Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunan. An-“tidak, tanpa”
dan aesthetes, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.1
Tindakan anestesi merupakan usaha untuk menghilangkan nyeri
dengan teknik-teknik tertentu yang dipakai dalam tindakan operasi.
Perkembangan teknik operasi modern tidak hanya terbatas pada pemahaman
terhadap proses-proses penyakit, anatomi, dan asepsis berhubungan dengan
pembedahan tapi juga mengenai ketiadaan teknik-teknik anesthetic aman dan
yang dapat dipercaya. Teknik-teknik ini awalnya berkembang Anesthesia
Inhalasi yang diikuti oleh Anesthesia Regional, Anesthesia Local dan
Anesthesia Intravena. Perkembangan dari anesthesia berhubungan dengan
teknik operasi merupakan salah satu penemuan-penemuan yang paling
penting di dalam sejarah peradaban manusia.2
Pada laporan kasus ini akan membahas mengenai anestesi pada
tindakan laparoskopipada seorang pasien laki-laki, usia 50 tahun
dengan diagnosis Ikterus Obstruktif et causa Batu CBD yang akan dilakukan
tindakan pembedahan berupa laparotomi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Ikterus berasal dari bahasa yunani ikteros atau perancis jaunisse yang
berarti sebuah sindrom yang ditandai dengan hiperbilirubinemia dan
penumpukan pigmen empedu di kulit, membran mukosa dan sklera dengan
akibat pasien tampak kuning.6 Ikterus sendiri merupakan tanda dari penyakit
yang mendasarinya. Secara umum ikterus yang disebabkan oleh obstruksi
dapat dibedakan menjadi ikterus intrahepatik serta ekstrahepatik. Ikterus
ekstrahepatik dapat disebabkan oleh penyumbatan pada berbagai tingkatan
saluran bilier. Sumbatan oleh batu pada saluran CBD merupakan salah satu
penyebabnya. Batu CBD atau choledocolithiasis adalah didapatkannya batu
empedu pada saluran empedu yaitu pada duktus koledokus.7

2.2. Anatomi

Saluran bilier ekstrahepatik terdiri atas percabangan dari duktus


hepatikus kiri dan duktus hepatikus kanan, duktus hepatikus komunis,
duktus koledokus (CBD), duktus sistikus serta gallbladder. Duktus
hepatikus komunis terletak ekstrahepatik dan anterior dari percabangan vena
porta hepatika. Duktus hepatikus komunis menggantung didepan dari
ligamentum hepatoduodenal dan menyatu dengan duktus sistikus untuk
membentuk duktus koledokus (CBD). CBD memanjang dari pertemuan
antara duktus sistikus dan duktus hepatikus komunis kearah inferior menuju
papilla Vater yang berhubungan dengan duodenum. Panjang CBD bervariasi
mulai 5cm sampai 9cm tergantung pada penyatuannya dengan duktus
sistikus dan pembagiannya ke tiga segmen; supraduodenal, retroduodenal,
dan intrahepatika. Bagian distal duktus koledokus berhubungan dengan
duktus pankreatikus diluar dari duodenum.8

2
Gambar 1. Anatomi Sistem Bilier

Kandung empedu/gallbladder merupakan sebuah penampung yang


berbentuk seperti buah pir yang berhubungan dengan duktus koledokus
melalui duktus hepatikus. Kandung empedu menggantung pada permukaan
inferior dan sebagian ditutupi oleh lapisan peritoneum. Kandung empedu
secara umum dibagi atas fundus, corpus, infundibulum serta leher. Kandung
empedu serta duktus sistikus memiliki mukosa dengan orientasi melingkar
yang dikenal sebagai valve of Heister. Panjang duktus sistikus bervariasi
mulai dari 1 cm sampai 4 cm.8

2.3. Fisiologi dan Patofisiologi Sistem Billier

Salah satu dari berbagai fungsi hati adalah untuk mengeluarkan


empedu. Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hati: bagian awal
disekresikan oleh sel-sel fungsional utama hati, yaitu sel hepatosit; sekresi
awal ini mengandung sejumlah besar asam empedu, kolesterol dan zat-zat
organik lainnya. Kemudian empedu disekresikan kedalam kanalikuli biliaris
kecil yang terletak diantara sel-sel hatikemudian empedu mengalir didalam

3
kanalikuli menuju septa interlobularis, tempat kanalikuli mengeluarkan
empedu kedalam kanalis biliaris terminal kemudian secara progresif ke
dalam duktus yang lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan
duktus hepatika komunis. Dari sini empedu langsung dikeluarkan kedalam
duodenum atau dialihkan dalam hitungan menit sampai beberapa jam
melalui duktus sistikus ke dalam kandung empedu.6,9

Senyawa Hepatik Kandung Empedu


Na 160.0 270.0
K 5 10
Cl 90 15
HCO3 45 10
Ca 4 25
Mg 2 -
Bilirubin 1.5 15
Protein 150 -
Garam Empedu 50 150
Fosfolipid 8 40
Kolesterol 4 18
Solid total - 125
pH 7.8 7.2
Tabel. 1 Komposisi Empedu Hepatik dan Kandung Empedu

Empedu disekresikan secara terus menerus oleh sel-sel hati, namun


sebagian besar normalnya disimpan dalam kandung empedu sampai
diperlukan di dalam duodenum. Volume maksimal yang dapat ditampung
kandung empedu hanya 30 sampai 60 mililiter. Meskipun demikian, sekresi
empedu selama 12 jam (sekitar 450mililiter) dapat disimpan dalam kandung
empedu karena air, natrium, klorida dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya
secara terus-menerus di absorbsi melalui mukosa kandung empedu,
memekatkan sisa zat-zat empedu yang mengandung garam empedu,
kolesterol, dan bilirubin.9

4
Gambar 2. Hepatosit dan Eksresi Bilier

Bilirubin merupakan zat yang menyebabkan ikterus pada pasien


dengan obstruksi karena batu pada CBD, jika bilirubin darah melebihi 1
mg/dl maka akan terjadi hiperbilirubinemia. Bilirubin merupakan hasil dari
katabolisme heme. Kebanyakan bilirubin (70%-90%) merupakan turunan
dari derivate hemoglobin, sebagian kecil berasal dari hemoprotein lainnya.
Dalam serum, bilirubin yang biasa diukur adalah bilirubin direk dan total
bilirubin. Bilirubin direk berhubungan dengan bilirubin terkonjugasi.
Rujukan untuk nilai normal bilirubin direk adalah 0.1-0.4 mg/dL, sementara
untuk bilirubin total adalah 0.2-1.2 mg/dL.10

Obstruksi menyebabkan meningkatnya bilirubin terkonjugasi, akibat


obstruksi bilirubin diglukoronida tidak dapat diekskresikan sehingga
bilirubin ini kemudian mengalami regurgitasi ke vena hepatika dan saluran
limfe hati, dan bilirubin terkonjugasi muncul di darah dan urine. Istilah
ikteus kolestatik digunakan untuk mencakup semua kasusa ikterus obstruktif
ekstrahepatik.10

5
Gambar 3. Bilirubin Pathway

2.4. Epidemiologi dan Faktor Resiko


Berdasarkan studi epidemiologi, di Amerika diperkirakan sekitar 6
sampai 12 persen pasien dengan penyakit kandung empedu memiliki batu
pada CBD, temuan ini meningkat sesuai usia. Sekitar 20 sampai 25 persen
dari pasien diatas usia 60 tahun dengan gejala batu empedu memiliki batu
pada CBD sama seperti pada kandung empedu. Pada penelitian lainnya
disebutkan bahwa 8 sampai 18 persen pasien dengan batu kandung empedu
yang bergejala memiliki batu pada CBD, koeksistensi antara batu kandung
empedu serta batu pada CBD berhubungan dengan peningkatan usia, faktor
ras (keturunan asia), kondisi inflamasi kronis dan kemungkinan hipotiroid.4
Dalam perkembangannya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
terbentuknya batu dalam CBD, beberapa diantaranya adalah:4
1. Ras dan faktor genetik
2. Jenis kelamin wanita dan kehamilan

6
3. Usia
4. Obesitas, kehilangan berat badan serta aktifitas fisik
5. Tingkat serum lipid
6. Obat serta infeksi bakteri

2.5. Etiologi

Terdapat dua mekanisme pembentukan batu pada CBD yaitu primer


dan sekunder;

1. Batu CBD primer merupakan batu yang terbentuk secara de novo pada
duktus hepatikus ataupun duktus koledokus, kejadian ini terjadi lebih
sering pada keturunan Asia dibandingkan keturunan Barat, batu ini
biasanya berwarna cokelat kekuningan dengan konsistensi seperti lumpur;
secara biokimia batu ini tersusun atas kalsium bilirubinat yang tercampur
dengan sejumlah kolesterol dan garam kalsium. Penyebabnya masih belum
dapat diduga secara pasti namun infeksi bakteri serta statis bilier
diperkirakan merupakan dua faktor penyebab yang utama.4
2. Batu CBD sekunder merupakan batu yang berasal dari kandung empedu
komposisinya identik dengan batu pada kandung empedu, dimana
kebanyakan berwarna kuning kolesterol, atau pigmen kalkuli hitam dengan
konsistensi keras. Masih belum jelas kenapa batu kandung empedu bisa
bermigrasi ke CBD. Sebuah penelitian menyatakan bahwa ukuran dari
duktus sistikus menjadi determinan tunggal yang penting.4

2.6. Gejala Klinis

Manifestasi klinis yang khas dari batu CBD terjadi pada 70% pasien
terdiri atas; nyeri perut, ikterus dan urin berwarna pekat, feses dempul

1. Ikterus terjadi pada 80 persen kasus, obstruksi menyebabkan


meningkatnya bilirubin terkonjugasi, akibat obstruksi bilirubin
diglukoronida tidak dapat diekskresikan sehingga bilirubin ini kemudian
mengalami regurgitasi ke vena hepatika dan saluran limfe hati, dan

7
bilirubin terkonjugasi muncul di darah dan urin yang nantinya juga
menyebabkan pekatnya warna urin
2. Nyeri perut biasanya memiliki ciri kolik bilier, melibatkan kuadran atas
abdomen, terjadi pada 90 persen pasien. Serangan kolik bilier ini
disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu, menyebabkan
tekanan di duktus biliaris meningkat dan terjadi peningkatan kontraksi di
tempat penyumbatan yang mengakibatkan timbulnya nyeri visera pada
daerah epigastrium dan kuadran kanan atas abdomen
3. Feses dempul biasa terjadi pada ikterus obstruksi yang sistem biliernya
mengalami obstruksi total, hal ini dikarenakan empedu yang tidak dapat
dialirkan ke sistem pencernaan sehingga tidak adanya sterkobilinogen
pada feses.

2.7. Diagnosa

Pasien dengan keluhan kuning pada seluruh tubuh dapat didiagnosa


dengan berbagai penyakit, anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat
serta pemeriksaan penunjang yang tepat dapat membantu mendiagnosa
keadaan klinis ini.4

1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik


Pasien dengan ikterus obstruktif karena batu pada CBD umumnya datang
dengan keluhan utama kuning pada seluruh tubuh, keadaan ini biasanya
muncul secara tiba-tiba, awalnya kuning akan mulai terlihat pada daerah
sklera dan lama-kelamaan akan muncul pada seluruh tubuh. Saat
dilakukan pemeriksaan warna kuning juga dapat ditemukan didaerah
mukosa lidah.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut, terutama pada kuadran kanan
atas, nyeri ini bersifat hilang timbul. Feses berwarna dempul dapat juga
dikeluhkan oleh pasien, umumnya pasien juga mengeluhkan warna urine
yang pekat.

8
2. Pemeriksaan Penunjang
Tes Fungsi Hati
Uji fungsi hati yang dapat dilakukan antara lain adalah alanin transferase
(ALT/SGPT), alkaline phospatase dan ᵞ-glutamyl transferase.
Abnormalitas pada enzim hati dapat memberikan informasi tentang hati;
peningkatan dari ALT dapat menunjukan adanya sebuah proses dalam
hati. Aktifitas serum transaminase umumnya tidak meningkat pada pasien
dengan ikterus obstruktif, namun pasien dengan batu CBD dan kolangitis
dapat menunjukan peningkatan tetapi tidak memiliki nilai spesifisitas serta
sensitifitas, dalam hal ini serum bilirubin memiliki nilai yang lebih
bermakna dalam diagnose, peningkatan bilirubin direk maupun total
bilirubin dapat menjadi penunjang untuk diagnosa dari ikterus obstruksi.
Radiologi
Terdapat banyak pilihan pemeriksaan radiologi untuk mendiagnosa batu
pada CBD beberapa diantaranya adalah USG abdominal, endoscopic
ultrasonograpgy, CT-scan abdomen, Magnetic Resonance Cholangio
Pancreatography (MRCP) serta kolangiografi. Kolangiografi masih
menjadi pemeriksaan yang paling dipercaya untuk mendiagnosa batu
CBD, namun pemeriksaan ini bersifat invasif serta memiliki biaya yang
tinggi menyebabkan pemeriksaan ini tidak dijadikan pilihan pemeriksaan
untuk skrining.

9
Gambar 2 Algoritma Diagnosa Ikterus Obstruksi

2.8. Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan ialah untuk melakukan koreksi terhadap


gangguan bilier yang mendasari dan membersihkan semua batu yang ada
pada saluran bilier. Tujuan akhir seringkali membutuhkan beberapa
prosedur.4

1. Drainase Empedu Perkutan (Percutaneous Biliar Drainage)


Drainase empedu dilakukan sebagai penanganan temporer untuk pasien
kritis yang belum bisa mendapatkan terapi definitif. Salah satu cara
melakukan drainase adalah dengan menggunakan saluran buatan yang
mengalirkan empedu melalui gallbladder dengan cara kolesistostomi.
2. Eksplorasi CBD
Eksplorasi CBD memberikan pasien penanganan lengkap dan tepat
terhadap penyakit batu saluran bilier melalui satu prosedur invasif,
terdapat dua metode dalam melakukan eksplorasi CBD; secara
laparatomi maupun terbuka.

10
A. Eksplorasi CBD laparaskopik
Ketika keberadaan batu telah dikonfirmasi, kateter Fogarty dengan
ujung balon dimasukan melalui lubang pada duktus sistikus ke arah
duodenum dan dengan mantap menarik balin yang telah di
besarkan, jika manufer ini gagal untuk mengeluarkan batu, sebuah
keranjang berjaring dapat dimasukan dengan tuntunan floroskopik
kedalam CBD untuk mengambil batu. Pembersihan dari semua jenis
batu mencapai 75 persen sampai 95 persen pada eksplorasi CBD
secara laparaskopi.
B. Eksplorasi CBD terbuka
Tindakan ini semakin kurang dilakukan semenjak 15 tahun yang
lalu dengan meningkatnya tindakan eksplorasi perkutaneus,
endoskopik maupun laparaskopik. Tindakan ini biasanya dilakukan
jika metode lain gagal, tidak memungkinkan ataupun jika eksplorasi
terbuka memang mutlak harus dilakukan. Setelah memobilisasi
duodenum, dibuat suatu koledokotomi sedcara longitudinal.
Kombinasi dari teknik irigasi via kateter karet, memasukan ataupun
menarik balon kateter dan penggunaan kantong batu dilakukan
untuk mengeluarkan batu dari saluran empedu.
C. Tindakan lain yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan pada
batu CBD antara lain; ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholagiopancreography, ERCP merupakan sebuah teknik yang
menggunakan kombinasi dari endoskopi luminal dan gambaran
floroskopi untuk mendiagnosa sekaligus menangani kondisi yang
berhubungan dengan sistem pankreatobilier termasuk batu pada
CBD.

2.9. Komplikasi

Komplikasi biasa terjadi pada batu CBD, beberapa diantaranya adalah


kolangitis. Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus dan hal ini
bersifat serius. Jika antibiotic diberikan dengan cepat maka pada 75% kasus
infeksi tidak akan terjadi. Jika infeksi ini tidak tertangani maka infeksi dapat

11
menyebar dan dapat mengancam jiwa. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah pancreatitis. Batu CBD merupakan salah satu penyebab pancreatitis.
Kondisi ini dapat mengancam jiwa. Duktus pankreatikus yang menyalurkan
enzim-enzim pencernaan menyatu dengan duktus koledokus sebelum masuk
ke dalam usus, walaupun sangat jarang terjadi, batu empedu dapat berpindah
dari bagian bawah CBD menuju duktus pankreatikus.4

2.10. Anestesi Umum


Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara
sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur
bedah yang akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan,mempotensiasi
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

2.11. Faktor yang mempengaruhi anestesi umum


A. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke
dalam paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui
membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat
anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi
hal tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika dalam
alveolus.

12
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.

B. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Factor-faktor
yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam alveolus dan
darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika diserap jaringan
dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika dalam
darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan
seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak
aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
anesthesia yang adekuat.

C. Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak

13
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.

D. Faktor zat anestesika


Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar
minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara alveolus
yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap
rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat
anestesika tersebut.

2.12. Tahapan Tindakan Anestesi Umum


1. Penilaian dan persiapan pra anesthesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

2. Penilaian pra bedah

Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau
sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan
ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe

14
berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak


boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua
system organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

Kebugaran untuk anestesia


Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan
resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

15
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Contohnya: pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau
pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat. Contohnya: Pasien dengan syok atau
dekompensasi kordis.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. Contohnya: pasien
tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur
hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE
atau IIE

Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

16
Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan
bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

3. Induksi Anastesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.

17
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan
usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T :Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A :Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S :Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery
room (RR).

Aldrete Score

A. Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0

18
B. Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0
C. Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
D. Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0
E. Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan,

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi

Nama : Tn. S
No RM : 58.27.97
Tanggal lahir : 1 Februari 1969
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Jaya 2 No.22/ Sebrang Ulu II
Tanggal MRS : 21 November 2019

3.2 Anamnesis (Autoanamnesis) tanggal 2 Desember 2019


3.2.1 Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri pada perut bagian kanan atas 1 bulan SMRS
3.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke poli bedah RSUD Palembang Bari karena merasakan
nyeri pada perut bagian kanan atas sejak 1 bulan SMRS. Nyeri yang
dirasakan hilang timbul, pasien merasa keluhannya sekarang semakin
memberat. Terutama saat makan makanan yang banyak mengandung
lemak. Pasien mengatakan juga bahwa badannya kuning. Kuning dialami
penderita kurang lebih 7 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Menurut
penderita kuning dialami secara tiba-tiba. Pasien mengatakan bahwa telah
berobat ke dokter spesialis bedah digestif dan telah dilakukan pemeriksaan
USG. Dokter menyampaikan bahwa terdapat batu pada kandung empedu.
Buang air besar berwarna dempul/pucat disangkal oleh penderita. BAK
warna pekat diakui penderita, penurunan berat badan dan nafsu makan
disangkal oleh penderita. Penderita mengatakan terdapat riwayat demam
saat 4 hari dirawat di rumah sakit.

20
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi disangkal
2. Riwayat diabetes melitus disangkal
3. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
4. Riwayat asma disangkal
5. Riwayat operasi disangka
6. Riwayat anestesi disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat hipertensi disangkal
2. Riwayat asma disangkal
3. Riwayat diabetes melitus disangkal
4. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
5. Riwayat operasi disangka
6. Riwayat anestesi disangkal

3.3 Keadaan Pra Bedah


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
BB : 60 kg
TB : 170 cm
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Pernafasan : 21 x/menit, reguler
Nadi : 92 x/m (isi dan tegangan cukup)
Suhu : 36,8 0C

Airway
- Clear, tidak ada sumbatan jalan nafas.
- Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
- Respiratory Rate (RR) : 21 kali/menit.
- Penilaian LEMON

21
L (Look) : Tidak terdapat kelainan.
E (Evaluation) : Jarak antara gigi seri pasien 3 jari.
Jarak tulang tiroid dengan dagu 3 jari.

M (mallampati Score) : Grade 1


O (Obstruction) : Tidak terdapat sumbatan.
N (Neck Mobility) : Tidak ada keterbatasan gerakan kepala.
Breathing
- Suara napas vesikuler
- Tidak ada retraksi iga
- Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernapasan
Circulation
- Akral hangat
- Heart Rate (HR) 92 kali/menit, tegangan volume kuat dan cepat.
- Capillarity refill time (CRT) < 2 detik
- Konjungtiva tidak anemis.
Disability : GCS 15 (E: 4 V: 5 M: 6).
Exposure : Pasien diselimuti

3.4 Pemeriksaan Khusus


 Kepala
Mata : Conjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (+/+), pupil bulat,
isokor, edema palpebral (-)
Hidung : Sekret, darah (-)
Mulut : Mukosa bibir pucat (-) sianosis (-) atrofi papil lidah (-).
Leher : Jejas (-), JVP 5-2 cmH2O, Pembesaran KGB (-)
 Thoraks
Paru :Statis dan dinamis simetris, stem fremitus kanan=kiri, sonor,
vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung : BJ I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen : Datar, BU (+) normal, lemas, nyeri tekan (-), timpani
 Ekstremitas :Akral hangat, pucat (-), CRT < 2 detik, edema (-)

22
Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium (21 November 2019)


Hematologi
- Hb : 13,0 gr/dl
- Eritrosit : 4.290.000/uL
- Leukosit : 13.000 /uL
- Trombosit : 311.000 /uL
- Hematokrit : 38%
- PT (waktu protrombin) : 11.7 detik
- aPTT : 24 detik
- INR in blood : 0.76
by coagulation assay
- Diff count : 0/2/1/67/23/7
- Serologi : HbsAg(-)

Kimia darah (21 November 2019)


Gula darah sewaktu : 97 mg/dL
Bilirubin total : 5.5 mg/dL
Bilirubin direct : 4.4 mg/dL
Bilirubin indirect : 1.1 mg/dL
SGOT : 105 U/L
SGPT : 143 U/L
Ureum : 15.0 mg/dL
Creatinin : 0.4 mg/dL

 Radiologi (21 November 2019)


Rontgen thorax
Kesan : radiologis tak tampak kelainan thorax
 USG abdomen (14 November 2019)
Kesan : Suspect batu CBD ukuran 2,6 cm dan obstruksi ducturs billiaris
extrahepatal

23
 MRI
Kesan :
- Divertikel duodenum pars descendens sisi medial yang mengkompresi
CBD distal dan duktus pankreatikus, yang menyebabkan dilatasi duktus
billier intrahepatik dan ekstrahepatik serta dilatasi duktus pankreatikus.
- Multiple cholelithiasis intralumen gallbladder dan intraduktus sistikus,
disertai tanda cholesistitis.

 Laboratorium (1 Desember 2019)


Kimia darah
- Albumin : 3.39 g/dL
- Natrium : 136 mmol/L
- Kalium : 3.89 mmol/L
Lain-lain
- Klorida : 111 mmol/L

3.5 Resume
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang diatas,
maka :
- Diagnosis klinis : Ikterus Obstruktif e.c. Batu CBD
- Diagnosis Anestesi : ASA 2, mallampati I
- Rencana operasi : Laparotomi eksplorasi dan kolesistektomi
- Rencana Anestesi : General Anastesi dengan ETT

3.7 Laporan anestesi durante operasi (Catatan Anestesi)


Mulai anestesi : 2 Desember 2019, pukul 09:30 WIB
Lama anestesi : 1 jam 30 menit
Lama operasi : 1 jam
3.7.1 Status Fisik ASA
ASA 2
3.7.2 Penyulit Pranastesi
Tidak ada

24
3.7.3 Ceklist Sebelum Induksi
- Izin operasi :+
- Cek mesin anestesi :+
- Check suction unit :+
- Persiapan obat-obatan : +
3.7.4 Teknik Anestesi
General Anestesi dengan ETT (Endotracheal Tube) No. 7,5 dan OPA
(Oropharyngeal Airway)
3.7.5 Monitoring
SpO2 :+
TD :+
HR :+
3.7.6 Posisi Pasien
Supine
3.7.7 Pramedikasi : Injeksi Ondansetron HCl 1x4mg
3.7.8 Induksi
- Intravena : Injeksi propofol 1x130mg, Fentanyl 1x100 mcg
- Inhalasi : Sevoflurane 2%, Isoflurance 2,5%,O2
- Muscle Relaxan: Injeksi Atracurium 1x25 mg
3.7.9 Tambahan : Injeksi Dexamethason 1x 5mg, Injeksi Ketorolac
1x30 mg, Injeksi Asam Tranexamat 1x500mg

3.7.10 Observasi Tanda Vital

Tekanan Cairan
Pukul Nadi RR SpO2
Darah Infus

09:30 118/72 68 19 100 Ringer


Laktat
09:35 113/70 72 19 100 Ringer
Laktat
09:40 108/71 65 20 100 Ringer
Laktat
09:45 112/69 68 20 100 Ringer
Laktat

25
09:50 110/67 62 21 100 Ringer
Laktat
09:55 104/65 64 20 100 Ringer
Laktat
10:00 110/68 65 20 100 Ringer
Laktat
10.05 103/69 68 19 100 Ringer
Laktat
10.10 100/67 66 20 100 Ringer
Laktat
10.15 111/70 68 19 100 Ringer
Laktat
10.20 107/67 71 20 100 Ringer
Laktat
10.25 103/69 70 22 100 Ringer
Laktat
10.30 112/71 66 20 100 Ringer
Laktat
10.35 110/65 63 20 100 Ringer
Laktat
10.40 110/72 60 21 100 Ringer
Laktat
10.45 113/74 65 22 100 Ringer
Laktat
10.50 111/68 73 21 100 Ringer
Laktat
10.55 110/71 78 21 100 Ringer
Laktat
11.00 119/74 76 21 100 Ringer
Laktat

26
3.7.11 Lama Tindakan
- Lama pembiusan : 1jam 30 menit
- Lama Pembedahan : 1 jam

3.8 Post Operasi


3.8.1 Operasi berakhir pukul 11.00 WIB.
Selesai operasi pasien sadar kemudian pasien dipindahkan ke
Ruang Pemulihan (Recovery Room).

3.8.2 Di Ruang Pemulihan (RR)


- Jalan Nafas : Clear
- Pernafasan : Spontan, adekuat bersuara
- Kesadaran : Compos mentis

3.8.3 ADLRETE Score : 10


1. Sirkulasi :2
2. Kesadaran :1
3. Oksigenasi :2
4. Pernapasan :2
5. Aktivitas :2
* Score min 8 boleh pindah ruangan
Pindah ke Ruang Perawatan

3.8.4 Intruksi Pasca Bedah


Bila kesakitan : Sesuai instruksi dokter
Bila mual/muntah : Sesuai instruksi dokter
Antibiotik : Sesuai instruksi dokter
Obat-obatan lain : Sesuai instruksi dokter
Infus : sesuai instruksi dokter
Minum : Sesuai instruksi dokter
Pemantauan Tanda Vital : Tiap 60 menit selama 24 jam

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien, Tn.S, 50 tahun diantar ke ruang operasi untuk menjalani


laparotomi dengan diagnosis pre operatif ikterus obstruktif et causa suspect batu
empedu. Dari anamnesis diketahui bahwa pasien dengan keluhan nyeri pada perut
kanan atas sejak 1 bulan SMRS. Pasien mengatakan nyeri hilang timbul dan
makin memberat terutama saat makan-makanan yang berlemak. Menjelang
operasi pasien tampak sakit sedang dan kesadaran compos mentis. Pasien sudah
dipuasakan selama 6 jam. Sebelumnya telah melakukan pemeriksaan darah berupa
hematologi, kimia darah, dan serologi. Preoperatif merupakan tindakan yang
dilakukan sebelum anastesi dan proses pembedahan dimana dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan
baik. Dari proses preoperatif yang telah dilakukan didapatkan pada anamnesis
keluhan berupa nyeri perut bagian kanan atas sejak 1 bulan SMRS, pemeriksaan
fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 92 x/menit; respirasi 21 x/menit;
suhu 36,8 OC. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan bahwa
pasien masuk dalam ASA II. Klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa
kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka
mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan
sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam
jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal :
insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan
operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup

28
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil
(didonorkan)

Pada kasus pasien dipuasakan selama 6 jam. Sesuai dengan teori


pengosongan lambung untuk anestesia bertujuan mencegah aspirasi lambung
karena regurgitasi atau muntah. Pengosongan lambung dilakukan dengan puasa :
dewasa 6-8 jam, anak dengan makanan padat dan susu formula 6 jam, bayi dengan
ASI 4 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek
samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami
penurunan selama anestesia. Pada pasien diberikan premedikasi berupa obat
antiemetik ondansetron dengan dosis 4mg intravena.
Pada tahap induksi anestesi, pada pasien ini dilakukan dengan pemberian
Propofol secara intravena. Dosis propofol untuk induksi 2-3 mg/kgBB. Pada kasus
2-3x60 kg = 120-180 mg. Propofol dapat menghambat transmisi neuron yang
hancur oleh GABA di hippocampus, propofol menghambat pelepasan
acethylcholine pada hippocampus dan korteks prefrontal. Dan pemberian fentanyl
20 mcq (1 cc = 10 mcq) iv dengan dosis induksi 1-2 mcg/kgBB. Pada kasus 1-
2x60 kg = 60-120 mcg karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi
dan eliminasi yang cepat.
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid
mekanisme kerja agonis opioid meghalsikan analgesia dengan berikatan dengan
reseptor spesifik-terkait protein G yang berada pada otak dan korda spinalis yang
berperan dalam penyaluran nyeri. Beberapa efek mungkin diperantarai oleh
reseptor opioid di ujung saraf sensorik perifer. Indikasi penggunaan pada fentanyl
yaitu sebagai analgesia, menghilangkan rasa cemas, dan sedasi. Masa kerja 1-4
jam, toksisitas depresi pernapasan, konstipasi berat, mudah memicu ketagihan dan
kejang. Efek penggunaan agonis opioid terdapat pada saraf pusat dan saraf perifer.
Efek pada saraf pusat yaitu analgesia, euforia, mengantuk, depresi pernapasan,
penekan batuk, miosis, rigiditas tunkus, mual dan muntah. Efek pada perifer yaitu

29
pada sistem kardiovaskuler tidak memiliki efek langsung pada jantung selain
bradikardia, saluran cerna terdapat reseptor opioid dan efek konstipasi opioid
diperantarai oleh suatu efek pada sistem saraf di usus, opioid meyebabkan
kontraksi otot polos saluran empedu yang menyebabkan kolik empedu, fungsi
ginjal tertekan oleh opioid sehingga berkurangnya aliran plasma ginjal serta
meningkatkan absrobsi natrium di tubulus ginjal, pada neuroendokrin akan
merangsang pelepasan ADH dan menghambat pengeluaran LH, pada uterus akan
memperlama persalinan, dan pruritus. Dosis tinggi fentanil menimbulkan
kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid
pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson.
Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan
sebagai anelgesi pasca operasi.
Diberikan pula atracurium yang merupakan neuromuscular blocking yang
sangat selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang.
Waktu paruh eliminasi selama 20 menit. Dosis pemberian intravena adalah 0,3-
0,6mg/kg, sehingga pada kasus 0,3-0,6 x 60 = 18-36 mg. Blokade penuh dapat
diperpanjang dengan dosis tambahan 0,1-0,2 mg/kg. Obat tambahan berupa
dexamethasone dengan dosis terapeutik 0.1-0.5 mg/kgBB. Pada pasien 0.1-0.5 x
60 = 6,0-30 mg.
Sebagai analgetik digunakan Ketorolac sebanyak 1 ampul (1 ml) berisi 30
mg/ml, disuntikan iv. Ketorolac merupakan nonsteroid anti inflamasi (AINS)
yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menghilangkan
rasa nyeri/analgetik efek. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara
dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang
lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada efek
depresi nafas pada percobaan klinis. Dosis ketorolac 0,2 mg/kgBB, sehingga pada
pasien ini diberikan ketorolac sebanyak 0,2 x 60 = 12 mg.
Pada pasien dilakukan pemasangan ETT dengan ukuran no. 7,5, dimana
berdasarkan teori pada operasi yang lama harus dilakukan intubasi, selain itu
karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi pada pasien obesitas pada semua
kasus anestesi umum yang lama.

30
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada
mesin anestesi yang menghantarkan gas sevoflurance dengan ukuran 2 vol% dan
isoflurance 0,2% dengan oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil
melakukan bagging selama kurang lebih 2 menit untuk menekan pengembangan
paru. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek
induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan baunya
pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular pun
relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi diturunkan untuk
menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien.
Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas spontan menjelang operasi
hampir selesai. Setelah operasi selesai lalu mesin anestesi diubah ke manual
supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevoflurance dan isoflurance
dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan
ekstubasi ETT secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Operasi selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir; Tekanan darah
119/74 mmHg, Nadi 76 x/menit, pernapasan 21 x/menit dan SpO2 100%. Pasien
kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang
pemulihan, jalan nafas dalam keadaan baik, pernafasan spontan dan adekuat serta
kesadaran compos mentis.

31
BAB V
KESIMPULAN

1. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan


menggunakan ETT (Endotracheal Tube) dan OPA (Oropharyngeal Airway)
dengan nafas kontrol.

2. Obat-obatan yang digunakan dalam premedikasi adalah ondensentron


sedangkan untuk trias anestesinya meliputi propofol, fentanyl, atracurium,
ketorolac, dan sevoflurane dan isoflurane dan diberikan antikolinergik dan
antikolesterase yaitu atropin sulfat dan neostigmin.

3. Selain dengan general anestesi operasi laparotomi kolesistomi dapat pula


dilakukan dengan regional anestesi berupa anestesi spinal dan dinyatakan
aman untuk laparoskopi kolesistomi.

4. Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada
operasi laparotomy kolelisistomi pada penderita laki-laki, usia 50 tahun, status
fisik ASA II, dengan diagnosis pra operasi Ikterus Obstruktif e.c. Batu CBD,
diagnosa post operasi kolesistektomi

5. Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.

32

Anda mungkin juga menyukai