Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik
dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas
dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan; disertai fenomena
tetesan lilin, Auspitz, dan Köbner.1
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini tidak
menyebabkan kematian tetapi menyebabkan gangguan kosmetik, terlebih
mengingat bahwa perjalanannya menahun dan residif.1
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang ditandai dengan
proliferasi dan diferensiasi abnormal sel keratinosit yang diperantarai oleh
aktivasi sel T, yang mengenai 2.5% dari populasi dunia. Insidens pada orang
kulit putih lebih tinggi daripada penduduk kulit berwarna. Di Eropa
dilaporkan sebanyak 3-7%, di Amerika Serikat 1-2%, sedangkan di Jepang
0,6%. Pada bangsa berkulit hitam, misalnya di Afrika, jarang dilaporkan,
demikian pula bangsa Indian di Amerika.1 Insidens di Asia cenderung
rendah (0,4%).2,4 Data epidemiologi yang di dapat dari 10 Rumah Sakit di
Indonesia selama tahun 1996-1998 menunjukan bahwa prevalensi penderita
psoriasis bervariasi dari 0.59% - 0-92%.2,45
Penyakit ini terjadi pada segala usia, tetapi umumnya pada orang
dewasa dan jarang ditemukan pada usia di bawah 10 tahun. Kelainan ini
sering ditemukan pada usia 15-30 tahun. Puncak usia kedua adalah 57-60
tahun. Insiden psoriasis pada pria agak lebih banyak daripada wanita,
psoriasis dapat terjadi pada semua usia, tetapi umumnya pada orang
dewasa.1 Seperti lazimnya penyakit kronis, mortalitas psoriasis rendah
namun morbiditas tinggi, dengan dampak luas pada kualitas hidup pasien
ataupun kondisi sosio-ekonominya.2
Psoriasis dapat sembuh sempurna ataupun meninggalkan bekas
seperti bercak hitam ataupun bercak putih. Bercak hitam atau coklat disebut

1
juga dengan kelainan hiperpigmentasi atau hipermelanosis. Kelainan ini
merupakan keluhan yang sangat sering ditemukan dalam praktek sehari-hari
dengan manifestasi yang dapat terdistribusi pada semua permukaan kulit.
Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi adalah salah satu jenis kelainan
hiperpigmentasi yang sering ditemui, merupakan kelainan hipermelanosis
didapat, yang terjadi setelah inflamasi kulit, dapat terjadi pada seluruh tipe
kulit, namun lebih sering pada pasien dengan tipe kulit gelap. HPI terjadi
akibat produksi melanin berlebih atau adanya sebaran pigmen tidak merata
setelah inflamasi kulit.14 Semua tipe kulit terutama tipe kulit gelap baik pria
maupun wanita segala usia dapat mengalami HPI.14,16
Sedangkan hipopigmentasi pasca inflamasi terjadi karena hambatan
penyebaran melanosom. Gambaran klinis berupa makula berwarna
keputihan dengan batas yang menyebar pada tempat terjadinya kelainan
kulit primer.16 Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer
dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan
terutama pada area yang terpapar matahari. Patogenesis proses ini sering
dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari melanosit
kekeratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin merupakan akibat
dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya
epidermal turnover.16
Setiap proses inflamasi kulit berpotensi untuk menjadi
hiperpigmentasi ataupun hipopigmentasi. Jika terjadi pada daerah wajah,
leher, atau tangan dapat menyebabkan gangguan psikologik. Efek negatif
kelainan ini adalah dapat memengaruhi kesehatan emosional pasien
(menyebabkan cemas dan depresi), interaksi sosial, harga diri, kepercayaan
diri, dan kesempatan bekerja.15
Menurut Standar Komptensi Dokter Indonesia (SKDI),
hiperpigmentasi dan hipopigmentasi pasca inflamasi merupakan kasus
dengan tingkat kemampuan 3A, yaitu Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang
bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang

2
paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas
lebih dalam mengenai Hiperpigmentasi dan Hipopigmentasi Pasca Inflamasi
sebagai laporan kasus di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Palembang BARI.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut.
1. Diharapkan seluruh dokter muda dapat memahami kasus hiperpigmentasi
dan hipopigmentasi pasca inflamasi.
2. Diharapkan dikemudian hari dokter muda mampu mengenali dan
memberikan tatalaksana yang holistik dan sesuai dengan kompetensi
pada pasien hiperpigmentasi dan hipopigmentasi pasca inflamasi.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
a. Bagi Institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang ilmu
kesehatan kulit dan kelamin terutama tentang hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi pasca inflamasi.
b. Bagi Akademik
Dapat dijadikan landasan untuk penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2 Manfaat Praktis


Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan laporan kasus ini
dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan dapat digunakan
di kemudian hari dalam penegakan diagnosis dan penatalaksanaan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Psoriasis
2.1.1. Definisi
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema
berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan;
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Köbner. Psoriasis juga
disebut psoriasis vulgaris berarti psoriasis yang biasa, karena ada
psoriasis lain, misalnya psoriasis pustulosa.1
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar
genetik yang kuat dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan
diferensiasi sel epidermis disertai manifestasi vaskuler, juga diduga
adanya pengaruh sistem saraf. Patogenesis psoriasis digambarkan
dengan gangguan biokimiawi dan imunologik yang menerbitkan
berbagai mediator perusak mekanisme fisiologis kulit dan
mempengaruhi gambaran klinis.8

2.1.2. Epidemiologi
Kasus psoriasis makin sering dijumpai. Meskipun penyakit ini
tidak menyebabkan kematian tetapi menyebabkan gangguan kosmetik,
terlebih mengingat bahwa perjalanannya menahun dan residif.1
Prevalensi psoriasis bervariasi antara 0,1- 11,8% di berbagai
populasi dunia. Insidens pada orang kulit putih lebih tinggi daripada
penduduk kulit berwarna. Di Eropa dilaporkan sebanyak 3-7%, di
Amerika Serikat 1-2%, sedangkan di Jepang 0,6%. Pada bangsa berkulit
hitam, misalnya di Afrika, jarang dilaporkan, demikian pula bangsa
Indian di Amerika.1 Insidens di Asia cenderung rendah (0,4%).2,4

4
Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang ditandai
dengan proliferasi dan diferensiasi abnormal sel keratinosit yang
diperantarai oleh aktivasi sel T, yang mengenai 2.5% dari populasi
dunia. Data epidemiologi yang di dapat dari 10 Rumah Sakit di
Indonesia selama tahun 1996-1998 menunjukan bahwa prevalensi
penderita psoriasis bervariasi dari 0.59% - 0-92%.5
Penyakit ini terjadi pada segala usia, tetapi umumnya pada orang
dewasa dan jarang ditemukan pada usia di bawah 10 tahun. Kelainan ini
sering ditemukan pada usia 15-30 tahun. Puncak usia kedua adalah 57-
60 tahun. Bila terjadi pada usia dini (15-35 tahun), terkait HLA (Human
Leukocyte Antigen) I antigen (terutama HLA Cw6), serta ada riwayat
keluarga, lesi kulit akan lebih luas dan persisten.1,62
Insiden psoriasis pada pria agak lebih banyak daripada wanita.
Beberapa variasi klinisnya antara lain psoriasis vulgaris (85-90%) dan
artritis psoriatika (10%). Seperti lazimnya penyakit kronis, mortalitas
psoriasis rendah namun morbiditas tinggi, dengan dampak luas pada
kualitas hidup pasien ataupun kondisi sosio-ekonominya.2

2.1.3. Etiopatogenesis
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan pada patogenesis psoriasis.
Kemungkinan psoriasis diwariskan secara poligenik. Banyak faktor
pemicu seperti trauma, infeksi streptokokus dan obat tertentu yang
semua ini bergabung menjadi salah satu keadaan yang
mempengaruhi dalam timbulnya psoriasis. Gen tertentu mungkin
yang menyebabkan epidermis proliferatif, sedangkan yang lainnya
menyebabkan penyimpangan imunitas atau inflamasi.5
Berdasarkan awitan penyakit dikenal dua tipe: psoriasis tipe I
dengan awitan dini bersifat familial dan psoriasis tipe II dengan
awitan lambat bersifat nonfamilial. Hal lain yang menyokong adanya
faktor genetik ialah bahwa psoriasis berkaitan dengan HLA.

5
Psoriasis tipe I berhubungan dengan HLA-B13, B17, Bw57, dan
Cw6. Psoriasis tipe II berkaitan dengan HLA-B27 dan Cw 2.1
Bila orang tua tidak menderita psoriasis, risiko mendapat
psoriasis adalah 12%, sedangkan jika salah seorang orang tuanya
menderita psoriasis risikonya mencapai 34-39%.1

2. Faktor Imunologik
Lesi kulit psoriasis melibatkan epidermis dan dermis. Terdapat
penebalan epidermis, disorganisasi stratum korneum akibat
hiperproliferasi epidermis dan peningkatan kecepatan mitosis,
disertai peningkatan ekspresi intercellular adhesion molecule 1
(ICAM 1) serta abnormalitas diferensiasi sel epidermis.2
Gambaran histopatologisnya antara lain elongasi rete ridges,
parakeratosis, serta infi ltrasi berbagai sel radang. Sel T CD 3+ dan
CD 8+ dapat ditemukan di sekitar kapiler dermis dan epidermis. Sel
dendritik CD 11c+ biasanya ditemukan di dermis bagian atas. 3,5
Invasi sel CD 8+ ke epidermis berkaitan dengan munculnya lesi
kulit.4 Lesi psoriasis matang umumnya penuh dengan sebukan
limfosit T pada dermis yang terutama terdiri atas limfosit T CD4
dengan sedikit sebukan limfositik dalam epidermis. Sedangkan pada
lesi baru umumnya lebih banyak didominasi oleh limfosit T CD8.
Pada lesi psoriasi terdapat sekitar 17 sitokin yang produksinya
bertambah.1,2
Aktivasi sel T terutama dipengaruhi oleh sel Langerhans. Sel T
serta keratinosit yang teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
kemokin, dan menstimulasi inflamasi lebih lanjut. Selain itu, kedua
komponen ini akan memproduksi tumor necrosis factor α (TNF α),
yang mempertahankan proses inflamasi.2
Pada psoriasis pembentukan epidermis (turn over time) lebih
cepat, hanya 3-4 hari, sedangkan pada kulit normal lamanya 27 hari.
Nickolkoff (1998) berkesimpulan bahwa psoriasis merupakan

6
penyakit autoimun. Lebih 90% kasus dapat mengalami remisi setelah
diobati dengan imunosupresif.1

3. Faktor Pencetus
Berbagai faktor pencetus diantaranya adalah stres psikis, infeksi
lokal, trauma (fenomena Köbner), endokrin, gangguan metabolik,
obat, juga alkohol dan merokok. Stress psikik merupakan faktor
pencetus utama, mungkin dipengaruhi mekanisme neuroimunologis.
Faktor endokrin rupanya mempengaruhi perjalanan penyakit. Puncak
insiden psoriasis pada waktu pubertas dan menopause. Pada waktu
kehamilan umumnya membaik, sedangkan pada masa pascapartus
memburuk. Gangguan metabolisme contohnya hipokalsemia dan
dialisis telah dilaporkan sebagai faktor pencetus. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan residif adalah beta-adrenergik
blocking agents, angiotensin-converting enzyme inhibitors, litium,
anti malaria, non steroid anti-inflamasi, gemfibrosil, beberapa jenis
antibiotik dan pengehentian mendadak kortikosteroid sistemik.1,8

2.1.4. Gambaran Klinis


Keadaan umum tidak dipengaruhi, kecuali pada psoriasis yang
menjadi eritroderma. Sebagian penderita mengeluh gatal ringan.
Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka,
ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut, dan daerah
lumbosakral.1
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi
(plak) dengan skuama diatasnya yang umumnya simetris. Eritema
sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan, sering
eritema yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir.
Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta
transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikuler, numular atau plakat,
dapat berkonfluensi. Penyakit ini dapat menyerang Pada psoriasis

7
terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Köbner (isomorfik). Kedua
fenomena yang disebut lebih dahulu diangggap khas, sedangkan yang
terakhir tak khas, hanya kira-kira 47% yang positif dan didapati pula
pada penyakit lain, misalnya liken planus dan veruka plana juvenilis.1
kulit, kuku, mukosa dan sendi, tetapi tidak mengganggu rambut.1,8
Fenomena tetesan lilin ialah skuama dikerok, maka akan timbul
garis-garis putih pada goresan seperti lilin yang digores, disebabkan
oleh berubahnya indeks bias. Cara menggores dapat dengan pinggir
gelas alas.
Pada fenomena Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik
yang disebabkan oleh papilomatosis. Cara pengerjaannya yaitu dengan
mengerok skuama yang berlapis-lapis, misalnya dengan pinggir gelas
alas. Setelah skuama nya habis, maka pengerokan harus dilakukan
perlahan-lahan, jika terlalu dalam tidak tampak perdarahan berbintik-
bintik, melainkan perdarahan yang merata.

Gambar 2.1. Tanda Auspitz, yaitu adanya titik perdarahan pada kulit bila
skuama dilepaskan.2

Trauma pada kulit penderita psoriasis misalnya garukan, dapat


menyebabkan kelainan yang sama dengan psoriasis dan disebut
fenomena Köbner yang timbul kira-kira setelah 3 minggu.1

8
Gambar 2.2 Fenomena Köbner (isomorfik).
A. Lesi Psoriasi pada kulit 4 minggu pasca biopsi; B. Flare Psoriasi pada
punggung setelah terpapas sinar matahari.2

Psoriasis merupakan penyakit inflamatorik kronik lesi kulit


biasanya merupakan plak eritematosa oval, berbatas tegas, meninggi,
dengan skuama berwarna keperakan, hasil proliferasi epidermis
maturasi prematur dan kornifikasi inkomplet keratinosit dengan retensi
nuklei di stratum korneum (parakeratosis). Meskipun terdapat beberapa
predileksi khas seperti pada siku, lutut, serta sakrum, lesi dapat
ditemukan di seluruh tubuh.2
Gambaran klinis lain yang dapat menyertai psoriasis adalah
deformitas kuku, geographic tongue dan arthritis psoriatika.2
1. Kuku
Perubahan kuku muncul pada sekitar 40% pasien dengan psoriasis.
Lekukan kuku (nail pitting) merupakan gambaran yang paling sering
muncul, pada berbagai jari kecuali jempol. Deformitas kuku lainnya
akibat kerusakan matriks kuku adalah onikodistrofi (kerusakan
lempeng kuku), crumbling nail, serta titik kemerahan pada lunula.

2. Geographic Tongue
Geographic tongue atau benign migratory glossitis merupakan
kelainan idiopatik yang berakibat hilangnya papil filiformis lidah.
Lesi biasanya berupa bercak eritematosa berbatas tegas menyerupai
peta dan berpindah-pindah.

9
3. Artritis Psoriatika
Merupakan bentuk klinis psoriasis ekstrakutan yang paling sering
muncul, pada sekitar 40% pasien psoriasis. Terkait kuat dengan
faktor genetik.

2.1.5. Bentuk Klinis


Pada psoriasis terdapat berbagai bentuk klinis, yaitu:
1. Psoriasis Vulgaris
Bentuk ini ialah yang paling lazim/ tersering (90% pasien),
karena itu disebut vulgaris, dinamakan pula tipe plak karena lesi-
lesinya umumnya berbentuk plak. Lesi ini biasanya dimulai dengan
macula eritematosa berukuran kurang dari 1 cm atau papul yang
melebar kea rah pinggir dan bergabung beberapa lesi menjadi satu,
berdiameter satu sampai beberapa sentimeter. Lingkaran putih pucat
mengelilingi lesi psoriasis plakat dikenal sebagai Wonoroff’s ring.
Dengan proses pelebaran lesi yang berjalan bertahap, maka bentuk
lesi dapat beragam seperti bentuk utama kurva linier (psoriasis
girata), lesi mirip cincin (psoriasis anular) dan papul berskuama pada
mulut folikel pilosebaseus (psoriasis folikularis). Hampir 70% pasien
mengeluh gatal, rasa terbakar, nyeri terutama bila kulit kepala
terserang.1,8

Gambar 2.3. Psoriasis Vulgaris.

10
2. Psoriasis Gutata
Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbulnya
mendadak dan diseminata pada tubuh bagian atas serta ekstremitas
proksimal. Umumnya terjadi setelah infeksi Streptococcus di saluran
napas bagian atas atau sehabis influenza atau morbili, terutama pada
anak dan dewasa muda. Dapat juga karena infeksi lain, baik bakteri
atau viral.1,2

Gambar 2.4. Psoriasis Gutata.

3. Psoriasis Inversa (Psoriasis Fleksural)


Sesuai dengan namanya, psoriasis tersebut mempunyai tempat
predileksi pada daerah lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
genitokruris dan leher. Lesi biasanya berbentuk eritema mengkilat
berbatas tegas dengan sedikit skuama.1,2

11
Gambar 2.5. Psoriasis Inversa (Psoriasis Fleksural) pada Lipat Payudara.

Gambar 2.6. Psoriasis Inversa.

4. Psoriasis Eksudativa
Bentuk tersebut sangat jarang. Biasanya kelainan psoriasis
kering, tetapi pada bentuk ini kelainannya eksudatif seperti
dermatitis akut.1

5. Psoriasis Seboroik (Seboriasis)


Gambaran klinis psoriasis seboroik merupakan gabungan antara
psoriasis dan dermatitis seboroik, skuama yang biasanya kering

12
menjadi agak berminyak dan agak lunak. Selain berlokasi pada
tempat yang lazim, juga terdapat pada tempat seboroik.1

6. Psoriasis Pustulosa
Ada dua pendapat mengenai psoriasis pustulosa, pertama
dianggap sebagai penyakit tersendiri, kedua dianggap sebagai varian
psoriasis. Terdapat dua bentuk psoriasis pustulosa, bentuk lokalisata
dan generalisata. Bentuk lokalisata contohnya psoriasis pustulosa
palm-plantar (Barber). Sedangkan bentuk generalisata, contohnya
psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zumbusch).1

7. Eritroderma Psoriatik
Eritroderma psoriatic dapat disebabkan oleh pengobatan topikal
terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Biasanya lesi
yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema
dan skuama tebal universal. Ada kalanya lesi psoriasis masih tampak
samar-samar, yakni lebih eritematosa dan kulit lebih meninggi. 1

Gambar 2.7. Eritroderma Psoriatik.

13
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis psoriasis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Sebagian pasien datang dengan keluhan gatal ringan. Kelainan kulit
terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya yang umumnya simetris. Eritema sirkumskrip dan
merata, tetapi pada stadium penyembuhan, sering eritema yang di
tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-
lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar
kelainan bervariasi: lentikuler, numular atau plakat, dapat
berkonfluensi.1,8

2. Pemeriksaan Fisik
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Köbner
(isomorfik).

3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pada psoriasis tampak
gambaran histopatologi sebagai berikut.1,7
1) Hiperkeratosis atau penebalan lapisan korneum
2) Parakeratosis, yakni terdapatnya inti stratum korneum sampai
hilangnya stratum granulosum
3) Akantosis, merupakan penebalan stratum spinosum dan
elongasi rete ridge epidermis
4) Granulosit neutrofilik bermigrasi melewati epidermis
membentuk mikro abses munro di bawah stratum korneum.
5) Peningkatan mitosis pada stratum basalis.
6) Edema pada dermis disertai infiltrasi sel-sel polimorfonuklear,
limfosit, monosit dan neutrofil.
7) papilomatosis dan vasodilatasi di subepidermis.
8) Hilangnya stratum granulosum.

14
2.1.7. Diagnosis Banding
Jika gambaran klinis nya khas, tidaklah sukar membuat
diagnosis. Kalau tidak khas, maka harus dibedakan dengan beberapa
penyakit lain yang tergolong dermatitis eritroskuamosa.
Pada diagnosis banding hendaknya selalu diingat, bahwa
psoriasis terdapat tanda-tanda yang khas yakni skuama kasar,
transparan serta berlapis, fenomena tetesan lilin dan fenomena Auspitz.
Pada stadium penyembuhan, eritema hanya di pinggir hingga
menyerupai dermatofitosis. Perbedaannya adalah pada dermatofitosis
gatal sekali dan pada sediaan langsung ditemukan jamur.
Sifilis stadium II dapat menyerupai psoriasis dan disebut sifilis
psoriasiformis. Adapun dermatitis seboroik, berbeda dengam psoriasis
karena skuamanya berminyak dan kekuningan dan predileksinya
berbeda.

2.1.8. Tatalaksana
Jenis pengobatan psoriasis yang tersedia bekerja menekan gejala
dan memperbaiki penyakit. Tujuan pengobatan adalah menurunkan
keparahan penyakit sehingga pasien dapat beraktivitas dalam pekerjaan,
kehidupan social dan sejahtera untuk tetap dalam kondisi kualitas hidup
yang baik, tidak memperpendek masa hidupnya karena efek samping
obat. Kebanyakan pasien yang tidak dapat lepas dari terapi untuk
mempertahankan keadaan remisi. Prinsip pengobatan yang harus
dipegang adalah sebagai berikut.
a. Sebelum memilih pengobatan, harus dipikirkan evaluasi dampak
penyakit terhadap kualitas hidup pasien. Dikategorikan
penatalaksanaan yang berhasil bila ada perbaikan penyakit,
mengurangi ketidaknyamanan dan efek samping.
b. Mengajari pasien agar lebih kritis menilai pengobatan sehingga ia
mendapat informasi sesuai dengan perkembangan penyakit terakhir.
Diharapkan pasien tidak tergantung dokter, dapat mengerti dan

15
mengenal obat dengan baik termasuk efek sampingnya. Menjelaskan
bahwa pengobatan lebih berbahaya dari penyakitnya sendiri.

Penetapan keparahan psoriasis penting dilakukan untuk


menentukan pengobatan. Diperkirakan 40 cara dipakai untuk penilaian
tersebut. Pengukuran keparahan psoriasis yang biasa dilakukan di
lapangan antara lain dengan Luas Permukaan Badan (LPB), Psoriasis
Area Severity Index (PASI), Dermatology Life Quality Index (DLQI).
Dinyatakan psoriasis dengan keparahan ringan bila body surface area
(BSA) kurang dari 3%, sedangkan bila BSA lebih dari 10% dinyatakan
psoriasis berat.
Selain pengobatan topikal yang diberikan secara runtun ataupun
berpola rotasi dan sekuensial, tersedia pula pengobatan sistemik
konvensional bahkan terapi biologic yang menawarkan penanganan
lebih mengarah ke sasaran patofisiologik psoriasis.
Namun pemilihan pengobatan tidak semudah itu karena ada
faktor lain yang mempengaruhi: lokasi lesi, umur, aktivitas, waktu dan
kesehatan pasien secara umum juga menentukan terapi psoriasis.

1. Pengobatan Promotif
Menenangkan pasien dan memberikan dukungan emosional adalah
hal yang sangat tidak terhingga nilainya. Menekankan bahwa
psoriasis tidak menular serta suatu saat akan mengalami psoriasis
akan remisi spontan dan tersedianya pengobatan yang bervariasi
untuk setiap bentuk dari psoriasis.3

2. Pengobatan Preventif
Menghindari atau mengurangi faktor pencetus, yaitu stres psikis,
infeksi fokal, endokrin, seta pola hidup lain yang dapat
meningkatkan resiko penurunan sistem imun seperti seks bebas
sehingga bisa tertular penyakit AIDS.3

16
3. Pengobatan Kuratif
A. Non Farmakologi
Penatalaksaan non-farmakologi salah satunya adalah dengan cara
melakukan edukasi kepada pasien. Adapun hal-hal yang dapat
disampaikan saat edukasi adalah sebagai berikut.
1. Memberitahukan kepada pasien agar tidak menggaruk bercak
yang ada.
2. Terangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita terjadi
adalah akibat proses autoimun sehingga tujuan pengobatan adalah
untuk mengendalikan penyakit bukan untuk menyembuhkan.
3. Anjurkan pasien untuk rutin kontrol.

B. Farmakologi
Pemberian obat di bidang Dermatologi memerlukan perhatian
khusus karena kekhususan struktur dan fungsi kulit. Prinsip dasar
terapi obat yang harus diperhatikan termasuk di bidang
dermatologi adalah pemberian obat yang menimbulkan efikasi
maksimal dengan seminimal mungkin efek samping. Obat akan
memberikan efek jika obat tersebut dalam konsentrasi tertentu
dapat mencapai tempat kerjanya yaitu kulit atau organ lain dan
berinteraksi dengan target sel/ target organ. Efek dapat berupa
efek terapi (yang diinginkan) dapat juga berupa efek-efek yang
tidak dikehendaki berupa efek samping dan efek toksik.9

1. Sistemik
Pada dasarnya pemberian obat secara sistemik adalah cara
pemberian melalui suatu tempat yang jauh dari tempat kerjanya,
diabsorpsi kemudian masuk ke sirkulasi sistemik menuju tempat
kerjanya dan berinteraksi dengan sel target untuk menimbulkan
efek. Efek terapinya tergantung pada kemampuan absorpsi
sistemik ke sirkulasi dan obat mencapai organ targetnya.
Pemberian terapi sistemik dapat berupa per oral, intramuskular,

17
intravena, subkutan, dan lainnya. Pada umumnya terapi sistemik
lebih efektif, cepat atau lebih murah dibanding terapi topikal. Di
bidang dermatologi pemberian obat sistemik adalah untuk
penyakit kulit yang relatif berat dan biasanya membutuhkan terapi
kombinasi, atau penyakit yang sutit diterapi topikal seperti
psoriasis.9 Yang membutuhkan penanganan semacam ini biasanya
dipakai pada psoriasis berat, termasuk psoriasis plakat luas,
psoriasis pustulosa generalisata atau psoriasis arthritis.8
a. Kortikosteroid
Untuk memilih kortikosteroid harus dilihat kebutuhannya,
efek yang dikehendaki, potensi, retensi natrium dan lama kerja
(duration of action).12

Tabel 2.1 Potensi dan Berbagai Dosis Equivalen


Kortikosteroid.12

Keterengan:
 S: Short acting (biologic half life 8 – 12 jam)
 I:Intermediate (12 – 36 jam)
 L: Long acting (36- 72 jam).

Kortikosteroid dapat mengontrol psoriasis, dapat diberikan


prednisone 30 mg per hari.1 Selain itu, dapat pula diberikan
methylprednisolone yang merupakan kortikosteroid dengan
kerja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid,

18
antiinflamasi dan imunosupresan. Dosis methylprednisolone
adalah 4 – 48 mg/hari.10
Setelah membaik, dosis kortikosteroid diturunkan
perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan.
Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan
kekambuhan dan dapat terjadinya psoriasis pustulosa
generalisata.1

b. Obat Sitostatik
Obat yang biasanya digunakan ialah metotreksat.
Indikasinya ialah untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, psoriasis
arthritis dengan lesi kulit, eritroderma karena psoriasis yang
sukar terkontrol dengan obat standar.
Kontraindikasinya ialah: kelainan hepar, kelainan ginjal,
kelainan hematopoetik, kehamilan, penyakit infeksi aktif
(misalnya tuberculosis), ulkus peptikum, colitis ulserosa, dan
psikosis.
Dosisnya adalah 3x2,5 mg dengan interval 12 jam dalam
seminggu dengan dosis total 7,5 mg. Jika tidak tampak
perbaikan dosis dinaikkan 2,5–5 mg per minggu. Biasanya
dengan dosis 3x5 mg per minggu telah tampak perbaikan. Cara
lain adalah dengan diberikan i.m 7,5–25 mg dosis tunggal
setiap minggu. Cara tersebut lebih banyak menimbulkan efek
samping daripada cara pertama. Jika penyakitnya telah
terkontrol, dosis diturunkan atau masa interval diperpanjang
kemudian dihentikan dan kembali ke terapi topikal.
Setiap 2 minggu diperiksa kembali: Hb, jumlah leukosit,
hitung jenis, jumlah trombosit dan urin lengkap. Diperiksa juga
fungsi ginjal dan hati. Bila jumlah leukosit kurang dari 3.500,
metotreksat dihentikan. Jika fungsi hepar normal, biopsi hepar

19
dilakukan setiap dosis total mencapai 1,5 g. Jika fungsi
abnormal, biopsi dilakukan setiap dosis total mencapai 1g.
Efek sampingnya diantaranya adalah nyeri kepala,
alopesia, juga terhadap saluran cerna, sumsum tulang, hepar,
dan lien. Pada saluran cerna berupa nausea, nyeri lambung dan
diare. Jika hebat dapat terjadi enteritis hemoragik dan perforasi
intestinal. Depresi sumsum tulang berakibat timbulnya
leukopenia, trombositopenia dan kadang anemia. Pada hepar
dapat terjadi fibrosis dan sirosis.1

c. Levodopa
Levodopa sebenarnya dipakai untuk penyakit Parkinson.
Di antara penderita Parkinson yang sekaligus menderita
psoriasis, ada yang membaik psoriasinya dengan pengobatan
Levodopa. Dosisnya adalah antara 2 x 250 mg – 3 x 500 mg.
Efek sampingnya berupa: mual, muntah, anoreksia, hipotensi,
ganguan psikik dan ganguan jantung.1

d. Diaminodifenilsulfon (DDS)
Dipakai sebagai pengobatan psoriasis pustulosa tipe
Barber dengan dosis 2x100 mg sehari. Efek sampingnya ialah
anemia hemolitik, methemoglobinemia, dan agranulositosis.1

e. Etrinat dan Asitresin


Etrinat merupakan retinoid aromatic, digunakan bagi
psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain.
Dapat pula digunakan untuk eritroderma psoriatika. Cara
kerjanya belum dapat dipastikan. Pada psoriasis, obat tersebut
mengurangi prolferasi sel epidermal pada lesi psoriasis dan
kulit normal.1
Asitretin merupakan metabolit aktif eterinat yang utama.
Efek samping dan manfaatnya serupa dengan eterinat.

20
Kelebihannya, waktu paruh eleminasinya hanya 2 hari,
dibandingkan dengan eterinat yang lebih dari 100 hari.

f. Siklosporin
Efeknya adalah sebagai imunosupresif. Dosis 6 mg/kgBB
sehari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik. Hasil pengobatan
untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat
terjadi kekambuhan.

2. Topikal
a. Preparat Ter
Obat topikal yang biasa digunakan ialah preparat ter,
efeknya ialah anti radang. Menurut asalnya preparat ter dibagi
menjadi 3, yakni yang berasal dari:
- Fosil, misalnya iktiol
- Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski
- Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens.

Preparat ter yang berasal dari fosil biasanya kurang efektf


untuk psoriasis, yang cukup efektif adalah yang berasal dari
batu bara dan kayu.1
Pada psoriasi yang telah menahun lebih baik digunakan ter
yang berasal dari batubara karena ter tersebut lebih efektif
daripada ter yang berasal dari kayu dan pada psoriasi yang
menahun kemungkinan timbul iritasinya kecil. Sebaliknya,
pada psoriasis akut dipilih ter dari kayu karena jika dipakai ter
dari batubara dikuatirkan akan terjadi iritasi dan menjadi
eritroderma. 1
Konsentrasi yang biasa digunakan 2-5%, dimulai dengan
konsentrasi rendah, jika tiada pembaikkan konsentrasi akan
dinaikkan. Supaya lebih efektif penetrasinya harus dinaikkan
dengan cara menambah asam salisilat dengan konsentrasi 3-

21
5%. Sebagai vehikulum harus menggunakan salap, karena
daya penetrasi salap adalah yang terbaik.1

b. Kortikosteroid
Kortkosteroid topikal memberi hasil yang baik. Potensi dan
vehikulum bergantung pada lokasinya.1
Pada scalp, muka dan daerah lipatan digunakan krim, di
tempat lain digunakan salap. Pada daerah muka, lipatan dan
genitalia eksterna dipilih potensi sedang. Bila digunakan
potensi kuat pada muka dapat memberi efek samping
telengiektasis, sedangkan dilipatan berupa striae atrofikans.
Pada batang tubuh dan ekstremitas digunakan salap dengan
potensi kuat atau sangat kuat bergantung pada lama penyakit.
Jika telah terjadi perbaikan potensi dan frekuensinya
dikurangi.1
Kortikosteroid topical dibagi menjadi 7 golongan besar,
diantaranya berdasarkan anti-inflamasi dan antimitotic.
Golongan I adalah yang paling kuat daya anti-inflamasi dan
antimitotiknya (super poten) dan golongan VII adalah yang
terlemah (potensi lemah).1
Pada psoriasis dengan tipe plakat memerlukan steroid yang
poten (golongan I) dengan vehikulum salap atau krim. Lama
pemakaiannya tidak dianjurkan lebih dari 2 minggu.1

c. Ditranol (Antralin)
Obat ini dikatakan efektif. Kekurangannya adalah
mewarnai kulit dan pakaian. Konsentrasi yang biasanya
digunakan adalah 0,2-0,8% dalam pasta, salap atau krim. Lama
pemakaian hanya ¼ - ½ jam sehari sekali untuk mencegah
iritasi. Penyembuhan dalam 3 minggu.1

22
d. Pengobatan dengan penyinaran
Sinar ultraviolet mempunyai efek untuk menghambat
mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis.
Cara terbaik adalah penyinaran secara alamiah, tetapi tidak
dapat diukur dan jika berlebihan malah dapat memperparah
psoriasis. Kerana itu digunakan ultraviolet yang artifisial yaitu
sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat
digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen
(8-metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau
bersamaan dengan preparat ter yang dikenal dengan cara
pengobatan cara Goeckerman.1
UVB juga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis tipe
plak, gutata, pustular dan eritroderma. Pada yang tipe plak dan
gutata dikombinasi dengan salap likuor karbonis detergems 5 –
7% yang dioleskan sehari dua kali. Sebelum disinar, dicuci
terlebih dahulu.Target pengobatan adalah pengurangan 75%
skor PASI (Psoriasis Area Severity Index).1

e. Calcipotriol
Calcipotriol adalah sintetik vitamin D berupa salap atau
krim 50mg/g, efeknya ialah antiproliferasi. Perbaikan setelah
satu minggu. Efektifvitas salap ini sedikit lebih baik daripada
salap betametason 17-valerat.1
Efek samping pada 4-20% penderita berupa iritasi yakni
rasa terbakar dan tersengat, dapat pula terlihat eritema dan
skuamasai. Rasa tersebut akan menghilang setelah beberapa
hari sesudah obat dihentikan.1

23
f. Tazaroten
Obat ini merupakan molekul retinoid asetilinik topical,
efeknya menghambat proliferasi dan normalisasi petanda
dferensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi
pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam
bentuk gel dank rim dengan konsentrasi 0,05% dan 0,1%. Bila
dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat
akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi.1

g. Emolien
Efek emolien adalah melembutkan permukaan kulit. Pada
batang tubuh selain lipatan, ekstremitas atas dan bawah
biasanya digunakan vaselin, fungsinya seperti emolien yakni
untuk meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Emolien lain
adalah lanolin dan minyak mineral. Emolien sendiri tidak
mempunyai efek antipsoriasis.1

2.1.9. Komplikasi
Pasien dengan psoriasis memiliki angka morbiditas dan mortalitas
yang meningkat terhadap gangguan kardiovaskuler terutama pada
pasien psoriasis berat dan lama. Risiko infark miokard terutama sekali
terjadi pada pasien psoriasis usia muda dalam jangka waktu panjang.
Pasien psoriasis juga mempunyai peningkatan risiko limfoma magnum.
Gangguan emosional yang diikuti masalah depresi sehubungan dengan
manifestasi klinis berdampak terhadap menurunnya harga diri,
penolakan social, merasa malu, masalah seksual dan gangguan
kemampuan profesional. Semuanya diperberat dengan perasaan gatal
dan nyeri, keadaan ini menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.8
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien psoriasis berat adalah
hipotermia dan hipoalbuminemia sekunder terhadap pengelupasan kulit
yang berlebihan. Dapat juga terjadi gagal jantung dan pneumonia.

24
Sebanyak 10-17% pasien dengan psoriasis pustulosa generalisata (PPG)
menderita atralgia, mialgia dan lesi mukosa.8

2.1.10. Prognosis
Meskipun psoriasis tidak menyebabkan kematian, tetapi bersifat
kronis dan residif.1
Psoriasis guttata biasanya akan hilang sendiri (self limited) dalam
12-16 minggu tanpa pengobatan, meskipun pada beberapa pasien
menjadi lesi plakat kronik. Psoriasis tipe plakat kronis berlangsung
seumur hidup, dan interval antar gejala tidak dapat diprediksi. Remisi
spontan dapat terjadi pada 50% pasien dalam waktu yang bervariasi.
Eritroderma dan generalized pustular psoriasis memiliki prognosis yang
lebih buruk dengan kecenderungan menjadi persisten.

2.1.11. Psoriasis Area Severity Index (PASI)


Banyak cara yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan
psoriasis, namun yang sering digunakan adalah metode Fredriksson T,
Pettersson U (1987) yang telah banyak dimodifikasi oleh peneliti lain.
Psoriasis Area and Severity Index (PASI) adalah metode yang
digunakan untuk mengukur intensitas kuantitatif penderita berdasarkan
gambaran klinis dan luas area yang terkena, cara ini digunakan untuk
mengevaluasi perbaikan klinis setelah pengobatan (Gudjonsson dan
Elder, 2012). PASI merupakan baku emas pengukuran tingkat
keparahan psoriasis. Beberapa elemen yang diukur oleh PASI adalah
eritema, skuama dan ketebalan lesi dari setiap lokasi di permukaan
tubuh seperti kepala, badan, lengan dan tungkai. Bagian permukaan
tubuh dibagi menjadi 4 bagian antara lain: kepala (10%), abdomen,
lengan (20%), dada dan punggung (30%) dan tungkai termasuk bokong
(40%). Luasnya area yang tampak pada masing-masing area tersebut
diberi skor 0 sampai dengan 6.7

25
Tabel 2.2 Skor PASI

Keterangan:
a. Karakteritis klinis yang dinilai adalah eritema (E), skuama (S), dan
ketebalan lesi/indurasi (T).
b. Karakteristik klinis tersebut diberi skor sebagai berikut; tidak ada lesi
=0, ringan=1, sedang=2, berat=3 dan sangat berat=4.
c. Nilai derajat keparahan diatas dikalikan dengan weighting faktor
sesuai dengan area permukaan tubuh; kepala = 0,1, tangan/lengan =
0,2, badan = 0,3, tungkai/kaki = 0,4.
d. Total nilai PASI diperoleh dengan cara menjumlahkan keempat nilai
yang diperoleh dari keempat bagian tubuh.7

26
Interpretasi:
Total nilai PASI kurang dari 10 dikatakan sebagai psoriasis
ringan, nilai PASI antara 10-30 dikatakan sebagai psoriasis sedang, dan
nilai PASI lebih dari 30 dikatakan sebagai psoriasis berat.7

2.2. Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi


2.2.1. Proses Pigmentasi Kulit Normal
Kulit berwarna digambarkan sebagai individu dengan peningkatan
jumlah pigmen epidermal dan kulit yang lebih gelap. Kelompok pasien
ini memiliki perhatian yang unik dan prosedur yang khusus terhadap
kosmetik. Pengobatan kulit berwarna berbeda dengan kulit lainnya.
Kulit berwarna tampak pada orang Afrika, Hispanik, Asia, dan
keturunan Asia Tenggara.15
Klasifikasi tipe kulit Fitzpatrick saat ini menyatakan enam tipe
kulit berbeda, warna kulit, dan reaksi terhadap paparan matahari yaitu
sangat terang (tipe kulit I) hingga sangat gelap (tipe kulit VI). Dua
faktor utama yang memengaruhi tipe kulit adalah, disposisi genetik, dan
reaksi kulit menjadi cokelat terhadap paparan matahari. Kulit berwarna
paling sering ditentukan sebagai fototipe kulit Fitzpatrick IV hingga VI.
Tipe kulit tersebut mudah kecokelatan dan jarang atau tidak pernah
terbakar. Sistem penentuan tipe kulit ini telah berkembang untuk
menggambarkan warna kulit pasien.15

Gambar 2.9 Klasifikasi Tipe Kulit Fitzpatrick.

27
Kulit berwarna merupakan hasil dari spektrum cahaya yang
diabsorpsi dan direfleksi oleh kromofor di kulit. Keadaan itu sangat
ditentukan oleh jumlah melanin, tipe (rasio eumelanin hitam/ cokelat
hingga feomelanin merah/ kuning), distribusi intraseluler, dan lokasi
dalam lapisan kulit. Jumlah melanosit di kulit sama diantara semua
individu. Pigmen vaskuler oksihemoglobin dan deoksihemoglonin juga
berperan bersama aliran darah kapiler, pigmen makanan karoten,
likopen, kolagen, spektrum cahaya, refleksi, refraksi, absorpsi cahaya
oleh kulit, ketebalan stratum korneum, dan epidermis. Faktor endokrin,
inflamasi, neural, dan farmakologik juga berpengaruh pada warna
kulit.15
Ukuran dan distribusi melanosom bervariasi pada kulit dengan
warna yang berbeda (Gambar 2.9). Pada individu keturunan Afrika,
melanosom biasanya besar dan tersebar merata di keratinosit. Pada
individu kulit putih, melanosom lebih kecil dan berkelompok dalam
membran. Pada kulit orang Asia ditemukan kombinasi melanosom
individual dan berkelompok. Melanin juga dapat didegradasi lebih
pelan di kulit berwarna. Peningkatan melanin menyebabkan
fotoproteksi natural yang lebih tinggi, disebabkan oleh absorpsi yang
lebih besar dari foton UV. Peningkatan melanin tersebut meningkatkan
risiko kelainan pigmen termasuk hipopigmentasi atau hiperpigmentasi
sebagai hasil dari respons fisiologik dari trauma atau inflamasi.15

Gambar 2.9 Variasi Melanosom di Keratinosit dalam Membedakan Warna.

28
Kulit putih (C) menunjukkan melanosom sferikal berkelompok dalam membran,
kulit hitam memiliki melanosom besar elips tersebar satu persatu (A), dan kulit
orang Asia memiliki kombinasi keduanya (B).15

Sel melanosit (sel dendritik khusus berlokasi di dermal-epidermal


junction) mengubah tirosin menjadi melanin melalui enzim tirosinase
pada kulit normal. Proses tersebut terjadi di dalam vesikel intraseluler
khusus yang disebut melanosom, kemudian melanin ditransfer ke
keratinosit, dan dikirim ke permukaan epidermal. Jumlah melanin dan
distribusi melanosom menentukan warna kulit manusia. Kelainan
hiperpigmentasi merupakan hasil dari peningkatan produksi melanin
dan jarang karena peningkatan jumlah melanosit aktif.15

2.2.2. Definisi
Hiperpigmentasi adalah bertambahnya melanin di kulit yang
menyebabkan satu keadaan yang disebut sebagai hipermelanosis.
Peningkatan jumlah melanin ini dapat generalisata ataupun lokalisata.
Hipermelanosis dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah melanosit
pada epidermis atau akibat peningkatan konsentrasi pigmen melanin.14
Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi (HPI) adalah salah satu jenis
kelainan hiperpigmentasi yang sering ditemui, merupakan kelainan
hipermelanosis didapat, yang terjadi setelah inflamasi kulit, dapat
terjadi pada seluruh tipe kulit, namun lebih sering pada pasien dengan
tipe kulit gelap. HPI terjadi akibat produksi melanin berlebih atau
adanya sebaran pigmen tidak merata setelah inflamasi kulit.14

2.2.3. Epidemiologi
Semua tipe kulit terutama tipe kulit gelap baik pria maupun
wanita segala usia dapat mengalami HPI.14,16

29
2.2.4. Etiologi
Setiap proses inflamasi kulit berpotensi untuk menjadi
hiperpigmentasi. Kelainan hiperpigmentasi yang terjadi diakibatkan
oleh suatu inflamasi yang nyata atapun akibat suatu proses inflamasi
subklinis, misalnya pajanan sinar matahari terus menerus. Inflamasi
pada dermis dan atau epidermis akan menyebabkan pelepasan dan
oksidasi asam arakidonat menjadi prostaglandin, leukotrien, dan produk
inflamasi lainnya yang kemudian menginduksi peningkatan aktivitas
melanositik dan merangsang peningkatan fagositosis melanosom oleh
keratinosit dan sel makrofag sehingga timbul lesi hiperpigmentasi.14
Selain itu, kerusakan sel epidermis dapat menyebabkan pelepasan
hormon pemicu pigmentasi, contohnya Melanocyte Stimulating
Hormone (MSH).14
HPI dihasilkan dari produksi berlebih melanin atau penyebaran
pigmen yang tidak teratur setelah inflamasi kulit. Peningkatan produksi
dan transfer melanin ke keratinosit terdapat pada HPI di epidermis.
Walaupun mekanisme pasti belum diketahui, peningkatan aktivitas
melanosit distimulasi oleh prostanoid, sitokin, kemokin, dan mediator
inflamasi lainnya seperti spesies oksigen reaktif yang dikeluarkan
selama proses inflamasi. Beberapa penelitian menunjukan properti yang
menstimulasi melanosit dari leukotrien (LT), seperti LT-C4, LT-D4,
prostaglandin E2, prostaglandin D2, thromboxane-2, interleukin (IL)-I,
IL-6, tumor necrosis factor (TNF)- , epidermal growth factor, dan
spesies oksigen reaktif seperti nitric oxide.15
HPI di dermis dihasilkan dari kerusakan yang diinduksi oleh
inflamasi pada keratinosit basal, sehingga menyebabkan produksi
melanin dalam jumlah besar. Pigmen bebas kemudian difagosit oleh
makrofag yang disebut melanofag pada dermis bagian atas dan
menghasilkan tampilan warna biru-abu pada lokasi yang terjadi
memar.15

30
HPI muncul sebagai makula atau bercak asimtomatik yang dapat
simetris atau asimetris, terbatas atau difus, tergantung dari distribusi
dermatosis inflamasi sebelumnya (Gambar 2). Lokasi kelebihan pigmen
dalam lapisan kulit akan menentukan warna HPI. Kulit tampak
berwarna kecokelatan, cokelat, atau cokelat tua jika kelebihan pigmen
di dalam epidermis. Hipermelanosis dermal akan memiliki tampilan
abu-abu tua atau birukeabuan.15
HPI adalah hipermelanosis reaktif dapatan yang muncul setelah
inflamasi atau cedera kulit yang dapat terjadi pada semua tipe kulit,
namun lebih sering mengenai pasien kulit berwarna, termasuk orang
Afrika Amerika, Hispanik/ Latin, Asia, Amerika pribumi, Kepulauan
Pasifik, dan keturunan Timur Tengah. HPI dapat memiliki efek
psikososial yang signifikan pada pasien kulit berwarna (tipe kulit
Fitzpatrick III-VI). Perubahan pigmentasi juga dapat muncul lebih
sering, lebih parah dan lebih jelas pada kulit berwarna.15
Berbagai tipe dermatosis inflamasi atau kerusakan kulit dapat
menyebabkan perubahan pigmentasi. HPI bisa disebabkan oleh infeksi
seperti dermatofitosis atau eksantema virus, reaksi alergi seperti gigitan
serangga atau dermatitis kontak, penyakit papuloskuamous seperti
psoriasis atau liken planus, pengobatan yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas, atau kerusakan kulit dari bahanbahan iritan, terbakar,
atau prosedur kosmetik radiasi non-ionisasi, reaksi fototoksik, prosedur
laser, dan chemical peeling. Penyebab HPI yang paling umum pada
kulit berwarna adalah akne vulgaris, dermatitis atopik, dan impetigo.
HPI yang paling sering adalah bekas akne pada pasien kulit berwarna.
Inflamasi jangka panjang, atau berulang, dan iradiasi UV dapat
memperburuk HPI.1,2 Pengobatan seperti minosiklin, agen infeksius,
dan kerusakan kulit juga dapat memperberat HPI.15

31
2.2.5. Gambaran Klinis
Proses inflamasi awal pada HPI biasanya bermanifestasi sebagai
makula atau bercak yang tersebar merata. Tempat kelebihan pigmen
pada lapisan kulit akan menentukan warnanya. Hipermelanosis pada
epidermis memberikan warna coklat dan dapat hilang berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun tanpa pengobatan. Sedangkan hipermelanosis
pada dermis memberikan warna abu-abu dan biru permanen atau hilang
selama periode waktu yang berkepanjangan jika dibiarkan tidak diobati.
Distribusi lesi hipermelanosis tergantung pada lokasi inflamasi. Warna
lesi berkisar antara warna coklat muda sampai hitam dengan
penampakan warna lebih ringan jika pigmen dalam epidermis dan
penampakan warna abu-abu gelap jika pigmen dalam dermis.16

2.2.6. Gambaran Histopatologi


Korelasi klinikopatologis : Lesi ini ditandai dengan adanya
infiltrat sel radang yang merusak lapisan basal. Pigmentasi dapat
disebabkan oleh meningkatnya pigmen melanin di epidermis atau
dermis.12, 19 Melanofag yang terbentuk bertahan cukup lama di dermis
bagian atas karena proses degradasi melanofag merupakan proses yang
sangat lamban, sehingga HPI dapat terlihat untuk jangka waktu yang
panjang.14

2.2.7. Diagnosis
Anamnesis yang dapat mendukung diagnosa HPI adalah riwayat
penyakit sebelumnya yang mempengaruhi kulit seperti infeksi, reaksi
alergi, luka mekanis, reaksi obat, trauma (misalnya luka bakar), dan
penyakit inflamasi seperti akne vulgaris, liken planus, dan atopi.16

2.2.8. Penatalaksanaan
Ada beberapa obat dan prosedur disamping fotoprotektif dapat
secara aman dan efektif mengobati pasien HPI yang berkulit gelap.

32
Agen depigmentasi topikal seperti hidrokuinon, asam azelat, asam
kojik, ekstrak permen hitam, dan asam retinoik 0,1-0,4%

2.3. Hipopigmentasi Pasca Inflamasi


2.3.1. Definisi
Hipopigmentasi pasca inflamasi adalah hipopigmentasi yang
terjadi setelah atau berhubungan dengan dermatosis yang disertai
inflamasi. Keadaan ini biasanya terjadi pada dermatitis atopik,
dermatitis eksematosa, dan alopesia musinosa, mikosis fungoides, lupus
eritematous diskoid, liken planus, liken striatus, dan dermatitis
seboroik.16

2.3.2. Etiologi
Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula
menyebabkan hipopigmnetasi misalnya lupus eritematosus diskoid,
dermatitis atopik, psoriasis, prapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain.
Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah
menderita psoriasis.16

2.3.3. Patogenesis
Hipopigmentasi pasca inflamasi terjadi karena hambatan
penyebaran melanosom. Gambaran klinis berupa makula berwarna
keputihan dengan batas yang menyebar pada tempat terjadinya kelainan
kulit primer.16
Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan
mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan
terutama pada area yang terpapar matahari. Patogenesis proses ini
sering dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari
melanosit kekeratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin
merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat
meningkatnya epidermal turnover.16

33
2.3.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang
berhubungan sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan
maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan gambaran
penyakit kulit primernya.16

2.3.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hipopigmentasi pasca inflamasi biasanya sesuai
dengan kelainan kulit yang mendasarinya. Keadaan hipopigmentasi ini
tidak akan membaik jika proses inflamasi masih terus berlangsung.16

34
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. SU
No RM : 53.89.35
Tanggal Lahir : 2 September 1956
Usia : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Pensiun
Alamat : Dusun II RT 004, Skonjing, Tanjung Raja,
Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan

3.2 Anamnesis
Hasil anamnesis didapatkan secara autoanamnesis pada tanggal 8 Agustus
2017 pukul 11.50 WIB.

3.2.1 Keluhan Utama


Terdapat bercak kemerahan yang meninggi di seluruh tubuh 4 bulan yang
lalu.

3.2.2 Keluhan Tambahan


Rasa gatal, terdapat sisik pada kepala dan daerah yang terdapat bercak
kemerahan serta bengkak pada kedua kaki.

35
3.2.3 Riwayat Perjalanan Penyakit
Sekitar 4 bulan yang lalu, os mengaku timbul bercak kemerahan
yang meninggi pada seluruh tubuh (wajah, belakang telinga, dada,
punggung, lengan, tungkai, kaki) secara serentak dan tiba-tiba. Ukuran
bercak bervariasi dari sebesar ujung jarum pentul sampai seukuran uang
logam. Semakin lama, bercak kemerahan tampak semakin meluas dan
banyak yang bergabung menjadi satu. Sisik tidak ditemukan pada daerah
yang kemerahan tetapi dijumpai pada kepala berbentuk bercak putih
kering seperti ketombe. Sisik pada kepala ini tidak berminyak dan tidak
berwarna kekuningan. Rambut tidak mengalami kerontokan. Keluhan ini
disertai dengan rasa gatal yang hilang timbul dan mengganggu aktivitas.
Gatal tidak semakin bertambah apabila os berkeringat. Keluhan ini
dirasakan lebih hebat saat os sedang banyak pikiran. Os juga mengaku
terjadi pembengkakan pada kaki kanan dan kiri yang apabila ditekan
dengan jari lambat kembali seperti semula. Os mengaku beberapa hari
sebelum keluhan muncul, sering kelelahan karena pola hidup sekarang
berubah, dari yang sebelumnya rutin bekerja di kantor menjadi mengurus
cucu dirumah karena sudah pensiun. Os juga tidak mengkonsumsi
makanan ataupun obat-obatan tertentu sebelum keluhan timbul. Akibat
keluhan ini, os datang berobat ke praktek dokter swasta dan diberikan
tatalaksana berupa bedak salicyl talk dan dua macam obat pil yang
berbentuk bulat dan berwarna putih, salah satu obat berukuran lebih besar.
Os juga disarankan untuk dirujuk ke dokter spesialis kulit dan kelamin.
Sekitar 3,5 bulan yang lalu os datang kembali ke puskesmas karena
keluhan tidak berkurang. Di Puskesmas, os diberikan terapi berupa salep
racikan berwarna putih dan dua macam obat-obatan yang sama seperti
yang diberikan oleh dokter umum sebelumnya.
Tiga bulan yang lalu, karena keluhan menetap dan tidak ada
perbaikan, os datang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD
Palembang BARI. Os diberikan pengobatan berupa methylprednisolone
3x4 mg, cetrizine 2x1 mg, ranitidine 2x1 mg, salep berwarna putih yang

36
digunakan untuk badan 3x sehari dan minyak kelapa untuk kepala. Setelah
mengkonsumsi obat-obatan ini os merasakan keluhannya berkurang.
Kemerahan pada seluruh tubuh mulai hilang dan berganti bercak
kehitaman. Seiring dengan hilangnya bercak kemerahan, timbul sisik-sisik
berlapis, kasar dan berwarna putih pada bekas daerah kemerahan. Sisik
berdarah jika dilepaskan. Bengkak pada kedua kaki pun dengan cepat
menghilang dan gatal juga dirasakan berkurang. Os rutin kontrol ke
Poliklinik seminggu 1x dan meneruskan pengobatannya.
Saat pemeriksaan tidak tampak lagi kemerahan dan bengkak pada
seluruh tubuh, hanya terdapat bercak putih pada perut dan bercak
kehitaman disertai sisik pada daerah kepala, punggung, tungkai bawah dan
kaki. Gatal terkadang masih dirasakan.

3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
2. Riwayat diabetes melitus disangkal
3. Riwayat hipertensi disangkal
4. Riwayat penyakit ginjal disangkal
5. Riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan disangkal.

3.2.5 Riwayat Pengobatan


Tidak ada.

3.2.6 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal
2. Riwayat alergi makanan dan alergi obat-obatan disangkal
3. Riwayat diabetes melitus disangkal
4. Riwayat hipertensi disangkal.

37
3.2.7 Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal
2. Sejak ± 4,5 bulan yang lalu os mengalami perubahan kebiasaan dari
yang sebelumnya bekerja di kantor menjadi mengurus cucu dirumah
karena sudah pension.
3. Tidak pernah menggunakan pakaian lembab.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 86 x/menit, regular.
Suhu : 36,9 °C
Pernapasan : 18 x/menit
Keadaan Spesifik
Kepala : Lihat status dermatologikus
Leher : Tidak ada kelainan
Thoraks : Lihat status dermatologikus
Abdomen : Lihat status dermatologikus
Genitalia : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Lihat status dermatologikus.

38
3.3.2. Status Dermatologikus

Gambar 3.1. Regio Scalp


Pada regio scalp terdapat skuama halus multiple, regular, ukuran 0,1 x 0,1
cm, diskret.

Gambar 3.2. Regio Thoracoabdominalis


Pada regio thoracoabdominalis terdapat makula hipopigmentasi multiple,
irregular, ukuran 19 – 21,5 cm x 4,5 – 6 cm, konfluens.

39
Gambar 3.3. Regio Vertebralis
Pada regio vertebralis terdapat makula hiperpigmentasi multiple, irregular,
ukuran 0,1 – 0,2 cm x 0,1 x 0,1 cm, diskret disertai skuama halus multiple,
regular, ukuran 0,1 x 0,1 cm, diskret.

Gambar 3.5. Regio Pedis Dextra.


Pada regio pedis dextra terdapat makula hiperpigmentasi multiple, irregular,
ukuran 0,1 – 2 cm x 0,1 x 1,5 cm, diskret disertai skuama psoriasiform multiple,
irregular, ukuran 1 – 11 cm x 1,5 – 12 cm, konfluens.

40
Gambar 3.6 Regio Pedis Sinistra.
Pada regio pedis sinistra terdapat makula hiperpigmentasi multiple, irregular,
ukuran 0,1 – 1 cm x 0,1 x 1,5 cm, diskret disertai skuama psoriasiform multiple,
irregular, ukuran 0,5 – 11 cm x 1 – 11,5 cm, konfluens.

Gambar 3.7. Regio Cruris Dextra et Sinistra


Pada regio cruris dextra et sinistra terdapat terdapat makula hiperpigmentasi
multiple, irregular, ukuran 0,1 – 3 cm x 0,1 x 0,7 cm, diskret disertai skuama
halus multiple, irregular, ukuran 0,2 – 11 cm x 0,3 – 6 cm konfluens.

41
3.4 Diagnosa Banding
1. Hipopigmentasi dan Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi (et causa
Psoriasis)
2. Eritroderma
3. Neurodermatitis

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Histopatologi.

3.6 Diagnosis Kerja


Hipopigmentasi dan Hiperpigmentasi Paca Inflamasi (et causa Psoriasis).

3.7 Penatalaksanaan
A. Non Farmakologi
Dengan melakukan edukasi berupa:
1. Memberitahukan kepada pasien agar tidak menggaruk bercak yang
ada.
2. Terangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita terjadi
adalah akibat proses autoimun sehingga tujuan pengobatan adalah
untuk mengendalikan penyakit bukan untuk menyembuhkan.
3. Anjurkan pasien untuk rutin kontrol.

B. Farmakologi
1. Sistemik
- Kortikosteroid sistemik  Methylprednisolone 2x4 mg
- Antihistamin  Cetrizine HCL 1x10 mg/ hari diberikan selama 7
hari.

2. Topikal
- Kortikosteroid topikal  hydrocortisone valerate 0,2% 2x/ hari
- Emolien: minyak kelapa atau Virgin Coconut Oil (VCO)

42
3.8 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : malam
Quo ad cosmetica : dubia ad malam.

43
BAB IV
PEMBAHASAN

Kasus ini membahas seorang pasien dengan inisial Tn. SU, 61 tahun,
pensiun yang bertempat tinggal di Tanjung Raja, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera
Selatan yang diperiksa pada tanggal 8 Agustus 2017.
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa os datang dengan keluhan
terdapat bercak kemerahan yang meninggi di seluruh tubuh (wajah, belakang
telinga, dada, punggung, lengan, tungkai, kaki) 4 bulan yang lalu. Selain itu,
terdapat sisik pada kepala berbentuk bercak putih kering seperti ketombe. Sisik
pada kepala ini tidak berminyak dan berwarna kekuningan. Keluhan ini disertai
dengan rasa gatal. Dari status dermatologikus didapatkan kelainan berupa plak
eritema universal dengan ukuran variatif yang kelamaan menjadi konfluens
disertai skuama pada regio scalp. Pada psoriasis vulgaris, kelainan kulit terdiri
atas bercak-bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya.
Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Besar kelainan bervariasi dari lentikuler, numular atau plakat, dapat
berkonfluensi.1 Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Tempat predileksi pada
skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku serta lutut, dan daerah lumbosakral. Sebagian penderita mengeluh
gatal ringan.1
Berdasarkan hasil anamnesis keadaan 4 bulan yang lalu, dapat dipikirkan
tiga diagnosis banding yaitu psoriasis vulgaris, eritroderma dan neurodermatitis.
Gejala khas psoriasis vulgaris sekarang sudah tidak jelas lagi karena pasien sudah
mendapatkan terapi selama 3 bulan dan juga sekarang timbul bercak putih dan
bercak kehitaman pada bekas lesi sehingga diagnosis kerja adalah hipopigmentasi
dan hiperpigmentasi pasca inflamasi (et causa psoriasis).
Jika dilihat dari aspek epidemiologi, ketiga diagnosis banding ini
mendekati kasus. Pada kasus pasien adalah seorang laki-laki berusia 61 tahun

44
berkebangsaan Indonesia. Berdasarkan teori, psoriasis agak lebih banyak terjadi
Eritroderma juga dapat mengenai seluruh usia dan pada neurodermatitis usia yang
tersering adalah 30 – 50 tahun.1 (Tabel 4.1)

Tabel 4.1. Diagnosis Banding berdasarkan Epidemiologi


Diagnosis Banding

Kasus Psoriasis Vulgaris Eritroderma Neurodermatitis


Epidemiologi Pasien laki-laki, 61 Agak lebih banyak Bisa mengenai Puncak insiden
tahun, terjadi pada laki-laki seluruh usia.1 pada usia 30 – 50
berkebangsaan dan bias mengenai tahun, wanita
Indonesia. semua usia tetapi lebih sering
lebih sering dewasa.1 daripada pria. 1

Berdasarkan etiologi, pada kasus keluhan-keluhan dirasakan lebih hebat saat


os sedang banyak pikiran dan kelelahan. Psoriasis dapat terjadi akibat berbagai
faktor diantaranya faktor genetik, faktor imunologik dan faktor-faktor pencetus
seperti stress psikis, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolik, obat,
juga alkohol dan meroko dimana stress psikis merupakan faktor yang paling
berperan. Eritroderma diakibatkan oleh alergi obat-obatan, perluasan penyakit
kulit serta akibat penyakit sistemik. Sedangkan neurodermatitis diakibatkan oleh
penyakit yang mendasari seperti gagal ginjal kronis, obstruksi saluran empedu,
limfoma Hodgkin, hipertiroid, penyakit kulit seperti dermatitis atopi dan
dermatitis kontak alergika, gigitan serangga dan aspek psikologis dengan tekanan
emosi.1 Berdasarkan teori, etiologi yang paling sesuai dengan kasus adalah pada
psoriasis vulgaris, dimana stress psikis merupakan pencetus utama psoriasis,
meskipun hal serupa juga ditemui pada neurodermatitis.

45
Tabel 4.2. Diagnosis Banding berdasarkan Etiologi
Diagnosis Banding

Kasus Psoriasis Vulgaris Eritroderma Neurodermatitis


Etiologi Keluhan-keluhan Akibat berbagai faktor Alergi obat-obatan, Diakibatkan oleh penyakit
dirasakan lebih diantaranya faktor genetik, perluasan penyakit yang mendasari seperti
hebat saat sedang faktor imunologik dan kulit serta akibat gagal ginjal kronis,
banyak pikiran & faktor-faktor pencetus penyakit sistemik.1 obstruksi saluran empedu,
kelelahan.1 seperti stress psikis, infeksi limfoma Hodgkin,
fokal, trauma, endokrin, hipertiroid, penyakit kulit
gangguan metabolik, obat, seperti dermatitis atopi
juga alkohol dan meroko dan dermatitis kontak
dimana stress psikis alergika, gigitan serangga
merupakan faktor yang dan aspek psikologis
palng berperan..1 dengan tekanan emosi.1

Bila ditinjau dari gejala klinis, pada kasus diketahui bahwa terdapat bercak
kemerahan yang meninggi di seluruh tubuh (wajah, belakang telinga, dada,
punggung, lengan, tungkai, kaki) 4 bulan yang lalu. Bercak kemerahan tersebut
timbul secara serentak, ukuran bervariasi dari sebesar ujung jarum pentul sampai
seukuran uang logam. Semakin lama, bercak kemerahan tampak semakin meluas
dan banyak yang bergabung menjadi satu. Sisik tidak ditemukan pada daerah yang
kemerahan tetapi dijumpai pada kepala berbentuk bercak putih kering seperti
ketombe. Sisik pada kepala ini tidak berminyak dan berwarna kekuningan.
Keluhan ini disertai dengan rasa gatal yang hilang timbul dan mengganggu
aktivitas, gatal tidak semakin bertambah apabila os berkeringat. Pada eritroderma
kelainan kulit berupa eritema universalis (90 – 100%) yang dapat disertai skuama
dengan adanya riwayat alergi obat sebelumnya, akibat perluasan penyakit kulit
lain ataupun ada riwayat penyakit sistemik sebelumnya. Pada neurodermatitis,
rasa gatal biasanya timbul pada waktu tidak sibuk, bila muncul susah untuk
ditahan dan setelah luka baru hilang rasa gatalnya untuk sementara (karena diganti
rasa nyeri). Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit
edematosa, lambat laun edema dan eritema menghilang, bagian tengah berskuama
dan menebal, likenifikasi dan ekskoriasi, sekitar hiperpigmentasi, batas dengan
kulit normal tidak jelas. Diagnosis banding psoriasis vulgaris lebih mendekati bila
dibandingkan dengan eritroderma ataupun neurodermatitis, karena pada kasus ini

46
tidak ada riwayat konsumsi obat-obatan tertentu, penyakit kulit sebelumnya yang
meluas ataupun penyakit sistemik untuk dapat menegakkan diagnosis eritroderma.
Neurodermatitis juga kurang mendekati, karena pada neurodermatitis keluhan
gatal lebih berat dan menonjol serta lesi disertai edema dan likenifikasi.

Tabel 4.3. Diagnosis Banding berdasarkan Gejala Klinis


Diagnosis Banding

Kasus Psoriasis Vulgaris Eritroderma Neurodermatitis

Gambar

Bercak kemerahan yang Kelainan kulit terdiri Kelainan kulit berupa Gatal (+) biasanya
meninggi di seluruh atas bercak - bercak eritema universalis (90 pada waktu tidak sibuk,
tubuh (wajah, belakang eritema yang meninggi – 100%) yang dapat bila muncul susah
telinga, lengan, dada, (plak) dengan skuama disertai skuama untuk ditahan dan
punggung, tungkai dan dengan adanya riwayat setelah luka baru hilang
diatasnya yang umum-
kaki). Bercak kemerah- alergi obat sebelum- rasa gatalnya. Lesi
nya simetris. Eritema
an, serentak, ukuran nya, akibat perluasan biasanya tunggal, pada
variatif dari miliar – sirkumskrip dan merata. awalnya berupa plak
penyakit kulit lain
Gejala numular. Kelamaan, Skuama berlapis-lapis, ataupun ada riwayat eritematosa, sedikit
Klinis bercak merah tampak kasar dan berwarna penyakit sistemik edematosa, lambat laun
semakin meluas dan putih seperti mika, serta sebelumnya.1 edema dan eritema
banyak yang bergabung transparan. Besar kelain- menghilang, bagian
menjadi satu. Sisik (+) an bervariasi: lentikuler, tengah berskuama dan
pada kepala, berbentuk numular atau plakat, menebal, likenifikasi
bercak putih kering dapat berkonfluensi.1,8 dan ekskoriasi, sekitar
seperti ketombe. Gatal hiperpigmentasi, batas
(+) hilang timbul, gatal dengan kulit normal
tidak bertambah apabila tidak jelas.1
os berkeringat.

Berdasarkan daerah predileksi maka didapatkan kelainan kulit pada seluruh


tubuh (wajah, belakang telinga, dada, punggung, lengan, tungkai, kaki).
Berdasarkan teori dikatakan bahwa daerah predileksi untuk psoriasis vulgaris
adalah scalp, perbatasan daerah scalp dan muka, esktremitas bagian ekstensor
terutama siku serta lutut dan daerah lumbosacral. Daerah predileksi eritroderma

47
adalah pada hampir seluruh tubuh karena bersifat universalis (90 – 100%). Untuk
neurodermatitis, predileksinya adalah dimana saja, tetapi yang biasa ditemukan
adalah pada scalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva,
skrotum, perianal, paha bagian medial, lutut, tungkai bawah bagian lateral,
pergelangan kaki bagian depan dan punggung kaki. Jika dilihat berdasarkan
predileksi, diagnosis banding eritroderma dan neurodermatitis tidak dapat
disingkirkan karena terjadi pada daerah-daerah yang sama.

Tabel 4.4. Diagnosis Banding berdasarkan Predileksi


Diagnosis Banding
Kasus
Psoriasis Vulgaris Eritroderma Neurodermatitis
Predileksi Seluruh tubuh (wajah, Scalp, perbatasan Pada hampir seluruh Dimana saja, tetapi yang
belakang telinga, dada, daerah scalp dan tubuh karena bersifat biasa ditemukan adalah
punggung, lengan, muka, esktremitas universalis (90–100%).1 pada scalp, tengkuk,
tungkai, kaki) bagian ekstensor samping leher, lengan
terutama siku serta bagian ekstensor, pubis,
lutut dan daerah vulva, skrotum, perianal,
lumbosacral.1 paha bagian medial, lutut,
tungkai bawah bagian
lateral, pergelangan kaki
bagian depan dan
1
punggung kaki.

Berdasarkan epidemiologi, etiologi, gejala klinik, dan predileksi yang telah


dibahas, maka diagnosis kerja pada kasus ini lebih mengarah ke psoriasis vulgaris.
Pemeriksaan penunjang seperti fenomena tetesan lilin, fenomena Auspitz dan
fenomena Köbner sebaiknya dilakukan dalam memastikan diagnosis karena
merupakan tanda khas pada kasus psoriasis. Akan tetapi, pada pasien ini
pemeriksaan tidak dilakukan karena lesi sudah tidak khas akibat telah
mendapatkan terapi selama 3 bulan. Kemungkinan jika dilakukan saat pasien
pertama kali datang ketiga fenomena ini positif.1
Dalam menangani pasien dengan psoriasis vulgaris, perlu dilakukan
perhitungan terhadap skor Psoriasis Area Severity Index (PASI) nya. PASI adalah
metode yang digunakan untuk mengukur intensitas kuantitatif penderita

48
berdasarkan gambaran klinis dan luas area yang terkena, berperan dalam evaluasi
perbaikan klinis setelah pengobatan.7

Tabel 4.5. Skor PASI


Bagian Tubuh dan Nilainya
Karakteristik
Skor Ekstremitas Ekstremitas
Plak Kepala Badan
atas Bawah

Eritema (E) Tidak ada = 0 0 0 0 0


Minimal = 1
Tebal Lesi (T) Sedang = 2 0 0 0 1
Parah = 3
Skuama (S) Sangat Parah = 4 1 0 1 3
Total 1 0 1 4
Nilainya x 0,1 x 0,2 X 0,3 X 0,4
A. Total Permukaan Area 0,1 0 0,3 1,6

Tidak ada = 0
< 10% = 1
Presentasi daerah
10 – 29% = 2
tubuh yang
30 – 49% = 3
terkena (Nilai
50 – 69% = 4
antara 1-6) 1 0 2 2
70 – 89% = 5
90 – 100% =6
B. Total Permukaan Area X %
0,1 x 1 0x0 0,3 x 2 1,6 x 2
Daerah yang Terkena
Nilai Total = 0,1 + 0 + 0,6 + 3,2 = 3,9

Interpretasi:
Total nilai PASI kurang dari 10 dikatakan sebagai psoriasis ringan, nilai PASI
antara 10-30 dikatakan sebagai psoriasis sedang, dan nilai PASI lebih dari 30
dikatakan sebagai psoriasis berat.7

Jadi berdasarkan perhitungan, didapatkan skor PASI pasien adalah 3,9


yang menunjukkan bahwa psoriasis ringan. Skor PASI yang rendah
menunjukkan bahwa pengobatan direspon baik.

49
Pada kasus ini penatalaksanaan yang diberikan adalah penatalaksanaan
non-farmakologi dan farmakologi. Penatalaksaan non-farmakologi salah satunya
adalah dengan cara melakukan edukasi kepada pasien. Adapun hal-hal yang
dapat disampaikan saat edukasi adalah sebagai berikut.
1. Memberitahukan kepada pasien agar tidak menggaruk bercak yang ada.
2. Terangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita terjadi adalah akibat
proses autoimun sehingga tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan
penyakit bukan untuk menyembuhkan.
3. Anjurkan pasien untuk rutin kontrol.

Penatalaksaan farmakologi pada kasus ini dilakukan dengan memberikan


pengobatan sistemik dan topikal.
1. Sistemik
- Antihistamin
Pada kasus ini diberikan antihistamin untuk mengurangi keluhan
gatal. Ada beberapa jenis antihistamin, seperti terlampir pada tabel
berikut.

50
Tabel 4.6 Penggolongan Antihistamin, Dosis, Masa Kerja, Aktivitas Antikolinergik7
Golongan dan Contoh Dosis Masa KerjaAktivitas Komentar
Obat Dewasa kolinergik
ANTIHISTAMIN GENERASI I
Etanolamin
 Karbinoksamin 4-8 mg 3-4 jam +++ Sedasi ringan sampai sedang
 Difenhidramin 25-50 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat, anti-motion sicknesss
 Dimenhidrinat 50 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat, anti-motion sickness
Etilenediamin
 Pirilamin 25-50 mg 4-6 jam + Sedasi sedang
 Tripelenamin 25-50 mg 4-6 jam + Sedasi sedang
Piperazin
 Hidroksizin 25-100 mg 6-24 jam + Sedasi kuat
 Siklizin 25-50mg 4-6 jam - Sedasi ringan, anti-motion sickness
 Meklizin 25-50 mg 12-24 jam - Sedasi ringan, anti-motion sickness
Alkilamin
 Klorfeniramin 4-8 mg 4-6 jam + Sedasi ringan, komponen obat flu
 Bromfeneramin 4-8 mg 4-6 jam + Sedasi ringan
Derivat Fenotiazin
 Prometazin 10-25 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat, antiemetik
Lain-lain
 Siproheptadin 4 mg ± 6 jam + Sedasi sedang, juga anti serotonin
 Mebhidrolin 50-100 mg ± 4 jam +
napadisilat
ANTIHISTAMIN GENERASI II
Astemizol 10 mg < 24 jam - Mula kerja lambat, risiko aritmia lebih
Feksofenadin 60 mg 12-24 jam - rendah
Lain-lain
 Loratadin 10 mg 24 jam - Masa kerja lebih lama
 Cetirizine 5-10 mg 12-24 jam -

Obat yang dapat diberikan adalah Cetrizine HCL tab 10 mg 1x


sehari selama 7 hari. Pemilihan cetirizine sebagai antihistamin pada
kasus ini didasarkan atas efek sedatifnya yang rendah dan masa kerja
nya yang lebih lama sehingga efektif karena hanya diberikan 1x/ hari.

- Kortikosteroid
Pada kasus ini penulis lebih memilih untuk menggunakan
methylprednisolone dengan dosis 2x4 mg/ hari. Alasan pemilihan
methylprednisolone didasarkan pada potensi retensi natrium dan lama
kerja (duration of action) seperti pada tabel berikut.

51
Tabel 4.7. Potensi dan Berbagai Dosis Equivalen Kortikosteroid.12

Keterengan:
 S: Short acting (biologic half life 8 – 12 jam)
 I:Intermediate (12 – 36 jam)
 L: Long acting (36- 72 jam).

Berdasarkan tabel tersebut, lama kerja (duration of action) baik


methylprednisolone maupun prednisone adalah intermediate (12 – 36
jam). Perbedaan terletak pada potensi antiinflamasi dan potensi retensi
Na+. Methylprednisolone lebih tinggi potensi antiinflamasinya
dibandingkan dengan prednisone sehingga efektivitasnya lebih tinggi.
Potensi retensi Na+ methylprednisolone lebih rendah dibandingkan
prednisone, sehingga efek samping yang mungkin terjadi dalam
pemakaian jangka panjang pun lebih rendah. Hal inilah yang mendasari
pemilihan methylprednisolone pada kasus.

2. Topikal
- Kortikosteroid topikal
Diberikan kortikosteroid topikal potensi lemah yaitu hydrocortisone
valerate 0,2% dalam bentuk salep yang dioleskan sebanyak 2x/hari.
Alasan pemberian golongan potensi lemah pada kasus ini adalah
karena lesi sudah minimal dan telah mengalami perbaikan dari keadaan

52
sebelumnya. Selain itu, pemberian kortikosteroid topikal super poten
tidak boleh diberikan lebih dari 2 minggu dan pada potensi medium
tidak boleh diberikan lebih dari 4 – 6 minggu. Bila digunakan jangka
panjang, turunkan potensi perlahan-lahan, turunkan ke potensi yang
lebih rendah setelah digunakan 1 minggu, kemudian hentikan.
Penghentian tiba-tiba potensi kuat menyebabkan rebound symptoms
(dermatosis menjadi lebih buruk). Cara menghindari efek rebound dan
memperlambat kekambuhan penyakit kulit kronis adalah dengan
pemberian intermiten.

- Emolien
Emolien sebaiknya digunakan selama terapi, digunakan setelah
mandi untuk mencegah kekeringan, mengurangi ketebalan skuama,
mengurangi nyeri akibat fisura dan mengurangi rasa gatal pada lesi tahap
awal. Dapat diberikan vaselin, minyak mineral ataupun yang paling
mudah didapatkan seperti minyak kelapa atau Virgin Coconut Oil
(VCO).
VCO merupakan minyak alamiah berkualitas tinggi yang diperoleh
dari santan kelapa segar. Kandungan asam lemak terutama asam laurat
dan oleat dalam VCO, dapat berfungsi untuk melembutkan kulit,
peningkat penetrasi, moisturizer dan mempercepat penyembuhan pada
kulit. Disamping itu, VCO aman digunakan pada kulit karena tidak
mengiritasi.Terkait dengan aktivitasnya, VCO ternyata juga memiliki
aktivitas sebagai antibakteri.13

Psoriasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh autoimun. Meskipun tidak


menyebabkan kematian, tetapi bersifat kronik dan residif, sehingga berpengaruh
pada prognosis.
1. Quo ad vitam pada kasus ini adalah bonam karena tidak mengancam jiwa.
2. Quo ad fungsionam pada kasus ini adalah bonam karena tidak
mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh lainnya.

53
3. Quo ad sanationam pada kasus ini adalah malam karena penyakit ini tidak
dapat disembuhkan, hanya dapat ditekan saja gejalanya.
4. Quo ad cosmetica pada kasus ini adalah dubia ad malam karena kelainan
kulit ini bersifat residif sehingga sewaktu-waktu dapat muncul kembali.

54
BAB V
KESIMPULAN

1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja pada kasus ini
adalah hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pasca inflamasi (et causa
psoriasis) yang ditandai dengan adanya bercak putih dan bercak kehitaman
pada daerah bekas lesi psoriasis.
2. Psoriasis vulgaris merupakan penyakit autoimun yang bersifat kronik dan
residif yang dapat timbul akibat faktor genetik, imunologik ataupun karena
adanya faktor pencetus. Adapun pada kasus ini faktor pencetusnya adalah
stress psikis.
3. Tatalaksana pada kasus ini mencakup non medikmentosa yakni dengan
edukasi pasien dan medikamentosa berupa pengobatan sistemik dan topikal.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta.
Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 147-148; 189-
200.

2. Yuliastuti, D. 2015. Psoriasis. Jurnal CDK-235/ Vol. 42 No. 12. Hal 901 –
906 (Diakses pada tanggal 8 Agustus 2017).

3. Sinaga, Dameria. 2013. Pengaruh Stress Psikologis Terhadap Pasien


Psoriasis. Jurnal Ilmiah Widya. Vol.1 No.2. FK UKI. Hal 129 – 134. (Diakses
pada tanggal 8 Agustus 2017).

4. Siregar, R.S. 1991. Atlas Berwarna: Saripati Penyakit Kulit. Jakarta. EGC.

5. Deny, Fitra & Lestari dkk. 2004. Respon Klinis dan Histologik pada Psoriasis
Vulgaris Tipe Plak Rekalsitran yang di Terapi Metotreksat di RS dr. M.
Djamil Padang. Majalah Kedokteran Andalas. Vol 28 Juli – Desember 2014.
No. 2. FK UNAND. Hal 80 – 82 (Diakses pada 8 Agustus 2017).

6. Astindari & Sawitri dkk. 2014. Perbedaan Dermatitis Seboroik dan Psoriasis
Vulgaris Berdasarkan Manifestasi Klinis dan Histopatologi (Differentiation of
Seborrheic Dermatitis and Psoriasis Vulgaris Based on Clinical Manifestation
and Histophatological Examination). Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin. Vol. 26. No. 1 April 2014. Departemen/ Staf Medik Fungsional
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya (Diakses pada 8 Agustus
2017).

7. Ariani, C. 2013. Kadar High Density Lipoprotein yang Rendah dan Kadar
Trigliserida yang Tinggi Merupakan Faktor Risiko Psoriasis Vulgaris. Thesis.
Departemen Ilmu Biomedik Universitas Udayana (Diakses pada 9 Agustus
2017).

56
8. Menaldi, SL. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta.
Balai Pustaka Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 213-221.

9. Setyowati. 2013. Dosis Pemberian Terapi Obat di Bidang Dermatologi.


Dalam: Cholis dkk. 2013. Prosiding Terapi dalam Dermatologi. Malang.
Universitas Brawijaya Press.

10. Ping, N.H dkk. 2017. MIMS Referensi Obat: Informasi Ringkas Produk Obat.
Edisi 17. Jakarta. MIMS Pte Ltd.

11. Azis, A.L. 2011. Penggunaan Kortikosteroid di Klinik (The Use of


Corticosteroid in Clinics). Divisi Gawat Darurat Lab/ SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Unair/ RSUD dr Soetomo Surabaya (Diakses pada 10 Agustus
2017).

12. Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta. EGC.

13. Kasor, F. 2015. Pengaruh Penggunaan Virgin Coconut Oil (VCO) sebagai Emolient
terhadap Sifat Fisik dan Stabilitas Vitamin C dalam Sabun Transparan. Surakarta.
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

14. Melyawati dkk. 2014. Korelasi Klinikopatologis pada Kelainan Kulit


Hiperpigmentasi. Jurnal MDVI Perdoski. Vol. 41 No. 4 Tahun 2014; 170 – 176.
Jakarta. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin FK Universitas Indonesia/ RS
Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.

15. Wardhani, P.H., Rahmadewi. 2017. Pilihan Terapi Hiperpigmentasi Pascainflamasi


pada Kulit Berwarna (Treatment Options for Postinflammatory Hyperpigmentation
in Color Skin). Surabaya. Departemen/ Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum
Daerah Dr.Soetomo Surabaya

16. Handani, S.M. 2016. Gambaran Kualitas Hidup Penderita Kelainan


Pigmentasi Wajah pada Pengunjung Posyandu di Kecamatan Medan. Medan.
Repository Universitas Sumatera Utara.

57
17. Reyshiani. 2015. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. Jurnal Cermin
Dunia Kedokteran 227/ Vol. 42 No. 4. Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dustira,
Cimahi, Jawa Barat, Indonesia.

58
LAMPIRAN

Pertanyaan beserta jawaban hasil diskusi laporan kasus.


1. Kenapa pada kasus tidak diberikan topikal?
Jawab:
Pada kasus ini tetap diberikan kortikosteroid topikal. Akan tetapi, karena
lama pemakaian kortikosteroid topikal (KT) sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk
potensi kuat, maka potensi diturunkan perlahan-lahan ke potensi yang lebih
rendah.1 Sehingga pada kasus ini dipilih kortikosteroid topikal potensi lemah
yaitu hydrocortisone valerate 0,2% dalam bentuk salep 2x/ hari.

2. Apa indikasi dan kontra indikasi kortikosteroid sistemik pada psoriasis?


Jawab:
a. Indikasi
Preparat kortikosteroid sistemik diindikasikan pada psoriasis persisten yang
tidak terkontrol dengan modalitas terapi lain, bentuk eritroderma, dan
psoriasis pustular (Von Zumbuch).17

b. Kontra Indikasi
Kortikosteroid tidak diberikan pada kasus yang menjadi toksik. Ada dua
kategori efek toksik akibat dari pemakaian glukokortikoid yaitu akibat
penghentian terapi steroid dan akibat penggunaan dosis tinggi
(suprafisiologis) dan lama.18
 Akibat penghentian terapi steroid
Dapat berupa kambuhnya kembali penyakit yang diobati dan paling
berat dapat terjadi insuffisiensi adrenal akut akibat penghentian terapi
mendadak setelah terapi steroid yang lama sehingga sudah terjadi supresi
aksis HPA (Hypothalamus - Pituitary-Adrenal) yang tidak dapat segera
berfungsi dengan baik. Terdapat variasi dari tiap individu mengenai

59
berat dan lama supresi adrenal sesudah terapi kortiko steroid sehingga
sulit menentukan resiko relatif untuk terjadinya krisis adrenal pada tiap
individu.
 Akibat terapi steroid dosis suprafisiologis
Selain supresi aksis HPA akibat pemberian dosis suprafisiologis banyak
kelainan-kelainan lain yang bisa terjadi.18

3. Apakah kortikosteroid sistemik diberikan maintenance seumur hidup?


Jawab:
Steroid sistemik tidak diberikan secara rutin dalam tatalaksana
psoriasis.17

4. Apa alasan pemilihan minyak kelapa sebagai emolien?


Jawab:
Emolien sebaiknya digunakan selama terapi, digunakan setelah mandi
untuk mencegah kekeringan, mengurangi ketebalan skuama, mengurangi nyeri
akibat fisura dan mengurangi rasa gatal pada lesi tahap awal. Dapat diberikan
vaselin, minyak mineral ataupun yang paling mudah didapatkan seperti minyak
kelapa atau Virgin Coconut Oil (VCO).
VCO merupakan minyak alamiah berkualitas tinggi yang diperoleh dari
santan kelapa segar. Kandungan asam lemak terutama asam laurat dan oleat
dalam VCO, dapat berfungsi untuk melembutkan kulit, peningkat penetrasi,
moisturizer dan mempercepat penyembuhan pada kulit. Disamping itu, VCO
aman digunakan pada kulit karena tidak mengiritasi.Terkait dengan
aktivitasnya, VCO ternyata juga memiliki aktivitas sebagai antibakteri.13

60
5. Apa alasan mendiagnosis banding dengan eritroderma dan neurodermatitis?
Jawab:
Pada kasus diketahui bahwa terdapat bercak kemerahan yang meninggi
di seluruh tubuh (wajah, belakang telinga, dada, punggung, lengan, tungkai,
kaki) 4 bulan yang lalu. Bercak kemerahan tersebut timbul secara serentak,
ukuran bervariasi dari sebesar ujung jarum pentul sampai seukuran uang
logam. Semakin lama, bercak kemerahan tampak semakin meluas dan banyak
yang bergabung menjadi satu. Sisik tidak ditemukan pada daerah yang
kemerahan tetapi dijumpai pada kepala berbentuk bercak putih kering seperti
ketombe. Sisik pada kepala ini tidak berminyak dan berwarna kekuningan.
Keluhan ini disertai dengan rasa gatal yang hilang timbul dan mengganggu
aktivitas, gatal tidak semakin bertambah apabila os berkeringat.
Diagnosis banding yang dipilih adalah eritroderma karena pada saat
anamnesis os mengaku keluhan bercak kemerahan timbul pada hampir seluruh
tubuh, hal ini sesuai dengan eritroderma dimana didapatkan eritema universalis
(90 – 100%) yang dapat disertai skuama. Pembedanya dengan psoriasis adalah
pada eritroderma ada riwayat alergi obat sebelumnya, perluasan penyakit kulit
lain sebelumnya ataupun ada riwayat penyakit sistemik sebelumnya.
Sedangkan pada neurodermatitis, mirip pada kasus ini dalam hal keluhan
gatalnya. Yang membedakannya adalah rasa gatal pada neurodermatitis
biasanya timbul pada waktu tidak sibuk, bila muncul susah untuk ditahan dan
setelah luka baru hilang rasa gatalnya untuk sementara (karena diganti rasa
nyeri). Lesi biasanya tunggal, pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit
edematosa, lambat laun edema dan eritema menghilang, bagian tengah
berskuama dan menebal, likenifikasi dan ekskoriasi, sekitar hiperpigmentasi,
batas dengan kulit normal tidak jelas.

61
6. Pada kasus ini, diagnosis banding eritroderma et causa apa?
Jawab:
Jika pada kasus ini merupakan eritroderma, kemungkinan et causa
perluasan psoriasis.
Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua hal yaitu akibat
penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat, misalnya
pengobatan topikal dengan ter dengan konsentrasi terlalu tinggi. Pada
anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita psoriasis. Penyakit
tersebut bersifat menahun dan residif, kelainan kulit berupa skauam yang
berlapis-lapis dan kasar diatas kulit yang eritematosa dan sirkumskrip.1
Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi
psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninggi
daripada sekitarnya dan skuama ditempat itu lebih tebal. Kuku juga perlu
dilihat, dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan miliar, tanda ini hanya
menyokong dan tidak patognomonis untuk psoriasis. Jika ragu, pada tempat
yang meninggi tersebut, dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologik.
Kadang-kadang biopsi sekali tidak cukup dan harus dilakukan beberapa kali.
Sebagian pasien tidak menunjukkan kelainan seperti itu, jadi yang terlihat
hanya eritema yang universal dan skuama. Pada pasien seperti ini, diketahui
bahwa diagnosisnya adalah psoriasis setelah diberikan terapi dengan
kortikosteroid. Pada saat eritrodermanya berkurang, maka mulailah tampak
tanda-tanda psoriasis.1

62

Anda mungkin juga menyukai