Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38o C)
yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang terjadi karena kenaikan suhu
tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak
berumur 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang terjadi.
Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini, melainkan
termasuk dalam kejang neonatus.1
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering di
jumpai pada bayi dan anak. Sekitar 2,2% hingga 5% anak pernah mengalami kejang
demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Kejang demam adalah kejang yang
terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun dan berhubungan demam
serta tidak di dapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas di
intrakranial.2

Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA Hampir 1,5 juta, dan sebagian
besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan puncak pada usia 18
bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi di berbagai negara. Daerah Eropa
Barat dan Amerika tercatat 2-4% angka kejadian Kejang demam per tahunnya.
Sedangkan di India sebesar 5-10% dan di Jepang 8,8%. Hampir 80% kasus adalah
kejang demam sederhana (kejang <15 menit, umum, tonik atau klonik, akan
berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam).
Sedangkan 20% kasus merupakan kejang demam komplikata (kejang >15 menit,
fokal atau kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari satu kali
dalam 24 jam).2

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan
sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan
laryngiti. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun daerah iklim panas.
Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau
bekerja dilingkuangan anak-anak.3

1
Nyeri tenggorokan merupakan gejala klinis utama yang terjadi pada sepertiga
respiratori atas. Faringitis streptokokus jarang yang terjadi pada anak dengan usia
sebelum 2-3 tahun, namun insiden meningkat pada anak usia pra sekolah dan
mengalami penurunan pada akhir remaja sampai dewasa. Faringitis streptokolus
terjadi sepanjang tahun didaerah beriklim subtropis, dengan puncak kejadian pada
musim dingin dan semi. Penyakit ini kerap menular antara saudara kandung dan
teman sekelas. Infeksi virus umumnya menyebar melalui kontak erat dengan orang
yang terinfeksi, dengan puncak insiden pada musin dingin dan musin semi.4

Berdasarkan hal diatas, maka kita perlu memahami bagaimana


penatalaksanaan kejang deman dengan disertai resiko faringitis. Oleh sebab itu,
diangkat salah satu kasus dengan diagnosa kejang demam dan faringitis yang
terdapat dirumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam

2.1.1 Definisi Kejang Demam1


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.
Keterangan:
1. Kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan
elektrolit atau metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut
sebagai kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali.
National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan,
sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan
batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama
infeksi susunan saraf pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1

2.1.2 Epidemiologi2
Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA Hampir 1,5 juta, dan sebagian
besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan puncak pada usia 18
bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi di berbagai negara. Daerah Eropa
Barat dan Amerika tercatat 2-4% angka kejadian Kejang demam per tahunnya.
Sedangkan di India sebesar 5-10% dan di Jepang 8,8%. Hampir 80% kasus adalah
kejang demam sederhana (kejang <15 menit, umum, tonik atau klonik, akan
berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam).

3
Sedangkan 20% kasus merupakan kejang demam komplikata (kejang >15 menit,
fokal atau kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari satu kali
dalam 24 jam).2

2.1.3 Patofisiologi5
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan
atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
neuron otak.Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu
kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron
untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya eksitasi
sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang
berulang.Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan
berlangsung terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.5

2.1.4 Klasifikasi1
 Kejang demam sederhana(simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk
kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.
Keterangan:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit
dan berhenti sendiri.
 Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini :

1. Kejang lama > 15 menit

4
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial.

3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Kejang demam yang berlangsung lama adalah kejang yang berlangsung


lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan
kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang
fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak
yang mengalami kejang demam.1

2.1.5 Faktor resiko6


1. Demam
A. Demam yang berperan pada KD, akibat :
 Infeksi saluran pernafasan
 Infeksi saluran pencernaan
 Infeksi THT
 Infeksi saluran kencing
 Roseola infantum/infeksi virus akut lain
 Paska imunisasi
B. Derajat demam :
 75% dari anak dengan demam ≥ 390C
 25% dari anak dengan demam > 400C
2. Usia
 Umumnya terjadi pada usia 6 bulan- 6 tahun
 Puncak tertinggi pada usia 17-23 bulan
 Kejang demam sebelum usia 5-6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi
SSP.
 Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile
seizure plus (FS+)

5
3. Gen
 Resiko meningkat 2-3x bila saudara sekandung mengalami kejang demam
Resiko meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam.6

2.1.6 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang(6,1)


1. Pemeriksaan fisik6
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tand-tanda vital dan kesadaran. Pada
kejang demam tidak ditemukan penurunan kesadaran. Pemeriksaan umum
ditujukan untuk mencari tanda-tanda infeksi penyebab demam. Pemeriksaan
neurologi meliputi kepala, ubun-ubun besar, tanda rangsang maningeal, pupil,
saraf kranial, motrik, tonus otot, refleks fisiologis dan patologis.6

2. Pemeriksaan penunjang1
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.
 Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairam serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan
diagnosis meningitiskarna manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karna itu
pungsi lumbal dianjurkan pada :

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan


2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.

6
 Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karna itu tidak direkomendasikan. Pemeriksaan
EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas.
Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia 6 tahun atau kejang demam
fokal.
 Pencitraan
Foto x ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
Scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema1

2.1.7 Prognosis1
 Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition
memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan
pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama.

 Kemungkinan berulangnya kejang demam


Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

7
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebutkemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.

 Faktor risiko terjadinya epilepsi


Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.

 Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.1

2.1.8 Penatalaksanaan saat kejang1


Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.

8
Obat yangpraktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit.
Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.1

2.1.9 Pemberian obat pada saat demam1


 Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali
diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/
kg/kali3-4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan
sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam
asetilsalisilat tidak dianjurkan.

 Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius

9
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal
0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12
kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali.
Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

 Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan:
• Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.
• Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.

 Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang

10
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

 Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.1

2.1.10 Edukasi pada orangtua1


Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis
baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.1

2.2 Faringitis

11
2.2.1 Definisi Faringitis3
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dansering meluas ke
jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsillitis,
rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di
daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih
memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.3

2.2.2 Epidemiologi4
Nyeri tenggorokan merupakan gejala klinis utama yang terjadi pada
sepertiga infeksi respiratori atas. Faingitis streptokokus jarang terjadi pada anak
dengan usia sebelum 2-3 tahun, namun insidens meningkat pada anak usia
prasekolah dan mengalami penurunan pada akhir masa remaja sampai dewasa.
Faringitis streptokokus terjadi sepanjang tahun di daerah beriklim subtropis, dengan
puncuk kejadian pada musim dingin dan musim semi. Penyakit ini kerap menular
antara saudara kandung dan teman sekelas. Infeksi virus umumnya menyebar
melalui kontak erat dengan orang yang terinfeksi, dengan puncak insidens pada
musim dingin dan musim semi.4

2.2.3 Etiologi dan patogenesis3


Tanda , diagnosis dan penyebab
Faringitis mempunyai karakteristik yaitu demam yang tiba-tiba, nyeri
tenggorokan, nyeri telan, adenopati servikal, malaise dan mual. Faring, palatum,
tonsil berwarna kemerahan dan tampak adanya pembengkakan. Eksudat yang
purulen mungkin menyertai peradangan. Gambaran leukositosis dengan dominasi
neutrofil akan dijumpai. Khusus untuk faringitis oleh streptococcus gejala yang
menyertai biasanya berupa demam tiba-tiba yang disertai nyeri tenggorokan,
tonsillitis eksudatif, adenopati servikal anterior, sakit kepala, nyeri abdomen,
muntah, malaise, anoreksia, dan rash atau urtikaria.
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan, kultus swab
tenggorokan. Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 90 - 95 % dari diagnosis,
sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis yang diandalkan.

12
Faringitis yang paling umum disebabkan oleh bakteri streptococcus
pyogenes yang merupakan streptocci Grup A hemolitik. Bakteri lain yang mungkin
terlibat adalah streptoccus Grub C, Corynebacterium diptheriae, Neisseria
Gonorrhoeae. streptococcus hemolitik Grub A hanya dijumpai 15-30 % dari kasus
faringitis pada anak-anak dan 5-10 % pada faringitis dewasa. Penyebab lain yang
banyak dijumpai adalah nonbakteri, yaitu virus-virus saluran napas seperti
adenovirus, influenza, parainfluenza, rhinovirus dan respiratory syncytial virus
(RSV). Virus lain yang juga berpotensi menyebabkan faringitis adalah echovirus,
coxsackievirus, herpes simplex virus (HSV). Epstein barr virus (EBV) seringkali
menjadi penyebab faringitis akut yang menyertai penyakit infeksi lain. Faringitis
oleh karena virus dapat merupakan bagian dari influenza.3

2.2.4 Manifestasi Klinis4


Inflamasi faring menyebabkan nyeri tenggorokan, disfagia dan demam.
Apabila proses radang lebih menonjol pada area tonsil, maka digunakan istilah
tonsilitis atau tonsilofaringitis.
Awitan faringitis streptokokus seringkali cepat dan memiliki gejala nyeri
tenggorokan yang hebat dan demam sedang sampai tinggi. Sakit kepala, mual,
muntah dan nyeri abdomen adalah gejala klinis yang sering terjadi. Karakteristik
penyakit ini adalah adanya tonsil yang memerah seperti buah cherry, membesar dan
diliputi oleh eksudat kekuningan yang berbercak darah. Dapat ditemukan petekie
atau lesi berbentuk seperti donat pada palatum molle dan faring posterior. Area
uvula berwarna merah, berbintik-bintik, dan bengkak. Kelenjar limfe anterior
membesar dan nyeri bila disentuh. Namun, pada sebagian besar anak faringitis
timbul dengan eritema ringan tanpa adanya eksudat pada tonsil ataupun limfadenitis
servikalis. Penegakan diagnosis faringitis streptokokus tidak dapat dilakukan hanya
berdasar manifestasi klinis semata.

Selain nyeri tenggorokan dan demam, pada beberapa pasien dapat terdapat
stigmatat demam scarlatina (scarlet fever), yaitu pucat pada area sirkumoral, lidah
seperti stroberi ( strawberry tongue), dan ruam makulopapular eritematosa yang
bersifat difusi, yang menimbulkan rasa menonjol (goose flesh). Lidah pada awalnya
tertutup lapisan putih, namun papilla lidah yang berwarna merah dan edema tampak

13
menembus lapisan tersebut, sehingga tampak gambaran white strawberry tongue.
Saat lapisan putih terkelupas, lidah diarea yang dikerok akan berwarna merah
seperti daging segar dan terlihat tonjolan-tonjolan papila. Pasien yang terinfeksi A
haemotilikum juga memiliki manifestasi klinis yang serupa.

Dibandingkan dengan faringitis streptokokus yang klasik awitan faringitis


akibat infeksi virus secara tipikal bersifat gradual dan gejala klinis yang sering kali
muncul adalah rinorea, batuk dan diare. Umunya infeksi respiratori akan
menunjukkan gejala klinis seperti rinorea dan hidung tersumbat, sedangkan gejala
sistemik seperti malgia dan demam tidak ada atau hanya ringan saja.

Gingivostomatitis merupakan gejala klinis khas dari infeksi virus herpes


simpleks tipe 1. Herpangina terjadi pada infeksi enterovirus dengan demam tinggi
yang terjadi tiba-tiba, muntah, sakit kepala, malaise, mialgia, nyeri punggung,
konjungtivitis, nafsu makan menurun, mengalir (drooling), nyeri tenggorkan, dan
disfagia, lesi mulut herpangina tidak bersifat spesifik, tetapi secara klasik terdapat
satu atau lebih lesi vesikuler yang kecil, nyeri dan berbbentuk papul atau pintoint,
yang tersebar pada palatum molle, uvula dan lidah yang kemerahan. Lesi vesikel
ini dapat membesar dari 1 mm menjadi 2 mm, menjadi 3 mm dan 4 mm, dalam 3-
4 hari, kemudian rupture, dan menjadi ulkus kecil bergaung (punched-out ulcer)
yang menetap selama beberapa hari.4

2.2.5 Penegakan diagnosis6

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeroksaan penunjang bila diperlukan

1. Faringitis akut
a. Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh rinovirus, adenovirus, Epstein Barr Virus (EBV), virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus, dan lain-lain. Pada adenovirus juga
menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
b. Faringitis bakterial
Infeksi grup A stereptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis
pada orang dewasa (15 %) dan pada anak (30 %).

14
Faringitis akibat infeksi bakteri streptokokus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakan centor criteria, yaitu :
 Demam
 Anterior cervical lymphadenopathy
 Eksudat tonsil
 Tidak ada batuk

Tiap kriteria ini bila dijumpai di beri skor 1. Bila skor 0-1 maka pasien tidak
mengalami faringitis akibat infeksi streptokokus grup A, bila skor 1-3 maka pasien
memiliki kemungkinan 40 % terinfeksi streptokokus group A dan bila skor 4
padien memiliki kemungkinan 50 % terinfeksi streptokokus group A.

c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh dimukosa rongga mulut dan faring
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.

2. Faringitis kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior
faring.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada
rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur serta kelembapannya sehingga
menimbulkan rangsangan serta kelembapannya sehingga menimbulkan
rangsangan serta infeksi pada faring.

3. Faringitis spesifik
a. Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru
b. Faringitis leutika
Treponema pallidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring, seperti juga
penyakit lues di orga lain. Gambaran klinik tergantung stadium penyakitnya.6

15
2.2.6 Penatalaksanaan6
1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air hangat dan berkumur dengan obat kumur antiseptik untuk
menjaga kebersihan mulut. Pada farangitis fungal diberikan nystatin 100.000-
400.00 IU, 2 x/perhari. Untuk faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan
melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin
25 %.
4. Untuk infeksi virus, dapat diberikan anti virus Isoprinosine dengan dosis 60-
100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 x/hari pada orang dewasa dan pada anak <5
tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6x/hari.
5. Untuk faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyababnya streptococcus
grup A, diberikan antibiotik amoksisilin 50 mg/kgBB dosisi dibagi 3 x/hari
selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin
4 x 500 mg/hari.
6. Pada faringitis gonorea, dapat diberikan sefalosporin generasi ke-3, seperti
seftriakson 2 gr IV/IM sinle dose.
7. Pada faringitis kronik hiperplastik, penyakit hidung dan sinus parasanal harus
diobati. Pada faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
Sedangkan, pada farangitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik 1 x/hari
selama 3-5 hari.
8. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
9. Analgetik-antipiretik
10. Selain antibiotik, kortikosteroid juga diberikan untuk menekan reaksi inflamasi
sehingga mempercepat perbaikan klinis. Steroid yang diberikan dapat berupa
deksametason 3 x 0,5 mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01
mg/kgBB/hari dibagi 3 x/hari selama 3 hari.6

16
BAB III

TINJAUAN KASUS

Nama Pasien : An. MA


Alamat : Balai Bagamba kubang Putiah, Agam
Agama : Islam
Jenis kelamin : laki-laki
Tempat, Tanggal lahir : 16 Juni 2017
Umur : 4 tahun
Tanggal masuk : sabtu 4 mei 2019
No. rekam medik : 00120XXX

Anamnesa
Seorang anak laki-laki berumur 2 tahun masuk instalasi gawat darurat di rumah
sakit Stroke Nasional Bukittingi pada tanggal 4 mei 2019 WIB. Pasien masuk
dengan keluhan utama kejang lebih kurang 1 kali dengan durasi kurang dari 2
menit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengalami Demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, demam
yang dialami pasien disertai kejang seluruh tubuh lebih kurang 1 kali dengan
durasi kurangdari 2 menit, setelah mengalami kejang pasien sadar kembali. Pasien
juga mengalami batuk dan pilek.

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Sebelumnya pasien memiliki riwayat kejang pada umur lebih kurang 1 tahun.
Kejang terakhir dialami pasien lebih kurang 5 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga


Menurut hasil penelusuran kami, tidak ada riwayat orang tua yang mengalami
kejag sebelumnya maupun saudara pasien.

17
Riwayat Imunisasi
- BCG
- Polio 3 kali
- Hepatitis 3 kali
- DPT 3 kali
- Campak 1 kali

Riwayat Persalinan
- Pasien memiliki riwayat persalinan normal yang ditolong loeh bidan.
- Berat badan 3000 gram
- Panjang badan 50 cm

3.5 Data penunjang


3.5.1 Pemeriksaan fisik
1. Tanda vital
- Kondisi umum : sedang
- Kesadaran : compos mentis (CM)
- Frekuensi nadi : 100 kali/menit
- Frekuensi nafas : 20 kali/menit
- Suhu : 40 ° C
- GCS : E4 M6 V5
- Tekanan darah :

2. Data laboratorium
Test Nilai normal Hasil

Hemoglobin Laki-laki : 13,5-17,5 11,7 g/dL


g/dL
Leukosit 4,4 -11,3 x103 / µL 30,42 x 103 /µL

Eritrosit Laki-laki : 4,5 – 5,9 x 10 4,31x 106 / µL


6
/µL
Trombosit 150-450x 103 /µL 297x103 /µL

18
Hematokrit Laki-laki 35-45 % 33,5 %

Basofil 0–1% 0,3 %

Eosinofil 0–4% 2,3 %

Neutrofil 55 – 80 % 86,2 %

Limfosit 22 – 44 % 8,7 %

Monosit 0–7% 2,5 %

MCV 80 – 96 fL 77,8 fL

MCH 28 - 33 pg 27,1 pg

MCHC 33 – 36 g/dL 34,9 g/dL

RDW 11,6 – 14,6 % 11,8 %

Glukosa sewaktu < 200 122 mg/dL

3.6 Diagnosa
- Kejang demam simplek
- Faringitis akut (tonsilitis)

3.7 Terapi/ Tindakan


- Injeksi luminal 75 mg rute pemberian IV
- IVFD kaen 1B + kcl 10 meg rute pemberian IV
- Parasetamol 4 x 250 mg rute pemberian oral
- Injeksi cefotaxim 2 x 200 mg rute pemberian IV
- Luminal 2 x 64 mg (2 hr) rute pemberian oral
- ML 1400 kkal

3.8 Terapi yang diberikan dibangsal anak


- IVFD kaen 1B + KCl rute pemberian IV

19
- Parasetamol 4 x 250 mg rute pemberian oral
- Luminal 2 x 64 mg rute pemberian oral
- Cefotaxim 2 x 800 mg rute pemberian IV

3.9 Follow Up berdasarkan visite dokter


Tanggal 6 Mei 2019

S Demam tinggi sejak satu hari sebelum dirawat


Sering demam
Kejang satu kali
Kejang seluruh tubuh
Lama kejang kurang 2 menit
Batuk (positif), Pilek (positif)
Riwayat kejang sebelumnya (positif)

O keadaan umum sedang


Berat badang 16 kg
A KDS
Tonsilfaringitis akut
P IVFD kaen 1B
Parasetamol 4 x 250 mg
Injeksi cefotaxim 2 x 800 mg
Luminal 2 x 64 mg (2 hari)
RL 1300 Kkal

Tanggal 7 Mei 2019

S Demam (negatif) , kejang ( negatif)

O Keadaan umum sedang

Suhu 36,3°C

A Perbaikan

P terapi/ kausal

20
Tanggal 8 Mei 2019

S Demam (negatif) , kejang ( negatif)

O Keadaan umum sedang

Suhu 36,6°C

A Perbaikan

P Terapi perbaikan

3.10 Tabel Vital Sign


Parameter Tanggal
4/ 5/ 2019 5/ 5 / 2019 6/ 5 / 2019
Temperature 40 °C 37 °C 36 °C
(suhu tubuh)
Frekuensi 20 20 20
Pernafasan
Kejang - - -
Nadi 100 kali/menit - -

3.11 Lembar Penggunaan Obat


Waktu Pemberian

4/5/19 5/5/19 6/5/19 7/5/19

N Nama Atur Rut P S S M P S S M P S S M P S S M


o Obat an e
Paka
i

1 Paraseta 4 x Per √ √ √ √
mol 250 Ora
Sirup mg l

21
2 Luminal 2 x Per √ √ √
64 Ora
mg l

3 Cefotaxi 2 x IV √ √ √ √ √ √ √
m 800
mg

Waktu Pemberian

8/5/19 9/5/19

N Nama Atur Rut P S S M P S S M


o Obat an e
Paka
i

1 Paraseta 4 x Per √ √
mol 250 Ora
Sirup mg l

2 Luminal 2 x Per √ √
64 Ora
mg l

3 Cefotaxi 2 x IV √ √ √
m 800
mg

22
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien anak laki-laki berumur 4 tahun datang ke rumah sakit stroke
nasional bukittinggi pada tanggal 4 mei 2019 dengan keluhan demam tinggi sejak
lebih kurang satu hari disertai kejang lebih kurang satu kali dengan durasi kurang
dari 2 menit.
Dari hasil pemeriksaan fisik, keadaan umum sedang; kesadaran compos
mentis; frekuensi nadi 100 kali/menit; frekuensi nafas 20 kali/menit; suhu 40oC;
Glasgow coma Scale (GCS) E4 M6 V5. Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada
tanggal 5 mei 2019 diperoleh hasil Hemoglobin (HGB) 11,7 g/dL (normal 13,5-
17,5 g/dL); Leukosit (WBC) 30,42 x 103/L (normal 4,4-11,3 x 103/L); Erirosit
(RBC) 4,31 x 106/L (normal 4,5-5,9 x 106/L); Trombosit 297 x 103/L (normal 150-
450 x 103/L); Hematokrit (HCT) 33,5% (normal 35-45%). Hasil pemeriksaan ini
menguatkan bahwa pasien menderita kejang demam dan faringitis akut.

Penatalaksaan untuk pasien kejang demam bertujuan untuk mencegah


kejang berulang yang apabila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak
yang menetap. Terapi pada kejang demam ini menurut literatur dapat diberikan obat
antikonvulsan dan antipiretik. Dimana pemberian antikonvulsan bertujuan untuk
mencegah terjadinya kejang kambuhan. Sedangkan pemberian antipiretik bertujuan
untuk menurunkan suhu tubuh pasien. Efektivitas antipiretik dalam menurunkan
demam tergantung derajat demam (semakin tinggi suhunya maka semakin besar
penurunannya), daya absoprsi dan antipiretik. Pada kasus kejang demam ini, pasien
dirawat pada hari pertama tanggal 4 mei 2019 di IGD mendapat cairan infus IVFD
kaen 1B ditambah KCL 10 mcg dengan jumlah tetesan 16 tetes/menit yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit. Pasien juga
mendapatkan terapi peracetamol. Menurut literatur dosis paracetamol untuk anak
adalah 10-15 mg/kgBB diberikan 4 dosis sehari. Dimana berdasarkan perhitungan
dosis paracetamol didapatkan hasil 160 - 240 mg, sedangkan dosis paracetamol
yang diberikan kepada pasien adalah 250 mg. Berarti dosis yang dapat pasien lebih
besar dari yang seharusnya. Paracetamol memiliki efek samping seperti mual, sakit
perut bagian atas, gatal-gatal dan kehilangan nafsu makan, jika penggunaan jangka

23
panjang dapat menyebabkan kerusakan hati dan ginjal. Namun pada pasien ini tidak
mengalami efek samping dari paracetamol diatas.

Selain paracetamol pasien juga mendapatkanluminal (fenobarbital). dimana


luminal diberikan sebagai antikonvulsan rumatan. Menurut literatur dosis luminal
(fenobarbital) untuk anak adalah 4-16 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Berdasarkan perhitungan dosis luminal didapatkan 64 - 96 mg per hari. Sementara
yang pasien dapatkan adalah 64 mg perhari berarti dosis luminal yang diberikan
sudah sesuai dengan rentang dosis terapi yang seharusnya. Efek samping dari
luminal adalah merasa letih, mengantuk, pusing, sakit kepala dan ataksia.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pasien tidak mengalami efek samping
seperti yang disebutkan diatas.

Penggunaan paracetamol dan phenobarbital secara bersamaan


menyebabkan terjadinya interaksi yang bersifat minor yaitu fenobarbital
menurunkan kadar paracetamol dengan meningkatnya metabolisme. Peningkatan
metabolisme meningkatkan kadar metabolit hepaotoksik.

Selain mengalami kejang demam pasien juga diindikasikan menderita


faringitis akut . dimana tujuan terapi faringitis akut adalah untuk mengatasi gejala
secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta membatasi komplikasi. Pada
kasus faringitis akut pengobatan yang diberikan adalah antibiotik. Berdasarkan
literatur antibiotik yang digunakan adalah amoxicilin namun karena ketidak
tersedianya amoxicillin di rumah sakit stroke nasional bukit tinggi makanya pasien
diberikan antibiotikcefotaxime yang merupakan antibiotik golongan sepalosporin
generasi ketiga. Diberikan secara intravena. Berdasarkan literatur dosis cefotaxime
100-150 mg/kgBB dalam 2-4 kali pemberian perhari. Berdasarkan perhitungan
dosis cefotaxime didapatkan hasil 800 - 1200 mg/sekali pemakaian. Sedangkan
cefotaxime yang didapat pasien dengan dosis 800 mg untuk sekali pemakaian
dengan kata lain dosis cefotaxime yang diberikan sudah sesuai dengan rentang dosis
yang seharusnya. Pemberian antibiotik diberikan dengan lama pengobatan 7-14
hari. Efek samping dari cefotaxime adalah sakit kepala, gangguan pencernaan dan
gangguan hematologi serta menimbulkan reaksi hipersensitivitas seperti ruam

24
dikulit. Namun pada pasien ini tidak mengalami efek samping seperti yang
disebutkan diatas.

Berdasarkan tabel Drug Related Problem tidak ditemukan masalah terkait


dengan interval pemberian, cara atau waktu pemberian, rute pemberian obat, lama
pemberian obat,kesalahan penulisan resep, stabilitas sediaan injeksi, kompatibilitas
obat, ketersediaan obat atau kegagalan mendapatkan obat, kepatuhan dan duplikasi
terapi. DRP yang terdapat hanya tentang ketidaksesuaian dosis paracetamol. Namu
penatalaksanaan terapi pada pasien ini dinilai cukup efektif dan efisien.

BAB V

KESIMPULAN

25
1. Berdasarkan hasil diagnose pasien mengalami penyakit kejang demam dan

faringitis akut. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium. Untuk terapi yang diberikan sudah tepat dan efisien bagi pasien.

2. DRP yang terdapat hanya masalah ketidaksesuaian dosis dalam pemberian terapi

kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael, S., Pusponegoro, H. D., Widodo, D. P., Mangunatmadja, I., Handryastuti,


S., 2016, Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam, UKKNIDAI:
Jakarta

26
2. Arifuddin, A., 2016, Analisis Faktor Resiko Kejadian Kejang Demam Diruang
Perawatan Anak RSU Anutapura Palu, Jurnal Kesehatan Jadulako 2(2),
P.60-72

3. DepKesRI, 2005, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran


Pernafasan, DirJen:Jakarta.

4. Marcdante, K. J., dkk. 2014. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Essensial Edisi
Keenam. Jakarta : Badan Penerbit IDAI

5. Nia Kania, dr., SpA.,MKes. 2017. Kejang Pada Anak. Klinik Penanganan
Kejang Pada Anak : Bandung.

6. Ikatan dokter indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014. Jakarta : IDI

Lampiran 1. Tinjauan Obat

1. Paracetamol
Bentuk Sediaan: Tablet, eliksir, Serbuk, Suspensi, Supositoria.

27
Dosis:Anak: 10-15 mg/Kg/BB

Efek Samping : Gangguan Fungsi Hati

Kontra indikasi :

Dikenal hipersensitif terhadap asetaminofen atau bahan dalam formulasi.Konsumsi


dosis toksik satu atau beberapa dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan
hepatotoxicity.Konsentrasi ALT meningkat serum dilaporkan pada orang sehat
yang menerima acetaminophen 4 g sehari selama 14 hari dalam 1 studi.Reaksi
sensitivitas jarang, Jika reaksi tersebut terjadi, hentikan obat.Beberapa formulasi
mengandung sulfit, yang dapat menyebabkan reaksi alergi (termasuk anafilaksis
dan mengancam jiwa) di rentan individuals. Pencegahan Umum Jangan
menggunakan beberapa acetaminophen bersamaan.

Interaksi Obat
 Alkohol meningkatan risiko acetaminophen-induced hepatotoksisitas.
Hindari penggunaan biasa atau berlebihan acetaminophen,alternative
menghindari konsumsi alkohol.
 Antikonvulsan(barbiturat, carbamazepine, phenytoin) meningkatkan
konversi acetaminophen untuk metabolit hepatotoksik, peningkatan risiko
hepatotoksisitas.
 Aspirin ada penghambatan efek antiplatelet
 Fenotiazin kemungkinan meningkatan risiko hypothermia parah.
2. Fenobarbital
Indikasi :
epilepsi (semua jenis kecuali tipe petit mall)
Kontra indikasi : depresi pernafasan berat, porfiria
Dosis :
anak 4-6 mg/kgBB/hari
Sediaan :
tablet 30 mg: sibital, phenobarbital ampul 100 mg/ml: phental, sibital.
Efek samping :

28
mengantuk, letargi, depresi mental, ataksia, nystagmus, iritabel dan hiperaktif
pada anak; agitasi, resah dan bingung pada lansia; reaksi alergi kulit,
hipoprotrombinemia, anemia megaloblastik, hepatotoksik.
Interaksi obat ;
 kadar phenobarbital meningkat bila diberikan bersamaan: metsuksimid,
phenytoin, asam valproate, furosemide.
 Kadar phenobarbital menurun bila diberikan bersama kloramfenikol,
dikumoral, folat.
3. Cefotaxim

Nama Generik: Cefotaxim

Bentuk Sediaan: Injeksi

Dosis : Anak : DL = 100-150 mg/kgBB/hari dalam 2-4 x pemberian, pada infeksi


berat dapat ditingkatkan menjadi 200 mg/kgBB/ hari.
Efek Samping:
Hipersensitivitas (ruam, pruritus, demam, urtikaria, eritema multiforme, SSJ, reaksi
anafilaksis), gangguan salurancerna, gangguan hematologi, sakit kepala, kenaikan
sementara ureum dan kreatinin serum, kenaikan enzim hati dan bilirubin.

Indikasi:
Infeksi yang disebabkan oleh pathogen yang sensitive terhadap cefotaxim dalam
kondisi infeksi saluran nafas bawah, infeksi saluran urogenitalia, gonorhoea tanpa
komplikasi, infeksi intraabdominal termasuk peritonitis, infeksi tulang dana tau
sendi, infeksi SSP termasuk meningitis, profilaksis bedah..

Kontra Indikasi :
Hipersensitivitas terhadap cepalosphorin.

Lampiran. 2. Perhitungan Dosis

1. KA-EN 1B
Dosis infus maintenance : 65 cc x 16 kg x 20 tts/ml (Terumo)

29
24 jam x 60 menit
= 20800
1440
= 14,44 tts/menit atau 15 tetes/menit
Jumlah tetesan infus yang diberikan 16 tts/menit
Jumlah tetesan infus yang diberikan kurang sesuai dengan perhitungannya.

2. Paracetamol sirup 250 mg/5ml


DL = 10-15 mg/kgBB/dosis
Dosis untuk anak dengan BB 16kg
= 16 kg x (10-15 mg/kgBB/dosis)
= 160-240 mg/dosis
Pasien mendapatkan 1, cth = 250 mg/dosis
Persentasi penyimpangan : 100% - (250/240 x 100%) = 4,16%
Dosis yang diberikan berlebih sedikit dari range dosis lazim, tetapi tidak menjadi
masalah karna penyimpangannya tidak terlalu besar.

3. Cefotaxime
Dosis anak < 12 tahun : 100-150 mg/kgBB/hari
Dosis untuk anak dengan BB 16 kg
= 16 kg x 100-150 mg/kgBB/hari
= 1600-2400 mg/hari/ 2-4 dosis
= 800-1200 mg/sekali pemakaian
Dosis yang diberikan masuk dalam range dosis lazim.

4. Luminal
Dosis untuk anak : 4-6 mg/kgBB/hari
= 16 kg x 4-6 mg/KgBB/hari

30
= 64 - 96 mg/hari
Dosis yang diberikan masuk ke dalam range dosis lazim

Lampiran 3. Analisa Potensi DRP

31
DRUG RELATED PROBLEM

No. Drug Therapy Problem Check Rekomendasi


list
(sertai dengan sumber literature)

1. Terapi Obat yang Tidak Terapi sesuai dengan indikasi


Diperlukan paracetamol untuk antipiretik;
cefotaxim sebagai antibakteri;
Terdapat terapi tanpa
Luminal sebagai antikejang
indikasi medis

Pasien mendapatkan terapi


tambahan yg tidak Pasien tidak mendapat terapi tambahan
diperlukan yang tidak diperlukan

Pasien masih Pasien tidak mungkin menjalani terapi


memungkinkan menjalani non farmakologi harus dengan terapi
terapi non farmakologi farmakologi

Terdapat duplikasi terapi Tidak terdapat duplikasi terapi

Pasien mendapat
penanganan terhadap efek Efek samping yang ditimbulkan dapat
samping yg seharusnya ditolerir oleh tubuh si pasien
dapat dicegah

2. Kesalahan Obat Bentuk sediaan yang diberikan sudah


tepat pasien mendapat obat dalam
Bentuk sediaan tidak tepat
bentuk syrup, puyer (karna pasien
masihkecil kesulitan dalam menelan
tablet) dan injeksi.

Tidak terdapat kontraindikasi


Terdapat kontraindikasi
dalampemberian terapi

32
Kondisi pasien tidak dapat Setiap obat yang diberikan memang
disembuhkan oleh obat diindikasikan untuk memulihkan
kembali kondisi pasien

Obat tidak diindikasikan


untuk kondisi pasien Obat yang diberikan telah sesuai
dengan indikasi kondisi pasien

Terdapat obat lain yang


lebih efektif Obat yang diberikan sudah dipilih
yang paling efektif untuk kondisi
pasien

3. Dosis tidak tepat

Dosis terlalu rendah Dosis yang diberikan tidak terlalu


rendah
Dosis terlalu tinggi
Dosis Paracetamol yang diberikan
terlalu tinggi

Frekuensi penggunaan Frekuensi pemberian obat sudah tepat

tidak tepat

Durasi penggunaan tidak Durasi pemberian obat sudah tepat


tepat
Penyimpanan sudah tepat
Penyimpanan tidak tepat
Tidak terdapat masalah dalam
Administrasi obat tidak administrasi obat
tepat
Tidak terdapat interaksi obat
Terdapat interaksi obat

33
4. Reaksi yang tidak
diinginkan
Obat sudah aman untuk pasien
Obat tidak aman untuk
pasien

Terjadi reaksi alergi


Tidak ditemukan reaksi alergi pada
Terjadi interaksi obat pasien

Terjadi interaksi antara fenobarbital


dan paracetamol. fenobarbital
menurunkan kadar paracetamol
dengan meningkatnya metabolisme.
Peningkatan metabolisme
meningkatkan kadar metabolit
hepaotoksik.

Dosis obat dinaikkan atau


diturunkan terlalu cepat

Muncul efek yang tidak Tidak ada permasalahan dengan


diinginkan penaikkan dan penurunan dosis obat

Administrasi obat yang


tidak tepat
Pada pasien tidak ditemukan adanya
efek yang tidak diinginkan

Administrasi obat sudah tepat

5. Ketidaksesuaian
kepatuhan pasien

Obat tidak tersedia


Obat yang diinginkan tersedia di

34
Pasien tidak mampu rumah sakit
menyediakan obat
Pasien mampu menyediakan obat
Pasien tidak bisa menelan
atau menggunakan obat
Pasien bisa menelan dan menggunakan
Pasien tidak mengerti
obat
instruksi penggunaan obat
Pasien mengerti intruksi penggunaan
Pasien tidak patuh atau
obat
memilih untuk tidak
menggunakan obat Pasien patuh dalam menggunakan obat

6. Pasien membutuhkan
terapi tambahan

Terdapat kondisi yang tidak


Semua kondisi sudah diterapi
diterapi

Pasien membutuhkan obat


lain yang sinergis Pasien tidak membutuhkan obat lain
yang sinergis
Pasien membutuhkan terapi
profilaksis Pasien tidak perlu mendapat terapi
profilaksis

35

Anda mungkin juga menyukai