Anda di halaman 1dari 52

KARAKTERISTIK PASIEN ADENOKARSINOMA

PARU DENGAN TINGKAT KEJADIAN PADA


PENGGUNAAN EGFR-TKI

PROPOSAL PENELITIAN

MOH RAMADHANI SOEROSO

NIM :19741002 200701 1 001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SUB SPESIALIS (SP2)


DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak kemajuan telah dicapai dalam pengobatan kanker paru dalam


sepuluh tahun terakhir (kemoterapi ajuvan, terapi bertarget, terapi
individual).Meskipun demikian, kanker paru masih menjadi penyebab utama
kematian karena kanker dan dengan demikian tetap menjadi masalah medis,
ilmiah, dan sosial yang utama.Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan,
mengingat cepatnya masa pertumbuhan sehingga menyebabkan perburukan
penyakit jika tidak mendapat pengobatan.Bahkan dalam beberapa kasus penderita
kanker paru membutuhkan penanganan sesegara mungkin meski diagnosis pasti
belum dapat ditegakkan.(PDPI Kanker Paru, 2018)
Modalitas terapi lokal adalah pembedahan dan radioterapi.Untuk terapi
sistemik, kemoterapi konvensional dan semakin banyak juga terapi yang
ditargetkan (yaitu intervensi yang memengaruhi struktur spesifik tumor pada
tingkat molekuler) juga digunakan.Perawatan untuk kanker paru seringkali
multimodal. Radioterapi dan kemoterapi dapat diberikan bersamaan sebagai
radiokemoterapi.Kemoterapi, radioterapi, dan radiokemoterapi dapat mendahului
operasi (terapi neoadjuvant) atau mungkin mengikutinya (terapi ajuvan).

Di awal tahun 2000-an, mulai diperkenalkan terapi (ber)target (baru) atau


new target therapy, yang lebih popular sebagai terapi target. Temuan cara
pengobatan ini merupakan semacam revolusi, karena timbulnya perubahan yang
cukup besar dalam tatalaksana pengobatan kanker paru. Terapi target ini dalam
waktu singkat menunjukkan kemajuan pesat, disertai dengan pengetahuan tentang
molecular marker (petanda molecular) yang menjadi pemandu pengobatan.
(Anwar Jusuf, 2019).

Delapan puluh persen kanker paru adalah kanker paru sel stadium lanjut
(KPKBSK) stadium lanjut (1). Mutasi gen reseptor faktor pertumbuhan (EGFR)

1
2

epidermal, yang merupakan pendorong onkogenik utama dan kuat di KPKBSK


adalah target terapi, dengan tyrosine EGFR inhibitor kinase (TKI EGFR),
mengubah pola perawatan pada pasien dengan stadium lanjut KPKBSK. Dengan
TKI EGFR (erlotinib, gefitinib dan afatinib) sebagai pengobatan lini pertama
untuk pasien dengan KPKBSK stadium lanjut dengan mutasi EGFR peka,
kelangsungan hidup bebas perkembangan yang lebih tinggi, tingkat respons
keseluruhan dan kualitas hidup daripada kemoterapi dapat dicapai ( Sgambato A,
Casaluce F, Maione P, et al.,2012). Obat ini umumnya ditoleransi dengan baik
karena mereka memiliki profil toksisitas yang dapat diprediksi dan toksisitas yang
kurang serius daripada kemoterapi sitotoksik tradisional (Kohler J, Schuler
M.,2013).Namun demikian, EGFR TKI masih dapat menghasilkan efek samping
yang parah (KTD) dan mengganggu kualitas hidup.

1.2 Rumusan Masalah


Angka kejadian yang tidak diinginkan dari beberapa studi menunjukkan
pada penelitian retrospektif dari 1.671 pasien yang menerima gefitinib 250 mg /
hari sebagai terapi lini pertama untuk kanker paru non-sel kecil dilaporkan oleh
Reiling et al. Efek samping yang paling umum adalah diare (31,3%), ruam
(31,3%), asthenia (15,7%), anoreksia (11,6%) dan mual (11,1%). Hal inilah yang
mendasari peneliti ingin melihat angka kejadian tidak diinginkan dalam
penggunaan EGFR TKI khususnya Gefitinib.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian yang tidak
diinginkan pada penggunaan EGFR-TKI pada pasien kanker paru jenis
adenokarsinoma.

1.3.2 Tujuan Khusus :


3

1. Untuk melihat factor demografi pasien kanker paru jenis adenokarsinoma


2. Untuk melihat angka kejadian yang tidak diinginkan pada penggunaan
EGFR-TKI/ Gefitinib pada pasien kanker paru jenis adenokarsinoma.

BAB II
4

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tirosine Kinase Inhibitor

2.1.1. Definisi

Penghambat tirosin kinase (TKI) adalah obat farmasi yang menghambat


tirosin kinase.Tirosin kinase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk aktivasi
banyak protein oleh kaskade transduksi sinyal.Protein diaktifkan dengan
menambahkan gugus fosfat ke protein (fosforilasi), sebuah langkah yang
menghambat TKI.TKI biasanya digunakan sebagai obat antikanker.

Penghambat tirosin kinase adalah keluarga molekul kecil atau peptida


dengan kemampuan menghambat baik sitosol atau reseptor tirosin kinase.
Penghambatan oleh agen kelas ini adalah melalui kompetisi langsung untuk
mengikat ATP ke tirosin kinase (genistein, lavendustin C, PP1-AG1872, PP2-
AG1879, SU6656, CGP77675, PD166285, imatinib, erlotinib, gefitinib),
penghambatan allosterik dari tirosin kinase (lavendustin A), penghambatan ligan
yang berikatan dengan reseptor tirosin kinase (misalnya, cetuximab),
penghambatan interaksi tirosin kinase dengan protein lain (misalnya, UCS15A,
p60-v-Src inhibitor peptida) atau destabilisasi tirosin kinase (misalnya,
herbimycin A dan radicicol). Mayoritas penghambat tirosin kinase saat ini tidak
digunakan secara klinis.Pengecualian penting (imatinib, cetuximab, erlotinib,
gefitinib) menunjukkan janji sebagai terapi "bertarget" dalam pengobatan kanker
di mana tirosin kinase spesifik telah terlibat. (Mary J. Cismowski, 2007)

2.1.2. Gefitinib

Gefitinib penghambat reseptor faktor pertumbuhan epidermal, saat ini


disetujui untuk digunakan pada pasien dengan KPKBSK lanjut yang telah gagal
kemoterapi sebelumnya atau yang tidak cocok untuk kemoterapi di> 30
negara.Dosis yang disetujui pada pasien dengan kanker paru non-sel kecil adalah
250 mg / hari.Efek samping yang paling umum adalah ruam, diare, jerawat, kulit
5

kering, mual dan muntah.Sebagian besar efeknya bersifat ringan sampai sedang
dan tidak memerlukan penghentian terapi.Tingkat keparahan dari banyak efek ini
terkait dengan dosis dengan efek tingkat 3 - 4 lebih mungkin pada dosis> 250
mg / hari.Efek samping yang paling parah adalah penyakit paru interstitial (ILD),
yang terjadi pada ∼ 1% pasien di seluruh dunia kecuali di Jepang di mana insiden
ILD adalah 2%.ILD berakibat fatal pada sekitar satu dari tiga kasus.Efek samping
paling umum yang terkait dengan kemoterapi, myelosupresi dan alopecia, tidak
umum terlihat dengan monoterapi gefitinib.(Robert J Cersosimo, 2006)

Gefitinib adalah agen antineoplastik yang disetujui di Jepang pada tahun


2002 dan oleh US FDA pada tahun 2003 untuk pengelolaan kanker paru sel non-
kecil lanjut (Wilmington, DE AstraZeneca, Inc,2003). Itu secara khusus
diindikasikan untuk pasien yang tidak menanggapi kemoterapi atau docetaxel
berbasis platinum. Indikasi di AS diubah pada Juni 2005 karena hasil uji coba
besar-besaran Fase III, Evaluasi Kelangsungan Hidup Iressa pada Kanker Paru
(ISEL), di mana 1692 pasien dengan kanker paru sel non-kecil lanjut yang telah
menerima 1 - 2 sebelumnya rejimen kemoterapi secara acak menerima gefitinib
250 mg / hari ditambah perawatan suportif terbaik dibandingkan dengan plasebo
plus perawatan suportif terbaik (Thatcher et al,2005). Tidak ada manfaat bertahan
hidup untuk pasien yang menggunakan gefitinib. Pelabelan AS, oleh karena itu,
diubah untuk menunjukkan obat sebagai monoterapi untuk terus digunakan pada
pasien dengan KPKBSK lanjut yang gagal berbasis platinum dan terapi docetaxel
dan yang mendapat manfaat dari atau telah mendapat manfaat dari obat
(Wilmington, DE AstraZeneca, Inc,2003). Meskipun ada perubahan dalam
indikasi obat saat ini di AS, gefitinib disetujui untuk digunakan pada pasien
dengan kanker paru sel non-kecil lanjut di 35 negara dan merupakan subjek dari
banyak penelitian terhadap banyak keganasan lainnya, termasuk kanker
kolorektal, mesothelioma, glioblastoma, kanker payudara, leher rahim, prostat,
ginjal, hati, kepala dan leher, lambung dan lain-lain (Govindan et al, 2005).

Gefitinib memberikan efek antineoplastiknya melalui penghambatan


reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) tirosin kinase.EGFR adalah
6

glikoprotein yang ditemukan pada permukaan sel epitel. Ini terdiri dari tiga
bagian: bagian ekstraseluler yang berfungsi sebagai reseptor untuk ligan
ekstraseluler, bagian transmembran, dan bagian protein kinase intraseluler.
Stimulasi reseptor mengaktifkan protein kinase intraseluler yang mengarah ke
fosforilasi sendiri.Gefitinib secara khusus menghambat fosforilasi intraseluler dari
reseptor.

2.1.3 Farmakokinetik

Gefitinib diserap dengan baik setelah pemberian oral, dengan


bioavailabilitas 60%. Level plasma puncak dicapai dalam 3-7 jam setelah
pemberian, dan kadar plasma steady-state dicapai dalam 7-8 hari.Gefitinib terikat
protein 90% dan memiliki volume distribusi 1400 L setelah pemberian
intravena.Ini dimetabolisme oleh sistem isoenzim sitokrom P-450 (CYP) di hati,
khususnya oleh isoenzim CYP3A4.Lima metabolit telah diidentifikasi, di mana
hanya metabolit Odesmethyl yang memiliki aktivitas dan hanya seperempat
potensi obat induk.Gefitinib terutama dihilangkan dalam tinja (86%), dengan
waktu paruh eliminasi 14-48 jam. (Swaisland HC, Smith R, Jones H et al, 2001)

Eliminasi ginjal menyumbang kurang dari 4% dari dosis yang diberikan.


Gefitinib diberikan dengan dosis oral 250 mg / hari selama 28 hari untuk 16
pasien dengan fungsi hati sedang dan 18 pasien dengan fungsi hati normal
(Twelves C, et al. 2002). Tidak ada perbedaan signifikan pada area di bawah
kurva konsentrasi-waktu plasma (AUC) , konsentrasi plasma puncak, atau kadar
plasma dalam kondisi stabil di antara kedua kelompok. Tingkat plasma keadaan
stabil dicapai dalam 8 hari pada kedua kelompok.Juga tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam efek samping antar kelompok.Hasil ini menunjukkan bahwa
modifikasi dosis mungkin tidak diperlukan pada pasien dengan gangguan hati
ringan sampai sedang.

2.1.4 Targeted Therapy


7

Gefitinib adalah agen antineoplastik baru yang telah menunjukkan


aktivitas pada pasien dengan KPKBSK lanjut yang tidak menanggapi rejimen
kemoterapi yang didasarkan pada platinum atau mengandung docetaxel atau
keduanya.Aktivitasnya sebagai agen lini kedua tampaknya sebanding dengan
docetaxel dan gemcitabine dan lebih unggul dari vinorelbine. Meskipun tidak
meningkatkan aktivitas agen lain ketika digunakan dalam rejimen kombinasi
untuk terapi lini pertama, itu memang mengurangi gejala kanker paru dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.

Profil dampaknya terutama terdiri dari diare dan ruam kulit, yang
keduanya biasanya ditoleransi dengan baik dan dapat dibalik.Pasien harus
dipantau secara ketat untuk tanda dan gejala disfungsi paru, yang bisa menjadi
tanda awal penyakit paru interstitial.Gefitinib memiliki keunggulan penyerapan
oral dan pemberian sekali sehari dan harus membantu kepatuhan, membatasi
kebutuhan rawat inap, dan mengurangi biaya administrasi.Beberapa rejimen lini
pertama ada untuk pasien dengan KPKBSK stadium lanjut atau metastatik
lokal.Jika rejimen ini gagal, docetaxel dan gefitinib adalah satu-satunya terapi lini
kedua dengan persetujuan pemasaran FDA untuk KPKBSK.Gefitinib juga aktif
sebagai agen lini ketiga pada pasien yang belum menanggapi terapi docetaxel lini
kedua.

2.1.5 Kejadian Tidak Diiginkan

Batas toksisitas dosis yang diidentifikasi dalam uji fase I adalah diare
kelas 3, terjadi pada dosis gefitinib harian 700 mg pada pasien yang menerima
obat selama 14 hari berturut-turut dari siklus 28 hari, siklus (Negoro S, Nakagawa
K, Fukuoka M et al, 2001) dan 800-1000 mg pada pasien yang menerima obat
setiap hari selama 28 hari berturut-turut.14,15 Sebagian besar efek samping
terlihat dengan dosis 250 atau 500 mg / hari itu ringan (grade 1-2) dan
diselesaikan setelah penghentian obat. Efek samping yang paling umum adalah
terkait dosis dan lebih mungkin terjadi dengan dosis 500 mg / hari. Efek samping
yang paling umum dilaporkan dengan dosis 250 dan 500 mg adalah diare, ruam,
8

jerawat, kulit kering, mual, muntah, pruritis, anoreksia, dan asthenia (Wilmington,
DE AstraZeneca, Inc,2003).

Efek samping yang dilaporkan kadang-kadang termasuk kelelahan,


peningkatan serum transaminase, stomatitis, nyeri tulang, dispnea, dan toksisitas
paru.Salah satu masalah paling kontroversial seputar pemberian gefitinib adalah
kemungkinan toksisitas paru.Perhatian utama adalah kemungkinan penyakit paru
interstitial (ILD), juga disebut sebagai alveolitis, pneumonitis, dan pneumonia
interstitial.

Peningkatan alanine aminotransferase (ALT) terjadi pada 12,6% pasien


yang menerima gefitinib 250 mg / hari dalam IDEAL 1 dan pada 23,5% yang
menerima 500 mg / hari [18]. Insiden peningkatan aspartate aminotransferase
(AST) masing-masing adalah 10,6 dan 22,7%. Sebagian besar peningkatan adalah
grade 1 - 2. Pada dosis 250 mg, peningkatan level 3 ALT adalah 1,9% dan tidak
ada peningkatan AST grade 3. Pada 500 mg / hari, ada insiden 4,7% dari grade 3
dan 0,9% insiden peningkatan grade 4 ALT dan 1,9% grade 3 dan 0,9%
peningkatan level AST. Satu pasien pada dosis 250 mg dan 3 pada 500 mg
menarik diri dari penelitian karena peningkatan enzim tingkat 3 - 4. Tiga pasien
mengalami peningkatan transaminase grade 3 dalam percobaan IDEAL 2 (Kris
MG, et al. 2003). Argiris et al. melaporkan penarikan satu pasien dari 29 yang
dirawat (3,4%) yang mengalami peningkatan kadar 3 - 4 tes fungsi hati pada dosis
gefitinib 250 mg / hari (Argiris, et al. 2004). Ada 3,2% kejadian peningkatan
transaminase di antara 31 pasien yang menerima gefitinib 250 mg / hari sebagai
bagian dari program penggunaan di Cina (Mu X-L, et al. 2004z).

Tingkat ILD tertinggi (2%) dilaporkan di Jepang, di mana obat tersebut


telah tersedia secara komersial sejak Juli 2002.Kekhawatiran tentang
pengembangan ILD menyebabkan produsen mengeluarkan peringatan
keselamatan kepada dokter tentang obat pada musim gugur 2002.ILD berakibat
fatal pada sekitar sepertiga pasien.Pada awal 2003, para pejabat Jepang
9

mengaitkan lebih dari 170 kematian dengan ILD yang berkaitan dengan gefitinib
(Schultz J.2003).

Frekuensi ILD yang dilaporkan di Amerika Serikat adalah 0,3% di antara


sekitar 23.000 pasien yang menerima obat sebagai bagian dari program akses
diperluas. Satu persen pasien (2 dari 209) di IDEAL 1 menderita ILD; satu pasien
sembuh, dan yang lainnya meninggal karena perkembangan penyakit.Ada 13
kasus gangguan paru pada peserta IDEAL 2, tetapi tidak ada yang dianggap
sebagai ILD atau obat yang diinduksi.Tidak ada toksisitas paru yang dilaporkan
dalam uji INTACT. Seorang peneliti senior untuk Cabang Obat Investigasi dari
National Cancer Institute melaporkan bahwa lebih dari 10.000 orang telah
menerima obat di Jepang pada awal tahun 2003, menunjukkan bahwa kejadian
penyakit paru terkait gefitinib sangat rendah. (Schultz J , 2003). Penyelidik
menambahkan bahwa pasien ini memiliki penyakit paru progresif yang serius dan
perkembangan kanker paru mereka dapat dikacaukan dengan pneumonia atau
mereka mungkin telah mengembangkan pneumonia atau pendarahan di paru, yang
sulit untuk didiagnosis dengan benar dengan rontgen dada Efek paru termasuk
dispnea, pneumonia, dan sindrom gangguan pernapasan telah dilaporkan dalam
beberapa percobaan agen tunggal gefitinib (Herbst RS, 2003). Dalam kebanyakan
kasus, para peneliti menyimpulkan bahwa tekanan paru terkait penyakit.
Herbstmelaporkan dua kasus masing-masing pneumonia dan sindr om gangguan
pernapasan di antara 69 pasien tetapi menyimpulkan bahwa tingkat 3 dan 4
dyspnea dan sindrom gangguan pernapasan terkait penyakit. Lima kasus yang
dideskripsikan sebagai pneumonia terkait kanker dilaporkan dalam percobaan
akses terbuka dengan label terbuka dengan 52 pasien yang dapat dievaluasi.27
Tidak satu pun dari pasien ini yang digambarkan menderita ILD. Toksisitas paru
nonspesifik (1,1% adalah grade 3-4) dideskripsikan pada 2,2% pasien dalam
percobaan akses-label terbuka dan diperluas dengan 80 pasien dengan riwayat
kemoterapi.

Inoue et al melaporkan pneumonia interstitial akut pada 4 (22%) dari 18


pasien yang menerima terapi gefitinib.Semua 4 menerima oksigen dan
10

kortikosteroid dosis tinggi; 2 pasien pulih, dan 2 meninggal karena kerusakan paru
progresif.Para pasien yang meninggal memiliki terapi radiasi dada sebelumnya
dan radiasi pneumonitis sebelum pemberian gefitinib.Salah satu pasien yang
selamat memiliki riwayat fibrosis paru ringan. Menurut Kementerian Kesehatan,
Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, 291 (1,66%) dari 17.500 pasien yang
menerima terapi gefitinib untuk KPKBSK mengembangkan dugaan cedera paru
akut atau pneumonia interstitial yang terkait dengan terapi gefitinib, dan 81 pasien
tersebut meninggal.

Gejala ILD mungkin termasuk dispnea, batuk, dan demam ringan, yang
dapat berkembang sangat cepat dan memerlukan rawat inap. Lima puluh tujuh
persen dari kasus terjadi pada pasien dengan riwayat kemoterapi sebelumnya,
31% pada mereka yang memiliki riwayat terapi radiasi, dan 12% pada mereka
yang tidak memiliki terapi sebelumnya. Pasien dengan fibrosis paru ideopatik
yang memburuk setelah pemberian gefitinib beresiko meninggal karena
ILD.Produsen telah menyarankan penyedia layanan kesehatan untuk menunda
pemberian gefitinib pada pasien yang mengembangkan gejala paru sampai
penyebab gejala diidentifikasi. Gefitinib harus dihentikan secara permanen jika
pneumonitis interstitial diidentifikasi Hematuria ringan dan reversibel dilaporkan
pada 3 dari 21 pasien yang menerima gefitinib 500 mg / hari; 1 dari pasien
menerima warfarin pada saat itu.98 Pabrik Gefitinib melaporkan bahwa beberapa
pasien yang menerima warfarin mengalami peningkatan rasio normalized
internasional (INR) atau perdarahan selama terapi gefitinib.1 Pasien yang
menggunakan warfarin harus dimonitor tanda-tanda perdarahan atau perubahan
pada INR mereka. Tiga kasus paronychia tipe granulasi periungual dilaporkan
pada pasien yang menerima gefitinib 250 mg / hari satu bulan sebelumnya.

2.1.6 Kejadian Tidak Diinginkan yang umum Terjadi pada Kulit Yang
Terkait Dengan Tki

Karena EGFR terlibat dalam pemeliharaan epitel (yaitu pertumbuhan


epidermis, diferensiasi, penyembuhan luka, dan migrasi keratinosit), EGFR sangat
11

penting dalam fisiologi dan perkembangan epidermis (yang terutama terdiri dari
keratinosit) (Melosky B, Leighl NB, Rothenstein J, et al.,2015). EGFR TKI
merusak pertumbuhan keratinosit , migrasi dan ekspresi kemokin, menghasilkan
rekrutmen sel inflamasi dan cedera kulit dengan menghambat jalur hilir EGFR,
seperti jalur protein kinase teraktivasi mitogen (MAPK) (Gambar 1).

Gambar 1. Mekanisme patogenetik dari penghambatan EGFR dalam reaksi


merugikan kulit EGFR: reseptor faktor pertumbuhan epidermal [Gambar warna
dapat dilihat di wileyonlinelibrary.com]

Meskipun tidak sepenuhnya dipahami secara mekanis, orang Asia telah


secara konsisten ditunjukkan memiliki kulit yang lebih sensitif dibandingkan
dengan Kaukasia dalam penelitian yang menyelidiki respons kulit terhadap
iritasi.Untuk alasan ini, kami mengharapkan perbedaan dalam manifestasi EGFR-
TKI yang diinduksi toksisitas kulit. Pada bagian ini, kami akan menggambarkan
KTD pada kulit terkait EGFR TKI yang umum terjadi seperti ruam, xerosis, lesi
paronikia dan kulit kepala yang ditunjukkan pada pasien Asia. Tabel 1 adalah
ringkasan waktu onset dan frekuensi KTD kulit yang terjadi secara umum yang
disebabkan oleh EGFR TKI generasi pertama dan kedua (Chen KL, et al.
2016).Karena data waktu onset untuk osimertinib tidak tersedia, kami hanya
melaporkan frekuensi KTD kulit.yang baru-baru ini terungkap dalam uji coba
AURA3 ( Mok TS, Wu YL, Ahn MJ, et al,2017).
12

Tabel 1. Waktu onset dan insidensi KTD kulit dan gastrointestinal dengan pengobatan
untuk kanker paru-paru non-sel kecil

KTD Gefitinib % Pasien


(n=607)
Onset waktu,
Median (hari)
Skin Rash/acne 37 66,2
Dry skin 31 23,9
Paronychia 101 19,4
Gastrointestinal Diarrhea - 46,6
Stomatitis - 17

1. Ruam papulopustular (acneiform)

KTD kulit yang berkaitan dengan EGFR TKI paling awal dan
paling umum adalah ruam jerawat.Erupsi umumnya berkembang melalui
empat fase yang berbeda (Abdullah SE, et al, 2012).Gambar 2

1. disestesia, eritema dan edema sedini 1-2 minggu perawatan


TKI EGFR generasi pertama dan kedua;
2. papula eritematosa dan pustula;
3. kerak purulen pada 3-6 minggu dan
4. telangiectasias. Pasien akan mengalami waxing dan
memudarnya lesi selama perjalanan klinis.

Lesi bisa terasa menyakitkan dan pruritus.Gejala biasanya teratasi


dalam waktu 4 minggu setelah EGFR TKI dihentikan; tetapi mungkin ada
resolusi parsial atau bahkan lengkap meskipun terapi EGFR TKI
dilanjutkan.Karena EGFR sangat diekspresikan dalam epitel sebaceous,
erupsi umumnya paling terkonsentrasi di daerah seboroik seperti kulit
kepala, wajah, leher, dada dan punggung atas.Daerah periorbital, telapak
tangan dan telapak kaki biasanya dihemat (Chanprapaph K, et al. 2014)
13

Gambar 2. Derajat Ruam papulopustular


[Gambar warna dapat dilihat di wileyonlinelibrary.com]

2. Xerosis

Diferensiasi keratinosit yang abnormal akibat EGFR TKI dapat


merusak penghalang epidermis, menurunkan loricrin, protein utama yang
membentuk perancah untuk epidermis. Dalam laporan ini, kami merujuk
pada Common Terminology Criteria for Adverse Events (CTCAE) v4.03
untuk penilaian xerosis, yang menggambarkan kulit kering yang meliputi
<10% tanpa eritema atau pruritus yang terkait, 10-30% dengan eritema /
pruritus dan membatasi aktivitas instrumental dari kehidupan sehari-hari
(ADL) dan> 30% dengan pruritus dan ADL perawatan diri terbatas untuk
kelas 1, 2 dan 3, masing-masing. Xerosis juga dianggap terkait dengan
EGFR inhibitor, yang mempengaruhi hampir semua pasien dengan derajat
variabel.Xerosis umumnya terjadi terlambat, setelah pasien menjalani
pengobatan anti-EGFR selama setidaknya 30-60 hari.Kondisi ini biasanya
mengikuti atau menyertai.oleh erupsi acneiform20 dan biasanya muncul
sebagai kulit kering, bersisik, gatal di bagian tubuh mana pun. Beberapa
pasien melaporkan kekeringan pada vagina dan perineum.Pasien dengan
xerosis dapat mengembangkan eksema asteatotik kronis yang merupakan
14

predisposisi infeksi sekunder dengan Staphylococcus aureus atau virus


Herpes Simplex (Ehmann LM, Ruzicka T, Wollenberg A, 2011).

Ada juga beberapa kasus kasus parah pulpitis sicca dengan


rhagades yang menyakitkan.

3. Paronychia

Antara 10 dan 15% dari pasien EGFR TKI generasi pertama dan kedua
memiliki paronikia; dan kondisi ini biasanya terjadi kemudian selama
perawatan (yaitu 4-8 minggu) (HeidaryN,NaikH, Burgin S.,2008) Paronychia
dinilai berdasarkan tingkat keparahannya sesuai dengan pedoman CTCAE
v4.03 seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 3.

Jempol kaki biasanya merupakan area pertama yang terkena, dan ketika
granuloma piogenik berkembang pada lipatan kuku, pasien dapat mengalami rasa
sakit yang hebat.Peradangan matriks kuku dapat menyebabkan onikolisis atau
onikodistrofi.

Gambar 3. Derajat Paronychia


[Gambar warna dapat dilihat di wileyonlinelibrary.com]

4. Scalp lesions

EGFR TKI telah dikaitkan dengan peradangan kulit kepala yang parah
dan rambut rontok (jaringan parut atau alopesia non-jaringan parut) (Hepper
DM, et a;. 2011). Dekavan Folliculitis adalah bentuk parah dari jaringan parut
yang melibatkan kulit kepala.20 Umumnya, 5-6% dari pasien
mengembangkan alopecia 2 –4 bulan setelah terapi dimulai, sedangkan
15

hirsutisme (keriting rambut dan kekakuan, hipertrikosis wajah, dan


trikomegali) dapat muncul 1-2 bulan setelah terapi dimulai. Jika trikomegali
melibatkan bulu mata, iritasi mata dan konjungtivitis dapat terjadi (Mitchell
EP,et al. 2007). Alopecia yang terkait dengan EGFR TKI terutama terdiri dari
folikel rambut catagen / telogen dan infiltrat inflamasi yang berbeda (Graves
JE, Jones BF, Lind AC, et al. 2006)

2.1.7 Kejadian Tidak Diinginkan yang umum padaGastrointestinal Terkait


Tki

Epitel skuamosa yang menutupi lidah, kerongkongan dan saluran


pencernaan dapat dipengaruhi oleh KTD yang disebabkan oleh defisiensi EGF
(Yang JC, et al.2013). Gejala gastrointestinal yang berhubungan dengan terapi
EGFR TKI seperti komplikasi oral dan diare akan dibahas pada bagian tinjauan
ini.

1. Komplikasi oral
Mukosa mulut dan stomatitis oral adalah EE yang paling umum
terkait EGFR TKI yang mempengaruhi selaput lendir saluran pencernaan
dan rongga mulut. Seorang pasien dengan mucositis oral mungkin
memiliki eritema yang luas atau stomatitis seperti aphthous (Lacouture
ME,et al. 2011). Pasien yang lebih tua dan pasien yang memiliki
kebersihan gigi yang buruk atau menggunakan gigi palsu lebih rentan
untuk mengembangkan komplikasi ini.Sebagian besar kasus stomatitis /
mucositis ringan, tetapi bisa sangat menyakitkan dan membuat makan dan
minum sulit bagi pasien.
2. Diare
EGFR TKI terkait diare disebabkan oleh adanya EGFR padasel
epitel, khususnya traktus GI (Hirsh V, 2011).Kami merujuk pada CTCAE
v4.03 untuk deskripsi berbagai tingkat diare. Secara singkat, tingkat 1, 2
dan 3 mengacu pada peningkatan kurang dari 4, 4 hingga 6 dan lebih dari
7 feses per hari, masing-masing. Tabel 1 menggambarkan frekuensi diare
antara berbagai TKI EGFR generasi pertama dan kedua.Namun,
mekanisme yang mendasari diare yang terkait dengan terapi EGFR TKI
16

masih kurang dipahami. Diusulkan bahwa sekresi klorida berlebih selama


pengobatan EGFR TKI menyebabkan bentuk sekretorik diare(Uribe JM,et
al.1996). Sebaliknya, diduga bahwa diare terkait EGFR TKI disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti perubahan motilitas usus; kerusakan pada
ruang bawah tanah kolon dan mikroflora usus yang berubah (Al-Dasooqi
N, et al. 2009).Dalam praktik rutin kami, kami mengamati bahwa afatinib
menyebabkan diare lebih awal selama pengobatan dibandingkan dengan
EGFR TKI generasi pertama. Lebih dari separuh pasien kami mengalami
diare dalam 2 hingga 3 hari terapi dan sekitar 70% pasien pada 14 hari.
Mu et al. melaporkan hasil dari administrasi penggunaan Gefitinib
di Cina. Sebanyak 31 pasien dengan kanker paru non-sel kecil yang telah
berkembang setelah kemoterapi sebelumnya menerima gefitinib dengan dosis
harian 250 mg. Efek samping yang paling umum adalah ruam bentuk jerawat
(67,7%), diare (35,5%) dan stomatitis (12,9%). Semua efek samping adalah grade
1 - 2 kecuali satu pasien yang mengalami ruam grade 3.

Gambar 4. Jalur reseptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal growthfactor


receptor / EGFR). Ligan, seperti faktor pertumbuhan epidermal (EGF), mengubah
faktor pertumbuhan (TGF) -a, atau yang lainnya, mengikat homo dan heterodimer
tirosin kinase (TK), sehingga terjadi aktivasi dan transfosforilasi reseptor. Ini
menciptakan docking situs untuk protein adaptor, Grb2 dan Sos, yang merekrut
17

Ras dan phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K), yang mengarah ke pembentukan


dua cabang jalur sinyal utama, Ras /MAPK dan PI3K / AKT. Jaringan ini
menghasilkan, antara lain, proliferasi, penghindaran apoptosis dan angiogenesis.
MAPK: seperti mitogen activatedprotein kinase.(Brambilla dan Gazdar, 2009)

2.1.8 PFS dan OS

Kemoterapi di Indonesia dimulai pada sekitar tahun 1975. Regimen yang


digunakan pada awalnya terdiri dari siklosfamid, adriamisin, vinkristin (CAV),
telah diberikan kepada penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil, sedangkan
untuk kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil dipakai siklosfamid,
adriamisin, 5 fluorourasil dan mitomisin C sampai tahun 80-an. Kemoterapi pada
kanker paru jenis karsinoma sel kecil menimbulkan perbaikan subyektif pada 75%
penderita, sedangkan pada kelompok penderita kanker paru jenis karsinoma bukan
sel kecil perbaikan subyektif dialami oleh 53,3%, kenaikan berat badan terlihat
ditemukan pada 16,7% dan respon obyektyif berupa pengecilan ukuran tumor
terlihat pada 13,3%. Data diatas menunjukkan bahwa kemoterapi tidak selalu
memperburuk keadaan pasien.

2.1.9 Angka Tahan Hidup dan Faktor Yang Mempengaruhi

Faktor utama yang menentukan prognosis kanker paru termasuk KPKBSK


adalah stage penyakit. Karakteristik lain juga sangat berperan pada ketahanan
hidup pasien seperti usia, jenis kelamin, tampilan status, dan tipe histopatologis.
Pada penelitian ini karakteristik yang diteliti selain tersebut diatas adalah jumlah
siklus pertama, jenis terapi EGFR dan mutasi gen EGFR. Hasil penelitian kami
mendapatkan bahwa masa tahan hidup pasien KPKBSK yang mendapatkan
erlotinib/gefitinib sebagai terapi lini kedua dalam 12 bulan (1 tahun) rata-ratanya
mencapai kurang lebih 10,9 bulan dengan range 10,1 bulan sampai 11,7 bulan,
survival rate 80,6%. Dalam masa tahan hidup 12 bulan, jumlah siklus dianggap
sebagai faktor yang paling bermakna meningkatkan ketahanan hidup pasien
dengan nilai p<0,05 (p=0,049). Namun demikian beberapa faktor lainnya juga
mempengaruhi ketahanan hidup pasien walaupun secara statistik tidak bermakna
18

(p>0,05) yaitu berdasarkan jenis kelamin rata-rata angka tahan hidup perempuan
lebih lama dibandingkan laki-laki (11,5 bulan vs 10,2 bulan), tidak merokok
kurang lebih 12 bulan dengan jenis adenokarsinoma lebih lama dibandingkan
nonadenokarsioma (KSS,KSB). Berdasarkan terapi, gefitinib mempunyai masa
tahan hidup lebih lama yaitu 11 bulan dengan mutasi EGFR positif lebih lama
dibandingkan wild type.
Dalam penelitian ini Masa Tengah Tahan Hidup (MTTH) adalah 18 bulan
(range 14-22 bulan) dengan ATH 6 bulan 93,5%, 1 tahun 80,6%, 2 tahun 38,7%, 3
tahun 19,4% dan ATH keseluruhan (overall survival) 6,5%. Secara keseluruhan,
faktor yang paling berpengaruh meningkatkan ketahanan hidup pasien pada
penelitian ini adalah jenis histologi dan tampilan status yang secara statistik
bermakna dengan nilai p<0,05. Jenis histologi adenokarsinoma memiliki MTTH
lebih lama dibandingkan non adenokarsinoma (20 vs 12,5 bulan) artinya
prognosis adenokarsinoma lebih baik dibandingkan KSS dan karsinoma sel besar
dengan nilai p log rank=0.000 (Breslow=0,001). Penelitian Jamaluddinsama
dengan penelitian Kim dkk yang mendapatkan MTTH pasien adenokarsinoma
lebih lama dibandingkan nonadenokarsinoma. Tampilan umum pasien dianggap
bermakna mempengaruhi peningkatan masa tahan hidup pasien dengan nilai
p=0,032. Rata-rata pasien pada penelitian kami mempunyai PS2 yaitu 22 pasien
walaupun PS1 mempunyai MTTH lebih lama yaitu 43 bulan.Pada penelitian kami
hampir semua pasien berada dalam stage lanjut dengan dominasi stage IV yaitu 23
pasien dan MTTH 18 bulan. Berdasarkan terapi EGFR-TKI, pada penelitian ini
didapatkan gefitinib 22 pasien dan erlotinib 9 pasien dengan mutasi EGFR ex 19
del lebih lama dibandingkan ex 21 L858R (17,5 vs 8 bulan).

2.1.10 Progression Free Survival (PFS) dan Faktor Yang Mempengaruhi


Progression free survival dihitung dari tanggal mulai pengobatan sampai
terjadinya progresif atau pasien mati atau saat follow up terakhir tidak terjadi PD
maka hal itu dianggap sebagai PD dan penelitian distop. Pada penelitian kami
tidak ditemukan perbedaan bermakna (p=0,471) pada PFS antara pasien yang
diterapi erlotinib (censor, 2) dan gefitinib (censor, 2) dengan median 6 vs 8 bulan
19

dan HR 0,91 (95%CI 0,889-1,093). Penelitian kami tidak jauh berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian Wu dkk (32) nmenyatakan tidak terdapat
perbedaan bermakna pada PFS antara 124 pasien yang diterapi gefitinib (censor
28) dan 100 pasien yang diterapi erlotinib (censor 25) (median, 7,6 vs 7,9 bulan;
HR, 0,89, 95%CI 0,66-1.21; p=0,473). Penelitian Kim (35) dkk menyatakan
Median PFS antara pasien yang diterapi gefitinib (4,9 bulan, 95%CI 1,3-8,5
bulan) dengan yang diterapi erlotinib (3,1 bulan, 95%CI 0,0-6,4) jika
dibandingkan maka secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna pada
PFS (p=0,336). Demikian pula berdasarkan mutasi EGFR, stage dan jumlah siklus
kemoterapi pertama tidak ditemukan perbedaan bermakna pada PFS (p>0,05).
Berdasarkan mutasi EGFR ex19 delmempunyai PFS lebih lama dibanding ex 21
L858R dan wild type (7 vs 6 vs 3 bulan) walaupun tidak bermakna secara analisis
statistik. Penelitian yang hamper sama oleh Lee dkk.36 menyatakan bahwa
median PFS pada pasien adenokarsinoma dengan mutasi positif lebih lama
dibandingkan dengan mutasi negatif (6,3 vs 2,8 bulan) tetapi tidak bermakna
dengan analisis mutlivariat. Hal yang berbeda ditemukan oleh penelitian Wu
dkk.32 menyatakan PFS secara signifikan lebih lama pada 146 pasien (censor,40)
yang disertai mutasi EGFR daripada 78 pasien (censor,13) tanpa mutasi EGFR
(median, 10,5 bulan vs 2,5 Efikasi dan..., Jamaluddin M , FK UI, bulan, HR,0,48;
95%CI, 0,35-0,66; p=0,001). Penelitian Sun dkk.47 menyatakan bahwa pasien
KPKBSK di Korea didapatkan pasien dengan mutasi EGFR ex 19deletions
mempunyai PFS lebih lama dibandingkan dengan mutasi EGFR L858R (9,5 vs
7,7 bulan) walaupun diperlukan sampel pasien yang lebih besar untuk
mengkonfirmasi secara statistik. Progression free survival (PFS) berbeda
bermakna pada pasien dengan perbedaan jenis kelamin dan tampilan status
(p<0,005). Berdasarkan jenis kelamin perempuan mempunyai PFS lebih lama
dibandingkan laki-laki (median 10 bulan vs 3,5 bulan, HR 4, 95%CI 2,5-4,85; p=
log rank 0,044; Breslow 0,017). Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Kim
dkk.35 menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan PFS secara statistik
berdasarkan jenis kelamin walaupun PFS perempuan lebih lama dibandingkan
laki-laki (4,30 vs 2,60 bulan; p=0,151; HR 0,792). Penelitian Wu dkk.32 juga
20

mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada PFS antara laki-laki
dan perempuan tetapi median PFS laki-laki lebih lama dibandingkan perempuan
(9,8 vs 7,6 bulan). Berdasarkan tampilan status (1,2,3), didapatkan perbedaan
bermakna PFS secara statistik dengan tampilan status 1 PFS lebih lama
dibandingkan PS 2 atau 3 (median 20 vs 8 vs 2 bulan; HR 0,71, 95%CI 0,47-7,01;
p=0,043). Hampir sama dengan penelitian Wu dkk.32 yang menyatakan bahwa
perbedaan bermakna secara statistik pada PFS tampilan status (0,1,2,3 atau 4)
dengan nilai p=0,0001 (median 7,4 vs 9,8 vs 4,6 vs 1,3 vs 2,8 bulan). Berbeda
dengan penelitian Kim dkk35 bahwa tidak didapatkan perbedaan bermakna pada
PFS PS 0-1 dan ≥2 (median 3,80 vs 4,30 bulan; HR 0,773; p=0,054).
Penelitian J.Cadranel di Perancis tahun 2012, dimana di antara 522 pasien,
87% berkulit putih, 32% perempuan, dan 18% tidak pernah merokok, dengan
65% mengalami adenokarsinoma. Data biologis tersedia untuk 307 pasien,
menunjukkan 44 mutasi EGFR (14%) dan 42 KRAS (14%) mutasi. PFS median
adalah 2,4 bulan (rentang interkuartil, 1,4–4,6) dan median OS 5.6 bulan (rentang
interkuartil, 2.2–14.0). Faktor-faktor terkait secara independen dengan PFS adalah
status kinerja 1 atau 2 hingga 3 (rasio bahaya [SDM] = 1,5, interval kepercayaan
95% [CI] 1,1–1,9; dan SDM = 2.3, CI 1.7–3.1, masing-masing; p<0,001);
sebelumnya atau saat ini status perokok (HR = 1.8, CI 1.4–2.4 dan 2.0, CI 1.4–
2.8, masing-masing; p<0,001); histologi nonadenokarsinoma (sel skuamosa:
SDM = 0,9 CI 0.7–1.2]; lainnya: SDM = 1.6, 1.3–2.1; p<0,001); setidaknya dua
meta situs statis (HR = 1.3, CI 1.1–1.6 dan 1.6, CI 1.3–2.1, masing-masing;
p<0,001); kemoterapi berbasis taxane sebelumnya (HR = 1.3, CI 1.0–1.3, p =
0,01); non-putih (HR = 0,7, CI 0,5-0,9, p = 0,009). Serupa hasil ditemukan untuk
OS. Selain itu, mutasi EGFR dan KRAS secara signifikan terkait dengan PFS (HR
= 0,5, CI 0,3-0,7 dan HR = 1.2, CI 0.8-1.8, masing-masing, versus tidak ada
mutasi; LR p = 0,001).
Dalam populasi keseluruhan, 434 kematian dan 481 peristiwa terjadi
selama masa tindak lanjut. Median PFS adalah 2,4 bulan (IQR, 1,4-4,5), dengan
tingkat PFS 6 bulan menjadi 21% (95% CI, 17-24) (Gbr. 2 A ). PFS median
adalah 3,4 (IQR, 1,7-10,4), 2,4 (IQR, 1,3-5,0), dan 2,3 (IQR, 1,4-3,6) bulan pada
21

pasien menerima erlotinib sebagai terapi lini pertama, kedua, dan ketiga atau lebih
banyak, masing-masing. OS median adalah 5,6 bulan (IQR, 2,3-14,6 bulan),
dengan tingkat OS 1 tahun menjadi 31% (95% CI, 27-35) (Gbr. 2 A ). Ketika
dianalisis dengan garis terapi, median OS adalah 8.2 (IQR, 2,6 – tidak tercapai),
6,7 (IQR, 2,4-17,8), dan 4,5 (IQR, 2,1–12.1) bulan, masing-masing. Penyebab
utama kematian adalah kanker(n = 384), dengan kematian lain yang terkait
dengan penyakit intercurrent ( n =14 untuk paru dan n = 4 untuk jantung),
toksisitas kemoterapi ( n = 2), penyebab lain ( n = 15), dan tidak ditentukan ( n =
15).Status EGFR dan KRAS berdampak secara independen hasil pada pasien
kanker paru non-sel stadium lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI.Namun, status
EGFR mempengaruhi PFS dan OS sedangkan KRAS hanya berdampak pada
OS.Temuan-temuan ini mendukung penggunaan luas status EGFR untuk
pemilihan pasien sebelum EGFR-TKI terapi.Peran mutasi KRAS masih harus
dijelaskan.
Copyright © 2012 by the International Association for the Study of Lung Cancer
Journal of
Thoracic Oncology • Volume 7, Number 10, October 2012 Evaluation of EGFR
Mutation Status
the recommendations for EGFR analysis as a standard of care for first-line EGFR
therapy in patients with advanced KPKBSK (especially in the case of
adenocarcinoma histology).

Penelitian Fukuoka tidak ada efek pengobatan diferensial untuk PFS oleh
EGFR pro-ekspresi tein (pengobatan dengan interaksi status ekspresi protein
EGFR mutasi. PFS secara signifikan lebih lama untuk gefitinib versus
Karboplatin / paklitaksel pada pasien dengan ekspresi protein EGFR–tumor
positif (HR, 0,73; 95% CI, 0,55 hingga 0,96; P 0,024; n 266). Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam PFS antara perawatan di pasien dengan tumor ekspresi
EGFR protein-negatif (HR, 0,97; 95% CI, 0,64 hingga 1,48; P .893; n 99). ORR
serupa antara gefitinib dan Karboplatin / paklitaksel pajak kelompok untuk pasien
dengan baikEPRFRpenyataanpesan positif (51,5% v 41,8%; OR, 1,49; 95% CI,
0,92-2,42; P.109) atau EGFR ekspresi protein-negatif (34,0% v 26,1%; OR, 1,44;
22

95% CI, 0,60 ke 3.47; P .415) tumor. Tidak ada perbedaan signifikan dalam OS
untuk gefitinib dibandingkan Karboplatin / paklitaksel pada pasien dengan
ekspresi protein EGFR–positif (masing-masing 107 dan 105 peristiwa; SDM,
1,05; 95% CI, 0,80 hingga1.37; P.731) atau ekspresi protein EGFR – negatif (46
dan 37=acara masing-masing; SDM, 1,09; 95% CI, 0,70 hingga 1,70; P .692)
tumor.

2.1.11 Mengaktifkan Jenis Mutasi EGFR


Dari 261 pasien dengan tumor positif-mutasi EGFR , 53,6% (n 140)
memiliki tumor dengan penghapusan 19 ekson, dan 42,5% (n 111) memiliki
mutasi 21 L858R ekson (Suplemen Data); demografi adalah umumnya serupa
antara kelompok-kelompok ini (Suplemen Data). Dalam analisis post hoc, PFS
secara signifikan lebih lama untuk gefitinib versus Karboplatin / paklitaksel pada
kedua penghapusan ekson 19 (HR, 0,38; 95% CI, 0,26 hingga 0,56) dan mutasi
ekson 21 L858R (HR, 0,55; 95% CI, 0,35 hingga 0,87; Gambar 5A dan 5B)
subkelompok. Analisis dalam pengobatan dan menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan dalam PFS dengan gefitinib di ekson 19 versusexon21L858R(HR, 0,78;
95% CI, 0,51 hingga 1,19). ORR secara signifikan lebih tinggi dengan gefitinib
(84,8%) dibandingkan Karboplatin / paklitasel (43,2%; OR, 7,23; 95% CI, 3,19
hingga 16,37) dalam exon19deletionssubgroup dan lebih tinggi (tapi tidak
signifikan secara statistik) di subkelompok L858R (60,9% v 53,2%; OR, 1,41;
95% CI, 0,65 hingga 3,05).
Gefitinib menunjukkan OS yang mirip dengan kemoterapi doublet tanpa
signifikan perbedaan nyata pada populasi keseluruhan atau pada pasien dengan
EGFR status mutasi positif atau mutasi negatif EGFR .Yang penting perbedaan
terkait pengobatan untuk PFS dan ORR menurut EGFR status mutasi tidak
diamati untuk OS.Meskipun mungkin ada faktor kontribusi lainnya, perawatan
selanjutnya yaitu pasien yang diterima kemungkinan besar telah mengacaukan
efek sebenarnya dari inisial, pengobatan lini pertama acak pada OS. Dari mutasi
EGFR subkelompok positif secara acak ditugaskan untuk Karboplatin /
paklitaksel, 64,3% menerima EGFR TKI pasca penghentian. Lebih sedikit pasien
23

dengandiketahui status mutasi yang diberikan secara acak ke Karboplatin /


paklitaksel menerima EGFR TKI (47,5%) dibandingkan dengan pasien dengan
EGFR status mutasi positif (64,3%), yang berpotensi berkontribusi dengan tren
numerik yang mendukung gefitinib dalam subkelompok ini,statistiksignifikansi
pada tingkat tradisional 5% ( P.05) tidak dapat diklaim. (Fukuoka M, Yano S,
Giaccone G, et al: Multi institutional randomized phase II trial of gefitinib for
previously treated patients with advanced non- small-cell lung cancer (The
IDEAL 1 Trial) [corrected]. J Clin Oncol 21:2237-2246, 2003)

Menurut penelitian Suzuki untuk pasien dengan mutasi reseptor faktor


pertumbuhan epidermal (EGFR) cancer kanker paru positif, kanker paru
hubungan antara dosis atau lamanya pengobatan dengan inhibitor tirosin kinase
(TKI) dan keseluruhan kelangsungan hidup masih belum jelas.Di sini, kami
menganalisis data klinis dari 39 pasien yang didiagnosis dengan EGFR mutasi
positif kanker paru non sel kecil dan diobati dengan TKI, tetapi kemudian
meninggal. Beberapa parameter diukur dalam penelitian ini: kelangsungan hidup
keseluruhan; durasi terapi TKI pertama, kedua, dan keseluruhan; intensitas TKI
pertama (dosis aktual / dosis normal); dan angka TKI (durasi terapi TKI
keseluruhan / kelangsungan hidup keseluruhan). Tingkat respons terhadap terapi
TKI adalah 50%, dan kelangsungan hidup rata-rata adalah 553 hari. Setelah terapi
TKI gagal, 38,5% pasien ditantang dengan TKI. Kami mengamati hubungan
moderat [r = 0,534, 95% Interval rahasia (CI) = 0,263 hingga 0,727, P <0,001]
antara durasi terapi TKI keseluruhan dan keseluruhan bertahan hidup. Namun,
kami tidak menemukan hubungan antara kelangsungan hidup secara keseluruhan
dan intensitas TKI pertama (r = 0,073, 95% CI = -0.380 hingga 0.247, P = 0.657)
atau tingkat TKI (r = 0.0345, 95% CI = -0.284 hingga 0.346, P = 0.835). Non 鄄
pasien kanker paru sel kecil dengan mutasi tum tumor positif tetap menggunakan
terapi TKI untuk, rata-rata, 33% dari keseluruhan waktu bertahan hidup.Temuan
ini menunjukkan bahwa pasien dengan mutasi EGFR tum tumor positif tidak
boleh menggunakan TKI.Kata kunci inhibitor tirosin kinase, gefitinib, erlotinib,
kanker paru non sel kecil, mutasi reseptor faktor pertumbuhan epidermal.Kanker
24

paru adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia.Reseptor faktor


pertumbuhan epidermal, mutasi adenokarsinoma terlihat pada lebih dari 30%
orang Asia.Terapi penargetan molekuler untuk pasien ini dibuat dampak dramatis
dalam terapi. Pasien dengan sel non kecil kanker paru(KPKBSK) dengan mutasi
menunjukkan kelangsungan hidup bebas progres superior oleh tirosin lini pertama
inhibitor kinase (TKI) dibandingkan pengobatan tradisional
kemoterapi platinumdoublet dalam beberapa uji klinis [14] .Beberapa kelompok
studi melaporkan bahwa tantangan TKI adalah bermanfaat bagi pasien yang
awalnya merespons TKI [5,6] . Di studi Jepang sebelumnya, kelangsungan hidup
secara keseluruhan meningkat pada pasien dengan kanker mutasipositif setelah
pengobatan dengan gefitinib [7] .Namun, untuk yang terbaik dari kami
pengetahuan, hubungan antara durasi atau dosis TKI (termasuk pengurangan dosis
dan tantangan ulang) dan kelangsungan hidup secara keseluruhan belum
diselidiki. Tantang kembali TKI setelah agen sitotoksik atau kelanjutan TKI
setelah perkembangan penyakit sering terlihat secara praktis
menggunakan.Namun, masih belum diketahui apakah demikian administrasi
untuk pengendalian penyakit menguntungkan kelangsungan hidup.Dalam studi
retrospektif ini, kami berusaha mengklarifikasi hubungan antara total administrasi
TKI dan keseluruhan kelangsungan hidup pada pasien dengan KPKBSK
mutasipositif.
Pada penelitian Zhang telah banyak dibuktikan bahwa kemanjuran
penghambat reseptor factor pertumbuhan-tirosin kinase epidermal (EGFR-TKIs)
lebih unggul daripada kemoterapi sitotoksik pada pasien kanker paru sel non-kecil
lanjut (KPKBSK) mutasi EGFR sensitif.Namun, pertanyaan apakah kemanjuran
EGFR-TKI berbeda antara penghapusan exon 19 dan mutasi exon 21 L858R
belum dijawab secara statistik.Data subkelompok pada rasio bahaya (SDM) untuk
kelangsungan hidup bebas perkembangan (PFS) dari studi korelatif diekstraksi
dan disintesis berdasarkan model efek acak. Perbandingan hasil antara mutasi
spesifik diperkirakan melalui metode tidak langsung dan langsung, masing-
masing. Sebanyak 13 studi pasien KPKBSK lanjut dengan perubahan 19 atau 21
ekson yang menerima EGFR-TKI lini pertama dimasukkan. Berdasarkan data dari
25

enam uji klinis untuk meta-analisis tidak langsung, dikumpulkan HRTKI /


kemoterapi untuk PFS adalah 0,28 (95% CI 0,20-0,38, P, 0,001) pada pasien
dengan 19 penghapusan ekson dan 0,47 (95% CI 0,35-0,64, P, 0,001) pada pasien
dengan exon 21 L858R mutasi. Perbandingan tidak langsung mengungkapkan
bahwa pasien dengan penghapusan ekson 19 memiliki PFS lebih lama daripada
mereka dengan exon 21 L858R mutasi (HR19 penghapusan exon / exon 21
L858R mutasi = 0,59, 95% CI 0,38-0,92; P = 0,019). Selain itu, meta-analisis
langsung menunjukkan hasil yang serupa (HR19 exon delesi / exon 21 L858R
mutasi = 0,75, 95% CI 0,65 ke 0,85; P, 0,001) dengan menggabungkan tujuh
penelitian lain. Untuk pasien KPKBSK lanjut, penghapusan exon 19 mungkin
terkait dengan PFS yang lebih lama dibandingkan dengan L858.

2.1.12 Toksisiti terapi EGFR dan faktor-faktor yang mempengaruhi

Pada penelitian yang dilakukan Kim dkk, Lee dkk, atau Shepperd dkk
tidak ditemukan toksisiti hematologi terapi EGFR sebagai terapi lini kedua.Pada
penelitian kami toksisiti hematologi terapi EGFR-TKI terbanyak adalah anemia
45,2% dengan derajat toksisiti 1-2, diikuti leukopenia 1 pasien (3,2%) derajat 1
dan tidak ditemukan kejadian trombositopenia. Pada penelitian Jamaluddin
didapatkan toksisiti nonhematologi yang paling sering yaitu pada erlotinib
didapatkan mual 100% derajat 1-2, gatal dan jerawat 77,8% derajat 1-2, ruam/rash
dan kulit kering masing-masing 66,6% derajat 1-2. Kemudian diikuti muntah dan
nyeri 33,3% derajat 1-2 sedangkan diare (33,3%), peningkatan OT/PT (11,1%),
neuropati (22,2%) dan alopesia (55,6%) derajat 1. Penelitian Shepherd dkk
mendapatkan efek toksisiti erlotinib derajat 1-5 yaitu rash 15,6%, mual 8,2%,
muntah 5,1%, diare 11,3% dan pada penelitian ini didapatkan hampir semua
toksisiti nonhematologi derajat 3-5. Penelitian Lee dkk mendapatkan efek toksisiti
erlotinib sebagai terapi lini kedua yaitu rash derajat 1-3 72,9%, kulit kering derajat
1-2 20,9%, mual 4,2% derajat 1 dan tidak terdapat muntah, alopesia derajat 1
2,1% serta neuropati 6,3%. Efek toksisiti nonhematologi gefitinib sebagai terapi
lini kedua pada penelitian kami adalah tersering mual 80,6% derajat 1-2, gatal
26

77,4% derajat 1-2, jerawat 74,2% derajat 1-3, kulit kering 71% derajat 1-3,
alopesia 71% derajat 1-2, ruam 67,7% derajat 1-3, diare 58,1% derajat 1-3 dan
neuropati derajat 1-2 32,3%. Sedikit berbeda dengan penelitian Lee dkk yang
mendapatkan rash 62,5% derajat 1-3, sedangkan efek lain hanya derajat 1-2 yaitu
kulit kering 16,7%, diare 33,4%, mual 14,6% dan muntah 2,1% derajat 1,
neuropati derajat 1-2 8,4%. Pada penelitian kami tidak tidak diketahui atau tidak
dinilai adanya kelainan ILD baik dengan terapi gefitinib maupun erlotinib yang
sama dengan penelitian Lee dkk.Sedangkan pada penelitian Shepperd dkk.37
didapatkan kelainan ILD 0,6% dari 485 pasien yang mendapatkan terapi erlotinib.
Kelainan paranokia tidak didapatkan pada penelitian kami. Hal ini berbeda
dengan penelitian Lee dkk.36, yang mendapatkan paranokia derajat 1-2 10,4 pada
terapi gefitinib dan 8,3% derajat 1 dengan terapi erlotinib.

2.1.13 KEMOTERAPI

Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan pemberian bahan kimia


(sitostatika) yang menghambat pertumbuhan sel kanker.Kemoterapi untuk kanker
paru harus berdasarkan eliminasi sel-sel tumor dengan sedikit efek yang
merugikan terhadap jaringan normal.Sel kanker tumbuh potensial lebih cepat
daripada jaringan normal yang menghasilkan sel itu. Karena itu zat-zat
penghambat pertumbuhan dapat memperlambat progresiviti proses penyakit.

2.1.14 Mekanisme Kerja Obat Kanker

Kemoterapi menyerang jaringan kanker pada tingkat selular untuk


menghambat atau menghentikan proses replikasi sel pada proses siklus sel. Obat-
obat anti kanker yang digunakan mengganggu proses pembuatan DNA pada siklus
sel sebagai alami pembentukan sel. Siklus sel yang terjadi pada sel kanker sama
dengan sel normal lainnya hanya berbeda pada kecepatan putran (cycles) sehingga
sel kanker bertambah dengan cepat dan meningkatkan kemampuan invasi dan
bermetastasis lewat pembuluh darah dan /atau kelenjar getih bening. Kaitan antara
obat anti kanker dengan siklus sel membagi mekanisme kerjanya dalam kelompok
27

obat yang bekerja spesifik pda fase siklus sel tertentu yaitu obat dengan aktivitas
utama pada fase tertentu saja (schedule dependent) atau kelompok non spesifik
pada fase siklus sel yaitu obat yang secara signifikan bekerja pada beberapa fase
dalam siklus sel (dose dependent).

GAMBAR SIklus Sel


Fase…..

Gambar Siklus sel


(https://www.tes.com/lessons/yt21BOJEshZqIg/cell-cycle-and-cell-division)

Gangguan pada saat sel kanker memasuki fase tertentu (check point) akan
menahan proses di fase tertentu menunggu terjadi perbaikan karena kemampuan
remanagement untuk pembentukan sel kanker baru yang diinginkan. Jika proses
perbaikan tidak terjadi, akan berlangsung pengaktifan proses apoptosis
(progammed cell death). Rangkaian ini menyebabkan terjadinya perusakan
pembentukan DNA dan pada akhirnya akan membunuh sel kanker, mencegah
pertumbuhan jaringan dan mencegah metastasis.

2.1.15 Rejimen/Panduan Obat untuk Kanker Paru


28

Kemoterapi untuk kanker paru menggunakan beberapa obat antikanker.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia merekomendasikan kemoterapi paduan oabt
kanker berbasis platinum dengan 2 macam obat (platinum based, doublet
regimen). Rejumen berbasis platinum lebih dipilih daripada kombinasi berbasis
nonplatinum karena lebih superior dalam hal response rate dan angka tahan hidup
sedangkan kemoterapi kombinasi dengan nonplatinum digunakan bila ada kontra
indikasi terhadap rejimen berbasis platinum. Kemoterapi yang direkomendasikan
untuk tampilan skala WHO 0 - 2 adalah kombinasi dua obat. Rejimen kemoterapi
lini pertama untuk kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK)
adalah kombinasi Karboplatin/sisplatin dengan obat anti-kanker generasi ke-
3 yaitu gemsitabin, paklitaksel, dosetaksel dan vinorelbin. Berbagai hasil
penelitian mendapatkan bahwa respons terapi berbagai rejimen yang digunakan
hampir sama. Overall respons rate keempat rejimen lini pertama itu berkisar
antara 17-22%. Angka tahan hidup yang merupakan dasar efektifitas rejimen
kombinasi Karboplatin/sisplatin dengan keempat obat anti-kanker generasi ke-3
ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda.

2.1.16 Indikasi, Waktu Pemberian Kemoterapi dan Dosis Obat

Kemoterapi hanya dibenarkan untuk pasien kanker paru yang telah didapat
kepastian diagnosisnya, yaitu diketahui jenis histologisnya melalui pemeriksaan
patologi anatomik. Kemoterapi merupakan salah satu modaliti utama terapi
kanker paru terutama untuk kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) dan
kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut atau stage
awal tetapi tidak cukup toleransinya untuk tindakan bedah karena berbagai sebab
(unoperable). Kemoterapi dapat diberikan untuk semua stage kanker paru
meskipun harus diingat pada KPKBSK stage awal (stage I dan II) pengobatan
bedah memberikan angka tahan hidup lebih panjang.

2.1.17 Evaluasi Toksisiti Kemoterapi


29

Obat-obat anti kanker tidak hanya bekerja pada sel kanker tetapi juga pada
sel normal terutama pada sel yang tumbuh cepat sehingga menyebabkan
munculnya toksisitas yang perlu mendapat perhatian khusus. Toksisitas obat
terbagi atas tpksisitas hematologis dan nonhematologis yang dinilai pada 2-3 hari
sebelum pemberian kemoterapi siklus berikutnya. Berat ringannya toksisitas
menurut kriteria WHO terbagi atas grade 0-4. Grade 3 dan 4 termasuk dalam
toksisitas berat dan perlu dipertimbangkan untuk menunda penggunaan obat
antikanker dengan rejimen kemoterapi yang digunakan.
Kemoterapi di indonesia dimulai pada sekitar tahun 1975. Regimen yang
digunakan pada awalnya terdiri dari siklofosfamid, adriamisin, vinkristin (CAV),
telah diberikan kepada penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil dipakai
siklofosfamid, adriamisin, 5 fluorourasil dan mitomisin C sampai tahun 80-an.
Kemoterapi pada kanker paru jenis karsinoma sel kecil menimbulkan perbaikan
subyektif pada 75% penderita, sedangkan pada kelompok penderita kanker paru
jenis karsinoma bukan sel kecil perbaikan subyektif dialami oleh 53,3%, kenaikan
berat badan terlihat ditemukan pada 16,7% dan respon obyektif berupa pengecilan
ukuran tumor terlihat pada 13,3%. Data diatas menunjukkan bahwa kemoterapi
tidak selalu memperburuk keadaan pasien.
Penelitian kurniajaya 1992 (dikutip dari) melaporkan ketahanan hidup
penderita kanker paru yang hanya mendapat paduan obat CAP II (Siklofosfamid,
Adriamisin dan Sisplatin), untuk KPKBSK menghasilkan ketahanan hidup 1
tahun sebesar 15% dan 21 bulan 8%, masa tengah tahan hidup 5,3 bulan. Panduan
obat lain untuk KPKBSK, yakni 5 Fluorourasil, Adriamisin, dan Mitomisin C
yang diberikan setiap 59 hari menghasilkan 32% ketahan hidup 1 tahun dan 11%
penderita hidup sampai 15 bulan, masa tengah tahan hidup ialah 5,2 bulan.
Paduan obat Ifosfamid dan Mitomisin C telah diuji pada penderita kanker
paru jenis karsinoma bukan sel stage III dan IV di Rumah Sakit Persahatan.
Setelah minimal diberikan 3 seri dengan interval 4 minggu, perbaikan klinis
terlihat pada 30%, angka tahan hidup 1 tahun ialah 70% dan masa tengah tahan
hidup ialah 14 bulan.
30

Sejak tahun 1994 Paklitaksel dikombinasikan dengan Karboplatin mulai


digunakan di RS Persahabatan, Kanker Dharmis dan rumah-rumah sakit lain
seperti RS Pertamina. Hasil pengamatan retrospektif menunjukkan manfaat
berupa respon perbaikan obyektif pada 63% sedang masa tahan hidup ialah 15
bulan. Beberapa pasien masih hidup 22 dan 23 bulan setelah menyelesaikan
pengobatan selama 6 siklus.
Supriadi melaporkan angka tahan hidup 1 tahun pasien KPKBSK
nonskuamosa yang mendapat kemoterapi lini pertama dengan Karboplatin dan
Etoposid adalah 26,7%. Angka tahan hidup 1 tahun dengan Karboplatin dan
Paklitasel 14,6% dan Karboplatin dan gemsitabin sebesar 31,6%.
Mayasari melaporkan hasil pengobatan dengan berbagai paduan dengan
sitosta lini pertama berbasis platamin, yakni overal survivalrate pada subjek
karsinoma skuamosa adalah 330 hari, sedang adekarsinoma 341 hari. One year
survival rate pada kelompok KKS dan adenokarsinoma ialah 47% sedangkan
kurang dari 1 tahun sebesar 53%.
Nazaruddin membandingkan respons rate dan respons klinis pasien
KPKBSK terhadap kemoterapi regimen Karboplatin+Gemsitabin (KG), regimen
Karboplatin+Paklitaksel (KP) dan regimen Karboplatin+Etoposid (KE). Regimen
KG menghasilkan respons rate dan respons klinis sebesar 39,5% dan 92,1%, lebih
baik daripada kemoterapi lainnya, sedangkan time to progression dengan KG
adalah 18 minggu dan KP 21 minggu, sedangkan KE hanya 8 minggu.
Kemoterapi dapat merupakan pilihan bagi adenokarsinoma paru dengan
mutasi EGFR di ekson 20 T790M primer, seperti yang diteliti oleh Dewanti di
Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan. Ia menemukan frekuensi
mutasi EGFR di ekson 20 T790 primer sebesr 3,8%, dengan kemoterapi
konvensional (Karboplatin+Paklitaksel) dengan/tanpa radioterapi diperoleh angka
ketahanan hidup 1 tahun sebesar 35% dan pada 990 hari angka ketahanan hidup
pasien sebesr 20%.
Penelitian Marlina menilai respon subyektif dan tpksiti pasien KPKBSK
terhadap kemoterapi regimen Sisplatin+Etoposid. Hasilnya menunjukkan respon
subyektif lebih banyak menyertai pasien dengan stable disease (60%). Regimen
31

ini menghasilkan respon obyektif berupa partial response pada 8,6% pasien dan
stable disease pada 71,4% (overall respone rate 8,6% dan clinical respone rate
80%.
Sisplatin dipercaya termasuk senyawa platamin yang lebih toksik, namun
hal tersebut tidak terbukti pada penelitian Marlina yang menggunakan kemoterapi
Sisplatin+Etoposid untuk KPKBSK. Toksitasi non-hematologi (alopesia dan
gastrointestinal) dan toksiti hematologi (anmeia dan leukopenia) umumnya hanya
derajat 1-2 yang rata-rata mulai terjadi pada minggu pertama setelah kemoterapi
dilakukan.
Gemsitabin dikatakan mempunyai efek samping trombositopenia yang
mengkhawatirkan.Nazaruddin membandingkan regimen Karboplatin + gemsitabin
(KG), Karboplatin + Paklitaksel (KP) dan Karboplatin + etoposid (KE). Angka
kejadian trombositopenia akibat regimen kemotrapi kombinasi KG adalah 34,2%
lebih tinggi daripada regimen KP (5,2%) maupun KE (5,3%). Terdapat kolerasi
antara trombositopenia dengan perdarahan pada ketiga regimen kemotrapi,
sedangkan pada regimen KG tidak terdapat hubungan antara waktu terjadinya
trombositopenia pada pemberian gemsitabin pada hari ke-1 dan hari ke-8.
Perdarahan akibat regimen KG terjadi 21,1% pasien, namun hanya derajat 1-2.
Penelitian Nazaruddin juga menemukan KG lebih cepat menimbulkan toksisitas
hematologi dibandingkan regimen KP atau KE.Anemia, leucopenia, dan
granulositopenia juga terlihat lebih sering pads regimen yang mengandung
Gemsitabin.
Suatu hal yang menarik tentang regimen yang mengandung Gemsitabin
ialah efek samping nonhematologis yang minimal, dibandingkan dengan yang
ditimbulkan oleh paduan obat lain. Gejala-gejala gastrointestinal yang sering
menggangu kepatuhan berobat pasien umumnya sangat jarang di temukan. Begitu
pula alopesia hamper tak pernah terjadi. Banyak pasien yang tetap memiliki
rambut yang utuh, sehingga lebih nyaman menjalani seri kemotrapi sampai
selesai.Bagi sebagian besar pasien penampilan fisik tetap menjadi prioritas dan
hal ini termasuk kebutuhan yang sedapat mungkin di penuhi dengan baik.
32

2.1.18 Terapi Target Golongan EGFR –TKI (Epidermal Growth Factor


Receptor Tyrosine Kinase Inhibitor)
Pada awal tahun 2000, diperkenalkan obbat anti kanker yang bekerja pada
target molekul yang baru. Yang dimaksud target yang baru disini ialah sel-sel
KPKBSK yang mempunyai reseptor tertentu, sehingga obat tersebut hanya
bekerja pada reseptor sel tertentu tersebut. Modalitas pengobatan yang
menggunakan obat ini lah yang disebut terapi target, istilah lengkapnya
seharusnya terapi dengan (ber) target baru.Obat yang termasuk golongan ini,
yang pertama kali diperkenalkan ialah Gefitinib, yang termasuk golongan
Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI atau penghambat tirosin kinase), yakni komponen
yang membentuk reseptor faktor pertumbuhan epitel atau epithelial growth fector
receptor (EGFR). Generasi pertama EGFR TKI adalah Gefetinib, Erlotinib,
sedangkan generasi kedua adalah Afanitib, Dacomitinib, generasi ketiga yang
termasuk adalah Osimertinib, Olmutinib, Rociletinib, dan lainnya.
Reseptor EGF (Epithelial Growth Factor atau EGFR, ErbB-1 atau HER1
pada manusia) adalah protein transmembran pada sel epitel yang menjadi reseptor
untuk keluarga EGF.EGFR merupakan keluarga dari ErbB receptor, yang terdiri
atas empat reseptor tirokin kinase, yaitu EGFR (ErbB-1, HER2/neu (ErbB-2),
Her3 (ErbB-3) dan Her 4 (ErbB-4).Epithelial growth fector ditemukan oleh
Stanley Cohen dan Rita Levi-Montalcini menghantarkan keuanya mendapatkan
hadiah Nobel.
Epithelial growth fector receptor memiliki bagian yang tersembul keluar
sel, yang disebut ekstracellular domain (domain ekstraselular) dan bagian yang
menembus membrane sel sampai ke sitoplasma, disebut intracellular domain.
Bagian reseptor yang menyembul keluar dapat menangkap pertumbuhan epitel,
selanjutnya EGFR ini akan memberikan sinya-sinyal yang mempengaruhi proses
pertumbuhan sel selanjutnya. Melaluin P13K dan Akt, serta jalur yang melalui
SOS, RAS dan selanjutnya. Kedua jalur iniakan meneruskan signal ke inti sel,
yang mengatur perilaku inti sel tersebut. Dalam keadaan normal gen EGFR
berperan dalam mengendalikan pertumbuhan sel secara seimbang, dengancara
mengatur proliferase sel, diferensiasi, migrasi, angiogenesis, dan apoptosis. Bila
33

terjadi mutasi pada gen EGFR ini, maka kedua jalur ini akan diaktifkan dan
terjadilah poliferasi sel, dediferensiasi, migrasi, angiogenesis dan pemanjangan
apoptosis, semuanya menjadikan pertumbuhan sel yang berlebihan dan tak
terkontrol. Dijalur lain dapat juga terjadi aktivasi kedua jalur ini tanpa di sertai
mutasi gen EGFR. Hal ini dapat terjadi misalnya bila gen KRAS bermutasi, maka
secara otomatis timbul signal-signal proliferasi dan lain-lain, yang juga
menghasilkan pertumbuhan sel kanker. Selain itu mutasi gen KRAS pun dapat
menghasilkan faktor-faktor pertumbuhan epitel yang akan ditangkap oleh reseptor
EGFR dan memicu terjadinya keganasan. Mutasi EGFR lebih sering terjadi pada
perempuan buakn perokok, sadangkan pada laki-laki perokok lebih sering terjadi
mutasi gen KRAS.
Mutasi EGFR pertama kali di laporkan pada November 2004 dan mutasi
EGFR di domain tirosin kinase pada pasien adenokarsinoma paru terlah menjadi
focus utama penelitian dalam memahami pathogenesis dan pengobatan terkini.
Mutasi EGFR yang terjadi di domain tirosin kinase dikenal sebanyak 192 mutasi
dan 165 (85,9%) diantaranya terjadi di dua ekson yang utama yaitu ekson 19 dan
ekson 21. Distribusi mutasi EGFR yang di teliti pada 569 sampel mutasi EGFR
pada 14 penelitian menunjukkan mutasi terjadi di domain tirosin kinase dengan 4
tipe utama mutasi yaitu, mutasi titik di kodon 719 (G719X), delesi di ekson 19,
mutasi insersi di ekson 20 dan mutasi titik L858R di ekson 21.
Mutasi EGFR paling sering ditemukan pada pasien KPKBSK, perempuan,
ras Asia Timur, bukan perokok, dan jenis adenokarsinoma. Berbagai penelitian
menunjukkan mutasi EGFR terjadi pada 44%-55% pasien adenokarsinoma, 51%-
68% pada bukan perokok, 42%-62% pada perempuan dan 30%-50% pada ras
Asia. Mutasi EGFR juga terjadi pada 10% perook, 14% laki-laki dan 8%
adenokarsinoma yang berasal dari ras Eropa. Penilitian Zhang dkk (2012) tentang
mutasi EGFR pada 205 spesimen pasien KPKBSK di Cina menunjukkan mutasi
delesi di ekson 19 dan mutasi titik di ekson 21 terjadi pada 66 (32,2%) specimen
dan 43% adenokarsinoma, 60% perempuan dan 57% bukan perokok. Penelitan
Syahruddin dkk terhadap 1874 kanker paru yang baru di diagnosis menunjukkan
34

frekuensi mutasi EGFR 44,4%. Mutasi EGFR (insersi-delesi ekson 19, L858R)
57,1% dan mutasi yang jarang (G719X, T790M, L861Q) 29%.
Thyrosine kinase inhibitor (TKI) bekerja menghambat kerja tirosin kinase
yang merupakan komponen gen EGFR. Seperti telah di uraikan diatas, mutasi
pada gen EGFR menyebabkan terjadinya signal-signal yang memicu rangkaian
perubahan kearah keganasan. Obat penghambat tirosin kinase mencegah
terjadinya rangkaian signal ini, sehingga proliferasi sel di hambat, apoptosis
dipercepat, kemampuan infiltrasi dan metastasis di cegah. Di Indonesia obat terapi
target baru golongan EGFR-TKI yang pertama diperkenalkan ialah Gefitinib (ZD-
1839, Iressa) berupa tablet oral dengan dosis yang dianjurkan 250 mg/hari,
kemudian Erlotinib (OSI-774, Tarceva) berupa tablet oral dengan dosis maksimal
yang dianjurkan 150 mg/hari.
Penelitian fase III pada penggunaan untuk kanker paru sebagai lini ke-2
dan lini ke-3 setelah pemberian kemoterapi, baik Gefitinib maupun Erlotinib di
toleransi dengan baik oleh pasien, selain itu juga cukup aman.Beberapa uji klinik
yang lebih luas di berbagai Negara menunjukkan bahwa kedua obat tersebut
memberi respon obyektif maupun respon subyektif yang jauh lebih baik pada
subset terrtentu, yaitu perempuan, jenis adenokarsinoma, bukan perokok, suku
bangsa Asia. Gefitinib telah direkomendasikan oleh Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 2003 dan Erlotinib pada bulan November 2004
oleh FDA dan European Medicines Agency pada bulan Juni 2005 sebagai terapi
lini kedua dan ketiga untuk pasien KPKBSK stage lanjut.
Penelitian Iressa Pan Asia Study (IPASS) fase 3 dilakukan untuk
membandingkan efikasi dan toksisitas Gefitinib atau Karboplatin dan Paklitaksel
sebagai terapi lini pertama pada 1217 pasien karsinoma paru dengan ras Asia
Timur termasuk Indonesia. Gefitinib (250 mg/hari) diberikan kepada 609 pasien
adenokarsinoma paru bukan perokok atau bekas perokok ringan.Kombinasi
Karboplatin (5-6 mg/ml/menit) dan Paklitaksel (200mg/mm²) diberikan kepada
608 pasien adenokarsinoma paru sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan progressin free survival (PFS) dalam waktu 12 bulan ialah 24.9%
pada kelompok Gefitinib dan 6.7% pada kelompok Karboplatin-Paklitaksel.
35

Tingkat respon objektif lebih tinggi pada kelompok Gefitinib (43%) dan berbeda
bermakna dibandingkan dengan kelompok Karboplatin dan Paklitaksel (32%).
Angka tengah tahan hidup pada kelompok Gefitinib 18,6 bulan dan kelompok
Karboplatin dan Paklitaksel 17,3 bulan. Kualitas hidup kelompok Gefitinib lebih
baik dan berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kelompok Karboplatin dan
Paklitaksel.
Beberapa uji klinik yang lebih luas di beberapa Negara menunjukkan
kedua obat tersebut memberikan respon obyektif maupun respon subyektif yang
jauh lebih baik pada populasi tertentu, yaitu perempuan, jenis adenokarsinoma,
bukan perokok dan suku bangsa Asia.
EGFR-TKI generasi kedua, yaitu Afatinib (Giotrif® atau Gilotrif® dan
Dakomitinib (Vizimpro®), memiliki mekanisme kerja menghambat 4 EGF
reseptor tirosin kinase, secara ireversibel. Pada penelitian LUX-Lung 3 dan LUX-
Lung 6, Afanitib secara bermakna meningkatkan Progression-Free survival pasien
yang memiliki mutasi EGFR ekson 21 L858R dan ekson 19 In/del, dibandingkan
dengan pemberian kemoterapi. Keuntungan perpanjangan PFS ini terutama
didapat pada ekson 19. Pada penelitian ARCHER 1050, Dakominitib (generasi
kedua EGFR TKI), member keuntungan PFS dibandingkan dengan Gefinitib
(Overal survival 34.1 bulan pada dakominitib vs 26,8 bulan pada grup Gefinitib).
Penelitian kohort retrospektif di RS Rujukan Respirasi Nasional
Persahabatan tentang efikasi dan toksisitas terapi target baru golongan EGFR-TKI
kemoradioterapi pada EGFR wild type. Sybjek penelitian berjumlah 61 pasien,
terdiri dari 31 pasien KPKBSK nonskuamosa dengan mutasi EGFR positif dan 30
pasien dengan EGFR wild type. Penelitian ini menemukan rata-rata time to
progression (TTP) kelompok pasien KPKBSK nonskuamosa yang diberi terapi
target EGFR-TKI lebih panjang (40 minggu) daripada kelompok pasien yang
diberi kemoterapi atau kemoraditerapi (30 minggu).

2.1.19 Efek Samping Terapi Target Golongan EGFR-TKI


36

Salah satu keunggulan terapi target penggolongan EGFR-TKI adalah efek


samping yang sangat berbeda dan jauh lebih ditoleransi dibandingkan kemoterapi
dengan sitotastatika, namun tetap harus diperhatikan tentang bkepatuhan pasien
menggunakan obat tersebut. Beberapa efek samping yang sering dijumpai seperti
kulit kering, gatai-gatal, ruam kulit, akne, kadang-kadang timbul mual, diare dan
kelelahan. Pada penelitian di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
FKUI-RS Rujukan Respirasi Nasinal Persahabatan, toksisitas hematologi berupa
anemia, leucopenia, dan trombositopenia tidak ditemukan pada pasien KPKBSK
yang mendapat terapi target EGFR-TKI sedangkan pada pasien KPKBSK yang
mendapat kemoradioterapi didapatkan 3 (10%) orang yang mengalami anemia
derajat 1-2, satu (3,3 %) orang anemia derajat 3-4, leucoptisialmenia derajat 3-4
pada 2 (6,7%) orang dan trombositopenia derajat 3-4 pada 1 (3,3 %) orang.
Toksisitas nonhematologi berupa ual muntah, diare, alopesia, dan kulit terjadi
pada pasien yang mendapat terapi target EGFR-TKI. Mual muntah derajat 1-2
ditemukan pada 1 (3,2%)orang, derajat 3-4 pada 1 (3,4%) orang, diare derajat 3-4
pada 5 (16,2%) orang, alopesia derajat 1-2 pada 1 (3,2%) orang, kelainan kulit
derajat 1-2 pada 4 (12,9%) orang. Toksisitas nonhematologi berupa mual muntah,
diare, alopesia ditemukan pada pasien yang mendapat kemoradioterapi : mual
muntah derajat 1-2 pada 12 (40%) orang, mual muntah derajat 3-4 pada 5 (16,7
%) orang, diare derajat 1-2 pada 5 (16,7%) orang dan alopesia derajat 1-2 pada 12
(40%) orang.
Efek samping yang perlu diwaspadai adalah penyakit paru intersisial
(interstitial lung disease/ILD ), meskipun angka kejadiannya kecil, yakni kurang
dari 1%. Diagnosis yang dilaporkan terjadi pada pasien yang dicurigai mengalami
ILD adalah pneumonitis, pneumonia intertisial, ILD, bronkiolitis obliterans, dan
fibrosis pulmoner.kejadian ini lebih sering dijumpai pada pasien dengan riwayat
pernah mendapat radio terapi, kemoterapi, pernah menderita penyakit parenkim
paru sebelumnya, riwayat infeksi paru dan penyakit metastasik di paru. Gejala-
gejala yang harus dicurigi adalah timbuk keluhan pulmoner progesif akut yang
tidak dapat dijelaskan, seperti sesak napas, batuk atau demam tiba-tiba. Obat
harus dihentikan dulu sambil menunggu evaluasi lebih lanjut.
37

2.1.20 Kekebalan Didapat terhadap EGFR TKI Generasi Pertama pada


KPKBSK dengan Mutasi EGFR

Definisi klinis kekebalan didapat dengan jelas dan konsisten akan


membantu menciptakan standard kriteria inklusi pada penelitian-penelitian uji
klinis. Definisi yang serupa telah dipublikasikan untuk leukemia mielogenous
kronik dan tumor stromal gastroistestinal yang diterapi dengan TKI
imatinib.Kriteria kekebalan didapat pada KPKBSK dengan mutasi EGFR
terhadap EGFR TKI ditetapkan sesuai dengan beberapa literatur yang telah
dipublikasikanpada tahun 2009. Kriteria tersebut antara lain :
1. Sudah mendapat terapi sebelumnya dengan terapi tunggal EGFR TKI
(Gefitinib atau Erlotinib).
2. Memiliki 1 atau 2 kriteria dibawah ini :
a. Tumor mempunyai tipe mutasi EGFR yang diketahui berhubungan
dengan sensitifitas obat (G719X, delesi ekson 19, L8589, L861Q).
b. Terdapat perbaikan klinis secara objektif dengan terapi EGFR TKI
yang digolongkan sebagai berikut :
 Partial atau complete respone berdasarkan Respone
Evaluation Criteria In Solid Tumor (RECIST) atau World
Health Organization (WHO) setelah pemberian gefitinib
atau Erlonitib.
 Perbaikan klinis yang bermakna dan dalam waktu ≥ 6 bulan
( digolongkan sebagai stable disease dengan RECIST atau
WHO ) setelah pemberian Gefitinib atau Erlotinib.
3. Terjadi progresivitas penyakit berdasarkan RECIST atau WHO saat masih
diberi terapi Gefitinib atau Erlotinib dalam 30 hari terakhir.
4. Tidak ada terapi sistemik tambahan diantara pemberhentian erlotinib atau
gefitinib dengan dimulainya pemberian obat baru.

Mekanisme kekebalan didapat pada KPKBSK dengan mutasi EGFR


terhadap EGFR TKI generasi pertama biasanya diklasifikasikan menjadi 3
kategori utama yaitu masalah tempat pengikatan ATP pada mutasi EGFR ( Mutasi
sekunder T790M ), jalur pensinyalan bypass pada EGFR dan mekanisme lainnya.
38

Penyebab mutasi sekunder EGFR T790M adalah pergantian threonine menjadi


methionine pada kodon 790. Mutasi T790M pada ekson 20 akan mengaktifkan
EGFR wild type dan meningkatkan afinitas ATP mutan onkogenik L8589 lebih
dari sebelumnya secara in vitro. Serangkaian aktifitas tersebut merupakan
mekanisme utama terjadinya kekebalan terhadap obat pada mutasi T790M.
Mekanisme kedua terjadinya kekebalan obat adalah jalur pensinyalan
bypass pada EGFR, jika jalur EGFR dihambat oleh TKI generasi pertama, maka
sel tumor akan membuat jalur pensinyalan bypass melalui family RTK lain dengan
mekanisme yang terdiri atas amplifikasi MET, ekspresi berlebihan hepatocyte
growth factor (HGF), aktifasi, ERBB3, aktivasi insulin-like growth factor 1
receptor (1GF1R), amplifikasi HER2 dan mutasi gen BRAF. Penelitian Engelman
dan Janne menunjukkan diantara semua mekanisme kekebalan otot melalui jalur
pensinyalan bypass tersebut, hingga 22% dari KPKBSK dengan mutasi EGFR
yang menjadi kebal terjadi obat penghambat tirosinkinase berasal dari mekanisme
amplifikasi MET.
Mekanisme kekebalan EGFR TKI melalui amplifikasi MET termasuk
yang paling banyak dipelajari. Protein MET merupakan reseptor transmembran
TK seperti EGFR yang mencetuskan aktivasi jakur P13K/Akt dan MAPK setelah
terikat dengan ligannya yaitu hepatocyte growth factor (HGF). Amplifikasi MET
secara invitro menjadikan KPKBSK dengan mutasi EGFR kebal terhadap EGFR
TKI generasi pertama melalui fosforilasi ErbB3, sehingga menyebabkan aktivasi
jalur P13K/Akt tetap terjadi walaupun diobati dengan EGFR TKI. Peran
amplifikasi c-MET yang lain belum dapat diketahui.
Mekanisme ketiga terjadinya kekebalan terhadap EGFR-TKI generasi
pertama terdiri atas penurunan regulasi gen supresor tumor phosphatase and
tensin homolog (PTEN), ephitelial mesenchymal transition ( EMT), efluks obat
oleh ATP-binding cassette G2 transporter ( ABCG2), ekspresi berlebihan integirn-
β1, peningkatan regulasi epithelial marker protein-1 (EMP-1), aktivasi gen Axl,
transformasi jenis kanker dari KPKBSK menjadi kanker paru jenis karsinoma sel
kecil ( KPKSK). Tinjauan penelitian yang menggabungkan 2 data penelitian
39

dengan sampel terbesar menyebutkan mekanisme mutasi EGFR T790M dan MET
meliputi hingga lebih dari 60% semua mekanisme kekebalan yang terjadi.

2.1.21 Tatalaksana Pasien KBKBSK dengan Resistensi Didapat Terhadap


EGFR TKI Generasi pertama

Penatalaksanaan kekebalan didapat pada KPKBSK dengan mutasi EGFR


terhadap EGFR-TKI generasi pertama sebaiknya dilakukan berdasarkan profil
mutasi genetik yang didapat dari biopsi ulang (rebiopsi).Antibodi monoclonal
ireversibel (cetuximab) merupakan salah satu pilihan terapi jika pada biopsi ulang
ditemukan mutasi T790M.tyrosin kinase inhibitor generasi kedua (afatinib)
merupakan pilihan alternatif terutama bila mutasi T790M ditemukan bersamaan
menghambat reseptor MET pada penelitian praklinis sedangkan antibody
monoclonal HGF (TAK-701) berefek menghambat fosforilasi MET. AG1024 atau
KTDW541 menunjukan hasil yang menjanjikan pada penelitian praklinis jika
pada biopsy ulang ditemukan mutasi sekunder melalui jalur IGF1R.Antibodi
monoclonal axl (YW327.6S2) meningkatkan efek Erlotinib dalam menghambat
pertumbuhan tumor dan penghambat Axl (SG1-7079) mengurangi kekebalan
Erlotinib pada penelitian preklinis jika kekebalan didapat terjadi karena
mekanisme aktivasi Axl.
Kekebalan didapat paling banyak disebabkan oleh mutasi T790M.Selain
dengan biopsi ulang, identifikasi mutasi sekunder T790M dapat dilakukan dengan
pemeriksaan circulating tumor cell (CTC) dari darah. Maheswaran dkk
melaporkan analisis mutasi EGFR pada deoxyribonucleic acid (DNA ) dari CTC
menunjukan sensitivitas yang baik, termasuk identifikasi mutasi sekunder T790M
yang mengakibatkan kekebalan terhadap obat. Sorensen dkk menemukan bahwa
pemantauan mutasi sekunder EGFR T790M dengan menggunakan spesimen
ctDNA dapat dilakukan 344 hari sebelum pasien menunjukan progresivitas
penyakit secara klinis.
40

Mutasi T790M menyebabkan kembalinya afinitas reseptor hingga ke


tingkat wild type terhadap ATP dari yang sebelumnya melemah karena mutas
EGFR.Tumor dengan mutasi T790M ternyata menunjukan tingkat pertumbuhan
yang lambat walaupun sifat ongkogenitasnya meningkat.Pertumbuhan yang
lambat tersebut menandakan pasien dengan mutasi tumor T790M dapat bertahan
dengan baik selama beberapa bulan dengan tetap memberikan obat EGFR TKI
secara tunggal walaupun terjadi progresivitas penyakit.Prognosis lebih baik yang
berhubungan dengan mutasi T790M mengindikasikan pentingnya peran biopsi
ulang atau pemeriksaan CTC pada penatalaksanaan pasien KPKBSK dengan
resistensi didapat.
Penelitian menunjukan sel dengan mutasi T790M tumbuh lebih lambat
dibandingkan dengan sel yang sensitif terhadap TKI. Perbedaan pertumbuhan sel
ini kemungkinan berperan dalam fenomena flare dan rerespon (konsep drug
holliday) pada beberapa pasien yang mengalami kekebalan didapat. Flare
merupakan fenomena pertumbuhan kembali sel tumor yang sensitif terhadap TKI
setelah pemberian TKI dihentikan. Rerespon merupakan fenomena terjadinya
respon perbaikan saat TKI kembali diberikan setelah sebelumnya dihentikan
karena terjadi progresivitas penyakit. Tumor yang kebal terhadap EGFR TKI
generasi pertama diduga terdiri atas campuran antara populasi sel yang sensitif
dan kebal terhadap EGFR TKI sehingga tetap melanjutkan pemberian TKI
generasi pertama yang dikombinasikan pemberian kemoterapi pada tumor dengan
resistensi didapat dianggap akan memberikan manfaat klinis.
Berbagai penelitian dilakukan untuk menguji efikasi pemberian kembali
EGFR TKI generasi pertama setelah terapi awal mengalami kegagalan (konsep
drug holliday). Penelitian Watanabe dkk menunjukkan konsep drug holliday
dapat menjadi terapi yang efektif pada beberapa pasien. Penelitian Zhao dkk juga
menunjukkan hasil luaran yang lebih baik pada pasien yang diobati kembali
dengan TKI setelah TKI holliday, namun hasil penelitian ini belum dapat
disimpulkan karena sampel yang terlalu sedikit. Penelitian Kaira dkk
mendapatkan hasil yang lebih baik secara bermakna dengan pemberian TKI
41

kembali pada mereka yang memiliki PFS lebih dari 6 bulan selama pemberian
TKI yang pertama.

2.1.22 Terapi Target Golongan EGFR TKI Generasi Kedua

Sejak dilaporkan resistensi terhadap terapi target golongan EGFR-TKI


generasi pertama maka generasi kedua dan ketiga menjadi focus perhatian klinisi.
Afatinib, Dacomitinib dan Neratinib merupakan terapi target golongan EGFR-
TKI generasi kedua yang utama dan memiliki kemampuan untuk berikatan secara
ireversibel dengan reseptor EGFR dengan afinitas yang tinggi.Afatinib,
Dacomitinib dan Neratinib dapat menghambat kelompok HER seperti HER-2,
HER-3, HER-4.Afatinib menunjukkan efikasi progression free survival (PFS)
dan overall survival (OS) yang lebih panjang pada pasien adenokarsinoma paru
stage lanjut dan delesi diekson 19.Dosis inisial Afatinib 40mg, efek samping
yang sering dilaporkan adalah diare derajat 3-4, ruam kulit dan paronikia.
Uji klinis fase 2 yang menguji pemberian Afatinib dikombinasikan dengan
Cetuximab menunjukkan tingkat respon objektif hingga 40% dengan efek
samping yang dapat ditoleransi. Penelitian Janjigian dkk tentang pemberian
kombinasi Afatinib dan Cetusimab pada resistensi didapat dengan dan tanpa
mutasi T790M menunjukkan aktivitas klinis yang kuat dan keamanan yang cukup
baik.Kombinasi Afatinib dan Cetusimab merupakan pendekatan terapi yang
paling menjanjikan untuk KPKBSK dengan mutasi EGFR dengan resistensi
didapat hingga saat ini.
Penelitian mengenai kekebalan didapat yang disebabkan oleh amplivikasi
MET menunjukkan pemberian antibody monoklonal target MET (MetMab)
dikombinasikan dengan Erlotinib memiliki aktivitas melawan kanker paru dengan
ekspresi protein MEP yang tinggi. Kekebalan didapat pada penelitian lain dengan
mekanisme transformasi menjadi kanker paru jenis karsinoma sel kecil
menunjukkan sensitivitas yang baik dengan kombinasi Platinum dan Etoposid.
Terapi disesuaikan dengan profil mutasi genetik pada mekanisme kekebalan
42

didapat yang lain sehingga penting untuk melakukan biopsi ulang pada KPKBSK
mutasi EGFR dengan resistensi didapat.

2.1.23 Terapi Target Golongan EGFR-TKI Generasi Ketiga

Osimertinib merupakan terapi target EGR-TKI generasi ketiga yang


menhambat secara selektif mutasi resisten EGFR T790M dan mutasi yang
sensitive. Osimertinib telah digunakan sebagai terapi pada pasien KPKBSK stage
lanjut dengan mutasi EGFR T790M yang mengalami progresivitas selama atau
setelah mendapat terapi EGFR-TKI. Penelitian pertama fase I AURA study
menunjukkan tingkat overall respon rate (ORR) 51% disease control rate (DCR)
84% dengan Osimertinib pada pasien kanker paru yang mengalami progresivitas
dengan riwayat terapi target generasi baru EGFR-TKI sebelumnya. Berdasarkan
status T790M, ORR, DCR dan PFS adalah 61%, 95% dan 9,6 bulan pada pasien
dengan status T790M + dan 21%, 61% dan 2,8 bulan pada pasien dengan status
T790M -. Diare (47% untuk semua derajat), ruam kulit (40%) dan Nausea (22%)
merupakan efek samping yang sering ditemukan.
Presentasi penelitian pada pertemuan tahunan American Society of
Clinical Oncology (ASCO) tahun 2016 tentang efikasi Osimertinib pada 30 pasien
kanker paru dengan status T790M + yang mengalami progresivitas dengan
riwayat penggunaan EGFR-TKI generasi pertama atau kedua. Hasil penelitiannya
menunjukkan Osimertinib memberikan respon komplit 23%, respon parsial 70%
dan stable disease 7%. Pada penelitian AURA-3, Osimertinib dibandingkan
dengan kemoterapi Platinum + Pemetreksed sebagai terapi lini kedua pada 410
pasien dengan status T790M + yang mengalami progresivitas setelah pemberian
terapi target EGFR-TKI. Osimertinib menunjukkan hasil yang lebih baik
dibandingkan kemoterapi ditinjau dari RR (71% VS 31%) dan PFR (10,1 bulan
VS 4,4 bulan). Data preklinis mendukung kemampuan Osimertinib melewati
sawar darah otak dan berpenetrasi ke sistem saraf pusat.Berbagai penelitian
sebelumnya menunjukkan Osimertinib memiliki efikasi yang superior di sistem
saraf pusat dibandingkan dengan kemoterapi berbasis Platinum.
43

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
44

3.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian bersifat crossectional, yang
bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien adenokarsinoma paru dengan
tingkat kejadian pada penggunaan egfr-tki.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian


3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian akan di lakukan pada bulan Juli 2017 – Selesai.
3.2.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan di laksanakan di RSUP HAM Medan,
RumahSakit Elisabeth, dan RSUD Dr.Pirngadi Medan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang


diteliti.Populasi dalam penelitian ini didapat dari Rekam Medis
Rumah RSUP HAM Medan, Rumah Sakit Elisabeth, dan RSUD
Dr.Pirngadi Medan bulan Juli 2017 – Juli 2019 berjumlah 50 pasien
adenocarsinoma paru.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah seluruh populasi yang diteliti dan di anggap
mewakili seluruh populasi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

3.4.1 Kriteria inklusi :


Pasien penderita adenocarsinoma paru yang memiliki data di rekam
medis.Pasien penderita adenocarsinoma paru yang datang berobat
keRSUP HAM Medan, Rumah Sakit Elisabeth,atau RSUD
Dr.Pirngadi Medan.

3.4.2 Kriteria ekslusi :


45

Pasien yang tidak menderita adenocarsinoma paru.Pasien Penderita


adenocarsinoma yang belum terdaftar di rekam medis RSUP HAM
Medan, Rumah Sakit Elisabeth, atau RSUD Dr.Pirngadi Medan.

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah penderita adenocarsinoma paru


pada bulanJuli 2017 – Juli 2019 di RSUP HAM Medan, Rumah Sakit Elisabeth,
dan RSUD Dr.Pirngadi Medan dengan metode Total Sampling.

3.5 Variabel Penelititan


3.5.1 Variabel Independent

Variabel independent dalam penelitian ini adalah karakteristik


penyakit Adenocarsinoma paru yaitu Umur, Jenis Kelamin,
Suku/Etnis,Pendidikan, Pekerjaan, Status Perokok, Stage,
MutasidanToksisitas.
3.5.2 Variabel Dependent

Variabel dependent dalam penelitian ini adalah Tingkat kejadian


Adenocarsinoma paru pada RSUP HAM Medan, Rumah Sakit
Elisabeth,dan RSUD Dr.Pirngadi Medan.

3.6 Kerangka Konsep

Berdasarkan variabel penelitian di atas maka kerangka konsep dalam


penelitian ini adalah :
46

Sosiodemografi :

Umur

Jenis Kelamin

Suku/Etnis

Pendidikan

Pekerjaan Tingkat Kejadian


Adenocarsinoma Paru
Status Perokok

Stage

Mutasi

Toksisitas Hematologi

Toksisitas Non Hematologi

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.7 DefinisiOprasional

Variabel Definisi Oprasional Cara Hasil Ukur Skala


Ukur
Adenocarsi Pertumbuhan sel Rekam Diagnosa ditegakkan Nominal
nomaParu kanker yang tidak Medik berdasarkan data dari
terkendali dalam rekam medik
jaringan paru yang
dapat disebabkan oleh
sejumlah karsinogen,
terutama asap rokok
Umur Umur penderita saat Rekam a. 37 - 42 tahun Interval
pertama kali datang Medik b. 43 - 48 tahun
berobat c. 49 - 54 tahun
d. 55 - 60 tahun
e. 61 - 66 tahun
47

f. 67 - 72 tahun
g. 72 - 77 tahun
Jenis Jenis Kelamin Rekam a. Laki-laki Nominal
penderita
Kelamin Medik b. Perempuan
Adenocarsinoma
sebagaimana tercatat
dalam kartu status,
yang di bedakan
berdasarkan Laki-laki
dan Perempuan
Suku Etnis yang di miliki Rekam a. Batak Nominal
oleh penderita
Medik b. Jawa
Adonocarsinoma
c. Aceh
Pekerjaan Kegiatan utama yang Rekam a. IRT Nominal
di lakukan oleh Medik
b. Petani
penderita
c.Wiraswasta
Adenocarsinoma
(Pedagang, Pengusaha
dll)
d. Pegawai Swasta
e. Pegawai Negeri Sipil
Nominal
(PNS)
f. Pensiunan
Status Penderita yang Rekam Nominal
a. aktif
Perokok merokok dan terpapar Medik
b. pasif
asap rokok
a. III a
Stage Gambaran untuk
b. III b
mengukur seberapa Rekam Nominal
c. III c
besar pertumbuhan sel Medik
d. IV a
kanker
e. IV b
a. mutasi exon 19
Mutasi Perubahan materi
b. mutasi exon 21
genetik (gen atau
L858R
kromosom) suatu sel
c. mutasi exon 21
yang diwariskan Rekam
L861Q
kepada keturunannya Medik
d. mutasi delesi exon 19
e. mutasi exon 21
a. Grade 0 : Hb >11.0
Toksisitas Kemampuan suatu zat
b. Grade I : Hb 9.5-10.9
Hematologi kimia dalam
c. Grade II : Hb 8.0-9.4
menimbulkan Rekam
d. Grade III : Hb 6.5-
kerusakan pada sistem Medik
48

peredaran darah 7.9


e. Grade IV : Hb <6.5
Toksisitas Kemampuan suatu zat a. Grade 0 : tidak ada
kimia dalam b. Grade I : Gejala
Non
menimbulkan ringan, demam <380C,
Hematologi kerusakan organisme udem, eritema, rambut
minimal, infeksi minor,
nyeri ringan
c. Grade II : Sesak
kalau beraktivitas,
demam 380C-400C,
bronkospasme dan tidak
memerlukan terapi
intravena, kulit kering
dengan versikulasi dan
pruritus, rambut sedang
dengan botak (alopesia)
tidak merata, infeksi
sedang, nyeri sedang
d. Grade III : Sesak
pada saat istirahat,
demam >400C,
bronkospasme dan
memerlukan terapi
intravena, kulit kering
dengan ulserasi, botak
(alopesia) yang merata
tetapi dapat tumbuh
lagi, infeksi berat, nyeri
berat
e. Grade IV : Sesak
menyebabkan total bed
rest, demam dengan
hipotensi, syok
anafilaktik, dermatitis
berat dengan nekrosis
dan memerlukan
tindakan bedah, botak
(alopesia) yang
permanen, infeksi berat
dengan hipotensi, nyeri
terus-menerus
49

3.8 Metode Pengumpulan Data


Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder yang di perolehdari data rekam medis penderita Adenocarsinoma paru
pada RSUP HAM Medan, RumahSakit Elisabeth,dan RSUD Dr.Pirngadi Medan.

3.9 Pengelolahan dan Analisa Data


3.9.1 Pengelolahan Data

a.Editing
Dilakukan pemeriksaan dan perbaikan data yang sudah ada
menjadi data yang benardan terisi secara lengkap.
b.Coding
Data yang sudah terkumpul dandi edit, kemudian diberi kode
secara manual sebelum di olah dengan komputer.
c.Entry
Data yang sudahdiberibentukkodedimasukkankedalam program
atau software komputerPredictive Analytics Software (PASW).
d.Cleaning Data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan kedalam computer
guna menghindari terjadinya kesalahan dan pemasukan data.

3.9.2 Analisa Data


a.Analisaunivariat
Analisa univariat digunakan untuk mendeskipsikan data seperti
rata-rata, median, dan proporsi. Analisa univariat dalam penelitian ini
yaitu setiap variable dalam table distibusi frekuensi.
b.Analisabivariate
Analisis Bivariate adalah analisis yang di gunakan untuk
mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat
dengan menggunakan uji statistik. Uji statistik yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah uji chi square dengan tingkat kepercayaan 95%
dengan 5% sehingga jika nilai P (p value) < 0,05 maka hasil
perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan adanya
hubungan antara variabel dependen dan independen, dan apabila nilai
p value ≥ 0,05 maka hasil perhitungan uji statistik tidak bermakna atau
tidak ada hubungan antara variabel dependen dan independen.
50

Anda mungkin juga menyukai