Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori


2.1.1 Kehamilan
A, Definisi Kehamilan
Menurut Federasi Obstetri Ginekologi bahwa Kehamilan merupakan
fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovom yang dilanjutkan dengan
nidasi atau implementasi dimana pertumbuhan dan perkembangan janin sangat
pesat sehingga ibu harus menyesuaikan perubahan-perubahan yang ada. 8

B, Pembagian Periode Kehamilan


Kehamilan dibagi menjadi tiga kriteria trimester, yaitu : 8
1) Trimester I, yaitu : 0 minggu – 12 minggu.
2) Trimester II, yaitu : 13 minggu -27 minggu.
3) Trimester III, yaitu : 28 minggu – 40 minggu .

C. Penyulit yang Menyertai Kehamilan


Pada wanita hamil terdapat penyulit-penyulit yang menyertai
kehamilannya. Penyulit tersebut ditandai dengan tanda bahaya ibu dan janin
pada kehamilan muda dimana kehamilan merupakan hal yang fisiologis. Akan
tetapi kehamilan yang normal dapat berubah menjadi patologi. Dengan
demikian hal yang perlu diperhatikan adalah dengan cara menapis resiko yaitu
dengan melakukan pendeteksian dini adanya komplikasi ataupun penyulit
yang mungkin terjadi pada masa kehamilan muda meliputi perdarahan
pervaginam, hipertensi gravidarum anemia pada kehamilan maupun nyeri
perut bagian bawah. 7
Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai suatu keadaan
akut yang dapat membahayakan ibu dan anak, sampai dapat menimbulkan
kematian. Sebanyak 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada
awal kehamilan dan sebagian mengalami abortus. Hal ini tentu akan
menimbulkan ketidakberdayaan dari wanita sehingga ditinjau dari suatu
kesehatan akan sangat ditanggulangi untuk meningkatkan keberdayaan
seorang wanita. 7
2.2 Perdarahan Selama Kehamilan Trimester I
2.2.1 Insiden
Penyebab utama kematian maternal adalah disebabkan oleh 3 hal yang
pokok yaitu perdarahan dalam kehamilan, preklampsi/eklamsi dan infeksi.
Pada masa sekarang oleh perkembangan pertambahan jumlah tenaga medis
terutama dokter kebidanan yang banyak maka kasus tersebut diatas telah
menurun, tetapi kematian ibu akibat perdarahan masih tetap sebagai faktor
utama. Perdarahan sebenarnya dapat terjadi bukan saja pada masa kehamilan
tetapi dapat juga pada masa persalinan maupun pada masa nifas. 7
Kematian wanita usia subur di negara miskin diperkirakan sekitar 25-
50% penyebabnya adalah masalah kesehatan, persalinan, dan nifas. Kematian
ini dapat disebabkan oleh 25% perdarahan, 20% penyebab tidak langsung,
15% infeksi, 13% aborsi yang tidak aman, 12% eklampsi, 8% penyulit
persalinan, dan 7% penyebab lainnya. Penyebab perdarahan pada kehamilan
yang penting adalah perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum. 2,3
Perdarahan pervaginam pada kehamilan sangat sering terjadi. Pada
kehamilan trimester pertama, sekitar 20% wanita akan mengalami perdarahan
pervaginam pada kehamilan trimester pertama. Terkadang agak sulit untuk
menegakkan diagnosis secara pasti 9
2.2.2 Penyebab Perdarahan
Pendarahan pada trimester awal diketahui disebabkan oleh beberapa
hal, diantaranya keguguran, kehamilan ektopik dan kelainan thropoblastic.
Terkadang juga perdarahan disebabkan oleh adanya lesi pada vagina maupun
cervix. Selain itu, perdarahan dapat terjadi tanpa alasan yang jelas dalam
sejumlah besar kasus. 2

2.3. ABORTUS

2.3.1. Definisi
Abortus secara definisi diartikan sebagai pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin mampu hidup luar kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 8
2.3.2 Epidemiologi

Frekuensi abortus spontan di Indonesia adalah 10%-15% dari 5 juta kehamilan


setiap tahunnya atau 500.000-750.000. Sedangkan abortus buatan sekitar 750.000-1.5
juta setiap tahunnya. Frekuensi ini dapat mencapai 50% bila diperhitungkan mereka
yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa hari sehingga wanita itu sendiri tidak
mengetahui bahwa ia sudah hamil. Angka kematian karena abortus mencapai 2500
setiap tahunnya. 10

2.3.3 Etiologi Dan Faktor Risiko Terkait


Etiologi dan faktor resiko terjadinya abortus dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu
faktor maternal, faktor fetus dan faktor paternal yang dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Faktor Fetal
- Penyebab genetic 6
Setidaknya 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan akibat
dari kelainan sitogenetik.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi biasanya terjadi pada awal
kehamilan. Abortus yang disebabkan oleh kelainan sitogenetik, seetngahnya
merupakan trisomy autosom. Pada sebagian besar trisomi, gangguan meiosis
maternal dapat berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat
dengan bertambahnya usia. Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali
pada trisomi kromosom 1.
Salah satu penyebab abortus akibat kelainan sitogenetik adalah sindroma
Turner, yaitu sebanyak 20-25%. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down
(trisomi 21) dapat bertahan.
Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosenresis
pada semua ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu di atas 35 tahun.
Struktur kromosom juga merupakan penyebab abortus karena Kelaina
sitogentik yang terjadi sebanyak 3%. Kelainan struktur kromosom sering
diturunkan dari ibu. Kelainan struktur kromosom pada pria biasanya
berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan dapat
mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya
mutasi gen yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan
abortus.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma
Ehlers-Danlos, homosisteinwri dan psewdoaxantboma eksticum. Juga pada
perempuan dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal
ini karena adanya mikroinfark pada plasenta.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor
tersebut tidak diturunkan. 11

Faktor Maternal
- Infeksi
Kejadian abortus seringkali dihubungkan dengan adanya infeksi pada wanita
hamil. Beberapa organisme yang sering berdampak pada kehamilan yang
merupakan bakteri, virus, parasite. Beberapa contoh bakteri adalah Listeria
monositogenes, Klamidia trakomatis, Ureaplasma urealitikum, Mikoplasma
hominis, Bakterial vaginosis. Virus yang sering dihubungkan adalah
sitomegalovirus, Rubela, Herpes simpleks virus (HPV), PHuman
immunodeficiency virus (HIV), Parvovirus. Parasit yang sering dihubungkan
adalah Toksoplasmosis gondii, Plasmodium falsiparum, dan juga Treponema
pallidum.
Organisme yang ada dapat menyebabkan metabolic toksik, endotoksin,
eksotosin atau sitokin yang dapat mempengaruhi jani secara langsung, dan
dapat menyebabkan infeksi terhadap janin. Infeksi juga dapat mempengaruhi
plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta. Hal-hal tersebut dapat berakibat
kematian janin. Beberapa organisme juga dapat menyebabkan gangguan
implantasi.6
- Lingkungan
Paparan obat, radiasi serta bahan kimia juga merupakan sekiranya 10% dari
terjadinya abortus. Rokok juga memiliki berbagai bahan toksik, antara lain
nikotin yang diketahui memiliki efek vasoaktif sehingga menghambat
sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen
ibu dan janin serta memacu neurotoksin.6 Toksin yang berasal dari lingkungan
sekitar yang juga memiliki kaitan dengan keguguran, seperti bisphenol A,
phthalate, bifenil poliklorinasi, dan diklorodiphenyltrichloroethane (DDT)
(Krieg, 2016). Pada salah satu laporan Nurses Health Study II, Lawson and
associates (2012) melaporkan terdapat peningkatan risiko keguguran pada
perawat yang terpapar dengan agen sterilisasi, sinar-x, dan obat antineoplastik.
Juga, risiko keguguran yang lebih tinggi ditemukan untuk perawat gigi yang
terpapar lebih dari 3 jam nitro oksida setiap hari. 6,11
- Autoimun
Penyakit autoimun merupakan salah satu penyebab terjadinya abortus. Dapat
dilihat sebagai contoh pada Systematic Lwpws Erythematosws (SLE) dan
Antiphospholipid Antibodies (aPA). Kejadian abortus spontan pada pasien
SLE sekitar 10 %, dibandingkan dengan populasi umum. aPA adalah antibodi
spesifik yang didapati pada seseorang dengan SLE. aPA merupakan antibodi
yang akan berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid. Terdapat 3 bentuk aPA
yang diketahui mempunyai ani klinis yang penting, yaitu Lupus
Anticoagwlant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically
false-positive untuk syphilis (FP-STS). APS (antipbospholipid syndrome)

sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada


preeklampsia, IUGR dan prematuritas. 6
- Hormonal
Pada tahap ovulasi, implantasi dan dalam kehamilan dini, sangat bergantung
pada pengaturan hormone. Pada penderita diabetes mellitus, dengan kadar
HbA1c yang tinggi pada trimester pertama, seringkali resiko abortus dan
malformasi janin yang lebih tinggi.
Progesteron juga merupakan hal penting yang mempengaruhi proses
implantasi embrio pada endometrium. Sehingga kadar progesterone yang
rendah dapat mengakibatkan terjadinya abortus. 6
- Hematologic
Defek plasenta dan juga mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta juga
eringkali menyebabkan abortus berulang. Berbagai komponen koagulasi dan
fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas,
dan plasentasi. 6
- Surgical procedure
Keguguran yang disebabkan oleh tindakan pembedahan belum ditelaah
dengan baik. Pda umumnya, tindakan pembedahan yang tidak disertai
komplikasi, tidak menyebabkan keguguran. Sebagai contoh, tumor ovarium
umumnya dapat direseksi tanpa memicu keguguran. Namun, lain halnya bila
dilakukan pengankatan korpus luteum atau ovarium. 11
- Nutrisi
Kekurangan nutrisi yang ringan tidak menjadi faktor resiko keguguran. Resiko
keguguran juga akan berkurang dengan konsumsi diet yang sehat dan nutrisi
lengkap. Namun, dalam keadaan ekstrem seperti hyperemesis gravidarum,
abortus mungkin saja dapat terjadi. Berat badan ibu sendiri tidak terlalu
berpengaruh bila berat badan kurang, namun apabila seseorang mengalami
obesitas, akan meningkatkan resiko keguguran. 11
- Perilaku social
Perilaku social yang dikaitkan dengan terjadinya abortus, yaitu pada
penggunaan bahan-banhan yang bersifat berat dan kronik. Seperti rokok dan
alcohol yang memiliki efek teratogenik. Pada konsumsi rokok yang lama dan
berat, meningkatkan resiko abortus. Sekitar 10 persen wanita hamil mengaku
merokok dan secara intuitif, rokok dapat menyebabkan keguguran pada usia
kehamilan muda. Konsumsi kafein yang berlebihan juga dikaitkan dengan
risiko aborsi yang lebih tinggi. Laporan yang mengaitkan kejadian abortus
dengan konsumsi kafein, melaporkan sekitar lima cangkir kopi per hari —
sekitar 500 mg kafein — dengan risiko aborsi yang sedikit lebih besar.
Walaupun American College of Obstetricians dan Gynecologists (2016) telah
menyimpulkan bahwa konsumsi moderat kemungkinan bukan risiko aborsi
yang utama dan bahwa risiko terkait dengan asupan yang tinggi tidak pasti. 11
- Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus dapat menyebabkan komplikasi obstetrik, salah
satunya adalah abortus berulang, prematuritas, dan malpresentasi janin.
Sebanyak 1/200 hingga 1/600 wanita mengalami kelainan bentuk uterus.
Sedangkan apda wanita yang mengalami abortus, terdapat sebanyak 27% yang
mengalami kelainan bentuk uterus.6
Abortus yang disebabkan karena kelainan anatomic terbanyak adalah septum
uterus (40 - 80 %), uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30
%). Mioma uteri juga dapat menyebabkan infertilitas maupun abortus
berulang. Walaupun besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang
berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan
menimbulkan gangguan. 6
Dalam menegakkan kelainan anatomi uterus, dapat dilakukan
histerosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi. 6

Faktor Paternal
- Usia ayah sangat berpengaruh terhadap resiko kejadian aborsi. Sebelum usia
25 tahun, resiko abortus yang disebabkan faktor paternal paling rendah.
Selang 5 tahun, faktor resiko abortus akan terus bertambah. Belum ada
etiologi dipelajari membuktikan, namun diperkirakan kelainan kromosom
pada spermatozoa berpengaruh besar. 11

2.3.4. Klasifikasi
- Abortus iminens
Merupakan abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya
abortus, ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri tertutup, dan
hasil konsepsi masih baik di dalam kandungan. Pasien mengeluh mulas sedikit
atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Untuk
menentukan prognosis dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon hCG
pada urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Jika hasil keduanya
positif, maka prognosis adalah baik. Pemerikaan USG juga dilakukan untuk
mengetahui pertumbuhan janin. Pasien disarankan melakukan tirah baring,
pemberian spasmolitik atau tambahan hormon progesteron dan dipulangkan
setelah tidak terdapat perdarahan dengan edukasi tidak boleh melakukan
hubungan seksual sampai lebih kurang-2'minggu. 6,12

- Abortus insipiens
Abortusinsipiens merupakan abortus yang sedang mengancam yang ditandai
dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, namun hasil
konsepsi masih di dalam kal'um uteri dan dalam proses pengeluaran. Pasien
mengeluh mulas karena kontraksi yang sering dan kuat. Besar uterus masih
sesuai dengan usia kehamilan. Pada pemeriksaan USG ukuran uterus masih
sesuai, dan terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Tatalaksana
meliputi pemberian cairan untuk memperbaiki keadaan hemodinamik. Pada
kehamilan kurang dai 12 minggu, dilakukan pengosongan uterus dengan
memakai kuret vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai
kuret tajam. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, diberikan infus oksitosin
10 IU dalam dekstrose 5% 500 ml sampai terjadi abortus komplit. 6,12

- Aborrtus kompletus
Sering kali disebut sebagai abortus spontan. Pada pemeriksaan ultrasonografi,
akan tampak uterus yang kosong. Penyebab abortus ini mirip dengan
threatened miscarriage.13 Abortus kompletus ditandai dengan telah keluamya
seluruh hasil konsepsi. Pada penderita didapati perdarahan yang sedikit,
ostium uteri sebagian besar telah menutup, dan uterus yang telah mengecil.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan klinis telah
memadai. Pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 setelah
abortus. Tidak diperlukan tindakan khusus atau pengobatan, namun pemberian
hematenik dan roboransia dapat diberikan tergantung kondisi pasien 6,12

- Abortus inkompletus
Pada pemeriksaan, akan tampak serviks yang terbuka, dan perdarahan masih
13
terus berlangsung. Abortus inkompletus merupakan pengeluaran sebagian
hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 20 minggu dengan masih ada sebagian
konsepsi yang tertinggal di dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis
servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kar,um uteri atau menonjol
pada ostium uteri eksternum. Ciri abortus inkompletus meliputi perdarahan
yang banyak disertai kontraksi, kanalis servikalis yang terbuka, dan sebagian
jaringan telah keluar. Perdarahan biasanya masih terjadi dan pasien dapat jatuh
ke dalam keadaan anemia atau syok. 6,12
- Missed abortion
Missed abortion ditandai dengan telah terjadinya kematian hasil konsepsi di
dalam kandungan, tidak adanya pertambahan tinggi fundus uterus, serta tidak
disertai perdarahan pervaginam, pembukaan serviks maupun kontraksi uterus.
Pada pemeriksaan tes urin kehamilan memberikan hasil negatif, dan pada
pemeriksaan USG didapatkan uterus dan kantong gestasi yang mengecil dan
tidak beraturan. Pada kehamilan kurang dai 12 minggu, dilakukan tindakan
evakuasi berupa dilatasi dan kuretase. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu,
dilakukan induksi dengan infus oksitosin intravena. 12

- Abortus infeksius/ septik


Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia. Abortus
septik adalah abortus inftksius berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke
dalam peredaran darah atau peritoneum. Diagnosis abortus infeksius
ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi alat
genital seperti demam, takikardi, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus
yang besar namun lembek, nyeri tekan uterus, dan leukositosis. Apabila
terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, demam tinggi, dan penurunan
tekanan darah. 12

2.3.5. Patofisiologi

Setidaknya 80% aborsi spontan terjadi di dalam 12 minggu pertama


kehamilan. Pada abortus trimester pertama, kematian embrio atau janin biasanya
mendahului abortus spontan. Kematian janin ini biasanya disertai pendarahan ke
dalam desidua basalis. Hal ini kemudian diikuti dengan adanya nekrosis jaringan
sekitar yang merangsang kontraksi dan ekspulsi uterus. Terkadang kantung kehamilan
dapat berisi cairan dan mungkin tidak mengandung embrio atau janin. Sehingga,
penting untuk menentukan dalam keguguran dini untuk memastikan penyebab
kematian janin.11 Pada usia kehamilan dibawah 8 minggu, biasanya vili korialis belum
menembus desidua secara mendalam, sehingga konsepsi yang dikeluarkan sering kali
keseluruhan atau utuh. 6

2.3.6. Manifestasi Klinis


Tanda-tanda kehamilan, seperti amenorea kurang dari 20 minggu, mual-
muntah, mengidam, hiperpigmentasi mammae, dan tes kehamilan positif. Pada
pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak lemah atau kesadaran menurun, tekanan
darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, serta suhu
badan normal atau meningkat.
Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi.
Rasa mulas atau keram perut di daerah atas simfisis disertai nyeri pinggang akibat
kontraksi uterus.
Abortus iminens ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri tertutup,
dan hasil konsepsi masih baik di dalam kandungan. Pasien mengeluh mulas sedikit
atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Untuk
menentukan prognosis dapat dilakukan dengan melihat kadar hormon hCG pada urin
tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Jika hasil keduanya positif, maka prognosis
adalah baik. 6,12
Abortus insipiens ditandai dengan adanya serviks yang telah mendatar dan
ostium uteri yang telah membuka, namun hasil konsepsi masih di dalam kal'um uteri
dan dalam proses pengeluaran. Pasien mengeluh mulas karena kontraksi yang sering
dan kuat. Besar uterus masih sesuai dengan usia kehamilan. 6,12
Pada aborrtus kompletus dapat terlihat pemeriksaan ultrasonografi, akan tampak
uterus yang kosong. Penyebab abortus ini mirip dengan threatened miscarriage.13
Pada penderita didapati perdarahan yang sedikit, ostium uteri sebagian besar telah
menutup, dan uterus yang telah mengecil.6,12
Abortus inkompletus pada pemeriksaan, akan tampak serviks yang terbuka, dan
perdarahan masih terus berlangsung.13 Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis
masih terbuka dan teraba jaringan dalam kar,um uteri atau menonjol pada ostium uteri
eksternum. Ciri abortus inkompletus meliputi perdarahan yang banyak disertai
kontraksi, kanalis servikalis yang terbuka, dan sebagian jaringan telah keluar.
Perdarahan biasanya masih terjadi dan pasien dapat jatuh ke dalam keadaan anemia
atau syok.
Missed abortion ditandai dengan telah terjadinya kematian hasil konsepsi di
dalam kandungan, tidak adanya pertambahan tinggi fundus uterus, serta tidak disertai
perdarahan pervaginam, pembukaan serviks maupun kontraksi uterus. Pada
pemeriksaan tes urin kehamilan memberikan hasil negatif, dan pada pemeriksaan
USG didapatkan uterus dan kantong gestasi yang mengecil dan tidak beraturan. Pada
kehamilan kurang dai 12 minggu, dilakukan tindakan evakuasi berupa dilatasi dan
kuretase. Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi dengan infus
oksitosin intravena. 12
Diagnosis abortus infeksius ditentukan dengan adanya abortus yang disertai
gejala dan tanda infeksi alat genital seperti demam, takikardi, perdarahan pervaginam
yang berbau, uterus yang besar namun lembek, nyeri tekan uterus, dan leukositosis.
Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, demam tinggi, dan penurunan
tekanan darah. 12

Gambaran Jenis-jenis Abortus

2.3.7. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis abortus, perlu dilakukan pemeriksaan
ginekologi, diantaranya:
1. Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam ada/tidak jaringan hasil konsepsi,
tercium/tidak bau busuk dari vulva.
2. Inspekulo: perdarahan dari kavum uteri ostium uteri terbuka atau sudah
tertutup, ada/tidak jaringan keluar dari ostium, serta ada/tidak cairan atau
jaringan berbau busuk dari ostium.
3. Colok vagina: porsio masih tebuka atau sudah tertutup serta teraba atau
tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil
dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada
perabaan adneksa, dan kavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.
Pada abortus, peran ultrasonografi sangatlah penting. Ultrasound dapat menilai
adanya janin dan juga adanya aktivitas kardiak janin. Namun demikian, terdapat pula
kekurangan ultrasound dalam menegakkan diagnosis. Terdapat kesimpulan ahli, yang
menyatakan bahwa diagnosis kantung kehamilan yang kosong hanya dapat
ditegakkan ketika diameter kantung kehamilan rata-rata lebih besar dari 20 mm, dan
bahwa panjang crown-rump harus 6 mm atau lebih, sebelum dinyatakan bahwa
aktivitas jantung janin tidak ada. Jika pada pengukuran, ternyata Panjang masih
dibawah angka tersebut, dapat disarankan transvaginal ultrasonografi setidaknya satu
minggu setelah itu. Tenaga medis harus berhati-hati dalam menilai usia gestasional
dan ukuran gestasional sac. Terutama apabila usia kehamilan menurut ukuran
gestasional sac jauh dari perkiraan usia menstruasi, karena mungkin saja terjadi
delayed miscarriage atau missed abortion. 14

Tabel Macam-macam Abortus 15


2.3.8. Penatalaksanaan 15
Pada abortus, beberapa hal perlu diperhatikan, terutama keadaan umum ibu,
termasuk tanda-tanda vital. Syok dapat terjadi pada abortus, akan tampak tanfa-tanda
sepeerti tekanan darah turun, takikardia, pucat, akral dingin. Bila terdapat tanda-tanda
sepsis ataupun dugaan kompliaksi lainnya, antibiotika dapat diberikan hingga ibu
bebas demam selama 48 jam. Pilihan antibiotika yaitu:
 Ampicilin 2g IV/IM, dilanjutkan 4x1g
 Gentamicin 5mg/kgBB/ 24 jam (IV)
 Metronidazole 3 x 500mg
Pasien juga dapat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih memadai, dan
lakukan konseling pasca keguguran. Perlu diingat bahwa kesuburan dapat kembali
setelah 14 hari pasca keguguran, sehingga pentng untuk dilakukan konseling
pemasangan alat kontrasepsi dalam lahir.
Manajemen ekspektant pada abortus inkomplit memiliki tingkat kegagalan setinggi 50
persen. Terapi medis dengan prostaglandin E1 (PGE1) memiliki tingkat kegagalan
yang bervariasi dari 5 hingga 40 persen. Pada 1100 wanita dengan abortus imminens
pada trimester pertama, 81 persen memiliki resolusi spontan. Kuretase biasanya
menghasilkan resolusi cepat yang berhasil 95 hingga 100 persen. Ini invasif dan tidak
perlu untuk semua wanita.

Penatalaksanaan abortus juga disesuaikan dengan jenis abortus yang terjadi.


 Abortus imminens:
o Pertahankan kehamilan.
o Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual
o ika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada
pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG
panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan penilaian ulang bila
perdarahan terjadi lagi.
o Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai
kemungkinan adanya penyebab lain.
 Abortus insipient
o Lakukan konseling untuk rencana evakuasi dan anjurang kontrasepsi
o Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi
uterus. Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
 Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit
kemudian bila perlu)
 Rencanakan evakuasi segera.
o Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
 Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan
 Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit
untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
o Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam.
o Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb
>8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
 Abortus inkomplitus
o Lakukan konseling
o Dalam usia kehamilan <16 minggu, jika perdarahan ringan, ambil sisa
jaringan dengan forcep. Namun jika perdarahan banyak, evakuasi
uterus dengan aspirasi vakum manual (AVM) ataupun kuret tajam.
Jika tidak dapat dilakukan, berikan ergometrin 0,2mg IM (ulang setiap
15 menit bila perlu)
o Dalam usia kehamilan >16 minggu, beri oksitosin 40 IU/ 1 liter RL, 40
TPM.
o Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb
>8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
o Rujuk untuk rencana pemantauan ulang menggunakan USG
 Abortus komplitus
o Tidak perlu di evakuasi
o Observasi keadaan dan lakukan konseling
o Sulfas ferosus 600mg/ hari selama 2 minggu untuk atasi anemia
 Missed abortion
o Lakukan konseling
o Usia kehamilan <12 minggu: evakuasi AVM atau kuret tajam
o Usia kehamilan >12 minggu: evakuasi dengan tang abortus dan sendok
kuret (pastikan serviks terdilatasi)
o Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut
abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar
hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb
>8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang

2.3.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi, infeksi,


dan syok.6
1. Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2. Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiporetrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamat-
amati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan
laparatomi, dan tergantung dari luar dan bentuk perforasi, penjahitan luka
perforasi atau histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan
oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus
biasanya luas, mungkin juga terjadi perlukaan pada kandung kemih atau
usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi
harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk
selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi
komplikasi.
3. Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi
biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada
abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau
sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
4. Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik).

2.4 Mola Hidatidosa


2.4.1 Definisi
Mola hidatidosa adalah bagian dari penyakit trofoblastik gestasional, yang
disebabkan oleh kelainan pada villi khorionik yang disebabkan oleh proliferasi
trofoblastik dan edem.15
2.4.2 Epidemiologi
Insiden mola hidatidosa per 1.000 kehamilan terjadi di Asia di mana 5 negara
yang menduduki peringkat atas yaitu Indonesia dengan 13 kasus, Taiwan 8,0 kasus,
Filipina dan China 5,0 kasus, serta Jepang 3.8 kasus. Sedangkan insidensi terendah
terdapat di Amerika Utara, Eropa, dan Oceania dengan rata-rata 0.5-1.84 kasus per
1.000 kehamilan. Data yang diperoleh dari Amerika Selatan terdapat 0.23-0.9 kasus
per 1.000 kehamilan, sedangkan di benua Afrika hanya Uganda dan Nigeria yang
mempunyai dokumentasi kasus yaitu terdapat rata-rata 5.0 kasus per 1.000 kehamilan.
Walaupun mola hidatidosa merupakan kasus yang jarang, namun jika tidak dideteksi
dan ditangani segera maka akan berkembang menjadi keganasan sel trofoblas yaitu
pada 15 - 20 % wanita dengan mola hidatidosa komplet dan 2-3 % pada mola parsial.
Mola hidatidosa dinyatakan ganas jika terjadi metastasis dan invasi merusak
miometrium, misalnya pada mola invasif. Jika hal tersebut dilanjutkan kemungkinan
akan menjadi salah satu penyebab angka kematian ibu di Indonesia semakin
meningkat. 16
2.4.3 Etiologi
Penyebab dari mola tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mola 17,18
1. Faktor ovum yang memang sudah patologik, tetapi terlambat untuk
dikeluarkan.
2. Imunoselektif dari trofoblas.
3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah.
4. Malnutrisi, defisiensi protein, asam folat, karoten, vitamin, dan lemak
hewani.
5. Paritas tinggi.
6. Umur, risiko tinggi kehamilan dibawah 20 atau diatas 40 tahun.
7. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas.
8. Suku bangsa (ras) dan faktor geografi yang belum jelas.
Faktor risiko ttertinggi adalah usia dan riwayat mola hidatidosa sebelumnya.
Wanita di kedua ekstrem usia reproduksi paling rentan. Khususnya, remaja dan
wanita berusia 36 hingga 40 tahun memiliki risiko dua kali lipat, tetapi mereka yang
berusia lebih dari 40 tahun memiliki risiko hampir sepuluh kali lipat. Bagi mereka
yang memiliki mola lengkap sebelumnya, risiko terjadinya mola hidatidosa kembali
adalah 1,5%. Sedangkan dengan mola parsial sebelumnya, sebanyak 2,7%.
Sedangkan pada seseorang yang mengalami dua kehamilan mola sebelumnya, 23%
wanita memiliki mola ketiga. 11
2.4.4. PATOFISIOLOGI
Kehamilan molar timbul dari pembuahan kromosom yang abnormal. Mola
komplit paling sering memiliki komposisi kromosom diploid. Biasanya 46, XX dan
merupakan hasil dari androgenesis, yang berarti kedua set kromosom berasal dari
pihak ayah. Sel telur dibuahi oleh sperma haploid, yang kemudian menduplikasi
kromosomnya sendiri setelah meiosis. Protein ovum tidak ada ataupun tidak aktif.
Lebih jarang lagi, pola kromosom mungkin 46, XY atau 46, XX dan karena
pembuahan oleh dua sperma, yaitu, pembuahan dispermic. 11
Mola parsial biasanya memiliki kariotipe triploid — 69, XXX, 69, XXY — atau
lebih jarang, 69, XYY. Masing-masing terdiri dari dua set kromosom haploid paternal
yang dikontribusikan oleh disperma dan satu haploid maternal maternal. Lebih jarang
lagi, telur haploid yang serupa dapat dibuahi oleh sperma XY diploid 46 yang tidak
tereduksi. Zigot triploid ini menghasilkan beberapa perkembangan embrio, namun,
akhirnya merupakan kondisi janin yang tidak diharapkan. Janin yang tetap bertumbuh
dan mencapai usia tertentu memiliki growth restriction yang berat, anomali kongenital
multipel, ataupun keduanya. 11
Pada beberapa kehamilan kembar, satu janin normal secara kromosom
dipasangkan dengan hamil mola diploid lengkap. Hal ini terjadi hanya dalam 1 dari
22.000 hingga 100.000 kehamilan. Kasus ini penting untuk tetap dibedakan dari
kehamilan mola parsial tunggal dengan adanya janin. Amniosentesis yang dilakukan
untuk kariotipe janin digunakan untuk memastikan diagnosis.
Terdapat sejumlah komplikasi kehamilan unik dengan kehamilan kembar
seperti ini. Bnyak wanita yang memilih untuk menghentikan kehamilan, jika
didiagnosis lebih awal. Pada wanita yang melanjutkan kehamilan, kelangsungan
hidup janin normal bervariasi dan tergantung pada komplikasi yang biasanya
berkembang dari komponen molar. Yang paling mengkhawatirkan adalah bila terjadi
preeklampsia atau perdarahan, yang sering mengharuskan terminasi kehamilan
dengan usia prematur. 11
Kekhawatiran lain yang perlu dipikirkan oleh pasien yang akan melanjutkan
kehamilannya adalah kemungkinan risiko untuk mengembangkan kehamilan mola
berikutnya. Hingga saat ini, sebagian besar data menunjukkan bahwa wanita dengan
kehamilan kembar mola tidak berisiko lebih besar untuk neoplasia berikutnya
dibandingkan dengan wanita yang memiliki mola lengkap. 11
2.4.5 Klasifikasi
Mola Hidatidosa dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu mola hidatidosa parsial
dan mola hidatidosa komplit. Berikut Tabel yang menunjukkan perbedaan dan fitur
dari kedua klasifikasi tersebut: 11
Tabel Fitur Mola Hidatidosa11
2.4.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang didapat dari seseorang yang mengalami kehamilan
molar, sudah berubah disbanding yang dulu, karena adanya diagnosis dan deteksi
yang lebih dini. Sebagian besar kehamilan mola terdeteksi ketika mereka kecil dan
sebelum komplikasi terjadi. Biasanya didapatkan 1 sampai 2 bulan amenorea sebelum
ditemukannya diagnosis. Pada 41 wanita dengan mola komplit yang didiagnosis pada
rata-rata 10 minggu, sebanyak 41% tidak menunjukkan gejala dan 58% mengalami
perdarahan vagina. Selain itu, hanya 2 persen memiliki anemia atau hiperemesis, dan
tidak ada yang memiliki manifestasi lain.11
Ketika usia kehamilan bertambah, gejala umum cenderung tampak lebih jelas
dengan lengkap dibandingkan dengan mola parsial. Kehamilan mola yang tidak
diobati hampir selalu akan menyebabkan perdarahan uterus yang bervariasi dari
bercak sampai perdarahan banyak. Pendarahan dapat menyebabkan aborsi molar
spontan, tetapi lebih sering, hal terjadi setelah beberapa minggu hingga berbulan-
bulan. Pada kehamilan mola yang lebih lanjut dengan perdarahan uterus tersembunyi
yang cukup besar, anemia defisiensi besi sedang terjadi. Biasanya seseorang akan
memiliki pertumbuhan ukuran rahim yang lebih cepat dari yang seharusnya. Rahim
yang membesar memiliki konsistensi lunak, tetapi biasanya tidak ada gerakan jantung
janin yang terdeteksi. Mual dan muntah bisa menjadi sangat signifikan. Ovarium
mengandung beberapa kista teka lutein multipel pada 25% hingga 60% wanita dengan
mola lengkap. Hal ini kemungkinan disebabkan karena berlebihnya elemen lutein
oleh hCG dalam jumlah besar. Setelah evakuasi, kista ini akan berkurang. Kadang-
kadang kista yang lebih besar dapat mengalami torsi, infark, dan perdarahan.
Ooforektomi tidak dilakukan kecuali ada infark luas. 11
Efek hCG yang menyerupai thyrotropin sering menyebabkan kadar tiroksin
bebas serum (fT4) meningkat dan kadar hormon perangsang tiroid (TSH) menurun.
Meskipun demikian, tirotoksikosis yang tampak secara klinis tidak sering terjadi.
Selain itu, kadar T4 serum bebas sangat normal setelah evakuasi uterus. 11
Preeklampsia berat dan eklampsia relatif umum terjadi pada kehamilan mola
yang besar. Namun, hal ini jarang didapatkan bila terdiagnosis dini dan evakuasi dini.
Dalam kasus-kasus di mana kehamilan tidak dihentikan, preeklamsia berat sering
mengharuskan terjadinya kelahiran prematur. Predileksi preeklampsia dijelaskan oleh
massa trofoblas hipoksik, yang melepaskan faktor antiangiogenik yang mengaktifkan
kerusakan endotel. 11

Gambaran Vaskuler Mola Hidatidosa

2.4.7. Diagnosis
Biasanya seseorang akan mengalami amenoe yang diikuti dengan perdarahan
ireguler. Beberapa wanita akan akan mengalami pengeluaran mola secara spontan.
Serum B-hCG pada kehamilan mola biasanya meningkat sangat tinggi
dibanding kehamilan biasa. Terkadang tes B-hCG yang terlalu tinggi menghasilkan
tes negative palsu. 11
Ultrasonografi juga merupakan salah satu alat diagnostic pada penyakit
trophoblastic ini. Pada USG, akan tampak massa echogenic uterus dengan banyak
kista anechoic, namun tampa fetus ataupun kantong kehamilan/gestational sac.
Fenomena ini disebut sebagai “snowstorm”. Namun pada usia kehamian yang masih
muda, terkadang gambaran ini kurang khas, dan sering dianggap sebagai missed
abortion ataupun incomplete abortion. 11

Gambaran Massa Echogenic dengan kista anechoic

2.4.9. Penatalaksanaan
Mola hidatidosa tidak ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat pertama,
sehingga pasien harus dirujuk. Bila pada pemeriksaan serviks tertutup, makan harus
dipasang batang laminaria selama 24 jam untuk dilatasi serviks. Mola hidatidosa perlu
di evakuasi secara cepat. Evakuasi biasanya dilakukan dengan aspirasi vakum manual
(AVM), karena jaringan yang dikeluarkan banyak. Sementara evakuasi berlangsung,
perlu diperhatikan cairan pasien. Siapkan darah untuk transfuse. Infus oksitosin 10 IU
dalam 500 ml RL atau NaCl 0,9% dipasang dengan kecepatan 40-60 tetes per menit
(TPM). Penggunaan oksitosin diberikan untuk mencegah perdarahan berlebih. Pada
AVM, perlu diperhatikan perdarahan, resiko sepsis, perforasi uterus, emboli udara,
dan evakuasi uterus yang tidak lengkap. Spesimen yang didapat akan dikirim ke
patologi anatomi untuk dievaluasi jaringannya. Aspirasi atau kuretase kedua dapat
dilakukan 2 minggu setelah tindakan pertama untuk memastikan pengosongan uterus.
15,19

Pasien diedukasi untuk menggunakan kontrasepsi hormonal ataupun dilakukan


tubektomi. Pasien diminta untuk control kembali selama 2 minggu untuk dilihat kadar
serum HCG. Kadar serum HCG yang meningkat ataupun tidak menurun dalam 2 kali
pemeriksaan atau setelah 8 minggu, perlu di rujuk ke fasilitas kesehatan yang lengkap
untuk dilakukan kemoterapi. Pemeriksaan serum HCG dilakukan setidaknya dalam
setahun. Enam bulan pertama dilakukan setiap satu bulan, dan setelah itu setiap dua
bulan sekali. 15,19

2.4.10 Komplikasi 6
1. Komplikasi non maligna
Perforasi Uterus
Selama kehamilan kadang-kadang terjadi perforasi uterus dan jika terjadi
perforasi maka kuretase harus dihentikan. Laparoskopi atau laparotomi
harus dilakukan untuk mengetahui tempat terjadinya perforasi.
Perdarahan
Merupakan komplikasi yang terjadi sebelum, selama, dan bahkan setelah
tindakan kuretase. Oleh karena itu oksitosin intravena diberikan sebelum
memulai tindakan untuk mengurangi terjadi perdarahan.
DIC
Faktor yang dilepaskan jaringan mola mempunyai aktivitas fibinolitik.
Semua pasien diskrining untuk melihat adanya koagulopati.
Embolisme tropoblastik
Dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut. Faktor risiko terbesar
terjadi pada uterus yang lebih besar dari yang diharapkan pada usia gestasi
16 minggu. Keadaan ini bisa fatal.
Infeksi pada sevikal atau vaginal.
Perforasi pada dinding uterus yang tipis selama evakuasi mola dapat
menyebabkan penyebaran infeksi. Ruptur uteri spontan bisa terjadi pada
mola benigna dan mola maligna.
2. Komplikasi maligna
Mola invasif atau koriokarsinoma berkembang pada 20% kasus mola dan
identifikasi pasien penting untuk tindakan selanjutnya.Setelah mola komplit
invasi uteri terjadi pada 15% pasien dan metastase teerjadi pada 4 pasien.
Tidak terdapat kasus koriokarsinoma yang dilaporkan setelah terjadi mola
inkomplit meskipun ada juga yang menjadi penyakit trofoblastik non
metastase yang menetap yang membutuhkan kemoterapi.

2.4.11. PROGNOSIS
Kemungkinan berkembangnya neoplasia trofoblas gestasional adalah faktor
yang paling penting. Perdarahan persisten yang tidak biasa setelah segala jenis
kehamilan harus segera dilakukan pengukuran kadar β-hCG serum dan pertimbangan
untuk kuretase diagnostik. Ukuran uterus dinilai bersama dengan pemeriksaan yang
hati-hati untuk metastasis ke saluran genital, yang biasanya tampak sebagai massa
pembuluh darah kebiruan. 11
Setelah diagnosis diverifikasi, selain tingkat serum β-hCG, pencarian untuk
penyakit lokal dan metastasis termasuk tes fungsi hati dan ginjal, USG transvaginal,
CT scan dada atau radiografi, otak dan abdominal-inopelvic CT scan atau pencitraan
MR. Pemeriksaan positronemission tomographic (PET) dan cairan serebrospinal
jarang dilakukan. 11
Penentuan level β-hCG digunakan untuk mengidentifikasi metastasis. Neoplasia
trofoblastik gestasional tampilkan secara klinis menggunakan sistem Federasi
Internasional Ginekologi dan Obstetri (FIGO) (2009). termasuk modifikasi dari skor
indeks prognostik Organisasi Kesehatan Dunia (1983), dengan skor 0 hingga 4
diberikan untuk masing-masing kategori. Wanita dengan skor WHO 0 hingga 6
dianggap memiliki penyakit berisiko rendah, sedangkan wanita dengan skor ≥ 7
dianggap dalam kelompok berisiko tinggi. 11
Skor FIGO 11

2.5 Kehamilan Ektopik Terganggu


2.5.1 Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rahim (uterus). Hampir
95% kehamilan ektopik terjadi di berbagai segmen tuba Falopii, dengan 5% sisanya
terdapat di ovarium, rongga peritoneum atau di dalam serviks. Apabila terjadi ruptur
di lokasi implantasi kehamilan, maka akan terjadi keadaan perdarahan masif dan nyeri
abdomen akut yang disebut kehamilan ektopik terganggu (KET). 15
2.5.2 Etiologi 6
Etiologi kehamilan ektopik sudah banyak disebutkan karena secara patofisiologi
mudah dimengerti sesuai dengan proses awal kehamilan sejak pembuahan sampai
nidasi" Bila nidasi terjadi di luar karum uteri atau di luar endometrium, maka
terjadiiah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya hambatan da- lam nidasi embrio ke endometrium menjadi penyebab
kehamilan ektopik ini. Faktor- faktor yang disebutkan adalah sebagai berikut.
 Faktor ruba
Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba
menyempit atau buntu. Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan
saluran tuba yang berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia
tuba tidak berfungsi dengan baik. Juga pada keadaan pascaoperasi rekanalisasi
tuba dapat merupakan predisposisi terjadinya ke- hamilan ektopik.
Faktor tuba yang lain ialah adanya kelainan endometriosis tuba atau divertikel
saluran tuba yang bersifat kongenital.
Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapar
menjadi etiologi ke- hamilan ektopik.
 Faktor abnormalitas dari zigot
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot
akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan
tumbuh di saluran tuba.
 Faktor ovarium
Bila ovarium memproduksi orum dan ditangkap oleh tuba yang kontralateral,
dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang lebih panjang sehingga
kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.
 Faktor hormonal
Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesreron dapat
mengakibatkan gerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
 Faktor lain
Termasuk di sini antara lain adalah pemakai IUD di mana proses peradangan
yang dapat timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan
terjadinya ke- hamilan ektopik. Faktor umur penderir*yang sudah menua dan
faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.

2.5.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasinya, kehamilan ektopik dibagi menjadi 5 bagian, yaitu: 6
 Kehamilan tuba, meliputi > 95% yang terdiri atas:
Pars ampularis (55 %), pars ismika (25'/"),pars fimbriae (17 %), dan pars
interstisialis (2 %).
 Kehamilan ektopik lain (< 5%) antara lain terjadi di serviks uterLis,
ovarium, atau abdominal. Untuk kehamilan abdominal lebih sering
merupakan kehamilan abdo- minal sekunder di mana semula merupakan
kehamilan tuba yang kemudian abortus dan meluncur ke abdomen dari
ostium tuba pars abdominalis (abortus tubaria) yang kemudian
embrio/buah kehamilannya mengalami reimplantasi di kavum abdomen,
misalnya di mesenterium/mesovarium atau di omentum.
 Kehamilan intraligamenter, jumlahnya sangar sedikit.
 Kehamilan heterotopik, merupakan kehamilan ganda di mana satu janin
berada di kavum uteri sedangkan yang lain merupakan kehamilan
ektopik. Kejadian sekitar satu per 15.000 - 40.000 kehamilan.

 Kehamilan ektopik bilateral. Kehamilan ini pernah dilaporkan walaupun


sangat jarang terjadi.

Gambar Lokasi kehamilan Ektopik

2.5.4 Patofisiologi 6
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium
untuk proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
me- ngalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba
bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah,
maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini.
Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak
mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria)
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili ko-
rialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari din-
ding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat
terjadi sebagian atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul.
Bila peiepasan menyeluruh, mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen
tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis.
Frekuensi abortus dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus
ke lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penem-
busan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum biasanya terjadi pada ke-
hamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih
luas sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika diban-
dingkan dengan bagian ismus dengan lumen sempit.
Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus, perdarahan akan
terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah, sehingga berubah menjadi mola
kmenta. Perdarahan yang berlangsung tems menyebabkan tuba membesar dan kebiru-
biruan (hematosalping), dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui os-
tium tuba. Darah ini akan berkumpul di kawm Douglasi dan akan rnembentuk
hematokel retrouterina.

Ruptur dinding tuba


Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstisialis terjadi pada kehamilan
yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur ialah penembusan vili ko-
rialis ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi
secara spontan atau karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal.
Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit,
kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsu-
laris ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat
mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.
Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena
rekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah iigamentum itu. Jika
janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan
tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeiuarkan dari tuba. Perdarahan
dapat berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia
atau syok oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir
ke kavum Douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi
rongga abdomen. Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perda-
rahan, nasib janin bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan.
Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat
diubah menjadi litopedion.

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan
dengan plasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut,
sehingga akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan
makanan bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan impiantasinya ke jaringan
seki- tarnya, misalnya ke sebagian utems, ligamentum latum, dasar panggui, dan usus.

2.5.5. Manifestasi Klinis


Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba.
1. Kehamilan ektopik belum terganggu 6,20
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit
untuk diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang
khas.Amenorea atau gangguan haid dilaporkan oleh 75-95% penderita.
Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat
bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena kematian
janin terjadi sebelum haid berikutnya. Tanda-tanda kehamilan muda seperti
nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus.
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan ialah
nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum
mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan
batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan
dengan alat bantu diagnostik yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan
laparoskopi.
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus
atau ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap
wanita dengan gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai adanya
kehamilan ektopik harus ditangani dengan sungguh-sungguh menggunakan
alat diagnostik yang ada sampai diperoleh kepastian diagnostik kehamilan
ektopik karena jika terlambat diatasi dapat membahayakan jiwa penderita.
2. Kehamilan ektopik terganggu 6,20
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya
gejala yang tidak jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya kehamilan
ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan, derajat
perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum hamil. 6
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau akut
biasanya tidak sulit.Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik
terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah terjadi secara
tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan
penderita pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat serta
perdarahan yang lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas
pucat, basah dan dingin. Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi,
tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke
bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan bila membentuk hematokel
retrouterina menyebabkan defekasi nyeri. 6
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET. Hal ini
menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan
desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna coklat
tua. Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%. Perdarahan berarti
gangguan pembentukan hCG. 6
Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat, dan pada
pemeriksaan ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut.
Pada pemeriksaan ginekologik ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan
dan kavum Douglas yang menonjol dan nyeri raba.10 Pada abortus tuba
biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus dalam berbagai
ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retouterina dapat diraba
sebagai tumor di kavum Douglas 6
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik terganggu jenis
atipik atau menahun. Keterlambatan haid tidak jelas, tanda dan gejala
kehamilan muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak nyata dan sering
penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi apabila
perdarahan pada kehamilan ektopik yang terganggu berlangsung lambat.
Dalam keadaan yang demikian, alat bantu diagnostik sangat diperlukan
untuk memastikan diagnosis. 20

2.5.6 Diagnosis 6
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami
abortus tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas. Alat bantu
diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi (USG), laparoskopi atau
kuldoskopi.6
Anamnesis: haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan kadang-
kadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda.2 Nyeri abdominal terutama
bagian bawah dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan
merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan
ektopik. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu
spesifik atau juga sensitif.
Pemeriksaan umum: penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada
perdarahan dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan.Pada jenis
tidak mendadak perut bagian bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri
tekan.2 Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara
tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan ginekologi: tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan.
Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka
akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping
uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol dan
nyeri-raba menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang
naik sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik. 6
Pemeriksaan laboratorium: pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah
merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu,
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus tidak
mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan
hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.2 Perhitungan leukosit secara berturut
menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat (leukositosis). Untuk
membedakan kehamilan ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah
leukosit. Jumlah leukosit yang lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi
pelvik. 6
Penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang paling
mudah adalah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β-hCG
dalam urin atau serum. Hormon ini dapat dideteksi paling awal pada satu
minggu sebelum tanggal menstruasi berikutnya. Konsentrasi serum yang sudah
dapat dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin ialah 20–50 IU/L.6 Tes
kehamilan negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik
terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas
menyebabkan hCG menurun dan menyebabkan tes negatif.2 Tes kehamilan
positif juga tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional. Meskipun
demikian, wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level β-hCG
yang rendah dibandingkan kehamilan intrauterin.
Kuldosentesis: adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Adapun teknik kuldosentesis yaitu:
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan
tenakulum, kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks
posterior ditampakkan
- Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil.
Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa:
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal
atau kista ovarium yang pecah.
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
Ultrasonografi: Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan
adanya kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan
intrauteri. Cara yang terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan
intrauteri adalah dengan menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan
spesifisitas dari diagnosis kehamilan intrauteri dengan menggunakan
modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan diatas 5,5 minggu.
Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan ultrasonografi lebih
sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik.

Gambar: USG kehamilan ektopik


Gambar: Tampak kehamilan ektopik dengan gambaran hematoma pada
USG transvaginal. Panah putih: hematom dengan gambaran massa echogenic
kompleks pada adnexa kanan, Panah hitam putih: ovarium kanan

Laparoskopi: hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik


terakhir untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur
diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat
kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan
uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas dan ligamentum latum. Adanya
darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi alat kandungan tetapi
hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.

2.5.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana umum pasien dengan kehamilan ektopik terganggu secara umum
adalah dengan pengembalian cairan tubuh pasien. Restorasi cairan dilakukan dengan
cairan sotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat 500ml dalam 15 menit pertama atau 2
liter cairan isotonic dalam 2 jam. Setelah restorasi cairan, pasien perlu di rujuk ke
fasilitas kesehatan yang lebih besar dan memadai. 15
Pasien dengan kehamilan ektopik terganggu direncanakan untuk laparotomi.
Bila terjadi kerusakan berat pada tuba, salpingektomi dapat dilakukan. Namun,
apabila kerusakan tuba ringan, tuba lebih baik dipertahankan setelah pengeluaran
hasil konsepsi. 15

Anda mungkin juga menyukai