PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunan. An-“tidak, tanpa”
dan aesthetes, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.1
Tindakan anestesi merupakan usaha untuk menghilangkan nyeri
dengan teknik-teknik tertentu yang dipakai dalam tindakan operasi.
Perkembangan teknik operasi modern tidak hanya terbatas pada pemahaman
terhadap proses-proses penyakit, anatomi, dan asepsis berhubungan dengan
pembedahan tapi juga mengenai ketiadaan teknik-teknik anesthetic aman dan
yang dapat dipercaya. Teknik-teknik ini awalnya berkembang Anesthesia
Inhalasi yang diikuti oleh Anesthesia Regional, Anesthesia Local dan
Anesthesia Intravena. Perkembangan dari anesthesia berhubungan dengan
teknik operasi merupakan salah satu penemuan-penemuan yang paling
penting di dalam sejarah peradaban manusia.2
Pada laporan kasus ini akan membahas mengenai anestesi pada
tindakan laparoskopipada seorang pasien laki-laki, usia 50 tahun
dengan diagnosis Ikterus Obstruktif et causa Batu CBD yang akan dilakukan
tindakan pembedahan berupa laparotomi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Ikterus berasal dari bahasa yunani ikteros atau perancis jaunisse yang
berarti sebuah sindrom yang ditandai dengan hiperbilirubinemia dan
penumpukan pigmen empedu di kulit, membran mukosa dan sklera dengan
akibat pasien tampak kuning.6 Ikterus sendiri merupakan tanda dari penyakit
yang mendasarinya. Secara umum ikterus yang disebabkan oleh obstruksi
dapat dibedakan menjadi ikterus intrahepatik serta ekstrahepatik. Ikterus
ekstrahepatik dapat disebabkan oleh penyumbatan pada berbagai tingkatan
saluran bilier. Sumbatan oleh batu pada saluran CBD merupakan salah satu
penyebabnya. Batu CBD atau choledocolithiasis adalah didapatkannya batu
empedu pada saluran empedu yaitu pada duktus koledokus.7
2.2. Anatomi
2
Gambar 1. Anatomi Sistem Bilier
3
kanalikuli menuju septa interlobularis, tempat kanalikuli mengeluarkan
empedu kedalam kanalis biliaris terminal kemudian secara progresif ke
dalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan
duktus hepatika komunis. Dari sini empedu langsung dikeluarkan kedalam
duodenum atau dialihkan dalam hitungan menit sampai beberapa jam
melalui duktus sistikus ke dalam kandung empedu.6,9
4
Gambar 2. Hepatosit dan Eksresi Bilier
5
Gambar 3. Bilirubin Pathway
6
3. Usia
4. Obesitas, kehilangan berat badan serta aktifitas fisik
5. Tingkat serum lipid
6. Obat serta infeksi bakteri
2.5. Etiologi
1. Batu CBD primer merupakan batu yang terbentuk secara de novo pada
duktus hepatikus ataupun duktus koledokus, kejadian ini terjadi lebih
sering pada keturunan Asia dibandingkan keturunan Barat, batu ini
biasanya berwarna cokelat kekuningan dengan konsistensi seperti lumpur;
secara biokimia batu ini tersusun atas kalsium bilirubinat yang tercampur
dengan sejumlah kolesterol dan garam kalsium. Penyebabnya masih belum
dapat diduga secara pasti namun infeksi bakteri serta statis bilier
diperkirakan merupakan dua faktor penyebab yang utama.4
2. Batu CBD sekunder merupakan batu yang berasal dari kandung empedu
komposisinya identik dengan batu pada kandung empedu, dimana
kebanyakan berwarna kuning kolesterol, atau pigmen kalkuli hitam dengan
konsistensi keras. Masih belum jelas kenapa batu kandung empedu bisa
bermigrasi ke CBD. Sebuah penelitian menyatakan bahwa ukuran dari
duktus sistikus menjadi determinan tunggal yang penting.4
Manifestasi klinis yang khas dari batu CBD terjadi pada 70% pasien
terdiri atas; nyeri perut, ikterus dan urin berwarna pekat, feses dempul
7
bilirubin terkonjugasi muncul di darah dan urin yang nantinya juga
menyebabkan pekatnya warna urin
2. Nyeri perut biasanya memiliki ciri kolik bilier, melibatkan kuadran atas
abdomen, terjadi pada 90 persen pasien. Serangan kolik bilier ini
disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu, menyebabkan
tekanan di duktus biliaris meningkat dan terjadi peningkatan kontraksi di
tempat penyumbatan yang mengakibatkan timbulnya nyeri visera pada
daerah epigastrium dan kuadran kanan atas abdomen
3. Feses dempul biasa terjadi pada ikterus obstruksi yang sistem biliernya
mengalami obstruksi total, hal ini dikarenakan empedu yang tidak dapat
dialirkan ke sistem pencernaan sehingga tidak adanya sterkobilinogen
pada feses.
2.7. Diagnosa
8
2. Pemeriksaan Penunjang
Tes Fungsi Hati
Uji fungsi hati yang dapat dilakukan antara lain adalah alanin transferase
(ALT/SGPT), alkaline phospatase dan ᵞ-glutamyl transferase.
Abnormalitas pada enzim hati dapat memberikan informasi tentang hati;
peningkatan dari ALT dapat menunjukan adanya sebuah proses dalam
hati. Aktifitas serum transaminase umumnya tidak meningkat pada pasien
dengan ikterus obstruktif, namun pasien dengan batu CBD dan kolangitis
dapat menunjukan peningkatan tetapi tidak memiliki nilai spesifisitas serta
sensitifitas, dalam hal ini serum bilirubin memiliki nilai yang lebih
bermakna dalam diagnose, peningkatan bilirubin direk maupun total
bilirubin dapat menjadi penunjang untuk diagnosa dari ikterus obstruksi.
Radiologi
Terdapat banyak pilihan pemeriksaan radiologi untuk mendiagnosa batu
pada CBD beberapa diantaranya adalah USG abdominal, endoscopic
ultrasonograpgy, CT-scan abdomen, Magnetic Resonance Cholangio
Pancreatography (MRCP) serta kolangiografi. Kolangiografi masih
menjadi pemeriksaan yang paling dipercaya untuk mendiagnosa batu
CBD, namun pemeriksaan ini bersifat invasif serta memiliki biaya yang
tinggi menyebabkan pemeriksaan ini tidak dijadikan pilihan pemeriksaan
untuk skrining.
9
Gambar 2 Algoritma Diagnosa Ikterus Obstruksi
2.8. Penatalaksanaan
10
A. Eksplorasi CBD laparaskopik
Ketika keberadaan batu telah dikonfirmasi, kateter Fogarty dengan
ujung balon dimasukan melalui lubang pada duktus sistikus ke arah
duodenum dan dengan mantap menarik balin yang telah di
besarkan, jika manufer ini gagal untuk mengeluarkan batu, sebuah
keranjang berjaring dapat dimasukan dengan tuntunan floroskopik
kedalam CBD untuk mengambil batu. Pembersihan dari semua jenis
batu mencapai 75 persen sampai 95 persen pada eksplorasi CBD
secara laparaskopi.
B. Eksplorasi CBD terbuka
Tindakan ini semakin kurang dilakukan semenjak 15 tahun yang
lalu dengan meningkatnya tindakan eksplorasi perkutaneus,
endoskopik maupun laparaskopik. Tindakan ini biasanya dilakukan
jika metode lain gagal, tidak memungkinkan ataupun jika eksplorasi
terbuka memang mutlak harus dilakukan. Setelah memobilisasi
duodenum, dibuat suatu koledokotomi sedcara longitudinal.
Kombinasi dari teknik irigasi via kateter karet, memasukan ataupun
menarik balon kateter dan penggunaan kantong batu dilakukan
untuk mengeluarkan batu dari saluran empedu.
C. Tindakan lain yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan pada
batu CBD antara lain; ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholagiopancreography, ERCP merupakan sebuah teknik yang
menggunakan kombinasi dari endoskopi luminal dan gambaran
floroskopi untuk mendiagnosa sekaligus menangani kondisi yang
berhubungan dengan sistem pankreatobilier termasuk batu pada
CBD.
2.9. Komplikasi
11
menyebar dan dapat mengancam jiwa. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah pancreatitis. Batu CBD merupakan salah satu penyebab pancreatitis.
Kondisi ini dapat mengancam jiwa. Duktus pankreatikus yang menyalurkan
enzim-enzim pencernaan menyatu dengan duktus koledokus sebelum masuk
ke dalam usus, walaupun sangat jarang terjadi, batu empedu dapat berpindah
dari bagian bawah CBD menuju duktus pankreatikus.4
12
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
B. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Factor-faktor
yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan
dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
anesthesia yang adekuat.
C. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
13
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe
14
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
15
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Contohnya: pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau
pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat. Contohnya: Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya: pasien
tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur
hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE
atau IIE
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
16
Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit
3. Induksi Anastesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.
17
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T :Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A :Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S :Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
Aldrete Score
A. Nilai Warna
Merah muda, 2
Pucat, 1
Sianosis, 0
18
B. Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
C. Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
D. Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
E. Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identifikasi
Nama : Tn. S
No RM : 58.27.97
Tanggal lahir : 1 Februari 1969
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Jaya 2 No.22/ Sebrang Ulu II
Tanggal MRS : 21 November 2019
20
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi disangkal
2. Riwayat diabetes melitus disangkal
3. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
4. Riwayat asma disangkal
5. Riwayat operasi disangka
6. Riwayat anestesi disangkal
Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 21 kali/menit.
- Penilaian LEMON
21
L (Look) : Tidak terdapat kelainan.
E (Evaluation) : Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.
Jarak tulang tiroid dengan dagu 3 jari.
22
Pemeriksaan Penunjang
23
MRI
Kesan :
- Divertikel duodenum pars descendens sisi medial yang mengkompresi
CBD distal dan duktus pankreatikus, yang menyebabkan dilatasi duktus
billier intrahepatik dan ekstrahepatik serta dilatasi duktus pankreatikus.
- Multiple cholelithiasis intralumen gallbladder dan intraduktus sistikus,
disertai tanda cholesistitis.
3.5 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas,
maka :
- Diagnosis klinis : Ikterus Obstruktif e.c. Batu CBD
- Diagnosis Anestesi : ASA 2, mallampati I
- Rencana operasi : Laparotomi eksplorasi dan kolesistektomi
- Rencana Anestesi : General Anastesi dengan ETT
24
3.7.3 Ceklist Sebelum Induksi
- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan : +
3.7.4 Teknik Anestesi
General Anestesi dengan ETT (Endotracheal Tube) No. 7,5 dan OPA
(Oropharyngeal Airway)
3.7.5 Monitoring
SpO2 :+
TD :+
HR :+
3.7.6 Posisi Pasien
Supine
3.7.7 Pramedikasi : Injeksi Ondansetron HCl 1x4mg
3.7.8 Induksi
- Intravena : Injeksi propofol 1x130mg, Fentanyl 1x100 mcg
- Inhalasi : Sevoflurane 2%, Isoflurance 2,5%,O2
- Muscle Relaxan: Injeksi Atracurium 1x25 mg
3.7.9 Tambahan : Injeksi Dexamethason 1x 5mg, Injeksi Ketorolac
1x30 mg, Injeksi Asam Tranexamat 1x500mg
Tekanan Cairan
Pukul Nadi RR SpO2
Darah Infus
25
09:50 110/67 62 21 100 Ringer
Laktat
09:55 104/65 64 20 100 Ringer
Laktat
10:00 110/68 65 20 100 Ringer
Laktat
10.05 103/69 68 19 100 Ringer
Laktat
10.10 100/67 66 20 100 Ringer
Laktat
10.15 111/70 68 19 100 Ringer
Laktat
10.20 107/67 71 20 100 Ringer
Laktat
10.25 103/69 70 22 100 Ringer
Laktat
10.30 112/71 66 20 100 Ringer
Laktat
10.35 110/65 63 20 100 Ringer
Laktat
10.40 110/72 60 21 100 Ringer
Laktat
10.45 113/74 65 22 100 Ringer
Laktat
10.50 111/68 73 21 100 Ringer
Laktat
10.55 110/71 78 21 100 Ringer
Laktat
11.00 119/74 76 21 100 Ringer
Laktat
26
3.7.11 Lama Tindakan
- Lama pembiusan : 1jam 30 menit
- Lama Pembedahan : 1 jam
27
BAB IV
PEMBAHASAN
28
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)
29
pada sistem kardiovaskuler tidak memiliki efek langsung pada jantung selain
bradikardia, saluran cerna terdapat reseptor opioid dan efek konstipasi opioid
diperantarai oleh suatu efek pada sistem saraf di usus, opioid meyebabkan
kontraksi otot polos saluran empedu yang menyebabkan kolik empedu, fungsi
ginjal tertekan oleh opioid sehingga berkurangnya aliran plasma ginjal serta
meningkatkan absrobsi natrium di tubulus ginjal, pada neuroendokrin akan
merangsang pelepasan ADH dan menghambat pengeluaran LH, pada uterus akan
memperlama persalinan, dan pruritus. Dosis tinggi fentanil menimbulkan
kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid
pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.
Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan
sebagai anelgesi pasca operasi.
Diberikan pula atracurium yang merupakan neuromuscular blocking yang
sangat selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang.
Waktu paruh eliminasi selama 20 menit. Dosis pemberian intravena adalah 0,3-
0,6mg/kg, sehingga pada kasus 0,3-0,6 x 60 = 18-36 mg. Blokade penuh dapat
diperpanjang dengan dosis tambahan 0,1-0,2 mg/kg. Obat tambahan berupa
dexamethasone dengan dosis terapeutik 0.1-0.5 mg/kgBB. Pada pasien 0.1-0.5 x
60 = 6,0-30 mg.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac sebanyak 1 ampul (1 ml) berisi 30
mg/ml, disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS)
yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara
dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang
lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada efek
depresi nafas pada percobaan klinis. Dosis ketorolac 0,2 mg/kgBB, sehingga pada
pasien ini diberikan ketorolac sebanyak 0,2 x 60 = 12 mg.
Pada pasien dilakukan pemasangan ETT dengan ukuran no. 7,5, dimana
berdasarkan teori pada operasi yang lama harus dilakukan intubasi, selain itu
karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi pada pasien obesitas pada semua
kasus anestesi umum yang lama.
30
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas sevoflurance dengan ukuran 2 vol% dan
isoflurance 0,2% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil
melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan
paru. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun
relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk
menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien.
Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi
hampir selesai. Setelah operasi selesai lalu mesin anestesi diubah ke manual
supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevoflurance dan isoflurance
dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan
ekstubasi ETT secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Operasi selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir; Tekanan darah
119/74 mmHg, Nadi 76 x/menit, pernapasan 21 x/menit dan SpO2 100%. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang
pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis.
31
BAB V
KESIMPULAN
4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi laparotomy kolelisistomi pada penderita laki-laki, usia 50 tahun, status
fisik ASA II, dengan diagnosis pra operasi Ikterus Obstruktif e.c. Batu CBD,
diagnosa post operasi kolesistektomi
5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.
32