Anda di halaman 1dari 7

SANITASI AIR

PENYEDIAAN AIR BERSIH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas I


Dosen Pembimbing :
Cory Nelia Damayanti, S.Kep., Ns., M.Kes

Penyusun Kelompok 6
Rohimatus Sholihah 717.6.2.0927
Indri Nur Safitri 717.6.2.0911
Nur Aini Fahmiah 717.6.2.0918
Khoirul Anam 717.6.2.0931
Agus Indrayani 715.6.2.0583
Hadi Nur Imam Cahyadi 714.6.2.0540

UNIVERSITAS WIRARAJA
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
DESEMBER TAHUN 2019
ARTIKEL

Hingga kini, masalah sanitasi di Indonesia masih menjadi perkara pelik


yang berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat serta keseimbangan
lingkungan. Pembangunan sarana sanitasi yang layak masih relatif rendah dan tak
sebanding dengan jumlah penduduk. Masalah ini barangkali akan terdengar sepele
bagi masyarakat dengan persediaan air bersih cukup dan lingkungan yang sehat.
Akan tetapi, di daerah-daerah terpencil yang jauh dari pengawasan kita, sanitasi
yang buruk dapat berujung pada ancaman kematian.

Menurut World Health Organization, sanitasi dapat didefinisikan sebagai:


upaya dalam penyediaan sarana dan pelayanan untuk pembuangan limbah yang
berasal dari manusia, semisal urine dan feses. Selain itu, sanitasi juga bisa
merujuk pada pemeliharaan kondisi yang bersih, pengelolaan sampah, dan
pengolahan limbah cair.

Berdasarkan data dari UNICEF, terdapat beberapa isu penting terkait


masalah sanitasi tersebut:

“Sanitasi yang buruk menyumbang angka 88 persen pada kematian anak


akibat diare di seluruh dunia”

Bagi penderita anak-anak yang bertahan hidup, masalah diare tersebut


merambah pada masalah gizi. Pada akhirnya, efek dari gizi buruk menghalangi
anak-anak untuk beraktivitas, meraih potensi maksimal, dan berujung pada
memburuknya kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Tentu saja,
dampak terbesarnya adalah menurunnya produktivitas suatu bangsa.

Di Indonesia, diare menjadi penyebab utama kematian anak berusia di


bawah lima tahun. Menurut laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada
tahun 2007, diare bertanggung jawab pada 31 persen kematian anak usia 1 bulan
hingga 1 tahun, juga 25 persen pada anak berusia 1 hingga 4 tahun. Selain itu,
tercatat persentase diare dari rumah tangga yang menggunakan sumur terbuka
untuk air minum, 34 persen lebih tinggi daripada yang menggunakan air ledeng.
Pada anak-anak dari keluarga yang membuang kotoran di sungai 66 persen lebih
tinggi daripada yang menggunakan toilet pribadi.

Sering diabaikan pentingnya peran kebersihan. Padahal, kematian akibat


penyakit diare bisa dicegah. Tidak hanya dengan perbaikan sistem sanitasi, tetapi
juga dengan hal-hal sederhana. Misalnya, disiplin mencuci tangan menggunakan
sabun antibakteri setiap kali selesai beraktivitas, dikaji dapat mengurangi risiko
terserang diare hingga 47 persen.

Pada daerah-daerah kumuh perkotaan, sanitasi yang buruk lebih berisiko


mendatangkan penyakit. Budaya kebersihan yang buruk, kepadatan penduduk,
serta kontaminasi air oleh limbah, semakin memperparah risiko munculnya
penyakit. Bukan hanya diare, tetapi juga penyakit lainnya yang berhubungan
dengan kebersihan.

Praktik kebiasaan buruk di kalangan kurang berpendidikan, dapat memicu


mewabahnya penyakit. Menurut studi UNICEF pada tahun 2000 tentang “mega-
kota”, penduduk miskin di pinggiran Kota Jakarta kurang berpendidikan
dibandingkan masyarakat Jakarta sendiri. Studi serupa juga menghitung angka
kematian; daerah-daerah miskin tersebut memiliki angka kematian lima kali lebih
tinggi.

Selain itu, hambatan-hambatan lainnya turut menghalangi masyarakat


menjaga kesehatannya. Koordinasi lembaga-lembaga terkait air bersih tidak cukup
kuat. Sebagai contoh, kontraktor yang membangun sistem perairan di desa-desa
lebih bertanggung jawab pada pemerintah, bukan pada masyarakat pedesaan itu
sendiri. Hal ini diakibatkan oleh kurang kuat dan rapinya struktur manajemen dari
masyarakat yang bersangkutan.

Kurangnya keahlian dalam sektor perairan dan kapasitas kelembagaan,


sering kali menghambat banyak pemerintah kabupaten. Alasan utamanya adalah
desentralisasi yang membuat kabupaten-kabupaten terpencil sulit merekrut tenaga
ahli. Adapun SDM berkualitas dari kabupaten biasanya lebih memilih tinggal dan
bekerja di daerah perkotaan, alih-alih membangun kampung halamannya sendiri.
Tidak ada data yang memadai tentang perkembangan sanitasi air dan
kebersihan, air bersih di sekolah. Padahal, kunjungan lapangan telah menunjukkan
perlunya peningkatan terhadap perihal tersebut. Berdasarkan data dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 77 persen Sekolah
Menengah Pertama dilengkapi dengan persediaan air bersih dan sumur ledeng.
Artinya, sebanyak lebih dari 10.000 SMP tidak memiliki fasilitas itu. Pada skala
yang lebih besar, diperkirakan hingga 50.000 sekolah memerlukan fasilitas air
bersih dan sanitasi yang layak.

Pembudayaan air bersih di kota-kota tidak diskema secara baik, serta


lingkupnya terbilang sempit. Pada tahun 2009, dari 402 perusahaan daerah air
minum (PDAM) yang melayani perkotaan, hanya 31 PDAM yang mempunyai
lebih dari 50.000 sambungan. Kurang optimalnya ruang lingkup itu malah
membuat biaya operasional lebih tinggi. Sementara pada tahun 2010, hanya 30
PDAM yang sanggup menutup biaya operasional dan pemeliharaan sistem secara
benar. Karena itulah, sistem persediaan air bersih pada umumnya tidak terawat
dan berstandar rendah.

Sistem sanitasi serta pembuangan kotoran dan air limbah di kota-kota


besar, umumnya kurang memadai dan tidak dikelola dengan baik. Bank Dunia
menaksir, setiap tahun, rumah tangga tanpa sanitasi layak di Jakarta membuang
260.731 ton kotoran manusia ke pengumpulan-pengumpulan air tanpa melewati
pengolahan. Sementara untuk seluruh Indonesia, angkanya mencapai 6,4 juta ton.

Sementara itu, pengelolaan limbah padat di perkotaan tidak dilakukan


dengan baik. Lembaga yang bertanggung jawab terhadap hal itu melakukan
kontrak dengan pengusaha-pengusaha swasta kecil. Pengusaha-pengusaha itu
mengumpulkan sampah dari rumah-rumah, membawanya ke fasilitas
penampungan sementara, kemudian sampah diangkut oleh lembaga tersebut.
Sistem ini sering kali tidak berjalan baik karena kurangnya disiplin dari berbagai
pihak.

Akibat kesadaran yang buruk, kondisi terkait kebersihan kerap menjadi


imbasnya. Tidak hanya di tempat-tempat umum seperti pasar lokal atau kawasan
ramai lainnya, di pusat-pusat kesehatan pun kebersihan masih mengkhawatirkan.
Ketidakpedulian itu berkembang menjadi budaya, dan berujung pada konsekuensi
seperti penyakit. Berdasarkan survei yang dilakukan Universitas Indonesia tahun
2005 pada enam provinsi, kurang dari 15 persen ibu yang mencuci tangan dengan
sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, sebelum makan,
atau bahkan sebelum menyuapi anak.

Sosialisasi pada hal terkait tergolong sangat jarang. Sistem sanitasi yang
buruk merupakan isu sosial yang butuh penanganan masyarakat secara gotong-
royong. Namun, inisiatif tersebut cenderung tak terlihat. Sebagian masyarakat
yang berbudaya bersih cenderung mengabaikan sekitar. Padahal, solusi sederhana
dari masalah ini adalah kerja sama antar sesama penduduk dan pemerintah.
HASIL TELAAH ARTIKEL

1. PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)

Langkah pertama dan yang paling mendasar di sini adalah pemerintah


terus menggalakkan upaya penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap
lingkungan sekitarnya. Penyuluhan tentang PHBS sebaiknya lebih dimulai
dari dini. Bahkan sejak taman kanak-kanak pun, pemerintah harus
memberikan penyuluhan juga. Mulai dari hal-hal kecil seperti mencuci tangan
sebelum makan, gosok gigi dua kali sehari, dan lainnya. Sehingga, penanaman
perilaku hidup sehat dapat teraplikasikan sejak anak didik berada di
pendidikan dasar.

PHBS seharusnya juga tidak hanya diberikan kepada anak-anak. Orang


tua pun juga perlu diberi pengetahuan tentang ini. Sebab, orang tua-lah yang
membentuk pribadi dan perilaku anak tersebut. Secara tidak langsung, orang
tua juga menjadi pengawas bagi anak saat di rumah, apakah anak tersebut
mampu melaksanakan perilaku hidup sehat ataukah tidak.

Selain itu, instansi - instansi pemerintah, masyarakat, pendidikan dan


lainnya juga harus diberi penyuluhan tentang ini. Dengan begitu, fasilitas di
lembaga mereka tentu harus memenuhi standar, bahkan di atas standar.

2. Meningkatkan Kesadaran Masyarakat

Pemerintah harus mempromosikan upaya menumbuhkan kesadaran


masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya terutama dalam memilih dan
menggunakan air yang ada di sekitarnya. Masyarakat harus tau ciri-ciri air
yang layak digunakan dan bersih. Hal ini dikarenakan masih ada masyarakat
yang tak peduli akan kebersihan air. Karena pemakaian air yang tidak
memenuhi standar kualitas akan menimbulkan gangguan kesehatan seseorang.
Karena air yang terkontaminasi dapat membawa penyakit, salah satunya adala
diare.
3. Peningkatan Kualitas Air.

Caranya dengan membuat sistem pengolahan air sungai dengan


meningkatkan kualitasnya. Semua itu melalui di uji kualitas di
laboratorium bahwa itu memang layak digunakan oleh masyarakat atau
tidak.

4. Menaikkan Anggaran Untuk Meningkatkan Fasilitas Untuk


Mengakses Air Bersih

Langkah kedua yang harus dilaksanakan, setelah kesadaran masyarakat


dapat ditumbuhkan, maka pemerintah menaikkan anggaran untuk
meningkatkan fasilitas untuk mengakses air bersih serta sanitasi air yang
layak. Diperlukan kebijakan yang responsif, pemusatan pada tindakan-
tindakan, pemeliharaan dan pengembangan fasilitas, serta konsistensi yang
berkala.

5. Menjalin Kerja Sama Dengan Lembaga-Lembaga Internasional

Langkah yang ketiga, apabila di rasa APBD telah mencapai titik


maksimum, sehingga tidak dapat dinaikkan lagi, pemerintah juga dapat
menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional yang
berkaitan dengan hal ini. Organisasi berbasis komunitas dapat bertanggung
jawab untuk menyediakan layanan air bagi masyarakat terutama bagi
masyarakat pedesaan.

Anda mungkin juga menyukai