Anda di halaman 1dari 42

Tugas mata kuliah metabolisme.

PENGARUH PEMBERIAN BUAH PEPAYA (Carica papaya L)


TERHADAP ANATOMI ALVEOLUS PARU-PARU MENCIT
(Mus
musculus) YANG DIINHALASI CCl4 (Carbon Tetraclorida)
Disusun oleh
Fauziah
116090200111005

PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil

(mempunyai satu elektron atau lebih yang tanpa pasangan). Radikal bebas ini berbahaya

karena amat reaktif mencari pasangan elektronnya. Radikal bebas yang terbentuk dalam

tubuh akan mengahasilkan radikal bebas yang baru melalui reaksi berantai yang akhirnya

terus bertambah. Selanjutmenyerang sel-sel tubuh sehingga akan terjadi kerusakan jaringan

(Sibeua, 2004). Tubuh secara terus menerus membentuk radikal oksigen dan spesies reaktif

lainnya, terutama dihasilkan oleh netrofil, makrofag dan sistem Xatin oksidase (Khlifi et al,

2005). Radikal bebas ini dibentuk melalui mekanisme metabolisme normal (Desmarchelier et

al, 2005). Senyawa radikal bebas tersebut timbul akibat berbagai proses kimia kompleks

dalam tubuh, berupa hasil sampingan dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang

berlangsung pada waktu bernapas, metabolisme sel, olahraga yang berlebihan, peradangan

atau ketika tubuh terpapar polusi lingkungan seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok,

bahan pencemar, dan radiasi matahari atau radiasi kosmis (Karyadi, 1997). Makanan tertentu

seperti makanan cepat saji (fastfood), makanan kemasan, makanan kaleng juga berpotensi

meninggalkan racun dalam tubuh karena kandungan lemak, pengawet serta sumber radikal

bebas (Sibeuea, 2004). Sehingga tubuh memerlukan antioksidan yang dapat membantu

melindungi tubuh dari serangan radikal bebas.

Carbon tetraclorida (CCl4) adalah salah satu radikal bebas yang dibentuk dari reaksi CH4

dan Cl2 dengan bantuan sinar ultraviolet (ECO-USA, 2006). Sedangkan menurut WHO

(2002), carbon tetraclorida (CCl4) adalah bahan kimia toksik yang diproduksi secara tidak

alami yang secara luas digunakan sebagai bahan pendingin (refrigerator) lemari es dan bahan

profelan untuk kaleng aerosol.


Penyebaran dari carbon tetraclorida (CCl4) dapat melalui udara, air, dan makanan (WHO,

2002). Carbon tetraclorida (CCl4) dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran cerna

(digestion) dan saluran nafas (respiration) melalui paruparu Selain itu, karbon tetraclorida

juga digunakan sebagai bahan pembersih untuk keperluan rumah tangga dan sebagai

pemadam api karena sifatnya yang tidak mudah terbakar (Tuminah, 2000).

Paru-paru adalah organ tubuh yang berperan dalam sistem pernapasan (respirasi) yaitu

proses pengambilan oksigen (O2) dari udara bebas melalui saluran napas (bronkus) sampai ke

dinding alveoli (kantong udara). Oksigen tersebut akan ditransfer ke pembuluh darah yang di

dalamnya terdapat sel-sel darah merah untuk dibawa pada sel-sel di berbagai organ tubuh lain

sebagai energi dalam proses metabolisme. Dengan adanya fungsi paru-paru tersebut, dapat

dipahami bahwa paru-paru merupakan organ paling terbuka dengan polusi udara terhadap

bahan pencemar yang berbahaya (Syahruddin, 2006).

Menurut Syahruddin (2006) bahan pencemar yang masuk ke dalam paruparu secara

umum akan mengakibatkan gangguan pada saluran napas atau ADRS dan juga kanker paru-

paru. Adult Respiratory Distress Syndrome (ADRS) yaitu merupakan keadaan darurat medis

yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung

dengan kerusakan paru-paru bahkan sampai terjadi kanker paru-paru (Syahruddin, 2006).

Senyawa bahan pencemar tersebut dapat merusak paru-paru dengan menyerang lemak tak

jenuh dalam membran sel dan akibat yang ditimbulkan bersifat irreversible (tidak

terpulihkan) (Susanto, 2008). Gambaran patologi dari kerusakan paru-paru yaitu adanya

proliferasi sel-sel alveolus, perluasan proliferasi alveolus, bahkan benjolan berbentuk bulat

yang menandakan terjadinya keganasan sel kanker (Mun‘im,2006).

Untuk mengantisipasi terjadinya ADRS maupun kanker paru yang diakibatkan oleh

radikal bebas, salah satu pencegahannya adalah dengan mengkonsumsi berbagai macam buah

dan sayuran yang banyak mengandung dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma
kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus

reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2007). Antioksidan dapat dibagi menjadi

dua yaitu antioksidan yang diproduksi di dalam tubuh (endogen) dan antioksidan yang tidak

diproduksi oleh tubuh (eksogen).

Antioksidan eksogen atau antioksidan alami yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan

salah satunya adalah terdapat dalam buah pepaya. Pepaya adalah buah tropis yang merupakan

sumber vitamin C yang tinggi sehingga dipercaya dapat digunakan sebagai pelindung tubuh

dari berbagai kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Menurut Soenardi (2004), buah

yang tidak mengenal musim ini diketahui banyak mengandung vitamin C dan juga beta

karoten sebagai sumber antioksidan yang baik. Kandungan serat di dalamnya juga halus,

sehingga baik dikonsumsi oleh kalangan balita sampai usia lanjut. Pada tàhun 1997 the World

Cancer Research Fund’s melaporkan, mengonsumsi papaya (sebagai makanan penutup)

secara teratur baik untuk menangkal kanker paruparu, pankreas, payudara, kandung kemih,

dan kolon, karena kandungan vitamin C dan karotenoid-nya yang tinggi.

Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Mun’im (2006) bahwa pemberian buah merah

sebagai antioksidan pada tikus yang diinduksi dengan Tetrabenzene dapat mengurangi

proliferasi sel alveolus paru-paru secara signifikan. Hasil penelitian serupa juga dilakukan

oleh Santoso (2006) yang menunjukkan bahwa pemberian Curcumin berpengaruh terhadap

zona perluasan proliferasi alveolus paru-paru setelah diinduksi dengan DMBA. Berdasarkan

belum diketahuinya penggunaan buah papaya sebagai antioksidan dengan berbagai macam

kandungan yang telah diketahui seperti di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai

pengaruh pemberian buah pepaya (Carica papaya L) terhadap anatomi alveolus paru-paru

mencit (mus musculus) yang diinhalasi CCL4 (carbon tetraclorida).


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah

pemberian buah papaya (Carica papaya) berpengaruh terhadap perubahan anatomi alveolus

paru-paru mencit yang diinhalasi dengan CCl4 (Carbon Tetraclorida)?

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian buah papaya (Carica

papaya) terhadap perubahan anatomi alveolus paru-paru mencit yang diinhalasi dengan CCl4

(Carbon Tetraclorida).

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini, antara lain :

1. Buah pepaya dapat dijadikan sebagai obat alternatif dalam pengobatan berbagai

macam penyakit misalnya penyakit degeneratif yang disebabkan oleh radikal bebas.

2. Dapat memberikan informasi pada masyarakat tentang buah papaya sebagai tanaman

berkhasiat obat.

3. Dapat memberikan landasan empiris pada pengembangan penelitian selanjutnya.

.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1.1 Morfologi Pepaya (Carica papaya L)

Tanaman pepaya sudah lama dikenal oleh petani di Indonesia. Tanaman tersebut diduga

berasal dari kawasan sekitar Meksiko dan Coasta Rica. Tanaman buah-buahan yang termasuk

dalam famili Caricaceae cukup banyak. Namun demikian, hanya pepaya yang bernilai

ekonomis penting. Tanaman pepaya banyak dibudidayakan di daerah tropis (BAPPENAS,

2000).

Gambar 2.1 Buah Pepaya (Carica papaya) (BAPPENAS, 2000).

Pepaya adalah monodioecious (berumah tunggal sekaligus berumah dua) dengan tiga

kelamin yaitu: tumbuhan jantan, betina, dan banci. Batang pohon pepaya perdu, tingginya ±

10 m, tidak berkayu, silindris, berongga, dan berwarna putih kehijauan. Daunnya tunggal,

bulat, ujung meruncing, pangkal bertoreh, tepi bergerigi, berdiameter 25-75 cm, pertulangan

menjari, panjang tangkai 25-100 cm, dan berwarna hijau (BAPPENAS, 2000).

Bunga pepaya tunggal, berbentuk bintang, terletak di ketiak daun, dan berkelamin satu

atau berumah dua. Bunga jantan mempunyai kelopak kecil, berwarna kuning, mahkota
berbentuk terompet, sedangkan bunga betina berdiri sendiri, mahkota lepas, kepala putik

berjumlah lima, dan berwarna putih kekuningan. Bentuk buah bulat hingga memanjang,

dengan ujung biasanya meruncing. Warna buah ketika muda hijau gelap, dan setelah masak

berwarna hijau muda hingga kuning. Bentuk buah membulat bila berasal dari tanaman betina

dan memanjang (oval) bila dihasilkan oleh tanaman sempurna. Daging buah berasal dari

karpela yang menebal dan berwarnakuning hingga merah tergantung varietasnya. Bagian

tengah buah berongga. Dan bijinya bulat atau bulat panjang, kecil, bagian luar dibungkus

selaput berlendir (pulp) yang berisi cairan yang berguna untuk mencegahnya dari kekeringan,

masih muda berwarna putih setelah tua berwarna hitam. Akarnya tunggang dan berwarna

putih kekuningan (BAPPENAS, 2000).

2.1.2 Klasifikasi Pepaya (Carica papaya L)

Menurut BAPPENAS (2000), klasifikasi dari pepaya (Carica papaya) sebagai berikut :

Divisi Spermatophyta

Sub divisi Angiospermae

Kelas Dicotyledonae

Bangsa Cistales

Suku Caricaceae

Marga Carica

Jenis Carica papaya L

2.1.3 Kandungan Kimia dan Manfaat Pepaya (Carica papaya L)

Kandungan kimia buah pepaya diantaranya: beta-carotene, pectine, dgalaktosa, l-

arabinosa, papain, papayotimin papain dan fitokinase (Lokapirnasari, (2001). Betakaroten

merupakan salah satu bentuk pigmen dari karoten (carotenoid) yang berfungsi sebagai

penawar yang kuat untuk oksigen reaktif (suatu radikal bebas destruktif`) (Tim Redaksi

Vitahealth, 2004).
Penelitian epidemiologis telah menunjukkan adanya hubungan terbalik antara asupan

karoten dengan insidensi penyakit kanker. Karoten membantu mencegah kerusakan jaringan

dan DNA, kondisi yang menjadi prasyarat untuk terjadinya inisiasi kanker. Karoten juga

sebagai stimulator enzim penghancur karsinogen (zat penyebab kanker), meningkatkan efek

sel darah putih dan menstimulasi kemampuan tubuh untuk mengubah substansi toksik

menjadi senyawa tidak berbahaya. Fungsi lain betakaroten adalah meningkatkan system

kekebalan, mencegah kebutaan, memperbaiki fungsi paru, memperpanjang masa bebas

penyakit pada penderita kanker payudara, kandung kemih, kepala leher, serta mengurangi

komplikasi penyakit diabetes (Tim Redaksi Vitahealth, 2004). Selain betakaroten, buah

pepaya juga kaya akan vitamin C yang merupakan sumber antioksidan yang baik, sehingga

mampu mencegah kerusakan sel yang disebabkan radikal bebas. Mengkonsumsi setengah

buah pepaya ukuran sedang sehari mampu memenuhi kebutuhan vitamin C harian seorang

manusia dewasa. Pepaya juga mengandung sedikit kalsium dan besi (Kumalaningsih,2006).

Menurut Ashari (2004), kandungan gizi untuk 100 g daging buah papaya adalah sebagai

berikut :

Tabel 2.1 Kandungan gizi dan unsur penting untuk 100 g daging buah papaya

No Unsur Gizi Papaya Mentah Papaya Matang


1 Energi (kalori) 26 46
2 Protein (g) 2,1 0,5
3 Lemak (g) 0,1
4 Karbohidrat (g) 4,9 12,2
5 Kalsium (mg) 50 23
6 Fosfor (mg) 16 12
7 Besi (mg) 0,4 1,7
8 Vitamin A (SI) 50 365
9 Vitamin B (mg) 0,02 0,04
10 Vitamin C (mg) 19 78
11 Air (g) 92,3 86,7
Sumber: Nilai Gizi, Manfaat dan Teknologi Pengolahan Pepaya. Ditjen BPPHP

Departemen Pertanian. 2002 Manfaat pepaya dalam kehidupan sehari-hari sangat banyak

sekali. Menurut Setiawan (2006), manfaat pepaya diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Buah pepaya digunakan sebagi buah pencuci mulut dan juga sebagai pensuplai

nutrisi/gizi terutama vitamin A dan C. Buah pepaya masak yang mudah rusak perlu

diolah dijadikan makanan seperti sari pepaya, dodol pepaya. Dalam industri makanan

buah pepaya sering dijadikan bahan baku pembuatan (pencampur) saus tomat yakni

untuk penambah cita rasa, warna dan kadar vitamin.

b) Dalam industri makanan, akarnya dapat digunakan sebagai obat penyembuh sakit ginjal

dan kandung kencing.

c) Daunnya sebagai obat penyembuh penyakit malaria, kejang perut dan sakit panas.

Bahkan daun mudanya enak dibuat untuk lalapan dan untuk menambah nafsu makan,

serta dapat menyembuhkan penyakit beri-beri dan untuk menyusun ransum ayam.

d) Batang buah muda dan daunnya mengandung getah putih yang berisikan enzim pemecah

protein yang disebut “papaine” sehingga dapat melunakkan daging, untuk bahan

kosmetik, pada industri minuman digunakan sebagai penjernih, serta digunakan dalam

industri farmasi dan textil.

e) Bunga pepaya yang berwarna putih dapat dirangkai dan digunakan sebagai “bunga

kalung” pengganti bunga melati atau sering dibuat urap.

f) Batangnya dapat dijadikan pencampur makanan ternak.

2. Antioksidan

2.1 Definisi Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan

elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali
fungsinya serta dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2007).

Dalam arti sempit antioksidan merupakan suatu senyawa yang mudah sekali teroksidasi dan

dapat mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid

(Ardiansyah, 2007). Apabila antioksidan bertemu dengn radikal bebas maka akan segera

teroksidasi, sehingga dengan demikian jaringan/organ tubuh yang sehat akan terlindung dari

pengaruh oksidasi dan kerusakan oleh radikal bebas.

Selanjutnya (Voight, 1995) antioksidan dari karakter fenolit, misalnya difenol sederhana

(hidrokinon) berkemampuan langsung menyerang kedalam mekanisme radikal oksidasi,

radikal yang terbentk ditangkap dan diubah menjadi produk yang stabil. Prinsib dari

mekanisme pemutusan rantai terdapat dalam perpindahan sebuah atom hodrogen pada radikal

alkil peroksida. Dengan ini radikal yang diperlukan untuk penyambungan rantai ditangkap.

Langkah pertama dalam pembentukan suatu radikal semikinon yang beraksi dengan sebuah

radikal alkil peroksida lainnya menjadi menjadi produk yang stabil.

2.2. Jenis-Jenis Antioksidan

Menurut Favier (1995) dalam Magdalena (2002) secara garis besar antioksidan dapat

dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu :

a) Antioksidan Enzimatik

Antioksidan ini terdiri atas :

1) Enzim-enzim yang dapat mengubah Reaksi Oxygen Species (ROS). Contoh:

Superoksid Dismutase, Katalase, dan Glutation.

2) Molekul-molekul yang mengeblok aktifitas enzim. Contoh: Allopurinol, Xanthine

Oksidase Inhibitor.

3) Molekul-molekul yang dapat menangkap ion metal yang merupakan katalis

potensial dari reaksi radikal bebas.

b) Antioksidan Non- Enzimatik


Antioksidan ini bereaksi dengan radikal bebas secara langsung (mole to mole), dipakai

selama radikal bebas berlangsung. Misalnya: Vitamin A (Beta-Karoten), Vitamin B2, Vitamin

C, Vitamin E, Glutation, Manitol, Probucol, N-Acetyl Cystein, dan Co-Enzim Q10. Menurut

Kumalaningsih (2007), atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 yaitu :

1) Antioksidan Primer

Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah pembentukan radikal bebas baru karena ia

dapat merubah radikal bebas yang ada menjdi molekul yang berkurang dampak negatifnya,

yaitu sebelum sempat bereaksi. Contoh: Katalase, Glutation Peroksida, Protein pengikat

metal dan Superoksida Dismutase (SOD).

2) Antioksidan Sekunder

Antioksidan ini merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta

mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar.

Misalnya vitamin C, vitamin E, dan beta karoten yang diperoleh dari buah-buahan.

3) Antioksidan Tersier

Antioksidan ini merupakan senyawa yang berfungsi memperbaiki kerusakan

biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas. Contoh: Enzim-enzim yang memperbaiki

DNA dan Metionin.

4) Oxygen Scavanger

Antioksidan yang termasuk dalam Oxygen Scavanger adalah antioksidan yang mampu

mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. Contoh: Vitamin C.

5) Chelators atau Sequesstrants

Chelators atau Sequesstrants adalah senyawa yang dapat mengikat logam sehingga logam

tersebut tidak dapat mengkatalis reaksi oksidasi. Sehingga kerusakan dapat dicegah. Contoh:

asam sitrat dan asam amino. Menurut Sri (2006), berdasarkan sumbernya antioksidan dapat

dibedakan menjadi:
1. Antioksidan Endogen

Antioksidan endogen adalah antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang

berupa enzim antara lain:

a. Superoksida Dismutase (SOD)

Enzim SOD yang terletak di mitokondria membutuhkan Mn (mangan) sedangkan

dalam sitosol bekerjanya enzim SOD memerlukan bantuan Cu (tembaga) dan Zn

(seng). Dengan demikian pengendalian tahap awal radikal bebas yang terbentuk pada

tingkat awal memerlukan bantuan mineral Mn, Cu, dan Zn. Selenium (Se) juga

merupakan mineral yang berperan sebagai antioksidan. Keempat mineral tersebut

perlu tersedia cukup dalam makanan kita.

b. Glutathione Peroksidase

Glutathione Peroksidase adalah enzim yang berperan dalam menghilangkan H2O2

dalam tubuh dan mempergunakannya untuk merubah glutathione (GSH) menjadi

gluthathione teroksidasi (GSSG). Enzim tersebut mendukung aktivitas enzim SOD

bersama-sama dengan enzim katalase dan menjaga konsentrasi oksigen akhir agar

stabil dan tidak berubah menjadi prooksidan. Enzim ini berada di eritrosit (sel darah

merah).

c. Katalase

Enzim katalase berada pada endoplasmic reticulum dalam sel, pada pulmonary

epithelium type II, pada clara cell dan ada pula di dalam alveolar macrophage

(Mukono, 2005). Enzim ini disamping mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat

mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi

oksigen dan air.

2. Antioksidan Eksogen
Antioksidan eksogen adalah antioksidan alami yang diperoleh dari tanaman diantaranya

adalah vitamin C, betakaroten, vitamin E (tokoferol), flavonoid dan senyawa fenolik.

a. Vitamin C (Asam Askorbat)

Vitamin C adalah substansi yang larut dalam air. Vitamin ini diyakini menjadi antioksidan

dalam cairan ekstraseluler yang paling penting dan mempunyai aktivitas intraseluler yang

baik (Tuminah, 1999). Menurut Sri (2006), vitamin C merupakan antioksidan yang berperan

penting dalam membantu menjaga kesehatan sel, meningkatkan penyerapan asupan zat besi

dan memperbaiki system kekebalan tubuh. Sumber vitamin C yang penting berada dalam

makanan terutama berasal dari buah-buahan dan sayur-sayuran.

b. Betakaroten

Betakaroten merupakan salah satu bentuk pigmen dari karoten (carotenoid). Betakaroten

merupakan salah satu bentuk senyawa karoten sebagai penawar yang kuat untuk oksigen

reaktif (suatu radikal bebas destruktif) (Tim Redaksi Vitahealth, 2004). Hidajat (2005),

menambahkan bahwa betakaroten sebagai antioksidan yang larut dalam lemak yang dapat

menjaga terhadap proses pengrusakan oksidasi dinding sel yang terdiri dari lemak.

c. Vitamin E (Tokoferol)

Vitamin E adalah substansi yang larut dalam lemak merupakan antioksidan utama dalam

semua membrane seluler dan melindungi asam lemak tak jenuh terhadap peristiwa oksidasi

(Tuminah, 1999). Berbagai penelitian menunjukkan tokoferol dapat menghambat

pertumbuhan kanker payudara manusia pada kultur melalui induksi berhentinya sintesis

DNA,

diferensiasi sel, dan apoptosis. Vitamin E berfungsi mencegah penyakit hati, membantu

memperlambat penuaan karena oksidasi, serta mensuplai oksigen ke darah sampai ke seluruh

tubuh.

d. Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di

alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat

berwarna kuning yang ditemukan pada tumbuhan (Lenny, 2006). Senyawa flavonoid ini

umumnya memiliki sifat antioksidan sehingga mampu menghambat aktivasi karsinogen.

e. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik merupakan antioksidan yang berperan dalam penghambatan

karsinogenik dan menghambat proliferasi sel sehingga mampu menghambat perkembangan

tumor setelah inisiasi melalui cell cycle arrest (Jenny et al, 2006).

2.2.3 Vitamin C dan Beta Karoten Sebagai Antioksidan

Salah satu bahan kimia yang terkandung dalam pepaya (Carica papaya) adalah vitamin C

dan juga beta karoten. Vitamin C (Asam askorbat) merupakan koenzim atau askorbat pada

berbagai reaksi di dalam tubuh. Salah satu peran utamanya yaitu dalam proses hidroksi lisin

menjadi hidroksi prolin (Djaeni, 2000).

Karotenoid merupakan pigmen warna kuning sampai merah yang terdapat pada berbagai

sayuran dan buah. Karotenoid yang terkandung di dalam papaya berfungsi sebagai

antioksidan. Karotenoid dapat membantu sistem kekebalan tubuh dengan cara melindungi

reseptor sel-sel fagosit/pemakan (sel-sel darah putih yang mampu menelan kuman) dari

kerusakan autooksidasi akibat terbentuknya radikal bebas. Selain itu, karotenoid

meningkatkan pula proliferasi sel-sel T dan B yang berfungsi sebagai sistem kekebalan

seluler, menstimulir fungsi efektor (fungsi membunuh) dari sel-T, meningkatkan kemampuan

sel-sel pembunuh tumor seperti makrofag, dan juga meningkatkan produksi beberapa jenis

cytokine yang berperan dalam respons kekebalan tubuh (Murwani, 2008).

2.2.4. Mekanisme Kerja Antioksidan

Menurut Kumalaningsih (2007), mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah

menghambat oksidasi lemak. Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama yaitu :
a. Inisiasi

Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan

asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom hidrogen.

RH R* + H*

b. Propagasi

Pada tahap ini, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal

peroksi.

R* + O2 ROO*

c. Terminasi

Radikal peroksi hasil dari propagasi lebih lanjut akan menyerang asam lemak

menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru.

ROO* + RH ROOH + R*

Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut

menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang

bertanggung jawab atas flavor makanan berlemak.

2.3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi

Menurut Syahruddin (2006), saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah

hidung, faring, laring, trakea, bronkus, alveolus, dan paru-paru.


Gambar 2.3 Sistem Respirasi (Syahruddin, 2006)

a) Rongga Hidung (Cavum nasalis)

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung

berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar

keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk

lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi

menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Di dalam rongga hidung juga

terdapat banyak konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi

menghangatkan udara yang masuk.

b) Faring (Tekak)

Faring merupakan percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan

(nasofaring) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada bagian

belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat

terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan
menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat

mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat

tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa

menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan

kesehatan.

c) Tenggorokan (Trakea)

Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian

di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang

rawan, dan pada bagian dalam rongga bersilia. Siliasilia ini berfungsi menyaring benda-benda

asing yang masuk ke saluran pernapasan.

d) Cabang-Cabang Tenggorokan (Bronki)

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri.

Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya

tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari

lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus kanan

lebih pendek dan lebih lebar daripada kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan

mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri yang disebut sebagai bronkus lobus

bawah. Brokus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan dan berjalan di bawah

arteri pulmonalis. Cabang utama brokus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus

lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi

bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis

yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara).

e) Alveolus

Alveolus merupakan kantong udara terminal yang berhubungan erat dengan jaringan kaya

pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatominya. Ada 2 tipe sel epitel
alveolus, yaitu tipe 1 berukuran besar, datar, dan berbentuk skuamosa, dan bertanggung

jawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe 2 yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta

dalam pertukaran udara. Sel tipe 2 inilah yang memproduksi surfaktan, yang melapisi

alveolus dan mencegah kolapnya alveolus. Oleh karena alveolus berselaput tipe dan di situ

banyak bemuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas pernafasan dan

bahaya akan adanya kerusakan oleh adanya zat polutan.

Gambar 2.4 Anatomi Alveolus

g) Paru-Paru

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot

dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua

bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri

(pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis,

disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura

dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan
dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis). Antara selaput luar dan selaput

dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan

pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat

permeabel terhadap air dan zat-zat lain.

Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-

paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar

untuk pertukaran gas. Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan

diameter ± 1 mm, dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus

tidak mempunyai tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujung

mempunyai epithelium berbentuk kubus bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung

udara (alveolus).

Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu

sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus

berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya

difusi gas pernafasan.

Menurut Iwan (2007), secara garis besar paru-paru berfungsi sebagai beikut:

1. Mengalirkan oksigen dari udara atmosfer ke darah vena dan mengeluarkan gas

karbondioksida dari alveoli ke udara atmosfer.

2. Menyaring bahan beracun dari sirkulasi

3. Sebagai reservoir darah

4. Pertukaran gas-gas

2.4 Kanker Paru-Paru


Kanker adalah suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel. Neoplasma adalah masa

abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel-sel kanker berasal dari sel-sel yang

sebelumnya normal. Menurut analisa terakhir, sifat-sifat sel kankermadalah “antisocial”

terhadap sel-sel normal tubuh. Mereka tidak memberi respon terhadap pengendalian diri

tentang ukuran sel atau tentang laju pertumbuhan proliferasi sel. Bukti yang mulai terkumpul

menunjukkan bahwa kelainankelainan penting dari sel kanker kelihatannya terletak pada

membran sel itu. Kelainan-kelainan pada membran yang penting ini dapat mengakibatkan

penerimaan abnormal terhadap sinyal kontrol atau memberi respon yang abnormal

terhadapnya. Ada juga bukti bahwa peristiwa-peristiwa pada membran sel penting untuk

pengawasan proliferasi sel.

2.5. Radikal Bebas

2.5. 1. Definisi dan Sumber Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh berupa atom gugus

yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya (Sumonggo, 2007).

Menurut Sri (2006), radikal bebas adalah salah satu produk reaksi kimia dalam tubuh dimana

senyawa kimia ini sangat reaktif dan mengandung unpaired elektron pada orbital luarnya

sehingga sebagian besar radikal bebas ini bersifat tidak stabil. Radikal bebas dapat berfungsi

sebagai pengoksidasi maupun pereduksi, sehingga radikal bebas dapat merusak komponen-

komponen sel tubuh Menurut Sumonggo (2007), secara umum radikal bebas dapat dibagi

menjadi 2 yaitu:

1. Radikal Bebas Endogen

Radikal bebas endogen dihasilkan oleh sejumlah reaksi seluler yang dikatalisis oleh besi

(Fe-2) dan reaksi enzimatik seperti lipooksigenase, peroksidase, NADPH oksidase dan xantin

oksidase (Tuminah, 2000). Oksigen merupakan pereaksi radikal yang bebas dan selektif.

Melalui enzim dalam tubuh oksigen dapat berubah menjadi Reactive Oxigen Species (ROS).
Peristiwa ini berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses

detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. ROS endogen diantaranya :

a) Superoksid (O2)

Superoksid (O2) merupakan spesi hasil penambahan satu electron pada O2. Secara

normal radikal bebas diproduksi di dalam tubuh memalui proses enzimatik maupun non-

enzimetik seperti elektron di mitokondria, reaksi hidroksilasi pada reticulum endoplasmik,

reaksi xantin oksidase pada pembentukan urat, autooksidasi katekolamin yang merupakan

proses biokimia penting untuk kelangsungan proses fisiologis tubuh.

b) Hidrogen Peroksida ( H2O2)

Hidrogen peroksida bukan suatu radikal bebas, tetapi dapat mengawali terbentuknya

radikal bebas. Hidrogen peroksida banyak diproduksi di mitokondria dan mikrosom.

Produksinya meningkat jika konsentrasi O2 juga meningkat. Keunikan hidrogen peroksida ini

adalah mampu menembus membran sel sehingga apabila sistem proteksi di luar sel sedikit

atau menurun maka dengan adanya transition metal (Fe 2+) akan terbentuk radikal hidroksil

(OH*).

c) Radikal Hidroksil (OH*)

Radikal Hidroksil adalah spesi yang sangat reaktif dan hampir semua molekul di dalam

tubuh dapat dirusak.

d) Radikal Alkosil (RO*)

e) Radikal Peroksil (ROO*)

2. Radikal Bebas Eksogen

Radikal bebas juga dapat berasal dari luar tubuh seperti berbagai polutan lingkungan yaitu

emisi kendaraan bermotor dan industri, asbes, asap rokok, radiasi ionisasi, infeksi bakteri,

jamur dan virus, serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi

(Sumonggo, 2007).
2.2. Efek Radikal Bebas pada Sistem Biologis

Dalam sistem biologis, radikal bebas akan dengan mudah menyerang dan merusak

berbagai makromolekul organik seperti protein, karbohidrat, lemak, dan nukleotida sehingga

dapat terjadi kelainan metabolik maupun seluler apabila mekanisme protektif terhadap radikal

bebas ini kurang kuat (Kumalaningsih, 2007).

Menurut Muhilal (1991) kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh serangan radikal bebas

antara lain:

a. Membran sel

Komponen utama penyusun membran adalah berupa asam lemak tak jenuh yang

merupakan bagian dari fospolipid dan juga protein. Perusakan bagian dalam pembuluh darah

akan mempermudah pengendapan berbagai zat pada bagian yang rusak tersebut, termasuk

kolesterol sehingga timbul penyakit atherosclerosis. Serangan radikal hidroksil pada asam

lemak tak jenuh dimulai dengan interaksi oksigen pada rangkaian karbon pada posisi tak

jenuh sehingga terbentuk lipid hidroperoksida yang selanjutnya merusak bagian sel di mana

hidroperoksida ini berada.

b.Kerusakan protein

Kerusakan protein akan mengakibatkan kerusakan jaringan tempat protein itu berada,

sebagai contoh kerusakan protein pada lensa mata mengakibatkan terjadinya katarak.

c. Kerusakan DNA

Radikal bebas hanya salah satu dari banyak faktor yang menyebabkan kerusakan DNA.

Penyebab lain misalnya virus, radiasi dan zat kimia karsinogen. Sebagai akibat kerusakan

DNA ini dapat timbul penyakit kanker. Kerusakan dapat berupa kerusakan awal, fase transisi,

dan permanent.

d.Peroksida lipida
Lipida dianggap molekul yang paling sensitif terhadap serangan radikal bebas sehingga

terbentuk lipid peroksida. Terbentuknya lipid peroksida yang selanjutnya dapat menyebabkan

kerusakan lain dianggap salah satu penyebab pula terjadinya berbagai penyakit degeneratif.

e. Dapat menimbulkan autoimun

Autoimun adalah terbentuknya antibodi terhadap suatu sel tubuh biasa. Pada keadaan

normal antibody hanya terbentuk bila ada antigen yang masuk dalam tubuh. Adanya antibody

untuk sel tubuh biasa dapat merusak jaringan tubuh dan sangat berbahaya.

f. Proses ketuaan

Radikal bebas dapat dipunahkan dengan antioksidan tetapi tidak pernah mencapai 100%,

sehingga secara pelan dan pasti terjadi kerusakan jaringan oleh radikal bebas yang tidak

terpunahkan. Radikal bebas memang berbahaya tetapi radikal bebas sendiri mempunyai efek

yang berguna dalam sistem biologis salah satu diantaranya seperti radikal bebas yang

diproduksi leukosit dan makrofag dalam menghadapi zat-zat patogen. Radikal bebas berperan

dalam patogenesis atherosclerosis yang mempunyai manifestasi klinis berupa penyakit

jantung koroner dan stroke (Green Media, 2008). Mekanisme terjadinya penyakit degeneratif

sangat berhubungan sekali dengan adanya radikal bebas yang diakibatkan oleh keadaan stress

oksidatif (Sumonggo, 2007).

Menurut Sukandar (2006) keadaan stress oksidatif membawa pada kerusakan oksidatif

mulai dari tingkat sel, jaringan, hingga organ tubuh yang dapat memicu adanya penyakit

degeneratif. Berbagai penyakit yang telah diteliti dan diduga kuat berkaitan dengan aktifitas

radikal bebas diantaranya asma dan ARDS (paru-paru), coronary thrombosis (jantung), solar

radiation, psoriasis dan dermatitis (kulit), dementia, pancreatitis, liver, katarak,

glomerolusphritis (ginjal), stroke, atherosclerosis, dan lainnya (Sumonggo, 2007).

G. Karbon Tetraklorida (CCl4)


2.1. Sifat dan Kegunaan Karbon Tetraclorida (CCl4)

Karbon tetraclorida adalah produk hasil karbon disulfida atau reaksi dari disulfida dengan

sulfur monoklorida (Winaya, 2005). Karbon tetraclorida tidak dapat larut dalam air namun

dapat larut dalam alkohol, kloroform, ether, dan minyak volatil. Karbon tetraclorida cair

berwarna jernih dan mudah menguap sehingga jarang ditemukan dalam bentuk cair. Sebagian

besar CCl4 di lingkungan dapat ditemukan dalam bentuk gas, hanya sedikit yang terlarut

dalam air. Sifatnya stabil, meskipun dapat diuraikan oleh reaksi kimia untuk mencapai kadar

separuhnya. Pada rentang tahun 1980-1990 diperkirakan kadar CCl4 di atmosfer mencapai

0,5-1 mg/m3. Karbon tetraclorida menyebabkan kerusakan lapisan ozon dan pemanasan

global (ATSDR, 2005).

Karbon tetraclorida banyak digunakan sebagai bahan pendingin (refrigerator) lemari es

dan bahan profelan untuk kaleng aerosol. Karbon tetraclorida juga digunakan sebagai bahan

pembersih untuk keperluan rumah tangga dan sebagai pemadam api karena sifatnya yang

tidak mudah terbakar. Saat ini, karbon tetraclorida masih banyak digunakan sebagai pestisida

dari golongan chloride hydrocarbon oleh petani di Indonesia (WHO, 2002).

2.2. Karbon Tetraklorida Sebagai Sumber Radikal Bebas

Mekanisme toksisitas karbon tetraclorida sebagai sumber radikal bebas berawal dari

hemolytic cleavage ikatan C-Cl oleh sitokrom P-450 yang menghasilkan radikal bebas

trichlorometil dan chlorine (Favier, 1995 dalam Magdalena, 2002).

One electron reduction

CCl4 * CCl3 + Cl-

P-450 system

(Halliwell and Gutherdge, 1999).


Menurut Halliwell (1999), reaksi CCl4 dan Cl2 terjadi dengan bantuan sinar UV yang

menyediakan energi cukup untuk menyebabkan hemolytic fission pada ikatan kovalen

molekul halogen. Reaksi tersebut menghasilkan reaksi radikal

bebas yaitu : UV

Initiation Cl2Cl* Cl*

Propagation Reaction Cl* + CH4 CH3* + HCl

CH3* + Cl2 CH3Cl + Cl*

Cl* + CH3Cl HCl + *CH2Cl

*CH2Cl + Cl2 CH2Cl2 + Cl*

Terminatoin Reaction CH3* + Cl* CH3Cl

Radikal trichlorometil kemudian menyerang asam lemak enoic pada membran RE,

menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang kedua dalam asam lemak. Asam lemak

tersebut kemudian diserang oleh O2 dan terjadilah peroksidasi lemak yang merusak membran

dan enzim (Favier, 1995 dalam Magdalena, 2002).

2.3. Efek Karbon Tetraklorida terhadap Tubuh

Beberapa informasi telah menyebutkan bahwa pengaruh dari karbon tetraklorida pada

kesehatan dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, system syaraf dan penyakit lainnya

(ECO-USA, 2006). Dalam lingkungan kehidupan, manusia dan hewan terinduksi karbon

tetraclorida terutama melalui udara. Rata-rata saat ini seluruh populasi terinduksi karbon

tetraclorida dengan dosis 0,10-0,27 mg/kg BB (WHO, 2002). Dosis yang lebih tinggi dapat

terjadi pada industri yang menggunakan bahan baku karbon tetraclorida. Karbon tetraclorida

dapat diabsorbsi melalui saluran pernafasan dan pencernaan pada manusia dan binatang.

Karbon tetraclorida terdistribusi keseluruh tubuh dengan konsentrasi tertinggi di hepar, otak,

ginjal, otot, lemak, dan darah (WHO, 2002).


ATSDR (2005), menyebutkan bahwa efek dari CCl4 pada kesehatan paru-paru dapat

menyebabkan Adult Respiratory Distress Syndrome (ADRS) yaitu merupakan keadaan darurat

medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak

langsung dengan kerusakan paru-paru. Selain itu, efek dari CCl4 pada kesehatan paru-paru

dapat menyebabkan kanker paru-paru. Kanker adalah suatu neoplasma ganas yang berasal

dari sel. Neoplasma adalah masa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Sel-sel

kanker berasal dari sel-sel yang sebelumnya normal. Menurut analisa terakhir, sifat-sifat sel

kanker adalah “antisocial” terhadap sel-sel normal tubuh. Mereka tidak memberi respon

terhadap pengendalian diri tentang ukuran sel atau tentang laju pertumbuhan proliferasi sel.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dalam 5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah kontrol

positif (mencit yang diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dalam waktu sehari 2 jam dengan

ketentuan (1 jam, istirahat 15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu), kontrol negatif

(mencit tanpa diinhalasi CCl4 dan tanpa pemberian buah pepaya), dan kelompok mencit yang

diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dalam waktu sehari 2 jam dengan ketentuan (1 jam, istirahat

15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu, kemudian diberi buah pepaya selama satu bulan

dengan 3 dosis berbeda yaitu dosis 1 sebesar 0,13 g/hari/mencit, dosis 2 sebesar 0,26

g/hari/mencit, dan dosis 3 sebesar 0,52 g/hari/mencit.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Variabel bebas: Pemberian buah papaya dengan tiga dosis yang berbeda:

1. Dosis I : 0,13 gram/hari/mencit

2. Dosis II : 0,26 gram/hari/mencit

3. Dosis III : 0,52 gram/hari/mencit

3.3 Subyek Penelitian

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit (Mus musculus) dari strain Balb/c dengan

syarat sebagai berikut :

a. Hewan coba yang digunakan adalah Mus musculus dari strain Balb/c

b. Mencit berumur 2 bulan

c. Berat badan mencit rata-rata 20 gram

d. Mencit yang digunakan berjenis kelamin jantan

3.4 Prosedur Kerja


3.4.1 Persiapan Hewan Coba

Sebelum diberi perlakuan, mencit terlebih dahulu diaklimatisasi selama 4 hari (Winaya

et,al, 2005). Mencit diaklimatisasi dalam kandang berupa bak plastik berukuran 29 (p) x 11

(l) x 12 (t) cm3, ditutup dan diberi alas serbuk gergaji. Ruangan percobaan bersuhu 27oC

(Budi, 2006). Mencit diberi makan pellet dan diberi air minum dari PDAM.

3.4.2 Persiapan Perlakuan

a. Pembagian Kelompok Sampel

Mencit dibagi menjadi lima kelompok, yang terdiri dari :

1. Kelompok kontrol positif: mencit yang diinhalasi dengan CCl4 dengan LC 50%

dalam waktu sehari 2 jam dengan ketentuan (1 jam, istirahat 15 menit, lalu 1 jam lagi)

selama 2 minggu tanpa diberi buah papaya.

2. Kelompok kontrol negatif: mencit tanpa diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dan juga

tanpa pemberian buah papaya.

3. Kelompok I: mencit diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dalam waktu sehari 2 jam

dengan ketentuan (1 jam, istirahat 15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu, dan

diberi buah pepaya dengan dosis 1 sebesar 0,13 g/hari/mencit selama satu bulan.

4. Kelompok 2: mencit diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dalam waktu sehari 2 jam

dengan ketentuan (1 jam, istirahat 15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu, dan

diberi buah pepaya dengan dosis 2 sebesar 0,26 g/hari/mencit selama satu bulan.

5. Kelompok 3: mencit diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dalam waktu sehari 2 jam

dengan ketentuan (1 jam, istirahat 15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu, dan

diberi buah pepaya dengan dosis 3 sebesar 0,52 g/hari/mencit selama satu bulan.

b. Penghitungan Dosis Buah Pepaya


Menurut Tim Redaksi Vita Health (2004), konsumsi buah papaya untuk manusia adalah

sebesar 100 gram/hari. Untuk mengetahui penghitungan dosis dari buah pepaya maka

didapatkan dengan cara mengkonversikan dosis manusia ke dosis mencit. Sesuai dengan

Kusumowati (2004) dalam Nailil (2007), factor konversi dari manusia ke mencit dengan

berat badan untuk manusia 70 kg dan berat badan mencit 20 g adalah sebesar 0,0026. Jadi

100 g x 0,0026 = 0,26 g. Pada penelitian ini menggunakan tiga dosis dengan menaikkan dosis

efektif dan juga menurunkan dosis efektif menggunakan deret hitung, maka diperoleh tiga

dosis yaitu :

a) Dosis I : 0,13 g/hari/mencit

b) Dosis II : 0,26 g/hari/mencit

c) Dosis III : 0,52 g/hari/mencit

3.4.3 Kegiatan Penelitian

a) Perlakuan Inhalasi CCl4 Pada Mencit

Mengacu pada penelitian pendahuluan yang dilakukan, selama perlakuan mencit

diinhalasi CCl4 dengan LC 50% dalam waktu sehari 2 jam dengan ketentuan (1 jam, istirahat

15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu. Pada waktu penelitian ini, dalam waktu sehari 2

jam dengan ketentuan (1 jam, istirahat 15 menit, lalu 1 jam lagi) selama 2 minggu tersebut

sudah dapat menyebabkan perubahan anatomi pada alveolus mencit yang ditandai dengan

adanya proliferasi sel dan juga adanya perluasan proliferasi sel alveolus paru-paru mencit

tersebut. Sehingga waktu ini sudah dapat dijadikan sebagai pertanda adanya tingkat

kerusakan pada alveolus paru-paru mencit yang pada akhirnya nanti dapat menyebabkan

penyakit ADRS dan penyakit kanker paru-paru (Mun’im, 2006).

Pada waktu penelitian, perlakuan inhalasi pada mencit dilakukan sebagai berikut:

1. Kotak ruang untuk inhalasi dibersihkan dahulu lalu ditutup dengan penutup dari kayu.
2. Karbon tetrachlorida (CCl4) dengan LC 50% sebesar 3 ml (sesuai dengan penelitian

pendahuluan) dimasukkan dalam beker gelas.

3. Kapas dicelupkan dalam beker gelas yang telah berisi (CCl4) dengan LC 50% sebesar

3 ml.

4. Kapas yang sudah tercelup dengan (CCl4) dengan LC 50% sebesar 3 ml tersebut

diangkat dan dimasukkan dalam kotak ruang inhalasi.

5. Setelah itu, 6 mencit perlakuan (berdasarkan penelitian pendahuluan) dimasukkan

dalam kotak ruang inhalasi selama 1 jam.

6. Setelah 1 jam mencit perlakuan dimasukkan dalam kotak ruanginhalasi, mencit

tersebut diangkat dari kotak ruang inhalasi untuk istirahat 15 menit.

7. Setelah mencit istirahat 15 menit, lalu mencit dimasukkan lagi dalam ruang inhalasi

selama 1 jam.

8. Setelah 1 jam mencit dimasukkan dalam ruang inhalasi lalu mencit diangkat.

9. Setelah akhir perlakuan, mencit dimasukkan kembali dalam kandang dan diberi pakan

pellet serta minum.

10. Kegiatan 2-8 diulang lagi sampai mencit perlakuan semua selesai

b) Perlakuan Pemberian Buah Pepaya

Buah pepaya matang varietas Thailand ditimbang dengan menggunakan timbangan

analitik sebanyak 0,13 g (dosis 1), 0,26 g (dosis 2), dan 0,52 g (dosis 3). Setelah buah pepaya

tersebut ditimbang dengan timbangan analitik, kemudian buah pepaya tersebut diberikan

kepada masing-masing kelompok mencit yaitu kelompok I, II, dan III setiap hari selama 1

bulan. Pemberian buah papaya dilakukan setelah perlakuan inhalasi CCl4.

c) Pembedahan Mencit

Pada akhir perlakuan, semua mencit dibius dengan kloroform 90%. Kemudian dilakukan

pembedahan dan diambil sample paru-paru mencit tersebut. Sampel paru-paru mencit
tersebut kemudian disimpan pada botol yang telah diisi formalin 10%. Paru-paru yang

diawetkan dalam formalin 10% tersebut diambil dan selanjutnya dibuat preparat histologi

dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin (HE) (Winaya et al, 2005).

d) Membuat Preparat Histologi Alveolus Paru-Paru

Setelah semua mecit dibedah dan diambil paru-parunya, kemudian dilakukan pembuatan

preparat histologi paru-paru mencit, pembuatan selengkapnya dicantumkan pada (lampiran

6). Dari hasil preparat histologi tersebut, selanjutnya diamati tentang proliferasi alveolus dan

juga perluasan proliferasi alveolus paru-paru mencit tersebut.

3.5 Tabel Pengamatan

Data hasil pengamatan tingkat kerusakan alveolus mencit yang ditandai dengan adanya

proliferasi alveolus dan juga perluasan proliferasi alveolus mencit untuk tiap kelompok

perlakuan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

PERLAKUA Perlakuan Proliferasi Alveolus Mencit (%)


Ulangan
N I II III IV
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Dosis 1
Dosis 2
Dosis 3

PERLAKUA Perlakuan Perluasan Alveolus Mencit (μ/m2)


Ulangan
N I II III IV
Kontrol (-)
Kontrol (+)
Dosis 1
Dosis 2
Dosis 3
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Pemberian Buah Pepaya terhadap Proliferasi Alveolus Paru-Paru Mencit

Pemberian buah pepaya pada dosis 3(0,52 gram); 2(0,26 gram); dan 1(0,13 gram)

menunjukkan notasi yang sama atau tidak berbeda nyata pada tiap perlakuan, tetapi ke-3

perlakuan dosis tersebut berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (+). Pengaruh pemberian

buah pepaya tertinggi terhadap proliferasi alveolus paru-paru ditemukan pada kontrol (+).

Adanya pengaruh pemberian buah pepaya terhadap proliferasi alveolus paru-paru mencit,

diduga karena adanya kandungan Vitamin C dan juga beta karoten yang cukup tinggi yang
berperan sebagai antioksidan eksogen atau antioksidan alami dalam menghambat proliferasi

alveolus paru-paru mencit (Sasmito, 2006). Menurut Lenny (2006) kandungan Vitamin C dan

beta karoten pada buahbuahan berperan dalam aktivitas antikarsinogenesis maupun

sitotoksik, sehingga proliferasi dari pertumbuhan sel yang tidak normal dari sebagian sel-sel

jaringan tubuh dapat berhenti. Hal ini sejalan dengan pendapat Meiyanto dan Septisetyani,

(2005) yang menyatakan bahwa Vitamin C mampu menghambat aktivasi proliferasi sel

karsinogen (carcigonic), sedangkan dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Indra

(2006) menunjukkan bahwa beta-karotin bisa berubah bentuknya di dalam tubuh menjadi

asam retinoic, sejenis zat yang sering digunakan untuk mengobati jenis-jenis penyakit kanker

tertentu.

Karbon tetrachlorida (CCl4) masuk dalam tubuh melalui respirasi inhalasi kemudian

masuk dalam paru-paru menuju alveolus. Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus

berupa kantong kecil yang banyak mengandung kapiler darah sehingga memungkinkan

terjadinya difusi gas pernafasan. Di dalam alveolus, (CCl4) sebagai radikal bebas berefek

dalam mengoksidasi lipid sehingga terbentuk lipid peroksida pada membran alveolus yang

nantinya menyebabkan kerusakan DNA (Tuminah, 1999).

Kerusakan DNA ini merupakan proses oksidasi yang dapat menyebabkan terjadinya

kanker. Sel yang berisi DNA menjadi rusak dan membelah sebelum DNA-nya sempat

diperbaiki sehingga akan menyebabkan perubahan genetik yang merupakan langkah pertama

pada karsinogenesis yang ditandai dengan adanya proliferasi sel (Tuminah, 1999). Hal ini

sejalan dengan pendapat Tirta (2008), yang menyatakan bahwa pada kasus kanker apoptosis

(kematian sel) menurun sangat drastis bahkan sel kanker bersifat immortal. Immortalitas

kanker disebabkan oleh hilangnya mekanisme DNA repair dalam sel, sehingga dengan tidak

adanya kemampuan koreksi DNA sebelum sel tersebut membelah, sel menganggap dirinya

layak untuk direplikasi. Checkpoint sudah tidak ada artinya lagi di sini, akibatnya walaupun
sel membawa abnormalitas di dalamnya akan melewati fase-fase dalam siklus sel secara

keseluruhan kemudian membelah (proliferasi). Proses proliferasi yang telah mengalami

transformasi akan terjadi tidak terkendali hingga sel kanker berhasil membentuk klonal

(kelompok) dan sebagian dari klonal tersebut ada yang lepas dari induknya kemudian mampu

untuk bermigrasi ke jaringan normal di sekitarnya dan yang lebih jauh (metastasis) lalu

merusak jaringan tersebut sehingga terbentuk kanker baru.

4.2 Pengaruh Pemberian Buah Pepaya terhadap Perluasan Proliferasi Alveolus Paru-

Paru Mencit.

Perlakuan dosis 3 (0,52 gram), dosis 2 (0,26 gram); dan dosis 1 (0,13 gram) mempunyai

pengaruh yang sama terhadap perluasan proliferasi alveolus paru-paru mencit tetapi berbeda

nyata dengan perlakuan kontrol (+) dan kontrol (-). Adanya pengaruh pemberian buah pepaya

terhadap perluasan proliferasi alveolus paru-paru mencit, diduga karena adanya kandungan

Vitamin C dan juga beta karoten pada buah papaya sebagai antioksidan (Sasmito, 2006).

Sel mengalami reproduksi baik dalam perkembangan maupun dalam pertumbuhan.

Reproduksi sel berlangsung dengan pembelahan. Pembelahan sel dibedakan menjadi 3

macam yaitu amitosis, mitosis, dan meiosis. Mitosis adalah pembelahan duplikasi dimana sel

memproduksi dirinya sendiri dengan jumlah kromosom sel anak sama dengan jumlah

kromosom sel induk. Fase pembelahan mitosis dinamakan fase M meliputi 4 tahap

pembelahan yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Mitosis mempunyai fungsi antara

lain; menjaga agar factor genetik tetap, mengganti sel yang rusak, serta reproduksi dan

pertumbuhan sel (Kimball, 1994).

Reproduksi dan pertumbuhan sel yang tidak normal dapat terjadi karena adanya efek

radikal bebas misalnya karbon tetrachlorida (CCl4) yang menyerang membran sel yang berisi

DNA sehingga terjadi kerusakan DNA. CCl4 tersebut merusak susunan DNA normal dan

mematikan mekanisme perbaikan DNA. Mekanisme yang dimiliki DNA tersebut adalah
mekanisme DNA repair (perbaikan DNA) yang terjadi pada fase tertentu dalam siklus sel

yaitu S (Sintesis), G2 (Gap 2) dan M (Mitosis) (Widyarti, et.al., 2004).

Sel yang berisi DNA yang telah rusak mengakibatkan sel menjadi abnormal dalam

pembelahannya (proliferasi) (Tuminah, 1999). Proliferasi sel yang semakin banyak akan

menyebabkan perluasan proliferasi sel. Perluasan proliferasi terjadi karena proses

pembelahan sel yang berisi DNA secara terus menerus dan cepat tetapi DNA repair tidak

sanggup lagi untuk memperbaiki kerusakan DNA tersebut sehingga sel tumbuh semakin

banyak sehingga menyebabkan ketebalan proliferasi sel tersebut.

Mekanisme kerja antioksidan sangat bervariasi, seringkali kombinasi beberapa jenis

antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi

dibanding dengan satu jenis antioksidan saja. Sebagai contoh vitamin C (asam askorbat)

dengan betakaroten yang merupakan senyawa untuk mencegah reaksi oksidasi lemak. Terkait

dengan fungsi vitamin C pada buah pepaya, Sri (2006) menjelaskan bahwa salah satu fungsi

vitamin C pada paru-paru adalah membantu mencegah kerusakan jaringan dan DNA, serta

sebagai stimulator enzim penghancur proliferasi sel karsinogen (zat penyebab kanker)

sehingga perluasan prolifeasi sel dapat dihambat. Enzim yang dimaksud adalah enzim

katalase. Enzim katalase salah satunya berada pada pulmonary ephitelium tipe II (Mukono,

2005). Enzim ini bekerja bersama-sama dengan aktivitas enzim SOD yang berperan dalam

mengkatalisa H2O2 dalam tubuh menjadi oksigen dan air, sehingga konsentrasi oksigen akhir

stabil dan tidak berubah menjadi prooksidan. Perluasan proliferasi sel akan terhambat dengan

adanya mekanisme kerja dari vitamin C dan betakaroten sebagai stimulator enzim

penghancur proliferasi sel karsinogen (zat penyebab kanker).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian buah pepaya dapat menghambat

perluasan proliferasi alveolus paru-paru mencit (14,08μ sampai 21,28μ). Penghambatan

perluasan proliferasi alveolus mencit pada penelitian ini, tergolong efektif. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian buah pepaya mampu menghambat perluasan proliferasi

alveolus paru-paru mencit.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Pemberian buah pepaya (Carica papaya L) dapat menghambat proliferasi serta perluasan

proliferasi alveolus paru-paru mencit (Mus musculus) yang diinhalasi dengan CCl4

(Carbon Tetraclorida)

2. Dosis pemberian buah pepaya (Carica papaya L) yang paling baik yaitu pada dosis III

(0,52 gram/mencit/hari) karena dapat menghambat proliferasi serta perluasan proliferasi


alveolus paru-paru mencit (Mus musculus) yang diinhalasi dengan CCl4 (Carbon

Tetraclorida)

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qardhawi, Yusuf. 1999. As-Sunnah sebagai sumber IPTEK dan Peradaban. Jakarta:

Pustaka Al-Kaustar

2. Ardiansyah, 2007. Antioksidan dan Peranannya Bagi Kesehatan.

http://www.damandiri.or.id/detail.php?568.Diakses 13 Desember 2011

3. ATSDR. 2005. Carbon Tetrachloride (Tetracloruro de Carbono).

http://www.atsdr.gov.8080/ToxProfile/phs8905.html. Tanggal akses 17 Desember 2011.


4. Bevelander, Ramaley.1998. Dasar-Dasar Histologi. Alih Bahasa Gunarso. Jakarata:

Erlangga

5. Destipande et al. 1996. Nutritional and Health Aspect of Food Antioxidan., In : Madhavi

DL, Despandes Food Antioxidant. New York: Mercel Declor.

ECOUSA,2006.CarbonTetrachlorida.http://www.damandiri.or.id/detail.php?568. Diakses

13 Desember 2011

6. Favier, A.E. Cader, j., Kalyanawarman, B., Fontcave,M and Pierre,J.L.1995. Analysis of

Free Radicals in Biologycal System. Berkhauser-Verleg, Bassel-Boston Berlin. P. 83-84).

7. Green Media. 2008. Radical Carbon Tetrachloride."http://en..org//Radical Carbon

Tetrachloride_%28chemistry%29". Tanggal akses 17 Desember 2011.

8. Halliwell B., Gutteridge JMC. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine 3 rd Edition.

New York: Oxford University Press

9. Harliansyah, 2001. Mengunyah Halia Menyah Penyakit. Dalam: Paksi Jurnal Indonesia

Student Association in Malaysia. Selangor: Jabatan Biokimia Fakulti Perobatan

University Kebangsaan Malaysia.

10. Hidajat, Boerhat. 2005. Penggunaan Antioksidan Pada Anak (The Use of Antioksidant in

Childrent). Dalam: Naskah Lengkap Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV

Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV Surabaya: FK UNAIR Dr. Soetomo Indra. 2006.

Kanker."http://en..org/i/ Cancer_%28chemistry%29". Tanggal akses 12 Desember 2011.

11. Jenie, Riris Istighfari. 2006. Efek Antiangiogenik Ekstrak Etanolik Daun Sambung Nyawa

(Gynura procumbens) Pada Membran Korio Alantois (CAM) Embrio Ayam. Dalam:

Majalah Farmasi Indonesia, 17(1), 50-55. Yogyakarta: Farmasi Universitas Gadjah Mada.

12. Kimball, John W. 1994. Biologi Jilid I. Jakarta: Erlangga Koeman, J.H. 1987. Pengantar

Umum Toksikologi. Jogjakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.


13. Kumalaningsih, Sri. 2007. Antioksidan Alami. Surabaya : Trubus Agrisarana Lenny,

Sovia. 2006. Senyawa Flavonoida, Feniproponoida dan Alkaloida. Dalam: Karya Ilmiah.

Medan: Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Sumatera Utara.

14. Lokapirnasari, Widya. 2001. Prospek Pemanfaatna Daun Pepaya Untuk Meningkatkan

Produksi Telur, Warna Kuning Telur dan Konsumsi Pakan Pada Ayam Buras. Dalam:

Jurnal Penelitian Medika Eksakta Vol.2 No.1 Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga.

15. Magdalena, Maria. 2002. Pengaruh Pemberian Ekstrak Meniran (Phyllanthus niruri Linn)

Terhadap Petanda Kerusakan Hepatoseluler Tikus Strain Wistar Yang Diinduksi Dengan

Carbon Tetraclorida. Sripsi. Malang : Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Hal :

12-13.

16. Murwani, Retno. 2008. Kuning Telur Bukan Sekadar

Warna.http://www.kompas.com/kompascetak/0307/21/inspirasi/439339.htm.Tanggal

akses 14 Desenber 2011.

17. Mun’im, Abdul.dkk. 2006. Uji Hambatan Tumorigenesis Sari Buah Merah (Pandanus

conoideuslam.) Terhadap Tikus Putih Betina Yang Diinduksi 7,12Dimetilbenz(a)Antrasen

(DMBA). Jakarta: Departemen Farmasi Fakultas MIPA Universitas Indonesia Ilmu

18. Kefarmasian, Vol III, No. 3.Meiyanto, Edi. 2005. Efek Antiproliferatif dan Apoptosis

Fraksi Fenolik Ekstrak Etanolik Daun Gynura procumbens Terhadap Sel Hela. Dalam:

Jurnal Penelitian: Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.

19. Muhillal. 1991. Teori Radikal Bebas Dalam Gizi dan Kedokteran. Dalam: Jurnal Cermin

Dunia Kedokteran No. 73. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen

Kesehatan RINull, Gary. 1994. The Antioxidant Vitamin, Vitamin C. http://www,

Smarttrac/garynull/). Tanggal akses 13 Desember 2011.


20. Pujasari, Hening. 2007. Efek Pemberian Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus)

Terhadap Pertumbuhan in vivo Tumore Kelenjar Susu Mencit Tinjauan Khusus Aktivitas

Proliferasi dan Apoptosis. Tesis S2 Tidak Dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia

Putra, Effendi. 2003. Keracunan Bahan Organik dan Gas di Lingkungan Kerja dan

Upaya Pencegahannya. Dalam: Jurnal Penelitian. Sumatera Utara:Jurusan Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Sumatera Utara

21. PedulliG.F., Lucarini M., Pedrelli P. 1997. Bond Dissociantion Energies of Phenolic and

Amine Antioxidants. Dalam Minisci F (Ed). Free Radical in Biological and Enviroment.

Netherlands : Kluwer Academic Publisher.p.170

22. Rahmawati, Yulia. 2003. Efek Pemberian Dekok Meniran Terhadap Glomerolus Ginjal

Tikus Strain Wistar Di Induksi CCl4. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Malang: FKUB

23. Reilly,M.P, Schiller,J.H. and Bulkey,B.G. 1991. Pharmacological Approach to Tissue

Injury Mediated Free Radical and Other Reactive Oxigen Metabolite.In : The American

Journal of Surgecy.p. 488-493.

24. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi Edisi 6. Dalam T.Sutrisno

(Ed). Bandung : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. ITB Hal : 191-202.

25. Santoso, Heri. 2006. Doksisiklin Selama Masa Organogenesis Pada Struktur Histologi

Organ Hati dan Ginjal Fetus Mencit. Dalam: Jurnal Penelitian Biosciaence Vol.3 No. 1

Hal. 15-27. Kalimantan Selatan: Program Studi Biologi Universitas Lambung Mangkurat

26. Sastrosupadi, Adji. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Yoyakarta:

Kanisius Syahruddin, Elisna. 2006. Kanker Paru. Unrestricted Educational Grant from

PT. Roche Indonesia.

27. Some, H. 2002. Radikal Bebas dan Antioksidan. www.balipost.co.id/balipost

cetak/2002/4/1102.htm. Sony, Wicaksono. 2002. Pengaruh Pemberian Dekok Meniran


Terhadap Kadar Gluthation Hepar Tikus (Strain Wistar) yang Diinduksi CCl4. Malang:

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

28. Sumonggo, Iha. 2007. Mengenal dan Menangkal Radikal Bebas. Madiun: Blog SMK 3

Kimia Madiun dan Comunitas SKIMA-ters. http://www, Smarttrac/Sumanggo/). Tanggal

akses 10 Desember 2011.

29. Susanto, Hadi. 2008. Vitamin E, Panjang Umur dan Pencegah Penyakit. http://www,

Smarttrac/Susanto/). Tanggal akses 12 Desember 2011.

30. Sukandar,Enday. 2006. Stres Oksidatif Sebagai Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskular

Pada Penyakit Ginjal Kronis Tahap 1 Sampai 4. http://www, Smarttrac/Susanto/) Online

Majalah Farmacia. Tanggal akses 10 Desember 2011.

31. Sri Kumalaningsih. 2006. Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana Tim Redaksi

Vita Health, 2004. Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum

32. Tirta, Rahman. 2008. Mekanisme Kerja Antioksidan. http://www, Smarttrac/Susanto/)

Online Majalah Farmacia. Tanggal akses 12 Desember 2011

33. Tuminah, Sulistyowati. 1999. Pencegahan Kanker dengan Antioksidan. Dalam: Jurnal

Cermin Dunia Kedokteran No. 122. Jakarta: Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular dan

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tjokropramitro. 1997. Diabetes

Mellitus Update. Tjokropramitro Procedings of Third Surabaya Diabetes Update.

Surabaya. Dalam Skripsi. Sony,

34. Wicaksono. Pengaruh Pemberian Dekok Meniran Terhadap Kadar Gluthation Hepar

Tikus (Strain Wistar) yang Diinduksi CCl4. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya.

35. Winaya, Ida Bagus. 2005. Perubahan Morfologi Hati dan Ginjal yang Di Induksi Carbon

Tetrachlorida. Dalam: Jurnal Veteriner. Denpasar: Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Udayana.
36. WHO. 2002. Carbon Tetrachloride Health and Safety Guide.

Summaries.http://www.who.int/pcs/ehc/summaries/ehc208.html#english. Tanggal akses

10 Desember 2011.

Anda mungkin juga menyukai