Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN PEMASARAN RUMAH SAKIT

“ Costumer Focus - CRM”

OLEH

AULIA MUSTIKA S

NIM 14011136

JURUSAN/SEMESTER :MANAJEMEN RUMAH SAKIT /VI

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

STIKes HANG TUAH PEKANBARU

2015/2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyusun makalah yang berjudul CRM dengan baik.

Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Manajemen Pemesaran Rumah Sakit,
selain itu juga dapat menambah wawasan dan pengetahuan.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Leon Candra SKM.MKes yang telah
membimbing saya dalam pembuatan makalah ini serta teman–teman yang telah ikut
berpartisipasi. Saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Apabila dalam
penyusunan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca sebagaimana yang


diharapkan.

Pekanbaru, 19 juni 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................................................

Daftar Isi ....................................................................................................................

Bab I Pendahuluan .....................................................................................................

Latar Belakang ...........................................................................................................

Bab II Pembahasan

a. Costumer Focus (CRM)

- Konsep Pelanggan ...................................................................................

- Kepuasan Pelanggan ...............................................................................

- Kebutuhan Pelanggan Internal Dan Eksternal ........................................

- Pembentukan Focus Pada Pelanggan ......................................................

- Fungsi Pengembangan Kualitas Dan Implementasinya ..........................

Bab III penutup

Kesimpulan ...............................................................................................................

Daftar Pustaka ...........................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pengertian secara umum mengenai kepuasan atau ketidakpuasan konsumen merupakan hasil
dari adanya perbedaan –perbedaan antara harapan konsumen dengan kinerja yang dirasakan oleh
konsumen tersebut.Dari beragam definisi kepuasan konsumen yang telah diteliti dan
didefinisikan oleh para ahli pemasaran, dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen
merupakan suatu tanggapan perilaku konsumen berupa evaluasi purna beli terhadap suatu barang
atau jasa yang dirasakannya (kinerja produk) dibandingkan dengan harapan konsumen.
Kepuasan konsumen ini sangat tergantung pada persepsi dan harapan konsumen itu sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen ketika melakukan pembelian
suatu barang atau jasa adalah kebutuhan dan keinginan yang dirasakan oleh konsumen tersebut
pada saat melakukan pembelian suatu barang atau jasa, pengalaman masa lalu ketika
mengkonsumsi barang atau jasa tersebut serta pengalaman teman-teman yang telah
mengkonsumsi barang atau jasa tersebut dan periklanan.
Didalam lingkungan yang kompetitif, indikator yang dapat menunjukkan kepuasan
konsumen adalah apakah konsumen tersebut akan membeli kembali dan menggunakan produk
tersebut diwaktu yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
Costumer Focus (CRM)
Konsep Pelanggan
Berdasarkan pandangan tradisional, pelanggan suatu perusahaan adalah orang yang
membeli dan menggunakan produknya. Hoyle (2007:189) berpendapat customer is an
organization or person that receives a product from another organization and includes,
consumer is client, end user, retailer, beneficiary, and purchaser. Pelanggan adalah
organisasi atau orang yang menerima produk dari organisasi lainnya, langganan termasuk klien,
pemakai akhir, pengecer, penerima kegunaan organisasi, dan pembeli. Hal senada disebutkan
dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008:809) bahwa pelanggan adalah orang (tempat) yang
mempunyai hubungan tetap dalam hal jual beli, sebagai pengguna produk.
Tjiptono dan Diana (2003:100) berpendapat pelanggan merupakan orang yang
berinteraksi dengan perusahaan setelah proses menghasilkan produk. Sedangkan pihak-pihak
yang berinteraksi dengan perusahaan sebelum tahap proses menghasilkan produk disebut sebagai
pemasok. Berdasarkan pandangan tradisional pelanggan dan pemasok merupakan entitas
eksternal.
Pendidikan telah didefinisikan sebagai penyedia jasa, yang meliputi biaya pendidikan,
penilaian dan bimbingan bagi peserta didik, orang tua peserta didik, dan para pendukung
(Supriyanto, 1999:25). Lebih lanjut Supriyanto (1999:25) mengklasifikasi pelanggan dalam
bidang pendidikan adalah pelanggan primer, sekunder, dan tersier. Pelanggan primer adalah
mereka yang langsung menerima jasa pendidikan tersebut yaitu peserta didik. Pelanggan
sekunder adalah mereka yang mendukung pendidikan seperti orang tua dan pemerintah.
Pelanggan tersier adalah mereka yang secara tidak langsung memiliki andil, tetapi memiliki
peranan penting dalam pendidikan (selaku pemegang kebijakan) seperti pegawai, pemerintah,
dan masyarakat.
Adanya perbedaan pelanggan ini maka diperlukan suatu perhatian khusus dari lembaga
pendidikan terhadap keinginan pelanggannya. Hal ini penting untuk mengembangkan
mekanisme pelayanan pendidikan yang diberikan. Jika perhatian khusus terhadap perbedaan
yang ada diabaikan oleh lembaga pendidikan, maka akan berdampak pada kehilangan pelanggan
potensial.
Berdasarkan pandangan TQM menurut Tjiptono dan Diana (2003:100) pelanggan dan
pemasok ada di dalam dan di luar organisasi. Pelanggan eksternal adalah orang yang membeli
dan menggunakan produk perusahaan. Pemasok eksternal adalah orang di luar organisasi yang
menjual bahan baku, informasi, atau jasa kepada organisasi. Supriyanto (1999:27)
mengemukakan dalam bidang pendidikan, pelanggan internal adalah pegawai sekolah,
sedangkan pelanggan eksternal adalah peserta didik. Fokus utama dari lembaga pendidikan ialah
pada pelanggan eksternal (peserta didik).
Sedangkan di dalam organisasi juga ada pelanggan internal dan pemasok internal.
Misalnya dalam suatu lembaga pendidikan, guru A sebagai guru mata pelajaran biasa dan Guru
B sebagai wali kelas. Guru B sebagai wali kelas memiliki tugas memasukkan nilai ujian siswa ke
dalam rapor dan guru A sebagai guru mata pelajaran yang memiliki tugas menilai siswa dan
hasilnya dilaporkan kepada guru B untuk dimasukkan ke dalam rapor.
Berdasarkan ilustrasi tersebut guru A merupakan pemasok bagi guru B dan guru B
sendiri merupakan pelanggan bagi guru A. Guru B sebagai wali kelas tidak dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik bila guru A tidak melakukan pekerjaannya dengan baik pula. Kualitas
pekerjaan guru A mempengaruhi guru B. Konsep ketergantungan (dependency) seperti ini
penting dalam hubungan pemasok dengan pelanggan.

Kepuasan Pelanggan
Hakikatnya tujuan organisasi adalah menciptakan dan mempertahankan para pelanggan.
Berdasarkan pendekatan TQM, kualitas menurut Tjiptono dan Diana (2003:101) ditentukan oleh
pelanggan. Oleh karena itu hanya dengan memahami proses dan pelanggan maka organisasi
dapat menyadari dan menghargai makna kualitas. Semua usaha manajemen dalam TQM
diarahkan pada satu tujuan utama, yaitu terciptanya kepuasan pelanggan.
Band (1991) berpendapat kepuasan pelanggan merupakan suatu tingkatan di mana
kebutuhan, keinginan, dan harapan dari pelanggan dapat terpenuhi yang akan mengakibatkan
terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan yang berlanjut. Gerson (1993:5) mengemukakan
customer satisfaction it is the customer’s perception that his or her expectations have
been met or surpassed. Kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan tentang harapannya
apakah telah sesuai atau melebihi dari yang diharapkannya terhadap suatu organisasi.
Disimpulkan kepuasan pelanggan adalah sejauh mana kinerja produk memenuhi harapan
pemakai. Jika kinerja produk lebih rendah daripada harapan pelanggan, maka pembelinya tidak
puas. Bila prestasi sesuai atau melebihi harapan, maka pembelinya merasa puas.
Tingkat kepuasan adalah fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dan harapan
(Kotler, 1997). Dengan demikian, harapan pelanggan melatarbelakangi mengapa dua organisasi
pada jenis bisnis yang sama dapat dinilai berbeda oleh pelanggannya. Dalam konteks kepuasan
pelanggan, umumnya harapan merupakan perkiraan atau keyakinan pelanggan tentang apa yang
akan diterimanya. Harapan mereka dibentuk oleh pengalaman pembelian dahulu, komentar
teman dan kenalannya serta janji dari organisasi tersebut. Harapan-harapan pelanggan ini dari
waktu ke waktu berkembang seiring dengan semakin bertambahnya pengalaman pelanggan.
Adanya kepuasan pelanggan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu menurut
Tjiptono (2004:9) adalah 1) terjalin hubungan yang harmonis antara organisasi dan pelanggan, 2)
memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang, 3) mendorong terciptanya loyalitas
pelanggan, 4) membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang
menguntungkan bagi organisasi, 5) reputasi perusahaan menjadi baik di mata pelanggan, dan 6)
laba yang diperoleh dapat meningkat.
Pelanggan merupakan penerima hasil kerja suatu organisasi, sehingga merekalah yang
dapat menentukan kualitasnya seperti apa dan hanya mereka yang dapat menyampaikan apa dan
bagaimana kebutuhan mereka. Hal ini merupakan penyebab munculnya slogan kualitas dimulai
dari pelanggan.
Ada beberapa unsur penting menurut Tjiptono dan Diana (2003:103) di dalam kualitas
yang ditetapkan pelanggan, yaitu 1) pelanggan haruslah merupakan prioritas utama organisasi,
kelangsungan organisasi tergantung pada pelanggan, 2) pelanggan yang dapat diandalkan
merupakan pelanggan yang paling penting, pelanggan yang dapat diandalkan adalah pelanggan
yang membeli/memakai produk secara berulang/berkali-kali dan pelanggan yang merasa puas
terhadap produk organisasi, dan 3) kepuasan pelanggan dijamin dengan menghasilkan produk
berkualitas tinggi, kepuasan berimplikasi pada perbaikan terus-menerus sehingga kualitas harus
diperbaharui setiap saat agar pelanggan tetap puas dan loyal.
Kepuasan pelanggan merupakan prioritas paling utama dalam organisasi TQM, sehingga
organisasi harus memiliki fokus pada pelanggan. Kunci untuk membentuk fokus pada pelanggan
adalah menempatkan pegawai untuk berhubungan dengan pelanggan dan memberdayakan
mereka untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memuaskan pelanggan. Unsur
penting dalam pembentukan fokus pada pelanggan adalah interaksi antara pegawai dan
pelanggan.
Pemantauan dan pengukuran kepuasan pelanggan juga menjadi hal yang esensial bagi
setiap organisasi. Hal ini dikarenakan langkah tersebut dapat memberikan umpan balik dan
masukan bagi keperluan pengembangan dan implementasi strategi organisasi dalam peningkatan
kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan dapat diukur dengan berbagai metode. Beberapa
macam metode dalam pengukuran kepuasan pelanggan menurut Kotler dalam Tjiptono dan
Diana (2003:104-105) adalah:
1. Sistem keluhan dan saran, organisasi yang berpusat pada pelanggan (customer centered)
memberikan kesempatan yang luas kepada pelanggan untuk menyampaikan saran dan
keluhan, misalnya menyediakan kotak saran dan customer hot lines. Informasi yang
dihimpun dapat digunakan sebagai dasar pengembangan ide organisasi dan bereaksi secara
tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah yang terjadi,
2. Ghost shopping, salah satu untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan
adalah dengan mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli
potensial, kemudian melaporkan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan
produk organisasi dan pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian/pemakaian
produk. Selain itu para ghost shopper juga dapat mengamati cara penanganan setiap
keluhan,
3. Lost customer analysis, organisasi seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah
berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami latar belakang hal
itu terjadi,
4. Survey kepuasan pelanggan, umumnya penelitian mengenai kepuasan pelanggan dilakukan
dengan penelitian survey dan menggunakan teknik wawancara. Hal ini karena dengan
survey organisasi akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari
pelanggan dan memberi tanda (signal) positif bahwa organisasi memiliki perhatian terhadap
pelanggan.
Metode Performance Importance Matrix digunakan untuk mengetahui kepuasan
pelanggan dengan cara responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka
mengharapkan suatu atribut tertentu dan seberapa besar yang mereka rasakan. Responden
diminta menuliskan masalah-masalah yang mereka hadapi yang berkaitan dengan penawaran
dari organisasi dan diminta untuk menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan. Dan
responden diminta merangking elemen atau atribut penawaran berdasarkan derajat kepentingan
setiap elemen dan seberapa baik kinerja organisasi pada masing-masing elemen.
Beberapa dimensi pengukuran kepuasan pelanggan yang sering dipakai adalah 1)
responsiveness (ketanggapan), kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaan untuk
melayani pelanggan dengan baik, 2) reliability (keandalan), kemampuan untuk melakukan
pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan, 3) emphaty (empati),
rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, memahami
kebutuhan pelanggan, dan pengetahuan untuk dihubungi, 4) assurance (jaminan) pengetahuan,
kesopanan petugas, dan sifatnya yang dapat dipercaya sehingga pelanggan terbebas dari risiko,
dan 5) tangibles (bukti langsung), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan karyawan, dan sarana
komunikasi.
Bentuk metode Performance Importance Matrix untuk mengukur kepuasan pelanggan
adalah:
1. Traditional Approach, berdasarkan pendekatan ini pelanggan diminta memberikan penilaian
atas masing-masing indikator produk atau jasa yang mereka nikmati (pada umumnya
menggunakan skala Likert) yaitu dengan cara memberikan rating dari 1 (sangat tidak puas)
sampai 5 (sangat puas), selanjutnya dihitung nilai rata-rata tiap variabel dan dibandingkan
dengan nilai secara keseluruhan,
2. Analisis Secara deskriptif, seringkali penilaian kepuasan pelanggan tidak hanya berhenti
sampai diketahui puas atau tidak puas, yaitu dengan menggunakan analisis statistik secara
deskriptif, misalnya melalui penghitungan nilai rata-rata, nilai distribusi, dan standar
devisiasi,
3. Analisis Importance and Performance Matrix (IPM), konsep ini mengukur tingkat
kepentingan pelanggan (customer expectation) diukur dalam kaitannya dengan apa yang
seharusnya dikerjakan oleh suatu organisasi agar menghasilkan produk atau jasa yang
berkualitas tinggi. Lebih rinci hubungan importance (kepentingan pelanggan) dengan
performance (penampilan kinerja) seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Importance and Performance Matrix (Umar dalam Natalisa, 2007:93)

Kuadran I focus effort here (prioritas utama/attributes to improve), kinerja suatu


variabel adalah lebih rendah dari keinginan konsumen sehingga kinerja organisasi harus
ditingkatkan agar optimal. Kuadran I merupakan wilayah yang memuat faktor-faktor dianggap
penting oleh pelanggan tetapi pada kenyataannya faktor-faktor ini belum sesuai seperti yang di
harapkan (tingkat kepuasan yang diperoleh masih sangat rendah). Variabel-variabel yang masuk
dalam kuadran ini harus ditingkatkan. Caranya adalah organisasi melakukan perbaikan secara
terus menerus sehingga performance variable yang ada dalam kuadran ini akan meningkat.
Kuadran II maintain performance (kinerja dipertahankan), kinerja dan keinginan
konsumen pada suatu variabel berada pada tingkat tinggi dan sesuai, sehingga organisasi cukup
mempertahankan kinerja variabel tersebut. Kuadran II merupakan wilayah yang memuat faktor-
faktor yang dianggap oleh pelanggan sudah sesuai dengan yang dirasakannya sehingga tingkat
kepuasannya relatif lebih tinggi. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini harus tetap
dipertahankan karena semua variabel ini menjadikan produk/jasa tersebut unggul di mata
pelanggan.
Kuadran III medium low priority (prioritas rendah/attributes to maintain), kinerja dan
keinginan konsumen pada suatu variabel berada pada tingkat rendah, sehingga organisasi belum
perlu melakukan perbaikan. Kuadran III adalah wilayah yang memuat faktor-faktor yang
dianggap kurang penting oleh pelanggan dan pada kenyataannya kinerjanya tidak terlalu
istimewa. Peningkatan variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat
dipertimbangkan kembali karena pengaruhnya terhadap manfaat yang dirasakan oleh pelanggan
sangat kecil.
Kuadran IV reduce emphasis (pelayanan berlebihan/main priority), kinerja organisasi
berada dalam tingkat tinggi tetapi keinginan konsumen akan kinerja dari variabel tersebut hanya
rendah, sehingga organisasi perlu mengurangi hasil yang dicapai agar dapat mengefisienkan
sumber daya organisasi. Kuadran IV adalah wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap
kurang penting oleh pelanggan dan dirasakan terlalu berlebihan. Variabel-variabel yang
termasuk dalam kuadran ini dapat dikurangi agar perusahaan dapat menghemat biaya.
Berdasarkan hasil observasi Peters dalam Tjiptono dan Diana (2003:106-107)
menyimpulkan sepuluh kunci dalam pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu:
1. Frekuensi, setiap organisasi perlu melakukan survey formal mengenai kepuasan
pelanggannya paling sedikit setiap 60 sampai dengan 90 hari sekali. Di samping itu juga
perlu diadakan survey informal paling sedikit setiap bulan sekali,
2. Format, sebaiknya yang melakukan survey formal adalah pihak ketiga di luar organisasi.
Hasil yang diperoleh harus disampaikan kepada semua pihak dalam organisasi. Setiap
keluhan dari pelanggan juga harus diketahui oleh semua jajaran organisasi, baik manajemen
maupun pegawai,
3. Isi (content), sebaiknya pertanyaan yang diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan standar yang
dikuantitatifkan,
4. Desain isi, organisasi perlu melakukan pendekatan sistematis dalam memperhatikan setiap
pandangan yang ada. Tidak ada satu pun ukuran atau instrumen survey yang paling baik
untuk segala kondisi. Oleh karena itu diperlukan pula koordinasi dan cross checking
terhadap berbagai ukuran yang ada,
5. Melibatkan setiap orang, focus grup informal harus melibatkan semua fungsi dan level dalam
organisasi. Dengan demikian mereka yang mengunjungi pelanggan haruslah terdiri dari
semua fungsi, semua level (dari pegawai front line sampai dengan manajemen puncak).
Demikian pula halnya dengan pemasok, grosir (wholesaler), dan anggota saluran distribusi
lainnya harus berpartisipasi, baik secara formal maupun informal,
6. Mengukur kepuasan setiap orang, organisasi harus mengukur kepuasan semua pihak, baik
pelanggan langsung maupun pelanggan tak langsung, yaitu pemakai akhir dan setiap anggota
saluran distribusi,
7. Kombinasi berbagai ukuran, ukuran yang digunakan harus dibatasi pada skor kuantitatif
gabungan terhadap a) beberapa individu, misalnya pegawai bagian laboratorium, b)
kelompok (tim pengiriman atau pusat reservasi), c) fasilitas (kantor tata usaha, laboratorium),
dan d) divisi (bagian kurikulum, peserta didik),
8. Hubungan dengan kompensasi dan reward lainnya, hasil pengukuran kepuasan pelanggan
harus dikaitkan dengan sistem kompensasi dan reward lainnya. Misalnya dijadikan variabel
utama dalam penentuan kompensasi insentif dalam penjualan,
9. Penggunaan ukuran secara simbolik, ukuran kepuasan pelanggan yang digunakan perlu
dipasang dan ditempatkan di setiap bagian organisasi,
10. Bentuk pengukuran lainnya, setiap deskripsi kerja harus mencakup pula deskripsi kualitatif
mengenai hubungan pegawai yang bersangkutan dengan pelanggan, dan setiap evaluasi
kinerja harus mencakup penilaian terhadap sejauh mana seorang karyawan memiliki
customer orientation.

Kebutuhan Pelanggan Internal dan Eksternal


Berdasarkan pendekatan tradisional, pelanggan tidak dilibatkan dalam proses
pengembangan produk. Apabila pendekatan ini digunakan dalam situasi persaingan yang
kompetitif, maka organisasi akan sangat sulit bersaing dan sangat mungkin mengalami
kehancuran. Kebutuhan pelanggan dalam pendekatan TQM diidentifikasi sebagai bagian dari
pengembangan produk. Tjiptono dan Diana (2003:108) berpendapat tujuan organisasi
menggunakan pendekatan ini adalah untuk melampaui harapan pelanggan, buka sekedar
memenuhinya. Untuk itu perlu dikumpulkan informasi yang akurat mengenai kebutuhan dan
keinginan pelanggan atas produk/jasa yang dihasilkan organisasi.
Organisasi dengan demikian dapat memahami dengan baik perilaku pelanggan pada pasar
sasarannya, sehingga organisasi dapat menyusun strategi dan program yang tepat dalam rangka
memanfaatkan peluang yang ada, menjalin hubungan dengan setiap pelanggan dan mengungguli
para pesaingnya. Untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dapat digunakan suatu
pendekatan yang menurut Tjiptono dan Diana (2003:108) terdiri dari atas enam langkah, yaitu:
1. Memperkirakan hasil,
2. Mengembangkan rencana untuk mengumpulkan informasi,
3. Mengumpulkan informasi,
4. Menganalisa hasil,
5. Memeriksa kesahihan (validitas) kesimpulan,
6. Mengambil tindakan.
Kunci utama untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan internal adalah komunikasi
secara terus-menerus antarpegawai yang saling terkait dan tergantung satu sama lain sebagai
individu dan antardepartemen yang saling tergantung sebagai suatu unit. Komunikasi tersebut
setiap pihak menyampaikan kebutuhannya kepada pihak lain, sehingga terjadi saling pengertian
dan kerja sama antarindividu maupun antardepartemen dalam organisasi.
Untuk mendorong dan memudahkan komunikasi dapat digunakan mekanisme gugus
mutu (quality circles), self managed team, tim antardepartemen, dan tim perbaikan.
Mekanisme ini selain dapat memudahkan komunikasi di antara pelanggan dan pemasok internal,
juga dapat meningkatkan kualitas. Selain mekanisme tersebut terdapat berbagai cara lain dalam
mendorong komunikasi yang efektif, seperti pembicaraan santai saat istirahat dan pelatihan
keterampilan berkomunikasi.
Komunikasi secara berkesinambungan dengan pelanggan eksternal juga sangat penting
dalam pasar kompetitif. Strategi yang tepat dalam rangka pembentukan fokus pada pelanggan
adalah dengan jalan membentuk mekanisme efektif untuk memudahkan komunikasi dan
kemudian melaksanakannya. Salah satu alasan perlunya komunikasi secara terus-menerus adalah
bahwa kebutuhan pelanggan selalu berubah sepanjang waktu dan bahkan perubahannya dapat
berlangsung cepat. Melalui komunikasi ini organisasi dapat memantau setiap perkembangan dan
perubahan yang terjadi. Bila hal ini tidak terantisipasi maka organisasi dapat kalah dalam
persaingan. Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kebutuhan pelanggan yang baru antara
lain teknologi baru, persaingan pasar, perubahan selera, pergolakan sosial, dan konflik (daerah,
nasional, dan internasional).
Komunikasi yang baik dengan pelanggan harus mencakup pelanggan internal dan
eksternal. Apa yang diterapkan dalam berkomunikasi dengan pihak luar juga dapat digunakan
dalam berkomunikasi dengan pihak internal organisasi. Komunikasi dengan para pegawai tidak
cukup hanya dengan menyampaikan informasi seperti spesifikasi, standar, prosedur, dan metode
kerja. Di samping itu ada hal lain yang penting dalam komunikasi. Menurut Tjiptono dan Diana
(2003:109) hal tersebut adalah 1) perlu menyediakan sarana bagi pegawai untuk menyampaikan
pandangan dan idenya, dan 2) perlu menjelaskan kepada para pegawai mengenai tindakan-
tindakan manajemen yang menurut mereka berlawanan dengan kualitas.

Pembentukan Fokus pada Pelanggan


Fokus pada pelanggan menurut International Standard Organization (2000:5) ialah top
manajemen harus menjamin persyaratan/keinginan pelanggan yang ditetapkan dan dipenuhinya
tujuan meningkatkan kepuasan pelanggan. Whitely dalam Goetsch dan Davis (1994:149-150)
mengemukakan karakteristik organisasi yang sukses dalam membentuk fokus pada pelanggan,
yaitu:
1. Visi, komitmen, dan suasana
Manajemen menunjukkan (baik dengan kata dan tindakan) bahwa pelanggan itu penting
bagi organisasi, organisasi memiliki komitmen besar terhadap kepuasan pelanggan, dan
kebutuhan pelanggan lebih diutamakan dari kebutuhan internal organisasi. Salah satu cara untuk
menunjukkan komitmen itu adalah menjadikan fokus pada pelanggan sebagai faktor utama
dalam pertimbangan kenaikan pangkat (promosi) dan kompensasi.
2. Penjajaran dengan pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven (menyesuaikan dengan perubahan selera
pelanggan) menyejajarkan dirinya dengan para pelanggan. Hal ini tercermin dalam beberapa hal,
yaitu a) pelanggan berperan sebagai penasihat dalam penjualan barang dan pelayanan, b)
pelanggan tidak pernah dijanjikan sesuatu yang lebih daripada yang dapat diberikan, c) pegawai
memahami atribut produk yang paling dihargai pelanggan, dan d) masukan dan umpan balik dari
pelanggan dimasukkan dalam proses pengembangan produk/pelayanan.
3. Kemauan untuk mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven selalu berusaha untuk mengidentifikasi dan
mengatasi permasalahan para pelanggannya. Hal ini tercermin dalam hal, yaitu a) keluhan
pelanggan dipantau dan dianalisa, b) selalu mengupayakan adanya umpan balik dari pelanggan,
dan c) organisasi berusaha mengidentifikasi dan menghilangkan proses, prosedur, dan sistem
internal yang tidak menciptakan nilai bagi pelanggan.
4. Memanfaatkan informasi dari pelanggan
Organisasi yang bersifat customer driven tidak hanya mengumpulkan umpan balik dari
pelanggan, tetapi juga menggunakan dan menyampaikannya kepada semua pihak yang
membutuhkan dalam rangka melakukan perbaikan. Pemanfaatan informasi pelanggan ini
tercermin dalam hal, yaitu a) semua pegawai memahami bagaimana pelanggan menentukan
kualitas, b) pegawai pada semua level diberi kesempatan untuk bertemu dengan pelanggan, c)
pegawai mengetahui siapa yang menjadi pelanggan sesungguhnya, d) organisasi memberikan
informasi yang membantu terciptanya harapan realistis kepada para pelanggan, prinsip dasarnya
ialah janjikan apa yang bisa diberikan, tetapi berikan lebih dari yang dijanjikan, dan e) pegawai
dan manajer memahami kebutuhan dan harapan pelanggan.
5. Mendekati para pelanggan
Berdasarkan pendekatan TQM, tidak cukup bila organisasi hanya pasif dan menunggu
umpan balik yang disampaikan oleh pelanggannya. Berbagai bidang yang kompetitif menuntut
pendekatan yang lebih aktif. Mendekati pelanggan berarti melakukan hal-hal yaitu a)
memudahkan pelanggan untuk menjalankan bisnis, b) berusaha untuk mengatasi semua keluhan
pelanggan, dan c) memudahkan pelanggan dalam menyampaikan keluhannya, misalnya melalui
telepon, surat, dan datang langsung.
6. Kemampuan, kesanggupan, dan pemberdayaan pegawai
Pegawai diperlukan sebagai profesional yang memiliki kemampuan dan diberdayakan
untuk menggunakan pertimbangannya sendiri dalam melakukan hal-hal yang dianggap perlu
dalam rangka memuaskan kebutuhan pelanggan. Hal ini berati setiap pegawai memahami
produk/jasa yang mereka tawarkan dan kebutuhan pelanggan yang berkaitan dengan produk/jasa
tersebut. Ini juga berarti bahwa pegawai diberi sumber daya dan dukungan yang diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
7. Penyempurnaan produk dan proses secara terus-menerus
Organisasi yang bersifat customer driven melakukan setiap tindakan yang diperlukan
untuk secara terus-menerus memperbaiki produk/jasa dan proses yang menghasilkan produk/jasa
tersebut. Pendekatan ini diwujudkan dalam hal, yaitu a) kelompok fungsional internal bekerja
sama untuk mencapai sasaran bersama, b) praktik-praktik terbaik yang berkaitan dengan bidang
pendidikan dipelajari dan dilaksanakan, c) waktu siklus riset dan pengembangan secara terus-
menerus dikurangi, d) setiap masalah diatasi dengan segera, dan e) investasi dalam
pengembangan ide-ide inovatif dilakukan.
Ketujuh karakteristik tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dan membentuk fokus
pada pelanggan. Pada tahap awal setiap organisasi perlu melakukan analisis diri. Dalam analisis
ini akan ditentukan karakteristik mana yang sudah dan belum ada dalam organisasi. Organisasi
perlu mewujudkan karakteristik yang belum ada tersebut sehingga fokus pada pelanggan dapat
terbentuk.

Fungsi Pengembangan Kualitas dan Implementasinya


Hal yang diketahui sebelum suatu produk/jasa mulai diproses adalah apakah produk/jasa
tersebut dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. Hal ini merupakan alasan utama perlunya
dilakukan riset untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan pentingnya berkomunikasi
dengan pelanggan internal dan eksternal. Konsep Quality Function Deployment (QFD)
menurut menurut Tjiptono dan Diana (2003:112) dikembangkan untuk menjamin bahwa
produk/jasa yang memasuki tahap produksi/proses benar-benar akan dapat memuaskan
kebutuhan pelanggan dengan jalan membentuk tingkat kualitas yang diperlukan dan kesesuaian
maksimum pada setiap tahap pengembangan produk/jasa. QFD dikembangkan untuk
memperbaiki komunikasi, pengembangan produk/jasa, serta proses dan sistem pengukuran.
Fokus utama QFD adalah melibatkan pelanggan pada proses pengembangan produk/jasa
sedini mungkin. Filosofi yang mendasarinya adalah bahwa pelanggan tidak akan puas dengan
suatu produk/jasa (meskipun suatu produk/jasa yang telah dihasilkan dengan sempurna) bila
mereka memang tidak menginginkan atau membutuhkannya. Berdasarkan uraian tersebut
disimpulkan, QFD merupakan praktik untuk merancang suatu proses sebagai tanggapan terhadap
kebutuhan pelanggan. QFD menerjemahkan apa yang dibutuhkan pelanggan menjadi apa yang
dihasilkan organisasi.
Aktivitas QFD menurut Tjiptono dan Diana (2003:113) adalah:
1. Penjabaran persyaratan pelanggan (kebutuhan akan kualitas),
2. Penjabaran karakteristik kualitas yang dapat diukur,
3. Penentuan hubungan antara kebutuhan kualitas dan karakteristik,
4. Penetapan nilai-nilai berdasarkan angka tertentu terhadap masing-masing karakteristik
kualitas,
5. Penyatuan karakteristik kualitas ke dalam produk/jasa,
6. Perancangan, produksi/proses, dan pengendalian kualitas produk/jasa.
Penerapan QFD dapat mengurangi waktu dan biaya desain produk/jasa organisasi secara
bersamaan dengan dipertahankan dan ditingkatkannya kualitas desain. Manfaat lain dari QFD
menurut Tjiptono dan Diana (2003:114-115) adalah a) fokus pada pelanggan, b) efisiensi waktu,
c) orientasi kerja sama tim, dan d) orientasi pada dokumentasi.
Fokus pada pelanggan, organisasi TQM merupakan organisasi yang berfokus pada
pelanggan. QFD memerlukan pengumpulan masukan dan umpan balik dari pelanggan. Informasi
tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam sekumpulan persyaratan pelanggan yang spesifik.
Kinerja organisasi dan pesaing dalam memenuhi persyaratan tersebut dipelajari dengan teliti.
Dengan demikian organisasi dapat mengetahui sejauh mana organisasi itu sendiri dan pesaingnya
memenuhi kebutuhan pelanggan.
Efisiensi waktu, QFD dapat mengurangi waktu pengembangan produk/jasa karena
memfokuskan pada persyaratan pelanggan yang spesifik dan telah diidentifikasi dengan jelas.
Oleh karena itu tidak terjadi pemborosan waktu untuk mengembangkan ciri-ciri produk/jasa
yang tidak atau hanya memberikan sedikit nilai (value) kepada pelanggan.
Orientasi kerja sama tim, QFD merupakan pendekatan kerja sama tim. Semua keputusan
dalam proses didasarkan pada konsensus/kesepakatan dan dicapai melalui diskusi mendalam.
Oleh karena itu setiap tindakan yang dilakukan diidentifikasi sebagai bagian dari proses, maka
setiap individu memahami posisinya yang paling tepat dalam proses tersebut, sehingga pada
gilirannya hal ini mendorong kerja sama tim yang lebih kokoh.
Orientasi pada dokumentasi, salah satu produk/jasa yang dihasilkan dari proses QFD
adalah dokumen komprehensif mengenai semua data yang berhubungan dengan segala proses
yang ada dan perbandingannya dengan persyaratan pelanggan. Dokumen ini berubah secara
konstan setiap kali ada informasi baru yang dipelajari dan informasi lama yang lama dibuang.
Informasi yang up to date mengenai persyaratan pelanggan dan proses internal, sangat berguna
bila terjadi pergantian pegawai (turnover).
1. Struktur dan Proses QFD
Analogi yang paling sering digunakan untuk menggambarkan struktur QFD adalah suatu
matriks yang berbentuk rumah (house of quality) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur QFD House of Quality (Tjiptono dan Diana (2003:116)

Tembok rumah sebelah kiri (Komponen 1) adalah masukan dari pelanggan. Pada langkah
ini pemanufaktur berusaha menentukan segala persyaratan yang dikehendaki pelanggan dan
berhubungan dengan produk/jasa. Agar dapat memenuhi persyaratan pelanggan, pemanufaktur
mengusahakan spesifikasi kinerja tertentu dan menyaratkan pemasoknya untuk melakukan hal
yang sama. Langkah ini digambarkan pada bagian plafon/langit-langit rumah (Komponen 2).
Tembok rumah sebelah kanan (Komponen 3) merupakan matriks perencanaan. Matriks
ini merupakan komponen yang digunakan untuk menerjemahkan persyaratan pelanggan ke
dalam rencana-rencana untuk memenuhi atau melampaui persyaratan tersebut. Komponen ini
meliputi langkah-langkah seperti menggambarkan persyaratan pelanggan pada suatu matriks dan
proses pemanufakturan pada matriks lainnya, memprioritaskan persyaratan pelanggan, dan
mengambil keputusan mengenai perbaikan yang dibutuhkan dalam proses pemanufakturan.
Di bagian tengah (Komponen 4), persyaratan pelanggan dikonversikan ke dalam aspek-
aspek pemanufakturan. Misalnya pelanggan menginginkan menginginkan lulusan yang
berkompetensi dalam bidang kesehatan, maka persyaratan tersebut akan dikonversikan lembaga
pendidikan dengan membuka dan mengembangkan jurusan kedokteran.
Bagian bawah rumah (Komponen 5) merupakan daftar prioritas persyaratan proses
pemanufakturan. Sedangkan pada bagian atap (Komponen 6), langkah yang dilakukan adalah
identifikasi dari proses/kegiatan organisasi yang berhubungan dengan persyaratan
pemanufakturan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam Komponen 6 adalah apa yang terbaik
dapat dilakukan organisasi dengan mempertimbangkan persyaratan pelanggan dan kemampuan
pemanufakturan organisasi?
Setiap matriks yang dibuat sebagai bagian dari proses QFD harus distrukturkan menurut
bentuk rumah dalam Gambar 2. Tjiptono dan Diana (2003:117) mengemukakan siklus lengkap
proses QFD terdapat 6 matriks seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Proses Quality Function Deployment (QFD) (Tjiptono dan Diana


(2003:116)

Masing-masing matriks pada Gambar 3 memiliki manfaat tersendiri. Manfaat tersebut


adalah:
a) Matriks 1, digunakan untuk membandingkan persyaratan pelanggan dengan ciri-ciri teknikal
produk/jasa yang saling berhubungan,
b) Matriks 2, digunakan untuk membandingkan ciri-ciri teknikal pada Matriks 1 dengan
teknologi terapan. Matriks 1 dan 2 menghasilkan informasi yang dibutuhkan guna menjawab
pertanyaan-pertanyaan yaitu 1) apa yang menjadi kebutuhan pelanggan? 2) persyaratan
teknikal apa yang dibutuhkan sehubungan dengan ciri-ciri kebutuhan pelanggan? 3)
teknologi apa yang dibutuhkan untuk memenuhi atau melampaui persyaratan pelanggan? dan
4) kegiatan apa yang dilaksanakan sehubungan dengan persyaratan teknikal?
c) Matriks 3, digunakan untuk membandingkan teknologi terapan dari Matriks 2 dengan proses
pemanufakturan. Matriks ini bermanfaat dalam mengidentifikasi variabel penting dalam
proses pemanufakturan,
d) Matriks 4, bermanfaat untuk membandingkan proses pemanufakturan dari Matriks 3 dengan
proses pengendalian kualitas. Matriks ini menghasilkan informasi yang dibutuhkan untuk
mengoptimalisasikan proses,
e) Matriks 5, dipergunakan untuk membandingkan proses pengendalian kualitas dan proses
Statistical Process Control (SPC). Matriks ini memastikan bahwa parameter dan variabel
proses yang tepat digunakan,
f) Matriks 6, digunakan untuk membandingkan parameter SPC dengan spesifikasi yang telah
dikembangkan untuk produk/jasa akhir. Pada Matriks ini dilakukan penyesuaian untuk
menjamin bahwa produk/jasa yang dihasilkan merupakan produk/jasa yang dibutuhkan
pelanggan.
Proses QFD menjamin bahwa semua sumber daya digunakan secara optimal dalam
rangka memaksimalkan peluang organisasi untuk memenuhi atau melampaui persyaratan
pelanggan. Unsur yang paling penting dalam QFD adalah informasi dari pelanggan. Informasi
dari pelanggan menurut Tjiptono dan Diana (2003:119) dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori, yaitu.
a) Umpan balik, diperoleh setelah fakta terjadi. Hal ini berarti bahwa setelah suatu produk/jasa
dikembangkan, dihasilkan, dan ditentukan harganya. Umpan balik kurang sesuai digunakan
sebagai dasar dalam penentuan kesesuaian antara produk/jasa yang akan dihasilkan dan
kebutuhan pelanggan pada awal proses QFD. Meskipun demikian umpan balik sangat
bermanfaat dalam membantu memperbaiki produk/jasa apabila diproses lagi,
b) Masukan, diperoleh sebelum fakta terjadi. Dalam lingkungan pemanufakturan, hal ini berarti
selama pengembangan produk/jasa. Pengumpulan masukan dari pelanggan selama
pengembangan produk/jasa memungkinkan organisasi untuk membuat perubahan sebelum
memproses dan memasarkan produk/jasa.
2. Implementasi QFD
Proses implementasi QFD harus sistematis. Langkah-langkah implementasi Quality
Function Deployment (QFD) menurut Tjiptono dan Diana (2003:123-125) adalah:
a) Membentuk tim proyek
Tim proyek dibentuk berdasarkan sifat proyek yang akan ditangani. Apakah tim tersebut
menyempurnakan produk/jasa yang sudah ada atau mengembangkan produk/jasa baru? Bila
produk/jasa yang sudah ada akan disempurnakan maka tim tersebut harus terdiri atas personil
dari bagian hubungan masyarakat dan badan penjamin mutu. Bila produk/jasa baru akan
dikembangkan maka wakil-wakil dari bagian riset dan pengembangan harus dilibatkan pula.
Setiap anggota tim perlu memahami tujuan tim dan peranan mereka dalam tim tersebut.
b) Menyusun prosedur pemantauan
Manajemen perlu memantau setiap kemajuan yang dicapai tim proyek. Agar pemantauan
dapat dilakukan dengan baik, maka dibutuhkan perencanaan dan pengembangan prosedur
pemantauan. Ada tiga pertanyaan yang perlu diperhatikan dalam rangka melakukan hal tersebut,
yaitu 1) apa yang akan dipantau? 2) bagaimana memantaunya? dan 3) berapa kali frekuensi
pemantauannya?
c) Memilih proyek
Proyek perbaikan/penyempurnaan lebih baik dimulai pada permulaan daripada proyek
pengembangan produk/jasa baru. Proyek perbaikan memiliki keuntungan berupa tersedianya
informasi mengenai produk/jasa yang sudah ada dan telah ada pengalaman yang berhubungan
dengan produk/jasa bersangkutan. Bila tim QFD baru menangani produk baru, maka setiap
anggota tim akan menghadapi terlalu banyak hal yang baru, yaitu mengenai QFD itu sendiri,
informasi dari pelanggan, dan informasi mengenai produk yang akan dikembangkan.
d) Menyelenggarakan pertemuan untuk memulai QFD
Pertemuan ini merupakan pertemuan resmi tim yang diadakan untuk pertama kalinya.
Dalam pertemuan tersebut beberapa hal yang perlu dilaksanakan adalah 1) mengupayakan agar
semua peserta memahami misi tim proyek tersebut, 2) mengupayakan agar semua peserta
memahami peranannya masing-masing dan peranan rekan-rekannya, dan 3) menyusun parameter
pertemuan (waktu dan frekuensi pertemuan).
e) Melatih tim
Sebelum memulai proyek, semua anggota tim perlu diberi pelatihan asas-asas QFD.
Anggota tim perlu mempelajari cara menggunakan berbagai alat kualitas dan alat-alat spesifik
seperti diagram dan matriks. Selain itu setiap anggota tim juga harus memahami cara kerja QFD
sebagai suatu proses (Gambar 3).
f) Mengembangkan matriks
Bila setiap anggota tim telah memahami QFD, alat-alat QFD, dan format suatu matriks
QFD (Gambar 3), maka proses pengembangan matriks-matriks dapat dimulai. Siklus proses
QFD yang lengkap terdiri dari 6 matriks yang masing-masing terstruktur berdasarkan spesifikasi
pada Gambar 3.
Matriks pertama membandingkan persyaratan pelanggan dengan ciri-ciri teknikal
produk/jasa. Hasil dari pengembangan matriks pertama adalah suatu ringkasan
kebutuhan/persyaratan pelanggan dan suatu dokumen konsep yang menggambarkan ciri-ciri
produk/jasa yang harus ada agar dapat memenuhi harapan pelanggan.
Matriks kedua membandingkan ciri-ciri teknikal dan teknologi terapan. Matriks ketiga
membandingkan teknologi terapan dan proses pemanufakturan. Matriks keempat
membandingkan proses pemanufakturan dan proses pengendalian kualitas. Matriks kelima
membandingkan proses pengendalian kualitas dan pengendalian proses statistika. Sedangkan
matriks terakhir membandingkan pengendalian proses statistika dan spesifikasi produk akhir.
Dalam mempersiapkan semua matriks ini, alat-alat spesifik QFD digunakan sesuai dengan
kebutuhan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menarik pelanggan dan mempertahankan pelanggan merupakan bagaimana mendapatkan


pelanggan (customer) potensial yang baru serta mampu mempertahankan supaya pelanggan
yang lama tetap loyal dengan satu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain. Pelanggan
merupakan bagian yang sangat terpenting bagi perusahaan, karena dapat mempertahankan
kelangsungan hidup perusahaan.

Didalam dunia bisnis ini, setiap pelaku bisnis harus mampu menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup perusahaannya agar bisnis mereka dapat bersaing
kompetitif di domestik maupun di luar negeri. Agar perusahaan mampu bersaing dengan
perusahaan lain serta mendapatkan keuntungan (profitabilitas) yang kompetitf pula, pelaku
bisnis harus dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan pelanggan (customer) potensial
yang baru serta mampu mempertahankan supaya pelanggan tetap loyal pada perusahaan dengan
tidak melupakan etika bisnis. Karena dengan adanya etika bisnis yang dimiliki setiap pelaku
bisnis, mampu menciptakan persaingan yang sehat dalam dunia bisnis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasution. 2004. Manajemen Jasa Terpadu. Jakarta: Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai