Anda di halaman 1dari 58

Prinsip-Prinsip Dasar, Metode, Teknik dan Prosedur

ANALISIS RISIKO
KESEHATAN LINGKUNGAN
Bahan Ajar Pelatihan
Aspek-Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam AMDAL
(Purwokerto, 23 – 26 Nopember 2005)

Sub Direktorat Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan


Direktorat Penyehatan Lingkungan
Ditjen PPM dan PL Depkes RI

Disusun Oleh

Abdur Rahman

Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Depok, 2005
KATA PENGANTAR

Analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL), pengembangan health risk


assessment, di Indonesia masih belum banyak dikenal dan digunakan sebagai metoda
kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Padahal, di negara maju seperti
Amerika, Kanada, negara-negara Eropa dan Australia ARKL telah menjadi central
idea legislasi dan regulasi bagi pengendalian dampak lingkungan. Dalam konteks
AMDAL, efek lingkungan terhadap kesehatan di tanah air umumnya kebanyakan
dikaji secara epidemiologis.

Sesungguhnya ARKL telah diakui Pemerintah sebagai model kajian untuk


mengenal, memahami dan meramalkan kondisi dan karateristik lingkungan yang
berpotensi menimbulkan risiko kesehatan, sebagaimana tertuang dalam Keputusan
Kepala Badan Pengandalian Dampak Lingkungan No. Kep-124/12/1997 tentang
Panduan Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam Penyusunan AMDAL. Untuk
melaksanakan panduan tersebut, Menteri Kesehatan kemudian menerbitkan
Keputusan Menteri Kesehatan No. 876/Menkes/SK/VIII/2001 tentang Pedoman
Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. Pedoman Teknis ADKL ini berisi
panduan kajian aspek kesehatan masyarakat yang harus dilaksanakan dalam kegiatan
atau usaha yang wajib AMDAL mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
sebagai dasar untuk menyusun atau mengembangkan pengelolaan dan pemantauan
risiko tersebut. Namun, pedoman tersebut masih terlalu umum dan tidak disertai
dengan contoh-contoh yang kongkrit sehingga masih sukar dilaksanakan. Untuk
mengatasi kesenjangan itulah prinsip-prinsip dasar, metoda, teknik dan prosedur
ARKL ini disusun.

Materi ini dirancang khusus sebagai bahan ajar untuk pelatihan kajian aspek-
aspek kesehatan masyarakat dalam AMDAL. Para peserta pelatihan diharapkan
mampu melakukan kajian ARKL dan mampu menyusun laporannya sebagai bagian
dokumen AMDAL. Untuk itu, bahan ajar ini disertai dengan contoh sebuah laporan
kajian ARKL, disertai dengan beberapa contoh kasus. Namun, disadari juga bahwa
contoh-contoh yang disajikan masih terlalu sedikit. Peserta diharapkan mampu
mengembangkan sendiri teknik-teknik ARKL dengan membaca berbagai rujukan
yang disebutkan dalam catatan kaki dan bagian akhir. Bahan ajar ini merupakan
pengembangan dan penyempurnaan materi untuk pelatihan serupa sebelumnya.

Mudah-mudahan bahan ajar ini bermanfaat bagi para penggunanya dan


menjadi amal salih bagi penulisnya, amin.

Wassalam,
Depok, 22 November 2005

Abdur Rahman
marahman1@makara.cso.ui.ac.id, atau
ar_muchtar@yahoo.com

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...... ii

Bab 1. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Ruang Lingkup ......................................................................................... 3
1.3 Maksud dan Tujuan .................................................................................. 4
1.4 Uraian Singkat Materi dan PBM .............................................................. 4

Bab 2. PRINSIP-PRINSIP DASAR .......................................................................... 7


2.1 Sejarah Perkembangan ............................................................................. 7
2.2 Paradigma Risk Analysis .......................................................................... 8
2.3 Konsep dan Definisi ................................................................................ 12

Bab 3. METODE, TEKNIK DAN PROSEDUR ...................................................... 13


3.1 Studi Epidemiologi versus Analisis Risiko ............................................. 13
3.2 Harmonisasi ARKL ................................................................................. 15
3.3 Prosedur ARKL ....................................................................................... 18
3.3.1 Perumusan Masalah (Problem Formulation) ........................ 19
3.3.2 Identifikasi Bahaya (Hazard Identification) .......................... 20
3.3.3 Karakterisasi Bahaya (Hazard Characterization) ................. 24
3.3.4 Analisis Pemajanan (Exposure Assessment) .......................... 29
3.3.5 Karakterisasi Risiko (Risk Characterization) ........................ 32

Bab 4. MANAJEMEN DAN KOMUNIKASI RISIKO ........................................... 37


4.1 Skenario Manajemen Risiko .................................................................... 37
4.2 Jalur Pengendalian Risiko ....................................................................... 40
4.3 Komunikasi Risiko .................................................................................. 42

LAMPIRAN I
Contoh Studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan:
ANALISIS DAN MANAJEMEN RISIKO PENCEMARAN
UDARA, Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat Transportasi ............ I-1

ii
LAMPIRAN II
ARSENIC, INORGANIC, CASRN 7440-38-2, 04/10/1998,
(IRIS Support Document) ………………………………………………… II-1

LAMPIRAN III
National Ambient Air Quality Standard (US-EPA)
Lampiran IV
Baku Mutu Udara Ambien (PP No. 41/1999)

iii
Prinsip-Prinsip Dasar, Metode, Teknik dan Prosedur

ANALISIS RISIKO
KESEHATAN LINGKUNGAN
Bahan Ajar Pelatihan
Aspek-Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam AMDAL

Disusun Oleh
Abdur Rahman

Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Depok, 2005

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencemaran lingkungan dan efeknya terhadap kesehatan di berbagai daerah


seringkali muncul sebagai masalah nasional secara tiba-tiba. Instansi pemerintah
seperti Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan dan Departemen Kesehatan kerapkali kurang siap menghadapi
keresahan dan kepanikan masyarakat, apalagi bila kasus-kasus pencemaran dan
gangguan kesehatan itu didramatsisasi sehigga masalahnya bergeser menjadi isyu
sosial, politik dan ekonomi. Kasus logam berat di pertambangan emas Teluk
Buyat, Sulawesi Utara, merupakan salah satu contoh betapa mudahnya segala
penyakit yang diderita masyarakat dikaitkan dengan aktivitas pertambangan.
Meskipun audit kesehatan masyarakat tidak dapat membuktikan secara ilmiah
keterkaitan itu, masyarakat telah terlanjur yakin bahwa berbagai gangguan
kesehatan yang dialami masyarakat merupakan efek buruk logam berat yang
dihasilkan pertambangan. Mereka resah dan panik karena tidak ada satu instansi
pemerintah pun yang menginformasikan secara terbuka kemungkinan risiko
kesehatan yang dapat terjadi dan cara-cara pengendaliannya.

Risiko kesehatan akibat aktivitas manusia adalah hal yang bisa terjadi karena
pada dasarnya setiap kegiatan selalu mempunyai dampak lingkungan dan
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

kesehatan. Risiko kesehatan adalah dampak negatif yang hanya bisa dikelola
tetapi tidak dapat dihilangkan. Potensi dampak ini dan upaya-upaya untuk
mengendalikannya sesungguhnya telah diantisipasi dalam Undang-Undang No.
23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 18 undang-undang
ini menyatakan bahwa izin melakukan usaha atau kegiatan yang menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup hanya diberikan bila usaha
atau kegiatan itu memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup dari suatu usaha dan /atau kegiatan yang direncanakan. AMDAL
diperlukan untuk memutuskan perizinan usaha dan /atau kegiatan. Tujuannya
adalah agar dampak negatif dapat ditekan serendah-rendahnya dan dikelola
dengan baik, sedangkan dampak positifnya dapat dioptimalkan.

Untuk menindaklanjuti amanat UU No. 23/1997 ini telah diterbitkan Peraturan


Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang AMDAL, menggantikan Peraturan
Pemerintah No. 51 tahun 1993. Selanjutnya penyusunan dokumen AMDAL
dirinci dalam Keputusan Kepala Badan Pengandalian Dampak Lingkungan
(Bapedal) No. 09 tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup. Dalam Lampiran II keputusan ini, kesehatan
masyarakat tercantum sebagai salah satu komponen lingkungan yang harus dikaji
untuk menyusun dokumen AMDAL. Kajian aspek kesehatan masyarakat dalam
AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pengandalian Dampak
Lingkungan No. Kep-124/12/1997 tentang Panduan Kajian Aspek Kesehatan
Masyarakat Dalam Penyusunan AMDAL. Sebelum keputusan Kepala Bapedal
ini terbit, telah lahir Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri
Negarta Lingkungan Hidup No. 183/ Menkes/SKB/II/1993 tentang Pelaksanaan
Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. Perpedoman kepada keputusan Kepala
Bapedal dan SKB tersebut, Menteri Kesehatan menerbitkan Keputusan No. 876/
Menkes/SK/VIII/2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan
Lingkungan. Pedoman teknis ADKL ini berisi panduan kajian aspek kesehatan
masyarakat yang harus dilaksanakan dalam kegiatan atau usaha yang wajib
AMDAL mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian. ADKL adalah
model pendekatan kajian dan telaahan cermat mendalam untuk mengenal,
memahami dan meramalkan kondisi dan karateristik lingkungan yang berpotensi
menimbulkan risiko kesehatan sebagai dasar untuk menyusun atau
mengembangkan pengelolaan dan pemantauan risiko tersebut.

Meskipun Pedoman Teknis ADKL telah berlaku sejak empat tahun yang lalu,
aspek kesehatan masyarakat dalam hampir semua dokumen AMDAL yang ada
dan telah disetujui Komisi AMDAL, baik di pusat maupun di daerah, masih
belum sesuai benar dengan pedoman tersebut. Dalam hampir seluruh dokumen
AMDAL, kesehatan masyarakat hanya ditampilkan sebagai disease profile
penyakit-penyakit yang berbasis lingkungan. Besaran risiko kesehatan yang
ditimbulkan oleh usaha atau kegiatan, yang harus diuraikan sebagaimana
disebutkan dalam Lampiran II Pedoman Teknis ADKL tersebut, belum
dirumuskan secara kuantitatif. Padahal, pengelolaan risiko hanya bisa dilakukan
secara spesifik bila besar risiko dirumuskan secara spesifik pula. Keterbatasan
sumber daya manusia yang ahli dan profesional, Pedoman Teknis ADKL yang

Abdur Rahman©2005 2
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

belum sepenuhnya operasional, jejaring infrastruktur sektor-sektor terkait yang


belum mantap dan penegakkan hukum yang masih lemah adalah sebab-sebab
utama kekurangan ini.

Untuk mengatasi kekurangan tersebut, perlu segera disusun pedoman manajemen


risiko lingkungan untuk menyempurnakan metoda, teknik dan prosedur kajian
aspek-aspek kesehatan masyarakat yang dilakukan selama ini. Pedoman itu
sekaligus dapat menjadi ’naskah akademik’ untuk merevisi Keputusan Menteri
Kesehatan No. 876/Menkes/SK/VIII/2001 tentang Pedoman Teknis Analisis
Dampak Kesehatan Lingkungan yang sudah kurang relevan lagi dengan
perkembangan ilmu dan teknologi saat ini. Pelatihan Aspek Kesehatan
Masyarakat Dalam AMDAL merupakan salah satu upaya strategis untuk
menyongsong perubahan-perubahan tersebut. Dengan pelatihan ini diharapkan
tercipta critical mass tenaga-tenaga ARKL yang ahli dan profesional, sehingga
aspek-aspek kesehatan masyarakat menjadi salah satu arus utama di dalam
penyusunan dokumen AMDAL.

1.2 Ruang Lingkup dan Susunan Materi

Bahan ajar ini dirancang untuk pelatihan penyusunan aspek-aspek kesehatan


masyarakat di dalam dokumen AMDAL. Aspek-aspek kesehatan masyarakat
tersebut dikaji secara cermat dan mendalam dengan menggunakan metoda
ARKL yang diuraikan secara rinci dalam Bab 3. Metoda, disain dan analisis
epidemiologi tidak termasuk dalam bahan ajar ini, namun hasil-hasil studinya
dapat digunakan sebagai salah satu sumber data untuk analisis dosis-respon
ARKL yang dirinci dalam Bab 3. Sebelum membahas metoda-metoda dasar
dalam Bab 3, prinsip-prinsip dasar ARKL akan dijelaskan terlebih dahulu dalam
Bab 2. Bab 4 menyajikan manajemen dan komunikasi risiko dengan contoh-
contoh masalah yang nyata. Bahan ajar ini dilengkapi dengan dua lampiran
penting, yaitu contoh studi ARKL pencemaran debu di sembilan kota besar padat
transportasi (Lampiran I) dan dokumen pendukung evaluasi toksisitas untuk
arsen dari IRIS (Lampiran II).

Meskipun bahan ajar ini dibuat dalam kerangka kajian AMDAL namun metoda,
teknik dan prosedur ARKL dapat diterapkan untuk kasus-kasus di luar lingkup
AMDAL. Metoda, teknik dan prosedur ARKL bersifat komplementer dengan
studi-studi epidemiologi, khususnya epidemiologi kesehatan lingkungan.
Komplementasi ini terutama di dalam segi-segi manajemen dan komunikasi
risiko. Berbeda dengan studi epidemiologi, ARKL dapat menyediakan
manajemen risiko secara kuantitatif. Pilihan-pilihan manajemen risiko dapat
ditindaklanjuti dengan pengendalian secara teknik, atau secara administrasi
dengan legislasi dan regulasi seperti ditunjukkan dalam beberapa Contoh Kasus
dalam Bab 3 dan Bab 4.

Dalam bahan ini terdapat sejumlah istilah teknis ARKL, beberapa di antaranya
sama dengan kosa kata bidang kajian lain (seperti studi epidemiologi) tetapi
mempunyai manka yang berbeda. Untuk memelihara keutuhan alur bahasan,
beberapa istilah itu dijelaskan di dalam catatan kaki disertai dengan sumber

Abdur Rahman©2005 3
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

rujukannya. Mereka yang ingin memperdalam ARKL dipersilakan memabaca


referensi tersebut.

1.3 Maksud dan Tujuan Pemelajaran

Bahan ini disiapkan agar peserta pelatihan, baik sendiri maupun berkelompok,
mampu menyusun laporan kajian ARKL suatu risk agent yang menimpa
(memajani) suatu populasi sebagai bagian aspek kesehatan masyarakat di dalam
dokumen AMDAL. Untuk mencapai kualifikasi tersebut, secara khusus perserta
diharapkan mampu:
1. Memahami prinsip-prinsip dasar, metode, teknik, prosedur dan
kegunaan ARKL.
2. Menghitung Tingkat Risiko (Risk Quotient, RQ) untuk efek
nonkarsinogenik dan Excess Cancer Risk untuk efek karsinogenik
bahaya bahan kimia yang terdapat dalam berbagai media lingkungan.
3. Mengetahui cara menurunkan nilai dosis acuan (Reference Dose,
RfD) untuk efek nonkarsinogenik dan Slope Factor (SF) untuk efek
karsinogenik beberapa bahan kimia pilihan berdasarkan hasil-hasil
studi uji hayati (bioassay) dan atau studi epidemiologi.
4. Menghitung asupan (intake) bahan kimia nonkarsinogen dan
karsinogen melalui berbagai jalur pemajanan (inhalasi, ingesi dan
absorpsi) sesuai dengan karakteristik antropometri dan pola aktivitas
reseptornya, baik menurut waktu sebenarnya (real time) maupun
proyeksi sepanjang hayat (life time) dan waktu-waktu penggalannya.
5. Merumuskan pengelolaan risiko untuk kasus-kasus RQ>1 dan
ECR>E-4 dengan mengubah waktu kontak dan atau konsentrasi risk
agent yang dapat dirangkum menjadi health advisory (baku anjuran)
dan /atau baku mutu seperti MCL (maximum contaminant level).
6. Merumuskan komunikasi risiko kepada pihak-pihak yang
berkepentingan berdasarkan formulasi pengelolaan risiko, sesuai
dengan karaktertik antropometri dan sosio-demografi populasi yang
menjadi sasaran.

1.4 Uraian Singkat Materi dan Proses Belajar – Mengajar

Materi ARKL untuk mengkaji aspek-aspek kesehatan masyarakat dalam


penyusunan dokumen AMDAL ini terdiri dari (1) Prinsip-prinsip Dasar, Metoda,
Teknik, Prosedur dan Kegunaan ARKL, (2) Perhitungan Intake, (3) Perhitungan
Risk Quotient dan Excess Cancer Risk, (3) Perumusan Manajemen dan
Komunikasi Risiko, dan (4) Penentuan Refeence Dose dan Slope Factor. Uraian
singkat materi tersebut, pengorganisasian kelas dan teknik belajar-mengajarnya
adalah sebagai berikut

Abdur Rahman©2005 4
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

1. Prinsip-prinsip Dasar, Metode, Teknik, Prosedur dan Kegunaan


ARKL (kelas)
Dibahas paradigma risk analysis, model-model ARKL dan
harmoniasinya oleh IPCS, metode, teknik dan prosedur ARKL, data
dan informasi yang dibutuhkan untuk ARKL dari studi-studi lain,
kegunaan ARKL untuk pengeloaan risiko secara administratif dan
teknik.
2. Perhitungan RQ dan ECR (3 kelompok paralel, studi kasus).
Secara berkelompok dengan studi kasus peserta dilatih untuk
menghitung besaran RQ dan ECR suatu risk agent menggunakan RfD
dan SF yang tersedia dan intake yang harus dihitung berdasarkan data
karakterisktik antropometri dan pola aktivitas individu atau populasi
yang berisiko. Dengan teknik role-playing peserta mengerjakan 3
studi kasus dalam 3 kelompok secara paralel (setiap peserta terlibat
dalam 3 kali studi kasus):
• Pencemaran udara (inhalasi) . Gas buang kendaraan bermotor
(modern hazard) dan sanitasi lingkungan yang buruk (traditional
hazard) dipilih sebagai kasus. Dua s/d 6 risk agent yang telah
memiliki RfD dan SF dipilih sebagai contoh.
• Pencemaran air (ingesi dan absorbsi). Logam atau metaloid yang
mempunyai efek ganda (esensial dan toksik) atau senyawaan
organik yang dalam air minum dan atau air bersih dipilih sebagai
kasus. Dua s/d 4 risk agent yang telah memiliki RfD dan atau SF
dipilih sebagai contoh.
• Kontaminasi makanan dan minuman (ingesi). Makanan dan atau
minuman yang terkontaminasi logam berat (alamiah atau buatan)
dipilih sebagai studi kasus. Satu s/d 2 risk agent yang telah
memiliki RfD dan atau SF dipilih sebagai contoh.
Dalam studi kasus ini peserta di dalam kelompoknya diperankan
sebagai regulator atau pimpinan badan otoritas (seperti Bapedal atau
Litbang Depkes, Bapedalda atau Libangkesda) yang akan menunjuk
tim yang terdiri dari risk assessor sebagai team leader, wakil
masyarakat yang mengadu, LSM, tenaga profesi kesehatan
lingkungan dan kesehatan masyarakat, akademisi, industri, politisi
dan sektor-sektor pemerintah dan swasta yang berhubungan dengan
kasus yang dihadapi.
3. Perumusan Pengeloaan Risiko dan Komunikasi Risiko (3 kelompok
paralel).
Berdasarkan hasil perhitungan RQ atau ECR, peserta merumuskan
pengelolaan risiko untuk kasus-kasus dengan RQ>1 dan ECR>E-4
dengan membuat simulasi mengubah waktu kontak dan atau
konsentrasi risk agent sedemikan rupa sehingga intake suatu risk
agent sama dengan RfD-nya (nonkarsinogen), atau ECS ≤E-4
(karsinogen). Hasil simulasi digunakan untuk merumuskan

Abdur Rahman©2005 5
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

komunikasi risiko dengan memanfaatkan PHBS populasi yang


terpajan.
4. Presentasi Studi Kasus (kelas).
Setiap kelompok memaparkan hasil perhitungan RQ dan ECR,
rumusan manajemen dan komunikasi risikonya masing-masing untuk
satu studi kasus.
5. Penentuan Nilai RfD dan SF (kelas).
Didemonstrasikan cara menurunkan RfD dan SF menggunakan data
toksisitas kuantitatif hasil-hasil studi uji hayati (bioassay) dan atau
epidemiologi. RfD dihitung secara manual dari nilai NOAEL atau
LOAEL dengan menyertakan uncertainty factor dan modifying factor
sesuai dengan kualitas datanya. SF dihitung menggunakan program
Minitab atau software lain yang mempunyai program aplikasi analisis
regresi (linearized no constant model) untuk pemajanan one-hit
model.

Abdur Rahman©2005 6
BAB 2. PRINSIP-PRINSIP DASAR

2.1 Sejarah Perkembangan

Analisis risiko adalah padanan istilah untuk risk assessment, yaitu karakterisasi
efek-efek yang potensial merugikan kesehatan manusia oleh pajanan bahaya
lingkungan (NRC, 1983). Analisis risiko merupakan suatu alat pengelolaan
risiko, yaitu proses penilaian bersama para ilmuwan dan birokrat untuk
memprakirakan peningkatan risiko kesehatan pada manusia yang terpajan oleh
zat-zat toksik (US-EPA, 1991). Tujuannya adalah untuk menyediakan kerangka
ilmiah guna membantu para pengambil keputusan dan orang-orang yang
berkepentingan (legislator dan regulator, industri dan warganegara yang peduli
lainnya) dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan dan kesehatan
(Louvar and Louvar, 1998).

Pada awalnya analisis risiko digunakan dalam bidang pengendalian radiasi,


bukan dalam industri kimia. Analisis risiko yang intensif telah dilakukan tahun
1975 untuk menyelidiki kematian karena kanker yang disebabkan oleh
kebocoran reaktor nuklir. Teknik-teknik analisisnya kemudian diadopsi oleh
Food and Drug Administration Amerika Serikat. US-EPA selanjutnya
menerbitkan pedoman tentang analisis risiko karsinogen tahun 1986. Kini
analisis risiko digunakan untuk berbagai bahaya lingkungan, termasuk bahaya
fisik dan biologis. Bahaya-bahaya fisik, kimiawi dan biologis lingkungan bisa
menimbulkan efek yang merugikan kesehatan manusia dan kerusakan
lingkungan. Kajian efek kesehatan dikenal dengan health risk assessment (HRA,
analisis risiko kesehatan), sedangkan kajian efek lingkungan disebut ecological
risk assessment.

HRA dibedakan dengan health impact assessment (HIA, analisis dampak


kesehatan). Sebagaimana akan dijelaskan kemudian, dampak lebih bersifat
umum yang berarti bisa positif atau negatif, sedangkan risiko adalah dampak
yang negatif. HRA biasanya digunakan untuk menilai atau menaksir risiko yang
disebabkan oleh bahaya-bahaya lingkungan dulu, kini dan akan datang,
sedangkan HIA umumnya merupakan bagian perencanaan suatu kegiatan atau
pembangunan baru. Meskipun penggunaannya berbeda, prosedur HRA dan HIA
pada prinsipnya adalah sama. Perbedaan utama HRA dengan HIA terletak pada
pemajanannya. Dalam HIA pemajanan yang sesungguhnya belum ada (belum
bisa diukur karena kegiatannya belum ada), sedangkan dalam HRA pemajanan
sudah ada (telah dan sedang berlangsung).

Selanjutnya HIA tumbuh dan berkembang secara lebih spesifik menjadi


environmental health risk assessment, EHRA, atau analisis risiko kesehatan
lingkungan, ARKL. Di Indonesia, dalam peraturan perundangan1 ARKL
menjadi bagian analisis dampak kesehatan lingkungan, ADKL. ADKL sendiri
dibedakan atas ADKL sebagai bagian AMDAL dan ADKL untuk pencemaran

1
Lihat Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-124/12/1997 tentang Panduan Kajian Aspek Kese-
hatan Masyarakat Dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

pada umumnya. Untuk ADKL dalam AMDAL, yang dimaksudkan sebagai


kajian aspek kesehatan masyarakat dalam konteks rencana usaha atau kegiatan
baru, telah terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 876/Menkes/SK/VIII/
2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan.

Namun, pedoman teknis ini belum memberikan ‘pedoman’ yang semestinya


sebagai prosedur formal analisis risiko kesehatan lingkungan. Langkang-langkah
analisis risiko, yang tercantum dalam Lampiran II, masih sangat umum dan
teoretis. Misalnya, dalam langkah-langkah analisis risiko (bagian II. A), tidak
disebutkan persamaan matemtais untuk menetapkan dosis-respon secara
kuantitatif, asupan (intake) dan karakteristik risiko. Pedoman ini tidak
menjelaskan karakterisasi risiko karsinogenik dan nonkarsinogenik, padahal
prosedur untuk menetapkan tingkat risiko kedua efek itu berbeda. Pedoman ini
juga tidak memberi ruang untuk memerankan ADKL sebagai bagian dari proses
legislasi dan regulasi untuk menetapkan standar kualitas kesehatan lingkungan
seperti baku mutu atau nilai ambang batas.

Di tingkat internasional, saat ini ada beberapa model analisis risiko yang
dikembangkan oleh Kanada, Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Meskipun
secara mendasar proses-proses analisis risiko adalah sama, beberapa istilah yang
sedikit berbeda banyak digunakan untuk setiap langkah atau proses. International
Life Science Institute mencatat ada 6 model analisis risiko yang masing-masing
menggunakan terminologi agak berbeda, yaitu enHealth EHRA (Australia),
International Life Science Institute-Risk Science Institute, UP EPA Ecological
Risk Assessment, NAS-NRC Risk Assessment (AS), Codex Risk Assessment
(WTO) dan OIE Import Risk Assessment. Namun, model-model itu masih tetap
sesuai dengan paradigma risk analysis yang dikembangkan oleh National
Academic of Science Amerika Serikat (NRC, 1983), sebagaimana diuraikan
dalam seksi 2 (Paradigma Risk Analysis).

Menyikapi nuansa peristilahan analisis risiko tersebut, International Programme


on Chemical Safety (IPCS) dan WHO membentuk Harmonization of Approaches
to the Assessment of Risk from Exposure to Chemicals yang lebih dikenal sebagai
IPCS Harmonization Project. Proyek ini adalah program untuk melaksanakan
rekomendasi Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United
Nation Coference on Economic and Development, UNCED) tahun 1992 di Brazil
untuk menindaklanjuti 6 area program Chapter 19 Agenda 21. Harmonisasi
bukanlah berarti standarisasi melainkan upaya agar ada konsistensi dan saling
pengertian di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk memahami
risiko bahan kimia secara global.

Harmonisasi pendekatan analisis risiko ini diharapkan dapat dicapai dengan


menyiapkan kerangka untuk membandingkan informasi mengenai analisis risiko,
memahami pengertian dasar standar-standar pemajanan bahan kimia tertentu di
berbagai negara, menghemat biaya dan waktu dengan tukar-menukar informasi
untuk menghindari duplikasi kerja, menumbuhkan dan mengembangkan ilmu
yang terpercaya melalui komunikasi lebih baik antar organisasi dan pakar-pakar
peer review analisis risiko. Misi proyek harmonisasi ini adalah untuk

Abdur Rahman©2005 8
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

memastikan agar analisis risiko bahan kimia dan pengeloaannya berjalan secara
lebih baik untuk meningkatkan perlindungan kesehatan manusia dan lingkungan
di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Salah satu hasil kerja IPCS
Harmonization Project adalah IPCS Risk Assessment Terminology (2004).
Hasil proyek lainnya, Environmental Health Criteria XXX Principles for
Modelling Dose-Respone for the Risk Assessment of Chemicals, masih berupa
draft dan baru dilepas melalui internet 24 Februari 2004 untuk mendapat
tanggapan publik sampai 30 April 2005 (IPCS, 2004a). Beberapa istilah, konsep
dan definisi ARKL dalam tulisan ini diambil dari naskah EHC XXX ini.

2.2 Paradigma Risk Analysis

Paradigma risk analysis2 untuk kesehatan masyarakat pertama kali dikemukakan


tahun 1983 oleh US National Academic of Science (UNC, 1983) untuk menilai
risiko kanker oleh bahan kimia di dalam makanan. Menurut paradigma ini, risk
analysis terbagi dalam tiga langkah utama yaitu penelitian (research), analisis
risiko (risk assessment) dan manajemen risiko (risk management), seperti
dilukiskan dalam Gambar 1.

Research Risk Assessment Risk Management


Hazard
Laboratory Identification
Field What agent
Clinical (chemical, phy- Regulatory
Occupational sical, biological) options
Epidemiological are potentially development
harmful?

Toxicity
mechanism Dose-Response Risk
Characterization Economics,
Methods Assessment socials, political
development & How does is What effects are & technical
validation related to likely on exposed considerations
Species & dose adverse effects? populations?
extrapolations

Exposure
Field
Assessment Goalss,
measurement &
observation Who is, or will Decisions, and
be, exposed to Actions
Environmental
what, when,
fate & transport
where, & for
modeling
how long?

Gambar 1. Paradigma risk analysis dari UNC (1983).

Analisis risiko sendiri selanjutnya dibagi menjadi identifikasi bahaya (hazard


identification), analisis dosis-respon (dose-respone assessment), analisis
pemajanan (exposure assessment) dan karakterisasi risiko (risk characterization).

2
Risk analysis bukan padanan istilah analisis risiko. Seperti dikemukakan dalam paragraf
pertama tulisan ini (seksi 1, Sejarah Perkembangan), analisis risiko adalah padanan istilah risk
assessment. Karena analisis risko sudah dipakai secara luas sedangkan risk analysis relatif jarang
digunakan maka dalam seluruh tulisan ini istilah risk analysis belum dapat dibuat padanannya
dalam bahasa Indonesia sehingga tetap ditulis seperti aslinya dalam bahasa Inggris.
Abdur Rahman©2005 9
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Manajemen atau pengelolaan risiko merupakan proses pengambilan keputusan


yang melibatkan pertimbangan faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan teknik
yang relevan dengan pengembangan, analisis, pemilihan dan pelaksanaa mitigasi
risko yang disebabkan oleh bahaya-bahaya lingkungan. Pengelolaan risiko terdiri
dari tiga unsur yaitu evaluasi risiko, pengendalian emisi dan pemajanan serta
pemantauan risiko. Dengan demikian, analisis risiko merupakan bagian risk
analysis sedangkan manajemen risiko bukan bagian analisis risiko tetapi
kelanjutan dari analisis risiko. Supaya tujuan pengelolaan risiko dapat dicapai
dengan baik maka pilihan-pilihan manajemen harus dikomunikasikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders). Langkah ini dikenal dengan
komunikasi risiko. Seperti akan dijelaskan kemudian dengan contoh-contoh studi
kasus, manajemen dan komunikasi risiko bersifat spesifik yang bergantung pada
karakteristik risk agent, pola pemajanan, individu atau populasi yang terpajan,
sosio-demografi dan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan setempat.

Menurut literatur lain (misalnya Louvar and Louvar, 1998), risk analysis terdiri
dari empat bagian yaitu identifikasi bahaya, analisis risiko, manajemen risiko dan
komunikasi risiko, seperti dilukiskan dalam Gambar 2.3 Lebih lanjut dinyatakan
bahwa risk analysis menggunakan sains, teknik, probabilitas dan statistik untuk
memprakirakan dan menilai besaran dan kemungkinan risko kesehatan dan
lingkungan yang akan terjadi sehingga semua pihak yang peduli mengetahui
bagaimana cara mengendalikan dan mengurangi risko tersebut.

ANALISIS RISIKO
Identifikasi Bahaya

Identifikasi Sumber

Analisis Analisis
Pemajanan Dosis – Respons

Karakterisasi Risiko

Manajemen Risiko

Komunikasi Risiko

Gambar 2. Ruang lingkup langkah-langkah risk analysis. Risk assessment hanya pada bagian
kotak garis titik-titik sedangkan risk management dan risk communication berada di luar lingkup
risk assessment (kata-kata diterjemahkan dari Figure 1.1 Louvar and Louvar [1998] halaman 5).

3
Louvar and Louvar (1998) mengadaptasi gambar ini dari Guidelines for Hazards Evaluation
Procedures, New York, Center for Chemical Process Safety of the American Institute of
Chemical Engineers, 1985, hal 1-9.
Abdur Rahman©2005 10
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Penelaahan IPCS (2004) lebih mendalam mengenai metoda risk analysis dan
analisis risiko menyimpulkan bahwa langkah-langkah analisis risiko dan
manajemen risiko tidaklah lurus dan satu arah melainkan merupakan proses
siklus interaktif dan bahkan iterative (berulang-ulang). Proses daur ini dilukiskan
dalam Gambar 3 yang menyatakan bahwa manajemen risiko berinteraksi dan
beriteratif dengan analisis risiko, terutama di dalam perumusan masalah. Secara
umum dapat dirumuskan bahwa analisis risiko formal didahului oleh analisis
risiko pendahuluan yang biasanya bersifat subyektif dan informal. Pada tahap
awal ini masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat lingkungan dan
kesehatan biasanya lebih peka mengenali masalah dari pada badan-badan otoritas
negara. Namun, seringkali kebanyakan masalah didasarkan pada persepsi dan
opini yang tidak dapat dirumuskan secara ilmiah. Misalnya, bau yang berasal
dari emisi suatu industri bisa dirasakan oleh semua orang yang secara obyektif
telah mengganggu kenyamanan. Namun, risk agent apa yang menyebabkan bau
itu, hanya bisa dikenali oleh mereka yang terlatih, berpengalaman dalam teknik-
teknik analisis pencemaran udara dan sedikit-banyak mengetahui proses-proses
industrinya itu sendiri. Tetapi, mengenali bau secara subyektif berasal dari udara,
bukan dari air, sudah cukup bagi risk assessor untuk melangkah lebih lanjut
menuju analisis risiko secara formal. Meskipun ia masih meraba-raba, ia sudah
lebih terarah menuju sasaran yang sebenarnya, karena bau itu bukan dari air,
misalnya.

PENELITIAN
(Pengetahuan Awal)

Rumusan
Masalah

Analisis Manajemen
Risiko Risiko

Gambar 3. Interaksi proses analisis risiko dengan manajemen risiko (kata-kata di dalam kotak
diterjemahkan dari Figure 2.1 dalam IPCS [2004] halaman 21).

Dalam perkembangan selanjutnya disadari bahwa interaksi tidak hanya perlu


dilakukan antara risk assessor dan risk manager tetapi harus melibatkan semua
pihak yang tertarik atau yang berkepentingan (IPCS, 2004). Masalah risiko,
faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko dan persepsi tentang risiko perlu
dikomunikasikan secara transparan. Proses ini dikenal sebagai komunikasi risiko
dan dilukiskan dalam Gambar 4. Komunikasi risiko berperan untuk menjelaskan
secara transparan dan bertanggungjawab tentang proses dan hasil karakterisasi

Abdur Rahman©2005 11
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

risiko serta pilihan-pilihan manajemen risikonya kepada pihak-pihak yang


relevan.

Analisis Manajemen
Risiko Risiko

Gambar 4. Ilustrasi interaksi antara analisis risiko, manajemen risiko dan komunikasi risiko
sebagai paradigma risk analysis (kata-kata di dalam lingkaran oval diterjemahkan dari Figure 2.2
dalam IPCS [2004] halaman 21).

Berdasarkan paradigma risk analysis seperti dilukiskan dalam Gambar 4, IPCS


(2004) kemudian merumuskan aturan umum bahwa analisis risiko perlu diawali
dengan analisis risiko pendahuluan yang bersifat subyektif dan informal.
Langkah ini dilakukan untuk memastikan apakah suatu kasus memerlukan
analisis risiko secara formal atau tidak. Analisis risiko pendahuluan merupakan
transisi menuju analisis risiko formal, suatu proses iteratif yang memudahkan
persinggungan kritis analisis risiko dengan manajemen risiko. Renwick et al
(2003) menyebut proses ini sebagai perumusan masalah (problem formulation).

2.3 Konsep dan Definisi

IPCS (2004a) mendefiniskan analisis risiko sebagai proses yang dimaksudkan


untuk menghitung atau memprakirakan risko pada suatu organisme sasaran,
sistem atau (sub)populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian-ketidakpastian
yang menyertainya, setelah perpajan oleh agent tertentu, dengan memperhatikan
karakteristik yang melekat pada agent yang menjadi perhatian dan karakteristik
sistem sasaran yang spesifik.4 Risiko itu sendiri didefiniskan sebagai keboleh-
jadian (probabilitas) suatu efek merugikan pada suatu organisme, sistem atau
(sub)populasi yang disebabkan oleh pemajanan suatu agent dalam keadaan
tertentu.5 Definisi lain menyebutkan risiko kesehatan manusia sebagai keboleh-
jadian kerusakan kesehatan seseorang yang disebabkan oleh pemajanan atau
serangkaian pemajanan bahaya lingkungan (US-EPA, 1990).

4
A process intended to calculate or estimate the risk to a given target organism, system, or
(sub)population, including the identification of attendant uncertainties, following exposure to a
particular agent, taking into account the inherent characteristics of the agent of concern as well
as the charatceristics of the specific target system.
5
The probability of an adverse effect in an organism, system, or (sub)population caused under
specified cicumstances by exposure to an agent (IPCS, 2004a).
Abdur Rahman©2005 12
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Saat ini analisis risiko digunakan untuk menilai dan menaksir risko kesehatan
manusia yang disebabkan oleh pajanan bahaya lingkungan. Bahaya adalah sifat
yang melekat pada suatu risk agent atau situasi yang memiliki potensi
menimbulkan efek merugikan jika suatu organisme, sistem atau (sub)populasi
terpajan oleh risk agent itu6 (IPCS, 2004a). Bahaya lingkungan terdiri atas tiga
risk agent7 yaitu chemical agents (bahan-bahan kimia), physical agents (energi
berbahaya) dan biological agents (makhluk hidup atau organisme). Analisis
risiko bisa dilakukan untuk pemajanan bahaya lingkungan yang telah lampau
(past exposure), dengan efek yang merugikan sudah atau belum terjadi, bisa juga
dilakukan sebagai studi prediksi risiko untuk pemajanan yang akan datang
(future exposure).

Jelas bahwa bahaya tidak sama dengan risiko. Bahaya adalah suatu potensi risiko
dan risiko tidak akan terjadi kecuali syarat-syarat tertentu terpenuhi. Syarat-
syarat dimaksud adalah toksisitas risk agent yang bersangkutan dan pola-pola
pajanannya. Suatu risk agent, sekalipun toksik, tidak akan berisiko bagi
kesehatan jika tidak memajani dengan dosis dan waktu tertentu. Toksisitas
bukanlah besaran fisis yang tetap (seperti titik didih, massa jenis, atau volum
molar) melainkan fungsi dari berbagai variabel seperti dosis, waktu dan
karakteristik reseptor biologisnya (organisme, sistem atau [sub]populasi).

Dalam ARKL, risiko kesehatan sebagai endpoint atau penjelmaan pajanan


bahaya-bahaya lingkungan dibedakan atas efek-efek karsinogenik dan efek-efek
nonkarsinogenik. Efek nonkarsinogenik dikenal sebagai efek sistemik, yaitu efek-
efek selain kanker dan mutasi gen, sedangkan efek karsinogenik dinyatakan
sebagai lifetime cancer risk (risiko kanker yang dapat terjadi pada suatu waktu
sepanjang hayat) dan excess cancer case (jumlah tambahan kasus kanker per
jumlah populasi). Efek di sini berarti perubahan keadaan atau dinamika
organisme, sistem atau (sub)populasi yang disebabkan oleh pemajanan suatu
risk agent8 (IPCS, 2004a). Efek-efek yang teramati merupakan bukti perubahan-
perubahan biologis pada suatu organisme, sistem atau (sub)populasi, yang bisa
dilihat sebagai tingkat-tingkat keparahan9 efek atau rangkaian efek yang berbeda-
beda, yang berjenjang dari yang kurang parah sampai yang paling parah menurut
kenaikan dosis.

6
Inherent property of an agent or situation having the potential to cause adverse effects when an
organism, system, or (sub)population is exposed to that agent.
7
Agent, seperti dalam environmental agent, sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Agent kadang-kadang diterjemahkan menjadi faktor, misalnya faktor kimia untuk chemical agent
(seperti dilakukan oleh Pusat Hiperkes Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI), sering
pula dialihbahasakan menjadi agen. Agent didefinisikan sebagai a chemical, biological, or phy-
sical entity that contact a target (IPCS, 2004a, Part 2). Risk agent merujuk bahaya-bahaya ling-
kungan yang berpotensi menimbulkan risiko kesehatan jika kondisi spesifik terpenuhi.
8
Change in the state or dynamics of an organism, system, or (sub)population caused by the expo-
sure to an agent (IPCS, 2004a, Part 1).
9
Misalnya, tingkat keparahan iritasi mata karena peningkatan konsentrasi oksidan di udara. Li-
hat selanjutnya de Koning HW (ed.) (1987) Setting Environmental Standards, Guidelines for De-
cision Making, Geneva, WHO, halaman 17.
Abdur Rahman©2005 13
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Dalam beberapa literatur istilah efek seringkali dipertukarkan dengan respon.


Namun, biasanya respon digunakan lebih spesifik untuk menyatakan efek pada
kelompok individu, bukan secara individu. Efek itu sendiri harus dapat diukur
secara gradual (bertingkat) menurut kenaikan dosis, yang berarti besaran efek
sebanding dengan besaran dosis. Jika kedua besaran ini tidak dapat dihitung,
hubungan dosis dengan efek juga tidak bisa ditegakkan secara kuntitatif. Dalam
ARKL hubungan kuantitatif dosis-respon adalah kunci untuk menetapkan
kunatittas tingkat risiko.

Untuk kajian ARKL, efek yang mendapat perhatian biasanya adalah efek-efek
yang merugikan kesehatan (adverse health effects). Menurut de Koning (1987),
efek-efek yang merugikan kesehatan itu berjenjang mulai dari yang paling
rendah berupa hanya perubahan fisiologi kecil sampai yang paling tinggi berupa
kesakitan akut dan kematian. Akan tetapi, de Koning (1987) mengamati bahwa
dewasa ini ada dua pandangan dominan dalam menetapkan efek kesehatan ini.
Pandangan pertama mengatakan bahwa setiap efek terukur, betapa pun kecilnya
perubahan yang terjadi, harus dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan.
Misalnya, setiap konsentrasi xenobiotik (zat asing) di dalam jaringan, betapa pun
rendahnya, merupakan bukti bahwa telah terjadi pemajanan yang menyebabkan
tubuh mengalami tekanan, walaupun dapat diatasi tubuh tanpa menimbulkan
ancaman kesehatan. Pandangan kedua menyatakan bahwa tidak ada ancaman
bagi kesehatan sepanjang pemajanan tidak mengganggu jenis dan tingkat
mekanisme perlindungan yang normal. Artinya, meskipun telah terjadi
perubahan menjadi tidak normal, tidaklah dianggap mengancam kesehatan bila
perubahan itu bisa dikembalikan lagi oleh tubuh ke keadaan normalnya.

Pandangan pertama dianut oleh negara-negara bekas Uni Soviet dan sekutu-
sekutunya, sedangkan pandangan kedua dianut oleh Amerika dan sekutu-
sekutunya. Negara-negara lain umumnya menganut salah satu pandangan
tersebut. Menurut pandangan pertama, potensi gangguan kesehatan dikatakan ada
segera setelah organisme mengalami perubahan dari keadaan normal yang dapat
terdeteksi, apa pun bentuknya. Karena itu konsentrasi maksimum pencemar yang
diizinkan (maximum permissible concentration) diset di bawah tingkat ini, yaitu
jumlah zat yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan adaptif dan dapat
dikompensasi oleh organisme di dalam kelompok yang paling rawan (sensitif,
vulnerable).

Berhubung dengan efek-efek yang merugikan kesehatan tersebut, adalah sangat


penting untuk menyatakan dosis, yang mempunyai hubungan kuantitatif dengan
efek atau respon, sebagai dosis total (total dose) atau dosis sebenarnya (dosis
aktual, actual dose). Dosis total merupakan integrasi dosis seluruh waktu
pemajanan, sedangkan dosis sebenarnya menyatakan dosis harian. Di dalam
perhitungan tingkat risiko, dosis aktual adalah asupan (intake) yang diterima
individu dari berbagai jalur pemajanan. Dosis aktual yang diterima bisa berbeda
dari satu individu ke individu lain, meskipun konsentrasi risk agent di dalam
media lingkungan yang memajannya adalah sama. Karena itu dosis aktual
dinyatakan misalnya sebagai mg zat/kg berat badan individu/hari, sebagaimana
dijelaskan lebih rinci di dalam seksi Analisis Pemajanan dalam Bab 3.

Abdur Rahman©2005 14
BAB 3. METODE, TEKNIK DAN PROSEDUR

3.1 Studi Epidemiologi versus Analisis Risiko

ARKL merupakan salah satu metoda kajian efek lingkungan terhadap kesehatan.
Metoda ini sangat cocok dipakai untuk kajian dampak lingkungan terhadap
kesehatan masyarakat di dalam AMDAL karena mampu meramalkan risiko
menurut proyeksi waktu pemajanan ke depan. Metoda lainnya yang lebih dahulu
digunakan adalah studi epidemiologi. Selama ini studi epidemiologi telah banyak
digunakan untuk mempelajari kejadian dan distribusi penyakit dan cedera
menurut orang, tempat dan waktu (Cooke, 1996; IPCS, 1983). Namun, mengkaji
secara epidemiologis efek-efek kesehatan oleh faktor-faktor lingkungan lebih
sulit dilakukan dari pada mempelajari faktor-faktor bukan lingkungan. Di
samping kurang spesifik menegakkan hubungan kausalitas faktor lingkungan
dengan kejadian penyakit, untuk penyakit-penyakit yang masa latennya sangat
lama (seperti kanker) studi epidemiologi bahkan bertentangan dengan maksud
pengelolaan risiko.10

Ada beberapa ciri penting yang membedakan analisis risiko dengan studi
epidemiologi, yaitu:

1. Dalam analisis risiko, pajanan risk agent yang diterima setiap individu
dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi tidak
(perlu) memperhitungkan intake individual ini.
2. Dalam analisis risiko, perhitungan intake membutuhkan konsentrasi
risk agent di dalam media lingkungan tertentu, karakteristik
antropometri (seperti berat badan dan laju inhalasi atau pola
konsumsi) dan pola aktivitas waktu kontak dengan risk agent. Dalam
studi epidemiologi konsentrasi dibutuhkan tetapi karakteristik
antropometri dan pola aktivitas individu bukan determinan utama
dalam menetapkan besaran risiko.
3. Risiko kesehatan oleh pajanan setiap risk agent dibedakan atas efek
karsinogenik dan efek nonkarsinogenik, dengan teknik analisis yang
berbeda. Dalam studi epidemiologi, teknik analisis efek kanker dan
nonkanker pada dasarnya sama.
4. Dalam studi epidemiologi efek kesehatan (kanker dan nonkanker)
yang ditentukan dengan berbagai pernyataan risiko (seperti odd ratio
dan relative risk) didapat dari populasi yang dipelajari. Analisis risiko
tidak dimaksudkan untuk mencari indikasi efek lingkungan terhadap
kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis lingkungan) melainkan
untuk menghitung dan atau menaksir risiko yang telah, sedang dan
akan terjadi. Efek tersebut, yang dinyatakan sebagai nilai kuantitatif

10
Misalnya, untuk mendeteksi 2 kali lipat kelainan kongenital 2% saja di atas background rate
diperlukan 3000 kelahiran sebagai kasusi. Lihat de Koning HW (ed.) (1987) op cit halaman 14.
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

dosis-respon, didapat dari luar sumber-sumber populasi yang


dipelajari, bahkan dari studi-studi toksisitas uji hayati (bioassay) atau
studi keaktifan biologis risk agent.
5. Kuantitas risiko nonkarsinogenik dan karsinogenik digunakan untuk
merumuskan pengelolaan dan komunikasi risiko secara lebih spesifik.
Analisis risiko menawarkan pengelolaan risiko secara kuantitatif
seperti penetapan baku mutu dan reduksi konsentrasi. Pengelolaan dan
komunikasi risiko bukan bagian integral studi epidemiologi dan, jika
ada, hanya relevan untuk populasi yang dipelajari.

Walaupun ada perbedaan-perbedaan cukup mendasar, studi epidemiologi


dan analisis risiko mempunyai tujuan akhir yang sama untuk melindungi
kesehatan manusia dari pajanan bahaya lingkungan. Obyek studinya pun sama,
yaitu mengkaji efek lingkungan terhadap kesehatan. Hasil-hasil studi
epidemiologi menjadi data awal bagi analisis risiko. Analisis risiko pendahuluan
yang bersifat informal biasanya dilakukan dengan pendekatan studi epidemiologi
kesehatan lingkungan.11 Studi ini dapat dilakukan atas dasar kejadian penyakit
(effect oriented) atau kondisi lingkungan yang spesifik (agent oriented). Studi
epidemiologi yang berkualitas tinggi bahkan dapat menghasilkan nilai NOAEL
atau LOAEL sebagai kuantitas dosis-respon yang digunakan untuk menetapkan
dosis acuan (reference dose, RfD). Hubungan dan peran studi epidemiologi
dalam analisis risiko yang saling menunjang dilukiskan dalam Gambar 5.12

Studi Epidemiologi

Analisis
Pajanan Manajemen
(inhalasi, Risiko
ingesi, (I, C, t, f, D)
Konsentrasi absorbsi)
Karakterisasi
Penyakit Risk Agent
Risiko
Berbasis (lingkungan)
(RQ, UR,
Lingkungan dan PHBS
Analisis CR)
(populasi) Komunikasi
Effect oriented Dosis-
Risiko
Agent Oriented Respons (PHBS,
(NOAEL/ Sosio-
LOAEL, Demografi)
RfD, SF)

Analisis Risiko

Gambar 5. Peranan studi epidemiologi dalam ARKL. Hasil-hasil studi epidemiologi dapat
digunakan sebagai data awal bagi kajian ARKL.

11
Epidemiologi kesehatan lingkungan lebih banyak dilakukan secara agent oriented dari pada
epidemiologi (umum) yang lebih disease oriented.
12
Arti dan penggunaan istilah-istilah dalam gambar ini akan dijelaskan lebih rinci dalam bagian
metoda dan prosedur ARKL.
Abdur Rahman©2005 16
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

3.2 Harmonisasi ARKL

Seperti telah disebutkan, dewasa ini ada beberapa model analisis risko yang
digunakan di berbagai negara. IPCS (2004) sedang mengharmonisasikan model-
model itu. Gambar 6 merupakan draft harmonisasi IPCS (2004) model analisis
risiko, sebagai rangkuman dari berbagai model yang digunakan selama ini. Pada
dasarnya model yang telah diharmonisasikan ini terdiri dari empat langkah
ditambah perumusan masalah sebagai langkah awal. Sebagai langkah awal,
perumusan masalah sangat menentukan apakah analisis risiko diperlukan dan,
jika memang ya, dimungkinkan untuk dilaksanakan.

Perumusan Masalah

Identifikasi Bahaya Analisis Pemajanan


(identifikasi jenis dan (evaluasi konsentrasi
hakekat efek-efek yang atau jumlah agent
merugikan kesehatan) tertentu yang mencapai
populasi sasaran)

Karakterisasi
Bahaya Karakterisasi
(uraian kualitatif dan
Risiko
kuantitatif sifat-sifat risk (pemberitahuan untuk
agent yang berpotensi pengambilan
menimbulkan efek keputusan)
merugikan)

Gambar 6. Draft model analisis risiko, termasuk perumusan masalah, yang telah
diharmonisasikan IPCS dari berbagai model yang ada (diadaptasi dari Figure 2.3,
IPCS [2004] halaman 23).

Perumusan masalah sekurang-kurangnya membutuhkan beberapa pertimbangan


awal mengenai identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya dan analisis pemajanan
sebagai proses iteratif. Langkah ini diharapkan menghasilkan (a) pertanyaan-
pertanyaan tersurat (eksplisit) yang harus dijawab dalam karakterisasi risiko
untuk memenuhi kebutuhan manajemen risiko, (b) penetapan sumber-sumber
data tersedia yang diperlukan dan (c) waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan analisis risiko.

Selanjutnya, dalam analisis risiko formal dibutuhkan identifikasi bahaya untuk


mengenali jenis dan hakekat (nature) efek-efek yang merugikan kesehatan
(adverse health effects). Efek-efek ini bisa diketahui dari studi-studi pada
populasi manusia berupa human epidemiology, baik disain eksperimental seperti
clinical trial atau community trial maupun disain observasional seperti case-

Abdur Rahman©2005 17
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

control dan cohort, molecular epidemiology,13 studi toksikologi berbasis hewan


(uji hayati atau bioassay), studi toksikologi in-vitro, atau studi hubungan struktur
dengan keaktifan biologis (structure-reactivity relationship). Dalam studi-studi
itu boleh jadi diperoleh banyak efek, namun yang dapat digunakan untuk
mengenal bahaya adalah efek-efek yang merugikan kesehatan.

Identifikasi bahaya mempunyai hubungan interaktif dengan karakterisasi bahaya.


Dalam karakterisasi bahaya diuraikan secara kualitatif dan kuantitatif sifat-sifat
yang melekat pada suatu risk agent yang berpotensi menimbulkan efek yang
merugikan. Inti karakterisasi bahaya adalah mencari critical effect yang
merugikan kesehatan dan menetapkan dosis-responnya (karena itu proses ini
dikenal juga sebagai analisis dosis-respon atau dose-response assessment). Efek
yang ditimbulkan oleh pemajanan risk agent mungkin saja banyak, tetapi yang
dipilih untuk analisis risiko adalah efek yang merugikan kesehatan.

Pada sisi lain analisis pemajanan dilakukan untuk mengevaluasi konsentrasi


(untuk zat kimia), jumlah (untuk organisme atau makhluk hidup) atau intensitas
(untuk agent fisik) suatu risk agent di dalam media lingkungan tertentu yang
dapat mencapai sasaran atau reseptor biologis (organisme, sistem atau
[sub]populasi). Inti analisis pemajanan adalah menetapkan critical pathway dan
critical environmental media. Critical pathway berarti jalur atau rute pemajanan
utama risk agent yang bisa melaui inhalasi (terhirup), ingesi (tertelan) atau
absorpsi (kulit/permukaan tubuh), sedangkan critical environmental media
berarti media lingkungan yang menjadi wahana risk agent untuk dapat mencapai
sasaran atau reseptor biologis seperti udara, air, tanah, makanan atau minuman.
Selain konsentrasi, jumlah atau intensitas risk agent, analisis ini juga perlu
mengumpulkan data mengenai waktu, frekuensi dan durasi pemajanan yang
berhubungan dengan pola aktivitas sasaran atau reseptor biologis (organisme,
sistem atau [sub]populasi).

Bersama-sama dengan karakterisasi bahaya, analisis pemajanan digunakan untuk


karakterisasi risiko. Risiko umumnya dinyatakan dalam dua macam karakteristik
berikut:

1. Untuk risk agent nonkarsinogen dan efek-efek nonkarsinogenik14 risk


agent karsinogen, risiko kuantitatif dinyatakan sebagai Risk Qoutient
(RQ, tingkat risiko).15 RQ didapat dengan membagi intake (asupan)
risk agent yang diterima individu dengan dosis acuan (RfD). Tingkat
risiko bisa juga dinyatakan sebagai margin-of-exposure (MOE).

13
Istilah molecular epidemiology digunakan untuk membedakan dengan studi epidemiologi yang
selama ini dipakai. Molecular epidemiology adalah disiplin baru, merupakan studi berbasis DNA-
adduct yang pertama kali dikembangkan di Swedia awal tahun 90-an.
14
Misalnya, gas klor adalah karsinogen tetapi juga mempunyai efek nonkarsinogenik yaitu iritan
saluran pernafasan. Iritasi termasuk efek nonkarsinogenik.
15
RQ dipakai di Australia, sedangkan Louvar and Louvar (1998) menggunakan notasi Hazard
Index yang dipakai US-EPA dan Kolluru et al (1996) memakai istilah Hazard Qoutient untuk
maksud yang sama. Dibandingkan dengan HI dan HQ, RQ lebih tepat digunakan karena risk
adalah pernyataan yang secara implisit menunjukkan ada pemajanan sedangkan hazard tidak
mengandung makna pemajanan.

Abdur Rahman©2005 18
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

2. Untuk risk agent karsinogen, risiko dinyatakan sebagai cancer risk


yang diestimasi dengan mengalikan dosis harian sebenarnya yang
terima manusia (actual human dose) dengan slope factor yang didapat
dari pemodelan dosis-respon. Cancer risk adalah probabilitas individu
mengalami perkembangan setiap jenis kanker akibat pemajanan
bahaya-bahaya karsinogen sepanjang hayat16 (karena itu biasanya
disebut juga lifetime cancer risk).

IPCS (2004a) menyatakan bahwa karakteristik risiko yang dapat


ditindaklanjuti oleh manajer risiko perlu dirumuskan dalam beberapa pernyataan
kuantitatif berikut:

1. Tingkat risiko (kanker dan nonkanker) menurut intake maksimum dan


intake minimum. Intake maksimum disebut sebagai worst scenario
sedangkan yang minimum sebagai best scenario.
2. Estimasi tingkat risiko pada berbagai konsentrasi, jumlah atau
intensitas risk agent dan waktu pemajanan.
3. Nilai-nilai pedoman (guidelines) berbasis kesehatan. Nilai-nilai ini
bisa ditindaklanjuti melalui proses legislasi atau regulasi menjadi
standar kualitas lingkungan berbasis kesehatan seperti baku mutu atau
nilai ambang batas.
4. Estimasi berdasarkan pemajanan yang digunakan untuk tingkat
pemajanan yang rendah.

Selain pernyataan-pernyataan kuantitatif tersebut, karakteristik risiko perlu juga


dirumuskan secara kualitatif. Beberapa pernyataan kualitatif yang penting
dikemukakan antara lain adalah:

1. Pernyataan atau bukti bahwa risk agent yang dikaji tidak mempunyai
masalah toksikologi (artinya aman) pada tingkat dan waktu
pemajanan tertentu menurut karakteristik antropometri dan pola
aktivitas sasaran atau reseptor biologisnya (organisme, sistem atau
[sub]populasi).
2. Pernyataan atau bukti bahwa risk agent yang dikaji aman digunakan
dalam kondisi-kondisi tertentu.
3. Saran-saran untuk menghindari, meminimalisasikan atau mengurangi
pemajanan.

3.3 Prosedur ARKL

Prosedur ARKL dalam bahan ajar ini mengikuti draft model yang telah
diharmonisasikan oleh IPCS (2004a) yang langkah-langkahnya dibagankan
dengan Gambar 6. Merujuk model ini, analisis risiko diawali dengan perumusan

16
The probability of an individual developing any type of cancer from lifetime exposure to
carcinogenic hazards (Kolluru et al, 1996, halaman 4.27).

Abdur Rahman©2005 19
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

masalah sebagai langkah informal. Setelah bisa diputuskan bahwa ARKL


memang diperlukan dan dimungkinkan untuk dilaksanakan, barulah prosedur-
prosedur formal dilakukan. Berikut akan dijelaskan teknik-teknik perumusan
masalah dan empat langkah prosedur formal ARKL, disertai dengan contoh-
contohnya. Perlu juga diingat kembali bahwa langkah-langkah tersebut bersifat
interaktif dan iteratif sehingga tidak selalu harus dilakukan secara berurutan
seperti Gambar 6.

3.3.1 Perumusan Masalah (Problem Formulation)

Tuntutan untuk melakukan ARKL biasanya muncul karena ada peristiwa yang
menjadi perhatian umum (public concern), bisa juga karena kebutuhan tertentu17
meskipun tidak atau belum menjadi perhatian umum. Biasanya kasus-kasus
muncul karena dua masalah utama, yaitu indikasi pencemaran atau indikasi
gangguan kesehatan. Perubahan-perubahan lingkungan yang dikenali secara
inderawi seperti bau, warna (misalnya badan air sungai), asap dan kondisi-
kondisi fisik lainnya seperti bising, panas atau getaran, dianggap masyarakat
awam sebagai indikasi bahaya lingkungan. Jika keadaannya dirasakan cukup
parah atau mengganggu, bisa saja terjadi unjuk rasa yang menyita perhatian
media massa. Pemerintah seharusnya menanggapi tuntutan masyarakat tersebut
dengan membentuk suatu task force untuk melakukan ARKL. Selain risk
assessor, task force juga harus melibatkan kalangan profesi yang relevan,18
konsultan bisnis, pengusaha, regulator (sektor pemerintah), masyarakat yang
terlibat dan peduli, LSM, pengguna dan akademisi. Risk assessor bertindak
sebagai team leader untuk menghimpuna semua data dan informasi yang
dibutuhkan.

Jika masyarakat awam memakai identifikasi inderawi sebagai dasar kepedulian


mereka maka kalangan birokrat, profesional atau akademisi harus menggunakan
data dan informasi ilmiah sebagai basis untuk menilai keberadaan masalah
lingkungan dan kesehatan. Morbiditas dan mortalitas penyakit-penyakit berbasis
lingkungan, insiden dan prevalen, hasil-hasil monitoring kualitas lingkungan atau
studi epidemiologi kesehatan lingkungan, merupakan sumber data yang lazim
dipakai untuk merumuskan masalah. Bagi risk assessor, sumber-sumber data itu
digunakan untuk menetapkan risk agent apa yang berada di balik peristiwa-
peristiwa yang menjadi perhatian. Keberadaan risk agent bisa disimpulkan dari
gangguan kesehatan yang teramati (disease oriented19), tingkat pencemaran
(agent oriented, misalnya yang melampaui baku mutu20), atau keduanya.

17
Misalnya pemakaian zat baru seperti pestisida yang memerlukan standar kualitas media
lingkungan (air, tanah, udara, pangan) untuk mengamankan penggunaannya oleh khalayak ramai.
18
Misalnya, jika yang menjadi perhatian umum adalah pencemaran laut oleh tumpahan minyak
mentah, industrial hygienist atau accupational health di bidang perminyakan perlu dilibatkan.
19
Efek lingkungan terhadap kesehatan berjenjang dari yang paling ringan berupa gangguan
kenyamanan sampai terberat berupa kematian. Lihat de Koning HW (ed.) 1987 Setting
Environmental Standards, Guidelines for Decision Making, Geneva, WHO, Table 3 halaman 30.
20
Seperti akan dijelaskan kemudian, risk agent yang melampaui baku mutunya di dalam suatu
medium lingkungan belum tentu berisiko bagi kesehatan karena besar risiko merupakan fungsi
dari intake dan toksisitas. Konsentrasi risk agent hanya salah satau variabel intake saja. Dalam
ARKL keadaan ini hanya dipandang sebagai bukti permulaan belaka.

Abdur Rahman©2005 20
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Bila satu atau beberapa risk agent telah ditetapkan keberadaannya, langkah
selanjutnya adalah mengevaluasi dosis-responnya. Dosis-respon sangat
menenetukan karena ARKL hanya bisa dilakukan untuk risk agent yang telah
memiliki RfD, atau sekurang-kurangnya NOAEL atau LOAEL untuk zat-zat
nonkarsinogen, atau slope factor (SF) untuk zat-zat karsinogen. Jika RfD,
NOAEL atau LOAEL dan SF belum tersedia, risk assessor harus melakukan
toxicological review terlebih dahulu. Namun, nilai-nilai guideline (pedoman),
baku mutu atau nilai ambang batas dan yang sejenisnya yang berbasis kesehatan
bisa juga dipakai sebagai acuan menggantikan RfD atau SF asalkan digunakan
dengan hati-hati. Jika syarat-syarat ini terpenuhi sudah bisa disimpulkan apakah
ARKL secara formal diperlukan dan apakah ARKL dimaksud bisa dilaksanakan.

3.3.2 Identifikasi Bahaya (Hazard Identication)

Kecuali perumusan masalah menetapkan hanya ada satu risk agent saja, berbagai
bahaya lingkungan pada suatu lokasi spesifik perlu diidentifikasi keberadaannya
sebagai zat-zat toksik, organisme patogen atau kondisi-kondisi fisik tertentu yang
berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan. Bahaya-bahaya lingkungan ini
kemudian dievaluasi dengan teknik-teknik berikut:

1. Buat daftar zat toksik, organisme patogen dan energi berbahaya


(physical agent) yang telah diidentifikasi keberadaannya (disebut
Daftar Identifikasi).
2. Bandingkan Daftar Identifikasi tersebut dengan daftar yang telah
tersedia. Zat toksik, organisme patogen dan energi berbahaya dalam
Daftar Identifikasi yang sama atau serupa (misalnya kemiripan
struktur molekulnya) dengan daftar pembanding dapat dianggap
sebagai risk agent yang berpotensi menggangu kesehatan. Daftar
pembanding dimaksud bisa berupa (misalnya):
ƒ Parameter-parameter fisik, kimiawi dan biologis kualitas air
menurut Perarturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
ƒ Parameter-parameter fisik dan kimiawi udara menurut Peraturan
Pemerintah No. 41 tahun 19999 tentang Pengendalian
Pencemaran udara.
ƒ Bahan berbahaya menurut Peraturan Pemerintah No. 74 tahun
2001 tentang Penglolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.21
ƒ Parameter-parameter fisik, kimiawi dan biologis kualitas air
minum menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/

21
Jika mengacu pada dokumen yang telah menjadi komitmen internasional seperti Chapter 19
Agenda 21 yang dihasilkan UNCED 1992, yang tepat adalah ‘bahan berbahaya’ atau hazardous
chemical. Dalam dokumen Globally Harmonized System of Classification and Labelling of
Chemicals (GHS) yang diterbitkan WHO (2005), sifat racun hanyalah salah satu jenis bahaya
atau hazard bahan kimia sehingga isitilah bahan berbahaya dan beracun adalah berlebihan. Lihat
Rahman A (2005) Laporan Harmonisasi Global Sistem Klasifikasi dan Penandaan Bahan Kimia,
Strategi Adopsi dan Implementasi, Jakarta, Badan POM dan WHO.

Abdur Rahman©2005 21
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

MENKES/SK/VII/ 2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan


Kualitas Air Minum.
ƒ Parameter-parameter fisik, kimiawi dan biologis makanan dan
minuman menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
715/MENKES/SK/V/ 2003 tentang Persyaratan Sanitasi Jasaboga.
ƒ Bahan berbahaya menurut Keputusan Menteri Perindustrian RI
No. 148/ M/SK/4/1985 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan
Berbahaya di Perusahaan Industri.
ƒ Bahan berbahaya menurut Keputusan Menteri Perhubungan RI
No. 69/ 1993 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang di Jalan.
ƒ Bahan yang membahayakan kesehatan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan
Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan.
ƒ Bahan berbahaya menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI No. 254/MPP/Kep/7/2000 tentang Tata Niaga
Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya Tertentu.
ƒ Guideline atau pedoman dari badan-badan dunia atau organisasi
internasional seperti WHO, WTO, IMDG-IMO dan IARC, 22
organisasi regional seperti Uni Eropa atau ASEAN, atau standar
dari negara lain seperti yang dibuat US-EPA. Beberapa contoh
guidelines atau standar misalnya:
- WHO air quality guidelines for Europe organic pollutants
- WHO air quality guidelines for Europe inorganic pollutants
- Indoor interim national air quality goals (National Health
and Medical Research Council, Australia)
- National ambient air quality standard (US-EPA)

3. Evaluasi risk agent itu untuk menentukan yang mana saja yang dapat
ditetapkan sebagai indicator chemicals, indicator organisms, atau
indicator physical hazards. Penetapan ini dilakukan dengan penapisan
dan prioritisasi menggunakan pendekatan Chemical of Concern
(COC) dan Site-Specific Chemistry (SSC) (Kolluru et al, 1996) yang
didasarkan pada beberapa faktor berikut:

3.1 Frekuensi risk agent yang konsentrasinya, jumlahnya atau


intensitasnya dalam berbagai media lingkungan melampaui atau
tidak memenuhi baku mutu, nilai ambang batas, guideline dan
sejenisnya yang berlaku. Faktor ini boleh disebut exceedance
standard frequency disingkat fES.
3.2 Frekuensi risk agent yang konsentrasinya, jumlahnya atau
intensitasnya dalam berbagai media lingkungan melampaui

22
WTO = World Trade Organization, IMDG-IMO = International Maritime Dangerous Goods-
International Maritime Organization, IARC = International Agency for Research on Cancer.

Abdur Rahman©2005 22
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

background level-nya.23 Ini menyatakan kelimpahan dan


kuantitas risk agent tersebut. Faktor ini boleh disebut sebagai
exceedance background frequency disingkat fEB.
3.3 Frekuensi risk agent yang terdeteksi dalam berbagai media
lingkungan (menyatakan luas penyebaran risk agent dalam
media lingkungan dan dalam kawasan). Faktor ini boleh disebut
sebagai detection frequency disingkat fD.
3.4 Frekuensi kelengkapan jalur pajanan, yaitu jumlah media
lingkungan yang menjadi jalur pemajanan risk agent untuk
sampai kepada sasaran atau reseptor biologisnya. Faktor ini
boleh disebut sebagai exposure completeness factor disingkat
fEC.
3.5 Nilai kuantitatif toksisitas (SF untuk karsinogenik, RfD untuk
nonkarsinogenik). Faktor ini boleh disebut sebagai toxicity
factor disingkat fT.
3.6 Nasib (fate) dan perjalanan risk agent seperti kelarutan,
persistensi (half-life), transformasi, bioakumulasi (koefisien
partisi oktanol-air Kow dan faktor biokonsentrasi). Faktor ini
boleh disebut sebagai fate and trasport factor disingkat fFT.

4. Selanjutnya, beri bobot masing-masing faktor yang besarnya


disesuaikan dengan karakteristiknya masing-masing. Pembobotan
digunakan untuk membuat matriks prioritas. Misalnya, pada suatu
lokasi spesifik terdapat 5 risk agent yang berpotensi membahaya
kesehatan, yaitu A, B, C, D dan E. Maka, pembobotan dapat
dilakukan sebagai berikut.

• Bobot fES, fEB, fD, fEC dan fFT dinyatakan dalam % atau rasio.24
• Bobot untuk fT dinyatakan sebagai 1/RfD dan (jika ada) SF.
• Karena nilai bobot fT jauh lebih besar dari pada jumlah fES, fEB, fD,
fEC dan fFT maka faktor-faktor itu harus dibobot lagi. Misalnya fES,
fEB, fD, fEC dan fFT masing-masing 10% sedangkan fT(1/RfD) dan
fT(SF) masing-masing 25%. Hasil pembobotan kedua ini
selanjutnya dirangkum dalam sebuah matriks seperti Tabel 1. Risk
agent yang mempunyai bobot lebih besar berarti mendapat
prioritas untuk dikaji risikonya lebih lanjut.

23
Background level atau background concentration adalah naturally-occurring, ambient
concentration in the local area of a site. Lihat selanjutnya Departement of Health and Ageing
and enHealth Council (2002) Environmental Health Risk Assessment, Guidelines for assessing
human health risks from environmental hazards, Canberra, Commenwealth Australia.
24
Misalnya, jika dari total 100 sampel, jumlah sampel yang melampaui baku mutu untuk A = 10,
B = 3, C = 6, D = 12 dan E = 26, maka bobot fES untuk A, B, C, D dan E masing-masing 0,1;
0,03; 0,06; 0,12 dan 0,26; demikian seterusnya.

Abdur Rahman©2005 23
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Tabel 1. Matriks penapisan dan prioritisasi risk agent untuk identifikasi bahaya di
dalam ARKL.

Risk fT fT Bobot
fES fEB fD fEC fFT
Agent (1/RfD) (SF) Total

5. Langkah 4 (pembuatan matriks) mungkin menghasilkan jumlah risk


agent yang sangat banyak yang tidak mungkin bisa dianalisis
seluruhnya. Jumlah ini bisa dikurangi dengan membuang risk agent
yang:
• Konsentrasinya, jumlahnya atau intensitasnya berada dalam
backgound level setempat.
• fD-nya di bawah 5% total sampel.
• Merupakan kontaminan yang umum dijumpai dalam analisis
laboratorium (konsentrasinya, jumlahnya atau intensitasnya dalam
sampel setempat <5-10 kali maksimum yang terdeteksi dalam
blanko).
• Mempunyai toksisitas yang rendah (RfD besar atau SF kecil).
• Merupakan nutrien yang esensial (lebih rendah dari pada RDA
[recommended daily allowance]).
• Konsentrasinya, jumlahnya atau intensitasnya jauh di bawah
standar atau pedoman yang berlaku.
• Jalur pemajanannya tidak lengkap (misalnya hanya lewat inhalasi
tetapi tidak ingesi atau kontak kulit).

6. Selanjutnya, risk agent yang telah ditapis dan diprioritisasi dalam


langkah 5 disaring lagi dengan teknik Concentration-Toxicity-
Screening (CTS) (Kolluru et al, 1996). Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi risk agent (karsinogen dan nonkarsinogen) menurut
jalur pemajanannnya atau media lingkungannya yang mungkin
mempunyai sumbangan menimbulkan risiko kesehatan karena
toksisitasnya dan kelimpahannya. Kontribusi ini dinyatakan sebagai
faktor risiko (Rf) medium lingkungan (udara, air, tanah, makanan),
dihitung dengan Persamaan (1):

Abdur Rahman©2005 24
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Rf = Σ(Ci)(Ti) (1)

Dalam persamaan ini C = konsentrasi maksimum risk agent dalam


setiap medium lingkungan dan T = nilai toksisitas kuantitatif risk
agent (1/RfD untuk nonkarsinogen dan SF untuk karsinogen). Rasio
Rf individual risk agent terhadap Rf total untuk setiap medium
menyatakan kontribusi risiko relatif risk agent yang bersangkutan.
Risk agent yang kontribusi risiko relatifnya kurang dari 1% bisa
dikeluarkan dari daftar dan tidak perlu dianalisis lebih lanjut. Dengan
CTS ini jumlah risk agent untuk dianalisis dalam langkah ARKL
berikutnya menjadi lebih realistis dan terkelolakan (manageable).

3.3.3 Karakterisasi Bahaya (Hazard Characterization)

Karakterisasi bahaya disebut juga analisis dosis-respon (dose-response


assessment) atau analisis toksisitas (toxicity assessment). Dalam ARKL model
Australia (enHealth, 2002), bersama-sama dengan hazard identification dose-
respon merupakan bagian dari hazard assessment. Tujuan analisis dosis-respon
adalah untuk menduga apakah risk agent yang terpilih mempunyai potensi
menimbulkan efek merugikan kesehatan pada populasi yang berisiko. Tujuan
lainnya adalah untuk membuat estimasi hubungan kuantitatif tingkat pemajanan
dengan peningkatan efek merugikan kesehatan tersebut. Indikasi efek-efek yang
merugikan kesehatan, yang bisa diperoleh dari studi-studi epidemiologi atau
laporan kasus, berguna untuk pengelolaan risiko. Analisis dosis-respon menjadi
satu kesatuan dengan analisis pajanan.

Hubungan dosis-respon suatu bahan kimia menyatakan tingkat toksisitasnya


terhadap reseptor biologis yang terpajan. Data toksisitas terutama diperoleh dari
eksperimen dengan hewan (uji hayati atau bioassay), juga dari studi-studi
epidemiologi, uji klinik atau kajian hubungan struktur molekul dengan keaktifan
biologis. Dalam analisis dosis-respon, dosis dinyatakan sebagai jumlah risk agent
yang terhirup (inhaled), tertelan (ingested) atau terabsorbsi (absorbed) melalui
kulit per kg berat badan per hari (mg/kg×hari). Respon atau efek yang
ditimbulkan oleh dosis tersebut dapat bervariasi, mulai dari tidak teramati yang
sifatnya sementara dan reversibel, kerusakan organ menetap, kelaianan
fungsional yang kronik, sampai kematian.

Seperti telah disebutkan, dalam ARKL efek kesehatan suatu risk agent dibedakan
atas kategori karsinogenik dan nonkarsinogenik. Ukuran toksisitas untuk efek
nonkarsinogenik (yang disebut juga sebagai efek sistemik) dinyatakan sebagai
Reference Dose (RfD, dosis acuan atau dosis referensi), sedangkan ukuran
toksisitas untuk efek-efek karsinogenik dikenal sebagai cancer potency slope
factor atau disebut slope factor (SF) saja atau potency factor. RfD adalah suatu
estimasi dosis pajanan harian yang diperkirakan tidak menimbulkan efek
merugikan kesehatan meskipun pajanan berlanjut itu terjadi sepanjang hayat.25

25
An estimate of the daily exposure dose that is likely to be without deleterious effect even if
continued exposure occurs over a lifetime (IPCS, 2004a, Part 1 halaman 13).

Abdur Rahman©2005 25
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Istilah lain yang sepadan adalah acceptable daily intake (ADI), meskipun konsep
dasar dan aplikasinya berbeda. Sebagai dosis acuan aman harian untuk pajanan
sepanjang hayat, RfD dirumuskan berdasarkan bukti-bukti meyakinkan bahwa
risk agent mempunyai dosis ambang. Artinya, ada dosis-dosis di atas nol yang
tidak menimbulkan efek sampai dosis tertentu tercapai. Bentuk kurva hipotesis
dosis-respon (disebut juga kurva efek-dosis) ditampilkan dalam Gambar 7.

Respon

LOAEL
NOAEL

Dosis

Gambar 7. Kurva hipotesis dosis-respons nonkaqrsinogenik dengan posisi dosis terendah yang
menimbulkan efek merugikan (LOAEL, Lowest Adverse Effect Level) dan dosis tertinggi yang
tidak menimbulkan efek merugikan (NOAEL, No Observed Adverse Effect Level)

Berbeda dengan RfD, SF didasarkan pada asumsi bahwa karsinogen tidak


mempunyai dosis ambang. Artinya, setiap dosis di atas nol selalu berpotensi
menimbulkan efek. Karena itu SF bukan satu angka tunggal melainkan sederet
nilai yang berada pada satu garis (umumnya garis lurus sebagai hasil linearized
model) menuju titik nol pada kurva efek-dosis. Gambar 8 adalah bentuk kurva
hipotesis dosis-respon untuk efek-efek karsinogenik, dengan tiga kemungkinan
bentuk fungsi (a, b atau c) yang semuanya berawal dan melalui titik nol.
a b c
Respon

a b c

Dosis

Gambar 8. Kurva hipotesis dosis respon karsinogenik. Semua garis melalui titik nol karena
dianggap tidak mempunyai ambang, dengan kemungkinan bentuk kurva a, b atau c.

Abdur Rahman©2005 26
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Karena perbedaan RfD dan SF ini cukup mendasar dan implikasinya sangat
menentukan bagi pengelolaan risiko (misalnya dalam setting baku mutu), adalah
sangat penting untuk mengenali risk agent apakah nonkarsinogen, karsinogen,
atau karsinogen yang juga mempunyai efek nonkarsinogenik, sebelum prosedur-
prosedur ARKL dilakukan lebih lanjut. Dewasa ini US-EPA dan IARC telah
membuat klasifikasi karsinogen seperti tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi risk agent karsinogen menurut US-EPA dan IARC berdasrkan bukti-bukti
ujihewan (bioassay), eksperimen klinik dan studi epidemiologi.

US- IARC Characterisasi


EPA

A 1 Karsinogen manusia (bukti yang cukup tentang karsinogenisitas pada


manusia)
B 2A Boleh jadi karsinogen manusia (B1 – bukti yang terbatas tentang
karsinogenisitas pada manusia; B2 – bukti yang cukup tentang
karsinogenisitas pada hewan namun tidak cukup atau kurang bukti
pada manusia)
C 2B Mungkin karsinogen manusia (bukti terbatas tentang karsinogenisitas
pada hewan dan tidak cukup atau kurang bukti pada manusia)
D 3 Tidak terklasifikasikan karsinogenisitas pada manusia (tidak cukup
atau tidak ada bukti)
E 4 Terbukti nonkarsinogenisitas untuk manusia (tidak ada bukti
karsinogenisitas dalam studi-studi yang memadai)

Saat ini aspek-aspek toksikologi puluhan risk agent telah dikaji secara luas dan
mendalam. US-EPA misalnya menerbitkan dokumen-dokumen penting yang
dapat diakses melalui internet ke alamat http://www.epa.gov/iris, sedangkan
IPCS meluncurkan sejumlah Environmental Health Criteria melalui website
beralamat http://www.who.int/ipcs/. Nilai RfC atau RfD puluhan zat toksik telah
pula ditabulasi, misalnya dalam Appendix VIIc dari Louvar and Louvar (1998).
Selain itu RfC atau RfD juga bisa diakses melaui internet ke TOXNET di alamat
http://www.nlm/. Pangkalan data TOXNET ini lebih besar dibandingkan IRIS
karena merangkum berbagai segi termasuk aspek-aspek legal. Sumber penting
lainnya adalah Health Effecs Assessment Summary Tables (OERR 9200.6-303,
publikasi berkala Center for Environmental Research Information, Cincinnati,
OH).

Di antara dokumen-dokumen yang diterbitkan itu yang paling relevan digunakan


untuk analisis dosis-respon adalah Toxicological Review dan Support Document,
Integrated Risk Information System (IRIS) untuk setiap risk agent. Risk assessor
dapat langsung menggunakan RfD dan SF yang telah tersedia itu. IRIS membagi
dosis acuan nonkarsinogenik menjadi RfD untuk oral (ingesi) dan RfC (reference
concentration) untuk hirupan (inhalasi) sedangkan dosis acuan karsinogenisitas,
selain SF, dinyatakan juga sebagai unit risk (risk per µg/L air minum atau risk
per µg/M3 udara yang dihirup) dan cancer risk 1 per jumlah populasi (1/10.000,

Abdur Rahman©2005 27
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

1/100.000 dan 1/1.000.000, biasanya dinyatakan secara eksponensial sebagai E-


4, E-5 dan E-6).

Namun, beberapa risk agent ada yang tidak terdapat dalam pangkalan data
(database) IRIS maupun TOXNET, misalnya SO2, debu PM10 dan total
suspended particulate (TSP) sehingga risk assessor harus menurunkan sendiri
RfD-nya. Seorang risk assessor perlu mengevaluasi efek sistemik risk agent
tersebut terlebih dahulu untuk menetapkan nilai RfD-nya. Berbagai laporan
penelitian yang berkaitan dengan kajian toksikologi di seluruh dunia, baik pada
hewan maupun pada populasi manusia, harus dibaca dari full paper publikasinya.
Membaca abstraknya saja sering kali tidak memadai, terutama untuk menentukan
faktor-faktor ketidakpastiannya (uncertainty factor).

Secara tradisional, efek sistemik biasanya dievalusi dengan menggunakan ADI


(acceptable daily intake), SF (safety factor, bukan slope factor) dan MOS
(margin of safety) sebagai ukuran. Evaluasi menggunakan ukuran-ukuran ini
menimbulkan kontroversi karena konsep dasarnya sukar diterima. Nilai ADI
ditetapkan berdasarkan nilai NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) yang
diperoleh secara eksperimen menggunakan hewan uji (bioassay) atau studi
epidemiologi. NOAEL adalah dosis tertinggi suatu zat pada studi toksisitas
kronik atau subkronik yang secara statistik atau biologis tidak memperlihatkan
efek merugikan pada hewan uji atau pada manusia.26 Jadi, ADI adalah human
dose sedangkan NOAEL merupakan experimental dose. ADI diperoleh dengan
membagi NOAEL dengan SF (awas, jangan tertukar dengan SF yang berarti slope
factor!):

NOAEL
ADI = ( 2)
SF

Umumnya SF adalah angka kelipatan 10 tidak mempunyai satuan, yang


memperlihatkan faktor-faktor ketidakpastian yang spesifik. Misalnya faktor 10
dipakai untuk menampung perbedaan respon terhadap zat toksik yang diuji
antara hewan dan manusia dalam eksperimen jangka panjang. Jika kerentanan
manusia dalam suatu populasi juga berbeda-beda, faktor 10 kedua harus dipakai
sehingga secara keseluruhan menjadi 10 × 10 = 100. Lebih lanjut, jika data uji
toksisitas dengan hewan uji juga tidak lengkap (misal hanya uji subkronik, bukan
kronik, atau hanya menggunakan satu spesis saja), faktor 10 berikutnya harus
dimasukkan, menghasilkan SF 1000. Atas dasar ini, berlaku ketentuan umum
bahwa SF untuk NOAEL uji hayati adalah 100.

Kontroversi muncul karena seolah-olah semua pajanan di bawah ADI adalah


aman (bisa diterima) dan yang di atasnya tidak aman (tidak bisa diterima).
Kenyataannya, ada pajanan di atas ADI yang juga aman, tetapi sebaliknya yang
di bawahnya pun dijumpai juga ada yang tidak aman. Oleh karena itu US-EPA
26
WHO (1990) yang dikutip enHealth (2002) mendefinisikan NOAEL sebagai the highest dose of
a substance at which no toxic (i.e. adverse) effects are observed. Lihat selanjutnya WHO (1990)
Principles for the Toxiclogical Assessment of Pesticide Residues in Food, Environmental Health
Criteria 104, Geneva, IPCS/WHO.

Abdur Rahman©2005 28
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

mengajukan konsep RfD yang, sebagaimana definsinya, mengandung makna


probabilitas. Secara teknis RfD ditetapkan dengan cara yang sama dengan ADI,
yaitu membagi NOAEL atau LOAEL dengan UF (uncertainty factor) sesuai
dengan konsep probabilitas. Lowest Observed Adverse Effect Level adalah dosis
terendah yang secara statistik atau biologis (masih) memperlihatkan efek
merugikan pada hewan uji atau pada manusia.27 Angka dan kriteria UF
sebenarnya sama dengan SF, yaitu:

UF1 = 10 untuk variasi sensitivitas dalam populasi manusia (10H, human)


UF2 = 10 untuk ekstrapolasi dari hewan ke manusia (10A, animal)
UF3 = 10 NOAEL diturunkan dari uji subkronik, bukan kronik
UF3 = 10 bila menggunakan LOAEL bukan NOAEL

Faktor ketidakpastian ini diperkuat dengan modifying factor (MF), yang disebut
sebagai professional judgement, yakni penilaian profesional terhadap kualitas
studi toksisitas dan kelengkapan datanya yang tidak tertampung dalam UF. Nilai
MF berkisar antara >0 sampai ≤10 dengan nilai default 1. RfD ditentukan dengan
membagi NOAEL atau LOAEL dengan UF × MF menurut Persamaan (3):

NOAEL atau LOAEL


RfD = (3)
UF1 × UF2 × UF3 × UF4 × MF

Jadi, RfD bukanlah dosis yang acceptable melainkan hanya referensi. Jika dosis
yang diterima manusia melebihi RfD maka probabilitas untuk mendapatkan
risiko juga lebih besar. Namun, dosis di atas RfD tidak otomatis mengganggu
kesehatan dan sebaliknya dosis di bawah RfD tidak otomatis aman, karena RfD
diturunkan dengan menyertakan unsur-unsur ketidakpastian. Suatu zat toksik
yang RfD-nya kecil berarti risiko kesehatan yang dapat ditimbulkannya besar.

Menentukan nilai numerik UF sangat bergantung pada kualitas data hasil studi
yang menjadi sumber NOAEL atau LOAEL. Subyektivitas assessor tidak bisa
dihindari 100%, apalagi untuk menetapkan nilai MF. Untuk menghidari
subyektivitas itu dan untuk meningkatkan transparansi proses ARKL, IPCS
(2004a) mengajukan model dosis-respon. Misalnya, UF yang dipakai untuk
ekstrapolasi dari bioassay ke manusia yang bernilai 100 (= UF1 × UF2) dipecah
menjadi ADUF (= 100,4 atau 2,5), AKUF (= 100,6 atau 4,0), HDUF (=100,5 atau 3,2)
dan HKUF (=100,5 atau 3,2).28 Namun, karena model ini masih berupa draft dan
sedang di-review oleh para pakar maka untuk menurunkan RfD Persamaan (3)
masih bisa digunakan. Berikut adalah contoh cara menurunkan RfD untuk arsen
dari NOAEL yang dihasilkan studi-studi epidemiologi yang dibuat IRIS (US-
EPA).

27
enHealth (2002) mendefinisikan LOAEL sebagai the lowest concentration or amount of a
substance, found by experiment or observation, that cause adverse alteration of morphology,
functional capacity, growth, development of life span of target organism.
28
A = animal to human; H = human variability; D = toxicodynamics; K = toxicokinetics.

Abdur Rahman©2005 29
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

PENURUNAN RfD ARSEN

Informasi utama mengenai toksisitas As berasal dari dua studi kasus-


kontrol yang dilakukan oleh Tseng (1977) dan Tseng et al (1968). Kedua studi
dilakukan di daerah endemis arsen di Taiwan. Tseng (1977) melaporkan bahwa efek
merugikan yang signifikan adalah penyakit kaki hitam (blackfoot disease, BFD) yang
insidensnya meningkat menurut dosis dan umur reseptor (mereka yang mendapat
asupan As dari air minum), meskipun studi terbaru (Lu, 1990) menunjukkan bahwa
BFD itu tidak hanya disebabkan oleh As. Data Tseng et al (1968) juga
menunjukkan bahwa ada kenaikan insidens hiperpigmentasi dan keratosis menurut
umur reseptor. Secara keseluruhan, prevalensi hiperpigmentasi dan keratosis dalam
kelompok terpajan (kasus) masing-masing 184 dan 71 per 1000. Disebutkan bahwa
insidens meningkat dengan kenaikan konsentrasi walaupun datanya tidak
ditunjukkan. Data menunjukkan bahwa lesi kulit merupakan manifestasi efek yang
lebih sensitif. Konsentrasi As terendah dalam studi Tseng (1977) ini, yaitu 0,17
mg/L air minum, dianggap sebagai LOAEL.

Dalam studi Tseng et al (1968), kelompok kontrol tidak membuktikan ada


lesi kulit dan mungkin BFD (walaupun yang terakhir ini tidak disebutkan secara
jelas). Konsentrasi As tertinggi dalam kelompok ini, yaitu 0,009 mg/L air minum,
dianggap sebagai NOAEL. Selanjutnya, nilai NOAEL harus dikonversi menjadi
dosis internal (mg As/kg berat badan/hari). NOAEL harus juga menyertakan
estimasi As yang berasal dari makanan. Karena data tidak ada, IRIS mengasumsikan
konsentrasi As dari ubi dan nasi sebesar 0,002 mg/hari. Asumsi lainnya adalah
konsumsi air air 4,5 L/hari dan berat badan 55 kg berdasarkan studi Abernathy et al
(Abernathy OE, Jansson CD and Rehnlund SO [1978] Arsenic exposure and
mortality: A case referent study from a Swedish copper smelter. Br. J. Ind. Med. 35:
8-15). Dengan demikian maka:
mg L mg
0,009 × 4,5 + 0,002
NOAEL = L hari L = 0,0008 mg/kg/hari
55 kg

Selanjutnya, untuk menurunkan RfD UF1 harus digunakan untuk variabilitas


sensitivitas dalam populasi manusia. Namun, nilai yang digunakan cukup 3 (bukan
10) karena sampel untuk kelompok yang berusia<20 tahun saja berjumlah 957
orang. Data telah cukup lengkap sehingga hanya diperlukan nilai default MF 1.
Dengan demikian maka:

0,0008
RfD = mg/kg/hari = 2,6 × 10 -4 mg/kg/hari
3 ×1

Angka seperti 2,6 × 10-4 seringkali dibulatkan menjadi 3 × 10-4, sehingga IRIS
menetapkan RfD As untuk air minum sebesar 3E-4 mg/kg/hari.

3.3.4 Analisis Pemajanan (Exposure Assessment)

Pemajanan adalah proses yang menyebabkan organisme kontak dengan bahaya


lingkungan berupa risk agent, sebagai jembatan yang menghubungkan ’bahaya’
dengan ’risiko’. Pemajanan bisa terjadi karena risk agent terhirup dalam udara,

Abdur Rahman©2005 30
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

tertelan bersama air dan makanan, terserap lewat kulit atau kontak langsung
dengan tubuh bagi bahaya fisik seperti radiasi, panas, kebisingan atau getaran.
Data untuk penilaian pajanan dapat diperoleh dari pengukuran langsung
(monitoring atau uji petik), model matematis, atau perkiraan ilmiah lainnya.
Analisis pemajanan digunakan untuk menentukan dosis risk agent yang diterima
individu sebagai asupan atau intake (I), dihitung dengan Persamaan (4):29

C × R × t E × f E × Dt
I= (4)
Wb × t avg

I = asupan (intake), mg/kg ×hari


C = konsentrasi risk agents, mg/M3 untuk medium udara, mg/L untuk air
minum, mg/kg untuk makanan/pangan
R = laju asupan atau konsumsi, 0,83 M3/jam untuk inhalasi orang
dewasa, L/hari untuk air minum, g/hari untuk makanan
tE = Waktu pajanan, jam/hari
fE = Frekuensi pajanan, hari/tahun
Dt = Durasi pajanan, tahun (real time atau proyeksi, 30 tahun untuk nilai
default residensial)
Wb = Berat badan, kg
tavg = perioda waktu rata-rata (Dt×365 hari/tahun untuk zat nonkarsinogen,
70 tahun×365 hari/tahun untuk zat karsinogen)

Analisis pemajanan perlu memperhatikan semua rute (inhalasi, ingesi dan


absorbsi) dan media (udara, air, tanah, makanan, minuman) agar total intake bisa
dihitung. Analisis rute pajanan biasanya menghasilkan critical pathway, yaitu
jalur pemajanan yang dominan. Pathway ini menyangkut media lingkungan apa
yang menjadi wahana risk agent itu dan dengan cara apa zat itu masuk ke dalam
tubuh. Sekali critical pathway ditemukan, jalur-jalur lain kemungkinan
kontribusinya kecil30 dan boleh jadi bisa diabaikan.

Persamaan (4) adalah persamaan matematik generik sehingga untuk jalur


pemajanan tertentu beberapa variabel tidak diperlukan. Karena intake dinyatakan
dalam satuan mg/kg×hari, membuang variabel harus dilakukan dengan hati-hati.
Dalam menghitung intake, satuan setiap varibel harus disertakan untuk
memastikan bahwa perhitungan telah betul karena dihasilkan satuan akhir yang
benar, yaitu mg/kg×hari. Untuk asupan melalui ingesi, variabel waktu tE tidak
diperlukan karena makan dan minum tidak berlangsung terus menerus seperti
menghirup udara, tidak pula dipengaruh oleh berapa lama makan berlangsung
per hari. Dengan demikian Persamaan (4) tersederhanakan menjadi Persamaan
(5):

29
Louvar FL and Louvar BD (1998) op cit halaman 229.
30
Misalnya, bagi penduduk Indonesia sumber Pb boleh jadi asap kanlpot kendaraan bermotor
dengan BBM bertimbal, sedangka bagi orang Eropa termasuk air minum yang menggunakan
pemipaan logam bergalvanisasi untuk air panas.

Abdur Rahman©2005 31
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

C × R × f E × Dt
I= (5)
Wb × t avg

Laju inhalasi R berasal dari nilai standar volum menit., yaitu hasil perkalian
frekuensi napas (jumlah tarikan napas per menit) dengan tidal volume (volum
udara/sekali tarikan napas) sehingga variabel ini aslinya bersatuan L/menit.
Supaya I bersatuan mg/kg×hari, R yang tersedia dalam satuan M3/hari (nilai
default US-EPA 20 M3/hari untuk orang dewasa) harus diubah menjadi M3/jam
dengan menggunakan Peramaan (6).

M 3 M 3 24 jam
R = × (6)
hari jam hari

Dengan Persamaan (6) ini default R sebesar 20 M3/hari berubah menjadi:

⎛ M 3 ⎞ ⎛ hari ⎞
R = ⎜⎜ 20 ⎟⎟ × ⎜⎜ ⎟⎟ = 0,83 M3/jam
⎝ hari ⎠ ⎝ 24 jam ⎠

Jika dibutuhkan, R juga bisa diubah menjadi satuan waktu yang lain
seperti M3/menit, L/hari atau L/jam. Jadi, 0,83 M3/jam bisa diubah menjadi 830
L/jam atau 13,8 L/menit, dan seterusnya.

Perhitungan intake membutuhkan nilai-nilai default beberapa variabel faktor


pemajanan. Seharusnya setiap negara mempunyai nilai-nilai itu sesuai dengan
karakteristik penduduknya. Selama nilai nasional belum tersedia, nilai default
dari negara lain boleh juga digunakan dengan menyertakan beberapa faktor
koreksi dan konversi sesuai kebutuhan untuk penyesuaian dengan karakteristik
antropometri setempat. Misalnya, jika laju inhalasi merupakan fungsi berat
badan, nilai default dengan berat badan tertentu bisa dikonversi menggunakan
berat badan populasi sasaran.

Nilai-nilai variabel antropometri dan pola aktivitas itu sebenarnya bisa diperoleh
langsung dengan survey pada suatu kawasan studi, yang bisa berbeda dengan
lokasi lain. Misalnya, intake logam yang berasal dari ikan (tawar dan laut) orang
Palembang, Bugis atau Makassar lebih besar dari pada orang Jawa, karena pola
konsumsinya berbeda. Intake pestisida orang Sunda bisa lebih besar dari pada
orang Ambon karena perbedaan jumlah konsumsi sayur-mayur mentah. Pada
gilirannya penggunaan nilai-nilai lokal untuk faktor-faktor pemajanan bisa
menghasilkan baku mutu yang berbeda dengan tempat-tempat lain. US-EPA
melalui EPA Supplemental Gidance 21 Maret 1991 (OSWER Directive 9285.6-
03) telah menerbitkan tabel nilai default faktor-faktor pemajanan yang
(terjemahannya) dicantumkan dalam Tabel 3. Faktor-faktor itu harus digunakan
sesuai dengan kategori penggunaan lahan (land use) pada suatu wilayah kajian.
Jika digunakan untuk antropometri non Amerika, nilai-nilai numerik dalam tabel
ini harus disesuaikan dengan memakai faktor-faktor koreksi yang sesuai.
Misalnya, berat badan harus dikonversi dari 70 kg ke 55 kg.

Abdur Rahman©2005 32
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Tabel 3. Nilai default faktor-faktor pemajanan menurut US-EPA (1991) (diterjemahkan


dari Tabel 4.3, Kolluru [1996], halaman 4.25).

Penggunaan Jalur Frekuensi Durasi Berat


Asupan Harian
Lahan Pemajanan Pajanan, Pajanan, Badan, kg
hari/tahun tahun

Residensial Air minum 2 L (dewasa) 350 30 70 (dewasa)


1 L (anak)
Tanah dan 200 mg (anak) 350 6 15 (anak)
debu 100 mg 24 70 (dewasa)
(dewasa)
Inhalasi 20 M3 (dewasa) 350 30 70 (dewasa)
kontaminan 12 M3 (anak)
Industri & Air minum 1L 250 25 70
komersial
Tanah & 50 mg 250 25 70
debu
20 M3 (hari 250 25 70
Inhalasi kerja)
Pertaniana Konsumsi 42 g (bebuahan) 350 30 70
tanaman 80 g (sayuran)
pekarangan
Rekreasi Konsumsi 54 g 350 30 70
ikan lokal
a
Ingesi (telanan) untuk air dan tanah serta inhalasi kontaminan sama seperti untuk residensial.

3.3.5 Karakterisasi Risiko (Risk Characterization)

Dalam karakterisasi risiko, hasil-hasil analisis dosis-respon (RfD dan SF) dan
analisis pemajanan (intake) digabungkan untuk menghitung RQ (nonkarsinogen)
menggunakan Persamaan (7) dan Cancer Risk (karsinogen, jika ada)
menggunakan Persamaan (8). C dalam persamaan ini sama dengan C dalam
Persamaan (4) dengan ketentuan satuan yang digunakan harus sama dengan
satuan SF.

I
RQ = (7)
RfD

Excess Cancer Risk = C × SF (8)

Jika suatu risk agent memajan melalui jalur-jalur yang berbeda maka RQ
masing-masing rute itu harus digabungkan menjadi RQ total seperti Persamaan
(9). RQ total ini bisa juga dipakai untuk menggabungkan tingkat toksisitas
menurut skenario waktu pemajanan, yaitu kronik (>7 tahun), subkronik (2
minggu s/d <7 tahun) dan short-term atau jangka pendek (<2 minggu). Selain RQ

Abdur Rahman©2005 33
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

total, dapat pula dihitung RQ kumulatif untuk beberapa risk agent yang berbeda-
beda.

RQtotal = RQ1 + RQ2 + .... + RQn (9)

Penting untuk diketahui bahwa nilai numerik RQ tidak dibaca seperti pernyataan
risiko dalam studi epidemiogi. Seperti diketahui, relative risk hasil studi
epidemiologi sebesar 2,3 misalnya dibaca bahwa risiko untuk mendapatkan
penyakit atau gangguan kesehatan tertentu bagi yang terpajan adalah 2,3 kali
lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak terpajan. Dalam ARKL, RQ
menyatakan kemungkinan risiko yang potensial terjadi. Semakin besar nilai RQ
di atas 1, semakin besar kemungkinan risiko itu terjadi. Dengan kata lain,
semakin tinggi RQ semakin tinggi pula seharusnya kepedulian risk manager
untuk mengelola risiko itu. Berikut adalah contoh perhitungan RQ dan CR
menggunakan nilai-nilai default yang tercantum dalam Tabel 3.

Contoh Kasus 1

Masalah – Di pemukiman PBK, air minumnya diketahui mengandung TCE


(trikloroetilen) yang konsentrasinya mencapai 100 µg/L. Jika RfD TCE 0,006
mg/kg×hari, apakah penduduk dewasa pemukiman itu aman mengkonsumsi air
minum ini sepanjang hidupnya? Jika SF TCE 1,1 ×10-2 per mg/kg×hari, berapa
cancer risk-nya pada populasi pemukiman itu?

Penyelesaian – Dengan menggunakan Tabel 3 untuk nilai default beberapa


faktor pemajanan dan Persamaan (5), dihitung I, RQ dan CR. I dan RQ untuk
nonkanker adalah sebagai berikut:

(0,1 mg/L) × ( 2 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


I= = 0,0027 mg/kg × hari
(70 kg) × (30 tahun × 365 hari/tahun)

I 0,0027 mg/kg × hari


RQ = = = 0,45
RfD 0,006 mg/kg × hari

I untuk kanker berbeda dengan I nonkanker karena tavg-nya 70 tahun, sehingga:

(0,1 mg/L) × (2 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


I kanker =
(70 kg) × (70 tahun × 365 hari/tahun)

= 0,0012 mg/kg×hari

Excess Cancer Risk = 0,0012 (mg/kg × hari) × 1,1 × 10 -2 (mg/kg × hari) -1 = 1,3 × 10 −5

Interpretasi – Karena RQ<1, yang berarti jumlah asupannya di bawah dosis


referensinya, penduduk pemukiman tersebut aman dari risiko kesehatan oleh TCE
sepanjang hidupnya, bila mereka hanya minum 2 L setiap hari. Risiko kankernya

Abdur Rahman©2005 34
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

juga masih termasuk bisa diterima (bagi publik Amerika), karena dengan ECR 1,3E-
5 berarti hanya akan ada satu tambahan kasus kanker per seratus ribu penduduk.
Jumlah terbanyak yang masih dapat diterima adalah E-4 (satu per 10000 penduduk).
Bagaimana untuk anak-anak, apakah juga aman? Dengan nilai default dalam Tabel 3
dan Persamaan (5), dapat dihitung:

(0,1 mg/L) × (1 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


I anak =
(15 kg) × (30 tahun × 365 hari/tahun)

= 0,0064 mg/kg×hari

I 0,0064 mg/kg × hari


RQanak = = = 1,1
RfD 0,006 mg/kg × hari

Ternyata, risiko TCE dalam air minum bagi anak-anak juga masih aman, meskipun
RQ-nya lebih dari dua kali orang dewasa.

Seringkali kita terpajan oleh lebih dari satu risk agent dalam satu medium
lingkungan. Setiap risk agent mempunyai toksisitas masing-masing yang
kuantitasnya berbeda. Bagaimana besaran risikonya, baik kanker maupun
nonkanker? Contoh berikut menjawab pertanyaan ini.

Contoh Kasus 2

Masalah – Di pemukiman PBK (Contoh Kasus 2) ternyata air minumnya juga


mengandung toluen, dengan RfD 2 mg//kg×hari, yang konsentrasinya mencapai
2,5 mg/L. Berapakah tingkat risiko nonkarsinogenik kedua senyawaan organik
tersebut? Apakah orang deawasa dan anak-anak aman mengkonsumsi air minum di
PBK tersebut?
Penyelesaian – RQ untuk toluen dihitung dulu, kemudian digabungkan dengan
RQ TCE, masing-masing untuk orang dewasa dan anak-anak. I dan RQ dewasa:

(2,5 mg/L) × (2 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


I toluen = = 0,068 mg/kg × hari
(70 kg) × (30 tahun × 365 hari/tahun)

I 0,068 mg/kg × hari


RQ toluen = = = 0,034
RfD 2 mg/kg × hari

RQgab (dewasa) = RQTCE + RQtoluen = 0,45 + 0,034 = 0,484

I dan RQ toluen untuk anak-anak adalah:

Abdur Rahman©2005 35
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

(2,5 mg/L) × (1 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


I toleun = = 0,16 mg/kg × hari
(15 kg) × (30 tahun × 365 hari/tahun)

I 0,16 mg/kg × hari


RQtoluen = = = 0,08
RfD 2 mg/kg × hari

RQgab (anak) = RQTCE + RQtoluen = 1,1 + 0,08 = 1,108

Interpretasi – Tingkat risiko nonkanker gabungan oleh TCE dan toluen, baik
untuk orang dewasa maupun anak-anak, masih aman. Namun, risiko pada anak-
anak ternyata 2 kali lebih besar dari pada orang dewasa. Pada anak-anak, RQ berada
pada batas aman sehingga perlu dijaga agar konsumsi air minumnya tidak lebih dari
1 L/hari.

Risiko dapat juga dikarakterisasi dengan membadingkan RfD dengan EED


(estimated exposure dose), yaitu perkiraaan berapa sesungguhnya dosis yang
diterima manusia dengan memperhatikan berbagai sumber zat toksik dan rute
masuknya ke dalam tubuh. Jika EED lebih kecil dari pada RfD berarti aman
sehingga tuntutan pengendalian kecil. Atas dasar ini, risiko nonkanker bisa juga
dievaluasi menggunakan MOE yang diperoleh dengan membagi NOAEL atau
LOAEL dengan EED. Jika nilai MOE sama atau lebih besar dari pada UF × MF,
yang berarti juga sama atau lebih besar dari pada RfD, maka tuntutan
pengendalian kecil.

NOAEL atau LOAEL


MOE =
EED

Selain memperkirakan besaran risiko secara kuantitatif, baik sebagai RQ maupun


ECR, karakterisasi risiko juga bisa merumuskan konsentrasi, jumlah atau
intensitas risk agent yang aman untuk setiap medium lingkungannya. Untuk air
minum misalnya, US-EPA menyebut konsentrasi, jumlah atau intensitas aman ini
sebagai maximum contaminant level (MCL). Badan-badan regulasi yang
memiliki otoritas dapat menetapkan MCL sebagai baku mutu atau pedoman,
setelah mempertimbangkan aspek teknologi (misalnya kemampuan laboratorium
untuk mendeteksi), ekonomi (misalnya biaya untuk mereduksi konsentrasi
sampai batas aman), sosio-demografi (misalnya penerimaan dan penolakan
masyarakat berkaitan dengan perubahan pola hidup mereka), dan sebagainya.
Berikut adalah contoh menetapkan MCL kontaminan air yang menjadi air baku
air minum masyarakat.

Contoh Kasus 3

Masalah – Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 907/MENKES/SK/VII/


2002 tentang Syarat-syarat danPengawasan Kualitas Air Minum menyatakan bahwa

Abdur Rahman©2005 36
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

kadar maksimum arsen yang diperbolehkan dalam air minum kita adalah 0,01
mg/L. Apakah standar ini aman bagi orang Indonesia secara nasional?
Penyelesaian – Arsen adalah logam yang data toksistasnya cukup banyak
terdokumentasi, baik efek-efek nonkarsinogeniknya maupun karsinogeniknya. IRIS
menetapkan RfD As anorganik 2,6 × 10-4 mg/kg×hari (lihat kembali contoh cara
menurunkan RfD). Maka, baku mutu As untuk air minum seyogyanya didasarkan
pada nilai RfD-nya ini. Untuk mengubah RfD menjadi baku mutu diperlukan nilai
faktor-faktor pemajanan yaitu berat badan, jumlah konsumsi air minum dan
kontribusi relatif air minum untuk asupan As atas asupan total. Langkahnya adalah
sebagai berikut:
Langkah 1, mengubah RfD menjadi Drinking Water Equivalent Level (DWEL),
dengan memasukkan berat badan dan jumlah konsumsi air minum. Jika berat badan
rata-rata orang Indonesia 55 kg dan konsumsi air minum 2 L/hari, maka:

RfD × 55 kg ( 2,6 × 10 −4 mg/kg × hari ) × (55 kg )


DWEL = = = 0,00715 mg/L
2 L/hari 2 L/hari

Langkah 2, menetapkan MCLG (MCL Goal) dengan mengalikan DWEL dengan


kontribusi relatif air minum. Jika tidak diketahui dengan pasti, umumnya dianggap
bahwa konstribusi air minum (dibandingkan dengan sumber-sumber lain31) adalah
80% sehingga:

MCLG = 0,8 × 0,00715 mg/L = 0,0057 mg/L ≈ 0,006 mg/L

Angka 0,006 mg/L ini merupakan konsentrasi As maksimum dalam air minum
yang aman secara ilmiah bagi mereka yang berat badannya 55 kg dan konsumsinya
2 L/hari secara terus menerus sepanjang hidupnya.
Berapa batas aman ini bagi orang Amerika, dengan berat badan 70 kg dan
konsumsinya 2 L/hari (lihat Tabel 3 untuk nilai-nilai default)? Dengan cara yang
sama bisa dihitung bahwa MCLG-nya adalah 0,00728 mg/L ≈ 0,007 mg/L.
Tampak jelas bahwa batas aman bagi yang orang Amerika lebih tinggi dibandingkan
dengan orang Indonesia. Jadi, konsentrasi aman bagi suatu populasi belum tentu
sama dengan populasi lain.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Kepmenkes 907/2002 tersebut cukup memadai
untuk melindungi orang Indonesia dari risiko kanker dan nonkanker As? SF As
adalah 1,5 per mg/kg×hari.32 Jika kita minum air yang mengandung As 0,01 mg/L
(batas konsentrasi aman Kepmenkes 907/2002), maka:

(0,01 mg/L) × (2,5 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


I nk = = 0,00044 mg/kg × hari
(55 kg) × (30 tahun × 365 hari/tahun)

(0,01 mg/L) × (2,5 L/hari) × (350 hari/tahun) × (30 tahun)


Ik = = 3,6 × 10 −5 mg/kg × hari
(55 kg) × (70 tahun × 365 hari/tahun)

31
Data dan informasi mengenai intake As dari sumber-sumber lain selain air minum menjadi
sangat kritikal karena boleh jadi kontribusi air kurang atau lebih dari 80%. Ini akan mengubah
besaran MCLG secara bermakna, jika kontribusi sumber lain juga signifikan.
32
Lihat Lampiran II, seksi II.B.1. Summary of Risk Estimates.

Abdur Rahman©2005 37
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

I 0,00044 mg/kg × hari


RQ = = = 1,7
RfD 0,00026 mg/kg × hari

Excess Cancer Risk = 3,6 ×10 −5 (mg/kg × hari) ×1,5 (mg/kg × hari) -1 = 5,4 ×10 −5

Nilai RQ ternyata mendekati 2, sedangkan kasus kanker tambahan masih bisa


diterima karena hanya ada 5 orang per seratus ribu penduduk. Menurut US-EPA,
jumlah kasus maksimum yang bisa diterima adalah satu per sepuluh ribu orang.
Dari efek nonkankernya, standar yang dibuat Menteri Kesehatan secara
probabilitas kurang dapat melindungi penduduk dari efek toksik As walaupun
kejadian kankernya masih cukup aman.

Contoh Kasus 3 menunjukkan bahwa baku mutu suatu risk agent untuk media
lingkungan tertentu bisa diset berdasarkan efek karsinogeniknya atau efek
nonkarsinogeniknya. Nilai numerik baku yang dihasilkan bisa berbeda. Nilai
mana yang akan ditetapkan sebagai baku mutu legal merupakan ranah risk
manager, sedangkan risk assesor hanya menyediakan opsi. Dalam contoh kasus
As tersebut, manakah yang lebih baik dijadikan dasar, efek karsinogenik atau
nonkarsinogenik? Jawaban pertanyaan ini akan diberikan dalam Bab 4, Contoh
Kasus 4.

Abdur Rahman©2005 38
BAB 4. MANAJEMEN DAN KOMUNIKASI RISIKO

4.1 Persinggungan Karakterisasi Risiko dengan Manajemen Risko

Contoh-contoh kasus yang dibahas dalam Bab 3 menunjukkan bahwa ARKL


membutuhkan dua data dan informasi utama, yaitu nilai-nilai numerik toksisitas risk
agent dan faktor-faktor pemajanan. Nilai-nilai itu harus tersedia supaya tingkat risiko bisa
dikuantifikasi. Jika tidak tersedia nilai-nilai default, faktor-faktor risiko pemajanan harus
dikumpulkan dari wilayah studi, sedangkan toksisitas didapat dari sumber-sumber di luar
wilayah studi. Langkah-langkah ARKL, sebagaimana dipaparkan mulai dari seksi 3.3.1
(Perumusan Masalah) s/d seksi 3.3.5 (Karakterisasi Risiko) untuk karakterisasi risiko
nonkarsinogenik dapat dibagankan dalam Gambar 9.

Animal test, epidemiology (human &


molecular), structure-reactivity relationship
Surveyed
or default
Toxicity Assessment

Anthropometry NOAEL,
(Ri, Wb) LOAEL

Environmental Environmental UF, MF


I
Quality Concentration Intake (I) RQ = RfD
Analysis (Cg) RfD

Activity
(tE, fE, Dt) RISK
as health effect:
RQ > 1
Surveyed
or default
Risk Management:
Scenarios for I = RfC
by manipulating I

Legal Intervention
Anthropometric
C reduction tE, fE, Dt minimization /Behavioural
Intervention
Technology Intervention
Abdur Rahman©2004

Gambar 9. Variabel-variabel toksisitas dan faktor-faktor pemajanan yang dibutuhkan


untuk karakterisasi risiko dan sekaligus perumusan manajemen risiko dalam ARKL.

Gambar 9 juga berlaku untuk karakterisasi efek karsinogenik, kecuali RfD diganti dengan
SF dan RQ dengan ECR. Semua data yang dibutuhkan untuk menghitung intake adalah
sama, kecuali pembobotan waktu (averaging time, tavg) yang harus dinyatakan dalam 70
tahun, bukan 30 tahun. Manajemen risiko secara umum dilakukan dengan dua strategi,
yaitu penurunan konsentrasi risk agent (C reduction) dan minimisasi waktu kontak (tE, fE
and Dt minimization). Penurunan konsentrasi dapat ditindaklanjuti dengan dua program,
yaitu intervensi legal atau administrasi dan intervensi teknologi. Minimisasi waktu
kontak dapat ditindaklanjuti dengan intervensi perilaku hidup sehat dan bersih yang
menyangkut berbagai pola aktivitas individu. Dalam paragraf-paragraf berikut dibahas
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

berbagai aspek manajemen risiko. Beberapa contoh kongkrit hasil studi ARKL
ditampilkan untuk melengkapi bahasan ini.

4.2 Beberapa Skenario Manajemen Risiko

Pada dasarnya analisis risiko menyediakan informasi tentang risiko kesehatan, sedangkan
pengelolaan risiko (risk management) adalah upaya (action) yang didasarkan pada
informasi tersebut untuk mencegah, menanggulangi atau memulihkan efek yang
merugikan kesehatan oleh pajanan zat toksik. Seorang Risk Manager membutuhkan
informasi yang dihimpun dalam risk characterization. Inti karakterisasi risiko adalah
kalkulasi numerik untuk memperkirakan ukuran risiko dan cara untuk mereduksi risiko.
Risk Manager kemudian menggunakan hasil karakterisasi risiko ini untuk memutuskan
upaya-upaya pengendalian dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti ketersediaan
teknologi, perangkat hukum dan perundangan, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor
tambahan ini mencakup soal-soal efisiensi, waktu, equity, administratif, konsistensi,
penerimaan khalayak, kelayakan teknologi dan watak atau karakter kewajiban legislatif.

Formula generik untuk manajemen risiko adalah membuat berbagai macam skenario
sedemikian rupa sehingga intake suatu risk agent sama dengan RfD-nya. Caranya adalah
dengan mengurangi lama pemajanan atau waktu kontak, atau dengan menurunkan
konsentrasi. Kasus Kepmenkes 907/2002 bisa dipakai sebagai contoh untuk menurunkan
konsentrasi. Untuk orang yang berat badannya 55 kg dan konsumsi air minum 2,5 L/hari,
konsentrasi As yang aman adalah 0,006 mg/L, bukan 0,01 mg/L (Contoh Kasus 3).
Bagaimana jika teknologi PAM atau PDAM hanya mampu menyediakan air minum
dengan konsentrasi As paling rendah 0,015 mg/L? Untuk kasus demikian, konsumsilah
yang harus diubah, yaitu variabel R dalam Persamaan (5), menjadi:

I × Wb × t avg 0,00026 × 55 × 30 × 365


R= = L/hari = 0,994 L/hari
C × f E × Dt 0,015 × 350 × 30

Ini berarti, air PAM atau PDAM tersebut hanya boleh diminum paling banyak 994
mL/hari bagi mereka yang berat badannya 55 kg. Bagaimana jika berat badannya 60 kg
atau 70 kg dan anak-anak (15 kg)? Dengan cara yang sama bisa dihitung jumlah air PAM
yang aman diminum sebagai berikut:
(a) Untuk berat badan 60 kg:

I × Wb × t avg 0,00026 × 60 × 30 × 365


R= = L/hari = 1,085 L/hari
C × f E × Dt 0,015 × 350 × 30

(b) Untuk berat badan 70 kg:

I × Wb × t avg 0,00026 × 70 × 30 × 365


R= = L/hari = 1,265 L/hari
C × f E × Dt 0,015 × 350 × 30

Abdur Rahman©2005 40
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

(c) Untuk anak-anak (15 kg):

I × Wb × t avg 0,00026 × 15 × 30 × 365


R= = L/hari = 271 mL/hari
C × f E × Dt 0,015 × 350 × 30

Jelas bahwa laju asupan aman air minum setiap segmen populasi berbeda-beda,
tergantung dari berat badannya. Oleh karena itu, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan
risk assesor, risk manager bisa menetapkan laju konsumsi aman air minum untuk setiap
sasaran populasi.

Varibel lain yang bisa ’dimainkan’ adalah frekuensi pajanan, yaitu jumlah hari dalam
setahun. Misalnya, untuk individu dengan berat badan 55 kg, berapa hari dalam setahun
ia aman meminum air sebanyak 2 L/hari jika konsentrasi As 0,015 mg/L? Berdasarkan
Persamaan (5) didapat:

I × Wb ×t avg 0,00026 × 55 × 30 × 365


fE = = = 174 hari/tahun
C × R × Dt 0,015 × 2 × 30

Ini berarti bahwa air yang mengandung As 0,015 mg/L hanya aman diminum oleh
mereka yang berat badannya 55 kg sebayak 2 L/hari selama 174 hari/tahun. Dengan
perhitungan sama, jika konsumsi berlangsung selama 350 hari/tahun, air tersebut hanya
aman diminum oleh orang tersebut sebanyak 994 mL/hari.

Dalam contoh manajemen risiko kontaminasi As dalam air minum tersebuti, Risk
Manager bisa terus mengutak-atik skenario demikian sampai didapat solusi yang optimal
bagi setiap segmen populasi. Berikut adalah contoh beberapa skenario pengendalian
risiko untuk pencemaran udara, menggunakan data dan informasi hasil studi karakterisasi
risiko pencemaran udara di Palembang33 (naskah lengkap makalah laporan tercantum
dalam Lampiran I).

Menurut studi ARKL tersebut, konsetrasi PM10 di suatu kompleks perumahan yang sepi
transportasi di Palembang terukur 0,801 mg/M3 (diukur bulan Oktober 2003). Di
kawasan ini ibu-ibu rumah tangga (IRT) mempunyai nilai median34 Wb, tE dan fE masing-
masing 60 kg, 24 jam/hari dan 350 hari/tahun. Dengan data ini, RQ sepanjang hayat
(lifetime, 30 tahun) mencapai 8,51 (lihat Tabel 3.5, Lampiran I) yang berarti sudah
memerlukan tindakan pengendalian. Salah satu manajement option yang ditawarkan
adalah menurunkan konsentrasi PM10. Dengan RfC 0,03 mg/kg×hari dapat dihitung
konsentrasi aman PM10 menggunakan Persamaan (5):
33
Nukman A, Rahman A, Warouw S, Ichsan M, Setiadi dan Akib CR (2005) Analisis dan Manajemen
Risiko Kesehatan Pencemarfan Udara: Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat Transportasi, Jakarta,
Subdit Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Ditjen PPM & PL Depkes RI. Studi ini melibatkan 1378
ibu rumah tangga, pedagang kali lima dan pegawai atau karyawan sebagai responden di sembilan kota
besar padat transportasi (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makas-
sar dan Banjarmasin) yang bernukim atau berada di kawasan terminal, pusat niaga, pemukiman ramai dan
sepi dan stasion monitoring KLH, dengan mengukur 5 risk agent (SO2, NO2, TSP, PM10 dan Pb.
34
Nilai median digunakan karena distribusi data tidak normal. Jika normal, dapat digunakan nilai mean.
Abdur Rahman©2005 41
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

0,03 (mg/kg × hari) × 60 kg × 30 tahun × 365 (hari/tahun)


C PM10 = 3
= 0,094 mg/M3
0,83 (M / hari) × 24 (jam/hari) × 350 (hari/tahun) × 30 tahun

Angka 0,094 mg/M3 ini adalah konsetrasi tertinggi yang aman bagi populasi resindensial,
yakni mereka yang berada di permukiman selama 24 jam setiap hari sepanjang hidupnya.
Bagi segmen populasi lain, misalnya pegawai atau karyawan yang bekerja 8 jam/hari di
perkantoran kawasan itu, dengan parameter antropometri yang sama dengan IRT,
konsentrasi amannya adalah:

0,03 (mg/kg × hari) × 60 kg × 30 tahun × 365 (hari/tahun)


C PM10 = 3
= 0,283 mg/M3
0,83 (M / hari) × 8 (jam/hari) × 350 (hari/tahun) × 30 tahun

Berdasarkan perhitungan-perhitungan tersebut, karakterisasi risiko di sembilan kota besar


dapat merumuskan pengendalian risiko dengan skenario reduksi konsentrasi 5 risk agent
seperti dirangkum dalam Tabel 4. Pengendalian ini menggunakan nilai median data
antropometri dan pola aktivitas di sembila kota sebagai default nasional.

Tabel 4. Konsentrasi aman (µg/M3) SO2, NO2, TSP PM10 dan Pb untuk populasi residensial, PKL
dan pegawai atau karyawan secara ‘nasional’ dengan Wb 55 kg dan fE 350 hari/tahun.
POPULASI SO2 NO2 TSP PM10 Pb

Residensial (misal IRT) 36 57,6 123,7 86,4 1,2


(24 jam/hari)
PKL 72 115,2 254,5 172,8 2,3
(12 jam/hari)
Pegawai/Karyawan 108 172,8 381,8 259,1 3,5
(8 jam/hari)
Sumber: Nukman A et al (2005).

4.3 Beberapa Bentuk Pengendalian Risiko

Biasanya keputusan Risk Manager dibuat kasus per kasus, karena upaya yang harus
dilakukan bisa berbeda antara satu masalah dengan masalah lain. Umumnya yang
menjadi dasar pengambilan keputusan adalah jenis media yang menjadi perhatian, bukan
zat toksiknya semata. Walau demikian, suatu zat toksik dapat berada pada lebih dari satu
media lingkungan. Misalnya, kontaminan vinil klorida bisa berada di udara, bisa juga
dalam air minum. Pengelolaan risiko karsinogen ini yang berada dalam air berbeda
dengan yang berada di udara.

Risk Manager dapat menyiapkan lebih dari satu upaya pengendalian risiko. Pada
dasarnya ada tiga upaya yang bisa disiapkan, yaitu (1) pengendalian secara administratif
atau legal, (2) pengendalian secara teknik (engineering/technology) dan (3) Perlindungan
pribadi. Salah satu bentuk pengendalian secara administratif atau legal adalah penetapan

Abdur Rahman©2005 42
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

standar kulitas atau baku mutu lingkungan (BML). Dalam pengendalian secara teknik,
aspek-aspek teknologi sangat penting karena pemilihan teknologi yang tepat dapat
menjamin ketaatan legal dan administratif.

ARKL merupakan langkah ilmiah sebagai central idea penetapan BML. MCLG yang
diturunkan risk assessor dari RfD belum bisa langsung dipakai sebagai alat pengendali
administratif karena secara teknik belum tentu bisa diterapkan. Tugas risk manager
adalah merumuskan MCLG tersebut menjadi BML dengan prosedur perhitungan seperti
contoh untuk As (Contoh Kasus 3) yang akan diberlakukan secara legal. Pemberlakuan
ini dikenal sebagai proses regulasi yang menjadi kewenangan birokrasi atau eksekutif.35
Dalam contoh kasus As, risk manager harus mengubah nilai RfD menjadi DWEL terlebih
dahulu untuk menyetarakan konsumsi air minum hasil studi dengan konsumsi populasi
yang akan dilindungi. Seperti dicontohkan, berat badan manusia dan jumlah konsumsi air
minum per hari merupakan faktor kunci dalam menetapkan nilai DWEL. Besaran kedua
faktor ini bisa berbeda-beda antara komunitas satu wilayah dari wilayah lain. Jelas bahwa
penetapan MCLG membutuhkan pemahaman tentang budaya dan kebiasaan masyarakat
mengenai pola konsumsi mereka.

Dalam merumuskan BML, kadang-kadang Risk Manager menghadapi dilema sulit seperti
kasus As. Karena As mempunyai efek nonkarsinogenik dan efek karsinogenik, BML-nya
bisa diset menurut salah satu efek ini. Seperti telah diuraikan dalam Contoh Kasus 3,
berdasarkan efek nonkarsinogenik BML As untuk air minum dapat diset 0,006 mg/L
dengan catatan jumlah konsumsi maksimum 2 L/hari selama 350 hari/tahun bagai mereka
yang berat badannya 55 kg. Bagaimana jika BML As ditetapkan berdasarkan efek
karsinogeniknya? Contoh kasus berikut menjelaskan cara menghitung BML As bila diset
berdasarkan efek karsinogeniknya.

Contoh Kasus 4
Masalah – Hasil perhitungan Risk Qoutient dan Excess Cancer Risk dalam Contoh Kasus 3
menimbulkan kontroversi karena pada konsentrasi As dalam air minum 0,01 mg/L (batas
aman menurut Kepmenkes 907/2002) RQ mencapai 1,7 tetapi ECR hanya 5,4E-5. Ini berarti
bila standar As dalam air minum yang didasarkan pada efek karsinogenik maka efek-efek
nonkarsinogeniknya tidak bisa diamankan. Berapa konsentrasi As dalam air minum bila
didasarkan pada jumlah tambahan kasus kanker maksimum yang dapat diterima? Apakah
tingkat risiko nonkarsinogeniknya juga aman?

Penyelesaian – Jika acceptable ECR ditetapkan E-4 (seperti yang diterima publik Amerika)
maka intake As harus:

ECR 10 −4
I= = = 2,67 × 10 − 4 mg/kg×hari
SF 1,5 (mg/kg × hari) −1

35
Proses legislasi seharusnya berada di badan-badan legislatif seperti MPR dan DPR. Tanpa proses legis-
lasi, amanat-amanat pengendalian risiko sulit dilakukan bila hanya mengandalkan proses-proses regulasi
saja.
Abdur Rahman©2005 43
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Berdasarkan intake ini, dengan menggunakan turunan Persamaan (5) dihitung konsentrasi As
yang aman adalah (Wb= 55 kg, tavg =70 tahun ×365 hari/tahun, R = 2 L/hari, fE = 350
hari/tahun dan Dt = 30 tahun) dan RQ:

I × Wb × t avg 2,6 × 10 −4 × 55 × 70 × 365


C= = = 0,004 mg/L
R × f E × Dt 2 × 30 × 350

2,67 × 10 −4
RQ = = 1,03
2,6 × 10 − 4

Penjelasan
(1) – Dengan konsentrasi As 0,004 mg/L, individu dengan berat badan 55 kg aman dari
efek nonkarsinogenik dan efek karsinogenik bila konsumsinya hanya 2 L/hari selama 350
hari/tahun sepanjang hidupnya. Konsentrasi 0,01 hanya aman (bisa diterima) dari efek
karsinogenik), tetapi 0,006 mg/L hanya aman dari efek nonkarsinogenik.
(2) – Angka-angka aman ini hanya berlaku untuk air minum, tidak termasuk As yang berasal
dari sumber intake lain seperti makanan dan minuman lain.

4.4 Tinjauan Aspek Legal

Penetapan BML harus memperhatikan kelayakan teknologi. Jika tidak, BML tidak bisa
ditaati. Teknologi dimaksud adalah kemampuan mengukur tingkat kontaminan yang
ketelitiannya sesuai dengan BML. Ini sangat penting untuk monitoring dan evaluasi
ketaatan khalayak terhadap BML. Teknologi juga harus mampu menurunkan tingkat
kontaminan sehingga BML tertaati. Strateginya biasa disebut sebagai risk reduction.
Dalam era otonomi daerah, isyu ini menjadi sangat penting, karena kemampuan teknologi
beserta segala infrastruktunya setiap daerah berbeda-beda.

Sisi lain BML adalah masalah jangka waktu pemajanan. Tabel 4 menunjukkan setiap
tingkat pencemaran mempunyai waktu pajanan aman tertentu lamanya. Berdasarkan tabel
ini regulasi harus mempertimbangkan waktu pajanan aman ini karena tingkat pencemaran
tidak selalu sama dan berlangsung dalam jangka waktu berbeda-beda. Untuk populasi
residensial atau pemukim, tingkat pencemaran harus dinyatakan dalam episode 24 jam,
sedangkan untuk populasi lain tingkat pencemaran harus dinyatakan sesuai dengan
episode keterpajanannya (misalnya 8 jam/hari untuk lingkungan kerja). Tabel 4 harus
dibaca bahwa konsentrasi SO2 36 µg/M3 hanya aman untuk 24 jam/hari, 72 µg/M3 untuk
untuk 12 jam/hari dan 108 µg/M3 untuk 8 jam/hari. Namun, tingkat pencemaran tidak
bisa terus meningkat karena setiap polutan mempunyai konsentrasi IDLH (immediately
dangerous to life and health) yang lamanya hanya 30 menit atau konsentrasi ceiling yang
sama sekali tidak boleh dilampaui.

Episode tingkat pencemaran sebenarnya sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah


No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara namun dengan istilah yang
kurang tepat. Dalam lampiran PP ini tercantum ’waktu pengukuran’ (kolom 3) dan ’baku
mutu’ (kolom 4). Misalnya, baku mutu SO2 adalah 900 ug/M3 untuk waktu
Abdur Rahman©2005 44
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

pengukuran 1 jam, 365 ug/M3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 60 ug/M3 untuk
waktu pengukuran 1 tahun. Berdasarkan pengertian Tabel 4, waktu pengukuran
bukanlah lama sampling atau lama pengukuran melainkan episode pemajanan yang aman
untuk setiap konsentrasi. Karena itu waktu pengukuran lebih tepat diganti dengan (atau
disebut sebagai) lama pemajanan maksimum atau episode pemajanan maksimum.

Selain masalah episode waktu pengukuran, PP No. 41/1999 tidak mempunyai naskah
akademik sehingga tidak diketahui apakah angka-angka baku mutu ditetapkan untuk
melindungi kesehatan atau melindungi lingkungan atau keduanya. Jika BML menurut PP
41/1999 dimaksudkan untuk melindungi kesehatan, ukuran antropometri khalayak
sasaran manakah yang digunakan?. Padahal, seperti telah ditunjukkan oleh beberapa
contoh, variabel antropometri seperti berat badan dan laju inhalasi sangat menentukan
besar asupan risk agent yang diterima seseorang. Sejauh ini, badan-badan legislasi atau
regulasi belum menetapkan nilai default ukuran-ukuran antropometri orang Indonesia,
baik secara nasional maupun lokal atau daerah. Jika misalnya angka-angka baku mutu
atau nilai batas ambang dari Amerika, dengan berat badan default 70 kg, diadopsi bulat-
bulat menjadi peraturan di Indonesia, baku mutu atau nilai batas ambang itu tidak akan
cukup melindungi orang Indonesia yang berat badannya kurang dari 70 kg. Oleh karena
itu, berdasarkan efek-efek kesehatan pencemar udara, baku mutu kualitas udara menurut
PP 41/1999 perlu disesuaikan dengan memakai karakteristik antropometri orang
Indonesia sebagai dasar perhitungannya.

PP No. 41/1999 juga hanya mengenal satu kategori baku mutu. Padahal, dikenal ada dua
baku mutu kualitas udara yaitu primary standard yang lebih ketat dan secondary
standard yang lebih longgar. Primary standard dimaksudkan sebagai baku mutu untuk
melindungi kesehatan manusia sedangkan secondary standard ditetapkan untuk
melindungi lingkungan hidup secara umum bagi kesejahteraan manusia (wellbeing).
Baku mutu PP No. 41/1999 seharusnya diset sebagai primary standard supaya
lingkungan pun ikut terlindungi. Jika diset sebagai secondary standard maka efek-efek
kesehatan tidak akan terlindungi. Karena tidak ada naskah akademiknya, tidak jelas
apakah baku mutu menurut PP No. 41/1999 itu merupakan primary standard atau
secondary standard.

4.5 Manajemen Risiko dalam AMDAL

Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab 2, risiko selalu ada dan tidak bisa dihilangkan
sama sekali dari suatu kegiatan atau usaha. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah
mengelola risiko tersebut dengan cara mengendalikan kegiatan yang menjadi sumber
risiko tersebut. Di dalam konteks AMDAL, pengendalian itu dilakukan melalui
pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan. Di dalam dokumen-dokumen
AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) yang menyangkut aspek-aspek fisik,
kimiawi dan biologis lingkungan sebagian besar bersifat kualitatif. Karena RKL-nya
kurang kuantitatif maka pemantauannya pun tidak terlalu kuantitatif. Misalnya, kegiatan
konstruksi suatu rumah sakit diperkirakan menimbulkan pencemaran udara dengan kadar
debu melebihi ketentuan PP No. 41/1999 (260 µg/M3). Upaya pengelolaan yang
disarankan adalah menyiram dengan air seluruh area konstruksi (infected area) dan

Abdur Rahman©2005 45
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

daerah-daerah yang terkena dampak (impacted area) seperti jalan raya, tanah lapang
terbuka, dan sebagainya.

Dalam rangka AMDAL, ARKL dapat digunakan untuk merumuskan pemantauan


lingkungan menurut risk agent, lokasi dan segmen populasi. Misalnya, karakterisasi
risiko pencemaran udara di 6 kelurahan di Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat,
menghasilkan RQ seperti tercantum dalam Tabel 5.36 Tabel ini menunjukkan bahwa risk
agent yang bersiko mengganggu kesehatan (RQ>1) berbeda-beda di setiap kelurahan.

Tabel 5. RQ NH3, NO2, SO2, H2S, debu TSP dan PM10 bagi penduduk residensial di Kecamatan
Cengkareng, Jakarta Barat, menurut proyeksi pajanan sepanjang hayat (30 tahun), dihitung tahun 2004.

KELURAHAN NH3 NO2 H2S SO2 TSP PM10

Cengkareng Barat 10,35 0,10 0,56 0,12 1,96 1,96


Kapuk 0,49 0,11 1,66 0,27 3,48 3,48
Duri Kosambi 2,41 0,08 2,99 0,65 0,76 0,76
Rawa Buaya - 0,11 2,99 3,89 1,77 1,76
Kedaung Kali Angke - 0,15 3,66 4,42 2,20 2,20
Cengkareng Timur 8,06 0,05 5,56 0,71 2,69 2,69
Sumber: Rahman A et al (2004).

Menurut Tabel 5 ini, di Kelurahan Cengkareng Barat risk agent yang harus dipantau
adalah NH3, TSP dan PM10, sedangkan di Kelurahan Rawa Buaya adalah H2S, SO2, TSP
dan PM10. Karena risiko TSP dan PM10 hampir terjadi merata di seluruh kelurahan,
sedangkan NO2 aman di semua kelurahan, maka risk agent yang spesifik adalah NH3,
H2S dan SO2. Risiko ketiga risk agent ini tersebar secara tidak seragam di 6 kelurahan.
Misalnya, di Kelurahan Cengkareng Barat parameter spesifiknya adalah NH3 sedangkan
di Kelurahan Rawa Buaya adalah H2S dan SO2. Pemantauan, baik terhadap konsentrasi
risk agent maupun surveillans untuk mencatat efek-efek sistemiknya, dengan demikian
berbeda-beda dari satu kelurahan ke kelurahan lain. Dengan demikian, UKL dan UPL
akan lebih spesifik, efektif dan efisien bila disusun menggunakan hasil kajian ARKL.
Dalam perspektif kesehatan masyarakat, rona lingkungan awal seharusnya tidak hanya
berupa disease profile dan kualitas lingkungan fisik, kimiawi dan biologis tetapi juga
besaran-besaran risiko kesehatan sebagai manifestasi dampaknya.

4.6 Problematika Komunikasi Risko

Sejalan dengan perkembangan paradigma risk analysis (lihat Gambar 3), komunikasi
risiko kini telah menjadi bagian integral dari analisis risiko. Komunikasi risiko bukan

36
Studi ini melibatkan 432 orang responden yang ditarik secara purposif dari 6 kelurahan. Dari setiap
kelurahan dipilih 6 RT yang berasal dari 2 RW, dan dari setiap RT dipilih 12 rumah dengan satu orang
responden. Di setiap RT dipilih satu rumah untuk titik sampling 5 parameter kualitas udara (debu partikulat
PM10, SO2, NO2, H2S dan NH3) dan 10 parameter kualitas air (pH, daya hantar listrik, total padatan terlarut,
kesadahan, Ni, Cr, Cd, Zn, Fe, Mn).
Abdur Rahman©2005 46
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

semata-mata interaktif penilai risiko (risk assessor) dengan manager risiko (risk
manager) melainkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan atau yang tertarik.
Komunikasi demikian sangat penting sebagai basis pengambilan keputusan manajemen
risiko yang transparan.

Kebutuhan akan komunikasi risiko pada waktu akhir-akhir ini sangat besar karena
kepedulian masyarakat akan bahaya lingkungan dan kesehatan semakin bertambah pula.
Covello (1996) menjelaskan ada empat sebab utama tuntutan ini. Pertama, lalu lintas
berbagai komunikasi bahaya dan hak-hak publik untuk mengetahui hukum dan
perundangan mengenai pajanan faktor-faktor risiko lingkungan semakin besar. Kedua,
kekhawatiran dan kepedulian masyarakat akan pajanan faktor-faktor risiko lingkungan
dan tuntutan untuk mengetahui informasi itu semakin meningkat. Ketiga, pemberitaan
media massa mengenai berbagai persoalan lingkungan. Keempat, pertumbuhan sangat
pesat gerakan-gerakan lingkungan yang menyangsikan kreidibitas pemerintah dan
industri dalam menangani risiko-risiko lingkungan.

Berkaitan dengan empat sebab tersebut, Covello (1996) juga mengamati ada empat
sumber kesulitan yang dihadapi komunikasi risiko. Pertama, karakteristik dan
keterbatasan data ilmiah mengenai risiko. Seperti tercermin dalam Contoh Kasus 1, risiko
mengandung sejumlah ketidakpastian dan kompleksitas data mengenai kesehatan,
keselamatan dan lingkungan. ARKL, di samping memiliki keampuhan, jarang sekali
dapat memberi jawaban persoalan lingkungan dan kesehatan yang pasti. Kedua,
karakteristik dan keterbatasan komunikasi pejabat pemerintah, industri dan para juru
cakap dalam menginformasikan risiko. Sebab utamanya adalah keraguan masyarakat
akan kredibilitas pejabat-pejabat tersebut. Mereka menganggap bahwa pemerintah dan
industri tidak peka terhadap kepedulian dan kekhawatiran masyarakat, tidak mau
memahami permasalahan, tukar menukar informasi dan mengikutsertakan partisipasi
masyarakat serta bertanggungjawab terhadap lingkungan. Ketiga, karakteristik dan
keterbatasan media dalam mengomunikasikan risiko. Media seringkali bias terhadap
sejarah atau kisah yang mengandung drama, pertentangan dan ketidakpastian. Misalnya
kecelakaan industri yang hanya menimpa seorang diberitakan secara sensasional, padahal
risiko yang dapat menimpa jumlah populasi lebih besar luput dari perhatiannya. Keempat,
karakteristik dan keterbatasan publik dalam menilai dan mengartikan informasi risiko.
Keterbatasan kemapuan masyarakat ini antara lain menyangkut persepsi mengenai
tingkat atau besaran risiko, kurang memperhatikan kerumitan teknik, terlalu yakin
(overconfidence) untuk mampu menghndari bahaya, kepercayaan dan pendapat yang
resisten terhadap perubahan, terlalu membesar-besarkan harapan akan efektivitas upaya
regulasi, kebutuhan akan kepastian ilmiah, tidak bersemangat untuk mempertukarkan
risiko dengan keuntungan dan kerugian serta kesulitan dalam memahami informasi yang
berkaitan dengan aktivitas dan teknologi yang tidak lazim.

Adalah hak setiap orang untuk mengetahui kualitas sumber daya yang menjadi hajat
hidupnya. Sebaliknya, adalah kewajiban setiap pelayan masyarakat untuk
memberitahukan kualitas sumberdaya itu yang sebenarnya. Seorang risk manager harus
mampu mengkomunikasikan hal ini kepada khalayak dengan baik sehingga masyarakat
tahu apa yang terjadi, risiko apa yang mungkin timbul, namun tidak panik dan

Abdur Rahman©2005 47
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

menimbulkan gejolak, kersahan apalagi kerusuhan. Komunikasi terutama dilakukan lewat


media umum yang tersedia dan saluran-saluran lain milik sendiri. Komunikasi risiko pada
dasarnya adalah pertukaran informasi di antara pihak-pihak yang tertarik mengenai
besaran, hakekat, kemaknaan dan pengendalian risiko. Mereka adalah para pejabat
pemerintah, kelompok usaha atau kalangan industri, perhimpunan, media massa,
ilmuwan, organisasi profesi, kelompok-kelompok khusus yang peduli dan masyarakat
umum.

Media umum, baik cetak maupun elektronik, biasnya mempunyai beberapa keterbatasan
(US-EPA, 1990). Pertama, mereka harus menyajikan informasi secara singkat. Ini sering
menimbulkan salah persepsi, karena informasi harus disampaikan secara singkat sehingga
sulit dimengerti orang banyak. Ini juga kadang-kadang menimbulkan simplifikasi
berlebihan sehingga informasi menjadi tidak lengkap. Kedua, media harus bekerja
dengan deadline yang sangat ketat yang memaksa para reporternya untuk mengerjakan
banyak kegiatan jurnalistik pada waktu bersamaan. Ketiga, pengetahuan reporter
umumnya bukanlah spesialis melainkan generalis. Implikasinya, informasi penting
menjadi tidak akurat karena penggunaan terminologi teknis spesifik yang tidak tepat.

Saluran-saluran informasi sendiri juga bisa digunakan, terutama dalam kejadian darurat
dan bencana. Saluran hotline sebaiknya mempunyai staf yang telah dilatih sehingga
mampu mengkomunikasikan dengan baik dan benar namun dengan bahasa yang popular
dan dapat difahami umum. Pengetahuan dasar tentang substansi masalah yang dihadapi
dan teknik-teknik komunikasi yang baik sangat dibutuhkan.

Komunikasi risiko juga berarti pemberdayaan masyarakat. Kebiasaan dan pola hidup
yang baik harus dipelihara dan ditingkatkan, sedangkan yang buruk harus dihilangkan
atau dikurangi. Pemberdayaan masyarakat ini sulit digeneralisasi, tetapi dapat dilakukan
menurut kasus per kasus. Dalam mengurangi pencemaran udara di dalam rumah
misalnya, kebiasaan membuka jendela harus digalakkan. Mereka yang tinggal di daerah
dingin umumnya jarang membuka ventilasi. Padahal, banyak bukti ilmiah menyatakan
bahwa pencemaran indoor lebih tinggi dari pada outdoor. Kepada masyarakat awam,
informasi ilmiah seperti ini tidak bisa disampaikan secara ilmiah, tetapi harus dengan
bahasa populer yang terjangkau oleh alam pikiran mereka. Untuk berkomunikasi dengan
baik, mengenali karakteristik sosio-budaya masyarakat adalah sangat penting.

4.7 Persepsi dan Opini tentang Risiko

Salah persepsi tentang risiko kesehatan dan segala implikasinya bukan saja dijumpai pada
kalangan masyarakat awam, namun juga ada pada sebagian para pejabat pemerintah,
termasuk kalangan regulator dan legislator, dan badan-badan usaha atau industri. Dari
berbagai kasus pencemaran lingkungan dan kesehatan yang banyak terjadi selama ini, ada
beberapa persoalan dasar yang sering dipersepsikan keliru, antara lain:

1. Tingkat Risiko, baik RQ maupun ECR, sering dianggap sebagai suatu


kepastian dan bukan probabilitas. Artinya, RQ atau ECR dianggap pasti
terjadi. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan, besaran kuantitatif RQ atau

Abdur Rahman©2005 48
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

ECR adalah ramalan yang bisa benar dan bisa juga tidak benar atau kurang
tepat, tergantung dari kepastian data yang dipakai untuk menghitung risiko
tersebut dan kondisi-kondisi pajanan spesifik yang sebenarnya.
2. Risiko dianggap dapat dihilangkan dengan berbagai intervensi manajemen
risiko. Persepsi ini salah karena pada dasarnya risiko sama sekali tidak bisa
dihilangkan, tidak pula bisa dipastikan 100% akan terjadi, yang secara
probabiltas kuantitatif hanya bisa dinyatakan sebagai 0<risk<1. Pernyataan ini
menjadi sangat jelas untuk karsinogenisitas, karena setiap dosis di atas nol
selalu mempunyai efek, walaupun besarannya (sebagai ECR) berbeda-beda
dari satu karsinogen ke karsinogen lain.
3. BML, NAB37 atau pedoman lainnya dianggap sebagai demarkasi absolut.
Artinya, setiap konsentrasi zat, intensitas energi atau jumlah organisme yang
melampaui BML, NAB atau pedoman dianggap berbahaya bagi kesehatan
atau merusak lingkungan. Persepsi ini jelas keliru karena, seperti telah
didemonstrasikan dalam Contoh Kasus 1, dalam BML, NAB atau pedoman
melekat faktor-faktor ketidakpastian. Dengan demikian, pajanan yang
melebihi BML, NAB atau pedoman tidak secara otomatis membahayakan
kesehatan atau merusak lingkungan. Sebaliknya pajanan yang masih
memenuhi BML, NAB atau pedoman pun tidak secara otomatis aman.
4. BML, NAB atau pedoman yang diadopsi dari negara-negara barat yang maju
(seperti Amerika, Kanada dan negara-negara Eropa) atau badan-badan dunia
(seperti WHO dan OECD) mempunyai nilai proteksi yang sama terhadap
gangguan kesehatan. Ini tidak benar karena, seperti ditunjukkan Contoh Kasus
1 s/d 3, BML, NAB atau pedoman yang diset menggunakan berat badan lebih
tinggi mempunyai proteksi kesehatan lebih rendah.
5. Nilai kuantitatif toksisitas suatu risk agent, sebagai RfD atau SF, sering
dianggap sebagai besaran fisis. Artinya, risk agent yang lebih toksik (RfD
lebih rendah atau SF lebih tinggi) secara otomatis dianggap lebih berisiko.
Padahal, karena toksisitas merupakan fungsi beberapa variabel seperti dosis,
waktu pemajanan, pola aktivitas dan karakteristik antropometri, risk agent
yang toksisitasnya lebih tinggi bisa saja tingkat risikonya lebih rendah dari
pada risk agent yang toksisitasnya lebih rendah.
6. Biomarker38 (petanda bio) sering dipertukarkan secara keliru sebagai petanda
pemajanan (marker of exposure) dan petanda efek (marker of effect), terutama
dalam kasus-kasus pencemaran logam berat. Misalnya, kandungan Hg dalam
darah atau rambut yang melebihi guideline WHO dengan serta merta
dianggap telah terjadi gangguan kesehatan. Padahal, Hg dalam rambut atau
darah hanyalah marker of exposure. Jumlah Hg yang sama dalam darah pada
dua atau lebih individu yang berbeda belum tentu menghasilkan efek yang
sama. Karena itu jumlah Hg dalam darah terbentang luas, dari <5 µg/L untuk

37
Nilai Ambang Batas adalah alihbahasa dari threshold limit value, seharusnya diterjemahkan sebagai nilai
batas ambang (NBA).
38
Untuk definisi biomarker, lihat antara lain Nauman CH, Griffith J, Blancato JN, and Aldrich T (1993),
Biomarker in Environmental Epidemiology dalam Cooke C (ed) (1993) op cit halaman 153-156.
Abdur Rahman©2005 49
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

low fish eater sampai 83 µg/L untuk high fish consumption, yang dapat
dijumpai pada individu, etnis atau ras yang berbeda.39 Dalam rentang ini, bisa
saja seseorang dengan Hg darah <5 µg/L telah mengalami perubahan biologis
yang signifikan, sementara individu lain dengan Hg darah >83 µg/L tak
menampakkan kelainan apa pun. Untuk memastikan perubahan itu perlu
diukur marker yang lebih sensitif, misalnya perubahan reaksi-reaksi enzimatik
seperti pembentukan kreatinin. Jumlah kreatinin yang diproduksi tubuh
sebagai hasil pembentukan ATP untuk kerja otot merupakan marker efek
intoksikasi Hg yang bagus. Dalam keadaan normal, jumlah kreatinin yang
dihasilkan tubuh relatif konstan sehingga penyimpangan dari jumlah itu
mengindikasikan intoksikasi Hg.
7. Biomarker, sebagi deposit atau akumulasi suatu zat toksik di dalam spesimen
biologis seperti tulang, rambut, kuku, air seni dan darah, seringkali dipakai
sebagai justifikasi untuk menyatakan gangguan kesehatan oleh pajanan zat
toksik di lingkungan. Biomarker sering dibaca dan digunakan tanpa
memperhatikan spesinya, seolah-olah ia hanya mempunyai satu spesi kimia
dan toksitas tunggal. Padahal, suatu risk agent bisa mempunyai lebih dari satu
spesi kimia dengan toksisitas yang berbeda-beda.

Kasus Teluk Buyat yang telah menghebohkan memberikan contoh pelajaran berharga
tentang miskinnya komunikasi risiko yang dilakukan badan-badan otoritas kita. Dengan
hanya berdasarkan data hasil pengukuran biomarker dan hasil survey epidemiologi
sesaat, oleh sebagian kalangan Hg telah dianggap bertanggung atas kejadian berbagai
penyakit. Padahal, Hg yang memajani manusia bisa berada dalam tiga spesi kimia, yaitu
Hg (sebagai unsur atau logam), Hg anorganik dan Hg organik, masing-masing dengan
toksisitas berbeda. Lagi pula, dalam me-review toksikologi suatu zat toksik (misalnya
yang dilakukan US-EPA/IRIS), biomarker pemajanan bukanlah acuan utama. IRIS lebih
mengutamakan dose-response dan membedakannya menjadi efek akut, efek kronik
sistemik (nonkarsinogenik) dan efek kronik karsinogenik. Eksktrak hazard summary US-
EPA/IRIS berikut merupakan rujukan terbaik yang meringkas gangguan kesehatan oleh
setiap zat toksik.

Inhalasi akut logam Hg yang tinggi menyebabkan ginjal terganggu, mulai dari proteinuria
ringan sampai gagal ginjal. Gangguan pernafasan seperti nyeri dada, dispnea, batuk,
penurunan fungsi paru dan pneumonitis interstisial juga tercatat sebagai efek akut logam
ini yang terhirup. Efek akut oral senyawaan Hg anorganik juga cukup beragam, mulai
dari mulut terasa berlogam, mual, muntah, sampai nyeri perut yang parah. Dosis letal
asupan oral untuk kebanyakan senyawaan Hg anorganik sekitar 14 – 57 mg/kg berat
badan untuk orang berberat badan 70 kg. Efek akut metil merkuri, salah satu senyawaan
Hg organik penting, adalah gangguan susunan syaraf pusat (SSP) yang parah yang bisa

39
Lihat misalnya WHO (1996) Biological Monitoring of Chemical Exposure in the Workplace: Guideline,
Vol 1 halaman 148-149. Angka-angka ini bukanlah standar melainkan jumlah yang pernah dijumpai pada
populasi manusia (badan-badan dunia seperti WHO tidak mengeluarkan standar tetapi guideline atau
pedoman; standar dibuat oleh badan-badan regulasi negara masing-masing).
Abdur Rahman©2005 50
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

mengakibatkan kebutaan, ketulian, sampai penurunan kesadaran. Dosis letal


minimumnya diperkirakan sekitar 20 – 60 mg/kg berat badan (70 kg).

Efek kronik Hg, baik kanker maupun nonkanker, juga berbeda menurut spesi kimianya.
SSP adalah organ sasaran efek kronik logam Hg dengan eretisma, iritabilitas, rasa malu
berlebihan, insomnia, air liur berlebihan, gingivitis dan tremor. Kerusakan ginjal yang
berkembang menjadi proteinuria juga tercatat sebagai efek kronik logam Hg. Pada anak-
anak, efek kronik logam Hg yang paling terkenal adalah akrodinia, dengan karakteristik
yang khas berupa kejang tungkai yang parah, iritabilitas, kulit mengering, jari-jemari
memerah (muda) dan nyeri serta kulit tangan, kaki dan hidung terkelupas. Untuk Hg
anorganik, efek kronik yang paling menonjol adalah keruskan ginjal, terutama sekali
disebabkan oleh gangguan sistem imun jaringan ginjal sehingga terjadi glomerulonefritis
atau sindroam nefrotik. Pajanan kronik Hg anorganik bisa juga menyebabkan akrodinia.
Efek kronik Hg organik, diwakili metil merkuri (MeHg), adalah kerusakan SSP dengan
gejala awal parestesia, penglihatan kabur (rabun) dan rasa tidak enak badan. Dosis lebih
tinggi menyebabkan ketulian, sulit berbicara dan gangguan penglihatan.

Berdasarkan efek-efeknya itu, US-EPA menetapkan RfD inhalasi (RfC) logam Hg adalah
0,0003 mg/M3, RfD Hg anorganik 0,0003 mg/kg berat badan/hari dan RfD MeHg 0,0001
mg/kg berat badan/hari. Untuk efek kronik karsinogeniknya, US-EPA menggolongkan
logam Hg sebagai grup D (not clsassifiable as human carconigen) sedangkan Hg
anorganik dan MeHg sebagai grup C (possible human carcinogen), namun unit risk-nya
belum ditetapkan karena datanya belum meyakinkan. Jelaslah, efek kesehatan Hg
bergantung pada spesi kimianya, jalan masuknya ke dalam tubuh, jumlahnya, lama
pajanannya dan, tentu saja, karakteristik reseptor biologisnya. Kandungan Hg dalam
darah sebagai biomarker pemajanan, tidak bisa dinterpretasikan secara terpisah tanpa
menyertakan data dan informasi lainnya. Oleh karena itu, dalam setting lingkungan kerja,
ACGIH40 menyatakan bahwa kandungan zat toksik dalam spesimen biologis, seperti Hg
dalam darah, yang disebut biological exposure indices (BEI), do not indicate a sharp
distinction between hazardous and nonhazardous exposure. BEI hanyalah reference
value intended as guidelines for the evaluation of potential health hazard…..

4.8 Teknik Komunikasi Risiko

Jelaslah, risk communicator perlu membekali diri dengan pengetahuan yang lebih teknis.
Tetapi, pengetahuan itu belum tentu bisa difahami oleh kalangan media massa sehingga
boleh jadi pesan-pesan diterima masyarakat dengan persepsi yang kurang tepat. Untuk
itu, para reporter media massa pun perlu dibekali dengan pengetahuan dasar dan teknis
yang memadai tentang berbagai hal yang berkaitan dengan risiko kesehatan oleh pajanan
bahaya-bahaya lingkungan. Sebagai khulasah (kesimpulan), lakukan 10 kegiatan

40
American Conference of Govermental Industrial Hygienist, sebuah organisasi profesi ahli higiena
industri, yang secara rutin menerbitkan TLVs® and BEIs®Based on the Documentation of the Threshold
Limit Values for Chemical Substances and Physical Agents and Biological Indices.
Abdur Rahman©2005 51
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

komunikasi berikut.41 Kesepuluh aktivitas ini merupakan langkah-langkah komunikasi


yang sering salah dilakukan.

• Buat persipan yang baik. Review semua fakta yang ada


• Berlaku jujur, katakana yang sebenarnya, jangan berbohong
• Antisipasi kemungkinan berbagai pertanyaan
• Pertimbangkan/perhatikan apa yang ingin diketahui oleh khalayak
• Putuskan apa yang ingin disampaikan/dikatakan
• Pertimbangkan jika ada hal-hal yang tidak ingin didiskusikan/dibicarakan
• Siapkan jawaban yang singkat dan tepat
• Hindari penggunaan jargon-jargon
• ’Jangan terbang dengan kursi celana Anda, bisa tabrakan’ (tetaplah Anda
pada posisi Anda, jangan ke mana-mana)
• Jika tidak tahu jawaban suatu pertanyaan, jangan sekali-kali menebak
• Selalu tenang, jangan hilangkan kesejukan Anda
• Bicara dengan jelas, jangan bergumam
• Bersikap tegas tapi jangan sombong
• Jangan berargumentasi dengan reporter dan khalayak, jangan menakutkan
• Jangan menghidar/melarikan diri
• Hadapi anggapan yang salah dengan pertanyaan, dan
• Jika telah selesai, ingat agar segera berhenti

‫ﻮﺁﷲﺃﻋﻠﻡ‬
Latest Up Date 22 November 2005

41
Diterjemahkan dan dikembangkan dari Tabel 6.1, US-EPA 1990), bersumber dari Rowan and Blewitt
Environmental Consultant, Washington DC.
Abdur Rahman©2005 52
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

RUJUKAN

American Conference of Govermental Industrial Hygienist (2003) TLVs® and


BEIs®Based on the Documentation of the Threshold Limit Values for Chemical
Substances and Physical Agents and Biological Indices, ACGIH Worldwide,
Cincinnati, OH.
Cooke C (ed) (1993) Environmental Epidemiology and Risk Assessment, New York,
Van Nostrand Reinhold.
Covello VT (1996) Communicating Risk in Crisis and Noncrisis Situations, Tools and
Techniques for Effective Environmental Communication dalam Kolluru R, Bartell
S, Pitblado R, and Stricoff S (eds) (1996) Risk Assessment and Management
Handbook for Environmental, Health, and Safety Professionals, New York,
McGraw-Hill.
Department of Health and Ageing and enHealth Council (2002) Environmental Health
Risk Assessment, Guidelines for assessing human health risks from environmental
hazards, Canberra, Commonwealth Australia.
International Programme on Chemical Safety (1983) Environmental Health Criteria 27:
Guidelines on Studies in Environmental Epidemiology, Geneva,
UNEP/ILO/WHO.
International Programme on Chemical Safety (2004) Environmental Health Criteria
XXX: Principles for modelling dose-response for the risk assessment of chemicals
(Draft), Geneva, IPCS and World Health Organization.
International Programme on Chemical Safety (2004a) IPCS Risk Assessment
Terminology, Part 1: IPCS/OECD Key Generic Terms used in Chemical
Hazard/Risk Assessment, Part 2: IPCS Glossary of Key Exposure Assessment
Terminology, Geneva, World Health Organization.
Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-124/12/1997 tentang Panduan Kajian Aspek
Kesehatan Masyarakat Dalam Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan
Kolluru RV (1996) Health Risk Assessment: Principles and Practices dalam Kolluru
RV, Bartell S, Pitblado R, and Stricoff S (eds) (1996) Risk Assessment and
Management Handbook for Environmental, Health, and Safety Professionals,
New York, McGraw-Hill.
de Koning HW (ed.) (1987) Setting Environmental Standards, Guidelines for Decision
Making, Geneva, WHO.
Louvar FL and Louvar BD (1998) Health and Environmental Risk Analysis:
Fundamental with Application volume 2, New Jersey, Prentice Hall PTR.
National Reseach Council (1983) Risk assessment in the Federal Government:
Managing the process, National Academic of Science Press, Washington DC.
Nauman CH, Griffith J, Blancato JN, and Aldrich T, Biomarker in Environmental
Epidemiology dalam Cooke C (ed) (1993) Environmental Epidemiology and Risk
Assessment, New York, Van Nostrand Reinhold. National Research Council
(1983) Risk assessment in the Federal Government: Managing the process,
National Academic of Science Press, Washington DC.
Nukman A, Rahman A, Warouw S, Ichsan M, Setiadi dan Akib CR (2005) Analisis dan
Manajemen Risiko Kesehatan Pencemarfan Udara: Studi Kasus di Sembilan Kota

Abdur Rahman©2005 53
Prinsip-prinsip Dasar, Metoda, Teknik dan Prosedur ARKL
(Bahan Ajar Pelatihan Aspek Kesehatan Masyarakat dalam AMDAL)

Besar Padat Transportasi, Jakarta, Subdit Pengendalian Dampak Pencemaran


Udara Ditjen PPM & PL Depkes RI (in press).
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
Hidup.
Rahman A, Asman T, Hartono B, Adi HK dan Djafri D (2004) Karakterisasi Risiko
Kesehatan Dampak Pencemaran Udara di Kecamatan Cengkareng, Jakarta
Barat, Jakarta, Laporan Kajian ADKL oleh Suku Dinas Kesehatan Masyarakat
Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Laboratorium Kesehatan Lingkungan
FKM-UI (tidak dipublikasi).
Rahman A (2005) Harmonisasi Global Sistem Klasifikasi dan Penandaan Bahan Kimia,
Strategi Adopsi dan Implementasi, Jakarta, Badan POM dan WHO.
Renwick AG, Barlow SM, Hertz-Picciotto I, Boobis AR, Dybing E, Edler L, Eisenbrand
G, Grieg JB, Kleiner J, Lambe J, Müller DJG, Smith MR, Tritscher A, Tuijtelaars
S, van den Brandt PA, Walker R, and Kroes R (2003) Risk characterization of
chemicals in food and diet, Food Chem. Tox., 41: 1211-1271.
Tseng WP (1977) Effect and dose-response relationships of skin cancer and blackfoot
disease with arsenic. Environ Health Perspect. 19: 109-119.
Tseng WP, HM Chu, SW How, JM Fong, CS Lin, and S Yeh (1968) Prevalence of skin
cancer in an endemic area of chronic arsenism in Taiwan. J. Natl. Cancer Inst. 40:
453-463.
United State Environmental Protection Agency (1990) Seminar Publicatation Risk
Assessment, Management and Communication of Drinking Water Contamination,
Washington DC, EPA/625/4-89/024.
Undang-Undang RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
WHO (1990) Principles for the Toxiclogical Assessment of Pesticide Residues in Food,
Environmental Health Criteria 104, Geneva, IPCS/WHO.
WHO (1996) Biological Monitoring of Chemical Exposure in the Workplace: Guideline,
Vol 1.

Abdur Rahman©2005 54

Anda mungkin juga menyukai