Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendengaran merupakan salah satu indera khusus yang dimiliki oleh manusia.

Dengan adanya sistem pendengaran, maka manusia dapat menjalankan fungsinya

untuk mendengar.1 Sistem pendengaran merupakan indera mekanoreseptor karena

telinga yang memberi respon terhadap getaran mekanik gelombang suara yang

berada di udara.1,2 Suara yang di dengar manusia dapat dibagi dalam (1) bunyi,

(2) nada murni, dan (3) bising.2,3

Bunyi merupakan kombinasi beberapa frekuensi nada murni yang dapat

didengar oleh telinga normal. Sedangkan frekuensi merupakan jumlah gelombang

suara setiap detiknya yang dinyatakan dalam satuan Hertz (Hz). Rentang

frekuensi pendengaran telinga normal manusia berkisar antara 20-20.000 Hz.2,3

Tidak seperti bunyi, nada murni hanya terdiri dari satu frekuensi, misalnya

garputala dan piano. Sedangkan bising diartikan sebagai suara yang dapat

menurunkan pendengaran baik secara kuantitatif dengan meningkatkan ambang

pendengaran, maupun secara kualitatif yaitu dengan penyempitan spektrum

pendengaran. Suara yang dapat menurunkan pendengaran tersebut merupakan

suara yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai kebisingan.2,3,4

Kebisingan merupakan hal yang dianggap berbahaya karena dapat

menimbulkan gangguan pendengaran.4,5,6,7 Kebisingan dapat bersumber dari alat-

alat produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat

menimbulkan gangguan pendengaran.6,7 Alat-alat produksi tersebut dapat ditemui

1
2

pada kawasan industri kelistrikan seperti, pada kawasan Industri Pembangkit

Listrik Tenaga Diesel (PLTD).6,7,8,9,10 Dalam pengoperasiannya sebagai

pembangkit listrik, intensitas bising mesin-mesin diesel yang berkapasitas tinggi

tersebut akan meningkat karena proses industrinya dipercepat untuk memperoleh

hasil produksi yang paling baik.8,9,10

Peningkatan intensitas bising tersebut dapat menjadi salah satu penyebab

terjadinya gangguan kesehatan seperti gangguan pendengaran.6,7 Oleh sebab itu,

maka Menteri Negara Lingkungan Hidup memutuskan pada keputusan No:

Kep48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan yang menyebutkan

bahwa kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan

dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan

manusia dan kenyamanan lingkungan.11

Dalam suatu lingkungan kerja, kebisingan memiliki batas maksimum dan

minimum. Batasan tersebut diukur dengan Nilai Ambang Batas (NAB) dalam

satuan desibel (dB). NAB adalah besarnya tingkat suara dimana sebagian besar

tenaga kerja masih berada dalam batas aman untuk bekerja selama 8 jam sehari

atau 40 jam seminggu atau sesuai dengan Permenker No. 51/11/1996 tentang

NAB faktor-faktor fisik di tempat kerja. NAB yang seharusnya diterapkan di

pabrik atau perusahaan adalah 85 dB(A). Jika NAB melebihi 85 dB(A) maka akan

menimbulkan dampak yang tidak baik bagi prodiktivitas tenaga kerja.11

Bising yang cukup keras dengan intensitas di atas 70 dB dapat

menyebabkan kegelisahan (nervousness), kurang enak badan, kejenuhan

mendengar, sakit lambung dan masalah peredaran darah. Sedangkan untuk


3

intensitas di atas 85dB dapat menyebabkan kemunduran yang serius pada kondisi

kesehatan seseorang pada umumnya dan bila berlangsung lama akan

menyebabkan kehilangan pendengaran sementara atau permanen dan masalah

penyakit jantung serta tekanan darah tinggi.12

Di Amerika Serikat didapati sekitar 10 juta orang dewasa dan 5,2 juta

anak sudah menderita gangguan pendengaran akibat bising dan 30 juta lebih

lainnya terkena dampak bising yang berbahaya setiap harinya.13 Pada tahun 1992,

studi di Jerman menunjukkan bahwa terdapat 12% - 15% pekerja industri yang

terpapar kebisingan industri lebih dari 85dB setiap harinya. Setelah beberapa

tahun terpapar maka dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Sehingga pada

tahun 1999 tercatat 12400 kasus gangguan pendengaran akibat terpapar

kebisingan industri.6

Pada tahun 2014 terdapat juga penelitian pada Pembangkit Listrik Tenaga

Diesel Bitung Sektor minahasa oleh Ratunuman SG, et al14, yang menunjukan

bahwa terdapat peningkatan ambang pendengaran pada para tenaga kerja yang

bekerja di ruang sentral. Presentase nilai ambang dengar untuk ambang dengar 0-

25 dB (tingkat ketulian normal) yaitu 56,4% pada telinga kanan dan kiri, ambang

dengar 26-40 dB (tingkat ketulian ringan) pada telinga kanan 41% dan pada

telinga kiri 38,5%, dan ambang dengar 41-60 dB (tingkat ketulian sedang pada

telinga kanan 2,6% dan pada telinga kiri 5,1%.14

Pada tahun 2015 dilakukan penelitian oleh Rahmawati D15, mengenai

faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada pekerja di

departemen metal forming dan heal treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero).
4

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara

faktor-faktor seperti usia, kebisingan, lama kerja, dan penggunaan alat pelindung

telinga dengan gangguan pendengaran.

Pada tahun 2015 dilakukan pula penelitian oleh Fithri P, et al10 di PLTD

RU II Dumai, Riau yang menganalisis tingkat kebisingan dan dampak yang

ditimbulkannya pada para pekerja. Berdasarkan pengolahan data didapatkan

tingkat kebisingan yang tinggi melebihi 85 dB. Sehingga dampak dari kebisingan

yang dirasakan oleh para pekerja yaitu gangguan komunikasi, gangguan

pendengaran dan gangguan psikologis. Penelitian serupa juga dilakukan di PLTD

Kelurahan Pangkalan batang, Bengkalis pada tahun 2013 dan didapatkan tingkat

kebisingan rata-ratanya melebihi 85 dB, sehingga didapat para pekerja mengalami

gangguan fisiologis berupa gangguan pendengaran sedang dan keluhan rasa sakit

kepala bila lama di tempat bising.10

Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah ada dan yang telah

memaparkan banyak hal mulai dari tingkat kebisingan pada daerah industri

sampai dengan dampaknya bagi kesehatan para pekerja maupun masyarakat

sekitar, dapat dilihat bahwa belum ada uraian tentang penelitian serupa di kota

Ambon.

Berdasar hasil observasi awal yang dilakukan peneliti di PT.WIKA PLTD

MFO 250 MW Ambon, ditemukan bahwa pernah terdapat keluhan dari pekerja

yang berhubungan dengan pendengaran. Selain itu, terdapat beberapa pekerja

yang mengaku tidak mendapatkan pemeriksaan kesehatan awal yang berhubungan

dengan pendengaran pada saat bekerja di tempat tersebut. Pada pemeriksaan


5

kesehatan berkala juga diketahui tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan yang

berhubungan dengan pendengaran para pekerja sehingga pada akhirnya peneliti

memutuskan untuk perlu dilakukan penelitian mengenai ”Karakteristik

Pendengaran Pekerja Mesin PT.WIKA PLTD MFO 250 MW Ambon”.

1.2 Rumusan Masalah

Pendengaran manusia berespon terhadap gelombang suara. Gelombang suara

yang dapat didengar manusia di bagi dalam bunyi, nada murni dan kebisingan.

Kebisingan merupakan suara yang tidak dikehendaki dan dapat menimbulkan

gangguan pendengaran. Kebisingan dapat ditemukan di kawasan industri seperti

pada kawasan industri Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Berbagai penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa baik para pekerja maupun

masyarakat yang berada di sekitar kawasan industri dengan intensitas kebisingan

yang tinggi didapatkan mengalami gangguan fisiologis. Gangguan tersebut dapat

berupa gangguan kecemasan, ketidaknyamanan sampai dengan gangguan

pendengaran. Penelitian tersebut sebelumnya belum pernah dilakukan di Kota

Ambon. Dengan demikian, penilitian serupa perlu dilakukan dengan perumusan

masalah bagaimanakah karakteristik pendengaran para pekerja mesin industri

dengan intensitas kebisingan tinggi yakni pada PT.WIKA PLTD MFO 250 MW

Ambon.
6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik pendengaran pada pekerja mesin PT.WIKA

PLTD MFO 250 MW Ambon.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui karakteristik pendengaran pada pekerja mesin

PT.WIKA PLTD MFO 250 MW Ambon berdasarkan usia.

1.3.2.2 Untuk mengetahui karakteristik pendengaran pada pekerja mesin

PT.WIKA PLTD MFO 250 MW Ambon berdasarkan lama kerja.

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan juga menambah ilmu

pengetahuan dan dapat menjadi bahan informasi bagi yang

membutuhkannya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukkan

kepada:

1. PT.WIKA PLTD MFO 250 MW Ambon untuk mengetahui

karakteristik pendengaran para pekerja mesin industri tersebut.

2. Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura sebagai bahan dan

sumber penelitian lebih lanjut.


7

3. Peneliti, dimana seluruh proses ini dapat meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan dalam bidang penelitian.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendengaran Manusia

2.1.1 Anatomi organ pendengaran

Telinga merupakan organ pendengaran yang secara anatomi maupun

fungsional dapat dibagi menjadi telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.2

Gambar 2.1. Anatomi telinga


[sumber. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 7th ed. Brooks/Cole; 2010]

2.1.1.1 Telinga Luar

Telinga luar merupakan bagian yang terletak di sebelah luar dari membran

timpani. Terdiri dari daun telinga (pinna), saluran liang telinga (meatus acousticus

externus), dan membran timpani atau gendang telinga.2 Daun telinga memiliki

bentuk yang berlekuk-lekuk yang merupakan lempengan tulang rawan yang

dilapisi kulit. Daun telinga dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan

ligamentum. Lekukan yang ada pada daun telinga memiliki nama. Lekukan yang

utama adalah heliks, dan antiheliks, tragus, antitragus, dan konka.16,17


9

2.1.1.2 Membran Timpani

Membran timpani terletak membentang memisahkan telinga luar dan

telinga tengah.17 Membran timpani bergetar ketika terkena gelombang suara.1,2

Bagian luar membran timpani terpajan ke tekanan atmosfer yang mencapainya

melalui saluran telinga. Sedangkan, bagian dalamnya menghadap ke rongga

telinga tengah yang juga terpajan tekanan atmosfer melalui tuba eustakhius

(auditorius), yang menghubungkan telinga tengah dengan faring.17

2.1.1.3 Telinga Tengah

Telinga tengah terletak di dalam tulang temporal, terdiri dari kavum

timpani dan recessus epitymphani.17 Kavum timpani membentuk suatu ruangan

yang terisi oleh udara. Udara tersebut terbawa masuk melalui tuba auditorius yang

bermuara pada nasofaring.1,2,17 Terdapat 3 buah tulang pendengaran di dalamnya

yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang-tulang tersebut melanjutkan getaran yang

diterima oleh membran timpani secara berantai melintasi kavum timpani dan

menuju ke telinga bagian dalam.1,2,17

2.1.1.4 Telinga Dalam

Telinga dalam terletak di pars petrosa pada tulang temporal. Telinga dalam

terdiri dari koklea, vestibulum, dan tiga buah kanalis semisirkularis.17 Koklea

merupakan bagian yang berperan penting dalam indera pendengaran. Koklea

merupakan bagian dari telinga dalam yang berukuran sebesar kacang polong dan

berbentuk mirip siput. Di sebagian besar panjangnya, koklea dibagi menjadi tiga

kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Pada kompartemen tengah terdapat

duktus koklearis yang buntu, yang juga disebut sebagai skala media.
10

Kompartemen atas, yaitu skala vestibuli yang mengikuti kontur dalam spiral, dan

skala timpani yang merupakan kompartemen bawah yang ,mengikuti kontur luar.

Skala media mengandung organ korti yang berperan penting dalam penerimaan

dan transmisi sinyal ke saraf untuk dipresepsikan sebagai suara.1,2,17

Gambar 2.2. Telinga bagian tengah dan koklea


[sumber. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 7th ed. Brooks/Cole; 2010]

2.1.2 Fisiologi Pendengaran Manusia

Proses pendengaran terjadi karena adanya getaran atmosfer yang disebut

gelombang suara yang memiliki kecepatan dan volume yang berbeda.2

Gelombang suara tersebut bergerak melalui liang telinga luar menuju ke membran
11

timpani sehingga menggetarkan membran timpani.2,18 Getaran tersebut kemudian

diteruskan menuju tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes.

Sehingga getaran tersebut menjadi semakin besar dan disalurkan ke fenestra

vestibuler menuju perilimfe. Getaran kemudian dialihkan menuju endolimfe

dalam saluran koklea dan rangsangan menuju organa korti selanjutnya

dihantarkan ke otak.1,2,19

Sistem pendengaran manusia bekerja dengan melakukan konversi energi

mekanik menjadi respon elektrokimia dalam waktu yang begitu cepat.2,20 Telinga

manusia terdiri dari 3 bagian yaitu telinga bagian luar, telinga bagian tengah yang

berisi udara dan bagian dalam yang berisi cairan. Telinga bagian luar berfunsi

untuk mengumpulkan suara, telinga bagian tengah berfungsi untuk mengkonversi

dan kemudian mengirimkan rangsangan suara ke telinga bagian dalam di mana

terdapat reseptor sensorik.2, 20

Mekanisme mendengar dimulai ketika daun telinga menangkap getaran

suara, kemudian getaran suara tersebut dialirkan ke liang telinga. Suara tersebut

pun menggetarkan membran timpani.1,2,19 Di sini terjadi penguatan bunyi sebesar

15 dB pada freksuensi antara 2 sampai 5 kH. Getaran pada membran timpani

kemudian menggetarkan tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus, dan

stapes yang memiliki hubungan satu sama lain.2,18,19 Tulang-tulang tersebut

kemudian memperkuat dan meningkatkan getaran suara sebesar 1,3 kali melalui

efek pengungkit rantai tulang pendengaran dan efek hidrolik membran timpani

sebesar 17 kali. Total penguatan bunyi yang terjadi sebesar 25 sampai 30 dB.

Diperlukan penguatan bunyi agar bunyi tersebut mampu dirambatkan terus ke


12

perilimfe. Getaran bunyi yang telah diperkuat tersebut menggerakan stapes yang

menutup foramen ovale. Gerakan perilimfe dalam skala vestibuli mengakibatkan

getaran langsung ke arah skala media dan menekan membran basilaris. Gerakan

tersebut menyebabkan gesekan membran tektoria terhadap rambut sel-sel sensoris

sehingga sel-sel rambut tersebut bergerak dan menyebabkan perubahan kimiawi

yang kemudian menghasilkan listrik biologik dan reaksi biokimiawi pada sel

sensorik hingga timbul muatan listrik negatif pada dinding sel.2,21 Ujung saraf

VIII (vestibulokoklearis) yang menempel pada dasar sel sensorik akan

menampung mikroponik yang terbentuk. Lintasan impuls audiotori selanjutnya

menuju ganglion spinalis korti, saraf VIII, nukleus koklearis di medula oblongata,

kolikulus superior, korpus genukulatum medial, korteks audiotori di lobus

temporalis serebri kemudian diterjemahkan menjadi suara yang kita kenal dan

pahami.2,21

Gambar 2.3. Transmisi gelombang suara


[sumber. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 7th ed. Brooks/Cole; 2010
13

2.2 Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran merupakan keadaan yang menunjukkan adanya

perubahan pada tingkat pendengaran, sehingga dapat mengakibakan seseorang

yang berada dalam keadaan tersebut mengalami kesulitan dalam berkehidupan

normal yakni dalam hal memahami pembicaraan.15

Perubahan pada tingkat pendengaran ini sering dikenal sebagai tuli atau

hilang pendengaran. Tuli sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tuli konduktif

atau tuli hantaran dan tuli sensorineural.2

2.2.1 Tuli Konduktif atau Tuli Hantaran

Keadaan ini terjadi bila gelombang suara yang dihantarkan melalui bagian

luar dan tengah telinga tidak adekuat untuk menggetarkan cairan di telinga dalam.

Terdapat beberapa kemungkinan penyebabnya seperti adanya sumbatan fisik di

saluran telinga oleh serumen, pecahnya gendang telinga, infeksi telinga yang

disertai penimbunan cairan, atau restriksi gerakan osikulus oleh karena adanya

perlekatan tulang antara stapes dan jendela oval.2

2.2.2 Tuli Sensorineural

Tuli jenis ini dapat terjadi karena gelombang suara yang ditransmisikan ke

telinga dalam tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dapat

diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara.2 Kelainan pada tuli jenis ini

terdapat pada koklea atau pada nervus auditorius.2,3


14

2.2.2.1 Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss)

Merupakan gangguan pendengaran yang terjadi karena terpapar bising

yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan

oleh bising lingkungan kerja. Gangguan pendengaran ini memiliki sifat tuli

sensorineural koklea yang umumnya terjadi pada kedua telinga.3

Gangguan Pendengaran Akibat Bising memiliki gejala yatu terjadinya

kurang pendengaran yang tidak atau disertai dengan tinitus (berdenging di

telinga). Keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa juga

dikeluhkan pada kasus berat. Bahkan bila lebih berat lagi, percakapan yang

keraspun akan sulit dimengerti.15

Pajanan bising pada organ pendengaran secara klinis dapat

menimbulkan22:

1. Reaksi adaptasi adalah respon kelelahan yang dikarenakan rangsangan bunyi

dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang. Keadaan ini merupakan keadaan

fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.

2. Peningkatan ambang dengar sementara, adalah keadaan dimana terdapat

peningkatan ambang dengar karena terpapar bising yang intensitasnya cukup

tinggi. Keadaan ini dapat pulih kembali dalan beberapa menit atau jam.

Peningkatan ambang dengar sementara ini awalnya terjadi pada frekuensi

4000 Hz, tetapi jika paparan berlangsung lama maka kenaikan nilai ambang

pendengaran sementara akan menyebar pada frekuensi sekitarnya. Semakin

tinggi intensitas dan lama waktu paparan, maka semakin besar pula

perubahan nilai ambang pendengarannya. Peningkatan ambang dengar


15

sementara ini pada gambaran audiometri akan tampak sebagai ”notch” yang

curam pada frekuensi 4000 Hz, yang disebut juga ”acoustic notch”.

3. Peningkatan ambang dengar menetap, adalah keadaan di mana terdapat

peningkatan ambang dengar yang menetap. Keadaan ini terjadi akibat

terpapar bising dengan intensitas sangat tinggi yang berlangsung singkat

(eksplosif), maupun yang berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan

pada berbagai struktur koklea, seperti kerusakan organ corti, sel-sel rambut,

stria vaskularis, dan lain-lain. Peningkatan ambang dengar menetap biasanya

terjadi sekitar frekuensi 4000 Hz, kemudian perlahan-lahan meningkat dan

menyebar ke frekuensi sekitarnya. Pada mulanya tidak disertai dengan adanya

keluhan, namun apabila sudah terjadi penyebaran ke frekuensi yang lebih

rendah (2000-3000 Hz) maka akan timbul keluhan. Awalnya seseorang akan

merasakan kesulitan dalam pembicaraan di tempat yang ramai, namun bila

sudah menyebar ke frekuensi yang lebih rendah maka akan terjadi kesulitan

pula untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch berawal pada

frekuensi 3000-6000 Hz, dan setelah beberapa waktu pada frekuensi yang

lebih tinggi gambaran audiogram menjadi datar. Kehilangan pendengaran

pada frekuensi 4000 Hz akan terus bertambah, setelah 10 tahun dapat

menetap dan kemudian perkembangannya melambat.22

Kehilangan pedengaran sementara akibat terpajan bising biasanya dapat

sembuh sesudah istirahat beberapa jam (1-2 jam). Bila terpapar bising dengan

intensitas tinggi dalam waktu yang cukup lama, maka dapat mengakibatkan

robeknya sel-sel rambut organ korti sampai organ korti mengalami destruksi total.
16

Terjadinya proses ini masih belum jelas, tetapi mungkin dikarenakan rangsangan

bunyi yang berlebihan dalam waktu lama yang dapat menyebabkan perubahan

metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan degeneratif pada struktur

sel-sel rambut organ korti. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kelihangan

pendengaran permanen frekuensi pendengaran.22

Penurunan intensitas pendengaran umumnya terjadi pada frekuensi antara

3000-6000 Hz dan kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi terberat terjadi pada

frekuensi 4000 Hz. Proses ini merupakan proses yang lambat dan tersembunyi,

sehingga tidak terdeteksi oleh para pekerja pada tahap awal dan memerlukan

pemeriksaan audiometri untuk membuktikannya. Jika bising berlangsung dalam

waktu yang cukup lama dengan intensitas tinggi, akhirnya pengaruh penurunan

pendengaran akan menyebar ke frekuensi percakapan (500-20000 Hz). Pada saat

itu pekerja mulai tidak dapat mendengar percakapan sekitarnya dan merasakan

ketulian.22

2.3 Pemeriksaan Pendengaran

2.3.1 Pemeriksaan Pendengaran Menggunakan Garpu Tala

Pemeriksaan dengan garpu tala merupakan tes kualitatif. Tes ini dapat

dilakukan dengan beberapa metode seperti metode tes weber, tes swabach dan tes

rinne.3,23

1. Tes Rinne

Tes ini dilakukan dengan membandingkan hantaran melalui udara dan

hantaran melalui tulang pada telinga orang yang diperiksa. Telinga normal

masih akan mendengar penala melalui hantaran udara, keadaan ini disebut
17

dengan ”Rinne Positif”. Hal ini terjadi terjadi karena hantaran udara lebih

besar daripada hantaran tulang. Namun apabila pasien tidak dapat mendengar

melalui hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar oleh hantaran

tulang, maka keadaan ini disebut dengan “Rinne Negatif”`.

2. Tes Weber

Tes ini dilakukan dengan membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan

kanan pada orang yang diperiksa. Umumnya bunyi penala yang didengar oleh

pasien pada telinga dengan konduksi tulang yang lebih baik atau dengan

komponen konduktif yang lebih besar. Bila nada terdengar pada telinga yang

dilaporkan lebih buruk, maka pada telinga tersebut perlu dicurigai tuli

konduktif. Bila terdengar pada telinga yang lebih baik, maka pada telinga

yang terganggu dicurigai tuli sensorineural.

3. Tes Swabach

Tes ini dilakukan dengan membandingkan hantaran tulang orang yang

diperiksa dan pemeriksa. Dengan syarat pendengaran pemeriksa harus

normal. Tes ini dikatakan normal jika hantaran tulang pasien dan pemeriksa

hampir sama. Jika hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa,

maka dikatakan “Swabach memanjang”. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus

gangguan pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat

mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengarnya, maka dikatakan

“Swabach memendek”.
18

2.3.2 Pemeriksaan Pendengaran dengan Tes Berbisik

Pemeriksaan pendengaran dengan tes berbisik merupakan tes semi-

kuantitatif yang menentukan derajat ketulian secara kasar.3

2.1.4 Pemeriksaan Pendengaran Menggunakan Audiometri

Audiometri merupakan salah satu alat yang dipakai untuk pemeriksaan

pendengaran. Hasil pemeriksaan audiometri direkam dalam grafik yang disebut

dengan audiogram. Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau

tuli. Dapat dilihat juga jenis ketulian dan derajat ketulian. Pemeriksaan ini

dilakukan dalam ruang kedap suara atau ruang dengan kebisingan kurang dari 40

dB. Derajat ketulian dihitung dengan indeks Fletcher yaitu rata-rata ambang

pendengaran pada frekuensi 500, 1000 dan 2000 Hz. Dengan membaca

audiogram, maka dapat diketahui derajat gangguan pendengaran seseorang

sebagai berikut3,12:

1. Normal, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar

antara 0 - 25 dB.

2. Tuli ringan, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar

antara 26 – 40 dB.

3. Tuli sedang, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri berkisar

antara 41 – 60 dB.

4. Tuli berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksan audiometri berkisar

antara 61 – 90 dB.

5. Tuli sangat berat, jika ambang pendengaran pada pemeriksaan audiometri >

90 dB.
19

Pemeriksaan audiometri dalam usaha memberikan perlindungan maksimum

terhadap pekerja dilakukan sebagai berikut15:

1. Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di daerah kerja yang bising.

2. Secara berkala.

3. Pekerja yang terpajan kebisingan >85 dBA selama 8 jam sehari, pemeriksaan

dilakukan setiap 1 tahun atau 6 bulan tergantung intensitas bising.

4. Secara khusus pada waktu tertentu.

5. Pada akhir masa kerja.

2.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Gangguan Pendengaran

2.4.1 Kebisingan

2.4.1.1 Pengertian kebisingan

Kebisingan menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI. No.

Kep.13/Men/2011 tentang Nilai Ambang Faktor Fisika di Tempat Kerja diartikan

sebagai semua bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses

produksi dan/atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan

bahaya.24

Berdasar keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.13/Men/X/2011, Nilai

Ambang Batas (NAB) kebisingan adalah 85 dBA dalam waktu paparan 8 jam

sehari dan 40 jam dalam seminggu.24

Menurut standar nasional Indonesia, pengendalian kebisingan dilakukan

dnegan mengatur eaktu kerja sehubungan dengan tingkat paparan kebisingan yang

dapat dilihat pada tabel berikut.4


20

Tabel 2.1 Pengendalian kebisingan

Waktu pemaparan per hari Intensitas kebisigan


dB(A)
4 88

2 Jam 91

1 94

30 97

15 100

7,5 Menit 103

3,75 106

1,88 109

0,94 11

28,12 115

14,06 118

7,03 121

3,52 124

1,76 Detik 127

0,88 130

0,44 133

0,22 136

0,11 139

Catatan: Tidak boleh terpapar lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat

[sumber: Badan Standar Nasional. Nilai ambang batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran
tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu d tempat kerja. SNI 16-7063; 2004]
21

2.4.1.2 Jenis-jenis kebisingan

Paparan kebisingan di tempat kerja daibagi menjadi beberapa jenis,

yaitu25:

1. Continuous Noise

Jenis ini merupakan jenis kebisingan yang tingkat dan sprektrum

frekuensinya konstan atau tetap. Kebisingan jenis ini dapat ditemui pada

kebisingan yang memapar pekerja dengan periode waktu 8 jam per hari atau

40 jam per minggu.

2. Intermittent Noise

Merupakan jenis kebisingan yang memapar pekerja pada waktu-waktu

tertentu selama jam kerja.

3. Impact Noise

Merupakan kebisingan dengan suara hentakan yang keras dan terputus-putus.

Biasanya disebut juga dengan kebisingan impulsif.

2.4.1.3 Sumber Kebisingan

Kebisingan dapat bersumber dari berbagai macam tempat. Mulai dari

tempat yang merupakan lingkungan kerja, maupun luar lingkungan kerja. Di

lingkungan kerja, bising dapat timbul dari mesin-mesin kerja, proses-proses kerja,

alat-alat pabrik, kendaraan, kegiatan manusia, suara pekerja sendiri, suara orang

yang berlalu-lalang, bahkan sampai suara yang berasal dari luar lingkungan

kerja.6,7,26
22

2.4.1.4 Dampak Kebisingan

Kebisingan dapat memberikan dampak yang berpengaruh terhadap kesehatan.

Berikut beberapa gangguan yang dapat diakibatkan oleh bising:15

1. Gangguan Fisiologis

Gangguan fisiologis yang dapat ditimbulkan akibat bising seperti kelelahan,

dada berdebar, mempercepat pernapasan, sakit kepala, kurang nafsu makan,

meningkatkan tekanan darah, meningkatkan laju metabolik, menurunkan

keaktifan organ pencernaan dan ketegangan otot.15

2. Gangguan Psikologis

Kebisingan pada 55-65 dB dapat menimbulkan beberapa gangguan psikologis

seperti rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, rasa jengkel, khawatir, cemas,

susah tidur, mudah marah dan cepat tersinggung.15,27

3. Gangguan Komunikasi

Komunikasi dapat terganggu dengan adanya kebisingan. Dengan adanya

gangguan komunikasi, pekerjaan dapat terganggu dan terkadang

menimbulkan salah pengertian sehingga secara tidak langsung kualitas dan

kuantitas kerja dapt menurun. Untuk itu, pembicaraan harus diperkeras dan

harus dalam kata dan bahasa yang mudah dipahami agar pembicaraan dapat

dimengerti.15

4. Gangguan Pendengaran

Kebisingan dapat berpengaruh pada pendengaran. Hal ini terjadi karena

kebisingan yang berlebihan dapat merusak sel-sel rambut di koklea sehingga

dapat menyebabkan kehilangan pendengaran. Pada beberapa negara,


23

gangguan yang paling umum terjadi berupa NIHL (Noise Induce Hearing

Loss). Gangguan ini umumnya terjadi di kawasan industri.15,20

2.4.1.5 Pengukuran Kebisingan

Kebisingan dapat diukur dengan Sound Level Meter. Alat ini digunakan

untuk mengukur intensitas kebisingan. Prinsip kerja alat ini yaitu ketika tekanan

bunyi menyentuh membran mikropon pada alat, maka sinyal bunyi diubah

menjadi sinyal listrik yang kemudian dilewatkan pada filter pembobotan, sinyal

lalu dikuatkan dengan ampifier dan kemudian diteruskan pada layar hingga

tingkat intensitas bunyi yang terukur dapat terbaca.28

2.4.2 Usia

Seiring dengan pertambahan usia maka dapat terjadi beberapa perubahan

pada telinga. Seperti gendang telinga yang menjadi kurang fleksibel, tulang-tulang

pendengaran yang mulai menjadi lebih kaku, dan sel-sel rambut yang juga mulai

mengalami kerusakan. Selain itu ambang refleks akustik yang berfungsi memberi

perlindungan terhadap rangsang bising juga akan menurun. Sehingga, pada orang

dengan usia tua membutuhkan rangsangan bising yang lebih tinggi untuk

menimbulkan reflek akustik dibandingkan orang yang lebih muda.15

Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut terjadi karena adanya proses

degenerasi sehingga struktur koklea dan saraf VIII mengalami perubahan.

Perubahan yang terjadi pada koklea ialah atrofi dan degenerasi sel-sel pada organ

corti. Proses degenerasi ini diikuti dengan perubahan vaskuler pada stria

vaskularis. Terdapat juga perubahan berupa jumlah dan ukuran sel-sel ganglion

saraf yang berkurang.29


24

2.4.3 Masa Kerja

Masa kerja merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan oleh tenaga

kerja yang berhubungan dengan paparan bising. Kebisingan yang tinggi dapat

berefek merugikan bagi tenaga kerja, khususnya pada bagian pendengaran. Organ

pendengaran yang dimiliki manusia hanya menerima bising dalam batasan

tertentu saja. Apabila batas tersebut dilampaui dan waktu paparan cukup lama,

maka daya pendengaran tenaga kerja dapat mengalami penurunan.15

Dalam jangka waktu yang lama secara perlahan-lahan dan tanpa disadari,

tenaga kerja memilliki risiko mengalami NIHL. Gejala klinisnya sering

dikeluhkan pekerja setelah bekerja selama 5 tahun. Gangguan inipun baru disadari

setelah pihak lain seperti istri, anak dan teman bergaul mengatakan bahwa

penderita perlu suara yang keras agar dapat mendengar.30

2.2.4 Penggunaan Alat Pelindung Telinga

Alat Pelindung Telinga (APT) merupakan alat yang digunakan dalam

upaya pengendalian kebisingan. Alat ini dapat mengurangi jumlah energi suara

yang menuju ke reseptor pendengaran melewati liang telinga. Dengan adanya

pengurangan atau reduksi tingkat kebisingan yang masuk kedalam telinga, maka

risiko penurunan pendengaran akibat bising pun dapat berkurang.15

Terdapat beberapa jenis alat pelindung telinga yaitu, earplug (mengurangi

kebisingan 8-30 dB. Biasanya digunakan untuk proteksi sampai dengan 100 dB ),

earmuff (dapat menurunkan kebisingan 20-40 dB. Digunakan untuk proteksi

sampai dengan 110 dB) dan Helmet (mengurangi kebisingan 40-50 dB).12
25

2.2.5 Obat-obatan Ototoksik

Obat-obatan dan zat kimia tertentu dapat mempengaruhi telinga dalam dan

mekanisme pendengaran. setiap obat atau zat kimia yang berefek toksik pada

ginjal umumnya bersifat ototoksik dengan menimbuklan gejala vestibular dan

pendengaran. Efek yang ditimbulkan pada umumnya ireversibel, namun bila

dideteksi cukup dini dan pemberian obat dihentikan, sebagian ketulian dapat

dipulihkan. Obat-obat dengan efek ototoksik yang terutama reversibel termasuk

salisilat. Keracunan salisilat menyebabkan ketulian datar 30 sampai 40 dB yang

reversibel jika obat dihentikan. Obat eritromisin hanya menyebabkan ketulian jika

diberi secara intravena dengan dosis tinggi dan dapat pulih jika obat dihentikan.

Obat seperti dihidrostreptomisin memiliki efek pada sistem pendengaran bahkan

sampai sebulan sesudah pemberian obat dihentikan.

Tabel 2.2 Agen-agen Ototoksik


Antibiotik Diuretik Lain-lain
 Aminoglikosida Furosemid Pentobarbital
Streptomisin Asam etakrinat Heksasidin
Dihidrostreptomisin Bumetanid Mandelamin
Neomisin Asetazolamid praktolol
Gentamisin Manitol
Tobramisin Analgetik dan antipiretik
Amikasin Salisilat
 Antibiotik lain Kinin
Vankomisin Klorokuin
Eritromisin Antineoplastik
Kloramfenikol Bleomisin
Ristosetin Nitrogen mustard
Polimiksin B Cis-platinum
Viomisin
Farmasetin
Kolistin
[sumber: Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakit THT (Boies Fundamental of
Otalaryngology). Edisi 6. Jakarta: EGC; 2002]
26

2.5 Kerangka Teori

Anatomi Fisiologi
Organ Pendengaran
Pendengaran Manusia
Pendengaran
manusia

Pemeriksaan Gangguan
Pendengaran pendengaran

Pemeriksaan
garpu tala

Tuli konduktif Tuli


Pemeriksaan sensorineural
tes bisik

Pemeriksaan Noice Induce


Audiometri Hearing Loss

Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran

Bising Sumber Bising

Usia Pengukuran
Bising
Gangguan
fisiologis
Masa Kerja
Dampak Bising
Gangguan
Penggunaan Psikologis
APT

Gangguan
Penggunaan komunikasi
obat ototoksik

Gangguan
pendengaran

Gambar 2.4 Kerangka teori


27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Pada

penellitian deskriptif, peneliti hanya melakukan deskripsi yang berkenaan dengan

fenomena yang ditemukan, hasil pengukuran yang disajikan apa adanya dan tidak

melakukan analisis pada fenomena yang terjadi, dan tidak memerlukan

hipotesis.31

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross-sectional.

Pada pendekatan ini dilakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat

tertentu. Hal ini berarti, tiap subyek hanya diobservasi satu kali dan pengukuran

variabel subyek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut.31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PT.WIKA PLTD MFO 250 MW Ambon.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan Oktober sampai dengan Desember 2016.


28

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja yang bekerja di ruang

mesin PLTD MFO 250 MW Ambon sebanyak 37 tenaga kerja.

3.3.2 Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan rumus sampel deskriptif kategorik sebagai berikut:

(Z ∝)²𝑥 𝑃 𝑥 𝑄
𝑛=

Keterangan

Zα = Deviat baku alfa 0,05 = 1,96

P = Proporsi karakteristik pendengaran dari penelitian Mulyono (2013)32 = 0,08

Q = 1-P

d = Presisi, ditentukan oleh peneliti

Perhitungan minimal sampel:

(1,96)²𝑥 0,08 𝑥 0,92


𝑛=
0,01

n = 28,27 (28 orang)

Walaupun demikian, dalam penelitian ini akan dilakukan total sampling dengan

mengambil seluruh pekerja di bagian mesin sejumlah 37 tenaga kerja.


29

3.4 Kriteria Restriksi

3.4.1 Kriteria Inklusi

Yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pekerja mesin PT.WIKA PLTD MFO 250

MW Ambon.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Yang memenuhi kriteria eksklusi yaitu subjek yang menolak berpartisipasi dalam

penelitian.

3.5 Variabel Penelitian

3.5.1 Variabel Utama

Karakteristik pendengaran

3.5.2 Variabel Tambahan

1. Usia

2. Lama kerja

3.6 Kerangka Konsep

Lama kerja

Karakteristik

pendengaran
Usia

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


30

3.7 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Defisini operasional

No. Variabel Definisi Alat ukur Kategori Skala

1. Karakteristik Gambaran pendengaran, dapat Audiometri 1. Normal Ordinal


pendengaran normal maupun mengalami Ambang
perubahan yang pendengaran 0-25
mengakibatkan kesulitan dB
dalam berkehidupan normal, 2. Tuli ringan
biasanya dalam hal memahami Ambang
pembicaraan yang disebabkan pendengaran 26-
karena terpajan bising yang 40 dB
cukup keras dalam jangka 3. Tuli sedang
waktu yang lama dan biasanya Ambang
diakibatkan oleh bising pendengaran 41-
lingkungan kerja.15 60 dB
4. Tuli berat
Ambang
pendengaran 61-
90 dB
5. Tuli sangat berat
Ambang
pendengaran > 90
dB

2 Usia Jumlah tahun lahir pekerja, Lembar 1. 17 – 25 tahun Ordinal


yang dihitung sejak tanggal identitas 2. 26 – 35 tahun
lahir sampai dengan ulang pasien 3. 36 – 45 tahun
tahun terakhir pekerja pada 4. 46 – 55 tahun
saat pengmbilan data 5. 56 – 65 tahun
dilakukan.15
3 Lama kerja Lama bekerja yang dijalani Lembar 1. ≥ 5 tahun Ordinal
sebagai pekerja di PLTD identitas 2. < 5 tahun
PT.WIKA Ambon dihitung pasien
sejak awal terdaftar menjadi
pekerja sampai pengambilan
data dilakukan.15

3.8 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan yaitu lembar identitas responden, lembar

formulir penelitian, sound level meter untuk mengukur intensitas kebisingan,

otoskop untuk memeriksa keadaan liang telinga dan audiometri untuk mengukur

nilai ambang dengar pekerja.


31

3.9 Pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data

primer. Sebelum memulassi pengukuran, peneliti akan meminta persetujuan

responden melalui pengisian informed consent, setelah itu pasien mengisi

lembaran identitas responden dan formulir penelitian.

Data primer dikumpulkan melalui pengamatan dan pengukuran ambang

pendengaran menggunakan alat yang disebut audiometer. Sebelum dilakukan

prosedur pemeriksaan audiometri, responden terlebih dahulu diperiksa liang

telinganya dengan menggunakan otoskop. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan

audiometri dengan mempersiapkan persiapan responden sebagai berikut:

1. Responden diposisikan sedemikian rupa sehingga pasien tidak dapat melihat

panel kontrol ataupun pemeriksa. Sebagian pemeriksa lebih suka bila melihat

profil responden.

2. Beberapa benda seperti anting-anting, kacamata, topi, permen karet, dan

kapas dalam liang telinga harus disingkirkan karena dapat mengganggu

pemasangan earphone yang tepat atau dapat mempengaruhi hasil

pemeriksaan. Sebaiknya diperiksa pula apakah terdapat penyempitan liang

telinga responden dengan cara mengamati gerakan dinding kanalis saat

menekan pinna dan tragus. Pada penyempitan liang telinga dapat dilihat

perbedaan hantaran udara dan hantaran tulang sebesar 15-30dB. Masalah ini

dapat diatasi dengan memegang earphone di depan pinna sehingga rangsang

pengujian terletak dalam suatu lapangan suara, sedangkan telinga satunya

ditutup atau dapat juga disamarkan dengan menggunakan earphone bantal


32

sirkumaural atau dengan cara lain yakni dengan memasukkan suatu cetakan

telinga ke dalam kanalis guna mempertahankan jalan udara menuju membran

timpani.

3. Instruksi yang diberikan harus tepat dan jelas. Responden perlu mengetahui

apa yang harus didengar dan apa yang diharapkan sebagai jawabannya.

Responden juga harus didorong untuk memberi jawaban terhadap bunyi

terlemah yang ia dengar.

4. Lubang earphone harus tepat menempel pada lubang liang telinga.

Responden biasanya diminta memberi jawaban dengan mengacungkan jari

atau menekan tombol yang menghidupkan sinyal cahaya. Responden kemudian

diinstruksikan untuk terus memberi jawaban selama responden masih menangkap

sinyal pengujian. Tindakan ini memungkinkan pemeriksa mengendalikan pola

jawaban responden, tidak hanya dengan megubah-ubah selang waktu antar

rangsangan namun juga lamanya sinyal diberikan. Hal ini khususnya penting bila

responden banyak memberi jawaban positif palsu.

Setelah dilakukan persiapan responden, maka dilakukan prosedur

pemeriksaan:

1. Memeriksa telinga yang lebih baik terlebih dahulu menggunakan rangkaian

frekuensi berikut: 1000 Hz, 2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz (diulang), 500 Hz,

250 Hz. Dengan pengecualian pengurangan frekuensi 1000 Hz, rangkaian

yang sama dapat digunakan untuk telinga satunya. Bila terdapat perbedaan

ambang sebesar 15 dB atau lebih untuk interval oktaf berapapun, maka harus

dilakukan pemeriksaan dengan frekuensi setengah oktaf.


33

2. Memulai pemeriksaan dengan intensitas tingkat pendengaran 0 dB, nada

kemudian dinaikkan dengan peningkatan 10 dB dengan durasi satu atau dua

detik hingga pasien memberi jawaban. Tingkat pendengaran adalah intensitas

dalam desibel yang diperlukan untuk mendapat jawaban dari pasien,

dibandingkan dengan standar “nol” audiometer klinis.

3. Nada harus ditingkatkan 5 dB dan bila pasien memberi jawaban, maka nada

perlu diturunkan dengan penurunan masing-masing 10 dB hingga tidak lagi

terdengar.

4. Peningkatan berulang masing-masing 5 dB dilanjutkan hingga mencapai

suatu jawaban tipikal. Biasanya jarang melampaui tiga kali peningkatan.

5. Menentukan ambang pendengaran untuk frekuens pengujian awal, kemudian

mencantumkan simbol-simbol yang sesuai pada audiogram.

6. Melanjutkan pemeriksaan dengan frekuensi berikutnya dalam rangkaian.

Dimulai dengan nada pada tingkat yang lebih rendah 15-20 dB dari ambang

frekuensi yang diuji sebelumnya. Misalnya jika ambang pendengaran untuk

frekuensi 1000 Hz adalah 50 dB, maka mulailah frekuensi 2000 Hz pada

intensitas 30 atau 35 dB
34

3.10 Pengolahan dan Analisis Data

3.10.1 Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Editing

Pada tahap ini, dilakukan pengkajian terhadap data yang telah terkumpul.

Dilihat apakah data tersebut sudah baik dan yang kemudian dapat

dipersiapkan untuk tahapan berikutnya.

2. Coding

Data yang telah diedit kemudian dilakukan pangkodean pada tahap ini.

Pengkodean tersebut dilakukan dengan tujuan mempermudah peneliti ketika

menganalisis data dan mempercepat dalam memasukkan data.

3. Data entry

Pada tahap ini, hasil yang telah diperoleh dari masing-masing responden yang

telah dibuat dalam pengkodean kemudian dimasukkan ke program komputer

untuk proses analisis data.

3.10.2 Analisis data

Dilakukan analisis data dengan bantuan perangkat lunak komputer Microsoft

Excel. Kemudian hasil dapat disajikan dalam bentuk baik tabel, grafik maupun

narasi untuk karakteristik pendengaran, serta karakteristik pendengaran

berdasarkan usia dan lama kerja (Lampiran 4).


35

3.11 Etika Penelitian

Dalam penelitian ini secara garis besar terdapat empat aspek etik

penelitian yaitu:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia.

Peneliti menghormati harkat dan maartabat subjek penelitian dalam

bentuk mempersiapkan formulir persetujuan subjek yang mencakup:

a. Penjelasan tujuan penelitian

b. Penjelasan manfaat penelitian

c. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek

penelitian kapan saja

d. Jaminan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang

diberikan oleh responden

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian dalam bentuk

tidak menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan

identitas subjek. Peneliti hanya menggunakan coding sebagai

pengganti identitas responden

3. Keadilan dan inklusivikasi/keterbukaan

Prinsip keterbukaan dan adil dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,

keterbukaan dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan peneliti perlu

dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan

menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa

semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang

sama, tanpa membedakan agama, etnis dan sebagainya.


36

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang dapat ditimbulkan.

Penelitian ini hendaknya dapat bermanfaat semaksimal mungkin bagi

masyarakat pada umumnya dan terkhususnya pada subjek penelitian.

Peneliti berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi

subjek.
37

3.12 Alur Peneitian

Identifikasi subyek penelitian

Subyek memenuhi kriteria


inklusi
Subyek dikeluarkan
karena memenuhi
kriteria ekslusi
Sampel

Pengisian formulir penellitian,


pemeriksaan otoskopi dan
Pemeriksaan Audiometri

Pengolahan data

Analisis data

Penyajian hasil penelitian

Gambar 3.2 Alur Penelitian


38

3.13 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Tabel 3.2 Jadwal pelaksanaan penelitian

No. Kegiatan Bulan

4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Pembuatan Proposal

2. Seminar Proposal

Perbaikan
4. Proposal

3. Pengumpulan Data

4. Analisis data

5. Penyusunan Skripsi
39

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi revisi.

Jakarta: EGC; 2012

2. Sherwood L. Human physiology: from cells to system. 7th ed.

Brooks/Cole; 2010

3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RS. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorokan kepala dan leher. Edisi 6. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2010

4. Badan Standar Nasional. Nilai ambang batas iklim kerja (panas),

kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu d tempat

kerja. SNI 16-7063; 2004

5. Menteri Tenaga Kerja Pepublik Indonesia. Keputusan menteri tenaga kerja

Nomor:Kep-51/Men/1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di

tempat kerja. Jakarta: Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia; 1999

6. Gerges SNY, Sehrndt GA, Parthey A. Noise sources. Germany: Federal

Instititute for Occupational Safety and Health;1999

7. Public Service Commission of Wisconsin. Enviromental Impacts of Power

Plants. Madison; 2001

8. Hansen CH, Goelzer BIF. Engineering Noise control.South Australia:

Department of Mechanical Engineering University of Adelaide; 10:245-

296
40

9. Hajar I, Suhardiman. Analisa tingkat dan dampak kebisingan pembangkit

listrik tenaga diesel (PLTD) terhadap pekerja dan masyarakat sekitar.

Invotek. 2009; 2(3):146-152

10. Fithri P, Annisa IQ. Analisis intensitas kebisingan lingkungan kerja pada

area Utilities Unit PLTD dan Boiler di PT.Pertamina RU II Dumai. Jurnal

sains, teknologi dan industri. 2015; 2(12):278-285

11. Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Keputusan menteri

lingkungan hidup nomor: KEP-48/MENLH/1996. Jakarta: Menteri

Lingkungan Hidup Republik Indonesia; 1996

12. Buchari. Kebisingan industri dan hearing conservation program. USU

Repository; 2007

13. Timang RPI, Danes VR, Lintong F. Hubungan kebisingan terhadap fungsi

pendengaran pekerja mesin pembangkit listrik tenaga diesel di PLTD

Suluttenggo kota Manado. Jurnal e-Biomedik. 2016; 1(4)

14. Ratunuman SG, Kawatu PAT, Jeosephus J. Gambaran intensitas

kebisingan dan nilai ambang dengar tenaga kerja ruang sentral PT.PLN

(PERSERO) wilayah Sulutenggo sektor Minahasa pembangkit listrik

tenaga diesel Bitung. 2014

15. Rahmawati D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan

pendengaran pada para pekerja di departemen Metal Forming dan Heat

Treatment PT.Dirgantara Indonesia (Persero) tahun 2015. Jakarta: 2015

16. Putz R, Pabst R. Sobotta Atlas of Human Anatomy One volume edition. Ed

14th. Elsevier Urban & Fischer: Munchen;2008


41

17. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta:

EGC; 2006

18. Amin MN. Gambaran determinan gangguan pendengaran pada pekerja

perawatan KRL Depo Depok. Jakarta:2012

19. NIDCD. Noise-Induced Hearing Loss. Available at :

http://www.nidcd.gov/health/hearing/pages/noise.aspx.

20. Primadona A. Analisis faktor risiko yang berhubungan dengan penurunan

pendengaran pada pekerja di PT. pertamina geothermal energi area

kamojang. Universitas Indonesia, Depok:2012

21. Rani S. Gambaran dosis pajanan bising harian dan keluhan pendengaran

pada pekerja di Section produksi Assembling (2W) PT. indomobil suzuki

internasional plant Cakung, Jakarta Timur Tahun 2008. Depok: FKMUI;

2008

22. Rambe AYM. Gangguan pendengaran akibat bising. Universitas Sumatra

Utara. 2003

23. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakit THT (Boies

Fundamental of Otalaryngology). Edisi 6. Jakarta: EGC; 2002

24. Departemen Tenaga Kerja Pepublik Indonesia. Peraturan menteri tenaga

kerja dan transmigrasi nomor Per.13/Men/2011 tahun 2011 tentang nilai

ambang batas faktor fisika dan faktor kimia di tempat kerja. Jakarta:

Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia; 2011

25. Standart JJ. Fundamental of industrial hyegene. Ed.5th. National Safety

Council. United Stated of America: 2002


42

26. Sari D. Pemetaan tingkat kebisingan dan hubungan lama pemaparan

terhadap gangguan pendengaran pada PT.PLN (Persero) Sektor Mahakam

Samarinda. Fisika Mulawarman. 2012; 8(1): 9-18

27. Arini EY. Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran

tipe sensorineural tenaga kerja unit produksi si PT.Kurnia Jati Utama

Semarang. Universitas Diponogoros Semarang. Semarang: 2005

28. Badan Standar Nasional. Metode pengukuran intensitas kebisingan di

tempat kerja. SNI 7321:2009

29. Istantyo D. Pengaruh dosis kebisingan dan faktor determinan lainnya

terhadap ganggua fungsi pendengaran terhadap pekerja bagian operator

PLTU Unit 1-44 PT. Indonesia Power UPB Suralaya Tahun 2011. UIN

Hidayatullah Jakarta: 2011

30. Permaningtyas L. Hubungan lama masa kerja dengan kejadian noise-

induced hearing loss pada pekerja home industry knalpot Kelurahan

Purbalingga LOP. Mandala of Health. 2011; 5(3)

31. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi

4. Jakarta: Sagung Seto; 2012

32. Mulyono, Kandou LF. Hubungan karakteristik dengan peningkatan

ambang pendengaran penerbangan di balai kesehatan penerbangan jakarta.

The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health. 2013; 1(2): 1-

Anda mungkin juga menyukai