Rahimah
1. Pendahuluan
Timbulnya taswuf dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam
itu sendiri, yaitu semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul untuk
segenap ummat manusia dan seluruh alam semesta. Fakta sejarah menunjukkan
bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali
melakukan tahnnuts dan Khalwat di gua Hira’ di samping untuk mengasingkan
diri dari kehidupan masyarakat Mekkah yang sibuk dengan hal-hal yang
memperturutkan hawa nafsu keduniaan, Muhammad juga berusaha mencari jalan
untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwanya dari noda-noda yang
menghinggapi masyarakat di sekitarnya pada waktu itu.
Kecenderungan yang seperti inilah yang diikuti oleh orang-orang Sufi,
mereka berusaha untuk mendekatkan diri dan mensucikan diri serta meninggikan
“cintanya” kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pengalaman religius orang Sufi sangat berbeda jauh dengan pengalaman
religius orang biasa (awam), pengalaman religius mereka dapat menghantarkan
kepada ma’rifah bahkan sampai dapat bertemu dengan Tuhan.
Orang Sufi melalui maqam-maqam sebagai stasion untuk mencapai
tingkatan pengalaman religius tertinggi itu tidak hanya dialami oleh kaum laki-
laki saja, tetapi dapat dicapai oleh kaum wanita, yang salah satu diantaranya
adalah Rabi’ah Al-Adawiah.
Rabi’ah Al-Adawiah tercatat dalam lembaran sejarah Sufi di abad ke-2
Hijriah. Kemasyhuran yang diperolehnya adalah karena mengemukakan versi
baru dalam hidup kerohanian, di mana tingkat zuhud yang diciptakan Hasan
Basri dalam bentuk Khauf dan Raja’ dinaikkan oleh Rabi’ah ke tingkat zuhud
yang bersifat Hubb (cinta). Cinta yang suci murni lebih tinggi pada takut dan
pengharapan, karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.
Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba mengungkapkan bagaimana
Hubb “Al-Hubb Al-Ilahi” yang dilaksanakan oleh Rabi’ah Al-Adawiah, tentunya
uraian akan dimulai dengan pendahuluan, riwayat singkat Rabi’ah Al-Adawiah.
Pengertian Hubb Al-Ilahi dilengkapi dengan beberapa syair dan dalil mengenal
hal itu tulisan akan diakhiri dengan kesimpulan.
1)
Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan, Kairo, tp, 1299 H, hal. 227.
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, 1974, hal. 76.
1
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
melakukan shalat Tahajjut dan berzikir sampai subuh, setelah Rabi’ah lahir
ayahnya ditawari pekerjaan mengajarkan membaca Al-Qur’an untuk anak-anak
orang kaya di Baghdad. 2)
Semasa kecilnya Rabi’ah tumbuh seperti anak-anak sebayanya secara
wajar, ia kelihatan cerdik dan lincah. Pancaran sinar ketaqwaan telah tampak
jelas pada pribadinya.
Abdul Mun’im Qandil, mengisahkan dalam bukunya, Figur Wanita Sufi,
menceritakan: Ayah ibu Rabi’ah terheran mendengar kata-kata yang
diucapkannya ketika ia ditanya oleh Ayahnya, “Wahai Rabi’ah, bagaimana
pendapatmu sekiranya ayah tidak menemukan makanan kecuali yang haram?”
dengan tangkas ia menjawab, “Kita harus banyak bersabar, karena menahan lapar
di dunia jauh lebih ringan dan lebih baik dari pada menanggung siksa neraka”. 3)
Jawaban Rabi’ah ini menyangkut halal dan haram, sabar dan siksa neraka,
menunjukkan bahwasannya dia telah memilih jalan yang terang; tanda-tanda
kejuhudan, ketaqwaan serta ke wira’an telah tampak pada dirinya. Perwujudan
cintanya kepada Allah dengan cara bezikir, menjauhkan diri dari hal-hal yang
Syubhat, memelihara sifat-sifat terpuji, berakhlaq karimah, berpenampilan
simpati, ia juga telah hafal Al-Qur’an ketika berumur 10 tahun, ia mempunyai
ingatan yang kuat. Semasa kecilnya selalu dibawa oleh ayahnya ke Mesjid,
dengan maksud agar akhlaqnya terpelihara dari pengaruh akhlaq masyarakat
Baghdad kala itu, yang gemerlap dengan kesenangan duniawi.
Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia ia dijual sbagai budak.
Tetapi pada akhirnya ia memperoleh kemerdekaan. Menurut orang yang
memilikinya, ia mempunyai cahaya di atas kepalanya sewaktu ia beribadah, yang
dapat menerangi seluruh ruangan rumah. Setelah dibebaskan ia pergi menyendiri
ke padang pasir dan memilih hidup zahid. 4)
Hati Rabi’ah sudah penuh dengan cahaya cinta kepada Tuhan, beribadah
dan berdialog dengan Allah mempunyai keasyikan dan kelezatan tersendiri
baginya.
Derita silih berganti yang dihadapinya sejak meninggalnya kedua orang
tuanya, dan ketika kota Basrah dilanda kemarau panjang, lalu diceritakan pula
Rabi’ah terpisah dari kakaknya karena diculik dan kemudian dijadikan budak,
semuanya menjadi motivasi bagi Rabi’ah untuk lebih mendekatkan diri pada
Allah. Siang dan malam ia selalu sibuk dengan zikir, Tashbih, Shalat, Tafakkur.
Ia shalat sepanjang malam, bila fajar tiba, ia tidur sebentar setelah dia bangun
dia selalu berkata : “Wahai jiwa, berapa lama engkau tertidur? Sampai mana
engkau tertidur? Engkau terlalu nyenyak tidur, sehingga hampir saja tertidur
tanpa bangkit kembali kecuali oleh terompet hari kebangkitan”, hal ini
dilakukannya setiap hari sampai akhir hayatnya. 5)
Rabi’ah hidup dalam keadaan miskin dan ketika teman-temannya ingin
membantunya, ia menolak bantuan mereka. Salah seorang dari mereka
memberikan rumah kepadanya. Ia mengatakan : “Aku takut kalau-kalau rumah
ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amal ku untuk akhirat”.
2)
Qandil Abd Mun’im., Figur Wanita Sufi, Pustaka Progresif, Surabaya, 1993, hal.
15-16.
3)
Op.Cit., hal. 15.
4)
Nasution Harun., Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, UI Press, 1974, hal.
76.
5)
Al-Yafi’i, Raudlah al-Riyahin, Kairo, 1324 H, hal. 101.
2
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Kepada seorang pengunjung ia memberikan nasihat : “Pandangan dunia ini
sebagai sesuatu yang hina dan tiada berharga”. 6)
Dia selalu menangis bukan karena memikirkan kekasihnya di dunia, tetapi
karena kerinduan pada Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim, yang kasih
sayang-Nya tiada tanding.
Menurut riwayat dari Imam Sya’rani, pada suatu waktu ada seseorang
yang menyebut-nyebut azab dan siksa neraka dihadapan Rabi’ah, maka Rabi’ah
pingsan, dalam menyebut Istighfar kepada Allah, setelah siuman dari pingsannya
itu beliau berkata : “Saya mesti meminta ampun, dari cara saya meminta ampun
(yang pertama) tadi”. Sajadah tempat beliau sujud senantiasa basah oleh air
matanya. 7)
Rabi’ah hidup sezaman dengan Sofyan Tsaury, seorang zuhud ternama,
salah seorang murid Hasan Basyri.
Suatu ketika Sofyan mengeluh, “wahai sedihnya hatiku”, sebagai suatu
ungkapan sedih oleh seorang sufi yang diajarkan oleh gurunya, mendengar ini
Rabi’ah berkata, “Kesedihan kita masih sedikit sekali, karena kalau kita benar-
benar sedih kita tidak ada lagi di dunia ini”. 8)
Ajaran yang ditinggalkan oleh Rabi’ah, juga syair-syair cintanya, yang
memuji keagungan Tuhan digemakan kembali dalam kehidupan sufi lainnya
seperti : Ibnul Farid, Al-Hallaj, Jalaluddin Ar-Rumi dan lainnya. Bahagian dari
Syair Rabi’ah itu adalah :
6)
Nasution Harun., Ibid, hal. 77.
7)
HAKMA, Taswuf Perkembangan dan Pemurniannya, Penerbit Pustaka Panjimas,
Jakarta, 1993, hal. 73.
8)
Ibn al-‘Imad, Syazarat al-Zahab, Juz I, Kairo, 1931, hal. 319.
HAMKA, Ibid, hal. 74.
9)
Al-Kalabazi, Muhammad Abu Bakkar, At-Ta’rif limazhabi ahlu at-tashawwufi,
Maktabah Kulliyah Al-Azhar, Kairo, 1969, hal. 131-132.
3
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Rabi’ah sufi yang terkenal dengan Mahabbahnya itu menerangkan pula :
Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena ingin masuk sorga, tetapi karena
cintaku kepada-Nya.
Taubat menurut Rabi’ah; taubat seseorang yang melakukan maksiat adalah
berdasarkan kehendak Allah, bukan kehendak manusia itu sendiri. Jika Allah
berkehendak, maka Dia akan membukakan pintu taubat bagi seseorang yang
berbuat maksiat. Suatu ketika seseorang bertanya kepada Rabi’ah : “aku ini banyak
berbuat maksiat dan dosa; adakah Allah akan membuka pintu taubat jika aku
bertaubat? Rabi’ah menjawab, “Tidak, sebaliknya, kalau Allah berkenan membuka
pintu taubat untukmu, maka kamu akan bertaubat”. 10) Allah mengetuk hati
makhluk-Nya untuk sadar akan perbuatan dosa dan kembali ke jalan-Nya.
Mengenai Ridha, diriwayatkan oleh al-Kalabazi, suatu ketika Sofyan
Saury berkata di depan Rabi’ah : “Ya, Tuhanku, ridhailah diriku ini!”, maka
Rabi’ah berkata : “Tidakkah engkau malu meminta keridhaan dari Tuhan, yang
engkau sendiri tidak ridha kepadaNya”. Ucapan ini mengandung arti bahwa :
Ridha itu berlangsung secara timbal balik, antara seorang hamba dengan
Tuhannya. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
Artinya : ‘Allah Ridha kepada mereka dan merekapun Ridha kepadaNya’ (QS 5 :
119).
10)
Al-Qusyairy, Al-Risalah al-Qusyairiyyah, Kairo 1330 H, hal. 48.
11)
Fuad Abd Al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Ayati al-Qurani, Libanon, Daral Fikri,
1981, hal. 191.
12)
Al-Kalabazi, Loccit, hal. 130-131.
4
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
- Menurut Abu ‘Ubaidah al-Nabaji :
5
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
3. Cinta orang yang ‘Arif ( ), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan.
Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tapi diri yang dicintai. Akhirnya
sifat-sifat yang dicintai masuk pada diri yang mencintai. 13)
Faham Mahabbah ini mengambil dalil dari Al-Qur’an Surat al-Ma’dah ayat 54.
‘Jika kamu cinta pada Tuhan, maka turutlah Aku dan Allah akan
mencintaimu’ (QS. 3 : 31).
Dari Hadist Nabi diambil juga dalil sebagai adalah sebagai berikut :
13)
Nasution Harun., Falsafah dan Mistisime Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1973,
hal. 70.
6
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Artinya : ‘Wahai Tuhanku’ tenggelamkanlah daku dalam mencintai-Mu,
sehingga tidaklah aku tidak lagi membimbangkan-Mu ya Tuhan.
Bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu
istana telah terkunci dan tiap pencinta telah menyendiri dengan yang
dicintainya, inilah aku berada di hadirat-Mu’.
Artinya : ‘Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri,
aku gelisah, apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa
bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi ke-
Maha kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri
daku hidup. Sekiranya jika Engkau usir daku dari depan pintu-Mu aku
tak akan pergi karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku’.
14)
HAMKA, Tasawwuf Pemurnian dan Pengembangannya, Jakarta, Pustaka Panjimas,
1993, hal. 75.
7
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
Dari sya’ir-sya’irnya yang amat masyhur itu, menunjukkan tujuan
zuhudnya Rabi’ah al-Adawiah, yakni : semuanya hanya untuk Tuhan, bukan
karena mengharap. Baginya soal surga atau neraka, adalah bukan persoalan yang
diharap dan ditakuti, cintanya kepada Allah merupakan suatu nikmat tiada tara,
bagi Rabi’ah cinta dibaginya kepada dua tingkatan : Pertama cinta karena
kerinduan. Dirindu semata-mata karena Allah memang puncak segala kerinduan
serta keindahan, sehingga tiada yang lain dalam ingatannya, melainkan Allah.
Kedua, kecintaan dan keinginan dibukakannya hijab, selubung yang
membatasi diantara dirinya dengan Dia (Ilahi), tujuan utamanya adalah untuk
dapat melihat Tuhan (Musyahadah).
Rabi’ah berseru kepada Tuhan Rabbul ‘Ijzati :
Ya Ilahi! Jika sekiranya aku beribadat kepada Engkau karena harap akan
masuk syurga, biar jauhkanlah dia dari ku tapi jika aku beribadat semata-mata
karena cinta kepada-Mu, maka janganlah ya Ilahi Engkau haramkan aku, melihat
keindahan yang azali. 16)
Syekh Mustafa Abdur Razik, telah menulis komentar pada buku salinan
ensiklopedi Islam : Sebelum Rabi’ah Tasawwuf itu masih bersifat sederhana,
perkataan ahli Tasawwuf belum menyinggung rasa sufi dan belum merentang
pada jalannya yang tertentu. Rabi’ah yang mula pertama menyanyikan nyanyian
cinta dalam tasawwuf dengan bentuk syair dan puisi. Pantaslah bagi dayang
keluarga Uthai ini sebagai seorang wanita utama di zamannya, yang mempunyai
jiwa suci murni, yang tidak terpedaya duniawi. Jika ia memutuskan hubungannya
dengan segalanya dan menjuruskan perhatian semata-mata kepada yang dicintai.
Hubbul Ilahi, cinta Ilahi, yang didengungkannya dalam segenap nyanyiannya. 17)
Cinta Ilahi yang tertanam dalam hatinya membuat dia menolak semua
tawaran orang untuk menikahinya. Ia takut akan mengurangi cintanya kepada
Tuhan.
Menurut Nicholson, kedudukan Rabi’ah itu sangat penting, sebagai
menandai faham asketisme Islam, dengan corak mahabbah. 18)
Kalau Hasan Basyri mencapai maqamat yang dijiwai oleh rasa takut/al-
Khauf. Rabi’ah melengkapinya dengan Mahabbah, guna untuk menjadikan
ibadahnya semata-mata hanya karena Allah.
Falsafah Al-hubb dari Rabi’ah terungkap dalam kata-katanya sebagai
berikut :
“Tak ada jarak antara yang mencintai dan yang dicintai. Cinta adalah
pengungkapan dari rasa rindu, penuturan perasaan : barangsiapa merasakan
ia akan mengenal. Barangsiapa menuturkan, ia sendiri tidak dapat
dituturkan. Bagaimana engkau akan menuturkan sesuatu, sedangkan
engkau sendiri lenyap di khadirat-Nya, lebur dengan wujud-Nya, sirna
karena menyaksikan-Nya dalam kondisi sehat engkau mabuk dibuat-Nya.
Dengan memusatkan perhatian kepada-Nya engkau menjadi mantap.
Dengan bersenang-senang dengan-Nya engkau menjadi sedih. Rasa takut
membenteng lisan untuk bicara. Rasa bingung menahan hati untuk
mengungkapkan sesuatu. Rasa cemburu mendinding mata untuk melihat.
Rasa kebesaran mengikat akal untuk mengaku. Tiada dalam cinta, selain
15)
Nasution Harun, Loccit, hal. 73-74.
16)
HAMKA., Loc.Cit, hal. 75-76.
17)
Ibid, HAMKA, hal. 76-77.
18)
Nicholson, R.A. Al-Sufiah fi al-Islami, terjemahan Nur al-din Syaribah, Kairo, 1951,
hal. 5.
8
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
kebesaran yang langgeng, kebingungan yang melekat, hati yang rindu,
rahasia yang tertutup, badan yang terasa sakit dan tidak aman, cinta
dengan segala keunggulannya telah menguasai hati”. 19)
4. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan sebagai berikut :
- Rabi’ah Al-Adawiah adalah tokoh sufi yang pertama sekali menuangkan
untaian sya’ir sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Khaliqnya. Dia
terkenal dengan pengungkap faham asketisme yang membahas sedalam-
dalamnya zuq (perasaan) Hubbu al-Ilahi atau lazimnya disebut Mahabbah.
- Jika diperhatikan dari tingkatan Mahabbah oleh al-Sarraj, maka Rabi’ah
termasuk pada tingkatan kedua yakni cinta seorang yang shadiq.
- Rabi’ah seorang sufi yang menonjol dalam maqam al-Mahabbah. Dia melihat
Tuhan kemudian dia mencintainya, setelah melalui maqam-maqam
sebelumnya; yang dijalani oleh paa sufi.
19)
Al-Faqi, Muhammad, Al-Tasawwuf Hayat wa Suluk, Kairo, 1979, hal. 34.
9
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
DAFTAR BACAAN
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press,
1986.
Qandil Mun’im Abdul., Figur Wanita Sufi, Surabaya, Pustaka Progressif, 1995.
10
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
SUFI WANITA
RABI’AH AL-ADAWIAH : MENCAPAI AL-HUBB AL-ILAHI
KARYA ILMIAH
D
I
T
U
L
I
S
OLEH
11
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara
JURUSAN BAHASA ARAB
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
1 9 9 4
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................... ii
SUFI WANITA RABI’AH AL-ADAWIAH : MENCAPAI AL-HUBB ALL-
ILAHI 1
1. Pendahuluan ................................................................................... 1
2. Riwayat Singkat Rabi’ah Al-Adawiah ............................................. 2
3. Pengertian Al-Hubb Al-Ilahi ........................................................... 8
4. Kesimpulan ..................................................................................... 17
DAFTAR BACAAN .............................................................................. 18
12
e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara