Anda di halaman 1dari 3

Upaya pemulihan korban bencana yang dilakukan secara sinergis antara

pemerintah dan masyarakat yaitu melalui relokasi. Relokasi merupakan gagasan untuk
menata ulang lokasi pemukiman mendadi bagian dari upaya penanggulangan bencana
untuk meminimalisasi korban apabila terjadi lagi bencana di kemudian hari.

Relokasi dilakukan terhadap pemukiman yang tidak diperuntukkan bagi


perumahan atau lokasi pemukiman yang rawan terhadap bencana atau bahkan yang
terkena bencana. Relokasi merupakan salah satu alternatif untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh, status lahannya
tidak legal (ilegal) yang bermukin di lingkungan rawan bencana untuk menata
kembali kehidupan di tempat yang baru (Yudohusodo,1991).

Penataan ulang didasarkan pada lokasi yang dikategorikan rawan bencana.


Rawan bencana adalah kondisi karakterisitik geologis, bilogis, hidrologis,
klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu
wilayah untuk jangka waktu tertentu yang menguruangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu. Kondisi rawan bencana dalam beberapa wilayah yang
terkena bencana memicu gagasan untuk melakukan relokasi bagi warga yang berada
diwilayah tersebut. Relokasi didasarkan pada peta bencana baru yang dapat diketahui
Kawasan Rawan Bencana (KRB) di suatu wilayah. Rawan bencana dikaitkan dengan
keinginan untuk melakukan relokasi dilakukan dalam hal menurunnya kemampuan
menanggulangi bencana yang akan terjadi di kemudian hari.

Dasar hukum relokasi adalah Pasal 32 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007


tentang Penanggulangan Bancana. Relokasi merupakan bagian dari mekanisme
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penyelenggaraan penanggulangan
bencana adala serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunana
yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi. Sebagai bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana, relokasi
berada pada cakupan penetapan kebijakan pemerintah dan kegiatan pencegahan.
Kebijakan pemerintah yang didesain untuk menjadi payung melaksanakan relokasi
adalah kawasan rawan bencana (KRB).
Kebijakan pemerintah yang didesain untuk melegitimasi relokasi memiliki
payung hukum ‘utama’ yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana menyatakan sebagai berikut; “Dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat [a] menetapkan
daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman; dan/atau [b]
mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas
suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dasar hukum relokasi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor. 24 Tahun


2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak memuat kaedah yang mewajibkan atau
memberi kuasa perintah bagi pemerintah melakukan relokasi. Kata kunci dari kaedah
hukum relokasi pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana adalah ‘dapat’. Kata ‘dapat’ memiliki konsekuensi
yaitu tersedianya pilihan kebijakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah. Pilihan
kebijakan akan sangat tergantung dari berbagai pertimbangan yang digunakan dalam
memilih.

Relokasi korban bencana adalah pilihan bukan kewajiban, dan dapat dimaknai
sebagai pilihan terakhir yang dapat tempuh ketika daerah atau kawasan dimaksud
tidak dapat digunakan atau berbahaya untuk beraktivitas.

Relokasi yang terjadi di daerah bencana umumnya melalui pengadaan tanah atau
konsolidasi tanah. Berkaitan dengan pengadaan tanah untuk pembangunan tempat
relokasi korban yang terkena dampak langsung bencana, pengadaan tanahnya tidak
dilaksanakan sebagaimana pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada umumnya
karena pengadaan tanah tersebut dalam kondisi mendesak. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pengadaan tanah untuk
kepentingan umum karena keadaan mendesak akibat bencana alam, perang, konflik
social yang meluas dan wabah penyakit dapat langsung dilaksanakan
pembangunannya setelah dilakukan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum. Tahapan pelaksanaan pengadaan tanah dalam kondisi mendesak
adalah sebagai berikut :

1. Pemberitahuan kepada yang berhak


2. Penetapan Lokasi
3. Instansi dapat langsung melaksanakan pembangunan
4. Instansi dapat langsung melakukan pembangunan walaupun ada keberatan atau
gugatan atas pelaksanaan pengadaan tanah.

Walaupun tahapan pelaksanaan pengadaan tanah untuk relokasi bencana tanah


longsor tidak rumit tetapi pelaksanaan tersebut terganjal pada penetapan lokasi.
Sebelum penetapan lokasi harus dilakukan penyelidikan rencana relokasi.
Konsolidasi Tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali
penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber
daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Peserta Konsolidasi Tanah
adalah pemegang hak atas tanah atau penggarap tanah Negara obyek Konsolidasi
Tanah. Tanah obyek Konsolidasi Tanah adalah tanah Negara non pertanian dan atau
tanah hak di wilayah perkotaan atau pedesaan yang ditegaskan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional untuk dikonsolidasi (Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah).

Salah satu contoh relokasi di daerah bencana yaitu relokasi bencana erupsi
Gunung Sinabung. Berdasarkan informasi BPBD Provinsi Sumatra Utara pasca erupsi
Sinabung, terdapat relokasi bagi 2.053 KK (6.179 jiwa) dari 7 desa yang dilarang
untuk ditempati. Pada tahap pertama terdapat 3 desa paling terdampak akibat bencana
letusan vulkanik, yaitu Desa Simacem, Bekerah, dan Suka Meriah yang berjumlah
370 KK. Pemerintah pusat sudah mengeluarkan berbagai kebijakan pananggulangan
bencana selama lima tahun bencana alam erupsi Gunung Sinabung. Salah satu
diantaranya adalah instruksi Presiden Joko Widodo tentang relokasi pengungsi
Gunung Sinabung yang dikeluarkan dalam Surat Keputusan Presiden Nomor 21
Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Percepatan Relokasi Korban Terdampak Bencana
Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Salah satu
Keputusan Presiden itu, menerbitkan izin pinjam pakai kawasan Hutan Siosar,
Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, guna mempercepat relokasi korban pengungsi
Sinabung seluas 416 Ha.

Anda mungkin juga menyukai