Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan pada Universitas Sebelas Maret. Selanjutnya kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Imam Suyatno, M.Pd
selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan kepada
segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan
makalah ini.
Amin.!
Penyusun
BAB I
MUQODIMAH
A. Latar Belakang
Islam menjamin kebahagiaan bagi setiap penganutnya di dunia maupun
di akhirat kelak. Ia mempunyai sendi yang sangat esensial yaitu al-Qur’an. Al-
qur’an adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepad Rasulullah SAW,
sebagai penutup para nabi, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat An-Nas, Ia merupakan wahyu yang berfungsi untuk menjelaskan segala
sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat, serta memberi kabar gembira bagi orang-
orang Islam.
Intinya al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang mengandung kisah-kisah terdahulu, kejadian yang akan
datang, perintah, larangan ataupun intisari dari kitab-kitab suci terdahulu
membacanya dianggap sebagai ibadah, bernilai mukjizat, penulisan dan
pengumpulannya dimulai sejak masa Nabi SAW, kemudian diteruskan para
sahabat, berlanjut ke tabiin hingga akhirnya sampai kepada kita secara mutawatir
yang selanjutnya berfungsi untuk memberi petunjuk kepada jalan yang sebaik-
baiknya.
Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut
segala aspek kehidupan manusia, yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai
dengan nalar masing-masing bangsa, kapanpun masanya, dan di manapun
tempatnya, ia selalu hadir secara fungsional memecahkan problem
kemanusiaan,karna tidak ada sesuatu apapun yang tidak terkandung di dalamnya.
Bagaimana islam dalam menjamin kebahagiaan umat islam akan
dijelaskan lebih spesifik pada makalah berikut ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka perumusan masalah yang
diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana islam menjamin kebahagiaan?
2. Apa prinsip bahagia dalam islam?
3. Bagaimana islam menjamin kesejahteraan rakyat?
4. Bagaimana hidup bahagia menurut al-Qur’an?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui
2. Untuk mengetahui prinsip bahagia dalam islam
3. Untuk mengetahui bahwa islam menjamin kesejahteraan rakyat
4. Untuk mengetahui bahagia menurut al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Al-Alusi bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa mencapai
keinginan atau cita-cita yang dituju dan diimpikan. Pendapat lain menyatakan bahwa
bahagia atau kebahagiaan adalah tetap dalam kebaikan, atau masuk ke dalam kesenangan
dan kesuksesan.
Mungkin Anda pernah mendengar, ada teman yang mengatakan, “Saya bahagia sekali
karena saya memperoleh nilai bagus dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam.” Ada
juga yang menyatakan, “ Saya bahagia karena mendapat beasiswa.” Kalau Anda bertanya
pada teman Anda, misalnya, apa tujuan hidup? Ia akan menjawab bahwa tujuan hidup
adalah bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.
Dalam kitab Mizanul ‘amal, Al Ghazali menyebut bahwa As-Sa’adah ( bahagia terbagi
dua pertama bahagia khakiki dan kedua, bahagia majasi. Bahagia khakiki adalah
kebahagiaan Ukhrawi, sedangkan kebahagiaan majasi adalah kebahagiaan duniawi.
Kebahagiaan ukhrawi akan diperoleh dengan modal iman, ilmu dan amal. Adapun
bahagia duniawi bisa didapat oleh orang yang beriman dan bisa didapat oleh orang yang
tidak beriman. Ibnu ‘Athaillah mengatakan, Allah memberikan harta kepada orang yang
dicintai Allah dan kepada orang yang tidak dicintai Allah, tetapi Allah tidak akan
memberikan iman kecuali kepada orang yang dicintainya.
Kebahagiaan duniawi adalah kebahagiaan yang fana dan tidak abadi. Adapun
kebahagiaan Ukhrawi adalah kebahagiaan abadi dan rohani. Kebahagiian duniawi ada
yang melekat pada dirinya dan ada yang melekat pada manfaatnya. Diantara kebahagiaan
duniawi adalah memiliki harta keluarga, kedudukan terhormat dan keluarga yang mulia.
Menurut al-Gazali kebahagiaan harta bukan melekat pada dirinya, namun pada
manfaatnya. Orang yang ingin menggapai kesempurnaan hidup, tetapi tidak memiliki
harta bagaikan orang yang mau pergi berperang tanpa membawa senjata, atau seperti
orang mau menangkap ikan tanpa pancing atau jaring itulah sebabnya, Nabi Muhammad
SAW bersabda, “Harta yang terbaik adalah harta yang ada pada seseorang laki-laki yang
baik pula( saleh). “ (HR Ibnu Hiban). Sebaik baik pertolongan adalah pertolongan yang
dapat membantu kita semakin bertaqwa kepada Allah “ (HR Ad-daruqutni).
Di antara kebahagiaan duniawi adalah memiliki keluarga, anak-anak yang saleh, dan
istri yang salihah pula. Istri yang salihah bagaikan kebun yang dapat mengikat
pemiliknya, yaitu suami untuk tidak terjerumus pada hal-hal yang diharamkan Allah azza
wajallah Nabi Muhammad mengatakan “sebaik baik penolong untuk kebutuhan beragama
adalah istri yang salihah.” Menyangkut keutamaan anak, Nabi Muhammad SAW, “ jika
anak adam meninggal dunia, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakan orangtanya. “(HR
Thabrani).
Agama adalah landasan atau fundamen, sedangkan jabatan atau kedudukan adalah
lembaganya. Barang siapa yang tidak memiliki fondasi, maka akan roboh. Sebaliknya,
barang siapa yang tidak mempunyai penjaga, maka akan kehilangan. Allah berfirman:
Yang perlu anda ketahui berikutnya adalah faktor-faktor yang menyebabkan hati
manusia menjadi sakit. Dengan kata lain dapat dikatakan beberapa sebab yang dapat
merusak hati manusia sehingga fungsi hati terganggu dan menjadi tidak normal aliyas
sakit. Untuk menjawab persoalan ini, anda dapat menyelusuri dalam kitab thibb al-qulub,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Banyak bergaul dengan orang-orang yang tidak baik tidak ada yang merusak
manusia kecuali manusia itu sendiri. Sebaliknya, tidak ada yang dapat
memperbaiki manusia kecuali manusia yang baik.
Setiap manusia menghendaki kehidupan yang bahagia. Tidak ada satupun manusia
yang ingin hidup susah, gelisah, dan tidak merasakan ketentraman. Akan tetapi setiap
manusia memiliki prinsip dan cara pandang yang berbeda dalam mengukur kebahagiaan.
Karena yang paling mempengaruhi sesorang dalam mengukur kebahagiaan adalah prinsip
dan pandangan hidup yang dipijaknya.
Salah satu bagian terpenting dari syari’at Islam adalah adanya aturan-
aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap
individu masyarakat, baik berupa pangan, pakaian, dan papan, serta lapangan
pekerjaan. Berikut beberapa konsep Islam berkaitan dengan hal tersebut:
س ِإ ََّل ُو ْس َع َها
ٌ ف نَ ْف ِ َو َعلَى ْال َم ْولُو ِد لَهُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن ِب ْال َم ْع ُر
ُ َّوف ََل ت ُ َكل
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.”[TQS. al-Baqarah:233].
طاهُ أَ ْو
َ فَيَ ْسأَلَهُ أَ ْع،ي َر ُج اًل ْ َ فَيَحْ ت َِط،َُوالَّذِي نَ ْفسِي بِيَ ِد ِه ََل َ ْن يَأ ْ ُخذَ أ َ َحد ُ ُك ْم َح ْبلَه
َ ِظ ْه ِر ِه َخي ٌْر لَهُ ِم ْن أ َ ْن يَأت
َ ب َعلَى
َُمنَعَه
“Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit
untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, itu lebih baik
daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik ia diberi atau ditolak. (HR.
Bukhari & Muslim)
“Tidak ada orang yang makan makanan yang lebih baik daripada hasil pekerjaan
tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil kerjanya
sendiri” (HR. Bukhory)
"Tidak beriman kepada-Ku seorang yang tidur malam dalam keadaan kenyang,
sementara tetangga sebelahnya lapar dan dia mengetahui" (HR.al Bazzar dan
Thabarani, dengan sanad Hasan)
a. Riba
b. Judi
e. Ihtikar (menimbun)
f. Mengemis
صلَّى َ َِّللاَّ سو ُلُ شدَّ فِي ِه َرَ َطعَا اما فَا ْنبِذْهُ ِإلَى أَ ْهلِكَ َوا ْشت َِر بِ ْاْلخ َِر قَد ُو اما فَأْتِنِي بِ ِه فَأَتَاهُ بِ ِه ف
َ َوقَا َل ا ْشت َِر بِأ َ َح ِد ِه َما
َ سلَّ َم عُوداا ِبيَ ِد ِه ث ُ َّم قَا َل لَه ُ اذْهَبْ فَاحْ ت َِطبْ َو ِب ْع َو ََل أَ َريَنَّكَ خَ ْم
سةَ َعش ََر يَ ْو اما َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو
َّ
“Barang siapa meninggalkan harta (kekayaan), maka (harta itu) untuk ahli
warisnya, dan barang siapa meninggalkan keluarga (miskin yg tak mampu), maka
itu menjadi tanggunganku kepadaku”(H.R. Bukhari).
‘Umar bin Khaththab. ra, pernah membangun suatu rumah yang diberi nama ,
“daar al-daaqiq’ (rumah tepung) antara Makkah dan Syam. Di dalam rumah itu
tersedia berbagai macam jenis tepung, korma, dan barang-barang kebutuhan
lainnya. Tujuan dibangunnya rumah itu adalah untuk menolong orang-orang yang
singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang perlu
sampai kebutuhannya terpenuhi.
Diriwayatkan melalui Umar ra. di mana ia melihat seorang kafir dzimmi yang
mengemis, padahal dia sudah tua. Umar pun berkata;"Kami tidak adil kepadamu,
kami mengambil jizyah darimu ketika kamu masih muda, dan hari ini kami telah
menyia-nyiakanmu."Kemudian Umar ra memerintah untuk menjatah bahan
makanan untuk orang ini dari Baitul Mal. (As Samarqandy, Tanbîhul Ghâfiliin)
“Aku bergegas dari shalat karena aku ingat suatu lantakan emas yang masih
tersimpan di rumah kami. Aku tidak suka jika barang itu menahanku, maka aku
memerintahkan (kepada istriku) untuk membagi-bagikannya.” (HR. Bukhory)
Imam Ali juga meriwayatkan bahwa khalifah ‘umar pernah mencari unta zakat yg
lepas, dan khawatir kalau diakhirat akan dituntut gara-gara menyia-nyiakan hak
umat Islam (Al Ghazali, Mukâsyafatul Qulûb)
Ketika negara memang tidak mempunyai kas lagi untuk menolong orang yang
kekurangan, maka kewajiban ini kembali berasli ke umat Islam yang mempunyai
kelebihan harta. Berkata Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla
(4/281) “Orang-orang kaya ditempatnya masing-masing mempunyai kewajiban
menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak
memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin).
D. HIDUP BAHAGIA MENURUT AL-QURAN
َس ِن َما كَانُوا َي ْع َملُون َ صا ِل احا ِم ْن ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنثَى َوه َُو ُمؤْ ِم ٌن فَلَنُحْ ِييَنَّهُ َحيَاةا
َ ْطيِِّبَةا َو َلنَجْ ِزيَ َّن ُه ْم أَجْ َر ُه ْم بِأَح َ َم ْن َع ِم َل
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah swt menjanjikan kepada orang yang
beramal shalih baik itu perempuan atau laki-laki dan ia beriman, untuk
memberikan kehidupan yang baik serta pahala yang lebih baik dari apa yang ia
amalkan sebagai balasan.
Ada beberapa pendapat dari ulama mengenai makna amal shalih, diantaranya
sebagai berikut:
1. Ibnu Katsir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan amal shalih di sini
adalah amal yang bermanfaat dan sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis Nabi saw.
2. Muhammad Abduh berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan
yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok, dan manusia secara
keseluruhan.
3. Az-Zamakhsyari berpendapat bahwa amal shalih adalah segala perbuatan yang
sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan sunah Nabi
Dari beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa makna pokok
dari amal shalih adalah amal yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan orang
lain.
Adapun kehidupan yang baik dalam ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah
kehidupan yang bahagia, tenang, dan mendapatkan kecukupan rezeki yang halal.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah kehidupan yang baik itu bukan berarti
kehidupan yang mewah yang luput dari ujian, tetapi ia adalah kehidupan yang
diliputi rasa lega, kerelaan, serta kesabaran dalam menerima cobaan dan rasa
syukur atas nikmat Allah swt. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak merasa
takut yang mencekam, atau kesedihan yang melampaui batas, karena dia selalu
menyadari bahwa pilihan Allah swt adalah yang terbaik, dan di balik segala
sesuatu ada ganjaran yang menanti.
Masih ada pendapat lain tentang makna kehidupan yang baik yang
dimaksud. Misalnya, kehidupan di surga kelak, atau di alam Barzah, atau
kehidupan yang diwarnai oleh qana’ah, atau rezeki yang halal.
Kesemuanya itu jika disatukan maka berkumpul pada satu titik kesimpulan
bahwa yang dimaksud kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia di
dunia dan akhirat.
Selain itu, dapat kita cermati bahwa dalam ayat ini juga berbicara tentang
pentingnya iman dalam menyertai amal.
ُقَا َل قَدْ أ َ ْفلَ َح َم ْن أَ ْسلَ َم َو ُر ِزقَ َكفَّافاا َوقَنَعَهُ هللاُ بِ َما آتاه
Sungguh beruntung orang yang memeluk Islam, ia mendapat rezeki yang cukup
dan merasa puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. (HR. Muslim)
Sebaliknya, orang yang tidak beriman serta tidak mengerjakan amal shalih, maka
ia akan senantiasa berada dalam kesusahan. Apabila ditimpa suatu bencana atau
cobaan, maka ia akan merasa sangat bersedih hati, gundah dan gelisah. Kemudian
apabila ia tidak memperoleh apa yang ia kehendaki berupa kesenagan dunia, maka
ia akan bersedih hati karena ia mengira bahwa puncak kebahagiaan adalah
tercapainya kesenangan hidup dan menikmati kelezatannya
Hal lain yang dapat kita maknai adalah bahwa ayat ini menekankan persamaan
antara perempuan dan laki-laki dalam hal beramal shalih. Artinya baik laki-laki
maupun perempuan dituntut agar melakukan amalan-amalan yang bermanfaat
baik untuk dirinya dan orang lain.
Ibnu Abbas r.a. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang terkenal
dengan julukan Turjumaanul Qur’an (orang yang paling ahli dalam
menerjemahkan Alquran). suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi
sesudah para Sahabat) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia.
Ibnu Abbas menjawab bahwa ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Mengapa beruntung?. Karena setiap peristiwa apapun itu yang ditimpakan oleh
Allah terhadap hambanya yang beriman adalah sebuah keberuntungan bagi
dirinya. Apapun bentuknya. Tetapi kuncinya jika hambanya ikhlas. Ikhlas dalam
artian memurnikan. Ilustrasinya jika dia diberikan kesenangan, orang yang
beriman akan ikhlas dan bersyukur dengan memuji Allah, berdoa serta
membagikan rizki, kesenangan atau nikmatnya kepada hamba-hamba lainnya.
Dalam hadits yg diriwayatkan Imam Muslim (shahih muslim no. 4673)
dinyatakan bahwa : Rasulullah bersabda "janganlah kamu sekalian terlalu
bersedih & tetaplah berbuat kebaikan karena dalam setiap musibah yang menimpa
seorang muslim terdapat penghapusan dosa bahkan bencana kecil yg menimpanya
atau karena sebuah duri yg menusuknya."
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah),
sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi
hati yang selalu bersyukur. berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Saat Rasulullah SAW thawaf. Rasulullah bertemu dengan seorang anak muda
yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasul bertanya kepada anak
muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya
dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat
mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia.
Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau
ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda
itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang
sudah berbakti kepada orang tua?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh
Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku
ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut
kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk
membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa
memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh
kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki
anak yang sholeh.
yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita. “Seseorang yang
duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan
berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak
dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal
dapat harumnya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak
mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya
yang tidak enak.” (HR. Bukhari)
· Nilai kebahagiaan tidak bisa diukur dengan materi, akan tetapi adalah kekayaan
keyakinan kepada Allah, serta ketenangan jiwa karena hanya berharap pada Allah
dan keharmonisan kepada sesama.
· Terpuasnya keinginan kita bukan berarti sumber kebahagiaan, akan tetapi justru
dapat menimbulkan kesengsaraan serta penyesalan yang tiada berujung.karena
dengan seperti itu berarti kita memuaskan nafsu yang menunjukan kepada
kesengsaraan bukan kebahagiaan.
· Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yangberdasarkan tuntutan Al-
quran dan As-sunnah.dan itulah yang menunjukan jalan kebahagiaan.
· Manusia berdasarkan tabiatnya selalu menginginkan kebahagiaan namun
berbagai macam cara yang ditempuh itu salah, sehingga bukan kebahagiaan yang
didapatkan tetapi kesengsaraan.
· Banyak sekali cara yang bisa ditempuh dalam mencapai kebahagiaan asalkan
sesuai dengan ajaran agama islam,karena tidak bisa dipungkiri bahwa
kebahagiaan bersifat subyektif.(sesuai orang yang menghendaki kebahagiaan.
Kemudian penulis menyadari bahwa penulis dalam menyusun makalah ini banyak
sekali kekurangan disana-sini sehingga apabila pembaca menemukan sesuatu
yang kurang, maka penulis dengan senang hati menerima kritik serta saran yang
membangun. Untuk perbaikan tugas-tugas yang selanjutnya.semoga dengan
makalah ini Allah SWT. Menetapkan kita semua menjadi orang yang
mendapatkan kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://digilib.uinsby.ac.id/1364/4/Bab%201.pdf
https://www.academia.edu/29950038/AGAMA_FIX