

yang kambuh ataupun pengidap kuman setelah pengobatan. Biaya

perawatan pasien yang mendapat tiamfenikol hanya sedikit lebih mahal

dibandingkan kloramfenikol.

B. Saran

1. Diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai chloramphenicol dan

efek samping lainnya yang mungkin dapat terjadi.

23
SUMMARY & CONCLUSIONS

Conclusion :

1. Chloramphenicol is a broad-spectrum antibiotic and is still the main drug of

choice for typhoid fever. This drug works by inhibiting the synthesis of germ

protein by binding to the 50S ribosome, thereby inhibiting the formation of

peptide chains. Chloramphenicol should not be given if leukocytes <2000 /

mm³.

2. Chloramphenicol works by inhibiting the synthesis of germ protein.

Chloramphenicol is bacteriostatic. At high concentrations chloramphenicol

is sometimes bactericidal against certain germs.

3. Research conducted by Rismarini et al (2001), the clinical effectiveness of

chloramenicol is still very good. The effectiveness of tiamfenikol is also

very good, comparable to chloramphenicol, but tiamfenikol has several

advantages. From the results of the study found in the two groups found no

cases of recurrence or sufferers of germs after treatment. The cost of treating

patients who receive tiamfenikol is only slightly more expensive than

chloramphenicol.

Suggestion :

1. Needed further research on chloramphenicol and other side effects of

chloramphenicol that can happen.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ardiaria, Martha. 2019. EPIDEMIOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN

PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID. JNH (Journal of Nutrition and

Health) Vol.7 No.2 Hal. 33-35

Depkes RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah

Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Lorensia, Amelia dkk. 2018. Cost-Effectiveness Analysis Kloramfenikol Dan

Seftriakson Untuk Pengobatan Demam Tifoid Pada Pasien Dewasa Di

Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Fakultas Farmasi Universitas Surabaya.

McEvoy, G. K. 2002. AHFS Drug Information. USA : American Society of Health

System Pharmcists.

Ngastiyah. 2005. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: EGC.

Nuraini, Fuzna Avisha dkk. 2015. Perbandingan Kloramfenikol dengan Seftriakson

Terhadap Lama Hari Turun Demam Pada Anak Demam Tifoid. Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Bandung.

Rahmasari, Vani dkk. 2018. Review : Managemen Terapi Demam Tifoid: Kajian

Terapi Farakologis dan Non Farmakologis. Fakultas Farmasi Universitas

Padjajaran. Bandung

Raymond C Rowe, Paul J Sheskey and Marian E Quinn. 2009. Handbook of

Pharmaceutical Excipients. America : The Pharmaceutical Press.

25
Rismarini dkk. 2001. Perbandingan Efektifitas Klinis antara Kloramfenikol dan

Tiamfenikol dalam pengobatan Demam tifoid pada anak. Sari pedriatri,

Vol 3, No. 2, September 2001: 83-87.

Santoso, Singgih. 2009. Panduan lengkap mengenai statistic dengan SPSS .Jakarta

: PT. Elex Media Komputindo .

Soedarmo, Sumarmo dkk 2010. Buku Ajar infeksi & pediatri Tropis. Jakarta.

Soedarmo,Sumarmo S. Poorwo.dkk.Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi

Kedua. Jakarta:Badan Penerbit IDAI.2008.Hal.155-180.

Soedarto, 2007, Sinopsis Kedokteran Tropis, Hal 221-223, Airlangga University

Press, Surabaya.

Tjay, T. H. dan Rahardja K. 2008. Obat-Obat Penting. Jakarta : Elex Media

Komputindo

26

Anda mungkin juga menyukai