SINDROM NEFROTIK
Oleh:
Rony Wiranto, S.Ked 04084821921005
Pembimbing:
dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A (K)
Laporan Kasus
SINDROM NEFROTIK
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 7 Oktober-16 Desember
2019.
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Sindrom Nefrotik”.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSMH Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Hertanti
Indah Lestari, Sp.A (K) atas bimbingan yang telah diberikan.
Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
4
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,
dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1.
5
(responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan
bahwa 78,1% anak yang didiagnosis SN berespon terhadap terapi inisial
prednison selama 8 minggu3.
6
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : An. SBS
Umur / Tanggal Lahir : 7 tahun 3 bulan (1 Agustus 2012)
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Ayah : Tn. S
Nama Ibu : Ny. Y
Alamat : Taba Renak, Lubuk Linggau
Suku Bangsa : Sumatera Selatan
MRS : 15 Oktober 2019 / 22.54 WIB
7
berupa obat methyprednisolone 4 mg 1x3 tablet. Pasien mengaku meminum
obat teratur dan rutin kontrol ke puskesmas. Namun ±2,5 bulan setelahnya,
gejala pasien hilang dan pasien mengaku tidak kontrol lagi.
Sejak 7 hari SMRS, pasien kembali mengeluh bengkak pada pada wajahnya,
bengkak menyeluruh ke semua bagian wajah, tidak berwarna kemerahan,
tidak nyeri, Pasien juga mengeluh sembab pada mata dan pipi. Pasien tidak
mengeluh batuk, pilek, demam, maupun sakit tenggorokan sebelumnya.
Pasien tidak mengeluh sesak napas, muntah, dan kejang. BAB dan BAK
biasa. Riwayat BAK berwarna gelap seperti teh tua disangkal. Riwayat nyeri
BAK (-).
± Sejak 1 hari SMRS, pasien mengeluh bengkak pada seluruh bagian
tubuhnya. Pasien juga mengeluh kaki bengkak, mata sembab, dan perut
cembung dan membesar. Pasien mengeluh lemah, namun tidak mengeluh
pusing, muntah, dan kejang. Pasien tidak mengeluh batuk dan pilek. Pasien
tidak mengeluh sesak napas. Pasien juga tidak mengeluh pucat maupun
kuning pada tubuhnya. BAB biasa, BAK sedikit, frekuensi 2x sehari kira-kira
hanya seperempat gelas belimbing setiap kali BAK. BAK berwarna kuning
pekat, berbusa. Nyeri saat BAK disangkal. BAK berpasir disangkal. Pasien
kemudian dibawa ke IGD Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
8
- Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit ginjal dalam keluarga disangkal
Riwayat Makanan
ASI : Lahir – 4 bulan, lamanya ±20 menit tiap 3 jam
Susu Formula : 4 bulan sampai 4 tahun
Bubur Nasi : 6 - 10 bulan, 3x/hari, 8 sendok makan
Nasi Tim : 10 - 15 bulan, 3x/hari, 8 sendok makan
Nasi Biasa : 15 bulan – sekarang, 3x/hari, banyaknya ±1 porsi (15-20
sendok makan)
Daging : 15 bulan – sekarang, 3x/hari, anak sering diberi lauk berupa
daging ikan, sesekali daging ayam dan sapi. Potongan
daging kecil.
Tempe : 15 bulan – sekarang, 3-4x/minggu, banyaknya 1 potong
kecil dan biasa diberikan bersama dengan lauk daging.
Tahu : 15 bulan – sekarang, 3-4x/minggu, banyaknya 1 potong
kecil dan biasa diberikan bersama dengan lauk daging.
Sayuran : 10 bulan – sekarang; setiap makan dalam porsi sedikit,
Anak tidak memilih-milih jenis sayuran yang dimakan.
Buah : Sejak usia 7 bulan frekuensi sering. Anak sering makan
semangka dan jeruk.
9
Kesan : Kuantitas cukup, Kualitas cukup.
Riwayat Pertumbuhan
10
BB: 19 kg, TB: 105 cm.
Riwayat Imunisasi
11
IMUNISASI
BCG √ -
Hib 4 √ - POLIO 5 √ -
(booster) (booster)
CAMPAK √ - POLIO 4 √ -
Riwayat Keluarga
Perkawinan : Pertama
Umur Perkawinan : 10 tahun
Pendidikan orag tua : Ibu : SMA, Ayah : SMA
Pekerjaan orang tua : Ibu : IRT, Ayah : Wiraswasta
Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 8 bulan Berdiri : 10 bulan
Berbalik : 3 bulan Berjalan : 12 bulan
Tengkurap : 3 bulan Berbicara : 14 bulan
12
Merangkak : 7 bulan Kesan : Perkembangan baik
Duduk : 7 bulan
III. Pemeriksaan Fisik (pada tanggal 16 Oktober 2019 pukul 13.30 WIB)
a. Pemeriksaan Fisik Umum
Berat Badan : 19 kg
BB/U : <P10
TB(PB)/U : <P5
IMT/U : -
Suhu : 36,5oC
Respirasi : 20 x/menit
13
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Tekanan darah normal berada di antara P50
dan P90 berdasarkan TB/U P5 (CDC 2000)
Persentil TB/U < P5
Persentil TD usia 7 tahun
Sistolik Diastolik
P50 92 50
P90 106 70
P95 110 74
P99 117 82
Regularitas : Reguler
b. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normosefali
Hidung : Bentuk normal, kavum nasi lapang, septum deviasi (-), napas
cuping hidung (-)
14
Lidah : Simetris, tidak ada atrofi papil, tidak kering, lidah kotor (-)
Tenggorokan : Dinding posterior faring hiperemis, post nasal drip (-), tonsil
hiperemis (-), detritus (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3”, pucat (-), sianosis (-), clubbing finger
(-) edema pretibial (+), pitting edema.
KGB inguinal tidak teraba pebesaran
15
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan
Tungkai Kanan Tungkai Kiri Lengan Kanan Lengan Kiri
Fungsi Motorik
Kekuatan 5 5 5 5
16
WBC 17.1 x 103/ mm3 6,0 – 17,5 x 103/ mm3 Normal
Ht 24 % 36 – 46 % Menurun
1–6%
50 – 70 %
20 – 40 %
2–8%
Urine
17
Berat Jenis 1,010 1,003 – 1,030 Normal
V. RESUME
Pasien An. SBS, perempuan, 7 tahun 3 bulan dibawa orang tua ke IGD
RSMH dengan keluhan bengkak pada seluruh bagian tubuhnya. Pasien juga
mengeluh kaki bengkak, mata sembab, dan perut cembung dan membesar.
Pasien mengeluh lemah, namun tidak mengeluh pusing, muntah, dan kejang.
Pasien tidak mengeluh batuk dan pilek. Pasien tidak mengeluh sesak napas
maupun nyeri pada tenggorokan sebelumnya. Pasien juga tidak mengeluh
pucat maupun kuning pada tubuhnya. BAB biasa, BAK sedikit, frekuensi 2x
sehari kira-kira hanya seperempat gelas belimbing setiap kali BAK. BAK
berwarna kuning pekat, berbusa. Nyeri saat BAK disangkal. BAK berpasir
18
disangkal. Pasien pernah didiagnosa dengan sindroma nefrotik pada tahun
2018. Pasien sudah pernah kontrol ke Puskesmas dan diberikan
Methylprednisolone 4 mg (1x3 tablet), namun setelah 2,5 bulan pasien tidak
kontrol lagi.
Pada pemeriksaan fisik umum diperoleh keadaan umum anak tampak
sembab dan bengkak seluruh tubuh, tanda-tanda vital dalam batasan normal.
Tekanan darah 100/60 (tekanan darah normal berada di antara P50 dan P90
berdasarkan TB/U P5), nadi 132 x/menit, isi dan tegangan cukup, laju napas
20 x/menit, suhu tubuh 36,5oC. Status gizi kurang = 79,16 %.
Pada pemeriksaan fisik khusus didapatkan wajah anak tampak sembab,
edema palpebra (+). Jantung dan paru dalam batasan normal. Perut nampak
cembung, shifting dullness (+), serta hepar dan lien tidak teraba. Edema
pretibial (+) pada kedua tungkai.
Pemeriksaan hematologi rutin dan kimia darah: Hb 8,1 g/dl, WBC 17,1
x 103/mm3, RBC 3,00 x 106/mm3, Trombosit 499 x 103/mm3, Ht 24%, Diff
Count 1/7/70/21/7, Albumin 0,8 g/dl, Globulin 2,3 g/dl, Protein total 3,2 g/dl,
Kolesterol total 364 mg/dl, Ureum 28 mg/dl, Kreatinin 0,36 mg/dl.
Pemeriksaan urin didapatkan warna kuning, keruh, berat jenis 1,010;
pH = 6, protein = +2, eritrosit = 3, tidak ditemukan adanya glukosa, keton,
bilirubin, nitrit, bakteri, dan silinder.
19
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindroma Nefrotik Relaps + Anemia Penyakit Kronik (ACD)
2. Sindroma Nefritik Akut + Anemia Penyakit Kronik (ACD)
IX. PENATALAKSANAAN
Non farmakologis :
- Pengaturan diet rendah garam (1-2 gr/hari) selama edema atau
selama mendapat terapi steroid.
- Diet protein sesuai kebutuhan RDA (1 gr/kgBB/hari)
Diet
- Kebutuhan energi = BB ideal x RDA = 24 kg x 90 = 2160
kkal/hari
- BMR = [(0,095 x BB) + 2110] x 1000 : 4,2 kal
= 502,811 kkal/hari
- Rendah garam 1 g/hari
- Diet protein normal sesuai RDA 2 x 24 = 48 gr/hari
- Diberikan dalam bentuk: (anak tidak ada gangguan makan)
Nasi Biasa (NB) kalori 1 porsi = 500 kkal
1420 kkal
20
- Pengaturan intake dan output cairan (balance diharapkan negatif)
Sesuai kebutuhan cairan maintenance BB 19 kg = 1450 cc per hari
Farmakologis :
- IVFD NaCl 0,9 % kecepatan 5 cc/jam
- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg IV, pantau BD
- Spironolakton 2x12,5 mg p.o.
- Drip Albumin 20% 100 cc dalam 4 jam i.v.
- Methylprednisolone full dose (2 mg/kgBB = 38 mg dibagi 3 dosis)
14 mg – 10 mg – 14 mg
b. Monitoring
- Tanda vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, dan suhu
tubuh) setiap 6 jam
- Asupan nutrisi (jumlah yang habis dan toleransi anak)
- Diet rendah garam
- Keseimbangan cairan dan diuresis setiap 6 jam
- Ukur lingkar perut setiap hari
- Ukur berat badan setiap hari
c. Edukasi
1) Memberi informasi pada keluarga bahwa dapat terjadi
komplikasi yang berhubungan dengan sindrom nefrotik.
2) Membantu anak menjaga asupan nutrisi yang baik.
3) Mengajak kerja sama kepada keluarga untuk rajin kontrol
kesehatan anak pasca perawatan (sebaiknya tiap minggu, tapi
bila tidak memungkinan diharapkan pada minggu ke-4 untuk
monitoring penggunaan dan dosis steroid)
21
X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia
XI. FOLLOW UP
22
A : Sindroma Nefrotik Relaps
P:
Non farmakologis :
- Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital
- Tirah baring
- Cek ulang darah tepi lengkap, urinalisa, albumin
- Balance Diuresis setiap 6 jam
- Retriksi cairan 500 mL/24 jam
Farmakologis :
- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg IV, pantau Balance
Diuresis
- Spironolactone 2 x 12.5 mg PO
- Methylprednisolone 8x3 mg PO
- Drip albumin 25% 100 cc selama 3 hari
23
P:
Non farmakologis :
- Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital
- Tirah baring
- Retriksi cairan 500 mL/24 jam
Farmakologis :
- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg IV
- Spironolactone 2 x 12.5 mg PO
- Methylprednisolone 8x3 mg PO
- Drip albumin 25% 100 cc selama 3 hari
P:
Non farmakologis :
24
- Monitor keadaan umum, tanda-tanda vital
- Tirah baring
- Retriksi cairan 500 mL/24 jam
Farmakologis :
- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg IV
- Spironolactone 2 x 12.5 mg PO
- Methylprednisolone 8x3 mg PO
Farmakologis :
25
- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg IV
- Spironolactone 2 x 12.5 mg PO
- Methylprednisolone 8x3 mg PO
Senin, 21 Oktober 2019 S : Os mengatakan bengkak sudah hilang.
06.30 O : Sensorium : compos mentis
BP: 90/60 mmHg; N: 110 x/menit; RR: 20x/menit
T: 36,5oC
Farmakologis :
- Injeksi Furosemid 2 x 20 mg IV
- Spironolactone 2 x 12.5 mg PO
- Methylprednisolone 8x3 mg PO
26
Gambar 1. Kencing Berbusa
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
27
A. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI GINJAL
I. Anatomi
Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di
belakang peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar
vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12
cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, berbentuk seperti biji kacang dengan
lekukan menghadap ke dalam, dan berukuran kira-kira sebesar kepalan
tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh
tubuh atau kurang lebih antara 120-150 gram5.
Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak yaitu lemak pararenal
dan lemak perirenal yang dipisahkan oleh sebuah fascia yang disebut fascia
gerota. Dalam potongan frontal ginjal, ditemukan dua lapisan ginjal di distal
sinus renalis, yaitu korteks renalis (bagian luar) yang berwarna coklat gelap
dan medulla renalis (bagian dalam) yang berwarna coklat terang. Di bagian
sinus renalis terdapat bangunan berbentuk corong yang merupakan kelanjutan
dari ureter dan disebut pelvis renalis. Masing-masing pelvis renalis
membentuk dua atau tiga kaliks rmayor dan masing-masing kaliks mayor
tersebut akan bercabang lagi menjadi dua atau tiga kaliks minor5.
Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang
28
dari aorta abdominalis di distal arteri mesenterica superior. Arteri renalis
masuk ke dalam hillus renalis bersama dengan vena, ureter, pembuluh limfe,
dan nervus kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris. Memasuki
struktur yang lebih kecil, arteri interlobaris ini berubah menjadi arteri
interlobularis lalu akhirnya menjadi arteriola aferen yang menyusun
glomerulus6.
Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya
berjalan bersama dengan arteri renalis. Impuls sensorik dari ginjal berjalan
menuju korda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan
level dermatomnya6.
II. Histologi
29
Terdapat dua jenis nefron yaitu nefron kortikal (nephronum corticale)
yang terletak di korteks ginjal, sedangkan nefron jukstamedularis
(nephronum juxtamedullare) terdapat di dekat perbatasan korteks dan
medulla ginjal. Meskipun semua nefron berperan dalam pembentukan urin,
nefron jukstamedularis membuat kondisi hipertonik di interstisium medulla
ginjal yang menyebabkan produksi urin yang pekat6.
Korpuskulum ginjal merupakan segmen awal setiap nefron yang terdiri
atas kumpulan kapiler yang disebut glomerulus serta dikelilingi oleh dua lapis
sel epitel yang disebut kapsul glomerulus (capsula glomerularis Bowman).
Stratum viseral atau lapisan dalam (pars internus) kapsul terdiri atas sel epitel
khusus bercabang, yaitu podosit (podocytus) yang berbatasan dan
membungkus kapiler glomerulus. Stratum parietal atau lapisan luar (pars
externus) kapsul glomerulus terdiri atas epitel selapis gepeng. Setiap
korpuskulum ginjal mempunyai polus vaskularis, tempat masuknya arteriol
aferen dan keluarnya arteriol eferen. Filtrat dihasilkan oleh glomerulus yang
merupakan utrafiltrat mirip dengan plasma tetapi tidak mengandung protein
lalu masuk ke spatium kapsular meninggalkan korpuskulum ginjal di polus
urinarius, tempat tubulus kontortus proksimal berasal6.
Dua jenis tubulus mengelilingi korpuskulum ginjal. Kedua tubulus ini
adalah tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distal. Bagian tubulus
ginjal yang berawal dari korpuskulum ginjal sangat berkelok atau melengkung
sehingga disebut tubulus kontortus proksimal (tubulus proximalis pars
convolute). Tubulus kontortus proksimal terbentuk dari satu lapisan sel kuboid
dengan sitoplasma bergranula eosinofilik, mitokondria memanjang, dan
memperihatkan lumen kecil tidak rata dengan brush border serta banyak lipatan
membrane sel basal yang dalam. Adanya mikrovili (limbus microvillus) di sel
tubulus kontortus proksimal meningkatkan luas permukaan dan mempermudah
absorpsi bahan yang terfiltrasi. Batas sel tubulus kontortus proksimal juga tidak
jelas karena interdigitasi membran lateral dan basal yang luas dengan sel-sel di
sekitarnya7.
30
Tubulus kontortus proksimal yang terletak di korteks, selanjutnya turun
ke dalam medulla untuk menjadi ansa henle. Ansa henle (ansa nephroni)
terdiri dari beberapa bagian yaitu bagian descendens tebal yang merupakan
kelanjutan dari tubulus kontortus proksimal, segmen descendens dan
ascendens yang tipis, sert bagian ascendens tebal yang merupakan awal dari
tubulus kontortus distal (tubulus distal pars convolute). Bagian ascendens
dari loop terletak di samping bagian descendens dan meluas ke dalam
medulaginjal. Nefron dengan gIomerulus yang terletak dekat corticornedular
(nefronjuxtamedullary) memiliki loop Henle yang relatif panjang dan
memanjang jauh ke medula. Sebaliknya, sebagian besar lengkung Henledari
nefron superfisial umumnya terletak di medula ray. Segmen tipis loop
mempunyai lumen yang sempit dan dindingnya tersusun atas sel epitel
skuamus7.
Pars tebal ascendens loop henle berlanjut menjadi tubulus kontortus
distal di korteks ginjal. Berbeda dengan tubulus kontortus proksimal, tubulus
kontortus distal tidak memperlihatkan limbus microvilosus (brush border),
selnya lebih kecil, dan lebih banyak nukleus ditemukan per tubulus. Membran
basolateral sel tubulus kontortus distal menunjukkan banyaknya interdigitasi
dan keberadaan mitokondria memanjang di dalam lipatan ini. Fungsi utama
tubulus distal adalah secara aktif mereabsorpsi ion natrium dan filtrat tubuli
menuju kapiler peritubuler ke sirkulasi sitemik untuk mempertahankan
keseimbangan asam-basa cairan tubuh dan darah6.
Filtrat glomerulus yang berasal dari kontortus distal mengalir menuju
ke tubulus koligens. Tubulus koligens bukan merupakan bagian nefron.
Sejumlah tubulus koligens pendek bergabung membentuk beberapa duktus
koligens yang lebih besar. Sewaktu duktus koligens turun ke arah papilla
medulla, duktus ini disebut duktus papilaris. Duktus koligens yang lebih kecil
dilapisi oleh epitel kuboid turpulas pucat. Jauh di dalam medulla, epitel di
duktus ini berubah menjadi silindris. Di ujung setiap papilla, duktus papilaris
mengalirkan isinya ke dalam kaliks minor. Daerah papilla yang
memperlihatkan lubang di duktus papilaris yaitu area kribrosa. Korteks ginjal
19
juga memperlihatkan banyak radius medularis terpulas pucat yang berjalan
vertikal dari basis piramid menuju korteks. Radius medularis terutama terdiri
dari duktus koligens, pembuluh darah, dan bagian lurus dari sejumlah nefron
yang menembus korteks dari basis Pyramid6.
III. Fisiologi
Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi
kehidupan, yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari
darah serta mempertahankan homeostatis cairan dan elektrolit yang kemudian
dibuang melalui urine6. Pembentukan urin adalah fungsi ginjal yang paling
esensial dalam mempertahankan homeostatis tubuh. Pada orang dewasa
sehat, kurang lebih 1200 ml darah, atau 25% cardiac output, mengalir ke
kedua ginjal. Pada keadaan tertentu, aliran darah ke ginjal dapat meningkat
hingga 30% (pada saat latihan fisik) dan menurun hingga 12% dari cardiac
output6.
Proses pembentukan urine yang pertama terjadi adalah filtrasi, yaitu
penyaringan darah yang mengalir melalui arteria aferen menuju kapiler
glomerulus yang dibungkus kapsula bowman untuk menjadi filtrat
glomerulus yang berisi zat-zat ekskresi. Kapiler glomerulus tersusun atas sel
endotel, membrana basalis dan sel epitel. Kapiler glomeruli berdinding
porous (berlubang-lubang), yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan
dalam jumlah besar (± 180 L/hari). Molekul yang berukuran kecil (air,
elektrolit, dan sisa metabolisme tubuh, di antaranya kreatinin dan ureum)
akan difiltrasi dari darah, sedangkan molekul berukuran lebih besar (protein
dan sel darah) tetap tertahan di dalam darah. Oleh karena itu, komposisi cairan
filtrat yang berada di kapsul Bowman, mirip dengan yang ada di dalam
plasma, hanya saja cairan ini tidak mengandung protein dan sel darah6.
Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus setiap satuan waktu
disebut sebagai rerata filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate
(GFR). Selanjutnya cairan filtrat akan direabsorbsi dan beberapa elektrolit
akan mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan urine
20
yang akan disalurkan melalui duktus koligentes. Proses dari reabsorbsi filtrat
di tubulus proksimal, ansa henle, dan sekresi di tubulus distal terus
berlangsung hingga terbentuk filtrat tubuli yang dialirkan ke kalises hingga
pelvis ginjal6.
Ginjal merupakan alat tubuh yang strukturnya amat rumit, berperan
penting dalam pengelolaan berbagai faal utama tubuh. Beberapa fungsi ginjal:
a. Regulasi volume dan osmolalitas cairan tubuh
b. Regulasi keseimbangan elektrolit
c. Regulasi keseimbangan asam basa
d. Ekskresi produk metabolit dan substansi asing
e. Fungsi endokrin
- Partisipasi dalam eritropoiesis
- pengatur tekanan arteri
f. Pengaturan produksi 1,25-dihidroksi vitamin D3
B. SINDROM NEFROTIK
I. Definisi
Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak2.
Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom atau kumpulan gejala klinis berupa
proteinuria, edema, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Kelainan utama yang
mendasari sindroma tersebut adalah adanya peningkatan permeabilitas dari barier
filtrasi glomerulus terhadap protein8.
Pada tahun 1905, Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk
membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus normal daripada nefritis
yang menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang
tidak dipakai lagi. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk
menggantikan istilah terdahulu yang menunjukkan suatu keadaan klinik dan
laboratorik tanpa menunjukkan satu penyakit yang mendasari9.
Penyakit ini berlaku secara tiba-tiba justru berlanjut secara progresif dan
tersering pada anak-anak dengan insiden tertinggi ditemukan pada anak berusia 3-
4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2:1. Biasanya dijumpai oliguria dengan
21
urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat. Kadang -kadang
terdapat juga hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Sedimen urin bisa
juga normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (> 20 eritrosit per lapangan
pandang besar) dicurigai adanya lesi glomerular misalnya sklerosis glomerulus1.
II. Epidemiologi
Prevalensi SN idiopatik pada anak-anak berkisar 16 kasus per 100.000 anak
dengan rata-rata 2-7 kasus baru per 100.000 anak. Insidens dan tipe histologi
berbeda sesuai lokasi geografi dan etnis. Penelitian di Inggris menyebutkan anak
yang berasal dari Asia yang tinggal di Inggris enam kali lebih sering mengalami
sindrom nefrotik idiopatik dibandingkan anak Eropa yang tinggal di Inggris.
Kejadian sindrom nefrotik di Amerika Serikat hampir seimbang antara berbagai
latar belakang etnis. Usia berhubungan dengan frekuensi dan hasil biopsi sindrom
nefrotik, dimana usia yang paling sering yaitu 2 tahun dan 70-80% kasus terjadi
pada anak kurang dari 6 tahun. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
mencapai 79,6%, Fokal Segmental Glomerulosklerosis (FSGS) 50% dan hanya
2,6% yang dengan Membranoproliferatif Glomerulonefritis (MPGN). Usia yang
semakin besar menurunkan kejadian SNKM, sebaliknya meningkatkan kejadian
FSGS dan MPGN10.
Insiden SN pada anak di Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per tahun.
Rasio antara lelaki dan perempuan pada anak sekitar 2 : 1. Kasus terbanyak
didapatkan pada anak kurang dari 14 tahun. Angka kejadian sindrom nefrotik di
Bagian Anak RSUP Sanglah Denpasar, sekitar 68 anak selama periode 2001-2007.
Usia berkisar 6 bulan sampai dengan 11 tahun, dimana rasio lelaki dibandingkan
perempuan adalah 2,7 : 19.
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) melaporkan
bahwa 78,1% anak yang didiagnosis SN berespon terhadap terapi inisial prednison
selama 8 minggu. Berdasarkan histopatologi, ISKDC melaporkan 39,9% anak
dengan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) adalah perempuan. Insidens
SN primer pada anak sekitar 2-7 per 1000 anak, dan lebih banyak ditemukan pada
anak laki-laki (perbandingan 2:1). Sindrom nefrotik primer paling sering terjadi
22
pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian SN primer sering dikaitkan dengan tipe genetik
HLA tertentu (HLA-DR7, HLA-B8, dan HLA-B12). Usia, ras, dan geografis juga
turut mempengaruhi insidens SN3.
III. Etiologi
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak9.
Adapun penyebab dari sindrom nefrotik dapat dibagi dalam kelompok berikut:
1. Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah11 :
Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
Denys-Drash syndrome (WT1)
Frasier syndrome (WT1)
Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;TRPC6)
Nail-patella syndrome (LMX1B)
Pierson syndrome (LAMB2)
Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
2. Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut:
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
Nefropati Membranosa (GNM)
3. Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut :
23
Lupus erimatosus sistemik (LES)
Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis8
IV. Klasifikasi
Berikut ini adalah beberapa klasifikasi yang dipakai dalam menggolongkan
keadaan sindrom nefrotik, yaitu 12:
1. SN idiopatik/primer: bila etiologi SN tidak diketahui
2. SN sekunder: bila dtemukan penyebab
3. SN kongenital: bila gejala-gejala ditemukan 3 bulan pertama dari
kehidupan
4. Remisi
Apabila bebas proteinuria (proteinuria negatif) atau trace (proteinuria <
4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut
remisi.
5. Relaps
Apabila proteinuria ≥+2 (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.
6. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh
(2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.
24
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun.
9. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak
respons awal atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
10. Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis
prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi
2 kali berturut-turut.
1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik.Apabila
ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan
25
protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada
pasien bukan sindrom nefrotik9.
2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik
pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5
g/dL.Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-
200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang
dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal,
sedangkan 10% di katabolisme terjadi pada tubulus proksimal ginjal setelah
resorpsi albumin yang telah difiltrasi.
Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari
hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme
albumin. Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang
penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut
bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindromnefrotik karena
laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan
begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan
hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan
mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini
hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia
harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar
dan peningkatan katabolisme albumin9.
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang
pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh
menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes
ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
26
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari
albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding
kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema9.
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi padamekanisme intrarenal
primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma
dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial
menyebabkanterbentuknya edema9.
27
Bagan 2. Teori Overfill
4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis
protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme
lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma,
sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma9.
28
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik,
antara lain14 :
Pengukuran laju filtrasi dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan
rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakanlaju
filtrasi glomerulus (LFG)12.
eLFG = k x L/Scr
eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
L : tinggi badan (cm)
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
K : konstanta (bayi aterm: 0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja
putra:0,7)
4. Kriteria Diagnosis
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
29
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL2
VIII. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada sindrom nefrotik dapat berasal dari penyakit
tersebut maupun konsekuensi dari penggunaan obat. Hilangnya protein plasma
melalui urinasi menyebabkan beberapa komplikasi seperti berubahnya konsentrasi
protein di dalam plasma yang menyebabkan adanya gangguan fungsi sel.
Komplikasi lain yang dapat menyerang pasien sindroma nefrotik adalah infeksi,
tromboemboli, penyakit kardiovaskular, anemia, acure kidney injury (AKI), dan
krisis hipovolemik16.
IX. Tatalaksana
Tatalaksana umum:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik
4. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.
30
5. Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada
setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.
6. Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan
isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan
tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).
Indikasi Rawat
a. SN serangan pertama kali
b. SN relaps dengan edema anasarka atau penyulit (infeksi berat, muntah-
muntah, diare, hipovalemia, hipertensi, tromboemboli, GGA)
c. SN steroid resisten untuk evaluasi
d. SN steroid relaps sering dengan indikasi untuk terapi sitostatika tambahan.
31
Diuretika
Loop diuretic (furosemid 1-2 mg/kgBB/hari), bila kadar kalium
rendah < 3,5 mEq/L dapat dikombinasi dengan spironolakton (1-2
mg/kgBB/hari) diberikan pada edema berat/anasarka. Diuretika lebih
dari 1 minggu periksa ulang natrium dan kalium plasma.
Tatalaksana Hipoalbuminemia
Bila SN disertai hipovolemia (hipoalbuminemla berat: kadar albumin ≤
1,5 gr/dl) berikan infus albumin 20-25 % 1 g/kgBB atau plasma
sebanyak 15-20 ml/kgBB dalam 1-2 jam. Bila albumin tidak tersedia,
15-30 menit setelah infus albumin/plasma selesai, diberikan furosemid
1-2 mg/kgBB intravena. Pemberian albumin dapat diulang hingga
hipoalbuminemia berat dan hipovolemia teratasi.
Antibiotik/ antiviral
Antibiotika diberikan bila:
Edema anasarka + laserasi kulit, berikan amoksisilin, eritromisin,
sefaleksin
32
Infeksi, berikan antibiotika yang disesuaikan beratnya derajat
infeksi
Infeksi varicella ditatalaksana dan pengobatan kortikosteroid
dihentikan sementara
Imunisasi
Vaksin virus hidup baru diberikan setelah 6 minggu pengobatan
steroid selesai
Kontak dengan penderita varicella sebaiknya diberikan
Imunoglobulin varicella-zoster dalam waktu < 72 jam
Tuberkulostatika
Test Mantoux (+) dengan tidak ada manifestasi klinis, terapi sesuai
pedoman tatalaksana tuberculosis
Jika didapati TBC aktif, terapi sesuai pedoman tatalaksana
tuberculosis
Pengobatan Kortikosteroid
33
i. Terapi Inisial9
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children
(ISKDC), terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik
tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis 60mg/m2LPB/hari
atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi
inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam
empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan
menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu
hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila setelah
dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien
dinyatakan resisten steroid.
34
dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan prednison
pada pasien.
35
sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat
terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-
ternating, tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping
yangberat, dapat dicoba dikombinasikan dengan levamisol selang
sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
b. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent9.
Levamisol diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang
sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol adalah mual,
muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
c. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN
anak adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.Siklofosfamid dapat
diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis tunggal,
maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis
500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6
bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu
pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit,
trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan
sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis
total kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral se-
36
lama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman
bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari
selama 8 minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas
karena efek toksik berupa kejang dan infeksi.
d. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid
atau sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-
mg/kgbb/hari (100 -150 mg/m 2 LPB). 15 Dosis tersebut dapat
mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250
ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat
menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya
akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN
resisten steroid.
e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 –
1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan
dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri
abdomen, diare, leukopenia.
37
v. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid
Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang
memuaskan. Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid
sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi
anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi akan mempengaruhi
prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:
a.Siklofosfamid (CPA)
b.Siklosporin (CyA)
c.Metilprednisolon puls
38
II. Sindroma Nefrotik Kongenital
39
parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari.Infeksi lain yang sering
ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran
napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien
varisela. Bila terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu-noglobulin
varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak
memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin
intravena (400mg/kgbb)11. Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat
asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral
dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10 hari, dan
pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.
2) Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps
menunjukkan bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi
yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular paru yang
asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan
pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan,
dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan
tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan11.
3) Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL
dan VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas
kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup
dengan pengurangan diit lemak. Pada SN resisten ste-roid, dianjurkan
untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan
40
diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun
lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin) 14.
4) Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka
lama (lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi
kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125- 250 IU).32 Bila telah
terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5
mL/kgbb intravena14.
5) Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps
dapat terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit perut. Pasien harus segera
diberi infus.
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30
menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb
(tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan
pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2 mg/kgbb intravena14.
6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam
perjalanan penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi
diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB
(angiotensinreceptor blocker) calcium channel blockers, atau antagonis
β adrenergik,sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
7) Efek samping steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifikan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan
orangtuanya. Efek samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan,
41
gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi,
retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua
pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala
cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan
tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap
tahun sekali14.
X. INDIKASI PULANG
Penderita dipulangkan bila keadaan umum baik dan komplikasi teratasi
serta pasien telah teredukasi untuk menjalankan pengobatan di rumah.
Selama mendapat steroid kontrol sekali seminggu ke instalasi rawat jalan.
Setelah steroid dihentikan kontrol sekali sebulan selama 3-5 tahun bebas
gejala.
XI. EDUKASI
Adapun edukasi yang dapat diberika pada pasien dan keluarga dengan sindrom
nefrotik adalah makan obat teratur dan diet sesuai petunjuk, pemantauan
volume urin dan tekanan darah serta waktu kapan harus kontrol.
XII. PROGNOSIS
Sejak diperkenalkannya kortikosteroid, angka kematian SN secara keseluruhan
menurun secara drastis dari 50% menjadi sekitar 2-5%. SN dikaitkan dengan
peningkatan risiko komplikasi multipel, termasuk edema, infeksi, trombosis,
hiperlipidemia, gagal ginjal akut, dan kemungkinan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular. Prognosis bervariasi, tergantung pada apakah SN
sensitif terhadap steroid atau resisten steroid.
42
SN sensitif steroid
Pasien yang masih sensitif terhadap steroid dengan proteinuria, bahkan
sering relaps, umumnya memiliki prognosis yang baik. ISKDC menemukan
bahwa 93% pasien SN yang sensitif steroid, biopsi ginjal menunjukkan MCNS.
Sebaliknya, 75% pasien yang awalnya tidak sensitif steroid memiliki histologi
selain MCNS.
SN resisten steroid
Kebanyakan pasien yang tidak mencapai remisi dengan steroid memiliki
temuan biopsi ginjal selain MCNS. Diagnosis yang paling umum pada pasien-
pasien ini adalah FSGS. Pasien dengan SN resisten steroid memiliki prognosis
yang baik jika remisi dapat dicapai dengan obat lain. Kegagalan mencapai
remisi dan insufisiensi ginjal merupakan prediksi dapat berkembang menjadi
ESKD.
43
BAB IV
ANALISIS KASUS
44
dalam kondisi gizi buruk marasmus-kwarshiorkor. Pada kasus didapatkan bahwa
status gizi anak adalah gizi kurang/mild malnutrition. Seharusya perlu
diperhitungkan juga tinggi orang tua untuk membuat plot apakah anak memang
memiliki perawakan pendek atau tidak serta mengetahui laju pertumbuhan anak.
Pada kasus ini, terjadinya gangguan fungsi ginjal berupa kerusakan
glomerulus dalam menyaring protein yang lewat sehingga tidak terjadi uptake
protein yang menyebabkan kondisi edema semakin meyakinkan. Edema anasarka
pada kasus dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dimana diperoleh shifting dullness
(+) yang menandakan adanya asites, pitting edema pada pretibial, dan adanya
edema palpebra pada kedua mata.
Keluhan BAK yang semakin sedikit dapat kita artikan sebagai oliguria.
Oliguria pada pada pasien mungkin dapat disebabkan karena input cairan yang
sedikit, kemudian akibat dehidrasi, serta dapat juga berasal dari gangguan ginjal,
Mengingat sebelumnya pasien pernah didiagnosa sebagai sindroma nefrotik, maka
kemungkinan penyebab oliguria adalah kondisi sindroma nefrotik yang berulang
atau relaps. Kondisi oliguria pada sindroma nefrotik merupakan mekanisme
kompensasi tubuh akibat kerusakan membrana basalis glomerulus. Kebocoran
protein atau proteinuria masif menyebabkan penurunan tekanan onkotik sehingga
akan terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial. Sebagai
kompensasinya, akan terjadi retensi natrium dan air akibat kekurangan cairan di
intravaskular. Kondisi ini kita sebut sebgai teori under-fill dan over-fill, sehingga
secara klinis akan ditemukan kondisi oliguria akibat upaya tubuh untuk menjaga
volume cairan intravaskular, serta kondisi edema anasarka akibat perpindahan
cairan dari intravaskular ke interstitial yang masif.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu pada kasus ini adalah
pemeriksaan serum albumin, protein urin, fungsi ginjal, dan pemeriksaan kolestrol
total. Pada kasus ini, diperoleh hasil albumin 0,8 g/dl dan hasil pemeriksaan protein
urin kualitatif diperoleh positif (++). Selain itu, didapatkan pemeriksaan kolesterol
total adalah 364 mg/dl. Kondisi ini sesuai dengan penjabaran di atas mengenai
terjadinya kebocoran protein sehingga akan ditemukan protein urin yang positif
(proteinuria) serta hipoalbuminemia. Pada pemeriksaan urin didapatkan adanya
45
kekeruhan pada urinnya (berbusa) sehingga hal tersebut memperjelas kondisi
proteinuria yang masif. Oleh karena itu, diagnosis banding nefritis akut dapat
disingkirkan. Walaupun pada pemeriksaan urin didapatkan hematuria mikroskopis
(+3), namun pada pasien tidak ditemukan adanya riwayat sakit tenggokan maupun
infeksi lainnya sehingga hal tersebut juga dapat menyingkirkan diagnosis nefritis
akut yang paling banyak disebabkan oleh bakteri streptococcus. Selain itu,
hematuria mikroskopis juga dapat menjelaskan mengenai kondisi anemia pada
pasien.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dibantu
pemeriksaan penunjang dapat ditegakkan diagnosis sindroma nefrotik pada pasien.
Selanjutnya, karena kondisi ini pernah berulang pada pasien, perlu kita tentukan
jenis relaps pada kasus ini. Kekambuhan terakhir yang dialami pasien terjadi sekitar
2 tahun yang lalu, sehingga dapat kita kategorikan bahwa saat ini pasien megalami
sindroma nefrotik relaps jarang. Sindorma nefrotik relaps jarang ditandai dengan
adanya proteinuria ≥ +2 dan muncul kembali kurang dari 2 kali dalam enam bulan
setelah pengobatan steroid dihentikan.
Pada kasus ini, ditemukan pula adanya kondisi anemia pada pasien. Hal
tersebut dibuktikan dengan hasil pemeriksaan fisik berupa konjungtiva anemis pada
kedua mata. Selain itu, pada pemeriksaan penunjang juga didapatkan Hb 8,1 g/dl,
dan RBC 3,00 x 106/mm3. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi hematuria
mikroskopis pada pasien akibat kerusakan membran glomerulus sehingga eritrosit
juga ikut masuk ke dalam urin. Selain itu, kerusakan pada ginjal juga menyebabkan
berkurangnya produksi eritropoietin sehingga produksi sel RBC juga berkurang.
Pasien diberikan terapi injeksi furosemid 2 x 20 mg intravena,
metilprednisolon 3 x 8 mg, dan albumin 20% 100 cc. Menurut konsensus IDAI
tatalaksana sindroma nefrotik relaps pada anak seharusnya diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ≥ +2 tetapi tanpa edema sebelum pemberian prednisone harus dicari
terlebih dahulu pemicunya.
46
Apabila proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps.
Bila sejak awal ditemukan proteinuria >++ disertai edema, maka diagnosis relaps
dapat ditegakkan, dan prednisone mulai diberikan. Pengobatan SN relaps dengan
prednisone dosis penuh / FD setiap hari sampai remisi maksimal 4 minggu
kemudian dilanjutkan dengan prednisone intermittent atau alternating / AD selama
4 minggu.
DAFTAR PUSTAKA
47
1. Tapia, Carolina and Khalid Bashir. 2019. Nephrotic syndrome.
StatPearls.
2. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede S. 2012. Konsensus
tatalaksana sindroma nefrotik idiopatik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta:
UKK Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. The Royal Children’s Hospital Melbourne. 2013. Nephrotic Syndrome.
Australia: 50 Flemington Road Parkville.
4. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2012. Jakarta:Konsil Kedokteran
Indonesia.
5. Basuki B. Purnomo. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV
6. Ariputri, Amalina F. 2016. Pengaruh pemberian ekstrak meniran
(Phyllanthus niruri l.) Dosis bertingkat terhadap gambaran mikroskopis
ginjal. Semarang: Universitas Diponegoro.
7. Eroschenko, V P. 2010. Atlas Histologi di Fiore, edisi 11. Jakarta: EGC.
8. Sampson, M.G.; Jeffrey B.H. dan Matthias K. 2015. Defining nephrotic
syndrome from an integrative genomics perspective. Pediatr Nephrol.
30(1): 51–63.
9. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2004.p. 383.
10. Banh, Tonny H.M. 2016. Ethnic Differences in Incidence and Outcomes
of Childhood Nephrotic Syndrome. Clin J Am Soc Nephrol. 11(10):
1760–1768.
11. National Kidney Foundation, Inc. 2016. Nephrotic Syndrome.
https://www.kidney.org/atoz/content/nephrotic.
12. Jaipaul, Navin. 2016. Overview of Nephrotic Syndrome.
(http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary-
disorders/glomerular-disorders/overview-of-nephrotic-syndrome,
13. Wigati, R., Laksmi E. 2010. Alternatif Terapi Inisial Sindrom Nefrotik
untuk Menurunkan Kejadian Relaps. Sari Pediatri 2010; 11 (6): 415-419.
48
14. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.
1801-7.
15. Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Diponegoro; 2011.p. 252-9.
16. Park, Se Jin dan Jae Shin. 2011. Complications of nephrotic syndrome.
Korean J Pediatr. 54(8): 322–328.
49