Anda di halaman 1dari 10

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

SMF PENYAKIT DALAM


RSUD Dr. R. SOEPRAPTO CEPU

ASMA BRONKIAL

1.Definisi Merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemen selular. Inflamasi kronik ini terkait dengan
hiperreaktivitas saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala
respiratorik dan perjalanan penyakit yang kronis. Episode ini biasanya
terkait dengan obstruksi saluran udara dalam paru yang reversibel baik
secara spontan ataupun dengan pengobatan.
2.Anamnesis 1. Episode berulang sesak napas
2. Mengi
3. Batuk
4. Rasa berat di dada, terutama saat alam dan dini hari
5. Riwayat munculnya terpapar allergen atau terkena udara dingin
atau setelah olahraga
6. Gejala membaik dengan obat asma
7. Riwayat asma padaa keluarga
8. Penyakit atopi
3.Pemeriksaan Fisik Temuan fisik paling sering adalah mengi pada auskultasi. Pada
eksaserbasi berat, mengi dapat tidak ditemukan namun pasien
mengalami tanda lain seperti sianosis, mengantuk, kesulitan berbicara,
takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot pernapasan tambahan dan
retraksi interkostal.
4.Kriteria Diagnosis Episode berulang sesak napas, dengan atau tanpa mengi dan rasa
berat di dada akibat faktor pencetus.

Klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma


Derajat keparahan eksaserbasi asma

5.Diagnosis Asma Bronkial

6.Diagnosis Banding 1. Sindrom hiperventilasi dan serangan panik


2. Obstruksi saluran napas atas dan terhirupnya benda asing
3. Disfungsi pita suara
4. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
5. Penyakit paru parenkim difus
6. Gagal jantung

7.Pemeriksaan 1. Spirometri: Alat pengukur faal paru, selain penting untuk


Penunjang menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi
dan efek pengobatan. Peningkatan VEP1 (Volume Ekspirasi
Paksadalam 1 detik) ≥ 12% dan 200cc setelah pemberian
bronkodilatormenandakan reversibilitas penyempitan jalan
napas yang sesuai dengan asma.
2. Peak Flow Meter/PFM: Peak flow meter merupakan alat
pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk
mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif
(spirometer/FEV1 atau PFM).
3. Pemeriksaan IgE: Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk
menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji
tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor
pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan
dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk
kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism)
8.Tatalaksana Non Farmakologis
Menghindari paparan terhadap alergen dan penggunaan obat yang
menjadi pemicu asma, penurunan berat badan pada pasien yang
obese.

Farmakologi
Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontrol:
1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan
Menggunakan agonis-β2 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya
adalah antikolinergik inhalasi, agonis-β2 oral kerja singkat dan
teofilin kerja singkat.
2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
kortikosteroid inhalasi dosis rendah (budesonid 200-400 µg
atau ekivalennya). Alternatif obat pengendali adalah
leukotriene modifier teofilin lepas lambat, kromolin.
3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan
agonis-β2 inhalasi kerja panjang (LABA). Alternatif
pengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang
(budesonid 200-400 µg atau ekivalennya) atau kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan leukotriene
modifier atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah
dengan teofilin lepas lambat.
4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi
(budesonide 800-1600 µg atau ekivalennya) dengan LABA.
Alternatif pengendali adalah kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis sedang/tinggi dengan leukotrien modifier atau kombinasi
kortikosteroid inhalasi dosisi sedang/tinggi dengan teofilin lepas
lambat.
5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan
Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali
tahap 4 ditambah kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah
ditambah terapi anti-IgE.

Bila terjadi ekasaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai


berikut:
1. Oksigen (target saturasi 95%).
2. Menggunakan agonis-β2 inhalasi kerja cepat dengan dosis
adekuat (pemberian tiap 20 menit selama satu jam pertama,
selanjutanya setiap jam).
3. Dapat juga menggunakan kombinasi ipratropium bromida
dengan agonis-β2 inhalasi kerja cepat.
4. Kortikosteroid oral dengan dosis 0,5-1 mg prednisolon/kg atau
ekivalen dalam periode 24 jam.
5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika
agonis-β2 inhalasi tidak tersedia.
6. Dapat menggunakan 2 g magnesium sulfat IV pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak respon dengan
bronkodilator dan kortikosteroid sistemik.
7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
8. Pasien diobservasi 1-2 jam kemudian. Jika respons baik dan
tetap baik 60 menit sesudah pemberian agonis-β2 terakhir, tidak
ada distres pernapasan, APE>70%, saturasi oksigen>90%,
pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari):
inhalasi agonis-β2 diteruskan, steroid oral dipertimbangkan,
penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotika diberikan bila
ada indikasi, perjanjian kontrol berobat.
9. Bila setelah observasi 1-2 jam respons kurang baik atau pasien
termasuk golongan resiko tinggi, gejala dan tanda tetap ada,
APE<60% dan tidak ada perbaikan saturasi oksigen, pasien
harus dirawat.
10. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan atau pasien
termasuk golongan risiko tinggi, gejala bertambah berat,
APE<30%, PCO2>45 mmHg, PO2<60% mmHg, pasien harus
dirawat di unit perawatan intensif.
.9.Edukasi 1. Pengobatan Utama dengan menghindari paparan terhadap
alergen dan obat yang menjadi pemicu.
10.Prognosis Ad Vitam : bonam
Ad Sanationam : bonam
Ad Functional : bonam

11. Kepustakaan 1. Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: InternaPublishing,
2009. H. 404-14
2. Barnes PJ. Asthma. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison’s
principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill
Companies, 2012. h. 2102-15
3. Global initiative for asthma. Global strategy for asthma
management and prevention. 2011

Mengetahui/Menyetujui Cepu,
Ketua Komite Medis ........ SMF Penyakit Dalam :
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

SMF PENYAKIT DALAM


RSUD Dr. R. SOEPRAPTO CEPU

DIABETES MELITUS

1.Definisi Merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemi kronik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Dalam praktik sehari-hari DM tipe 2 yang
paling sering ditemui
2.Anamnesis 1. Gejala yang timbul
2. Hasil pemerikasaan laboratorim terdahulu meliputi: glukosa
darah, A1C, dan hasil pemeriksaan khusu yang terkait DM
3. Pola makan, status nutrisi dan riwayat perubahan berat badan
4. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
5. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara
lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang terlah
diperolah tentang perawatan DM secara mandiri, serta
kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
6. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang
digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani
7. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hierglikemia dan hipoglikemi)
8. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi dan
traktus urogenitalis serta kaki
9. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi
pada ginjal, jantung, susunan saraf, mata saluran pencernaan,
dll.)
10. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa
darah
11. Faktor risiko: merokok hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas dan riwayat penyakit keluarga (termasuk
penyakit DM dan endokrin lain)
12. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
13. Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan dan status ekonomi
14. Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan
3.Pemeriksaan Fisik 1. Pengukutan tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang
2. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari
3. Pemeriksaan funduskopi
4. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
5. Pemeriksaan jantung
6. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop
7. Pemeriksaan kulit (acantosisi nigrican dan bekas tempat
penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis
8. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya
hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI) untuk
mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi.
9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan penyakit
DM tipe lain.
4.Kriteria Diagnosis 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu  200 mg/dL
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
atau
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa  126 mg/dL
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO  200 mg/dL
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang
dilarutkan ke dalam air

Algoritma alur diagnosis DM


5.Diagnosis Diabetes melitus

6.Diagnosis Banding 1. Hiperglikemia reaktif


2. Pre diabetes

7.Pemeriksaan 1. Glukosa darah puasa dan 2 jam post pandrial


Penunjang 2. HbA1c
3. Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida
4. Kreatinin serum
5. Albuminuria
6. Keton, sedimen dan protein dalam urin
7. Elektrokardiogram
8. Foto sinar X dada

8.Tatalaksana Non Farmakologis


1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Kebutuhan kalori

Farmakologis
.9.Edukasi Gaya hidup sehat
1. Penurunan berat badan
2. Mengatur diit
3. Latihan jasmani teratur

10.Prognosis Ad Vitam : bonam


Ad Sanationam : bonam
Ad Functional : bonam

11. Kepustakaan 1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. 2011.
2. The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of
Diabetes Melitus. Report of The Expert Committee on The
Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus. Diabetes
Care, Jan 2003;26(Suppl. 1):S5-20.
3. Suyono S. Type 2 Diabetes Melitus is a Beta-Cell Dysfunction.
Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2001: The Recent
Management in Diabetes and Its Complications : From
Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current
Treatment in Internal Medicine 2000:185-99.
4. Inzucch SE, Bergenstal RM, Buse JB et al. Management of
Hyperglicemia in Type 2 Diabetes: A Patient-Centered
Approach. Position Statement of the American Diabetes
Association for the Study of Diabetes (EASD)

Mengetahui/Menyetujui Cepu,
Ketua Komite Medis ........ SMF Penyakit Dalam :

Anda mungkin juga menyukai