SERTA KENYAKINAN
1) Antoni Fandefitson
2) Dandung Setiadi
3) Erikson
4) Hendra Gustika Saputra
5) Mujib Kristanto
6) Pipik
7) Sapto Widiantoro
8) Wenie
9) Yulita
Abstrak
Pembangunan adalah suatu proses yang dilakukan secara terus menerus pada suatu
wilayah dari waktu ke waktu. Pembangunan bermuara para peningkatan kehidupan dan
kesejahteraan, baik dari sisi material maupun nonmaterial. Bagi Bangsa Indonesia, proses
pembangunan adalah aktivitas terencana untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu antara lain untuk memajukan kesejahteraan
umum, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Indikator kesejahteraan tidak hanya terbatas
pada aspek ekonomis dan materialistis, melainkan juga menyangkut aspek keharmonisan,
kebersamaan, dan integrasi hidup berbangsa secara bermartabat yang ditandai oleh adanya
solidaritas yang prima. Berkenaan dengan itu, perlu dipertimbangkan implementasi teori-teori
komunikasi sosial budaya dalam proses pembangunan.
PENDAHULUAN
Pembangunan adalah suatu proses yang dilakukan secara terus menerus pada suatu
wilayah dari waktu ke waktu dalam rangka mencapai peningkatan kehidupan dan
kesejahteraan, baik dari sisi material maupun non material. Bagi Bangsa Indonesia, proses
pembangunan adalah aktivitas terencana untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945, yaitu antara lain untuk memajukan kesejahteraan
umum. Indikator kesejahteraan tidak hanya terbatas pada aspek ekonomis dan materialistis,
melainkan juga menyangkut aspek keharmonisan dan kebersamaan hidup berbangsa secara
bermartabat. Kondisi bangsa Indonesia yang berbhinneka dalam banyak hal, terutama pada
aspek budaya dan adat istiadat perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar perbedaan itu
menjadi potensi yang secara sinergis saling melengkapi. Sementara itu keberhasilan proses
pembangunan memerlukan dukungan dari berbagai pihak.
INFORMASI
Salah satunya adalah memanfaatkan berbagai jenis media massa dalam proses
pembangunan. Media massa mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat. Fungsi media massa sangat menentukan dalam penyebarluasan informasi,
pencerahan, dan peningkatan wawasan terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Sejalan
dengan tingkat perkembangan teknologi komunikasi yang kian pesat, maka terbuka peluang
untuk mengoptimalkan fungsi media massa untuk mendukung pembangunan bangsa. Hal ini
disebabkan ketersediaan media massa semakin memadai, baik secara kuantitas maupun
kualitas. Terlebih ketika media daring (online) sudah berkembang pesat, maka akan
mendukung kinerja media massa cetak dan elektronik. Beberapa studi dalam kajian
komunikasi pembangunan menunjukkan bahwa media dapat menunjang suksesnya
pembangunan. Locker (2004: 246) mengatakan media massa sebagai lembaga sosial dalam
operasionalnya menunjukkan peran sebagai agen pembangunan, yaitu sebagai media
informasi, edukasi, dan hiburan dalam rangka mendukung proses pembangunan bangsa.
Seiring semakin pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, maka pemanfaatan media
komunikasi massa menjadi semakin besar. Media televisi, radio, surat kabar, bahkan internet
menjadi sarana menyampaikan pesan-pesan pembangunan kepada masyarakat. Media yang
semakin canggih amat memungkinkan mengemas pesan pembangunan menjadi semakin
kreatif dan menarik, dan menyebarkan informasi secara merata sehingga dapat menggugah
dan meningkatkan partisipasi masyarakat. Hasil penelitian Ali Murtadha (2009: 206)
menunjukkan, sistem informasi pemerintah dan media massa mempunyai peran yang penting
untuk mensukseskan pembangunan. Sistem informasi yang baik, bisa menciptakan kesatuan
gerak dan langkah antar lembaga/dinas, antardaerah, untuk mencapai tujuan. Sistem
informasi yang baik memungkinkan program-program dan kegiatan yang dilakukan
pemerintah bisa direspon oleh masyarakat sehingga bisa meningkatkan partisipasi
masyarakat. Masyarakat memiliki kebutuhan dan motif beraneka ragam berdasarkan
karakteristiknya sosialnya. Blumler, Katzdan Gurevitch membuat tipologi kebutuhan
manusia yang berhubungan dengan penggunaan media yakni: kebutuhan kognitif, afektif,
integratif pesan, integratif sosial dan kebutuhan akan pelarian. Budiman (2011: 11)
menjelaskan, berbagai kebutuhan masyarakat ini dapat terpenuhi dan dipuaskan melalui
media massa dan sumber lain. Melalui sumber lain, yakni kebutuhan ini terpenuhi dengan
informasi dari pemerintah, hubungan keluarga, teman, komunikasi interpersonal, maupun
mengisi waktu luang dengan berbagai cara.
Pendapat senada juga dikemukakan Rochayat Harus dan Elvinaro Ardianto bahwa
masyarakat Indonesia adalah tipe masyarakat yang bersifat plural. Di dalam masyarakat,
berkembang motif dan kebutuhan yang beragam, menimbulkan arah perbuahan sosial yang
dinamis, sehingga komunikasi di masyarakat juga harus mempunyai basis toleransi. Integrasi
atau persatuan bangsa, pada masa perjuangan kemerdekaan adalah merupakan faktor kunci
yaitu sebagai sumber semangat, motivasi, dan penggerak perjuangan Indonesia. Hal itu
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Dan perjuangan pergerakan
Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur“. Persatuan dan kesatuan sangat penting bagi
pembangunan bangsa karena melalui hal itu, bangsa tersebut dapat dengan mudah mencapai
kemajuan. Dalam konteks mewujudkan masyarakat Indonesia yang integratif, maka proses
pembangunan harus senantiasa mengedepankan nilai-nilai substansial dalam upaya
pemberdayaan potensi masyarakat guna mewujudkan toleransi dan rasa saling menghargai.
Komunikasi dan interaksi antar anak bangsa juga perlu menjunjung tinggi toleransi atas
berbagai perbedaan budaya. Proses komunikasi yang menghormati ke bhinnekaan merupakan
nafas yang menggerakkan kesadaaran membangun seluruh potensi kekuatan bangsa. Tanpa
komitmen toleransi itu, diduga akan membuka peluang terjadinya ekses-ekses destruktif
dalam masyarakat. Integrasi bangsa Indonesia yang kita rasakan saat ini terjadi dalam proses
yang dinamis dan berlangsung lama karena persatuan dan kesatuan bangsa terbentuk dari
proses yang tumbuh dari unsur-unsur sosial budaya masyarakat Indonesia sendiri, yang
ditempa dalam jangkauan waktu yang lama. Unsur unsur sosial budaya itu antara lain sifat
kekeluargaan dan jiwa gotong-royong. Kedua unsur itu merupakan sifat-sifat pokok bangsa
Indonesia yang dituntun oleh asas kemanusiaan dan kebudayaan. Masuknya kebudayaan dari
luar melalui proses akulturasi (percampuran kebudayaan), misalnya kebudayaan Hindu,
Islam, Kristen, dan unsur-unsur kebudayaan lain yang beraneka ragam telah mendorong
dinamika kekayaan budaya bangsa. Sikap toleransi harus selalu dipelihara agar interaksi
sosial berlangsung secara dinamis dengan saling menghargai. Dengan toleransi yang baik,
maka perbedaan budaya dapat diolah menjadi sumberdaya dalam mewujudkan proses
komunikasi yang humanis, bermartabat, kekeluargaan, dan mengedepankan musyawarah.
Perbedaan latar belakang budaya, seringkali menjadi kendala dalam proses komunikasi. Hal
ini disebabkan adanya ukuran nilai baik–buruk, dan benar-salah yang berbeda. Untuk
mengatasi kendala tersebut, dapat dilakukan dengan proses adaptasi dan toleransi yaitu
penyesuaian dan penghargaan terhadap nilai-nilai sosial budaya yang berbeda.
PEMBAHASAN
Komunikasi Sosial Budaya Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat
heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa,
adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini
dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah
“desa dunia” (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari
perkembangan teknologi modern, khususnya teknologi komunikasi. Dengan teknologi
komunikasi interaksi dan pertukaran informasi menjadi mudah dan cepat. Kendala geografis
sudah tidak menjadi persoalan. Setiap orang dengan mudah mengakses informasi yang
asalnya dari berbagai tempat di berbagai belahan dunia. Berbarengan dengan pertukaran
informasi tersebut, terjadi pula proses pertukaran nilai-nilai sosial budaya. Oleh karenanya
masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks
keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi akan melibatkan
orang-orang dari berbagai latar belakang sosial budaya. Dalam berkomunikasi dengan
konteks keberagaman latar belakang sosial budaya, seringkali menemui masalah atau
hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan
bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Tema
pokok yang membedakan studi komunikasi sosial budaya dari studi komunikasi lainnya ialah
derajat perbedaan latar belakang, pengalaman sosial budaya antara komunikator dan
komunikan. Sebagai asumsi dasar adalah bahwa di antara individu-individu dengan
kebudayaan yang sama umumnya terdapat kesamaan (homogenitas) yang lebih besar dalam
hal latar belakang pengalaman secara keseluruhan dibandingkan dengan mereka yang berasal
dari kebudayaan berlainan. Perbedaan-perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi
ini serta perbedaan lainnya, seperti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi
permasalahan inheren dalam proses komunikasi. Dengan sifatnya yang demikian,
komunikasi sosial budaya dianggap sebagai perluasan dari bidang-bidang studi komunikasi
manusia, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.
INFORMASI
(1) adat istiadat (folkways), misalnya cara makan dan cara berpakaian;
(3) hukum (law) yakni sistem aturan tertulis dan perlanggarnya bisa dipenjarakan. Norma
sosial budaya adalah ketentuan baik dan buruk yang dipakai sebagai acuan manusia dalam
berinteraksi di lingkungan sosial budaya. Apabila tindakan sesuai dengan norma sosial
budaya, maka tindakan itu dikategorikan baik. Norma sosial budaya tersebut merupakan
kesepakatan yang telah dibakukan atau dilembagakan. Norma sosial budaya dapat diganti
dengan norma yang baru, apabila didukung oleh kesepakatan yang baru pula. Norma sosial
budaya yang telah berjalan dalam waktu yang cukup lama, menjelma menjadi adat istiadat
atau tradisi. Ada satu budaya adat orang Jawa yang terkenal yaitu budaya mangan ora
mangan waton ngumpul. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa orang Jawa menghargai
pentingnya hidup rukun, persahabatan, pergaulan, atau perjumpaan antar manusia. Adanya
adat istiadat yang tidak tertulis ini, menjadi sebab mengapa orang Jawa pada umumnya hidup
tenang dan bebas dari ketegangan. Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kesempatan
digunakan untuk memelihara silahturami di antara kerabat maupun kawan. Berkunjung ke
tempat saudara atau teman lama tidak pernah dilewatkan, apalagi bila sudah lama tidak
bertemu. Mengunjungi teman atau tetangga yang kesusahan selalu diusahakan. Melawat
kenalan yang mengalami musibah atau orang meninggal merupakan kewajiban tak tertulis.
Ada lagi norma sosial budaya yang sejalan, yaitu “tuna satak bathi sanak”. Artinya rugi harta
tetapi untung dapat saudara. Memang untuk menjalin silaturahmi itu diperlukan biaya. Untuk
mudik lebaran juga diperlukan biaya yang cukup besar. Tetapi hal itu tidak menjadi masalah,
tidak masalah rugi harta, karena dari silaturahmi itu akan memperoleh keuntungan yang lebih
besar nilainya, yaitu sanak, atau saudara, atau terbinanya ikatan famili, silaturahmi, dan
integrasi sosial. Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi sosial budaya adalah merupakan
jenis komunikasi yang sangat dominan, frekuensi terjadinya sangat tinggi. Mengapa? Karena
peluang berinteraksi dengan orang berbeda latar belakang sosial dan budaya memang sangat
besar. Komunikasi antara orang yang berbeda usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi,
agama, afiliasi politik, dan sebagainya akan selalu terjadi. Contoh komunikasi sosial budaya
sebagai berikut,bahwa kontak mata dianjurkan selama berkomunikasi di Medan. Ini adalah
nilai budaya yang dijunjung tinggi di sana. Bila orang berbicara kepada penduduk Medan
dengan menghindari kontak mata, maka ia dianggap menyembunyikan sesuatu atau tidak
berkata benar, dan juga dianggap tidak mengindahkan etika. Coba bandingkan dengan nilai
sosial budaya di Jawa, justru ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua dianjurkan
untuk menunduk dan tidak menatap langsung ke wajahnya. Bahasa dapat terjadi dalam area
baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit,
multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar
akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan,
dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak
menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik
perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa
tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah.
Khususnya, bahasa nonverbal, isyarat atau simbol yang digunakan memiliki makna yang
tidak sesuai dengan yang kita ketahui selama ini. Misalnya untuk memberitahukan adanya
suasana berkabung ada masyarakat yang menggunakan bendera warna putih (Yogyakarta),
merah (Surakarta), kuning (Jakarta), hitam (Jawa Timur). Pada hakikatnya komunikasi sosial
budaya menjunjung tinggi asas kesetaraan dan keterbukaan meskipun berbeda latar belakang
sosial budayanya. Bahkan adanya perbedaan latar belakang sosial budaya harus disikapi
secara arif sehingga tidak timbul kesenjangan, tetapi justru dapat memperkaya pengalaman.
Implementasi Teori Komunikasi Sosial Budaya Setiap manusia hidup dalam suatu
lingkungan sosial budaya tertentu. Setiap lingkungan sosial budaya itu senantiasa
memberlakukan adanya nilai-nilai sosial budaya yang diacu oleh warga masyarakat
penghuninya. Dengan demikian pola perilaku dan cara berkomunikasi akan diwarnai oleh
keadaan, nilai, kebiasaan yang berlaku di lingkungannya. Melalui suatu proses belajar secara
berkesinambungan setiap manusia akan menganut suatu nilai yang diperoleh dari
lingkungannya. Nilai-nilai itu diadopsi dan kemudian diimplementasikan dalam suatu bentuk
“kebiasaan”, yaitu pola perilaku hidup sehari-hari. Dengan demikian pola perilaku seseorang
dalam berkomunikasi dengan orang lain, akan dipengaruhi oleh nilainilai yang diperoleh dari
lingkungan sosial budayanya. Oleh karena setiap individu memiliki lingkungan sosial budaya
yang saling berbeda dengan yang lain, maka situasi ini menghasilkan karakter sosial budaya
setiap individu bersifat unik, khusus, dan berbeda dengan orang lain. Meskipun berasal dari
keluarga yang sama, karakter seseorang tidaklah sama persis dengan anggota keluarga
lainnya karena lingkungan sosial tidak terbatas pada keluarga, melainkan mencakup teman
sebaya, masyarakat, sekolah, media massa, dan sebagainya. Budaya dan komunikasi tak
dapat dipisahkan oleh karena budaya tidakhanya menentukan siapa bicara dengan siapa,
tentang apa, dan bagaimana orangmenyandi pesan, tetapi juga makna yang ia miliki untuk
pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.
Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat
kitadibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya
beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi. Implementasi teori
komunikasi sosial budaya diharapkan dapat mengembangkan tanggung jawab sosial. Prisip-
prinsip komunikasi sosial budaya perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari agar
tercipta keharmonisan dan integrasi berbangsa. Pada dasarnya semua komponen masyarakat
perlu memahami prinsip-prinsip komunikasi sosial budaya, namun salah satu pihak yang
dipandang memiliki posisi strategis adalah para pengelola media, para pemuka pendapat, dan
komponen sumber informasi lainnya. Dengan menerapkan teori komunikasi sosial budaya,
sumber informasi dan pengelola media dapat terpandu untuk mencintai kebajikan dan
kebenaran. Mengedukasi masyarakat dengan konten informasi yang dikemas secara
independen dan transparan, mengutamakan kebenaran, dan menghargai perbedaan latar
belakang sosial budaya. Tujuan kajian tentang komunikasi sosial budaya adalah untuk
mengantarkan kepada suatu kompetensi pengetahuan bahwa perbedaan latar belakang sosial
budaya dapat mengakibatkan kurang efektifnya proses komunikasi. Dengan studi ini tidak
hanya menekankan bagaimana orang yang saling berbeda latar belakang sosial budaya dalam
berbicara, tetapi bagaimana mereka bertindak antarorang dan bagaimana mereka mengikuti
aturan-aturan terselubung yang mengatur perilaku anggota masyarakat yang memiliki acuan
nilai sosial dan budaya saling berbeda. Dengan menerapkan prinsip komunikasi sosial budaya
diharapkan: (a) memahami bagaimana perbedaan latar belakang sosial budaya mempengaruhi
praktik komunikasi; (b) mengidentifikasi kesulitankesulitan yang muncul dalam komunikasi
sosial budaya; (c) meningkatkan keterampilan verbal dan nonverbal dalam berkomunikasi
sehingga mampu berkomunikasi efektif. Interaksi sosial di masyarakat merupakan suatu
bentuk komunikasi yaitu komunikasi antaindividu, anarkelompok, antarmasyarakat. Di dalam
komunikasi tersebut terdapat pembentukan (transformasi) dan pengalihan (transfer)
pengetahuan, keterampilan ataupun sikap dan nilai dari komunikator (pemuka pendapat,
pengelola media, indivudu) kepada komunikan (individu dan masyarakat) sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya komunikasi sosial budaya menjunjung tinggi
asas kesetaraan antara komunikator dan komunikan. Bahkan adanya perbedaan latar belakang
budaya antara komunikator dan komunikan harus disikapi secara arif sehingga tidak timbul
kesenjangan, tetapi justru dapat memperkaya pengalaman. Berdasarkan prinsip memaklumi
perbedaan latar belakang sosial budaya ini, maka implementasinya dalam proses komunikasi
dapat diuraikan berikut ini. Pertama, setiap individu memiliki nilainilai sosial budaya dan
berhak menggunakan nilai-nilai itu.Dalam hal ini komunikator dan komunikan yang saling
berbeda latar belakang budaya, harus bisa saling menghargai. Apabila terjadi perbedaan
penafsiran dan pemaknaan atas lambang-lambang tertentu, hal itu harus dimaklumi dan
dipergunakan sebagai awal untuk saling berbagi pengetahuan sehingga di kemudian hari
dapat dilakukan komunikasi yang efektif, yang ditandai oleh adanya kesamaan pengalaman
dalam memberi arti simbol-simbol oleh komunikator dan komunikan. Kedua, seting interaksi
sosial mengikuti pola komunikasi horizontal dua arah, bukan vertikal satu arah. Seting
horizontal, artinya posisi pihak-pihak yang berkomunikasi adalah sejajar. Komunikasi dua
arah, berarti komunikator mesti membangun sistem komunikasi dua arah dengan, sehingga
proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses ”berbagi”. Ketiga, empati merupakan
kaidah emas untuk mengatasi ancaman kegagalan berkomunikasi.Kaidah emas
mengasumsikan bahwa semua orang itu sama dalam hal memiliki perasaan. Semua orang
adalah sama dalam hal: ingin memperoleh kesenangan, keselamatan, keberhasilan,
kenyamanan, dan sebagainya. Dengan kata lain, kalau kita melakukan suatu tindakan, kita
harus selalu ingat, kalau kita tidak suka dipermalukan, maka semua orang juga sama: tidak
berkenan apabila dipermalukan. Oleh karena itu empati sangat penting untuk dikembangkan
dalam proses komunikasi di masyarakat. Empati adalah memposisikan diri pada posisi orang
lain. Empati menggambarkan pergeseran perspektif dari kita pada pengalaman orang lain
yang berbeda. Pergeseran perspektif ini seringkali disertai dengan kesediaan berpartisipasi
dalam pengalaman orang lain, paling tidak berperilaku yang sesuai dengan pengalaman itu.
Keempat, proses komunikasi tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mendidik
nilai-nilai sosial budaya. Untuk mewujudkan komunikasi yang bermakna bagi pengembangan
manusia seutuhnya, maka dalam pertukaran informasi tidak hanya bermaksud transfer
pengetahuan, tetapi juga transfer nilai-nilai sosial budaya. Kelima, perlunya memahami
karakteristik komunikan dan berusaha menyesuaikan cara berkomunikasi dengan
karakteristik komunikan tersebut. Komunikator yang baik seyogyanya memahami
karakteristik komunikannya agar ia sukses dalam melaksanakan perannya. Keenam,
komunikasi sosial budaya sebagai proses pertukaran informasi secara terbuka.Komunikasi
secara terbuka diindikasikan oleh adanya peluang yang sama dari komunikator dan
komunikan untuk menyampaikan gagasan. Kefektifan komunikasi yang didesain secara
terbuka tersebut tergantung dari kedua belah pihak, namun, karena komunikator yang
memegang kendali maka tanggungjawab terjadinya komunikasi yang sehat, terbuka dan
efektif terletak di tangan komunikator.
SIMPULAN
Integrasi bangsa adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya kondisi yang harmonis,
nyaman, teratur, dan saling solider meskipun dihadapkan pada berbagai
Abstrak
Pendahuluan
Berdasarkan fenomena yang diperoleh, objek penelitian ini adalah hambatan komunikasi
antarbudaya yang terjadi di antara dua pihak subjek penelitian ini, yakni dosen native asal
China dengan mahasisiswa Indonesia etnis Tionghoa program studi Sastra Tionghoa
Universitas Kristen Petra. Mayoritas mahasiswa dalam lokasi penelitian ini adalah mahasiswa
Indonesia beretnis Tionghoa. Mahasiswa batasan penelitian ini memiliki persamaan kultural
dengan dosen native asal China, yang mana mereka selaku etnis Tionghoa tidak hanya
menerima nilai-nilai yang berlaku di Indonesia, tetapi juga nilai-nilai selaku etnis Tionghoa,
yang mana nilai ke-Tionghoaan tersebut berasal dari leluhur mereka yang berasal dari daratan
China. Hal inilah yang membuat penelitian ini menarik untuk diteliti. Penelitian sebelumnya
hanya pernah membahas mengenai hambatan komunikasi antarbudaya yang kedua
partisipannya berasal dari orang yang tidak „mengenal‟ budaya satu sama lain secara
mendalam. Penelitian dengan judul ”Hambatan Komunikasi Antarbudaya antara mahasiswa
Jepang dengan Mahasiswa Indonesia Program Manajemen Kepariwisataan Universitas
Kristen Petra” dilakukan oleh Adhitya Perkasa Liemanto pada tahun 2010, dan “Hambatan
Komunikasi Antarbudaya Jemaat Korea dengan Jemaat Indonesia di Gereja Korea Indonesia”
yang dilakukan oleh Felicia Pratomo pada tahun 2009. Berbeda dengan kedua penelitian
tersebut, dalam kasus komunikasi penelitian ini salah satu partisipan (mahasiswa Indonesia)
tak hanya mempelajari dan masih dapat menggunakan bahasa lawan bicara (bahasa
Mandarin) namun juga secara latar belakang historis memiliki persamaan budaya yang mana
mereka adalah keturunan Tionghoa yang memiliki leluhur yang berasal dari China sehingga
mereka mendapat penanaman nilai selaku etnis Tionghoa serta nilai-nilai yang berlaku di
Indonesia. Komunikasi antarbudaya dalam kelas dengan efektif antara dosen native asal
China dengan mahasiswa Indonesia ini dapat dikatakan penting karena hal ini berpengaruh
pada efektivitas proses belajar-mengajar yang ada. Mahasiswa Indonesia etnis Tionghoa
seharusnya telah mempelajari bahasa dan budaya China, serta dapat berkomunikasi secara
semantik. Namun pada fenomena yang ditemukan oleh peneliti, dapat dilihat adanya gejala-
gejala hambatan komunikasi saat mereka menggunakan verbal maupun nonverbal tersebut
untuk tidak hanya saling bertukar makna, tetapi juga dalam proses belajar mereka.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perlu diketahui bagaimana
hambatan komunikasi antarbudaya antara dosen native asal China dengan mahasiswa
Indonesia program studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra.
Tinjauan Pustaka
Dalam komunikasi antarbudaya, reaksi negatif dan evaluatif individu terhadap sebuah budaya
dapat menciptakan hambatan komunikasi (Novinger, 2001, p.23). Evaluasi yang bersifat
negatif menyebabkan adanya ketidaksukaan dan penghindaran. Hal ini terjadi karena budaya
„asing‟ dipandang „menyimpang‟ atau „berbeda‟ dari norma yang kita anut. Hambatan
komunikasi tersebut terjadi di antara dua budaya dan bersifat satu arah, yang mana hal ini
mencerminkan adanya ketidakmampuan untuk memahami norma dari budaya yang berbeda
(budaya asing). Hambatan ini juga tidak selalu bersifat timbal balik. Sebuah perbedaan
budaya (bersifat tunggal) dapat pula menjadi hambatan bila melanggar salah satu nilai inti
komunikator. Tracy Novinger (2001, p.23) mengemukakan bahwa hambatan komunikasi
antarbudaya dapat dibagi dalam tiga jenis, yakni hambatan persepsi, hambatan verbal dan
hambatan nonverbal. Beberapa jenis hambatan persepsi yang dikemukakan oleh Tracy
Novinger (2001, p.31) adalah wajah (face), nilai (values), dan pandangan dunia (worldview).
Wajah (face) merupakan nilai atau pertahanan seseorang terhadap pandangan di depan orang
lain (Novinger, 2001, p.31). Hal ini menyangkut bagaimana seseorang ingin orang lain
melihat terhadap dirinya, yang dipengaruhi dari interaksi sosial, dan lain sebagainya,
sehingga hal ini bisa diperoleh atau bisa hilang (Samovar, Porter & McDaniel, 2010, p.259).
Adanya perbedaan nilai juga salah satu yang memengaruhi munculnya hambatan persepsi
dalam komunikasi antarbudaya. Termanisfestasi tidak hanya pada dogma, tetapi juga pada
pola kehidupan dan pandangan hidup. Ferraro (dalam Samovar, Porter & McDaniel, 2010,
p.29) juga mengungkapkan bahwa pengaruh agama dapat dilihat dari jalinan semua budaya,
karena hal ini bersifat dasar. Nilai agama ini juga berpengaruh pada cara pandang
(worldview) seseorang (Samovar, Porter & McDaniel, 2010, p.29). Cara pandang
(worldview) meliputi bagaimana orientasi budaya terhadap Tuhan, alam, kehidupan,
kematian dan alam semesta, arti kehidupan dan keberadaan.
Sikap (attitude) juga salah satu bagian yang termasuk dalam mempengaruhi persepsi. Sikap
merupakan ranah psikologis yang secara jelas memengaruhi perilaku dan menyimpangkan
persepsi (Novinger, 2001, p.42). Sikap akan menyebabkan interpretasi dari kejadian, yang
mana hal ini bersifat mempengaruhi persepsi. Sikap mencakup aspek kognitif dan afektif
(Ting-Toomey, 2005, p.16). Aspek kognitif merujuk pada keinginan untuk menahan pendapat
yang bersifat etnosentris dan kesiapan untuk mempelajari mengenai isu perbedaan lintas
budaya dengan pandangan terbuka (Ting-Toomey, 2005, p.16). Sedangkan aspek afektif
merujuk pada komitmen emosional untuk terlibat dalam partisipasi perspektif kultural, dan
pengembangan rasa empati dalam memahami perbedaan kelompok kultural.
Metode
Konseptualisasi Penelitian Metode yang dipakai di dalam penelitian ini adalah metode
studi kasus. Cresswell (2007, p.95) juga mengemukakan bahwa studi kasus memiliki fokus
untuk mengembangkan deskripsi yang mendalam dan analisis dari sebuah kasus atau kasus-
kasus. Dalam penentuan apakah suatu kasus menggunakan metode studi kasus, Cresswell
mengemukakan bahwa apabila kasus memliki batasan-batasan yang jelas, serta kejelasan
konteks dalam mendeskripsikan setting atau situasi dari kasus. Studi kasus digunakan bila
peneliti membutuhkan penyusunan atau kesatuan informasi tentang kasus untuk menyediakan
gambaran mendalam (Cresswell, 2007, p.95). Teknik pengumpulan data yang utama dalam
metode studi kasus adalah dengan wawancara dan observasi (Mulyana, 2002, p.204).
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah proses komunikasi antarbudaya yang terjadi di antara dua
unit analisis, yakni dosen native asal China dengan mahasisiswa Indonesia etnis Tionghoa
program studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra. Informan dosen native asal China
dalam penelitian ini adalah individu yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) yang
berasal dari China daratan, memiliki bahasa ibu bahasa Mandarin, terdaftar sebagai dosen
native di program studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra selama minimal 1 tahun,
namun tidak tinggal menetap dan tidak menikah dengan orang Indonesia. Dalam penelitian
ini digunakan dua individu dosen native asal China, yakni M dan Y. Sedangkan informan
mahasiswa Indonesia dalam penelitian ini adalah individu yang terdaftar sebagai mahasiswa
dan telah belajar di program studi Sastra Tionghoa Universitas Kristen Petra, merupakan
Warga Negara Indonesia (WNI) yang beretnis Tionghoa, pernah atau sedang diajar oleh
dosen native asal China selama masa perkuliahan di UK Petra, dan sedang mengambil mata
kuliah untuk semester empat.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan proses analisis data yang sesuai dengan pendekatan kualitatif
(Miles, 2007, p.16-21), yakni reduksi data, penyajian data (menyajikan informasi dengan
kategorisasi) dan menarik kesimpulan dan verifikasi.
Temuan Data
Hambatan Persepsi
Hambatan Nilai: (Agama dan Worldview) M berkata bahwa terdapat perbedaan nilai antara
dirinya dengan mahasiswanya. M merupakan atheis dan mahasiswa Indonesia memiliki
agama.M berkata bahwa perbedaan ini dapat menjadi potensi masalah saat ia menyampaikan
pelajaran (M, personal conversation, March 19, 2013). M berkata bahwa baginya perbedaan
agama dapat memunculkan beberapa masalah yang mana saat apa yang ia ajarkan, yang
berasal dari China berkontradiksi dengan agama para mahasiswa akan menimbulkan masalah.
Misalnya, memberikan materi yang berkenaan dengan teori evolusi saat ia mengajar, maka
para mahasiswa Indonesia mungkin tidak dapat menerimanya. Hal demikian diperhatikan
oleh M saat menyampaikan pelajaran. Meskipun M memerhatikan hal-hal yang
berkontradiksi dengan agama mahasiswa, hal ini dapat secara tidak sengaja muncul
(observasi Senin, 18 Maret 2013), yakni saat M menjelaskan mengenai sifat khusus dan
umum kata. Saat itu M memberi contoh di kelas, dengan menggunakan kata „orang‟. M
mengungkapkan bahwa salah satu sifat umum dari manusia adalah sesuatu yang bisa sakit,
bisa bekerja dan merupakan salah satu jenis binatang. Sedangkan sifat khusus manusia adalah
saat kita membicarakan orang yang lebih spesifik. M memberikan contoh tersebut untuk
beberapa kali dan mengulang-ulang. Saat peneliti menanyakan hal ini pada mahasiswa
informan, L tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia merasa biasa saja saat mendengar hal
tersebut. Namun B dan R mengemukakan bahwa bagi mereka hal itu cukup aneh dan
membuatnya tidak nyaman, karena menurutnya manusia bukanlah bagian dari binatang dan
hal tersebut dirasa melanggar nilai agama yang mereka anut selaku Kristiani dan
memengaruhi mahasiswa Kristiani untuk percaya dengan teori evolusi (B dan R, personal
conversation, May 15, 2013). Hambatan Sikap (Attitude): Gaya Pembelajaran Relasional
(Relational Style for Learning) Dalam wawancaranya, Y mengungkapkan bahwa mayoritas
mahasiswa di Indonesia tidak dapat belajar secara mandiri, dan membutuhkan dorongan dari
dosen baru mereka mau belajar yang mana jika tidak didorong maka mahasiswa tersebut
tidak akan mempedulikan apapun (Y, personal conversation, March 25, 2013). Y
mengemukakan bahwa ia mendorong para mahasiswa dengan mengulang-ulang tugas yang ia
berikan (Y, personal conversation, April 30, 2013) Y pun juga mengakui bahwa ia juga
berharap mahasiswanya dapat aktif. Y berkata bahwa yang dipelajari oleh mahasiswanya
adalah bahasa dan pelajaran percakapan, sehingga, Y pun berharap agar mahasiswa berlatih
berbicara menggunakan bahasa Mandarin dan bersikap aktif di kelas (Y, personal
conversation, April 30, 2013). Y melihat kecenderungan mahasiswa Indonesia yang lebih
bersifat pasif daripada aktif ini, berpersepsi bahwa mahasiswa tidak mampu mengekspresikan
pendapat. Y juga mengemukakan bahwa mahasiswa di China saat ini, bila mereka memiliki
pendapat atau ide, mereka dapat langsung mengemukakannya. Sedangkan pihak mahasiswa
Indonesia, informan L mengungkapkan bahwa ia sendiri tidak terbiasa untuk mengungkapkan
pendapatnya secara langsung, maupun langsung bertanya di dalam kelas. L menjelaskan lebih
lanjut bahwa di pendidikan sebelumnya, yakni SMP dan SMA ia ditanamkan bahwa jika
murid bertanya di tengah pelajaran sering mengungkapkan pendapatnya akan dipersepsi
banyak mulut, dan bila murid sering bertanya di tengah pelajaran akan dipersepsi tidak
pandai. Karenanya, L terbiasa untuk bersikap pasif saat pelajaran berlangsung (L, personal
conversation, May 15, 2013).
Saat dosen native Y melihat mahasiswa Indonesia yang jarang mengkomunikasikan pendapat
jika tidak ditanya satu persatu, maka ia mengkomunikasikan pertanyaan yang lebih
mendalam atas setiap komentar dari para mahasiswanya. Karena hal tersebut maka ia
memilih untuk mengajak mahasiswa untuk berpikir lebih dalam atas komentar mahasiswa
tersebut dengan memberikan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
oleh mahasiswa. Tak hanya itu, karena konteks kelas tersebut adalah pelajaran percakapan
yang mana penilaian mahasiswa bergantung pada keaktifan mereka di kelas dalam
menggunakan bahasa Mandarin, sedangkan mahasiswa cenderung sangat diam, maka Y harus
melontarkan pertanyaan pada mahasiswanya satu persatu untuk memberikan komentar. Y
berkata bahwa hal ini membuat target pelajaran menjadi tidak selesai dan harus dilanjutkan
pertemuan berikutnya. Hambatan Sikap (Attitude): Gaya Motivasi Budaya (Cultural
Motivation Style) Dosen native M mengungkapkan bahwa selama ia mengajar, ia melihat
perilaku belajar dari mahasiswa Indonesia etnis Tionghoa yang membuatnya merasa bahwa
mahasiswa di Indonesia tidak memiliki hasrat atau motivasi yang kuat dalam belajar. M
mengemukakan bahwa mahasiswa Indonesia etnis Tionghoa tidak menyukai tugas, saat
pelajaran terlihat tidak begitu bersemangat, agak malas, tidak memiliki banyak pemikiran,
dan seperti tidak ada tuntutan (M, personal conversation, March 19, 2013). M yang melihat
perilaku yang demikian, mengaku bahwa hal tersebut menimbulkan persepsi dalam dirinya
bahwa mahasiswa di Indonesia tidak memiliki hasrat atau motivasi belajar yang tinggi dalam
mempelajari bidangnya sendiri (M, personal conversation, March 19, 2013). M menjelaskan
bahwa di negara asalnya, mahasiswa tidak hanya berfokus untuk belajar saja dan
mementingkan nilai yang tinggi, namun mereka juga berusaha untuk mempelajari hal-hal
lainnya atau mengusahakan bagaimana caranya agar mereka mendapat pekerjaan yang lebih
baik setelah lulus seperti dengan mencari pengalaman bekerja. Di China, persaingan begitu
ketat, yang mana untuk mendapatkan sebuah posisi atau pekerjaan, perusahaan melakukan
penyaringan yang begitu ketat dan berlapis-lapis. M berkata situasi yang demikian membuat
mahasiswa di China membutuhkan motivasi intrinsik dalam belajar untuk menghadapi
persaingan sosial yang begitu ketat (M, personal conversation, March 19, 2013). Sedangkan
dari pihak mahasiswa, yakni mahasiswa informan L dan B mengemukakan bahwa mereka
sering dimotivasi oleh kedua orangtuanya untuk rajin belajar seperti memberikan nasehat
bahwa mereka harus rajin belajar, agar kelak mereka dapat dengan lebih mudah mencari
pekerjaan. Tak hanya itu, motivasi awal mahasiswa L dan B masuk ke program studi Sastra
Tionghoa merupakan sugesti dari orangtua dan guru BK (L dan B, personal conversation,
May 15, 2013). Adanya persepsi dosen native asal China terhadap mahasiswa Indonesia
terbawa pada saat mereka melakukan komunikasi antarbudaya di dalam kelas. Kejadian yang
dialami salah satu mahasiswa informan R adalah saat mengikuti kelas Bahasa Tionghoa
Modern II yang diajar oleh M. Saat itu, M menunjuk R untuk memberikan contoh kata benda.
Namun R menjawab dengan ‘wo de shu’ (buku milik saya). M berkata bahwa itu adalah
kalimat dan bukan kata. R yang bingung mengapa jawabannya salah pun, bertanya pada
teman di sebelahnya, yakni L. Saat R mempertanyakan mengapa jawabannya salah, M pun
menegur R, sambil mengetuk-ngetuk papan dengan keras berkata ‘Eiii!! Kan zhe li! Ni kan
na li?’ (Heiii! Lihat sini! Kamu lihat mana?). Akhirya setelah mengerti dari penjelasan L
bagian mana dari jawabannya yang salah, R pun meralat jawabannya ‘shu’ (buku). M pun
mengulang kembali bahwa jawaban R yang sebelumnya adalah kalimat dan bukan kata.
Hambatan Verbal
Hambatan Persepsi
Hambatan Nilai: (Agama dan Worldview) Salah satu aspek dari yang menimbulkan adanya
hambatan persepsi adalah adanya perbedaan nilai (values). China merupakan negara
komunis, yang mana secara ketentuan resmi, penduduknya adalah atheis (Ember & Ember,
2001. p. 478). Di daratan China, 59% dari total populasi penduduk tidak memiliki
keanggotaan agama. Situasi keagamaan di negara China ini tercermin dari kalimat yang
dikatakan oleh M, yang mana ia adalah atheis sedangkan mahasiswanya memiliki agama
yang mayoritas adalah Kristiani (M, personal conversation, March 19, 2013). M yang tidak
memiliki agama (atheis), sehingga ia memiliki cara pandang (worldview) yang sesuai dengan
ilmu yang ia pelajari di China, yakni salah satunya adalah teori evolusi. Sedangkan di
Indonesia, semua penduduk memiliki agama, sehingga cara pandang mereka terhadap Tuhan,
alam, dan kehidupan juga berbeda, yakni sesuai dengan agama mereka masing-masing,
mengingat agama berpengaruh pada cara pandang seseorang (Ferraro dalam Samovar, Porter
& McDaniel, 2010, p.121). Dalam kasus ini, mahasiswa di lokasi penelitian mayoritas
beragama Kristen, yang mana doktrin utama mengenai kepercayaan bahwa manusia
diciptakan menurut „gambar dan rupa Allah‟ dan dengan demikian manusia dipandang
berbeda dari hewan (Samovar, Porter and McDaniel, 2010, p.134). Saat dosen native asal
China M mengajar di kelas (berkomunikasi dalam ruang kelas) dan memberikan contoh kata
pada mahasiswa bahwa makna objektif dari kata “manusia” adalah “salah satu jenis
binatang”, maka hal ini berkontradiksi dengan pandangan yang dianut oleh mahasiswa
Indonesia etnis Tionghoa yang beragama Kristiani. Adanya perbedaan nilai agama dan
worldview dalam latar belakang budaya mahasiswa dengan dosen native ini menjadi
hambatan komunikasi saat dosen native M mengkomunikasikan hal-hal yang melanggar nilai
agama dan worldview mahasiswa Indonesia. Saat pesan tersebut dikomunikasikan oleh dosen
native terhadap mahasiswa Indonesia, maka hal ini menjadi ketidaknyamanan dan dirasa
dapat memengaruhi pandangan mahasiswa selaku Kristiani terhadap konsep penciptaan
manusia. Hambatan Sikap (Attitude): Gaya Pembelajaran Relasional (Relational Style for
Learning) Selain adanya hambatan nilai, sikap (attitude) juga salah satu bagian yang
termasuk dalam mempengaruhi persepsi. Sikap merupakan ranah psikologis yang secara jelas
memengaruhi perilaku dan menyimpangkan persepsi (Novinger, 2001, p.42). Sikap akan
menyebabkan interpretasi dari kejadian, yang mana hal ini bersifat mempengaruhi persepsi.
Dalam penelitian ini perilaku budaya belajar mahasiswa Indonesia yang berbeda dengan
budaya belajar dosen native asal China melahirkan persepsi sikap oleh dosen native asal
China terhadap gaya pembelajaran relasional (relational style for learning) mahasiswa
Indonesia, yang kemudian mempengaruhi persepsi tentang gaya motivasi budaya serta
bagaiana mereka berkomunikasi dengan para mahasiswa Indonesia etnis Tionghoa.
Dosen native M dan Y berpersepsi bahwa perilaku belajar yang baik adalah berasal dari
motivasi diri sendiri, dan bersifat mandiri. Hal ini berkaitan dengan gaya pembelajaran
relasional (relational styles for learning). Gaya pembelajaran relasional merujuk pada cara di
mana orang-orang menghubungkan dirinya (Samovar, Porter & McDaniel, 2010, p.412).
Samovar, Porter and McDaniel mengemukakan bahwa saat gaya relasional individual dibawa
ke dalam kelas, maka hal ini akan mempengaruhi komunikasi dan interaksi di kelas. Dalam
kasus penelitian ini, hanya dua aspek dari latar belakang budaya gaya pembelajaran relasional
masing-masing partisipan komunikasi, yakni Ketergantungan/Kemandirian
(Dependence/Interdependence), dan Partisipasi/Pasif (Participation/Passivity). M memiliki
latar belakang budaya yang memandang bahwa gaya relasionalnya dalam belajar adalah
bersifat mandiri (Independence) dan aktif. Berbeda dengan hal tersebut, mahasiswa Indonesia
memiliki gaya pembelajaran relasional yang ketergantungan (Dependence) dan pasif, yakni
murid-murid bergantung pada dukungan, pertolongan, dan pendapat guru mereka. Saat dosen
native Y mengajar di kelas dan mengkomunikasikan materi pelajaran, mahasiswa Indonesia
cenderung tidak menjawab pertanyaan dosen native apabila mereka tidak ditanyai satu per
satu secara personal. Hal ini membuat dosen native menjadi ragu apakah mereka memiliki
motivasi untuk belajar dan perhatian untuk mendengarkan pesan yang disampaikan oleh
dosen native Y. Sikap terhadap gaya pembelajaran relasional mahasiswa yang pasif inilah
yang memengaruhi dosen native Y dalam mengkomunikasikan berulang-ulang pesan yang ia
sampaikan agar mahasiswa memerhatikan penjelasannya dan mengerti pesan tersebut .
Hambatan Sikap (Attitude): Gaya Motivasi Budaya (Cultural Motivation Style) Dosen native
asal China memiliki latar belakang budaya pendidikan di negara asalnya, dimana murid
bersifat mandiri dan memiliki motivasi intrinsik yang tinggi dalam belajar. Mahasiswa
Indonesia memiliki latar belakang budaya pendidikan di negara asalnya, dimana murid
bersifat ketergantungan dan membutuhkan motivasi ekstrinsik dalam belajar (motivasi dari
orang tua ataupun guru). Saat dosen native M tidak menyadari dan menerima perbedaan
budaya ini, ia mempersepsi mahasiswanya malas tidak memiliki motivasi yang tinggi dalam
belajar. Hal ini memengaruhi bagaimana ia mempersepsi mahasiswa R yang salah menjawab
pertanyaannya. Dosen native M mempersepsi R tidak mengerti pertanyaannya dan tidak bisa
menjawab pertanyaan dengan benar karena malas belajar, dan hal ini memengaruhi
emosional M saat berkomunikasi, yang mana ia menegur R dengan nada tinggi dan mengetuk
papan tulis dengan keras saat meminta mahasiswa R untuk menjawab dengan benar
pertanyaan yang ia berikan.
Hambatan Verbal
Hambatan Kompetensi Verbal: Keterampilan Berbahasa Dosen native berasal dari negara
yang memiliki bahasa ibu bahasa Mandarin. Mahasiswa Indonesia, meski adalah etnis
Tionghoa, R dan B tidak diwarisi budaya bahasa Mandarin. Mahasiswa L diwarisi budaya
bahasa Mandarin meski demikian tidak dibiasakan mengucapkan bahasa Mandarin dengan
lafal yang tepat. Kurangnya keterampilan bahasa Mandarin mahasiswa, membuat mereka
kesulitan dalam menyandi dan menyandi balik pesan dalam bahasa Mandarin. Hal ini
terwujud dengan adanya pelafalan, tata bahasa, intonasi dan kosakata yang salah. Hal ini
membuat pesan yang dimaksud mahasiswa berbeda dengan apa yang mereka sandikan
kepada dosen native, dan membuat dosen native kesulitan menyandi balik pesan tersebut.
Hambatan Kompetensi Verbal: Aksen Aksen merupakan variasi dalam pelafalan yang terjadi
ketika orang menggunakan bahasa yang sama (antara penutur native dan non-native). Bahasa
yang dituturkan oleh penutur non-native akan lebih atau kurang dapat dimengerti oleh pihak
native speaker berdasarkan di bagian mana dari pelafalan native speaker yang gagal
diucapkan oleh pihak penutur non-native (Novinger 2001, p.49). R adalah mahasiswa
Indonesia yang mana secara geografis ia lahir dan tumbuh di Indonesia, Surabaya sehingga ia
terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dan Surabaya. Hal ini memengaruhinya dalam
menyandi pesan dalam bahasa Mandarin. Saat ia menyandi pesan dalam bahasa Mandarin,
aksen logat Surabaya pun ditambahkan. Pesan dalam bahasa Mandarin yang telah
ditambahkan aksen Surabaya, diterima oleh dosen native dan membuatnya kesulitan dalam
melakukan penyandian balik pesan yang dimaksud oleh mahasiswa.
Simpulan
Dari paparan pada bab analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa hambatan yang dialami
oleh dosen native asal China antara lain adalah hambatan nilai agama dan worldview,
hambatan persepsi (sikap) terhadap latar belakang budaya pendidikan serta hambatan
keterampilan verbal. Latar belakang budaya pendidikan meliputi gaya pembelajaran
relasional gaya motivasi budaya. Sedangkan dari pihak mahasiswa Indonesia mengalami
hambatan komunikasi yang disebabkan keterampilan bahasa dan perbedaan latar belakang
agama dan worldview. Hambatan keterampilan bahasa maupun hambatan aksen mahasiswa
Indonesia memengaruhi mereka dalam menyandi pesan dalam bahasa Mandarin
menyebabkan persepsi oleh dosen native asal China yang tidak sesuai dengan pesan yang
dikehendaki oleh mahasiswa. Hal ini juga dipersepsi lebih jauh oleh dosen native dengan
menghubungkan hal ini dengan gaya pembelajaran relasional (relational style for learning)
dan gaya motivasi budaya (cultural motivation style) mahasiswa Indonesia yang bersifat
ketergantungan, pasif dan membutuhkan motivasi intrinsik. Persepsi dosen native ini
memengaruhi bagaimana persepsi mereka saat menemukan mahasiswanya kurang terampil
dalam menyandikan pesan dalam bahasa Mandarin. Persepsi dosen native tersebut
memengaruhi bagaimana mereka mempersepsi dan berkomunikasi saat menghadapi
mahasiswa yang tidak terampil berkomunikasi dengan bahasa Mandarin dan kecenderungan
mahasiswa yang bersifat pasif di kelas.
Bila dilihat, mahasiswa Indonesia memang memelajari budaya dan bahasa Tionghoa, namun,
bila mereka tidak diajarkan mengenai komunikasi antarbudaya. Topik komunikasi
antarbudaya menjadi sangat penting bagi mahasiswa program studi Sastra Tionghoa,
mengingat sejak awal perkuliahan mereka akan selalu diajar oleh dosen native asal China dan
kecakapan berkomunikasi antarbudaya sangat dibutuhkan. Akan lebih baik bagi program
studi ataupun keinginan pribadi masing-masing mahasiswa untuk memelajari komunikasi
antarbudaya. Sedangkan dari sisi dosen native asal China, hambatan yang jelas dialami
mereka lebih banyak disebabkan perbedaan latar belakang budaya pendidikan. Karenanya,
akan lebih baik jika program studi Sastra Tionghoa menyediakan training untuk memberikan
informasi mengenai budaya Indonesia. yang lebih dispesifikkan pada budaya nyata
mahasiswa Indonesia etnis Tionghoa. Pengetahuan akan komunikasi antarbudaya juga dapat
diberikan oleh program studi kepada dosen native asal China mengingat karena mereka akan
terus menerus berinteraksi dan berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia etnis Tionghoa.
Daftar Referensi
Cresswell, J.W. (2007). Qualitative inquiry and research design: choosing among five
approaches. United Stated of America : Sage Publications
Ember, M. & Ember, C.R. (2001). Countries and their cultures (Vol. 1, p.466-483). New
York: Macmillan Reference USA (Gale Group)
Samovar, L.A., Porter, R.E & McDaniel E.R. (2010). Komunikasi lintas budaya
(communication between cultures) (Indri Margaretha Sidabalok, Trans.). Jakarta: Penerbit
Salemba Humanika
Abstrak
Manusia diciptakan oleh Allah bukan hanya sebagai makhluk individu akan tetapi juga
sebagai makhluk sosial, oleh karena itu manusia tidak mungkin dapat hidup dengan seorang
diri tanpa adanya orang lain. Hal inilah yang menyebabkan seseorang perlu berkomunikasi
dengan orang lainnya. Dalam konteks kehidupan yang lebih luas lagi, bahwa Allah telah
menciptakan beragam suku, ras, bahasa dan agama yang masing-masing memiliki ragam
budaya yang berbeda-beda, sehingga manusia perlu mengetahui budaya satu dengan yang
lainnya. Dalam komunikasi antarbudaya maka diperlukan suatu sikap yang lebih terbuka
untuk memahami budaya orang lain dan dapat menghargainya untuk tujuan pemenuhan
kebutuhan masyarakat satu dengan yang lainnya yang berbeda-beda. Keyword: Makhluk
sosial, Komunikasi, dan Komunikasi antarbudaya.
Pendahuluan A
Pembahasan B
a) Kata kebudayaan berasal dari kata Sensakerta buddhayah, bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal.
c) Kata culture berasal dari kata Latin colere yang berarti segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.
d) Peradaban dalam istilah Inggris civilization berarti bagian dan unsur kebudayaan yang
halus, maju, dan indah.
4.misalnya bagaimana saling mengawasi; Orang bicara tentang relasi dalam istilah untuk
5.mempertimbangkan dan memperhatikan. Secara garis besar ada beberapa ragam dalam
komunikasi yang sangat penting –yang merupakan pijakan dalam komunikasi antar budaya-,
yaitu sebagai berikut (Wiryanto, 2004: 52):
Komunikasi intrapribadi
1. (intrapersonal communication) yaitu komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang yang
berupa proses pengolahan informasi melalui panca indera dan sistem syaraf manusia.
Komunikasi antarpribadi
a.antarpribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang
budaya. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan.
b.pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis bahkan secara imajiner antara dua orang yang
berbeda latar belakang budaya. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan
c.yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau
model lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.
Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi
d.dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada orang yang berkebudayaan lain.
Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna
e.yangberbentuk symbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.
Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui
saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda danmenghasilkan efek tertentu. Komunikasi antar budaya adalah setiap proses
pembagiang. informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang
budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui
bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain disekitarnya yang
memperjelas pesan. Proses Komunikasi dalam Masyarakat. Sesungguhnya masyarakat itu
memiliki struktur dan lapisan (layer) yang bermacam-macam, ragam struktur dan lapisan
masyarakat tergantung pada kompleksitas masyarakat. Semakin kompleks suatu masyarakat
maka struktur masyarakat itu semakin rumit pula. Kompleksitas masyarakat juga ditentukan
oleh ragam budaya dan proses-proses sosial yang dihasilkannya. Berbagai proses komunikasi
dalam masyarakat terkait dengan struktur dan lapisan (layer) maupun ragam budaya dan
proses sosial yang ada di masyarakat tersebut, serta tergantung pula pada adanya pengaruh
dan khalayaknya, baik secara individu, kelompok ataupun masyarakat luas. Sedangkan
subtansi bentuk atau wujud komunikasi ditentukan oleh:
(6) isi pesan yang disampaikan. Sehubungan dengan itu, maka kegiatan komunikasi dalam
masyarakat dapat berupa komunikasi tatap muka yang terjadi pada komunikasi interpersonal
dan kelompok serta kegiatan komunikasi yang terjadi pada komunikasi massa (Bungin, 2006:
67).
Proses komunikasi individu tak terlepas dari pengaruh kelompok, namun konsep komunikasi
ini hanya melihat apa konten dari komunikasi yang dibangun oleh individu masingmasing.
Hal itu berbeda dengan konsep komunikasi kelompok, di mana kontennya dipengaruhi oleh
motivasi bersama dalam kelompok, tujuan-tujuan yang ingin dicapai, persepsi bersama,
kesan-kesan yang tumbuh dalam kelompok, model kepemimpinan yang dibangun, serta
pengaruh-pengaruh eksternal yang dialami oleh kelompok akan saling mempengaruhi
masing-masing anggota kelompok, termasuk juga terhadap kelompok itu secara keseluruhan
dan sampai pada tingkat tertentu seluruh individu. Komunikasi Antarbudaya di Era Modern
dalam kelompok dan kelompoknya itu akan saling mengontrol atau mengendalikan satu dan
lainnya. Proses-proses yang terjadi di dalam komunikasi kelompok memungkinkan unsur-
unsur kebudayaan, norma sosial, kondisi situasional, tatanan psikologi, sikap mental, konteks
tradisi kultural maupun pengaruh ritual semuanya berproses dan turut menentukan proses-
proses komunikasi (Bungin, 2006: 67). Dengan demikian komunikasi kelompok merupakan
proses yang sistematik dan terstruktur serta membentuk suatu sistem yang terdiri dari
komponen-komponen sistemnya, seperti konteks komunikator, konteks pesan dan konstruksi
ide, konteks pola interaksi, konteks situasional, konteks sikap-sikap individu terhadap
kelompok, dan konteks toleransi yang ada dalam kelompok itu sendiri. Oleh karena itu dalam
memahami komunikasi kelompok, maka yang diperlukan adalah pemahaman tentang budaya,
nilai-nilai, sikap dan keyakinan komunikator, konteksnya, orientasi kultural kelompok, dan
serangkaian faktor psikologis (Bungin, 2006: 69). Komunikasi Antarbudaya di Era Modern.
Kehidupan modern itu ditandai dengan adanya peningkatan kualitas perubahan sosial yang
lebih jelas yang sudah meninggalkan fase transisi (kehidupan desa yang sudah maju).
Kehidupan masyarakat modern sudah kosmopolitan dengan kehidupan individual yang
sangat menonjol, profesionalisme di segala bidang dan penghargaan terhadap profesi menjadi
kunci hubungan sosial di antara elemen masyarakat. Namun di sisi lain sekularisme menjadi
sangat dominan dalam sistem religi dan kontrol sosial masyarakat dan sistem kekerabatan
sudah mulai diabaikan. Anggota masyarakat hidup dalam sistem yang sudah mekanik, kaku,
dan hubungan-hubungan sosial ditentukan berdasarkan pada kepentingan masing-masing
kepentingan masyarakat. Masyarakat modern pada umumnya memiliki tingkat pendidikan
yang lebih tinggi dari masyarakat transisi sehingga memiliki pengetahuan yang lebih luas dan
pola pikir yang lebih rasional dari semua tahapan kehidupan masyarakat sebelumnya,
walaupun kadang pendidikan formal saja tidak cukup untuk mengantarkan masyarakat pada
tingkat pengetahuan dan poal pikir semacam itu. Secara demografis masyarakat modern
menempati lingkungan perkotaan yang cenderung gersang dan jauh dari situasi yang sejuk
dan rindang (Bungin, 2006: 94). Dalam era modern ini muncul dan berkembang berbagai
model dan bentuk dalam komunikasi antarbudaya. Ada beberapa jenis atau model
komunikasi yang menjadi bagian dari komunikasi antarbudaya. Di antaranya adalah sebagai
berikut (Purwasito, 2003:122): Komunikasi internasional (a. International Communications),
yaitu proses komunikasi antara bangsa dan negara. Komunikasi ini tercermin dalam
diplomasi dan propaganda, dan seringkali berhubungan dengan situasi intercultural
(antarbudaya) dan interracial (antarras). Komunikasi internasional lebih menekankan kepada
kebijakan dan kepentingan suatu negara dengan negara lain yang terkait dengan masalah
ekonomi, politik, pertahanan, dan lain-lain. Menurut Maletzke, komunikasi antarbudaya lebih
banyak menyoroti realitas sosiologis dan antropologis, sementara komunikasi antarbangsa
lebih banyak mengkaji realitas politik. Namun demikian, komunikasi internasional
(antarbangsa) pun masih merupakan bagian dari komunikasi antarbudaya. Komunikasi
antarras (b. interracial communication), yaitu suatu komunikasi yang terjadi apabila sumber
dan komunkan berbeda ras. Ciri penting dari komunikasi antarras ini adalah peserta
komunikasi berbeda ras. Ras adalah sekelompok orang yang ditandai dengan ciri-ciri
biologis yang sama. Secara implisit komunikasi antarras ini termasuk ke dalam komunikasi
antarbudaya. Hambatan utama dalam komunikasi antar-ras ini adalah sikap curiga kepada ras
lain. Misalnya orang Jepang berkomunikasi dengan orang Amerika. Komunikasi antaretnis
(c. interethnic communication), yaitu berkaitan dengan keadaan sumber komunikannya, sama
ras/suku bangsa tetapi berbeda asal etnis dan latar Komunikasi Antarbudaya di Era Modern
belakangnya. Kelompok etnik adalah kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal-
usul yang sama. Oleh karena itu komunikasi antaretnik merupakan komunikasi antarbudaya.
Misalnya, komunikasi antara orang-orang Kanada Inggris dengan Kanada Prancis. Mereka
samasama warga negara Kanada, sama rasnya tetapi mempunyai latar belakang, perspektif,
pandangan hidup, cita-cita, dan bahasa yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk komunikasi
antarbudaya adalah meliputi bentuk-bentuk komunikasi lain, yaitu sebagaimana berikut ini
(DeVito, 1997:480) Komunikasi antara kelompok agama yang berbeda. a.Misalnya, antara
orang Katolik Roma dengan Episkop, atau antara orang Islam dan orang Jahudi. Komunikasi
antara subkultur yang berbeda. Misalnya, b.antara dokter dan pengacara, atau antara
tunanetra dan tunarungu. Komunikasi antara suatu subkultur dan kultur yang c.dominan.
Misalnya, antara kaum homoseks dan kaum heteroseks, atau antara kaum manula dan kaum
muda. Komunikasi antara jenis kelamin yang berbeda, yaitu d.antara pria dan wanita.
Komunikasi antarbudaya diartikan sebagai komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh
mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Definisi lain mengatakan bahwa yang
menandai komunikasi antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimanya berasal dari
budaya yang berbeda. Fred E. Jandt sebagaimana dikutip oleh Purwasito mengartikan
komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda
budayanya (intercultural communication generally refers to face-to face interaction among
people of divers culture). Sedangkan Collier dan Thomas yang juga dikutip oleh Purwasito,
mendefinisikan komunikasi antarbudaya “as communication between persons who identity
themselves as distict from other in a cultural sense”(Purwasito, 2003:122). Komunikasi
antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya
adalah anggota suatu budaya yang lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan
kepada masalah-masalah penyandian pesan, di mana dalam situasi komunikasi suatu pesan
disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Komunikasi
antarbudaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna
antara orang-orang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda
bangsa, kelompok ras, atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi
antarbudaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya
berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut
budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, bagaimana cara
mengkomunikasikannya (verbal nonverbal), kapan mengkomunikasikannya (Mulyana, 2004:
xi). Komunikasi antarbudaya merupakan istilah yang mencakup arti umum dan menunjukkan
pada komunikasi antara orang-orang yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Dalam perkembangannya, komunikasi antarbudaya sering kali disamakan dengan
komunikasi lintas budaya (cross cultural communication). Komunikasi lintasbudaya lebih
memfokuskan pembahasannya kepada membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-
budaya berbeda. Misalnya, bagaimana gaya komunikasi pria atau gaya komunikasi wanita
dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Bahwa sesungguhnya esensi yang
membedakan antara komunikasi antarbudaya dengan komunikasi lintas budaya pada
dasarnya adalah sebagaimana sebutan komunikasi lintas budaya yang sering digunakan para
ahli untuk menyebutkan makna komunikasi antarbudaya. Perbedaannya barangkali terletak
pada wilayah geografis (negara) atau dalam konteks rasial (bangsa). Tetapi juga untuk
menyebut dan membandingkan satu fenomena kebudayaan dengan kebudayaan yang lain,
(generally refers to comparing phenomena across cultures), tanpa dibatasi oleh konteks
geografis masupun ras atau etnik. Misalnya, kajian lintas budaya tentang peran wanita dalam
suatu masyarakat tertentu dibandingkan dengan peranan wanita yang berbeda setting
kebudayaannya. Itulah sebabnya komunikasi. Komunikasi Antarbudaya di Era Modern lintas
budaya didefinisikan sebagai analisis perbandingan yang memprioritaskan relativitas kegiatan
kebudayaan, a kind of comperative analysis which priorities the relativity of cultural
activities (Purwasito, 2003:125). Alo Liliweri dalam bukunya yang berjudul “DasarDasar
Komunikasi Antarbudaya”, menjelaskan bahwa komunikasi lintasbudaya ini lebih
menekankan perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta komunikasi
yang berbeda kebudayaan. Pada awalnya studi lintas budaya berasal dari perspektif
antropologi sosial dan budaya sehingga dia lebih bersifat depth description, yakni
penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi berdasarkan kebudayaan
tertentu. Oleh karena itu komunikasi antarbudaya sejatinya lebih luas dan lebih komprehensif
daripada komunikasi lintasbudaya. Penekanan antarbudaya terletak pada orang-orang yang
terlibat komunikasi memiliki perbedaan budaya. Ia dapat dijumpai dalam komunikasi lintas
budaya, komunikasi antar ras, komunikasi internasional, dan sebagainya, sepanjang kedua
orang yang melakukan komunikasi tersebut memiliki latar belakang budaya yang berbeda
(Liliweri, 2013: 22). Realitas sosial yang ada menunjukkan bahwa proses interaksi tidak
hanya melibatkan aktifitas perilaku, tetapi juga aktifitas psikologis setiap individu yang
terlibat. Oleh karena itu interaksi juga secara aktif melibatkan fungsi-fungsi psikologis
seseorang baik dalam kaitannya dengan orang lain maupun dalam intern dirinya sendiri.
Misalnya ketika seseorang sedang berinteraksi dengan orang lain dalam suatu komunitas
baru masing-masing akan melakukan persepsi secara aktif, baik tentang orang lain maupun
tentang dirinya sendiri. Bersamaan dengan proses interaksi itu, ia sesungguhnya telah ikut
secara aktif mengkonstruksi lingkungannya. Interaksi yangb berlangsungpun selalu
melibatkan aspek aktifitas psikologis, yang dalam contoh kasus ini sekurang kurangnya
terjadi proses persepsi interpersonal. Pada praktiknya, proses tersebut juga berlangsung
melalui tahapan adopsi dan adaptasi sehingga pada saat yang sama di antara mereka juga
berlangsung proses penerimaan dan penolakan peran-peran yang diamainkan oleh setiap
individu yang terlibat (Muhtadi, 2012: 190-191). Sedangkan dalam konteks kebudayaan,
agama dapat dikategorikan sebagai faktor pembentuk pola komunikasi antar budaya sehingga
interaksi yang berlangsung dalam aktifitas komunikasi seperti itu secara bersamaan
berlangsung pula tahap orientasi untuk menemukan kesamaan karakteristik yang dimiliki
oleh tiap-tiap pelaku komunikasi. Model komunikasi antarbudaya mengilustrasikan
terjadinya penetrasi kultural di antara budaya-budaya yang terlibat. Dengan meminjam model
tersebut, dapat digambarkan terjadinya penetrasi agama dalam batas-batas toleransi tertentu.
Penetrasi yang dimaksud tentu saja tidak berlangsung dalam proses perubahan keyakinan,
tetapi hanya melibatkan aspek-aspek kesadaran sosial yang biasanya diwujudkan dalam sikap
saling menghormati perbedaan agama, baik intern umat beragama maupun antar umat
beragama (Muhtadi, 2012: 191). Konsep komunikasi antarbudaya yang bersumber pada
perbedaan agama dalam perspektif sosiologis-antropologis melahirkan rumusan berbeda
agama. Persepsi manusia terhadap Tuhannya jika ditelaah lebih mendalam amat bersifat
pribadi sesuai dengan daya dan kemampuan menangkap tanda-tanda Tuhan di bumi. Tentu
saja, apa yang telah ia peroleh tentang Tuhan dari lingkungan sosial dan alam sekitarnya,
melalui pelajaran dan pendidikan menjadi rujukan penting bagi pengenalan terhadap Tuhan.
Akan tetapi pada tahapan berikutnya ia merumuskan sendiri konsep dan pandangannya
tentang Tuhan dan mengekspresikannya sesuai dengan persepsinya itu. Pandangan inalah
yang kemudian digunakan dalam mengkonstruksi lingkungan sosialnya termasuk di
dalamnya yaitu lingkungan sosial keagamaan. Dalam konteks inilah, “berbeda agama” bukan
hanya berbeda anutan agama yang sifatnya institusional formal seperti pemeluk Islam,
Kristen, Hindu, dan Budha, tetapi juga berbeda paham-paham keagamaan yang
termanifestasikan ke dalam bentuk kelompok-kelompok sosial seperti nahdhiyyin (NU),
Muhammadiyah, Persis, Jamaah Tabligh, bahkan di dalamnya Komunikasi Antarbudaya di
Era Modern termasuk pemeluk-pemeluk yang menganggap dirinya netral dari afiliasi
kelompok tertentu, meskipun pada kenyataannya ia tetap berada pada satu mainstream
tertentu, setidaknya dalam alur pemikiran dirinya sendiri (Muhtadi, 2012: 190-195). Dalam
konteks komunikasi yang lebih luas yaitu dalam lingkup studi komunikasi internacional itu
disandarkan atas pendekatan-pendekatan maupun metodologi sebagai berikut (Liliweri,2013:
22): Pendekatan peta bumi (a. geographical approach) yang membahas arus informasi
maupun liputan internasional pada bangsa atau Negara tertentu, wilayah tertentu, ataupun
lingkup dunia, di samping antarwilayah. Pendekatan media (b. media approach), adalah
pengkajian berita internasional melalui suatu medium atau multimedia. Pedekatan peristiwa
(c. event approach) yang mengkaji suatu peristiwa lewat suatu medium. Pendekatan ideologis
(d. idelogical approach), yang membandingkan sistem pers antarbangsa atau melihat
penyebaran arus berita internasional dari sudut ideologis semata-mata. Sebagaimana Al-
Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul melainkan dengan bahasa
kaumnya, artinya dalam konteks komunikasi antar budaya jargon yang sesuai adalah
“Berbicaralah dengan bahasa mereka”. Jargon ini adalah kunci penting dalam mewujudkan
komunikasi. Seorang komunikator yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan
berbahasa (verbal dan nonverbal) yang dipahami oleh komunikannya. Komunikasi yang
efektif dengan orang lain akan berhasil apabila kita mampu memilih dan menjalankan
teknik-teknik berkomunikasi, serta menggunakan bahasa yang sesuai dengan latar belakang
mereka. Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa komunikasi antarbudaya
didasarkan pada hal-hal sebagai berikut: pertama, Komunikasi antarbudaya dimulai dengan
anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
Kedua, Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.
Acep Aripudin, Dakwah Antarbudaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012. Alo Liliweri,
Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2013. Andrik
Purwasito, Komunikasi Multikultural, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2003. Apriadi Tamburaka, Agenda Setting Media Massa, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2013. Arifin, Anwar, Ilmu Komunikasi sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010. Bungin, Burhan, H.M, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006. Joseph A. Devito, Komunikasi Antarmanusia: Kuliah Dasar, Jakarta: Professional
Books, 1997. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2011
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2005.
Mutadi, Asep Saeful, Komunikasi Dakwah: Teori, Pendekatan dan Aplikasi, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2012. Nurudin, Pengantar Komuniukasi Massa, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, Human Communication:
Kontekskonteks Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Wiryanto, Pengantar
Ilmu Komunikasi, Jakarta, Grasindo, 2004.