Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INDIVIDU

UNDANG-UNDANG DAN ETIKA FARMASI

Oleh :

Muhammad Haikal
19340007
Kelas A

Dosen :

Dra. Fakhren Kasim, MHKes, Apt

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

INSTITUT SAINS TEKNOLOGI NASIONAL

TAHUN PELAJARAN 2019/2020


PER-UU-AN

UU 1945

UU 5/’97
OOK 419/’49 UU 8/’99
UU 35/’09

PP 44/’10
PP 72/’98 PP 40/’13 PP 51/’09
PP 25/’11

PER/SK
MENKES
PER / SK
KaBPOM

1. .RANGKUMAN UNDANG-UNDANG DAN ETIKA FARMASI


A. Pengertian Hukum

Prof. E. M Meyers : Aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan,


ditujukan kepada tingkah laku manusia dlm masy. Dan pedoman bagi penguasa
Negara dlm melakukan tugasnya.

Drs. E. Utrres, S.H.: Himpunan peraturan (perintah & larangan) yg mengurus


tatib masyarakat, harus ditaati oleh masyarakat

J. C. T. Simorangkir : Peraturan-2 yg bersifat memaksa, yang menentukan


tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yg dibuat oleh badan-2
resmi yg berwajib dan pelanggaran thdp peraturan tadi berakibat diambilnya
tindakan dgn hukum tertentu.
Kesimpulan bahwa Hukum adalah “ sekumpulan peraturan yg tdd perintah
& larangan yg bersifat memaksa & mengikat dgn disertai sangsi bagi
pelanggarnya

B. Asas berlakunya undang-undang

Artinya UU itu mulai mempunyai kekuatan mengikat sejak tanggal


diundangkan, sehingga segala peristiwa & perbuatan hukum yg dilakukan
sebelum berlakunya suatu peraturan perundang -2an, tidak bisa dikenai aturan
yg baru diberlakukan.

Menurut Lex Posteriori Derogat Legi Priori Artinya UU yang berlaku kemudian
membatalkan UU yang terdahulu, dalam hal mengatur obyek yang sama.
Contoh:
– UU No 36 / 2009 mencabut UU No. 23 / 1992.

2. PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN
KEFARMASIAN

Pekerjaan Kefarmasian Dalam Pengadaan


Sediaan Farmasi
Pasal 6
1. Pengadaan Sediaan Farmasi dilakukan pada fasilitas produksi, fasilitas
distribusi atau penyaluran dan fasilitas pelayanan sediaan farmasi.
2. Pengadaan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan oleh Tenaga kefarmasian.
3. Pengadaan Sediaan Farmasi harus dapat menjamin keamanan, mutu,
manfaat dan khasiat Sediaan Farmasi.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengadaan Sediaan Farmasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 8
1. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi dapat berupa industry farmasi obat,
industry bahan baku obat, industri obat tradisional, dan pabrik kosmetika.
Pasal 9
1. Industri farmasi harus memiliki 3 (tiga) orang Apoteker sebagai
penanggung jawab masing-masing pada bidang pemastian mutu, produksi,
dan pengawasan mutu setiap produksi Sediaan Farmasi.
2. Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-
kurangnya 1 (satu) orang Apoteker sebagai penanggung jawab.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 10
1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang
Baik yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 12
1. Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses produksi dan
pengawasan mutu Sediaan Farmasi pada Fasilitas Produksi Sediaan
Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas dan
fungsinya.
Pasal 13
1. Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada
Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang produksi dan pengawasan mutu.

Bagian Keempat

Pekerjaan Kefarmasian Dalam Distribusi atau

Penyaluran Sediaan Farmasi

Pasal 14

1. Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat


harus memiliki seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
2. Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dalam
Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15

1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan


Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus memenuhi ketentuan
Cara Distribusi yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 16

1. Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 14 harus menetapkan Standar Prosedur Operasional.

2. Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui


secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 17

1. Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan dengan proses distribusi atau


penyaluran Sediaan Farmasi pada Fasilitas Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi wajib dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan
tugas dan fungsinya.
Pasal 18

1. Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian dalam


Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi harus mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang distribusi atau
penyaluran.
2.

BAB III

TENAGA KEFARMASIAN

Pasal 34

Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan

Kefarmasian pada:

1. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri farmasi obat, industri


bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik
lain yang memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan tugas dan
fungsi produksi dan pengawasan mutu;
2. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan alat kesehatan
melalui Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi
Sediaan Farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota; dan/atau
3. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

3. OBAT TRADISIONAL, KOSMETIK DAN ALKES

3.1.2 Obat Tradisional


Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, hewan,
mineral, sediaan sariaan, atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.Pengobatan drngan menggunakan obat-
obatan tradisional juga merupakan salah satu alternative dalam bidang pengobatan.Obat
tradisional yang lebih dikenal sebagai jamu, diperlukan masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, memelihara keelokan tubuh serta kebugaran da nada beberapa yang
digunakan untuk mengobati penyakit.
Sesuai amanat yang tertulis dalam UU RI No 23 Tahun 1992, pengamanan terhadap obat
tradisional bertujuan untuk melindungi masyarakat dari obat tradisional yang tidak memenuhi
syarat, baik persyaratan kesehatan maupun persyaratan standar.
Obat tradisional dibagi 3, yaitu : Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.
Dulu pada awalnya penggolongan hanya berdasarkan klasifikasi obat kimia, namun setelah
berkembangnya obat bahan alam, muncul istilah obat tradisional, awal mulanya dibagi menjadi
2, yaitu obat tradisional (jamu) dan fitofarmaka, seiring perkembangan teknologi pembuatan obat
bisa dalam berbagai bentuk, berasal dari ekstrak dengan pengujian dan standar tertentu, maka
dibagilah obat tradisional menjadi 3, yaitu :

1) Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang berdasarkan dari pengalaman empiris secara turun
temurun, yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya dari generasi ke generasi.bentuk obat
umumnya disediakan dalam berbagai bentuk serbuk, minuman, pil, cairan dari berbagai
tanaman.Jamu umumnya terdiri dari 5-10 macam tumbuhan bahkan lebih, bentuk jamu tidak
perlu pembuktian ilmiah maupun klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris saja.Contoh : jamu
buyung upik, jamu nyonya menier
2) Obat Herbal Terstandar (OHT)
Obat Herbal Terstandar adalah obat tradisional yang telah teruji berkhasiat secara pra-
klinis (terhadap hewan percobaan), lolos uji toksisitas akut maupun kronis, terdiri dari bahan
yang terstandar (Seperti ekstrak yang memenuhi parameter mutu), serta dibuat dengan cara
higienis. Contoh : Tolak angin.

3) Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah teruji khasiatnya melalui uji pra-klinis
(pada hewan percobaan) dan uji klinis (pada manusia), serta terbukti aman melalui uji toksisitas,
bahan baku terstandar, serta diproduksi secara higienis, bermutu, sesuai dengan standar yang
ditetapkan. Contoh : Cursil
Perbedaan Jamu OHT dan Fitofarmaka :
Jamu --> Obat tradisional terbukti berkhasiat dan aman berdasarkan bukti empiris turun temurun.
OHT --> Obat Tradisional terbukti berkhasiat melalui uji pra-klinis dan teruji aman melalui uji
toksisitas, bahan terstandar dan diproduksi secara higienis.
Fitofarmaka --> Obat tradisional terbuksi berkhasiat melalui uji pra-klinis dan uji klinis, teruji
aman melalui uji toksisitas, bahan terstandar, dan diproduksi secara higienis dan bermutu.

3.1.3 Kosmetika
Berdasarkan Permenkes RI No.445/MenKes/Per/V/1998 yang dimaksud dengan
kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan
(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar), gigi dan rongga mulut untuk
membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya tetap dalam
keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau
menyembuhkan suatu penyakit.
Untuk memproduksi kosmetika harus memperoleh izin. Kosmetika yang akan diproduksi
dan diedarkan harus memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan, standar mutu atau
persyaratan yang ditetapkan oleh Menkes yaitu mengenai cara produksi kosmetika yang baik
(CPKB) dan hal ini tertuang dalam surat keputusan mentri RI No 955/MenKes/SK/XI/1992.
3.2.4 Alat Kesehatan
Berdasarkan UU RI No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang dimaksud dengan alat
kesehatan adalah instrument, apparatus, mesin, implant yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit dan memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh. Contoh-contoh alat kesehatan antara lain :
 Peralatan kimia klinik dan toksikologi klinik
 Peralatan hematologi dan patologi
 Peralatan imunologi dan mikrobiologi
 Peralatan anestesi
 Peralatan kardiologi dan lain-lain
Untuk memproduksi alat kesehatan harus mendapatkan izin (sertifikat produksi) dari
Menkes. (memenuhi persyaratan pedoman cara pembuatan alat kesehatan yang baik dan atau
perbekalan kesehatan rumah tangga yang baik). Untuk alat kesehatan steril sekali pakai harus
sesuai dengan Pemenkes RI No 200/MenKes/SK/II/1995 tentang cara produksi alat kesehatan
steril yang baik.

Anda mungkin juga menyukai