Anda di halaman 1dari 12

URGENSI PEMBENTUKAN LEMBAGA BANK TANAH DALAM RANGKA

PERCEPATAN PELAKSANAAN RELOKASI WILAYAH TERDAMPAK BENCANA

Intisari:
Letak geografis Indonesia yang berada pada ring of fire dan pertemuan empat
lempeng dunia menyebabkan potensi timbulnya bencana alam yang bersifat merusak sangat
besar. Hal ini juga diperparah dengan kondisi existing masyarakat yang sebagian besar
melakukan aktivitas di wilayah yang memiliki potensi tinggi terjadinya bencana. Upaya yang
dilakukan pemerintah dalam menanggulangi daerah pasca bencana adalah dengan melakukan
Relokasi (pemindahan lokasi) ke tempat yang aman. Relokasi membutuhkan lahan yang
aman dan tentunya lahan tersebut telah dikuasai negara agar proses relokasi bisa lebih cepat.
Kajian ini mencoba menggunakan metode dan pendekatan review literatur dan produk-
produk hukum yang berbicara tentang pencadangan tanah dan Lembaga bank tanah.
Kehadiran Bank Tanah diharapkan bisa menjadi solusi untuk mempercepat pelaksanaan
relokasi serta bisa mengurangi biaya yang diperlukan dalam penyediaan lahannya.
Kata Kunci: Bencana, Relokasi, Bank Tanah

A. Pengantar
Indonesia adalah negara yang subur dan indah dengan segala pesona alam dan
kekayaan budaya didalamnya. Namun keindahan dan kekayaan itu selalu dibayangi
oleh ancaman bencana alam yang sewaktu - waktu dapat muncul dan menghancurkan
keindahan tersebut. Secara geografis Indonesia terletak pada jalur khatulistiwa yang
menyebabkan iklim negara berkembang ini tropis dengan dua musimnya yaitu musim
panas dan musim hujan. Dilihat dari dua musim ini saja, sudah banyak ancaman
bencana yang mungkin terjadi diseluruh wilayah negara Indonesia. Musim panas atau
kemarau akan memicu terjadinya kebakaran lahan. Begitu juga sebaliknya musim
hujan akan memicu bencana banjir dan longsor yang bisa mengancam nyawa setiap
orang.
Pada maret 2019 telah terjadi banjir bandang besar di wilayah sentani, provinsi
papua yang mengakibatkan 9.691 jiwa mengungsi, 104 meninggal dunia serta
mengakibatkan 354 rumah rusak berat (BNPB, 2019). Bisa kita bayangkan begitu luas
dampak dari banjir di kecamatan sentani ini sehingga membutuhkan strategi khusus
dan melibatkan berbagai instansi untuk segera memulihkan kondisi di wilayah
terdampak bencana tersebut. Kemudian di tahun yang sama, provinsi Bengkulu juga
mengalami bencana yang tidak kalah dahsyatnya yaitu banjir yang mengakibatkan
12.000 jiwa mengungsi dengan 1.225 rumah mengalami kerusakan.
Selain potensi bencana banjir dan longsor, posisi Indonesia yang terletak pada
pertemuan empat lempeng benua aktif yang sangat potensial terjadi tumbukan
menyebabkan ancaman gempa bumi yang dapat menyebabkan bencana tsunami
sangat mungkin dan nyata. Begitu juga dengan letak geografis Indonesia yang berada
pada ring of fire dengan jumlah gunung api aktif tersebar dari ujung Pulau Sumatera
sampai ujung Pulau Papua sejumlah 129 Gunung Api menyebabkan jutaan warga
terancam bencana vulkanik (Westi, 2014). Ancaman terhadap keberlangsungan hidup
warga tidak bisa dipungkiri lagi mengingat wilayah yang menjadi zona merah
bencana tersebut merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia. Indonesia
dikenal dengan negara maritim yang penduduknya sebagian besar bermata
pencaharian sebagai nelayan, tentu saja sebagian besar waktu para nelayan dihabiskan
di laut dan pantai, sehingga apabila tsunami terjadi, tidak bisa dipungkiri lagi banyak
korban yang akan terdampak.
Selain sebagai negara maritim, Indonesia juga merupakan negara Agraris
(Lailatusysyukriah, 2015). Sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan
hidupnya pada pertanian dan perkebunan. Sebagai seorang petani tentu wilayah
dengan tingkat kesuburan tanah yang baik menjadi idaman agar hasil panen yang
diperoleh sesuai dengan harapanya. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan
wilayah pertanian dan perkebunan berada disekitar gunung api aktif karena
keberadaan gunung api tersebut berpengaruh positif terhadap tingkat kesuburan tanah
(Ayu A.J, 2016). Tapi dari sudut ancaman bencana, dengan begitu banyaknya gunung
api aktif, keberlangsungan hidup petani terancam oleh bencana vulkanis yang bisa
terjadi kapan saja. Dibawah ini disajikan peta indeks rawan bencana Indonesia yang
diambil dari situs bnpb.go.id.
Gambar 1. Peta Indeks Kerawanan Bencana Indonesia Tahun 2012
(Sumber: www.bnpb.go.id, diakses tanggal 28 September 2019)

Dari gambar diatas bisa dilihat sebagian besar wilayah di Indonesia berada
pada daerah dengan klasifikasi tinggi rawan bencana (warna merah). Persebarannya
hampir merata dimulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur dan Sulawesi yang notabene merupakan jalur ring of fire. Selain itu
wilayah Pulau Kalimantan juga sebagian besar berada pada zona merah, hal ini
berkaitan dengan kondisi lahan gambut yang rawan terbakar dan potensi banjir dan
longsor pada musim hujan juga sangat tinggi di wilayah ini.
Salah satu upaya pemerintah untuk memulihkan kondisi masyarakat pasca
bencana adalah dengan melakukan relokasi terhadap warga yang tempat tinggalnya
sudah tidak layak lagi untuk dijadikan tempat hunian. Relokasi menjadi solusi untuk
mengurangi dampak bencana yang akan terjadi selanjutnya. Pemilihan lokasi baru ini
tentu berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan peta kerawanan bencana sehingga
tidak bertentantangan dengan arahan Kawasan dan aman dari potensi bencana alam.
Salah satu contoh pelaksanaan relokasi pasca bencana adalah relokasi pasca bencana
Palu. Relokasi menjadi suatu keharusan pada bencana Palu mengingat beberapa lokasi
bencana berada pada Zona terlarang (ZRB 4) sesuai Peta Zona Rawan Bencana.
Arahan spasial pasca bencana ZRB 4 adalah tidak diperbolehkan pembangunan
kembali dan pembangunan baru. Pemanfaatan ruang pada ZRB 4 diprioritaskan untuk
fungsi kawasan lindung, RTH, dan monumen. Dengan begitu, unit hunian pada zona
ini direkomendasikan untuk segera direlokasi (Kementerian ATR/BPN, 2018).
Pelaksanaan relokasi pada daerah pasca bencana membutuhkan ketersediaan
lahan yang cukup dan tentunya aman dari ancaman bencana. Presiden Joko Widodo
sebagai pimpinan tertinggi terjun langsung ke lokasi bencana untuk memastikan
proses rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan dan memerintahkan jajaranya untuk
bergerak lebih cepat lagi. Sebagai contoh dalam bencana Lombok, diterbitkan Inpres
Nomor 5 tahun 2018 tentang percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
gempa bumi di wilayah NTB. Dalam inpres tersebut pemda memiliki kewajiban
menyediakan lahan untuk relokasi korban bencana gempa berkoordinasi dengan
pemerintah provinsi dan kementerian terkait. Relokasi juga dilaksanakan di Palu
pasca bencana tsunami dan gempa bumi yang menyebabkan liquifaksi. Namun untuk
kasus palu diperkirakan proses relokasi yang menghabiskan anggaran mencapai Rp
15 triliun membutuhkan waktu sekitar 5 tahun (Nirwono dalam ekonomi.bisnis.com,
2018).
Ketersediaan tanah untuk relokasi menjadi permasalahan utama mengingat
proses untuk mencari lahan tersebut harus melalui berbagai tahap dan melibatkan
berbagai instansi. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi pelaksanaan relokasi akan
terkendala dan tidak sesuai dengan perencanaan. Seperti yang disampaikan oleh
Sutopo dikutip dari greeners.co, faktor utama molornya pelaksanaan relokasi pada
bencana Sinabung adalah ketersediaan lahan. Ditambah lagi dengan kurangnya
dukungan pemerintah daerah untuk mencari solusi ketersediaan lahan (keterangan
Teten Masduki kepada BBC, 2017). Permasalahan lahan ini juga terjadi di
Probolinggo. Pasca bencana banjir pada maret 2019 lalu, BPBD Kabupaten
Probolinggo kesulitan melaksanakn relokasi karena belum adanya lahan yang bisa
digunakan. Menurut keterangan Anggit Hermanuadi kepala BPBD Kabupaten
Probolinggo kepada JatimNet.com, sebenarnya pihak perhutani memiliki lahan yang
memenuhi syarat untuk dijadikan lokasi baru namun perlu pelepasan dari kementerian
kehutanan agar lokasi tersebut bisa digunakan.
Melihat permasalahan diatas, pada intinya adalah bagaimana proses
penyediaan lahan untuk relokasi bisa dilaksanakan dengan cepat dan sederhana.
Lembaga bank tanah seharusnya bisa menjadi solusi untuk mempercepat proses
relokasi karena dengan adanya bank tanah ini, birokrasi yang dilewati tidak banyak
dan koordinasi terkait penyediaan lahan terpusat kepada bank tanah. Bank tanah bisa
lebih awal melakukan inventarisasi tanah yang bisa dijadikan aset untuk relokasi
apabila terjadi bencana. Tentunya dalam proses pengadaan tanahnya selalu
berkoordinasi dengan BNPB untuk kepastian lokasi yang memenuhi syarat sebagai
lahan untuk relokasi
B. Relokasi Pasca Bencana Alam
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, relokasi memiliki arti pemindahan tempat.
Pemindahan tempat ini pasti memiliki latar belakang sejarah dan pastinya tujuan. Bila
relokasi ini dikaitkan dengan adanya bencana, maka relokasi ini dipastikan adalah
proses pemindahan tempat yang tadinya terkena bencana menuju ke tempat yang
aman dari bencana.
C. Kendala Relokasi
Dalam kenyataannya, proses relokasi sering kali tidak berjalan lancar. Banyak
hambatan yang ditemui dalam proses ini. Sering kali, kegiatan relokasi ini berjalan
alot karena masyarakat enggan untuk dipindah dari daerah tempat tinggal mereka
itu. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi proses relokasi permukiman
akibat bencana, adalah sebagai berikut (Planning, 2014):
1. Aspek sosial dan budaya, yang meliputi hubungan sosial dengan tetangga, kerabat,
ketersediaan tempat berkumpul dan fasilitas lain yang mendukung seperti di
lingkungan tempat tinggal yang lama, serta jaminan terhadap status kepemilikan
lahan dan bangunan.
2. Aspek ekonomi, meliputi jarak antara lokasi lingkungan yang baru dengan tempat
bekerja, jaminan terhadap mata pencaharian, serta penggantian aset lahan dan
bangunan.
3. Aspek fisik dan lingkungan, yang mempengaruhi diantaranya ketersediaan sarana
dan prasarana lingkungan maupun kondisi geografis di lingkungan baru.
4. Aspek kualitas konstruksi bangunan, seperti bahan bangunan yang digunakan untuk
membangun tempat tinggal yang baru, sistem instalansi di dalam bangunan rumah,
pemilihan lokasi tempat tinggal baru, pemilihan tapak (site selection), dan
perencanaan desain permukiman baru.
5. Aspek proses pengambilan keputusan, yang melibatkan partisipasi masyarakat serta
stakeholder lain yang berkepentingan serta proses komunikasi antara pemerintah
dan masyarakat yang baik.

Dari faktor – faktor tersebut diatas, dapat diamati bahwa dari keseluruhan aspek yang
dibahas menunjukkan pentingnya adanya tempat, bidang tanah, ruang untuk
melakukan aktivitas. Mulai dari aspek sosial dan budaya menunjukkan masyarakat
korban bencana memikirkan ketersediaan tempat berkumpul, fasilitas lain yang
mendukung seperti di lingkungan tempat tinggal yang lama, serta jaminan terhadap
status kepemilikan lahan dan bangunan. Aspek ekonomi menunjukkan pentingnya
tempat untuk bekerja mencari nafkah. Dari faktor di atas tampak jelas bahwa
masyarakat korban bencana enggan untuk direlokasi lebih karena tersedianya tanah
sebagai tempat untuk beraktivitas.
Melihat betapa pentingnya arti tanah bagi masyarakat yang terkena bencana, maka
sangat dirasa penting bagi pemerintah untuk memiliki tanah – tanah yang
dicadangkan yang dapat digunakan setiap saat untuk bisa ditempati oleh
masyarakat yang terkena bencana. Cadangan tanah – tanah tersebut dapat diperoleh
salah satunya dengan adanya bank tanah. Dengan adanya bank tanah, diharapkan
pemerintah memiliki kantong – kantong cadangan tanah yang dapat digunakan
setiap saat oleh masyarakat yang terkena bencana. Dengan melihat tujuan ini, maka
bank tanah ini diharuskan berada di kawasan yang aman dari bencana.

D. Relokasi Melalui Bank Tanah


1. Pengertian Bank Tanah
Bank Tanah adalah suatu lembaga yang menyediakan tanah untuk keperluan
pembangunan, sekaligus bertindak selaku pengendali harga tanah. Bank Tanah
adalah Badan Usaha yang tidak semata-mata mencari untung tetapi lebih bersifat
pengelola pertanahan dari segi pengendalian harga tanah dan mendukung
pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Dengan demikian Bank Tanah mendukung tugas
pemerintah dalam pengelolaan, penyediaan dan pengendalian harga tanah.
Limbong (2013) menegaskan Bank Tanah merupakan sarana manejemen tanah
dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan tanah menjadi lebih produktif.
Pemahaman lain oleh UNESCAP (1993) bahwa Bank Tanah memungkinkan
pemerintah memiliki tanah jauh hari sebelum dibutuhkan. Manfaatnya adalah harga
tanah yang murah dan memungkinkan sebagai alat mempengaruhi pola
pengembangan suatu daerah.
Lebih jauh, dikenali Bank Tanah setidaknya mempunyai beberapa kegiatan
utama yaitu (i) membeli tanah, (ii) mematangkan tanah baik secara fisik maupun
administrasi; (iii) menjual kapling tanah siap bangun kepada yang membutuhkan;
(iv) mengadministrasikan jual beli tanah sesuai dengan ketentuan. Van Dijk (2006)
menjelaskan kegiatan bank tanah dapat berupa pengambilalihan tanah secara
sistematis yang biasanya dalam skala luas, dan tanah tersebut akan dimanfaatkan di
masa datang untuk melaksanakan kebijakan pertanahan.

2. Tujuan Bank Tanah


a) Dalam konteks Indonesia, tujuan umum Bank Tanah setidaknya mencakup:
i. menjamin terwujudnya rumusan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yaitu bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat;
ii. sebagai instrumen pelaksanaan berbagai kebijakan pertanahan dan
mendukung pengembangan wilayah;
iii. mengendalikan pengadaan, penguasaan dan pemanfaatan tanah secara adil
dan wajar dalam melaksanakan pembangunan.
b) Thurston (2004) menegaskan bahwa tujuan Bank Tanah mencakup (i)
mengelola pertumbuhan perkotaan; (ii) memastikan ketersediaan tanah untuk
keperluan tertentu; (iii) mengambil keuntungan modal akibat peningkatan nilai
tanah.
c) Flechner (1974), jika terkait pemerintah, tujuan Bank Tanah dapat mencakup
(i) membentuk pertumbuhan wilayah; (ii) menata perkembangan kota; (iii)
memperoleh manfaat dari peningkatan nilai investasi tanah; (iv)
menyempurnakan pasar tanah sehingga dapat mengurangi spekulasi tanah; (v)
memperoleh tanah untuk kepentingan umum; (vi) mengurangi biaya pelayanan
publik sebagai akibat pembangunan yang terencana; (vii) memungkinkan
menyediakan subsidi rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah; (viii)
menjaga kualitas lingkungan (Limbong, 2013).
d) GTZ (1998) menyatakan tujuan Bank Tanah adalah (i) memperbaiki akses
masyarakat miskin terhadap tanah; (ii) mendukung pelaksanaan kegiatan
pembangunan perkotaan; (iii) mengurangi kenaikan harga tanah dan
mengurangi spekulasi tanah; (iv) mendorong kemitraan publik dan swasta; (v)
memperbaiki struktur kepemilikan tanah.

3. Konsep Pelaksanaan
Secara umum konsepsi bank tanah dimaksudkan sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menyediakan tanah, yang akan dialokasikan
penggunaannya di kemudian hari untuk berbagai kepentingan pembangunan baik
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum (bank tanah
umum/general land banking) maupun kepentingan swasta/perusahaan (bank tanah
khusus/project land banking).
Dalam lingkup kegiatan general land banking atau bank tanah umum meliputi
penyelenggaraan penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah untuk semua
jenis penggunaan tanah pada ranah publik maupun privat, tanpa ditentukan
terlebih dahulu penggunaannya dengan tujuan utama untuk
mengendalikan/mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan dan/atau
mengatur harga tanah dan/atau memperoleh capital gains dari nilai lebih sebagai
akibat investasi publik dan/atau mengatur penggunaan tanah, termasuk mengenai
waktu, lokasi, jenis dan skala pengembangannya.
Sedangkan ruang lingkup project land banking/bank tanah khusus meliputi:
penyediaan tanah untuk pembaharuan daerah perkotaan, pengembangan kawasan
industri, pembangunan perumahan bagi rakyat menegah/sederhana dan sangat
sederhana serta pembangunan berbagai fasilitas umum (advance land acquisition).
Bank tanah di Indonesia ke depan, sebaiknya diprioritaskan/difokuskan pada
bank tanah yang berfungsi/mampu menampung pemenuhan penyediaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum, yang dalam hal ini merujuk pada
ketentuan Pasal 1 butir 6, Pasal 3, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(Lembaran Negara Tahun 2012 No.22, Tambahan Lembaran Negara Nomor….).
Pertimbangan memilih pada bank tanah umum (general land banking)
didasarkan pada pendekatan agar keberadaan/eksistensi bank tanah tersebut betul-
betul mampu mengendalikan penggunnaan tanah dan dapat mempengaruhi harga
tanah yang terjadi di masyarakat.
Ada tiga kegiatan mendasar dalam pelaksanaan bank tanah:
a) Land acquisition/akuisasi tanah;
proses akuisisi tanah oleh pemerintah untuk bank tanah dapat dilakukan
melalui proses ganti rugi, proses tukar menukar tanah dengan prosedur yang
telah ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Land management/pengelolaan bank tanah;
yaitu proses mengelola tanah yang sudah diakuisisi sebagai obyek bank
tanah. Pengelolaan dan pengamanan bank tanah merupakan proses penting.
Bank tanah seharusnya memiliki kondisi geograf is yang spesifik dan
penggunaannya bertujuan lebih produktif. Tanah yang sudah ditetapkan
sebagai bank tanah hendaknya secara legal sudah dikelola dengan baik. Proses
pendaftaran terhadap tanah-tanah tersebut tentunya akan mempermudah proses
pembangunan di atas tanah di kemudian hari dan tidak menimbulkan konflik
terhadap penguasaan dan pemanfaatan tanah. Ketika tanah tersebut sudah
terdaftar dan obyek pemanfaatannya jelas maka tidak akan terjadi
penyalahgunaan penggunaan tanah untuk kepentingan umum/kepentingan
masyarakat.
c) Land development;
yaitu bagaimana pelaksanaan pembangunan dan untuk kepentingan
umum diatas bank tanah ditujukan.

4. Kewenangan
Dalam tataran pelaksanaan, konsep kelembagaan Bank Tanah haruslah
disandarkan kepada UUD NRI Tahun 1945 dan UUPA Tahun 1960. Bank tanah
haruslah diselenggarakan oleh lembaga yang berbadan hukum publik baik sebagai
unit dan departemen maupun berbentuk BUMN. Seperti yang telah diutarakan
sebelumnya, tanah memegang peranan yang amat sentral, oleh karena itulah
pemerintah harus turut andil dalam segala kegiatan pelaksanaannya.
Bank tanah pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Bank Konvensional,
kedua lembaga ini memiliki kesamaan fungsi intermediasi yaitu sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Apabila Bank Konvensional
menghimpun dana dari masyarakat dalam wujud tabungan simpanan dan giro, pada
Bank Tanah yang dihimpun adalah tanah terlantar. Dalam Bank Konvensional dana
disalurkan dalam bentuk Pinjaman (kredit) sedangkan Bank tanah menyalurkan
tanah kepada masyarakat untuk kepentingan umum.
Kelembagaan bank tanah dapat mengambil beberapa bentuk, yaitu (1) bank
tanah BUMN, (2) bank tanah Badan Layanan Umum (3) Bank tanah yang
beriringan dengan Bank Komersial Konvensional. Solusi yang dapat digunakan
dalam mengatasi permasalahan pembebasan lahan adalah mekanisme Bank Tanah,
lembaga yang tepat digunakan dalam mekanisme pelaksanaan adalah berbentuk
Badan Layanan Umum. Bank Tanah akan memiliki fungsi sebagai lembaga yang
akan membeli tanah dari masyarakat sebelum pembangunan dimulai. Pada tahap
perencanaan penentuan daerah yang akan dibangun, BLU Bank Tanah sudah mulai
bergerak untuk membeli tanah. Skema pembebasan tanah saat ini dilakukan setelah
tahap lelang selesai sehingga menyebabkan harga tanah melonjak tinggi.
Instansi yang berwenang mengadakan pengadaan tanah adalah Lembaga
Negara, Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Pemerintah
Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, Badan Hukum Milik Negara (penugasan
Khusus), Badan Usaha Milik Negara (penugasan khusus). Skema kelembagaan
penyediaan tanah apakah yang tepat digunakan di Indonesia haruslah memenuhi
kriteria sebagai berikut, sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 33, Berorientasi pelayanan masyarakat dan tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, mempunyai kompetensi dalam pertanahan
(pembuatan regulasi, sistem informasi dan SDM), pengaturan pembiayaan yang
efektif dan efisien dalam pelaksanaan kebijakan.
Bentuk kelembagaan dapatlah berupa Badan Layanan Umum (untuk
selanjutnya disebut BLU), BUMN ataupun Bank Komersial Konvensional. Berikut
merupakan komparasi kelembagaan lembaga penyediaan tanah yang lebih sesuai di
Indonesia. Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
BLU Pasal 2 dan Pasal 3, kinerja BLU dinilai berdasarkan pelayanan dan bukan
merupakan subjek pajak sedangkan BUMN sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2
Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara kinerja
BUMN dinilai berdasarkan pelayanan dan pendapatan profit dan perusahaan
merupakan subjek pajak pendapatan.
Bagaimana dengan kedudukan Bank Komersial sebagai lembaga yang
berwenang dalam penyediaan tanah, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.
14/26/PBI/2012 tentang kegiatan usaha dan modal Inti Bank, maka Bank tidak
diperbolehkan melakukan jual beli aset dan menyimpan aset yang besar karena
akan mengganggu likuiditas bank tersebut. Hal ini dapat menimbulkan dampak
sistemik bagi kesehatan bank tersebut. Dengan demikian, Bank Konvensional tidak
diperkenankan memiliki kewenangan sebagai lembaga penyedia Bank tanah.
Dengan demikian Badan Layanan Umum penyediaan tanah di bawah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dinilai paling tepat dibandingkan
bentuk lainnya dengan alasan sebagai berikut:
a) Dapat menjaga agar BLU tetap merupakan lembaga non profit, sejalan
dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 33 dan UUPA yang menjadi landasan kerja BPN agar sumber
daya tanah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
b) BPN bukan merupakan institut pengguna lahan sehingga tidak memiliki
konflik kepentingan di dalamnya;
c) Jangkauan wilayah kerja BPN melingkupi kabupaten dan kota melalui
kantor wilayah di Provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten dan Kota;
d) Memiliki pengalaman dalam administrasi pertanahan, sistem informasi
pertanahan, penilaian tanah, akuisisi tanah.

5. Regulasi
a) Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
b) Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan SDA Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960:
i. Pasal 2 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa: Hak menguasai dari
Negara termaksud dalam ayat (1) ini memberi wewenang untuk: a
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
ii. Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;
iii. Pasal 14: ayat (1); Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam
pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2)
Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya: a. untuk keperluan Negara; b. …dst-nya.
iv. Pasal 14 ayat (2): Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1)
pasal ini dan mengingst peraturan-peraturan yang bersangkutan,
Pemerintah daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan
daerah masing-masing
v. Pasal 18: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan Undang-Undang.
c) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012:
i. Pasal 4 ayat (1): Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah menjamin
tersedianya tanah untuk Kepentingan Umum.
ii. Pasal 9 ayat (1): Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat;

E. Kesimpulan
F. Daftar Pustaka

Planning, F. H.-J. of R. and C. and 2014, undefined (2014) ‘Persepsi Masyarakat Kampung
Cieunteung, Kabupaten Bandung tentang Rencana Relokasi Akibat Bencana Banjir
(Cieunteung Village Community Perception on’, Journals.Itb.Ac.Id, 25(1), pp. 37–57.
Available at: http://journals.itb.ac.id/index.php/jpwk/article/view/1278/0.
https://ekonomi.bisnis.com/read/20181004/45/845528/relokasi-permukiman-jadi-opsi-kek-
palu-terdampak-kerusakan-infrastruktur

https://www.atrbpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/arahan-rehabilitasi-dan-rekonstruksi-
pascabencana-sulawesi-tengah-78191

https://www.atrbpn.go.id/Berita/Siaran-Pers/menteri-atrkepala-bpn-tinjau-tanah-negara-
bekas-tanah-terlantar-untuk-relokasi-korban-bencana-palu-sigi-donggala-86460

https://jatimnet.com/lahan-relokasi-rumah-rawan-bencana-belum-tersedia

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41431047

https://www.greeners.co/berita/bnpb-proses-relokasi-pengungsi-sinabung-terhambat-
ketersediaan-lahan/

http://www.trp.or.id/komponen/produk/the_file/Final_MAI.compressed.pdf, diakses pada


tanggal 29 Septembar 2019 pukul 15.45

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi9n_btzPXk
AhUXY48KHSGKCiIQFjABegQIABAC&url=https%3A%2F%2Farenahukum.ub.ac.id
%2Findex.php%2Farena%2Farticle%2Fdownload
%2F227%2F247&usg=AOvVaw1Qv5yZMJSlte1_IUYGHGYg, diakses pada tanggal 29
Septembar 2019 pukul 16.30

https://jurnalbhumi.stpn.ac.id/index.php/JB/article/view/197/176, diakses pada tanggal 29


Septembar 2019 pukul 17.10

Anda mungkin juga menyukai