Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya menginginkan dirinya selalu dalam kondisi yang
sehat, baik secara fisik maupun secara psikis, karena hanya dalam kondisi yang
sehatlah manusia akan dapat melakukan segala sesuatu secara optimal.
Menjadi seorang perawat adalah sebuah pekerjaan yang begitu mulia, seorang
perawat dituntut untuk selalu bersikap ramah terhadap semua orang dan terlebih
kepada pasien tersebut, serta dapat memberikan rasa aman agar pasien tidak
mengalami kecemasan, kegelisahan atau rasa takut, seorang perawat juga dituntut
untuk dapat berbicara dengan suara lembut dan murah senyum.
Bagaimana jika pasien yang dihadapi oleh seorang perawat tersebut adalah
seorang pasien yang menderita gangguan jiwa dimana seorang manusia yang
mengalami gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran,
emosi, dan perilaku serta pikiran yang terganggu. Penderita dengan gangguan jiwa
mengalami persepsi dan perhatian yang keliru dan juga afek datar yang tidak sesuai
serta gangguan aktivitas motorik yang bizarre (Davison, 2010).
Seorang petugas kesehatan di IGD diwajibkan peka menggunakan
kemampuan penglihatan, pendengaran, indra peraba, serta tanggap situasi, cepat dan
tepat saat menilai perubahan tiba-tiba pasien yang ada di IGD, karena sewaktu-waktu
kondisi status pasien dapat berubah (Berita SKPD, 2013). Kepekaan dari petugas
kesehatan sangat dibutukan untuk tindakan yang akan dilakukan ke pasien terutama
pada pasien gangguan jiwa
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Apakah definisi amuk?
2. Apakah etiologi dari amuk?
3. Apa sajakah manifestasi klinis dari amuk?
4. Bagaimanakah patofisiologi dari amuk?
5. Apa sajakah pemeriksaan penunjang dari amuk?
6. Bagaimanakah penatalaksanaan dari amuk?
7. Apa saja data fokus pada primary survey dan secondary survey pada amuk?
8. Apa sajakah diagnosa yang muncul dari amuk?
9. Bagaimanakah perencanaan dari amuk?
C. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi amuk.
2. Untuk mengetahui etiologi dari amuk.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari amuk.
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari amuk.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari amuk.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari amuk.
7. Untuk mengetahui data fokus pada primary survey dan secondary survey pada
amuk.
8. Untuk mengetahui diagnosa yang muncul dari amuk.
9. Untuk mengetahui noc,nic,dan rasional / intervensi dari amuk.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
1. Amuk
Perilaku kekerasan (amuk) atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis . Berdasarkan
defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan
scara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus.
Marah lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang
biasanya disebut dengan perasaan marah.
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman.
Ekspresi marah yang segera karena sesuatu penyebab adalah wajar dan hal ini
kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi marah tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu marah sering diekspresikan secara tidak langsung.
Sedangkan menurut Depkes RI, Asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan penyakit jiwa, Jilid III Edisi I : “Marah adalah pengalaman emosi yang
kuat dari individu dimana hasil/tujuan yang harus dicapai terhambat”.
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit sendiri
dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan
membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Untuk itu
perawat harus pula mengetahui tentang respons kemarahan sesorang dan fungsi
positif marah.
B. Etiologi
Menurut Stearen kemarahan adalah kombinasi dari segala sesuatu yang tidak
enak, cemas, tegang, dendam, sakit hati, dan frustasi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemarahan yaitu frustasi, hilangnya harga diri, kebutuhan
akan status dan prestise yang tidak terpenuhi.
1. Frustasi: sesorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keinginan
yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam dan
cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain tanpa
mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan kekerasan.
2. Hilangnya harga diri: pada dasarnya manusia itu mempunyai kebutuhan yang
sama untuk dihargai. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi akibatnya individu
tersebut mungkin akan merasa rendah diri, tidak berani bertindak, lekas
tersinggung, lekas marah, dan sebagainya.
3. Kebutuhan akan status dan prestise: Manusia pada umumnya mempunyai
keinginan untuk mengaktualisasikan dirinya, ingin dihargai dan diakui statusnya.
C. Manifestasi klinis
Kemarahan dinyatakan dalam berbagai bentuk, ada yang menimbulkan
pengrusakan, tetapi ada juga yang hanya diam seribu bahasa. Gejala-gejala atau
perubahan-perubahan yang timbul pada klien dalam keadaan marah diantaranya
adalah.
1. Perubahan fisiologik : Tekanan darah meningkat, denyut nadi dan pernapasan
meningkat, pupil dilatasi, tonus otot meningkat, mual, frekuensi buang air besar
meningkat, kadang-kadang konstipasi, refleks tendon tinggi.
2. Perubahan emosional : Mudah tersinggung , tidak sabar, frustasi, ekspresi wajah
nampak tegang, bila mengamuk kehilangan kontrol diri.
3. Perubahan perilaku : Agresif pasif, menarik diri, bermusuhan, sinis, curiga,
mengamuk, nada suara keras dan kasar.
D. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya perilaku kekerasan terdiri dari predisposes,presipitasi,
penilaia terhadap stressor, sumber koping, mekanisme koping, dan rentang respon.
a.) Predisposisi
Menurut townsend (1998), ada 3 faktor yang berkaitan dengan timbulnya perilaku
kekerasan :
1) Factor biologi
a.) Pengaruh neurofisiologi perubahan dalam system limbic otak dapat
mempengaruhi perilaku agresif pada beberapa individu
b.) Pengaru biokimia. Macam-macam dari neurotransmitter (missal, epinefrin,
neropineftrin, dopamine) dapat memainkan peranan dan memudahkan dan
menghambat impuls-impuls agresif.
c.) Pengaruh genetika. Beberapa penyelidikan menyatakan bahwa factor
heriditer sebagai komponen perilaku agresif.
d.) Kelainan otak. Berbagai kelainan otak misalnya trauma, tumor, dan
kelainan otak tertentu juga dapat memicu atau dapat menimbulkan
perilaku agresif.
2) Factor psikologi
a.) Teori psikoanalitik. Berbagai teori psikoanaltik telah membuat hipotesa
bahwa agresi dan kekerasan adalah ekspresi ketidakberdayaan atau hharga
diri rendah, yang timbul bila kebutuhan-kebutuhan masa anak terhadap
kepuasaan dan keamanan tidak terpenuhi.
b.) Teori pembelajaran. Teori ini menyatkan bahwa perilaku agresif dipelajari
dari model peran yang berwibawa dan berpengaruh’
3) Teori sosikultural. Individu yang tidak bisa mengedalikan hasrat untuk
memenuhi apa yang diinginkannya, sehingga ia menggunakan cara kejahatan
untuk memenuhi apa yang inginnya.
Sedangkan. Menurut yosep (2008:145), ada beberapa teori yang berkaitan dengan
timbulnya perilaku kekerasan, yaitu : factor biologis
a.) Neurologic factor, beragam komponen dari system syaraf seperti synap,
neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat
agresif. Sistemlimbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya respons
agresif.
b.) Genetic factor, adanya factor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
ptensi perilaku agresif.
c.) Cyrcardian Rhytm (irama sirkandian tubuh), memeran perann pada individu.
Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan
cortisol terutama pada jam-jam sibul seperti menjelang masuk kerja dan
menjelang berakhir bekerja.
d.) Biochemistry factor(factor biokimia tubuh) seperti neurotransmitter diotak
(epineprin, nonepineprin, dopamine, dan serotonin) sangat erperan dlam
penyampaian informasi melalui system persyarafan dalam tubuh, adanya
menstimulasi dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan
akan dihantar melalui impuls neurotransmitter keotak dan merespom melalui
serabut efferent.
e.) Brain Area Disorder, gangguan pada system lmbik dab lobus temporal,
sindrom otak organic, tumor otak, trauma otak, epilepsy ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agrsif dan tindakan kekerasan.
E. Pemeriksaan penunjang
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi
perananya pentung dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi neurobiologis,
memilih pengobatan, dan memonitor respons klinis (Maramis, 200, hlm 205)
Menurut Doenges (1995, hlm 2530), pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk
penyakit fisik yang dapat menyebabkab gejala reversibel seperti kondisi
defisiensi/toksik, penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin. Serangkaian tes
diagnostik yang dapat dilakukan pada Skizofrenia Paranoid adalah sebagai berikut.
 Computed Tomograph (CT Scan)
Hasil yang ditemukan pada pasien dengan Skizofrenia berupa abnormalitas otak
seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel dengan rasio ventrikel-otak
meningkat yang dapat dihubungkan dengan derajat gejala yang dapat dilihat
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak 3 dimensi, dapat memperlihatkan gambaran
yang lebih kecil dan lobus frontal rata-rata, atrofil lobus temporal (terutama
hipothalamus, girus parahipothalamus dan girus temporal superior)
 Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan dapat
menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal terutama pada area
pre-frontal dari korteks serebral
 Regional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas aktiivtas pada
daerah otak yang bervariasi
 Brain Electrica Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadap rangsangan yang
bervariasi disertai dengan adanya respon yang terhambat dan menurun, kadang-
kadang di lobus frontal dan sistem limbic
 Addiction Severity Index (ASI)
Asi dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang
mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengidikasikan area
pengobatan yang diperlukan.
 Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan ada
atau luasnya kerusakan organik pada otak.
Media psikososial
Psiko terapi ialah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional
seseorang pasien yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih dalam hubungan
profesional secara sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah
atau menghambat gejal-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang mengganggu
dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif (Maramis, 2009,
hlm 478)
Menurut Hawari (2001 hlm 111), terapi psikososial dimaksudkan agar
penderita mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan
mampu merawat diri, mampu mandiri, tidak tergantung pada orang lain sehinnga
tidak menajdi beban bagi jeluarga dan masyrakat. Terapi psikoreligius juga dapat
menjadikan alternatif bagi penderita gangguan jiwa seperti kegiatan ibadah.
F. Penatalaksanaan Perilaku Kekerasan
Penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan (amuk) meliputi,
penatalaksanaan keperawatan dan medis.
a. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan dapat dilakukan melalui proses pendekata n keperawatan dan
terapi modalitas.
1) Pendekatan proses keperawatan
Penatalaksanaan yang dilakukan berdasarkan proses keperawatan, yaitu
meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan
serta evaluasi.
2) Terapi modalitas
Terapi kesehatan jiwa telah dipengaruhi oleh perubahan terkini dalam
perawatan kesehatan dan reinbursement, seperti pada semua area kedokteran,
keperawatan, dan disiplin ilmu kesehatan terkait. Bagian ini secara singkat
menjelaskan modalitas terapi yang saat ini digunakan baik pada lingkungan,
rawat inap, maupun rawat jalan (Videbeck, 2001 hlm 69)
a) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan
bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan agresif.
Aktivitas atau kelompok yang direncanakan seperti permainan kartu,
menonton dan mendiskusikas sebuah film atau diskusi informal
memberikan klien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu
ketika klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses traupetik
dan meminimalkan kebosanan. Penjadwalan interaksi satu-satu dengan
klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap klien dan
kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran, serta perasaan klien.
Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa aman klien
(videbeck, 2001 hlm 259)
b) Terapi kelompok
Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama
kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan
diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok untuk membantu yang
lain dan juga mendapat bantuan dari yang lain. Peraturan kelompok
ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota kelompok. Dengan
menjadi anggota kelompok klien dapat, mempelajari cara baru
memandang masalah atau cara koping atau menyelesaikan masalah dan
juga membantunya mempelajarai ketrampilan interpersonal yang penting
(videbeck 2001 hlm 70)
c) Terapi keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan
klien dan naggotakeluarganya. Tujuannya ialah memahami bagaimana
dinamika keluarga memengaruhi psikopatologi klien, memobilisasi
kekuatan dan sumber fungsional keluarga merestrukturisasi gaya perilaku
keluarga yang maladaftif dan menguatkan perilaku penyelasaian maslah
keluarga (steinglass, 1995 dalam Videbeck, 2001, Hlm. 71)
d) Terapi individual
Psiko trapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan prilaku.
Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi dan klien. Tujuan
terapi dari individu yaitu, memahami diri dan prilaku mereka sendiri,
membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan interpesonalatau
berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan.
Hubungan antara klien dan ahli terapi terbina melalui tahap yang sama
dengan tahap hubungan perawat klien introduksi, kerja, dan terminasi.
Upaya pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi pemeliharaan
kesehatan dan lembaga astransi lain mendorong upaya mempercepat klien
ke fase kerja sehingga memperoleh menfaat masksimal yang mungkin dari
terapi (Videback, 2001,hlm, 69).
b. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis dapat dibagi menjadi dua metode, yaitu metode
pasikofarmakologi dan metode psikososial.
1) Metode Biologis
Berikut adalah beberapa metode biologis untuk penatalaksanaan medis klien
dengan prilaku kekerasan yaitu.
a) Psikofarmakologi
Penggunaan obat obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari
penemuan neurobiologi. Obat obatan tersebut memengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya memengaruhi perilaku,
persepsi, pemikiran, dan emosi. (Videback, 2001, hlm, 22).
Menurut stuard dan laraia (2205, hlm, 643), beberapa kategori obat
yang digunakan untuk mengatasi prilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
- Antianxiety dan Sedative Hipnotics
Obat obatan itu dapat mengendalikan agitasi yang akut
benzodiazepines seperti lorazepam dan clonazepam, sering
digunakan didalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan
perlawanan klien. Tapi obat ini direkomendasikan untuk dalam
waktu lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan
ketergantungan juga bisa memperburuk gejalah depresi.
Selanjutnya pada beberapa klien yang mengalami disinhibiting
effect dari benzodiazepines dapat mengakibatkan peningkaytan
prilaku agresif. Buspirone obat antianxiety, afektif dalam
mengendalikan prilaku kekerasan yang berkaitan dengan
menurunya prilaku agresif dan agitasi klien dengan cedera kepala,
dimensia dan ‘developmental dosability’.
- Antidepressant
Penggunaan obat ini mampu mengontrol implusif dan prilaku
agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan trazodone, efektif untuk menghilangkan agresivitas yang
berhubungan dengan cedera kepala dan gangguan mental organi.
- Mood stabilizers
Penelitian menunjukan bahwa pemberian lithium efektif untuk
agresif kerana manik. Pada beberapa kasus, pemberian
menurunkan prilaku agresif yang disebabkan oleh gangguan lain
seperti retradasi mental, cedera kepala, skizofrenia, gangguan
kepribadian. Pada klien dengan epilepsi lobus, temporal, bisa
meningkatkan prilaku agresif. Pemberian carbamazepines dapat
mwngwndaalikan prilaku agresif pada klien dengan kelainan EKG
(electroencephalogram).
- Antipsychotic
Obat obatan ini biasanya diperguanakan untuk perawatan
prilaku agresif. Bila agitasi terjadi kerana delusi, halusinasi atau
prilaku psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu,
namun diberikan hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya
dirasakan.
- Medikasi laannya
Banyak kasus menjukan bahwa pemberian naltrexone
(anatagonis opiat), dapat menurunkan prilaku mencedrai diri.
Betablockers seperti praponalol dapat menurunkan prilaku
kekerasan pada anak dan pada klien dengan gangguan mental
organik.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

 Pengkajian Primer

a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan:

 Chin lift / jaw trust

 Suction / hisap

 Guedel airway

 Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.

b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan
yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi,
whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.

c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran
mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri
atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun
cara yang cukup jelasa dan cepat adalah:

Awake: A

Resepon bicara: V

Respon nyeri

Tidak ada respon :U

e. Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan

 Pengkajian sekunder

Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan


secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

1) Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang


merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.

b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal


atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi
pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa
pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
 C. have you ever felt should Cut down your drinking?
 A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
 G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
 E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get
rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini
seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):
 Hurt you physically?
 Insulted or talked down to you?
 Threathened you with physical harm?
 Screamed or cursed you?

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi
 Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya
lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan
saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
 Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam,
ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien
mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
 Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
 Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada
nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
 Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama
nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah
merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya
atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-
tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen,
tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
A. Analisa Data
 Pada pasien dengan perilaku kekerasan (amuk)
No Data Senjang Etiologi Masalah

1 Data mayor: Hiperventilasi Pola Nafas


Tidak efektif
Dispnea, penggunaan otot bantu
pernapasan, fase ekspirasi memanjang,
pola nafas abnormal (misalnya takipnea,
bradipnea, hiperventilasi, kusmaul,
chynes-stokes)

Data Minor:

Ortopnea, pernapasan pursed-lip,


pernafasan cuping hidung, diameter
thoraks anterior-posterior meningkat,
ventilasi semenit turun, kapasitas vital
menurun, tekanan ekspirasi menurun,
tekanan inspirasi menurun, ekskursi
dada berubah.

2. Data mayor: Kehilangan cairan Hipovolemia


aktif
Subjektif: -

Objektif:
Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, turgor kulit menurun,
membran mukosa kering, volume urin menurun,
hematokrit meningkat

Data Minor:

Subjektif: merasa lemah, mengeluh haus

Objektif:

Pengisian vena menurun, status mental berubah,


suhu tubuh meningkat, konsentrasi urin
meningkat, berat badan turun tiba-tiba

3. Data Mayor : Kehilangan volume Risiko


cairan aktif hipovolemia
frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi
menyempit, turgor kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin menurun,
hematokrit meningkat

Data Minor :

merasa lemah, mengeluh haus, pengisian vena


menurun, status mental berubah, suhu tubuh
meningkat, konsentrasi urin meningkat, berat
badan turun tiba-tiba.

4. Data mayor Gangguan psikososial Distress


Data subjektif: Spiritual

 Mempertanyakan makna/tujuan
hidupnya
 Merasa menderita
 Selalu berbicara kasar
Data Objektif:

 Tidak mampu beribadah


 Selalu terlihat marah
 Marah pada Tuhan

Data minor

Data subjektif:

 Merasa hidupnya kurang tenang


 Selalu marah-marah
 Merasa tersaingi
Data Objektif:

 Koping tidak efektif


 Tidak berminat pada alam
 Berinteraksi dengan cara marah-marah
 Tidak mampu berkreativitas

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
2. Resiko Cedera b.d gangguan fungsi psikomotor
3. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
4. Resiko hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
5. Distres b.d gangguan psikososial
C. Perencanaan Tindakan Keperawatan
Perencanaan
Diagnosa
No. Tujuan dan Kriteria Rasional
Keperawatan Intervensi
Hasil

1. Pola napas Setelah dilakukanasuhan Monitor Pernafasan


tidak efektif keperawatan 3 x 24
1. Monitor irama, kecepatan, 1. Mengetahui tingkat gangguan
berhubungan jamdiharapkan:
kedalaman, dan kesulitan yang terjadi dan membantu
dengan depresi
NOC : Status Pernafasan bernafas. dalam menetukan intervensi
pusat
yang akan diberikan.
pernapasan.  Dipertahankan pada
2. Menunjukkan keparahan dari
(SDKI) level 4 2. Catat pergerakan dada
 Ditingkatkan ke level 5 gangguan respirasi yang terjadi
1 = Deviasi berat dari dan menetukan intervensi yang
kisaran normal akan diberikan
2 = Deviasi yang cukup
3. mengetahui permasalahan jalan
berat dari kisaran
napas yang dialami dan
normal
3. Monitor pola nafas ( misalnya, keefektifan pola napas klien
3 = Deviasi sedang dari
bradipneu, takipneu, untuk memenuhi kebutuhan
kisaran normal
4 = Deviasi ringan dari hiperventilasi, kusmaul, oksigen tubuh.
kisaran normal pernafasan 1;1, apneustik, 4. Melihat apakah ada obstruksi di
5 = Tidak ada deviasi
respirasi biot, dan pola ataxic) salah satu bronkus atau adanya
dari kisaran normal. 4. Palpasi kesimetrisan ekspansi gangguan pada ventilasi
Dengan kriteria hasil : paru 5. Melihat apakah ada obstruksi di
salah satu bronkus atau adanya
1. Frekuensi
gangguan pada ventilasi
pernafasan normal 5. Perkusi torak anterior dan
6. Melihat ada atau tidaknya
(16-24 x/menit) posterior, dari apeks ke basis
2. Irama pernafasan deviasi trakea
paru kanan dan kiri
tidak ada deviasi 6. Catat lokasi trakea 7. Suara napas tambahan dapat
dari kisaran menjadi indikator gangguan
normal (teratur) kepatenan jalan napas yang
3. Kedalaman 7. Auskultasi suara nafas, catat
tentunya akan berpengaruh
inspirasi normal area dimana terjadi penurunan
terhadap kecukupan pertukaran
4. tidak ada atau tidak adanya ventilasi dan
udara. Adanya bunyi ronchi
penggunaan otot keberadaan suara nafas
menandakan terdapat
bantu nafas tambahan
5. tidak ada retraksi penumpukan sekret atau sekret
dinding dada berlebih di jalan nafas.
6. tidak ada 8. Kapasitas vital paru yaitu
pernafasan cuping volume udara yang dapat
hidung dikeluarkan semaksimal
7. Sianosis tidak ada
mungkin setelah melakukan
Skala yang diharapkan 5
inspirasi semaksimal mungkin
8. Monitor nilai fungsi paru,
juga, yang besarnya lebih kurang
terutama kapsitas vital paru,
3.500 mL.
volume inspirasi normal, 9. Kelelahan dan kecemasan dapat
volume ekspirasi maksimal mempeangaruhi jalan nafas
selama 1 detik sesuai dengan
data yang tersedia
10. Mencegah pasien kekurangan
oksigen.
9. Monitor peningkatan
kelelahan, kecemasan dan
kekurangan udara pada pasien
10. Monitor keluhan sesak nafas
pasien, termasuk kegiatan
yang meningkatkan atau 11. Nebulasi dapat melebarkan jalan

memperburuk sesak nafas nafas.

tersebut.
11. Berikan bantuan terapi nafas
12. Menjaga kepatenan jalan nafas
jika diperlukan (nebulizer)
Terapi Oksigen
13. Meningkatkan ventilasi dan
12. Bersihkan mulut, hidung dan
asupan oksigen
sekresi trakea dengan tepat
13. Siapkan peralatan oksigen
dan berikan melalui sistem
humudifier sesuai dengan
kebutuhan pasien. 14. Mencegah keracunan oksigen.
14. Monitor aliran oksigen

2. 1. Resiko Cedera Setelah dilakukanasuhan 1. Identifikasi kebutuhan 1. Memenentukan kebutuhan pasien


berhubungan keperawatan 3 x 24 keamanan pasien terhadap keamanan dan menentukan
dengan jamdiharapkan: berdasarkan fungsi fisik intervensi yang tepat
gangguan dan kognitif serta riwayat
NOC : Keparahan 2. Mencegah terjadinya resiko cedera.
prilaku dimasalalu
Cedera Fisik 2. Identifikasi hal-hal yang
membahayakan di
 Dipertahankan pada
lingkungan (misalnya,
level 4
 Ditingkatkan ke level 5 bahaya fisik, biologi, dan
kimiawi) 3. Mencegah resiko cidera.
5= Tidak Ada
3. Singkirkan bahan
4= Ringan
berbahaya dari lingkungan
3= Sedang
jika diperlukan 4. Memperkecil resiko cedera pada
2= Cukup Berat 4. Modifikasi lingkungan
pasien.
1= Berat. untuk meminimalkan
Dengan kriteria hasil : bahan berbahaya dan

1. Lecet pada kult beresiko 5. Agar situasi pasien terhindar dari


5. Gunakan peralatan
(tidak ada) resiko cidera.
2. Memar (tidak ada) perlindungan (misalnya,
3. Luka Gores (tidak pengekangan pada sisi,
ada) kunci pintu, pagar, dan
4. Fraktur Muka
(tidak ada) gerbang)untuk membatasi
5. Cedera Gigi (tidak
mobilitas fisik atau akses
ada)
pada situasi yang
6. Kerusakan Kognisi 6. Mengetahui tempat yang beresiko
membahayakan
(tidak ada) untuk terjadinya resiko cidera.
6. Monitor lingkungan
7. Penurunan Tingkat
terhadap terjadinya
Kesadaran (tidak
perubahan status
ada)
8. Perdarahan (tidak keselamatan 7. Agar pasien mengetahui bahan apa
7. Inisiasi dan atau lakukan saja yang berbahaya dan menurangi
ada)
9. Gangguan program skrining terhadap resiko cidera pada pasien.
imobilitas (tidak bahan yang
ada) membahayakan
lingkunagn (misalnya,
Skala yang diharapkan 5 8. Membantu pasien mengetahui apa
logam berat dan radon)
8. Edukasi individu dan saja yang bisa membuat pasien
kelompok yang beresiko mengalami resiko terjadinya cidera.
tinggi terhadap bahan
berbahaya yang ada 9. Mencegah terjadinya resiko cidera
dilingkungan pada pasien.
9. Kolaborasikan dengan
lembaga lain untuk
meningkatkan keselamatan
lingkungan (misalnya,
dinas kesehatan, polisi dan
badan perlindungan
10. Agar pasien mendapatkan
lingkungan)
10. Beritahukan pada lembaga perlindungan.

yang berwenang untuk


melakukan perlindungan
lingkungan (misalnua,
dinas kesehatan, polisi, 11. Agar pasien bisa memberitahu
dan pelayanan lingkungan langsung kepada pihak yang
11. Siapkan nomor telepon
berwajib.
emergency untuk pasien
B. Implementasi

Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang


spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun dan
ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
Adapun tahap-tahap dalam tindakan keperawatan adalah sebagai berikut :
 Tahap 1 : persiapan
Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk mengevaluasi
yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
 Tahap 2 : intervensi
Focus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan pelaksanaan
tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan : independen, dependen,
dan interdependen.
 Tahap 3 : dokumentasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap
dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.
C. Evaluasi
Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :
1) Tujuan tercapai,apabila pasien telah menunjukan perbaikan/ kemajuan sesuai
dengan criteria yang telah di tetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian,apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal,
sehingga perlu di cari penyebab dan cara mengatasinya.
3) Tujuan tidak tercapai,apabila pasien tidak menunjukan perubahan/kemajuan
sama sekali bahkan timbul masalah baru.dalam hal ini perawat perlu untuk
mengkaji secara lebih mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa,
tindakan, dan faktor-faktor lain yang tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak
tercapainya tujuan. Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses
keperawatan dari pengkajian sampai dengan evaluasi kepada pasien,seluruh
tindakannya harus di dokumentasikan dengan benar dalam dokumentasi
keperawatan.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perilaku kekerasan (amuk) atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis . Berdasarkan
defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku kekerasan
scara verbal dan fisik. Sedangkan marah tidak harus memiliki tujuan khusus. Marah
lebih menunjuk kepada suatu perangkat perasaan-perasaan tertentu yang biasanya
disebut dengan perasaan marah.

Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap


kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman.

Ekspresi marah yang segera karena sesuatu penyebab adalah wajar dan hal ini
kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi marah tidak diperbolehkan. Oleh
karena itu marah sering diekspresikan secara tidak langsung.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai