Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma atau
kumpulan gejala atau keluhan, berupa nyeri atau perasaan tidak nyaman pada ulu
hati, mual, kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang dan perut merasa
penuh atau begah. Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan oleh
penderita. Biasanya, dispepsia dialami oleh orang yang tidak teratur dalam pola
makannya (Yuliarti, 2009).
Secara global terdapat sekitar 15-40% penderita dispepsia. Setiap tahun
gangguan ini mengenai 25% populasi dunia (Purnamasari, 2017). Prevalensi
dispepsia di Asia berkisar 8-30%, prevalensi di Amerika Serikat sebesar 23-
25,8%, di India 30,4%, New Zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-
41% (Kumar dkk, 2012). Di daerah Asia Pasifik, dispepsia juga merupakan
keluhan yang banyak dijumpai prevalensinya sekitar 10-20 % (Murti dkk, 2013).
Sedangkan di dalam Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 yang
diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2012,
dispepsia termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010,
pada urutan ke-5 dengan angka kejadian kasus sebesar 9.594 kasus pada pria dan
15.122 kasus pada wanita. Sedangkan untuk 10 besar penyakit rawat jalan di
rumah sakit tahun 2010, dispepsia berada pada urutan ke-6 dengan angka kejadian
kasus sebesar 34.981 kasus pada pria dan 53.618 kasus pada wanita, jumlah kasus
baru sebesar 88.599 kasus.
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia
dibagi dua yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik
apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum,
karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui
pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi
konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya
2

tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi


konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-
penyakit sistemik. Dispepsia fungsional berhubungan dengan ketidaknormalan
pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan bagian atas (esofagus,
lambung dan usus halus bagian atas) (Djojoningrat, 2009).
Berdasarkan data tahun 2017, pasien yang datang ke IGD RSUD Cibabat
Cimahi yaitu 3.927 orang, dengan diagnosa Dyspepsia sebanyak 1.250 orang dan
menduduki peringkat kesatu. Pasien dengan diagnosa Asthma Unspecified
sebanyak 1.146 orang dan menduduki peringkat kedua. Pasien dengan diagnosa
Diarrhoea and Gastroenteritis (GE) sebanyak 786 orang dan menduduki
peringkat ketiga. Pasien dengan diagnosa Other and Unspecified Abdominal Pain
sebanyak 443 orang dan menduduki peringkat keempat. Pasien dengan diagnosa
Nausea and Vomoting (Vomitus) sebanyak 302 orang dan menduduki peringkat
kelima.
Tujuan utama pengobatan dispepsia adalah untuk mengurangi rasa sakit.
Obat yang banyak digunakan pada pasien dispepsia antara lain obat kombinasi
dari golongan antasid, pelindung mukosa lambung yaitu sucralfat, antagonis
reseptor H2, penghambat pompa proton (diantaranya omeprazole, lansoprazole)
untuk mengurangi sekresi asam lambung, pelindung mukosa dan peningkat faktor
pertahanan lambung, Antiemetika untuk mengurangi mual. Terapi dengan
menggunakan obat kombinasi dimungkinkan terjadinya interaksi obat
(Muyassaroh, 2009).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah dengan judul : “Gambaran Peresepan Obat
Pada Pasien Dispepsia di Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi Periode
Januari-April 2018”.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana gambaran peresepan obat pada pasien dispepsia di Rumah Sakit
Umum Daerah Cibabat Cimahi Periode Januari-April 2018.
3

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui gambaran peresepan obat pada pasien dispepsia di
Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi Periode Januari-April 2018.
1.4. Manfaat Penelitian
a) Manfaat Untuk Penulis
Sebagai proses pembelajaran serta menambah pengetahuan terhadap
gambaran peresepan obat berdasarkan karateristik pasien dan
penggunaan obat pada pasien dispepsia di IGD Rumah Sakit Umum
Daerah Cibabat Cimahi.
b) Manfaat Untuk Akademik
Menambah daftar pustaka dan referensi buat mahasiswa terutama Jurusan
Farmasi Politeknik Kesehatan Bandung.
c) Manfaat Untuk Instalasi Farmasi RSUD Cibabat Cimahi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk
menyusun kebijakan dalam pengelolaan dan pengadaan obat dispepsia di
RSUD Cibabat Cimahi.
4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispepsia
2.1.1 Pengertian
Dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma
atau kumpulan gejala atau keluhan, berupa nyeri atau perasaan tidak nyaman pada
ulu hati, mual, kembung, muntah,sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa
penuh atau begah. Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan oleh si
penderita. Biasanya, dispepsia dialami oleh orang yang tidak teratur dalam pola
makannya (Yuliarti, 2009).
Menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (2014) dispepsia
merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas. Rasa
tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu:
nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa.
2.1.2 Klasifikasi Dispepsia
Klasifikasi dispepsia dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Dispepsia organik adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas,
misalnya ada ulkus peptikum. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia
muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun (Rani, 2011).
Dispepsia fungsional adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui atau tidak
didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak
ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik
(Djojoningrat, 2009).
Mansjoer (2001) membagi dispepsia menjadi dua yaitu :
1) Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis,
stomach cancer, Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity.
5

2) Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non


ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa
disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan
klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran
pencernaan).
2.2 Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30 % dari
pelayanan dokter umum dan 50 % dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum
diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional.
Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia,
Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-
79,5 % pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dari hasil
endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di
Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus
kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5 % kasus dengan ulkus
gaster; dan normal pada 8,2 % kasus (Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia,
2014).
2.3 Patofisiologi
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara
lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Helicobacter Pylori, asam
lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor
lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan
riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya (Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia, 2014).
Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan
patogenesis terjadinya dispepsia fungsional, antara lain: sekresi asam
lambung, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitivitas viseral, disfungsi
autonom, diet dan faktor lingkungan, psikologis (Djojoningrat, 2009).
6

1) Sekresi Asam Lambung


Kasus dengan dispepsia fungsional diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).
Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola
makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan
membuat lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi
asam lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama,
produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi
dinding mukosa pada lambung (Rani, 2011).
2) Dismotilitas Gastrointestinal
Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi
perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas
antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat
makan, dan hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat
ditemukan pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia
fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80%
kasus dispepsia fungsional dengan keluhan seperti mual, muntah, dan
rasa penuh di ulu hati (Djojoningrat, 2009).
3) Hipersensitivitas viseral
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor (Djojoningrat, 2009).
Beberapa pasien dengan dispepsia mempunyai ambang nyeri yang
lebih rendah. Peningkatan persepsi tersebut tidak terbatas pada
distensi mekanis, tetapi juga dapat terjadi pada respon terhadap stres,
paparan asam, kimia atau rangsangan nutrisi, atau hormon,
seperti kolesitokinin dan glucagon-like peptide. Penelitian dengan
menggunakan balon intragastrik menunjukkan bahwa 50% populasi
dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau rasa tidak nyaman
di perut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah
7

dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi


kontrol (Djojoningrat, 2009).
4) Disfungsi Otonom
Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi
relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam
lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric
oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa
pada penderita dispepsia.
5)Diet
Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan
lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional (Djojoningrat,
2009).
6) Faktor psikologis
Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada
hubungan antara dispepsia fungsional dengan gangguan
psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi
gastrointestinal dan mencetusakan keluhan pada orang sehat.
Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi korelasi
antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan
motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).
2.4 Pengobatan Dispepsia
Prinsip sederhana yang dipakai untuk pengobatan dispepsia adalah
menyeimbangkan faktor agresif (faktor penyerang) dengan faktor defensif (faktor
pertahanan), utamanya dengan menghindari pencetus dispepsia, yakni
menghindari makanan, obat, stress, hawa dingin. Namun, perlu ditambahkan
pemberian obat jika dispepsia mengganggu (Puspitasari, 2010).
Berikut merupakan tinjauan Obat-Obat Dispepsia :
2.4.1 Antasid
Antasid ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna
untuk menghilangkan nyeri tukak peptik. Antasdia tidak mengurangi volume HCl
8

yang dikeluarkan lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas


pepsin. Antasida dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sistemik dan antasid
nonsistemik. Antasida sistemik diabsorpsi dalam usus halus sehingga
menyebabkan urin bersifat alkalis. Antasida nonsistemik hampir tidak diabsorpsi
dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik (Estuningtyas dan
Arif, 2012).
a. Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya
tinggi, reaksi kimianya adalah :
NaHCO3 + HCl ⇆ NaCl + H2O + CO2
Karbon dioksida (CO2) terbentuk dalam lambung akan menimbulkan efek
karminatif yang menyebabkan sendawa. Dapat menyebabkan alkalosis metabolik,
retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai
antasid (Estuningtyas dan Arif, 2012).
b. Antasida Nonsistemik
1) Alumunium Hidroksida (Al(OH)3).
Reaksi yang terjadi di dalam lambung adalah sebagai berikut :
Al(OH)3 + 3 HCl ⇆ AlCl3 + 3 H2O
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya lebih
panjang. Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan
dengan obat yang tidak larut. Efek samping Al(OH)3 yang utama adalah
konstipasi. Aluminium hisroksida digunakan untuk mengobati tukak
peptik, nefrolithiasis fosfat dan sebagai adsorben pada keracunan.
Antasid tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3, dosis yang dianjurkan
8ml. Tersedia juga dalam bentuk tablet yang mengandung 50% Al2O3
(Estuningtyas dan Arif, 2012).
2) Kalsium Karbonat (CaCO3)
Kalsium Karbonat (CaCO3) merupakan antasid yang efektif, karena
mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama dan daya menetralkan
asamnya cukup tinggi. Kalsium karbonat dapat menyebabkan
konstipasi, mual, muntah, perdarahan saluran cerna dan disfungsi
9

ginjal. Fenomena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam, tetapi


merupakan kerja langsung kalsium yang mensekresi gastrin yang
merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCl (H+). Sebagai
akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan
mengurangi efek netralisasi obat ini. (Estuningtyas dan Arif, 2012).
3) Magnesium Hidroksida (Mg(OH)2).
Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini
praktis tidak larut dan tidak efektif sebelum obat ini bereaksi dengan
HCl membentuk MgCl2.Mg(OH)2 Magnesium hidroksida yang tidak
bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCl
yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Ion
magnesium dalam usus akan diabsorpsi dan cepat diekskresi melalui
ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang
baik. Ion magnesium yang diabsorpsi akan bersifat sebagai antasid
sistemik sehingga menimbulkan alkaliuria, Pemberian kronik
magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorpsi, tetap berada
dalam usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium
diabsorpsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular
dan kardiovaskular (Estuningtyas dan Arif, 2012).
4) Magnesium trisilikat (Mg2Si3O8nH2O)
Reaksi yang terjadi di dalam lambung sebagai berikut :
Mg2Si3O8(n)H2O + 4H+ ⇆ 2Mg++ + 3SiO2 + (n + 2) H2O
Silikon dioksid berupa gel yang berbentuk dalam lambung diduga
berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silica dari magnesium trisilikat
akan diabsorpsi melalui usus dan diekskresi dalam urin. Silika gel dan
magnesium trisilikat merupakan adsorben yang baik, tidak hanya
mengadsorpsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula
kerja magnesium lambat, untuk menetralkan 30% HCl 0,1 N diperlukan
15 menit, sedangkan untuk menetralkan 60% HCl 0,1 N diperlukan
waktu satu jam. Dosis tinggi magnesium trisilikat menyebabkan diare.
10

Banyak dilaporkan terjadinya batu silikat setelah penggunaan kronik


magnesium trisilikat. Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan
potensinya untuk menimbulkan tosisitas yang khas, kurang beralasan
untuk menggunakan obat ini sebagai antasid (Estuningtyas dan Arif,
2012).
c. Efek Samping Antasid
Efek Samping. Tidak ada antasida yang bebas efek samping, terutama
pada penggunaan dosis besar jangka lama. Efek samping yang timbul antara lain :
1) Sindroma susu alkali. Sindroma ini hanya timbul pada pasien yang
memakai/menggunakan antasida sistemik atau kalsium karbonat dan
minum susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Gejalanya antara
lain sakit kepala, iritabel, lemah, mual dan muntah. Sindroma ini
ditandai dengan hiperkalasemia, alkalois ringan, kalsifikasi dan
terbentuknya batu ginjal serta gagal ginjal kronik. Keadaan ini diduga
disebabkan protein dalam susu yang meningkatkan absorpsi kalsium.
Hiperkalameia yang timbul mungkin menekan sekresi hormon
paratiroid yang selanjutnya meningkatkan ekskresi kalsium urin, dan
dapat membentuk batu kalsium karena pengendapan di saluran kemih.
2) Alumunium hidroksida dan fosfat dapat membentuk senyawa sukar
larut dalam usus halus, sehingga mengurangi absorpsi fospat dan diikuti
penurunan ekskresi fosfat urin. Penurunan absorpsi ini berakibat
resorpsi tulang yang selanjutnya yang menyebabkan hiperkalsiuria dan
meningkatnya absorpsi kalsium dari usus halus. Perubahan metabolis
kalsium ini dapat berakibat batu kalisum saluran kemih, dan
osteoporosis.
3) Neurotoksisitas. Alumunium yang diabsorpsi dalam jumlah kecil dapat
tertimbun dalam otak, dan diduga mendasari sindroma ensefalopati
yang terjadi pasa pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit
Alzheimer.
11

4) Saluran cerna. Penggunaan antasid yang mengandung magnesium dapat


menimbulkan diare dan yang mengandung alumunium menimbulkan
obstruksi terutama berbahaya pada orang tua dengan pendarahan usus.
5) Asupan natrium. Hampir semua antasid mengandung natrium, sehingga
perlu diperhatikan penggunaannya pada pasien yang harus diet rendah
natrium, misalnya penyakit kardiovaskular.
6) Interaksi dengan obat lain. Antasid dapat mengurangi absorpsi sebagai
obat misalnya INH, penisilin, tetrasiklin, nitrofurantoin, asam
nalidiksat, sulfonamide, fenilbutazon, digoksin, dan klorpromazin.
Antasid sistemik dapat meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan
ekskresi amin misalnya kina dan amfetamin serta meningkatkan
ekskresi salisil (Fakultas Kedokteran UI, 2011).
2.4.2 Penghambat Pompa Proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung
lebih kuat dari AH2. Saat ini obat obatan yang sering digunakan adalah
Omeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole.Inhibitor pompa proton diberikan
obat inaktif untuk melindungi zat inaktif obat yang labil-asam dan kerusakan
didalam lumen lambung,produk oral diformulasikan untuk lepas tunda (delayed
release) sebagai tablet atau kapsul bersalut enterik yang tahan asam.
Bioavaibilitas semua obat golongan ini berkurang 50% oleh makanan,karena itu
obat harus diberikan pada saat lambung kosong. nhibitir pompa proton perlu
diberikan sekitar 1jam sebelum makan (biasanya sarapan).
Dari segi farmakokinetika, inhibitir pompa proton adalah suatu obat ideal
memiliki waktu paruh serum singkat, terkonsentrasi dan diaktifkan ditempat kerja,
dan masa kerja nya panjang.
Efek samping : efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut,
konstipasi, flatulence, dan diare. Dilaporkan juga terjadi myopatisubakut,
artralgia, sakit kepala, dan ruam kulit (Fakultas Kedokteran UI, 2011).
12

2.4.3 Obat yang Meningkatkan Pertahanan Mukosa Lambung


Sukralfat merupakan senyawa alumunium sukrosa sulfat ini membentuk
polimer mirip lem dalam suasana asam dan terikat pada jaringan nekrotik tukak
secara selektif.
Sukralfat hampir tidak diabsorpsi secara sistemik. Obat yang bekerja
sebagai sawar terhadap HCI dan pepsin ini terutama efektif terhadap tukak
duodenum. Karena suasana asam perlu untuk mengaktifkan obat ini, pemberian
bersama AH2 atau antasid menurunkan biovailabilitas.
Indikasi. Sukralfat sama efektifnya dengan simetidin untuk pengobatan
lambung dan tukak duodenum. Data terbatas menunjukan bahwa derajat
kekambuhan ulkus lebih rendah setelah pemberian sukralfat.
Efek Samping. Dari suatu penelitian, kira-kira 47% pasien mengalami efek
samping dan yang tersering adalah konstipasi. Karena sukralfat mengandung
alumunium, penggunaanya pada pasien gagal ginjal harus hati-hati. Data
keamanannya pada wanita hamil belum ada, jadi sebaiknya tidak digunakan.
Interaksi. Sukralfat dapat mengganggu absorpsi tetrasiklin, warfarin,
fenitoin, dan digoksin, sehingga dianjurkan untuk diberikan dengan interval 2
jam. Sukralfat juga menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin dan norfloksasin,
sehingga untuk menghindari kegagalan pengobatan dengan antibiotika ini, jangan
diberikan secara bersamaan.
Dosis dewasa, untuk tukak duodenum dan tukak peptik 1g, 4 kali sehari
dalam keadaan lumbung kosong (1 Jam Sebelum makan), selama 4-8 minggu
pemberian antasid untuk mengurangi nyeri dapat diberikan dengan interval 1 jam
setelah sukralfat. Untuk pencegahan stress ulcer diberikan 1g, 6 kali sehari
sebagai suspensi oral (Estuningtyas dan Arif, 2012).
2.4.4 Antagonis Reseptor H2 (AH2)
Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Contoh
antagonis reseptor H2 yaitu simetidin dan ranitidin.
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara
selektif dan reversibel perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam
lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi asam lambung
13

di hambat. Pengaruh fisiologik simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2


lainnya, tidak begitu penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam
lambung pada keadaan basal, simetidin dan ranitidin dapat menghambat sekresi
asam lambung akibat perangsang obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin.
Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volume dan kadar pepsin cairan
lambung.
Efek Samping. Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya
berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping
lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara
lain nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare, konstipasi, ruam kulit,
kehilangan libido dan impoten.
Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan
ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi
dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat
simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah
pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin
terhadap peninggian prolaktin ini kecil.
Interaksi obat. Antasid dan metoklopramid mengurangi bioavailabilitas
oral simetidin sebanyak 20-30%. Interaksi ini mungkin tidak bermakna secara
klinis, akan tetapi dianjurkan selang waktu minimal 1 jam antara penggunaan
antasid atau metoklopramid dan simetidin oral.
Simetidin menghambat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas
enzim mikrosom hati, jadi obat lain yang merupakan substrat enzim tersebut akan
terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya
dipengaruhi simetidin antara lain warfarin, fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propranolol, metoprolol, dan imipramin.
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin, akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin.
Nifedipin, warfarin, teofilin, dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan
ranitidin. Selain penghambat terhadap sitokrom P-450 diduga ada mekanisme lain
yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat absorpsi
14

diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini


diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam.
Penggunaan ranitidin bersama antasid atau antikolinergik sebaiknya
diberikan dengan selang waktu 1 jam.
Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga
akan memperlambat obat lain. Simetidin dapat menghambat alkohol
dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar
alcohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar
lidokain serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Obat ini tidak
dicampurkan dengan barbiturate dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan
berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit
hati atau ginjal. Gejala gangguan SSP berupa slurred speech, somnolen, letargi,
gelisah, bingung, disorientasi, aglitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala-gejala
tersebut hilang/membaik bila pengobatan dihentikan. Gejala seperti demensia
dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai
efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan, mungkin
karena sukarnya melewati sawar darah otak.
Efek samping simetidin kebiasaan buang air besar berubah, pusing, ruam
kulit, letih keadaan bingung yang revelsibel. Yang jarang terjadi ialah
trombositopenia, granulositopenia, toksisitas terhadap ginjal atau hati. Pemberian
simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan brakikardia dan efek
kardiotoksik lain (Fakultas Kedokteran UI, 2011).
2.5 Rumah Sakit
Menurut UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, rumah sakit
adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang
optimal untuk seluruh masyarakat, melalui upaya kesehatan yang diselenggarakan
dengan pendekatan pemeliharaan, pendekatan kesehatan (promotif), pencegahan
(prefentif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan
(rehabilitatif) yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
15

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan


kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.
Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat adalah Rumah Sakit milik
Pemerintah Kota Cimahi Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001 yang sebelumnya
di bawah Pemerintah Kabupaten Bandung yang berdiri di area seluas 20.290 m2.
2.6 Definisi Opersional
Tabel 2.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Skala


Ukur Ukur Ukur
1 Resep Resep yang Pengumpulan Lembar Jenis dan Numerik
dispepsia ditulis oleh data melalui resep jumlah
Dokter lembar resep obat yang
untuk diresepkan
pasien untuk
dengan pasein
diagnosa dengan
dispepsia diagnosa
dispepsia

2 Sindrom Berupa Diagnosa Manual Jumlah Nominal


Dispepsia nyeri Dokter yang pasien
perasaan tercantum dengan
tidak SEP (surat diagnosa
nyaman, eligibilitaas dispepsia
kembung, peserta)
sendawa,
rasa cepat
kenyang
16

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif non-eksperimental
dengan data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari resep di depo
farmasi IGD RSUD Cibabat Cimahi periode Januari – April 2018.
3.2 Tempat dan Waktu Pengambilan Data
Penelitian dilakukan di RSUD Cibabat selama bulan Januari – April 2018.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Penelitian dilakukan terhadap semua resep pria dan wanita yang berobat ke
IGD RSUD Cibabat Cimahi periode Januari – April 2018 yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi.
1. Kriteria inklusi
Resep dari pasien IGD di RSUD Cibabat Cimahi periode Januari – April
2018 dengan diagnosa dispepsia.
2. Kriteria ekslusi
Resep dari pasien IGD di RSUD Cibabat Cimahi periode Januari – April
2018 diagnosa dispepsia untuk dirawat inap
3.3.2 Sampel
Jumlah sampel yang diambil ditentukan dengan menggunakan rumus
Slovin yaitu :
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁𝑒 2

565
𝑛=
1 + 565(0.05)2

565
=
2,413

= 234,15 ≈ 234 resep


Rumus 3.1. Rumus Perhitungan Sempel
17

Dimana,
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = batas toleransi kesalahan
3.4 Pengambilan dan Pengolahan Data
Data yang diambil adalah resep yang mengandung obat dispepsia dari
bulan Januari-April 2018 lalu diberi angka, selanjutnya dipilih secara acak untuk
dijadikan sampel, data yang diambil adalah nomor medrek, jenis kelamin, umur,
nama obat, dan penyakit penyerta, selanjutnya pengolahan data dengan distribusi
frekuensi
3.5 Analisi Data
Data diteliti kemudian dianalisis secara deskriptif ditampilkan melalui
tabel dan frekusensi.
18

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian data resep obat yang dilayani di depo farmasi
IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada bulan Januari - April 2018
adalah sebanyak 565 resep. Jumlah resep obat dispepsia terbanyak adalah pada
bulan Maret yaitu 158 lembar resep (27,36 %). Sedangkan jumlah resep obat
dispepsia yang paling sedikit adalah bulan Februari yaitu 132 lembar resep
(23,36%).
Tabel 4.1 Data Resep Obat Dispepsia Bulan Januari - April 2018

Jumlah Lembar Persentase


Bulan
Resep (%)
Januari 134 23,72

Februari 132 23,36


Maret 158 27,96
April 141 24,96
Total 565 100
Sumber : Depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada Bulan Januari -
April 2018

Berdasarkan hasil penelitian dari 234 resep yang dijadikan sampel


menunjukkan 148 pasien perempuan (63,25%) dan 86 pasien laki-laki (36,75%).
Untuk usia penderita pengguna obat dispepsia yang terbanyak adalah kelompok
usia 26 – 45 tahun sebanyak 84 orang (35,09%) sedangkan yang paling sedikit
terdapat pada kelompok usia 0 - 4 tahun sebanyak 2 orang (0,85%). Penyakit
penyerta yang sering diderita pada pasien dispepsia adalah Febris sebanyak 24
orang (10,26%), ISPA 7 orang (2,99%), Colik Abdomen 13 orang (5,56%),
ISK 1 orang (0,43%), Cephalgia 1 orang (0,43%), Gastroentritis 18 orang
(7,69%), Hipertensi 8 orang (3,42%), Vertigo 12 orang (5,13%), Myalgia 3
orang (1,28%), hal ini dapat dilihat pada tabel 4.2.
19

Tabel 4.2 Gambaran Karakteristik Data Resep Obat Dispepsia Berdasarkan


Sosiodermografi Pasien

Persensetase
Karakteristik Jumlah
(%)
Jenis Kelamin 234 100
Laki-Laki 86 36,75
Perempuan 148 63,25

Usia (Thn) 234 100


0-4 2 0,85
5 - 11 7 2,99
12 - 25 72 30,77
26 - 45 84 35,9
46 - 65 58 24,79
≥ 65 11 4,70

Diagnosa 234 100


Dispepsia 147 62,82
Dispepsia + Penyakit Penyerta 87 37,18
Febris 24 10,26
ISPA 7 2,99
Kolik Abdomen 13 5,56
ISK 1 0,43
Cepalgia 1 0,43
Gastroentritis 18 7,69
Hipertensi 8 3,42
Vertigo 12 5,13
Myalgia 3 1,28
Sumber : Depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada Bulan Januari -
April 2018

Berdasarkan hasil penelitian, kelas terapi yang diberikan pada pasien


dispepsia di depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada
bulan Januari - April 2018 adalah Antitukak lambung 418 resep (69,55%) dan
Antiemetika 183 resep (30,45%), hal ini dapat dilihat pada tabel 4.3.
20

Tabel 4.3 Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia di RSUD Cibabat Cimahi


Periode Januari - April 2018 Berdasarkan Kelas Terapi

Persentase
Kelas Terapi Jumlah
(%)
Antitukak 418 69,55
Antiemetika 183 30,45
Total 601 100
Sumber : Depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada Bulan Januari -
April 2018

Kelas terapi yang digunakan di Depo IGD RSUD Cibabat Cimahi yaitu
Antitukak dan Antiemetika. Untuk Antitukak golongan obat yang digunakan
diantaranya adalah PPI, Pelapis Mukosa, H2 Bloker, dan Antasida.

Tabel 4.4 Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia di RSUD Cibabat Cimahi


Periode Januari - April 2018 Berdasarkan Jenis Kelas Terapi

Persentase
Kelas Terapi Nama Obat Jumlah
(%)
Antitukak 418 69.55
PPI Lansoprazol Kapsul 141 23,46
Pantoprazol Injeksi 48 7,99
Omeprazole Kapsul 4 0,67
Omeprazole Injeksi 4 0,67
Pelapis
Mukosa Sucralfat Sirup 77 12,81
H2 Bloker Ranitidin Tablet 13 2,16
Ranitidin Injeksi 124 20,63
Antasida Antasida Tablet 2 0,33
Antasida Sirup 5 0,83

Antiemetika 183 30,45


Domperidon Tablet 29 4,83
Domperidon Sirup 4 0,67
Ondancentron Tablet 33 5,49
Ondancentron Injeksi 117 19,47

Total 601 100


Sumber : Depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada Bulan Januari -
April 2018
21

Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa obat antitukak yang digunakan untuk
pasien dispepsia di depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat
Cimahi pada bulan Januari - April 2018 untuk golongan Pompa Proton Inhibitor
(PPI) yaitu Lansoprazol 141 lembar resep (23,46%), Pantoprazol injeksi 48
lembar resep (7,99%), dan Omeprazole injeksi 4 lembar resep (0,67%)
Omeprazole kapsul 4 lembar resep (0,67%), sedangkan untuk golongan Antagonis
Reseptor H2 adalah Ranitidin injeksi 124 lembar resep (20,63%) dan Ranitidin
tablet 13 lembar resep (2,16%). Golongan Pelindung Mukosa adalah Sucralfat
sirup 77 lembar resep (12,81%), dan golongan Antasida adalah Antasida tablet 2
lembar resep (0,33%) dan Antasida sirup 5 lembar resep (0,83%). Untuk
penggunaan obat antiemetika yang digunakan adalah Domperidon tablet 29
lembar resep (4,83%), Domperidon sirup 4 lembar resep (0,67%), Ondansentron
tablet 33 lembar resep (5,49%) Onadancentron injeksi 117 lembar resep (19,47%).

Tabel 4.5 Gambaran Penggunaan Obat Dispepsia di RSUD Cibabat Cimahi


Periode Januari - April 2018 Berdasarkan Kombinasi Obat

Persentase
Jenis Terapi Jumlah
(%)
Tunggal
Antitukak 90 38,46

Kombinasi
Antitukak + Antiemetika 144 61,5
Total 234 100
Sumber : Depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada Bulan Januari -
April 2018

Berdasarkan tabel 4.5 terlihat bahwa penggunaan obat dispepsia


berdasarkan kombinasi obat di depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah
Cibabat Cimahi pada bulan Januari - April 2018 adalah Antitukak 90 lembar resep
(38,46%), Antitukak + Antiemetika yaitu 144 lembar resep (61,5%).
22

Tabel 4.6 Gambaran Penggunaan Obat Lain pada Terapi Dispepsia di RSUD
Cibabat Cimahi Periode Januari - April 2018

Persentase
Nama Obat Jumlah
(%)
Ketorolac Injeksi 73 28,52
Paracetamol Tablet 87 33,98
Ibuprofen Tablet 2 0,78
Antalgin Tablet + Diazepam Tablet 1 0,39
Natrium Diklofenak 2 0,78
Paracetamol Tablet +Hyoscine Butylbromid 8 3,13
Oralit 16 6,25
Betahistin 12 4,69
Attapulgite 13 5,08
Ciprofloxacin 9 3,52
Amlodipin 8 3,13
Cefixim 7 2,73
Enzim 4 1,56
Zink syr 1 0,39
Thiampenikol 5 1,95
Ambroxol tab 2 0,78
Acetylcystein 3 1,17
Salbutamol+Ipratopium Bromida 1 0,39
Fluticasone+Propionat 1 0,39
Vitamin B1+B6+B12 1 0,39
Total 256 100
Sumber : Depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat Cimahi pada Bulan Januari -
April 2018

Berdasarkan tabel 4.6 terlihat bahwa pengunaan obat lain yang digunakan
untuk pasien dispepsia di depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum Daerah Cibabat
Cimahi pada bulan Januari - April 2018 adalah Ketorolak Injeksi 73 lembar resep
(28,52%), Paracetamol Tablet 87 lembar resep (33,98%), Ibuprofen Tablet 2
lembar resep (0,78%), Antalgin Tablet + Diazepam Tablet 1 lembar resep
(0,39%), Natrium Diklofenak 2 lembar resep (0,78%), Paracetamol Tablet +
Hyoscine Butylbromid Tablet 8 lembar resep (3,13%), Oralit 16 lembar resep
(6,25%), Betahistin 12 lembar resep (4,69%), Attapulgite 13 lembar resep
(5,08%), Ciprofloxacin 9 lembar resep (3,52%), Amlodipin 8 lembar resep
23

(3,13%), Cefixim 7 lembar resep (2,73%), Suplemen makanan 4 lembar resep


(1,56%), Zink sirup 1 lembar resep (0,39%), Thiampenicol 5 lembar resep
(1,95%), Ambroxol 2 lembar resep (0,78%), Acetylcystein 3 lembar resep
(1,17%), Salbutamol +Ipratopium Bromida 1 lembar resep (0,39%), Fluticasone +
Propionat 1 lembar resep (0,39%), Vitamin B1+B6+B12 1 lembar resep (0,39%).
4.2 Pembahasan
Data resep yang masuk ke IGD RSUD Cibabat Cimahi dari bulan Januari
– April 2018 sebanyak 565 lembar resep. Teknik pengambilan sampel
menggunakan rumus slovin, jumlah resep yang diteliti sebanyak 234 lembar
resep. Dari tabel 4.1 berdasarkan resep bulan Januari - April 2018 terdapat data
resep obat dispepsia yang terbanyak pada bulan Maret yaitu 158 lembar resep
(27,96 %). Sedangkan yang paling sedikit pada bulan Februari yaitu 132 lembar
resep (23,36 %).
Dari tabel 4.2 data resep obat dispepsia berdasarkan sosiodermografi
pasien periode Januari – April 2018 terdapat data orang yang menggunakan obat
dispepsia terbanyak adalah perempuan yakni 148 orang (63,25%) sedangkan laki-
laki 86 orang (36,75%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Arsyad, Irmaini dan Hidayaturrami (2018) dimana diperoleh penderita dispepsia
berjenis kelamin perempuan sebanyak 51 orang (63%) dan laki-laki 30 orang
(37%). Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2017) yang
menyatakan bahwa dispepsia lebih banyak ditemukan pada perempuan sebanyak
425 orang (69,4%) sedangkan laki-laki 187 orang (30,6%). Dispepsia lebih
banyak ditemukan pada perempuan dikarenakan perempuan mempunyai waktu
aktifitas lebih lama dibandingkan dengan laki-laki, perempuan juga memiliki
tingkat kecemasan yang lebih tinggi, faktor dari pola diet juga mempengaruhi,
dimana perempuan sering tidak teratur dalam jadwal makan sehingga jeda makan
mereka terlalu lama atau panjang (Haekal, 2016).
Berdasarkan usia pasien periode Januari – April 2018 terdapat data
penderita pengguna obat dispepsia terbanyak adalah kelompok usia 26 – 45 tahun
yaitu sebanyak 84 orang (35,9%) sedangkan yang paling sedikit terdapat pada
kelompok usia 0 – 4 tahun yaitu sebanyak 2 orang (0,85%). Seperti dilihat di tabel
24

Tabel 4.2 Gambaran Karakteristik Data Resep Obat Dispepsia Berdasarkan


Sosiodermografi Pasien kelompok umur tertinggi yaitu di usia produktif dapat
terjadi dikarenakan kebiasaan yang berhubungan dengan gaya hidup, pola makan,
dan stres (Yuliarti, 2009 ).
Dari tabel 4.2 data penyakit penyerta pada penderita dispepsia periode
Januari – April 2018 terbanyak adalah penyakit febris yaitu sebanyak 24 orang
(27,59%), sedangkan yang paling sedikit terdapat pada penyakit penyerta myalgia
yaitu sebanyak 3 orang (3,45%). Keluhan dispepsia banyak dijumpai pada pasien
yang terkena demam. Pada dasarnya keluhan dispepsia biasa tidak disertai dengan
demam, tetapi apabila disertai dengan demam pertanda tubuh sedang mengalami
infeksi, sehingga diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan darah
dan urin. Penyakit penyerta lainnya yang disertai dengan gejala dispepsia di
RSUD Cibabat Cimahi adalah ISPA, Colik abdomen, ISK, Cephalgia, Gastro
Entritis, Hipertensi, Vertigo, dan Myalgia.
Dari tabel 4.3 bahwa data resep obat dispepsia berdasarkan kelas terapi,
pengobatan pasien dispepsia yang terbanyak adalah golongan Antitukak yaitu 418
(69,55%). Adapun Antitukak dapat melindungi mukosa lambung, mencegah
terbentuknya asam lambung, mengurangi produksi asam lambung, menetralkan
asam lambung (Wijayanti dan Saputro, 2012). Antitukak yang digunakan di
RSUD Cibabat Cimahi adalah golongan obat PPI, Antagonis Reseptor H2,
Antasida dan Pelindung Mukosa Lambung.
Peringkat kedua ditempati oleh golongan Antiemetika sebanyak 183
lembar resep (30,45%). Penggunaan obat Antiemetika dimaksudkan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa mual yang timbul akibat dari penyakit
dispepsia. Rasa mual atau ingin muntah merupakan hal yang paling sering terjadi
pada sebagian besar pasien dispepsia (Wijayanti dan Saputro, 2012).
Dari tabel 4.4 gambaran penggunaan obat dispepsia berdasarkan kelas
terapi. Berdasarkan hasil penelitian pada pasien dispepsia di IGD RSUD Cibabat
Cimahi, terapi awal yang diberikan adalah obat dengan sediaan injeksi diberikan
secara intravena agar keluhan pasien dapat teratasi dengan cepat, diantaranya
golongan pompa proton yaitu Pantoprazole injeksi dan Omeprazole injeksi,
25

golongan H2 Bloker yaitu Ranitidin injeksi, golongan antiemetika yaitu


Ondancentron injeksi.
Penggunaan obat dispepsia berdasarkan kelas terapi, penggunaan antitukak
yang terbanyak adalah Lansoprazol 141 lembar resep (23,46%) sedangkan yang
paling sedikit terdapat pada Antasida sirup 5 lembar resep (0,83%). Untuk
penggunaan obat antiemetika yang terbanyak adalah Ondancentron injeksi 117
lembar resep (19,47%) sedangkan yang paling sedikit adalah obat Domperidon
sirup 4 lembar resep (0,67%).
Golongan PPI yang paling banyak digunakan adalah Lansoprazol.
Lansoprazol menjadi pilihan utama dibandingkan obat PPI lainnya, hal ini
dikarenakan dengan dosis rendah Lansoprazol memiliki aksi yang lebih cepat
dibandingkan dengan dosis rendah obat PPI lainnya seperti Omeprazol dan
Pantoprazol. Lansoprazol merupakan obat golongan PPI yang memiliki
bioavaibilitas tinggi, waktu konsentrasi puncak plasma yang cepat, harga
ekonomis, dan memiliki efek samping minimal, hal ini yang mungkin menjadikan
Lansoprazol banyak digunakan (Artharini, Probosuseno dan Nugroho, 2016).
Obat lainnya untuk mengatasi dispepsia adalah golongan Antasida.
Golongan Antasida ditujukan untuk menetralisir asam lambung yang berlebih di
dalam lambung. Bila lambung sudah teriritasi oleh asam lambung biasanya
muncul rasa sakit atau perih di perut. Asam lambung yang berlebih bersifat asam,
maka perlu dinetralkan agar tidak mengiritasi lambung. Dengan demikian
diharapkan rasa perih di lambung dapat teratasi oleh pemakaian antasida
(Wijayanti dan Saputro, 2012).
Terapi dispepsia lainnya adalah menggunakan Sukralfat, dimana akan
memberikan lapisan pelindung pada tukak sehingga melindungi dari infeksi.
Sukralfat merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat yang
berfungsi melindungi mukosa lambung agar tidak teriritasi oleh asam lambung
dan infeksi dari bakteri (Wijayanti dan Nuraeni, 2014). Selain daripada itu
biasanya dispepsia diberikan obat golongan antagonis reseptor H2 dengan cara
menghambat sekresi asam lambung berlebih, sehingga rasa sakit dapat reda.
26

Selain itu Ranitidin juga mencegah munculnya gejala-gejala akibat gangguan


pencernaan akibat mengkonsumsi makanan tertentu.
Terapi dispepsia berikutnya adalah Antiemetika. Pada tabel 4.4,
Antiemetika yang sering digunakan di depo farmasi IGD Rumah Sakit Umum
Daerah Cibabat Cimahi pada bulan Januari - April 2018 adalah Ondancentron
Tablet 33 (4,38%) lembar resep dan Ondancentron Injeksi 117 (15,54%) lembar
resep. Ondansetron dipilih sebagai obat untuk mengurangi mual dan muntah pada
penderita dispepsia dikarenakan efek samping yang ditimbulkan lebih ringan
dibanding antiemetika yang lain, selain itu aksi Ondansetron sebagai antiemetika
relatif lebih cepat dibanding obat lain (Wijayanti dan Nuraeni, 2014). Obat
selanjutnya yang digunakan adalah golongan Domperidon, obat ini dipilih untuk
meredakan rasa mual, rasa tidak nyaman, dan perasaan penuh di lambung.
Domperidon digunakan pada muntah akibat dispepsia fungsional. Dispepsia
fungsional adalah keluhan dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau
gangguan struktur pada lambung (Wijayanti dan Nuraeni, 2014).
Penatalaksanaan dispepsia yang efektif mampu mengurangi keluhan
dengan tepat, untuk serangan dispepsia akut dapat langsung diberikan terapi
tunggal. Akan tetapi jika serangan dispepsia disertai adanya komplikasi dengan
rasa melilit, nyeri, mual hingga muntah maka sebaiknya dipilih terapi obat
kombinasi. Dari tabel 4.5 data resep obat dispepsia berdasarkan kombinasi obat
yang diberikan periode Januari – April 2018, dapat diketahui bahwa kombinasi
obat dispepsia paling banyak digunakan adalah Antitukak + Antiemetika 144
(61,5%) lembar resep. Kombinasi obat ini efektif untuk mengatasi dispepsia,
Antitukak dapat melindungi mukosa lambung, mencegah terbentuknya asam
lambung, mengurangi produksi asam lambung, menetralkan asam lambung,
Antiemetika dapat menghilangkan rasa mual yang muncul (Wijayanti dan
Saputro, 2012). Kombinasi yang kedua dengan 90 (38,46%) lembar resep adalah
Antitukak. Perbedaan dengan kombinasi yang pertama adalah pada kombinasi
yang kedua ini tanpa Antiemetika.
Dari tabel 4.6 data obat resep dispepsia berdasarkan pengunaan obat lain
pada terapi dispepsia periode Januari – April 2018 terdapat obat lain, untuk
27

analgetik antipiretik yang sering digunakan adalah Paracetamol 87 (33,98%) dan


ketorolak injeksi 73 (28,52%). Paracetamol memiliki dua fungsi utama sebagai
antipiretik dan analgetik. Sebagai antipiretik, Paracetamol mampu menurunkan
demam. Sedangkan sebagai analgetik, paracetamol berfungsi sebagai pereda rasa
nyeri dari ringan sampai sedang. Menurut hasil penelitian Paracetamol di IGD
RSUD Cibabat Cimahi Paracetamol digunakakan sebagai antipiretik, dimana
pasein yang datang lebih mengalami berupa dispepsia dan demam, keluhan itu
merupakan gejala dari suatu penyakit yang tidak spesifik. Pada dosis yang
direkomendasikan, paracetamol aman untuk pasien yang mempunyai riwayat
gangguan pencernaan, seperti pengeluaran asam lambung berlebih dan
pendarahan lambung. Sedangkan untuk sediaan injeksi yang sering digunakan
yaitu Ketorolac injeksi 73 (9,69%). Ketorolac digunakan untuk mengatasi keluhan
nyeri perut hingga melilit yang terjadi pada saat dispepsia. Rasa sakit tersebut
biasanya perih seakan ada yang meremas, rasa tidak nyaman tersebut dapat
menganggu aktifitas. Maka penggunaan obat analgetik sejenis ketorolac dalam
bentuk sediaan intravena sering dipilih untuk mengatasi hal tersebut. Ketorolac
salah satu jenis obat antiinflamasi non steroid yang digunakan untuk mengatasi
nyeri perut (Wijayanti dan Saputro, 2012). Penggunaan obat lain yang sering
digunakan adalah Oralit 16 (6,25%) obat lembar resep. Attapulgit 13 (5,08%)
adalah Betahistin 12 (4,69%) lembar resep, Zink sirup (0,39%) lembar resep,
salbutamol + ipratopium Bromida 1 (0,39%), fluticasone + propionat dan vitamin
B1, B6, B12 1 (0,39%). Selain itu obat tambahan lain yang sering diberikan
adalah jenis antibiotika, obat vertigo, hipertensi obat saluran pernapasan, myalgia
cephalgia, dan obat Suplemen makanan.

Anda mungkin juga menyukai