PROPOSAL PENELITIAN
Delapan puluh persen kanker paru adalah kanker paru sel stadium lanjut
(KPKBSK) stadium lanjut (1). Mutasi gen reseptor faktor pertumbuhan (EGFR)
1
2
BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
2.1.2. Gefitinib
kering, mual dan muntah.Sebagian besar efeknya bersifat ringan sampai sedang
dan tidak memerlukan penghentian terapi.Tingkat keparahan dari banyak efek ini
terkait dengan dosis dengan efek tingkat 3 - 4 lebih mungkin pada dosis> 250
mg / hari.Efek samping yang paling parah adalah penyakit paru interstitial (ILD),
yang terjadi pada ∼ 1% pasien di seluruh dunia kecuali di Jepang di mana insiden
ILD adalah 2%.ILD berakibat fatal pada sekitar satu dari tiga kasus.Efek samping
paling umum yang terkait dengan kemoterapi, myelosupresi dan alopecia, tidak
umum terlihat dengan monoterapi gefitinib.(Robert J Cersosimo, 2006)
glikoprotein yang ditemukan pada permukaan sel epitel. Ini terdiri dari tiga
bagian: bagian ekstraseluler yang berfungsi sebagai reseptor untuk ligan
ekstraseluler, bagian transmembran, dan bagian protein kinase intraseluler.
Stimulasi reseptor mengaktifkan protein kinase intraseluler yang mengarah ke
fosforilasi sendiri.Gefitinib secara khusus menghambat fosforilasi intraseluler dari
reseptor.
2.1.3 Farmakokinetik
Profil dampaknya terutama terdiri dari diare dan ruam kulit, yang
keduanya biasanya ditoleransi dengan baik dan dapat dibalik.Pasien harus
dipantau secara ketat untuk tanda dan gejala disfungsi paru, yang bisa menjadi
tanda awal penyakit paru interstitial.Gefitinib memiliki keunggulan penyerapan
oral dan pemberian sekali sehari dan harus membantu kepatuhan, membatasi
kebutuhan rawat inap, dan mengurangi biaya administrasi.Beberapa rejimen lini
pertama ada untuk pasien dengan KPKBSK stadium lanjut atau metastatik
lokal.Jika rejimen ini gagal, docetaxel dan gefitinib adalah satu-satunya terapi lini
kedua dengan persetujuan pemasaran FDA untuk KPKBSK.Gefitinib juga aktif
sebagai agen lini ketiga pada pasien yang belum menanggapi terapi docetaxel lini
kedua.
Batas toksisitas dosis yang diidentifikasi dalam uji fase I adalah diare
kelas 3, terjadi pada dosis gefitinib harian 700 mg pada pasien yang menerima
obat selama 14 hari berturut-turut dari siklus 28 hari, siklus (Negoro S, Nakagawa
K, Fukuoka M et al, 2001) dan 800-1000 mg pada pasien yang menerima obat
setiap hari selama 28 hari berturut-turut.14,15 Sebagian besar efek samping
terlihat dengan dosis 250 atau 500 mg / hari itu ringan (grade 1-2) dan
diselesaikan setelah penghentian obat. Efek samping yang paling umum adalah
terkait dosis dan lebih mungkin terjadi dengan dosis 500 mg / hari. Efek samping
yang paling umum dilaporkan dengan dosis 250 dan 500 mg adalah diare, ruam,
8
jerawat, kulit kering, mual, muntah, pruritis, anoreksia, dan asthenia (Wilmington,
DE AstraZeneca, Inc,2003).
mengaitkan lebih dari 170 kematian dengan ILD yang berkaitan dengan gefitinib
(Schultz J.2003).
kortikosteroid dosis tinggi; 2 pasien pulih, dan 2 meninggal karena kerusakan paru
progresif.Para pasien yang meninggal memiliki terapi radiasi dada sebelumnya
dan radiasi pneumonitis sebelum pemberian gefitinib.Salah satu pasien yang
selamat memiliki riwayat fibrosis paru ringan. Menurut Kementerian Kesehatan,
Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, 291 (1,66%) dari 17.500 pasien yang
menerima terapi gefitinib untuk KPKBSK mengembangkan dugaan cedera paru
akut atau pneumonia interstitial yang terkait dengan terapi gefitinib, dan 81 pasien
tersebut meninggal.
Gejala ILD mungkin termasuk dispnea, batuk, dan demam ringan, yang
dapat berkembang sangat cepat dan memerlukan rawat inap. Lima puluh tujuh
persen dari kasus terjadi pada pasien dengan riwayat kemoterapi sebelumnya,
31% pada mereka yang memiliki riwayat terapi radiasi, dan 12% pada mereka
yang tidak memiliki terapi sebelumnya. Pasien dengan fibrosis paru ideopatik
yang memburuk setelah pemberian gefitinib beresiko meninggal karena
ILD.Produsen telah menyarankan penyedia layanan kesehatan untuk menunda
pemberian gefitinib pada pasien yang mengembangkan gejala paru sampai
penyebab gejala diidentifikasi. Gefitinib harus dihentikan secara permanen jika
pneumonitis interstitial diidentifikasi Hematuria ringan dan reversibel dilaporkan
pada 3 dari 21 pasien yang menerima gefitinib 500 mg / hari; 1 dari pasien
menerima warfarin pada saat itu.98 Pabrik Gefitinib melaporkan bahwa beberapa
pasien yang menerima warfarin mengalami peningkatan rasio normalized
internasional (INR) atau perdarahan selama terapi gefitinib.1 Pasien yang
menggunakan warfarin harus dimonitor tanda-tanda perdarahan atau perubahan
pada INR mereka. Tiga kasus paronychia tipe granulasi periungual dilaporkan
pada pasien yang menerima gefitinib 250 mg / hari satu bulan sebelumnya.
2.1.6 Kejadian Tidak Diinginkan yang umum Terjadi pada Kulit Yang
Terkait Dengan Tki
penting dalam fisiologi dan perkembangan epidermis (yang terutama terdiri dari
keratinosit) (Melosky B, Leighl NB, Rothenstein J, et al.,2015). EGFR TKI
merusak pertumbuhan keratinosit , migrasi dan ekspresi kemokin, menghasilkan
rekrutmen sel inflamasi dan cedera kulit dengan menghambat jalur hilir EGFR,
seperti jalur protein kinase teraktivasi mitogen (MAPK) (Gambar 1).
Tabel 1. Waktu onset dan insidensi KTD kulit dan gastrointestinal dengan pengobatan
untuk kanker paru-paru non-sel kecil
KTD kulit yang berkaitan dengan EGFR TKI paling awal dan
paling umum adalah ruam jerawat.Erupsi umumnya berkembang melalui
empat fase yang berbeda (Abdullah SE, et al, 2012).Gambar 2
2. Xerosis
3. Paronychia
Antara 10 dan 15% dari pasien EGFR TKI generasi pertama dan kedua
memiliki paronikia; dan kondisi ini biasanya terjadi kemudian selama
perawatan (yaitu 4-8 minggu) (HeidaryN,NaikH, Burgin S.,2008) Paronychia
dinilai berdasarkan tingkat keparahannya sesuai dengan pedoman CTCAE
v4.03 seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 3.
Jempol kaki biasanya merupakan area pertama yang terkena, dan ketika
granuloma piogenik berkembang pada lipatan kuku, pasien dapat mengalami rasa
sakit yang hebat.Peradangan matriks kuku dapat menyebabkan onikolisis atau
onikodistrofi.
4. Scalp lesions
EGFR TKI telah dikaitkan dengan peradangan kulit kepala yang parah
dan rambut rontok (jaringan parut atau alopesia non-jaringan parut) (Hepper
DM, et a;. 2011). Dekavan Folliculitis adalah bentuk parah dari jaringan parut
yang melibatkan kulit kepala.20 Umumnya, 5-6% dari pasien
mengembangkan alopecia 2 –4 bulan setelah terapi dimulai, sedangkan
15
1. Komplikasi oral
Mukosa mulut dan stomatitis oral adalah EE yang paling umum
terkait EGFR TKI yang mempengaruhi selaput lendir saluran pencernaan
dan rongga mulut. Seorang pasien dengan mucositis oral mungkin
memiliki eritema yang luas atau stomatitis seperti aphthous (Lacouture
ME,et al. 2011). Pasien yang lebih tua dan pasien yang memiliki
kebersihan gigi yang buruk atau menggunakan gigi palsu lebih rentan
untuk mengembangkan komplikasi ini.Sebagian besar kasus stomatitis /
mucositis ringan, tetapi bisa sangat menyakitkan dan membuat makan dan
minum sulit bagi pasien.
2. Diare
EGFR TKI terkait diare disebabkan oleh adanya EGFR padasel
epitel, khususnya traktus GI (Hirsh V, 2011).Kami merujuk pada CTCAE
v4.03 untuk deskripsi berbagai tingkat diare. Secara singkat, tingkat 1, 2
dan 3 mengacu pada peningkatan kurang dari 4, 4 hingga 6 dan lebih dari
7 feses per hari, masing-masing. Tabel 1 menggambarkan frekuensi diare
antara berbagai TKI EGFR generasi pertama dan kedua.Namun,
mekanisme yang mendasari diare yang terkait dengan terapi EGFR TKI
16
(p>0,05) yaitu berdasarkan jenis kelamin rata-rata angka tahan hidup perempuan
lebih lama dibandingkan laki-laki (11,5 bulan vs 10,2 bulan), tidak merokok
kurang lebih 12 bulan dengan jenis adenokarsinoma lebih lama dibandingkan
nonadenokarsioma (KSS,KSB). Berdasarkan terapi, gefitinib mempunyai masa
tahan hidup lebih lama yaitu 11 bulan dengan mutasi EGFR positif lebih lama
dibandingkan wild type.
Dalam penelitian ini Masa Tengah Tahan Hidup (MTTH) adalah 18 bulan
(range 14-22 bulan) dengan ATH 6 bulan 93,5%, 1 tahun 80,6%, 2 tahun 38,7%, 3
tahun 19,4% dan ATH keseluruhan (overall survival) 6,5%. Secara keseluruhan,
faktor yang paling berpengaruh meningkatkan ketahanan hidup pasien pada
penelitian ini adalah jenis histologi dan tampilan status yang secara statistik
bermakna dengan nilai p<0,05. Jenis histologi adenokarsinoma memiliki MTTH
lebih lama dibandingkan non adenokarsinoma (20 vs 12,5 bulan) artinya
prognosis adenokarsinoma lebih baik dibandingkan KSS dan karsinoma sel besar
dengan nilai p log rank=0.000 (Breslow=0,001). Penelitian Jamaluddinsama
dengan penelitian Kim dkk yang mendapatkan MTTH pasien adenokarsinoma
lebih lama dibandingkan nonadenokarsinoma. Tampilan umum pasien dianggap
bermakna mempengaruhi peningkatan masa tahan hidup pasien dengan nilai
p=0,032. Rata-rata pasien pada penelitian kami mempunyai PS2 yaitu 22 pasien
walaupun PS1 mempunyai MTTH lebih lama yaitu 43 bulan.Pada penelitian kami
hampir semua pasien berada dalam stage lanjut dengan dominasi stage IV yaitu 23
pasien dan MTTH 18 bulan. Berdasarkan terapi EGFR-TKI, pada penelitian ini
didapatkan gefitinib 22 pasien dan erlotinib 9 pasien dengan mutasi EGFR ex 19
del lebih lama dibandingkan ex 21 L858R (17,5 vs 8 bulan).
dan HR 0,91 (95%CI 0,889-1,093). Penelitian kami tidak jauh berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian Wu dkk (32) nmenyatakan tidak terdapat
perbedaan bermakna pada PFS antara 124 pasien yang diterapi gefitinib (censor
28) dan 100 pasien yang diterapi erlotinib (censor 25) (median, 7,6 vs 7,9 bulan;
HR, 0,89, 95%CI 0,66-1.21; p=0,473). Penelitian Kim (35) dkk menyatakan
Median PFS antara pasien yang diterapi gefitinib (4,9 bulan, 95%CI 1,3-8,5
bulan) dengan yang diterapi erlotinib (3,1 bulan, 95%CI 0,0-6,4) jika
dibandingkan maka secara statistik tidak ditemukan perbedaan bermakna pada
PFS (p=0,336). Demikian pula berdasarkan mutasi EGFR, stage dan jumlah siklus
kemoterapi pertama tidak ditemukan perbedaan bermakna pada PFS (p>0,05).
Berdasarkan mutasi EGFR ex19 delmempunyai PFS lebih lama dibanding ex 21
L858R dan wild type (7 vs 6 vs 3 bulan) walaupun tidak bermakna secara analisis
statistik. Penelitian yang hamper sama oleh Lee dkk.36 menyatakan bahwa
median PFS pada pasien adenokarsinoma dengan mutasi positif lebih lama
dibandingkan dengan mutasi negatif (6,3 vs 2,8 bulan) tetapi tidak bermakna
dengan analisis mutlivariat. Hal yang berbeda ditemukan oleh penelitian Wu
dkk.32 menyatakan PFS secara signifikan lebih lama pada 146 pasien (censor,40)
yang disertai mutasi EGFR daripada 78 pasien (censor,13) tanpa mutasi EGFR
(median, 10,5 bulan vs 2,5 Efikasi dan..., Jamaluddin M , FK UI, bulan, HR,0,48;
95%CI, 0,35-0,66; p=0,001). Penelitian Sun dkk.47 menyatakan bahwa pasien
KPKBSK di Korea didapatkan pasien dengan mutasi EGFR ex 19deletions
mempunyai PFS lebih lama dibandingkan dengan mutasi EGFR L858R (9,5 vs
7,7 bulan) walaupun diperlukan sampel pasien yang lebih besar untuk
mengkonfirmasi secara statistik. Progression free survival (PFS) berbeda
bermakna pada pasien dengan perbedaan jenis kelamin dan tampilan status
(p<0,005). Berdasarkan jenis kelamin perempuan mempunyai PFS lebih lama
dibandingkan laki-laki (median 10 bulan vs 3,5 bulan, HR 4, 95%CI 2,5-4,85; p=
log rank 0,044; Breslow 0,017). Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Kim
dkk.35 menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan PFS secara statistik
berdasarkan jenis kelamin walaupun PFS perempuan lebih lama dibandingkan
laki-laki (4,30 vs 2,60 bulan; p=0,151; HR 0,792). Penelitian Wu dkk.32 juga
20
mengatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada PFS antara laki-laki
dan perempuan tetapi median PFS laki-laki lebih lama dibandingkan perempuan
(9,8 vs 7,6 bulan). Berdasarkan tampilan status (1,2,3), didapatkan perbedaan
bermakna PFS secara statistik dengan tampilan status 1 PFS lebih lama
dibandingkan PS 2 atau 3 (median 20 vs 8 vs 2 bulan; HR 0,71, 95%CI 0,47-7,01;
p=0,043). Hampir sama dengan penelitian Wu dkk.32 yang menyatakan bahwa
perbedaan bermakna secara statistik pada PFS tampilan status (0,1,2,3 atau 4)
dengan nilai p=0,0001 (median 7,4 vs 9,8 vs 4,6 vs 1,3 vs 2,8 bulan). Berbeda
dengan penelitian Kim dkk35 bahwa tidak didapatkan perbedaan bermakna pada
PFS PS 0-1 dan ≥2 (median 3,80 vs 4,30 bulan; HR 0,773; p=0,054).
Penelitian J.Cadranel di Perancis tahun 2012, dimana di antara 522 pasien,
87% berkulit putih, 32% perempuan, dan 18% tidak pernah merokok, dengan
65% mengalami adenokarsinoma. Data biologis tersedia untuk 307 pasien,
menunjukkan 44 mutasi EGFR (14%) dan 42 KRAS (14%) mutasi. PFS median
adalah 2,4 bulan (rentang interkuartil, 1,4–4,6) dan median OS 5.6 bulan (rentang
interkuartil, 2.2–14.0). Faktor-faktor terkait secara independen dengan PFS adalah
status kinerja 1 atau 2 hingga 3 (rasio bahaya [SDM] = 1,5, interval kepercayaan
95% [CI] 1,1–1,9; dan SDM = 2.3, CI 1.7–3.1, masing-masing; p<0,001);
sebelumnya atau saat ini status perokok (HR = 1.8, CI 1.4–2.4 dan 2.0, CI 1.4–
2.8, masing-masing; p<0,001); histologi nonadenokarsinoma (sel skuamosa:
SDM = 0,9 CI 0.7–1.2]; lainnya: SDM = 1.6, 1.3–2.1; p<0,001); setidaknya dua
meta situs statis (HR = 1.3, CI 1.1–1.6 dan 1.6, CI 1.3–2.1, masing-masing;
p<0,001); kemoterapi berbasis taxane sebelumnya (HR = 1.3, CI 1.0–1.3, p =
0,01); non-putih (HR = 0,7, CI 0,5-0,9, p = 0,009). Serupa hasil ditemukan untuk
OS. Selain itu, mutasi EGFR dan KRAS secara signifikan terkait dengan PFS (HR
= 0,5, CI 0,3-0,7 dan HR = 1.2, CI 0.8-1.8, masing-masing, versus tidak ada
mutasi; LR p = 0,001).
Dalam populasi keseluruhan, 434 kematian dan 481 peristiwa terjadi
selama masa tindak lanjut. Median PFS adalah 2,4 bulan (IQR, 1,4-4,5), dengan
tingkat PFS 6 bulan menjadi 21% (95% CI, 17-24) (Gbr. 2 A ). PFS median
adalah 3,4 (IQR, 1,7-10,4), 2,4 (IQR, 1,3-5,0), dan 2,3 (IQR, 1,4-3,6) bulan pada
21
pasien menerima erlotinib sebagai terapi lini pertama, kedua, dan ketiga atau lebih
banyak, masing-masing. OS median adalah 5,6 bulan (IQR, 2,3-14,6 bulan),
dengan tingkat OS 1 tahun menjadi 31% (95% CI, 27-35) (Gbr. 2 A ). Ketika
dianalisis dengan garis terapi, median OS adalah 8.2 (IQR, 2,6 – tidak tercapai),
6,7 (IQR, 2,4-17,8), dan 4,5 (IQR, 2,1–12.1) bulan, masing-masing. Penyebab
utama kematian adalah kanker(n = 384), dengan kematian lain yang terkait
dengan penyakit intercurrent ( n =14 untuk paru dan n = 4 untuk jantung),
toksisitas kemoterapi ( n = 2), penyebab lain ( n = 15), dan tidak ditentukan ( n =
15).Status EGFR dan KRAS berdampak secara independen hasil pada pasien
kanker paru non-sel stadium lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI.Namun, status
EGFR mempengaruhi PFS dan OS sedangkan KRAS hanya berdampak pada
OS.Temuan-temuan ini mendukung penggunaan luas status EGFR untuk
pemilihan pasien sebelum EGFR-TKI terapi.Peran mutasi KRAS masih harus
dijelaskan.
Copyright © 2012 by the International Association for the Study of Lung Cancer
Journal of
Thoracic Oncology • Volume 7, Number 10, October 2012 Evaluation of EGFR
Mutation Status
the recommendations for EGFR analysis as a standard of care for first-line EGFR
therapy in patients with advanced KPKBSK (especially in the case of
adenocarcinoma histology).
Penelitian Fukuoka tidak ada efek pengobatan diferensial untuk PFS oleh
EGFR pro-ekspresi tein (pengobatan dengan interaksi status ekspresi protein
EGFR mutasi. PFS secara signifikan lebih lama untuk gefitinib versus
Karboplatin / paklitaksel pada pasien dengan ekspresi protein EGFR–tumor
positif (HR, 0,73; 95% CI, 0,55 hingga 0,96; P 0,024; n 266). Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam PFS antara perawatan di pasien dengan tumor ekspresi
EGFR protein-negatif (HR, 0,97; 95% CI, 0,64 hingga 1,48; P .893; n 99). ORR
serupa antara gefitinib dan Karboplatin / paklitaksel pajak kelompok untuk pasien
dengan baikEPRFRpenyataanpesan positif (51,5% v 41,8%; OR, 1,49; 95% CI,
0,92-2,42; P.109) atau EGFR ekspresi protein-negatif (34,0% v 26,1%; OR, 1,44;
22
95% CI, 0,60 ke 3.47; P .415) tumor. Tidak ada perbedaan signifikan dalam OS
untuk gefitinib dibandingkan Karboplatin / paklitaksel pada pasien dengan
ekspresi protein EGFR–positif (masing-masing 107 dan 105 peristiwa; SDM,
1,05; 95% CI, 0,80 hingga1.37; P.731) atau ekspresi protein EGFR – negatif (46
dan 37=acara masing-masing; SDM, 1,09; 95% CI, 0,70 hingga 1,70; P .692)
tumor.
Pada penelitian yang dilakukan Kim dkk, Lee dkk, atau Shepperd dkk
tidak ditemukan toksisiti hematologi terapi EGFR sebagai terapi lini kedua.Pada
penelitian kami toksisiti hematologi terapi EGFR-TKI terbanyak adalah anemia
45,2% dengan derajat toksisiti 1-2, diikuti leukopenia 1 pasien (3,2%) derajat 1
dan tidak ditemukan kejadian trombositopenia. Pada penelitian Jamaluddin
didapatkan toksisiti nonhematologi yang paling sering yaitu pada erlotinib
didapatkan mual 100% derajat 1-2, gatal dan jerawat 77,8% derajat 1-2, ruam/rash
dan kulit kering masing-masing 66,6% derajat 1-2. Kemudian diikuti muntah dan
nyeri 33,3% derajat 1-2 sedangkan diare (33,3%), peningkatan OT/PT (11,1%),
neuropati (22,2%) dan alopesia (55,6%) derajat 1. Penelitian Shepherd dkk
mendapatkan efek toksisiti erlotinib derajat 1-5 yaitu rash 15,6%, mual 8,2%,
muntah 5,1%, diare 11,3% dan pada penelitian ini didapatkan hampir semua
toksisiti nonhematologi derajat 3-5. Penelitian Lee dkk mendapatkan efek toksisiti
erlotinib sebagai terapi lini kedua yaitu rash derajat 1-3 72,9%, kulit kering derajat
1-2 20,9%, mual 4,2% derajat 1 dan tidak terdapat muntah, alopesia derajat 1
2,1% serta neuropati 6,3%. Efek toksisiti nonhematologi gefitinib sebagai terapi
lini kedua pada penelitian kami adalah tersering mual 80,6% derajat 1-2, gatal
26
77,4% derajat 1-2, jerawat 74,2% derajat 1-3, kulit kering 71% derajat 1-3,
alopesia 71% derajat 1-2, ruam 67,7% derajat 1-3, diare 58,1% derajat 1-3 dan
neuropati derajat 1-2 32,3%. Sedikit berbeda dengan penelitian Lee dkk yang
mendapatkan rash 62,5% derajat 1-3, sedangkan efek lain hanya derajat 1-2 yaitu
kulit kering 16,7%, diare 33,4%, mual 14,6% dan muntah 2,1% derajat 1,
neuropati derajat 1-2 8,4%. Pada penelitian kami tidak tidak diketahui atau tidak
dinilai adanya kelainan ILD baik dengan terapi gefitinib maupun erlotinib yang
sama dengan penelitian Lee dkk.Sedangkan pada penelitian Shepperd dkk.37
didapatkan kelainan ILD 0,6% dari 485 pasien yang mendapatkan terapi erlotinib.
Kelainan paranokia tidak didapatkan pada penelitian kami. Hal ini berbeda
dengan penelitian Lee dkk.36, yang mendapatkan paranokia derajat 1-2 10,4 pada
terapi gefitinib dan 8,3% derajat 1 dengan terapi erlotinib.
2.1.13 KEMOTERAPI
obat yang bekerja spesifik pda fase siklus sel tertentu yaitu obat dengan aktivitas
utama pada fase tertentu saja (schedule dependent) atau kelompok non spesifik
pada fase siklus sel yaitu obat yang secara signifikan bekerja pada beberapa fase
dalam siklus sel (dose dependent).
Gangguan pada saat sel kanker memasuki fase tertentu (check point) akan
menahan proses di fase tertentu menunggu terjadi perbaikan karena kemampuan
remanagement untuk pembentukan sel kanker baru yang diinginkan. Jika proses
perbaikan tidak terjadi, akan berlangsung pengaktifan proses apoptosis
(progammed cell death). Rangkaian ini menyebabkan terjadinya perusakan
pembentukan DNA dan pada akhirnya akan membunuh sel kanker, mencegah
pertumbuhan jaringan dan mencegah metastasis.
Kemoterapi hanya dibenarkan untuk pasien kanker paru yang telah didapat
kepastian diagnosisnya, yaitu diketahui jenis histologisnya melalui pemeriksaan
patologi anatomik. Kemoterapi merupakan salah satu modaliti utama terapi
kanker paru terutama untuk kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) dan
kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut atau stage
awal tetapi tidak cukup toleransinya untuk tindakan bedah karena berbagai sebab
(unoperable). Kemoterapi dapat diberikan untuk semua stage kanker paru
meskipun harus diingat pada KPKBSK stage awal (stage I dan II) pengobatan
bedah memberikan angka tahan hidup lebih panjang.
Obat-obat anti kanker tidak hanya bekerja pada sel kanker tetapi juga pada
sel normal terutama pada sel yang tumbuh cepat sehingga menyebabkan
munculnya toksisitas yang perlu mendapat perhatian khusus. Toksisitas obat
terbagi atas tpksisitas hematologis dan nonhematologis yang dinilai pada 2-3 hari
sebelum pemberian kemoterapi siklus berikutnya. Berat ringannya toksisitas
menurut kriteria WHO terbagi atas grade 0-4. Grade 3 dan 4 termasuk dalam
toksisitas berat dan perlu dipertimbangkan untuk menunda penggunaan obat
antikanker dengan rejimen kemoterapi yang digunakan.
Kemoterapi di indonesia dimulai pada sekitar tahun 1975. Regimen yang
digunakan pada awalnya terdiri dari siklofosfamid, adriamisin, vinkristin (CAV),
telah diberikan kepada penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil dipakai
siklofosfamid, adriamisin, 5 fluorourasil dan mitomisin C sampai tahun 80-an.
Kemoterapi pada kanker paru jenis karsinoma sel kecil menimbulkan perbaikan
subyektif pada 75% penderita, sedangkan pada kelompok penderita kanker paru
jenis karsinoma bukan sel kecil perbaikan subyektif dialami oleh 53,3%, kenaikan
berat badan terlihat ditemukan pada 16,7% dan respon obyektif berupa pengecilan
ukuran tumor terlihat pada 13,3%. Data diatas menunjukkan bahwa kemoterapi
tidak selalu memperburuk keadaan pasien.
Penelitian kurniajaya 1992 (dikutip dari) melaporkan ketahanan hidup
penderita kanker paru yang hanya mendapat paduan obat CAP II (Siklofosfamid,
Adriamisin dan Sisplatin), untuk KPKBSK menghasilkan ketahanan hidup 1
tahun sebesar 15% dan 21 bulan 8%, masa tengah tahan hidup 5,3 bulan. Panduan
obat lain untuk KPKBSK, yakni 5 Fluorourasil, Adriamisin, dan Mitomisin C
yang diberikan setiap 59 hari menghasilkan 32% ketahan hidup 1 tahun dan 11%
penderita hidup sampai 15 bulan, masa tengah tahan hidup ialah 5,2 bulan.
Paduan obat Ifosfamid dan Mitomisin C telah diuji pada penderita kanker
paru jenis karsinoma bukan sel stage III dan IV di Rumah Sakit Persahatan.
Setelah minimal diberikan 3 seri dengan interval 4 minggu, perbaikan klinis
terlihat pada 30%, angka tahan hidup 1 tahun ialah 70% dan masa tengah tahan
hidup ialah 14 bulan.
30
ini menghasilkan respon obyektif berupa partial response pada 8,6% pasien dan
stable disease pada 71,4% (overall respone rate 8,6% dan clinical respone rate
80%.
Sisplatin dipercaya termasuk senyawa platamin yang lebih toksik, namun
hal tersebut tidak terbukti pada penelitian Marlina yang menggunakan kemoterapi
Sisplatin+Etoposid untuk KPKBSK. Toksitasi non-hematologi (alopesia dan
gastrointestinal) dan toksiti hematologi (anmeia dan leukopenia) umumnya hanya
derajat 1-2 yang rata-rata mulai terjadi pada minggu pertama setelah kemoterapi
dilakukan.
Gemsitabin dikatakan mempunyai efek samping trombositopenia yang
mengkhawatirkan.Nazaruddin membandingkan regimen Karboplatin + gemsitabin
(KG), Karboplatin + Paklitaksel (KP) dan Karboplatin + etoposid (KE). Angka
kejadian trombositopenia akibat regimen kemotrapi kombinasi KG adalah 34,2%
lebih tinggi daripada regimen KP (5,2%) maupun KE (5,3%). Terdapat kolerasi
antara trombositopenia dengan perdarahan pada ketiga regimen kemotrapi,
sedangkan pada regimen KG tidak terdapat hubungan antara waktu terjadinya
trombositopenia pada pemberian gemsitabin pada hari ke-1 dan hari ke-8.
Perdarahan akibat regimen KG terjadi 21,1% pasien, namun hanya derajat 1-2.
Penelitian Nazaruddin juga menemukan KG lebih cepat menimbulkan toksisitas
hematologi dibandingkan regimen KP atau KE.Anemia, leucopenia, dan
granulositopenia juga terlihat lebih sering pads regimen yang mengandung
Gemsitabin.
Suatu hal yang menarik tentang regimen yang mengandung Gemsitabin
ialah efek samping nonhematologis yang minimal, dibandingkan dengan yang
ditimbulkan oleh paduan obat lain. Gejala-gejala gastrointestinal yang sering
menggangu kepatuhan berobat pasien umumnya sangat jarang di temukan. Begitu
pula alopesia hamper tak pernah terjadi. Banyak pasien yang tetap memiliki
rambut yang utuh, sehingga lebih nyaman menjalani seri kemotrapi sampai
selesai.Bagi sebagian besar pasien penampilan fisik tetap menjadi prioritas dan
hal ini termasuk kebutuhan yang sedapat mungkin di penuhi dengan baik.
32
terjadi mutasi pada gen EGFR ini, maka kedua jalur ini akan diaktifkan dan
terjadilah poliferasi sel, dediferensiasi, migrasi, angiogenesis dan pemanjangan
apoptosis, semuanya menjadikan pertumbuhan sel yang berlebihan dan tak
terkontrol. Dijalur lain dapat juga terjadi aktivasi kedua jalur ini tanpa di sertai
mutasi gen EGFR. Hal ini dapat terjadi misalnya bila gen KRAS bermutasi, maka
secara otomatis timbul signal-signal proliferasi dan lain-lain, yang juga
menghasilkan pertumbuhan sel kanker. Selain itu mutasi gen KRAS pun dapat
menghasilkan faktor-faktor pertumbuhan epitel yang akan ditangkap oleh reseptor
EGFR dan memicu terjadinya keganasan. Mutasi EGFR lebih sering terjadi pada
perempuan buakn perokok, sadangkan pada laki-laki perokok lebih sering terjadi
mutasi gen KRAS.
Mutasi EGFR pertama kali di laporkan pada November 2004 dan mutasi
EGFR di domain tirosin kinase pada pasien adenokarsinoma paru terlah menjadi
focus utama penelitian dalam memahami pathogenesis dan pengobatan terkini.
Mutasi EGFR yang terjadi di domain tirosin kinase dikenal sebanyak 192 mutasi
dan 165 (85,9%) diantaranya terjadi di dua ekson yang utama yaitu ekson 19 dan
ekson 21. Distribusi mutasi EGFR yang di teliti pada 569 sampel mutasi EGFR
pada 14 penelitian menunjukkan mutasi terjadi di domain tirosin kinase dengan 4
tipe utama mutasi yaitu, mutasi titik di kodon 719 (G719X), delesi di ekson 19,
mutasi insersi di ekson 20 dan mutasi titik L858R di ekson 21.
Mutasi EGFR paling sering ditemukan pada pasien KPKBSK, perempuan,
ras Asia Timur, bukan perokok, dan jenis adenokarsinoma. Berbagai penelitian
menunjukkan mutasi EGFR terjadi pada 44%-55% pasien adenokarsinoma, 51%-
68% pada bukan perokok, 42%-62% pada perempuan dan 30%-50% pada ras
Asia. Mutasi EGFR juga terjadi pada 10% perook, 14% laki-laki dan 8%
adenokarsinoma yang berasal dari ras Eropa. Penilitian Zhang dkk (2012) tentang
mutasi EGFR pada 205 spesimen pasien KPKBSK di Cina menunjukkan mutasi
delesi di ekson 19 dan mutasi titik di ekson 21 terjadi pada 66 (32,2%) specimen
dan 43% adenokarsinoma, 60% perempuan dan 57% bukan perokok. Penelitan
Syahruddin dkk terhadap 1874 kanker paru yang baru di diagnosis menunjukkan
34
frekuensi mutasi EGFR 44,4%. Mutasi EGFR (insersi-delesi ekson 19, L858R)
57,1% dan mutasi yang jarang (G719X, T790M, L861Q) 29%.
Thyrosine kinase inhibitor (TKI) bekerja menghambat kerja tirosin kinase
yang merupakan komponen gen EGFR. Seperti telah di uraikan diatas, mutasi
pada gen EGFR menyebabkan terjadinya signal-signal yang memicu rangkaian
perubahan kearah keganasan. Obat penghambat tirosin kinase mencegah
terjadinya rangkaian signal ini, sehingga proliferasi sel di hambat, apoptosis
dipercepat, kemampuan infiltrasi dan metastasis di cegah. Di Indonesia obat terapi
target baru golongan EGFR-TKI yang pertama diperkenalkan ialah Gefitinib (ZD-
1839, Iressa) berupa tablet oral dengan dosis yang dianjurkan 250 mg/hari,
kemudian Erlotinib (OSI-774, Tarceva) berupa tablet oral dengan dosis maksimal
yang dianjurkan 150 mg/hari.
Penelitian fase III pada penggunaan untuk kanker paru sebagai lini ke-2
dan lini ke-3 setelah pemberian kemoterapi, baik Gefitinib maupun Erlotinib di
toleransi dengan baik oleh pasien, selain itu juga cukup aman.Beberapa uji klinik
yang lebih luas di berbagai Negara menunjukkan bahwa kedua obat tersebut
memberi respon obyektif maupun respon subyektif yang jauh lebih baik pada
subset terrtentu, yaitu perempuan, jenis adenokarsinoma, bukan perokok, suku
bangsa Asia. Gefitinib telah direkomendasikan oleh Food and Drug
Administration (FDA) pada tahun 2003 dan Erlotinib pada bulan November 2004
oleh FDA dan European Medicines Agency pada bulan Juni 2005 sebagai terapi
lini kedua dan ketiga untuk pasien KPKBSK stage lanjut.
Penelitian Iressa Pan Asia Study (IPASS) fase 3 dilakukan untuk
membandingkan efikasi dan toksisitas Gefitinib atau Karboplatin dan Paklitaksel
sebagai terapi lini pertama pada 1217 pasien karsinoma paru dengan ras Asia
Timur termasuk Indonesia. Gefitinib (250 mg/hari) diberikan kepada 609 pasien
adenokarsinoma paru bukan perokok atau bekas perokok ringan.Kombinasi
Karboplatin (5-6 mg/ml/menit) dan Paklitaksel (200mg/mm²) diberikan kepada
608 pasien adenokarsinoma paru sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian
menunjukkan progressin free survival (PFS) dalam waktu 12 bulan ialah 24.9%
pada kelompok Gefitinib dan 6.7% pada kelompok Karboplatin-Paklitaksel.
35
Tingkat respon objektif lebih tinggi pada kelompok Gefitinib (43%) dan berbeda
bermakna dibandingkan dengan kelompok Karboplatin dan Paklitaksel (32%).
Angka tengah tahan hidup pada kelompok Gefitinib 18,6 bulan dan kelompok
Karboplatin dan Paklitaksel 17,3 bulan. Kualitas hidup kelompok Gefitinib lebih
baik dan berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kelompok Karboplatin dan
Paklitaksel.
Beberapa uji klinik yang lebih luas di beberapa Negara menunjukkan
kedua obat tersebut memberikan respon obyektif maupun respon subyektif yang
jauh lebih baik pada populasi tertentu, yaitu perempuan, jenis adenokarsinoma,
bukan perokok dan suku bangsa Asia.
EGFR-TKI generasi kedua, yaitu Afatinib (Giotrif® atau Gilotrif® dan
Dakomitinib (Vizimpro®), memiliki mekanisme kerja menghambat 4 EGF
reseptor tirosin kinase, secara ireversibel. Pada penelitian LUX-Lung 3 dan LUX-
Lung 6, Afanitib secara bermakna meningkatkan Progression-Free survival pasien
yang memiliki mutasi EGFR ekson 21 L858R dan ekson 19 In/del, dibandingkan
dengan pemberian kemoterapi. Keuntungan perpanjangan PFS ini terutama
didapat pada ekson 19. Pada penelitian ARCHER 1050, Dakominitib (generasi
kedua EGFR TKI), member keuntungan PFS dibandingkan dengan Gefinitib
(Overal survival 34.1 bulan pada dakominitib vs 26,8 bulan pada grup Gefinitib).
Penelitian kohort retrospektif di RS Rujukan Respirasi Nasional
Persahabatan tentang efikasi dan toksisitas terapi target baru golongan EGFR-TKI
kemoradioterapi pada EGFR wild type. Sybjek penelitian berjumlah 61 pasien,
terdiri dari 31 pasien KPKBSK nonskuamosa dengan mutasi EGFR positif dan 30
pasien dengan EGFR wild type. Penelitian ini menemukan rata-rata time to
progression (TTP) kelompok pasien KPKBSK nonskuamosa yang diberi terapi
target EGFR-TKI lebih panjang (40 minggu) daripada kelompok pasien yang
diberi kemoterapi atau kemoraditerapi (30 minggu).
dengan sampel terbesar menyebutkan mekanisme mutasi EGFR T790M dan MET
meliputi hingga lebih dari 60% semua mekanisme kekebalan yang terjadi.
kembali pada mereka yang memiliki PFS lebih dari 6 bulan selama pemberian
TKI yang pertama.
didapat yang lain sehingga penting untuk melakukan biopsi ulang pada KPKBSK
mutasi EGFR dengan resistensi didapat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
44
Sosiodemografi :
Umur
Jenis Kelamin
Suku/Etnis
Pendidikan
Stage
Mutasi
Toksisitas Hematologi
3.7 DefinisiOprasional
f. 67 - 72 tahun
g. 72 - 77 tahun
Jenis Jenis Kelamin Rekam a. Laki-laki Nominal
penderita
Kelamin Medik b. Perempuan
Adenocarsinoma
sebagaimana tercatat
dalam kartu status,
yang di bedakan
berdasarkan Laki-laki
dan Perempuan
Suku Etnis yang di miliki Rekam a. Batak Nominal
oleh penderita
Medik b. Jawa
Adonocarsinoma
c. Aceh
Pekerjaan Kegiatan utama yang Rekam a. IRT Nominal
di lakukan oleh Medik
b. Petani
penderita
c.Wiraswasta
Adenocarsinoma
(Pedagang, Pengusaha
dll)
d. Pegawai Swasta
e. Pegawai Negeri Sipil
Nominal
(PNS)
f. Pensiunan
Status Penderita yang Rekam Nominal
a. aktif
Perokok merokok dan terpapar Medik
b. pasif
asap rokok
a. III a
Stage Gambaran untuk
b. III b
mengukur seberapa Rekam Nominal
c. III c
besar pertumbuhan sel Medik
d. IV a
kanker
e. IV b
a. mutasi exon 19
Mutasi Perubahan materi
b. mutasi exon 21
genetik (gen atau
L858R
kromosom) suatu sel
c. mutasi exon 21
yang diwariskan Rekam
L861Q
kepada keturunannya Medik
d. mutasi delesi exon 19
e. mutasi exon 21
a. Grade 0 : Hb >11.0
Toksisitas Kemampuan suatu zat
b. Grade I : Hb 9.5-10.9
Hematologi kimia dalam
c. Grade II : Hb 8.0-9.4
menimbulkan Rekam
d. Grade III : Hb 6.5-
kerusakan pada sistem Medik
48
a.Editing
Dilakukan pemeriksaan dan perbaikan data yang sudah ada
menjadi data yang benardan terisi secara lengkap.
b.Coding
Data yang sudah terkumpul dandi edit, kemudian diberi kode
secara manual sebelum di olah dengan komputer.
c.Entry
Data yang sudahdiberibentukkodedimasukkankedalam program
atau software komputerPredictive Analytics Software (PASW).
d.Cleaning Data
Pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan kedalam computer
guna menghindari terjadinya kesalahan dan pemasukan data.