Anda di halaman 1dari 16

JOURNAL READING

Impetigo- Review

Diajukan untuk
Memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat
Menemph program pendidikan profesdokter bagian ilmu kesehatan kulit kelamin
Di RS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

Disusun oleh :
Puspita Cahyaning W
30101407287

Pembimbing :
dr. Yuzza Alfarra, Sp.KK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
Impetigo – Tinjauan

Luciana Baptista Pereira

Abstrak: Impetigo adalah infeksi kulit yang sering ditemukan yang sangat lazim
ditemukan pada anak-anak. Secara historis, impetigo disebabkan oleh apakah itu
streptococcus β hemolitikus grup A ataupun Staphylococcus aureus. Saat ini,
patogen yang paling sering terisolasi adalah S.aureus. Artikel ini membahas faktor
mikrobiologi dan virulensi streptokokus β hemolitikus grup A dan
Staphylococcus aureus, karakteristik klinis, komplikasi, serta pendekatan untuk
diagnosis dan penatalaksanaan impetigo. Dilakukan peninjauan terhadap agen
topikal untuk penatalaksanaan impetigo.
Kata kunci: agen anti-bakteri; Impetigo; Staphylococcus aureus; Streptococcus
pyogens

Pendahuluan
Kulit normal didiami oleh sejumlah besar bakteri yang hidup sebagai
komensal di permukaankulit atau di folikel rambut. Kadangkala, pertumbuhan
bakteri ini secara berlebihan dapat menyebabkan penyakit kulit, dan di
kesempatan lainnya, bakteri yang normalnya ditemukan di kulit dapat
mendudukinya dan menyebabkan penyakit. Mikroflora kulit terutama terdiri atas
difteroid aerob (Corynebacterium spp.), difteroid anaerob (Propionibacterium
acnes), dan stapilokokus koagulase negatif (Staphylococcus epidermidis).
Penelitian genetika terbaru telah menunjukkan sejumlah besar Pseudomonas spp,
dan Janthinobacterium spp. pada kulit yang bebas penyakit. Bakteri ini
membentuk biofilm pada permukaan kulit. Biofilm merupakan agregat yang
bersifat rumit dan berbentuk sesil yang terdiri dari satu atau lebih spesies bakteri
yang berkaitan dengan zat polimer ekstraseluler. Bakteri pada biofilm 50 hingga
500 kali lipat lebih resisten terhadap antibiotika dibandingkan bakteri pada
plankton (organisme yang tidak memiliki atau memiliki sedikit kemampuan untuk
bergerak). Disamping menginduksi toleransi antibiotika, biofilm dapat

2
meningkatkan virulensi bakteri. Neonatus biasanya bersifat aseptik dan kolonisasi
dimulai pada dua minggu pertama kehidupan.
Faktor host, seperti integritas sawar kulit dengan pHnya yang bersifat asam,
keberadaan sekresi sebasea (asam lemak, terutama asam oleat), lisozim dan
produksi defensin dan status nutrisi yang adekuat memainkan suatu peran yang
penting dalam resistensi terhadap infeksi. Keberadaan maserasi, kelembaban, lesi
kulit sebelumnya, obesitas, penatalaksanaan dengan kortikosteroid atau
kemoterapi, disglobulinemia, gangguan leukosit seperti leukemia dan penyakit
granulomatosa kronis, diabetes, malnutrisi, imunodefisiensi kongenital atau
didapat, seperti AIDS, merupakan faktor-faktor predisposisi terhadap kelainan ini.
Sebagian besar bakteri paling baik tumbuh pada pH yang normal dan suhu
setinggi 37oC.
Tindakan mencuci tangan dengan sabun antiseptik atau bahkan sabun biasa,
terutama di kalangan para pengasuh anak-anak, sangat menurunkan kesempatan
mereka untuk mengalami infeksi didapat seperti pneumonia, diare, dan impetigo.
Pada sebuah penelitian terkontrol, penulis mengamati insidensi impetigo yang
34% lebih rendah pada kelompok yang menjalani program orientasi mengenai
praktik mencuci tangan.

Karakteristik Streptokokus
Klasifikasi streptokokus Lancefield didasarkan pada antigen karbohidrat C
pada dinding sel bakteri, yang dimulai dari A hingga T. Berbagai streptokokus
dapat bersifat komensal di kulit, membrana mukosa, dan saluran pencernaan.
Isolasi kelompok streptokokus selain grup A dapat berarti adanya infeksi pada lesi
yang telah ada atau kolonisasi pada permukaan kulit. Streptokokus grup A dapat
dibagi lagi menjadi beberapa serotipe, menurut antigenitas protein M yang mereka
miliki. Patogenitas Streptokokus grup A cukup lebih tinggi dibandingkan dengan
grup lainnya. Kelompok lainnya ini adalah kuman dengan potensi invasif, yang
dapat mencapai beberapa lapisan jaringan, seperti epidermis (impetigo), dermis
(ektima) atau jaringan subkutan yang lebih dalam (selulitis). Kuman ini dapat
menyebabkan edema yang terlokalisir, limfadenopati yang terlokalisir dan

3
demam. Penemuan agen-agen ini di kulit anak-anak yang sehat mendahului
munculnya lesi pada sekitar 10 hari dan kuman ini dapat diisolasi dari orofaring
antara 14 dan 20 hari setelah kemunculan di kulit. Oleh karena itu, jalur kuman ini
dimulai dari kulit yang normal ke kulit yang mengalami luka dan kemudian dapat
mencapai orofaring.
Penelitian epidemiologi selama beberapa dekade menunjukkan bahwa
terdapat beberapa strain streptokokus grup A bisamenyebabkan infeksi orofaring,
namun jarang menyebabkan impetigo. Di sisi lain, terdapat kelompok strain yang
berbeda yang menyebabkan infeksi kulit namun tidak menyerang tenggorokan.
Telah disadari bahwa berbagai komplikasi dapat menyertai infeksi yang
disebabkan oleh streptokokus grup A, seperti demam reumatik, glomerulonefritis
difus akut, dan eritema nodosum, bergantung pada strain yang terlibat. Demam
reumatik dapat menjadi komplikasi dari faringitis atau tonsilitis streptokokus,
namun kelainan ini tidak terlihat terjadi setelah infeksi kulit. Sebaliknya,
glomerulonefritis dapat terjadi akibat infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi
kulit streptokokus, namun kulit merupakan tempat pendahulu yang utama.
Penatalaksanaan impetigo tidak mengurangi risiko glomerulonefritis, namun
tindakan ini mengurangi penyebaranstrain nefritogenik pada populasi ini. Periode
latensi untuk glomerulonefritis adalah 7 hingga 21 hari setelah infeksi saluran
pernapasan atas dan bisa lebih lama dalam kasus impetigo. Streptokokus beta
hemolitikus grup A jarang terlihat sebelum usia dua tahun, namun terdapat
peningkatan yang progresif pada anak-anak yang berusia lebih tua.
Glomerulonefritis menyerang hingga 5% dari pasien dengan impetigo.
Streptokokus dapat terlihat dengan kultur bahan lesi pada orofaring atau
kulit. Dosis antistreptolisin O mungkin tidak bermanfaat untuk infeksi kulit
karena titernya tidak meningkat dengan memuaskan. Uji deteksi cepat untuk
streptokokus melalui lateks hanya digunakan untuk memperlihatkan keberadaan
agen ini pada orofaring. Untuk penyakit kulit, uji anti-DNA-ase B berguna untuk
memperlihatkan infeksi streptokokus sebelumnya (streptokokus grup A). Namun,
selain merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas

4
yang rendah, terdapat sedikit laboratorim yang menjadikan pemeriksaan ini
sebagai standar dalam rutinitas mereka.

Karakteristik Staphylococcus
Faktor yang sangat penting dalam virulensi infeksi adalah kemampuan
bakteri ini untuk menghasilkan toksin yang bersirkulasi yang bertindak sebagai
superantigen. Superantigen mampu melewati beberapa tahapan respon imun
tertentu dan meningkatkan aktivasi limfosit T masif dan juga produksi berbagai
limfokin seperti interleukin 1 dan 6 dan faktor nekrosis tumor alfa. Respon ini
dapat menyebabkan pembentukan erupsi kutaneus eksfoliatif, muntah, hipotensi
dan syok. Impetigo bulosa dan scalded skin syndrome, yang disebabkan oleh
toksin stapilokokus dan sindroma syok toksik, yang disebabkan oleh toksin
stapilokokus atau streptokokus merupakan contoh penyakit yang dimediasi toksin.
Stapilokokus koagulase negatif merupakan organisme yang paling umum pada
flora kulit normal, dengan sekitar 18 spesies yang berbeda, dan Staphylococcus
epidermidis yang menjadi stapilokokus residen yang paling sering ditemukan.
S.aureus (koagulase positif) seringkali ditemukan di kulit secara sementara pada
anak-anak yang sehat. Status karier dapat ditemukan di narespada 35% dari
populasi, di perineum pada 20%, di aksila dan regio interdigitalis pada 5 hingga
10%. Kondisi karier stapilokokus di nasal ditemukan pada hingga 62% dari pasien
dengan impetigo. Pada pasien dengan dermatitis atopik, kelainan ini dapat
ditemukan pada hingga 90% kasus (kulit yang kering dan hiperkeratinisasi akan
mempermudah faktor adhesi stapilokokus). Terutama pada para karier, lesi kulit
dapat dijelaskan dengan adanya inokulasi sendiri akibat ekskoriasi kulit oleh
pasien. Jalur ini akan dimulai dari nares atau perineum ke kulit normal, dan
kemudian ke kulit yang mengalami luka. Faktor host terlihat menentukan onset
penyakit. Imunosupresi dan kerusakan jaringan dianggap penting dalam proses
patogenesis, karena kemampuan untuk menghasilkan koagulase, leukosidin dan
toksin tampaknya sama pada flora normal karier dan pada bakteri yang
diisolasikan dari lesi kulit.

5
Stapilokokus ditularkan terutama oleh tangan, terutama pada lingkungan rumah
sakit. Infeksi Stapilokokus terlihat pada semua kelompok usia.

Impetigo
Impetigo Bulosa
Hampir seluruh impetigo bulosa disebabkan oleh satu organisme tunggal,
S.aureus, yang terutama termasuk dalam grup II (80%); fage tipe 71 (60% kasus).
Tipe fage lainnya yang terlibat adalah 3A, 3C dan 55. Terdapat penjelasan dalam
kepustakaanbahwa terdapat impetigo bulosa yang disebabkan oleh streptokokus
grup A.
S.aureus menghasilkan toksin yang bersifat ekfoliatif, yang merupakan
protease yang secara selektif menghindrolisis salah satu dari molekul adhesi
intraseluler, desmoglein-1, yang ditemukan pada desmosom keratinosit yang
terletak di lapisan granular epidermis. Toksin merupakan faktor virulensi terbesar
dari S.aureus, yang menyebabkan perlepasan sel-sel epidermis dengan
pembentukan lepuh atau bula. Bula terlihat terlokalisir pada impetigo bulosa dan
menyebar pada scalded skin syndrome. Terdapat setidaknya dua jenis toksin
eksfoliatif yang berbeda, yang mana toksin A eksfoliatif berkaitan dengan
impetigo bulosa dan toksin B berkaitan dengan scalded skin syndrome. Scalded
skin syndromebiasanya dimulai setelah infeksi yang terlokalisir pada konjungtiva,
hidung, umbilikus atau regio perioral dan lebih jarang setelah pneumonia,
endokarditis dan artritis. Strain S.aureus yang menghasilkan toksin ekfoliatif
seringkali terisolasi dari pasien dengan impetigo.
Impetigo bulosa dimulai dengan vesikel yang kecil, yang menjadi bula
kendor, yang memiliki diameter hingga 2 cm, yang awalnya dengan isi yang
jernih yang kemudian menjadi purulen (Gambar 1). Atap bula dapat ruptur dengan
mudahnya, yang memperlihatkan adanya dasar yang eritem, mengkilap dan basah.
Sisa atap dapat terlihat sebagai skuama collarettepada bagian perifer dan
pertemuan lesi memperlihatkan tampilan gambaran polisiklik (Gambar 2 dan 3).
Impetigo bulosa paling sering terlihat pada regio intertriginosa seperti pada area
popok, aksila dan leher, meskipun tiap area kulit dapat terkena, termasuk telapak

6
tangan dan telapak kaki (Gambar 1 dan 2). Pembesaran nodus lime regional
biasanya tidak ditemukan. Kelainan ini terutama penting pada periode neonatus,
yang dimulai biasanya setelah minggu kedua kehidupan, meskipun dapat
ditemukan dalam kasus ketuban pecah dini. Impetigo bulosa paling sering
ditemukan diantara anak-anak yang berusia dua hingga lima tahun.

Impetigo Non-Bulosa (krustosa)


Impetigo nonbulosa menyusun lebih dari 70% dari semua kasus impetigo.
Kelainan ini terjadi pada orang dewasa dan anak-anak namun jarang pada mereka
yang berusia dibawah 2 tahun. Agen etiologi utama telah berubah-ubah sepanjang
berjalannya waktu. S.aureus merupakan agen yang mendominasi pada tahun 40an
dan 50 an, dengan kemudian terjadi peningkatan prevalensi penemuan
streptokokus. Dalam penelitian yang dilakukan selama tiga dekade terakhir,
terdapat kemunculan kembali S.aureus sebagai agen utama penyebab impetigo
krustosa. S.aureus, baik secara tunggal maupun bergabung dengan streptokokus
beta hemolitikus grup A, menyusun sekitar 80% dari kasus, sehingga menjadi
agen yang paling sering terisolasi. Meskipun kami belum menemukan penelitian
pada orang Brazil yang dilakukan pada beberapa dekade terakhir mengenai
epidemiologi impetigo, data ini dikuatkan dalam penelitian-penelitian yang
dilakukan di negara-negara yang berbeda, seperti Amerika Serikat, Israel,
Thailand, Guyana, India, Cili, dan Jepang. Beberapa peneliti meyakini
kemungkinan bahwa S.aureus merupakan penginvasi sekunder dan bukan
merupakan agen kausatif primer.

7
Gambar 1. Impetigo bulosa di area genitalis – pustul yang intak dan kendor, eks-
ulserasi dan skuama halus di pinggirnya collarette.

Gambar 2. Impetigo bulosa –deskuamasicollarette dan bula kendor

8
Gambar 3. Impetigo bulosa di area popok

Impetigo krustosa dapat ditemukan di kulit normal atau impetiginisasi


mungkin muncul selama dermatosis sebelumnya seperti dermatitis atopik,
dermatitis kontak, gigitan serangga, pedikulosis dan skabies. Malnutrisi dan
kebersihan yang buruk merupakan faktor predisposisi untuk keadaan ini. Lesi
awal adalah berupa vesikel, yang terletak pada dasar yang eritem, yang mudah
pecah. Ulserasi superfisial yang terjadi ditutupi oleh sekret yang purulen yang
mengering sebagai krusta yang lengket dan berwarna kuning (berwarna seperti
madu- honey colored). Setiap lesi memiliki diameter berukuran 1 hingga 2 cm dan
tumbuh secara sentrifugal (Gambar 4). Penemuan lesi-lesi satelit, yang
disebabkan oleh inokulasi sendiri, sering ditemukan. Terdapat dominasi lesi pada
area yang terbuka, terutama pada tungkai dan wajah (Gambar 5 dan 6).
Limfadenopati regional sering ditemukan dan demam dapat terjadi pada kasus-
kasus berat. Impetigo non-bulosa dapat sembuh secara spontan tanpa adanya
pengobatan selama 2-3 minggu.

Penatalaksanaan
Evolusi Resistensi Bakteri
S.aureus mudah mengalami resistensi terhadap antimikroba, yang
mempersulit penatalaksanaannya. Selama 60 tahun, hampir semua strain S.aureus

9
mampu menghasilkan beta-laktamase (penisilinase), sehingga menjadi resisten
terhadap antibiotika yang sensitif terhadap beta-laktamase. Enzim ini
menghindrolisis cincin beta laktam, dan enzim ini, sejauh ini merupakan
mekanisme resistensi utama terhadap antibiotika betalaktam.
Staphylococcus aureus resisten metisilin (MRSA) pertama kali terdeteksi
pada tahun 1961. Kasus infeksi yang disebabkan oleh MRSA di masyarakat
dilaporkan pada tahun 80-an, namun kepentingan grup ini telah meningkat secara
signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Infeksi MRSA tidak lagi terbatas pada
lingkungan rumah sakit, namun angka MRSA terkait komunitas (CA-MRSA)
sangat beragam diantara penelitian-penelitian yang ada.
Keberadaan MRSA sebagai agen kausatif impetigo pada pasien yang tidak
dirawat inap dianggap tidak biasa dan dengan distribusi yang heterogen. Impetigo
staphylococcus biasanya disebabkan oleh strain S.aureus yang memiliki gen
toksin eksfoliatif.

Gambar 4. Vesikel impetigo krustosa, krusta yang berwarna seperti madu dan
krusta hematika.

10
Gambar 5. Impetigo krustosa yang terletak di lengan

Gambar 6. Impetigo krustosa (non-bulosa) di wajah

Di sisi lain, klon MRSA komunitas (CA-MRSA) tidak memiliki gen toksin
eksfoliatif, namun memiliki gen Panton-Valentine-Leucodin (PVL). Stapilokokus
yang memiliki gen PVL menyebabkan infeksi kulit supuratif seperti abses dan
furunkel. Oleh karena itu, kekhawatiran mengenai MRSA pada infeksi yang
didapat di masyarakat akan lebih besar jika temuan yang ada adalah berupa
furunkel dan abses dan akan menjadi lebih sedikit pada temuanberupa impetigo.

Perawatan Umum Pasien dengan Impetigo

11
Pada pasien dengan impetigo, lesi harus dijaga agar tetap bersih, dicuci
dengan sabun dan air hangat dan sekret serta krusta harus diangkat. Sabun yang
biasa atau yang mengandung bahan antiseptik seperti triclosan, chlorhexidine dan
povidon iodin, dapat diberikan. Dalam tinjauan terhadap penatalaksanaan
impetigo yang dilakukan oleh Tinjauan Sistematik Database Cochrane, penulis
melaporkan adanya data yang relatif kurang mengenai efektivitas antiseptik
topikal. Di sisi lain penggunaannya tidak dihalangi, karena penggunaannya
tampaknya tidak meningkatkan resistensi bakteri.

Indikasi untuk Penatalaksanaan dengan Antibiotika Sistemik


Antibiotika topikal merupakan pilihan penatalaksanaan untuk sebagian
besar kasus impetigo. Agen antimikroba sistemik diindikasikan saat terdapat
keterlibatan struktur yang lebih dalam (jaringan subkutan, fascia otot), demam,
limfadenopati, faringitis, infeksi yang berdekatan dengan rongga mulut, infeksi
pada kulit kepala dan/atau lesi yang berjumlah banyak (lebih dari lima) (gambar
6).

Terapi Antibiotika Sistemik


Spektrum antibiotika yang dilpilih harus dapat mengatasi stapilokokus dan
streptokokus, baik untuk impetigo bulosa maupun untuk impetigo krustosa. Oleh
karena itu, benzatin penisilin atau antibiotika yang sensitif terhadap penisilase
tidak diindikasikan dalam penatalaksanaan impetigo. Penisilin yang resisten
terhadap penisilinase (oksasilin, cloxacillin, dicloxacillin) dapat digunakan,
namun terdapat kesulitan berupatidak adanya formulasi yang spesifik untuk
penggunaan oral di Brazil. Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan
cefadroxil, dapat digunakan, karena tidak terdapat perbedaan diantara mereka
yang ditemukan dalam metaanalisis.
Eritromisin, karena bersifat lebih mudah, dapat menjadi pilihan antibiotika
untuk sebagian besar populasi yang miskin. Seorang harus mempertimbangkan
kemungkinan resistensi terhadap S.aureus, yang terjadi dalam angka yang
beragam, bergantung pada populasi yang diteliti.

12
Makrolid lainnya seperti klaritromisin, roxitrhromycin dan azithromycin
memiliki keuntungan berupa efek samping yang lebih sedikit dalam saluran
gastrointestinal, serta cara penggunaannya yang lebih nyaman, meskipun dengan
harga yang lebih mahal. Strain stapilokokus yang resisten terhadap eritromisin
juga akan bersifat resisten terhadap clarithromycin, roxithromycin dan
azithromycin.
Amoksisilin yang terkait dengan asam klavulanat merupakan gabungan satu
penisilin dengan agen yang menghambat beta-laktamase (Asam klavulanat), yang
memungkinkan pencakupan yang adekuat untuk streptokokus dan stapilokokus.
Klindamisin, sulfametoksazole/trimetoprim, minosiklin, tetrasiklin dan
fluorokuinolon merupakan pilihan antibiotika untuk MRSA.

Penatalaksanaan topikal
Terdapat bukti yang kuat akan keunggulan, atau setidaknya kesetaraan,
antara antibiotika topikal dibandingkan dengan antibiotika oral dalam
penatalaksanaan impetigo yang terlokalisasi. Selain itu, antibiotika oral memiliki
efek samping yang lebih banyak dibandingkan antibiotika topikal.
Mupirocin dan asam fusidat merupakan pilihan lini pertama. Dalam terbitan
metaanalisis, tidak terlihat adanya perbedaan antara dua agen ini. Hingga saat ini,
hanya terdapat satu penelitian yang membandingkan retapamulin dan asam
fusidat, yang menunjukkan tidak adanya perbedaan secara statistik antara dua
produk ini. Kombinasi neomisin dan bacitrasin tidak menyebabkan eradikasi
bakteri.

Antibiotika Topikal – Karakteristik Asam Fusidat


Asam fusidat sangat efektif terhadap S.aureus, dengan penetrasi yang baik
ke dalam permukaan kulit dan konsentrasi yang tinggi di tempat infeksi. Obat ini
juga efektif, dengan tingkatan yang lebih rendah, terhadap Streptococcus dan
Propionibacterium acnes. Basil gram negatif resisten terhadap asam fusidat.
Resistensi, baik secara in vitro dan in vivo terhadap asam fusidat telah
diverifikasi namun pada tingkatan yang rendah. Karena termasuk dalam kelompok

13
fusidanes, antibiotika ini memiliki struktur kimia yang sangat berbeda dari kelas
antibiotika lainnya, seperti betalaktam, aminogliksida dan makrolid, sehingga
mengurangi kemungkinan resitensi-silang.
Insidensi reaksi alergi bersifat rendah dan alergi-silang tidak terlihat.
Antibiotika ini tidak dipasarkan di Amerika Serikat. Tidak seperti di Eropa, di
Brazil sediaannya yang bisa ditemukan adalah krim 2%, sehingga tidak tersedia
untuk penggunaannya secara oral.

Mupirocin
Mupirocin (asam pseudomonik A) merupakan metabolit utama dari
fermentasi Pseudomonas fluorescens. Struktur kimianya tidak berkaitan dengan
agen antibakteri dan dikarenakan mekanisme kerjanya yang khas, tidak terdapat
resistensi silang dengan antibiotika lainnya. Mupirocin bekerja dengan
menghambat sintesis protein bakteri, dengan berikatan dengan enzim isoleucyl-
tRNA synthetase, sehingga mencegah penggabungan isoleusin ke dalam rantai
protein. Obat ini sangat efektif terhadap Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogens dan semua spesies streptokokus lainnya kecuali yang berada dalam grup
D. Obat ini kurang efektif terhadap bakteri gram negatif, namun memperlihatkan
akvititas in vitro terhadapHaemophilus influenza, Neisseria gonorrhoae,
Pasteurella multocida, Bordella pertussis, dan Moraxella catarrhalis. Obat ini
tidak efektif terhadap bakteri flora kulit normal dan oleh karena itu tidak
mempengaruhi pertahanan alami kulit. Aktivitas bakterisidal mupirosin
ditingkatkan oleh pH asam di kulit. Obat ini dapat mengeradikasi S.aureus di
kulit.
Angka resistensi bakteri bersifat rendah, yaitu sekitar 0.3% untuk strain
S.aureus.Telah digambarkan adanya resistensi MRSA terhadap mupirocin telah.
Reaksi yang tidak diharapkan dilaporkan pada 3% pasien, dengan rasa gatal
dan iritasi pada tempat pengolesan yang merupakan gejala yang paling sering
ditemukan. Fotoreaksi jarang ditemukan, karena rentang cahaya ultraviolet yang
diserap oleh produk yang tidak menembus lapisan ozon. Penyerapan sistemik
bersifat minimal dan sedikit yang terserap dikonversi menjadi metabolit yang

14
tidak aktif dengan cepat, oleh karena itu inilah alasan mengapa obat ini tidak
tersedia sediaan oral atau perenteral. Penggunaan dalam area yang luas atau pada
pasien dengan luka bakar tidak direkomendasikan karena risiko nefrotoksisitas
dan penyerapan pembawa obat, polietilen glikol, khususnya pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Di Amerika Serikat sudah terdapat formulasi salep mupirosin
tanpa polietilen glikol. Obat ini dianggap aman dan efektif pada pasien yang
berusia diatas dua bulan. Obat ini termasuk dalam daftar obat kategori B untuk
penggunaan dalam wanita hamil dan menyesui.
Produk ini ditemukan di Brazil sebagai krim 2%.

Gabungan Neomisin dan Basitrasin


Aminoglikosida memperlihatkan aktivitas antibakterinya dengan beriktan
dengan subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis proteinnya. Neomisin
sulfat merupakan antibiotika kelompok aminoglikosida paling sering digunakan
dalam bentuk topikal. Sediaan yang tersedia secara komersial adalah campuran
neomisin B dan C, sementara framycetin, yang digunakan di Kanada dan
beberapa negara-negara di Eropa terdiri dari neomisin B murni. Neomisin sulfat
aktif terutama terhadap bakteri gram-negatif aerob (Escherichia coli, Enterobacter
aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Proteus vulgaris). Sebagian besar spesies
Pseudomonas aeruginosa bersifat resisten terhadapnya. Aktivitasnya terhadap
sebagian besar bakteri Gram-positif bersifat terbatas. Streptococcus pneumoniae
dan Streptococcus pyogenes sangat resisten terhadap neomisin, yang mana inilah
mengapa obat ini biasanya berkaitan dengan basitrasin untuk mengobati infeksi
kulit. Meskipun S.aureus merupakan bakteri gram positif yang dihambat oleh
neomisin, penggunaan obat ini secara topikal tidak mampu memberantasnya dari
kulit, sehingga ini merupakan kekurangan dibandingkan dengan asam fusidat dan
mupirosin. Gabungan ini tidak efektif terhadap MRSA.
Insidensi dermatitis kontak oleh sensitisisasi relatif tinggi, yang terjadi pada
6-8% dari pasien-pasien yang menggunakan obat ini dalam bentuk topikal.
Pasien-pasien yang pekamungkin akan mengalami reaksi silang saat dipaparkan
dengan aminoglikosida topikal atau sistemik lainnya.

15
Obat ini tersedia di Brazil dalam bentuk salep, baik secara tunggal atau
dalam kombinasi dengan basitrasin. Penggunaannya yang digabungkan dengan
kortikosteroid topikal dan/atau agen antijamur tidak direkomendasikan.
Basitrasin merupakan antibiotika yang awalnya berasal dari Bacillus
subtilis, bakteri yang pertama kali diisolasikan dari pasien yang mengalami
fraktur tulang yang terkontaminasi tanah (“baci”. Basilus + “tracina”, berasal dari
nama pasien yaitu Tracy). Obat ini merupakan suatu polipeptida yang dibentuk
oleh beberapa komponen (A, B, dan C). Basitrasin A merupakan komponen utama
dari produk komersial dan umumnya dibuat dalam sediaan sebagai garam zink.
Obat ini bekerja dengan mengganggu pembentukan dinding sel bakteri. Obat ini
aktif terhadap kokus gram positif seperti stapilokokus dan streptokokus. Sebagian
besar mikroorganisme gram negatif dan ragi bersifat resisten terhadap obat ini.
Sebagai efek sampingnya, telah dilaporkan adanya dermatitis kontak dan
yang lebih jarang, syok anafilaksis.
Di Brazil obat ini tersedia sebagai salep dan dalam kombinasi dengan
neomisin.

Retapamulin
Retapamulin merupakan agen semi-sintesis yang berasal dari jamur yang
dapat dimakan yaitu Citopilussycphoides. Aktivitas antibakterinya terjadi melalui
inhibisi sintesis protein melaluiikatan secara selektif dengan ribosom bakteri. Obat
ini efektif terhadap S.aureus dan S.pyogenes.
Kesembuhan klinis impetigo dengan retapamulin telah ditetapkan dengan
baik, saat dibandingkan dengan plasebo. Karena merupakan obat bakteriostatik,
eradikasi bakteri mungkin tidak terjadi, bahkan setelah terjadi kesembuhan
impetigo secara klinis. Retapamulin tidak diindikasikan oleh infeksi MRSA. Obat
ini kurang efektif dalam lesi traumatik dan pada mereka dengan pembentukan
abses (biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob dan MRSA).
Tersedia sebagai salep 1%, obat ini dapat digunakan pada anak-anak yang
berusia diatas 9 bulan.

16

Anda mungkin juga menyukai