Anda di halaman 1dari 20

BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN

PASCAPANEN TANAMAN KOPI

Disusun oleh:
Rifky Bhakti Insani 20170210083
Faisal Hanantia 20170210088
Zana Yoshi Yolanda 20170210103
Jefri Yudha Saputra 20170210116
Aulia Khoirotunnisa S 20170210117

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2019
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kopi merupakan salah satu komoditas penting di dalam
perdagangan dunia yang melibatkan beberapa negara produsen dan negara
konsumen. Kopi, meskipun bukan merupakan tanaman asli Indonesia,
tanaman ini mempunyai peranan penting dalam industri tanaman
perkebunan di Indonesia. Menurut Ditjen Perkebunan (2011), areal
perkebunan kopi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai lebih dari 1,210
juta hektar dengan total produksi sebesar 686.921 ton dimana 96%
diantaranya adalah areal perkebunan kopi rakyat, dengan jumlah petani
yang terlibat sebanyak 1.881.694 KK. Laju perkembangan areal kopi di
Indonesia rata-rata mencapai 2,11% per tahun. Perkembangan yang cukup
pesat tersebut perlu di dukung dengan teknologi dan sarana pasca panen
yang cocok untuk kondisi petani agar mereka mampu menghasilkan biji
kopi dengan kualitas tinggi seperti yang dipersyaratkan oleh Standard
Nasional Indonesia. Adanya jaminan kualitas yang pasti, ketersediaan
dalam jumlah yang cukup dan pasokan yang tepat waktu serta keberlanjutan
merupakan beberapa persyaratan yang dibutuhkan agar biji kopi dapat
dipasarkan pada tingkat harga yang lebih menguntungkan.
Untuk memenuhi persyaratan di atas penanganan pascapanen kopi
rakyat harus dilakukan dengan metode yang tepat baik waktu, cara dan
jumlah seperti halnya produk pertanian yang lain. Buah kopi hasil panen
perlu segera diproses menjadi bentuk akhir yang lebih stabil agar aman
untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu.
Oleh karena itu tahapan proses dan spesifikasi peralatan kopi yang
menjadi kepastian mutu harus didefinisikan dengan jelas. Untuk itu
diperlukan suatu acuan standar sebagai pegangan bagi petani/pengolah
dalam menghasilkan produk yang dipersyaratkan pasar. Seiring dengan
meningkatnya tuntutan konsumen terhadap produk yang aman dan ramah
lingkungan, maka acuan standar tersebut harus mengakomodasi prinsip
penanganan pascapanen secara baik dan benar.
Keberhasilan penanganan pascapanen sangat tergantung dari mutu
bahan baku dari kegiatan proses produksi/budidaya, karena itu penanganan
proses produksi di kebun harus memperhatikan dan menerapkan prinsip-
prinsip cara budidaya secara baik dan benar (Good Agricultural
Practices/GAP). Penerapan GAP dan GHP menjadi jaminan bagi
konsumen, bahwa produk yang dipasarkan diperoleh dari hasil serangkaian
proses yang efisien, produktif dan ramah lingkungan. Dengan demikian
petani akan mendapatkan nilai tambah berupa insentif peningkatan harga
dan jaminan pasar yang memadai.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kopi
Menurut Najiyati dan Danarti (2006), kopi adalah spesies tanaman
tahunan berbentuk pohon. Di dunia perdagangan, dikenal beberapa golongan
kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi Arabika, Robusta,
dan Liberika.

Secara lengkap, klasifikasi botani kopi adalah sebagai berikut:

Divisi: Spermatophyta

Subdivisi: Angiospermae

Kelas: Dicotyledonae

Ordo: Rubiales

Famili: Rubiaceae

Genus: Coffea

Spesies: coffea sp.

Buah kopi terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga lapisan
yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), dan kulit tanduk
(endocarp) yang tipis, tetapi keras. Kulit luar terdiri dari satu lapisan tipis. Kulit
buah yang masih muda berwarna hijau tua yang kemudian berangsur-angsur
menjadi hijau kuning, kuning, dan akhirnya menjadi merah, merah hitam jika
buah tersebut sudah masak sekali. Daging buah yang sudah masak akan
berlendir dan rasanya agak manis. Biji terdiri dari kulit biji dan lembaga
(Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan Danarti 2006). Kulit biji atau
endocarp yang keras biasa disebut kulit tanduk. Lembaga (endosperma)
merupakan bagian yang dimanfaatkan untuk membuat minuman kopi Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985), buah kopi umumnya mengandung 2 butir biji,
tetapi kadang-kadang hanya mengandung satu butir saja. Biji kopi ini disebut
biji kopi lanang/kopi jantan/kopi bulat. Buah kopi yang sudah masak pada
umumnya akan berwarna kuning kemerahan sampai merah tua. Tetapi ada juga
yang belum cukup tua tetapi telah terlihat berwarna kuning kemerahan pucat
yaitu kopi yang terserang hama bubuk buah kopi. Buah kopi yang terserang
hama bubuk ini mengering di tangkai atau luruh ke tanah. Buah kopi yang
kering tersebut dipetik dan yang luruh di tanah dipungut secara terpisah dari
buah masak yang dinamakan pungutan ”lelesan”. Pada akhir masa panen
dikenal rampasan atau racutan yaitu memetik semua buah yang tertinggal di
pohon sampai habis, termasuk yang masih muda. Petikan rampasan ini
dimaksudkan guna memutus siklus hidup hama bubuk buah. Pemetikan buah
kopi dilakukan secara manual (Ciptadi dan Nasution 1985; Najiyati dan
Danarti 2006).

B. Pascapanen

Dalam rangka pengembangan produk hilir tanaman perkebunan yang


berdaya saing, berinovasi teknologi, serta berorientasi pasar dan berbasis
sumberdaya lokal, maka pengembangan penanganan pascapanen haruslah
dipandang sebagai satu bagian dari suatu sistem secara keseluruhan, dimana
setiap mata rantai penanganan memiliki peran yang saling terkait. Produk hasil
perkebunan seperti juga produk pertanian secara umum, setelah dipanen masih
melakukan aktifitas metabolisme sehingga jika tidak ditangani dengan segera
akan mengakibatkan kerusakan secara fisik dan kemik. Sifat mudah rusak
(perishable) dari produk mengakibatkan tingginya susut pascapanen serta
terbatasnya masa simpan setelah pemanenan sehingga serangga, hama dan
penyakit akan menurunkan mutu produk (Panggabean, 2011).

Proses kopi secara kering (dry process) banyak dilakukan petani,


mengingat kapasitas olah kecil, mudah dilakukan dan peralatan sederhana.
Tahapan pascapanen kopi secara kering meliputi panen, sortasi buah,
penjemuran atau pengeringan, pengupasan kopi, sortasi biji, pengemasan dan
penyimpanan. Buah kopi dikatakan sudah kering apabila waktu diaduk
terdengar bunyi gemerisik. Pengeringan memerlukan waktu 2 - 3 minggu
dengan cara dijemur. Penuntasan pengeringan sampai kadar air mencapai
maksimal 12,5%. Pengupasan kulit buah kopi pada cara kering ini bertujuan
untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk dan kulit tanduk.
Tahapan pascapanen kopi secara basah (fully washed) meliputi panen pilih,
sortasi buah, pengupasan kulit buah merah, fermentasi, pencucian,
pengeringan, pengupasan kopi hard skin (HS), sortasi biji kering, pengemasan
dan penyimpanan. Pengupasan kulit buah dilakukan dengan menggunakan alat
dan mesin pengupas kulit buah (pulper). Fermentasi umumnya dilakukan untuk
penanganan kopi Arabika, bertujuan untuk menguraikan lapisan lendir yang
ada di permukaan kulit tanduk biji kopi. Pengupasan kedua dimaksudkan untuk
memisahkan biji kopi dari kulit tanduk untuk menghasilkan biji kopi beras
dengan menggunakan mesin pengupas. Pengeringan bertujuan mengurangi
kandungan air biji kopi HS dari sekitar 60% menjadi maksimum 12,5% agar
biji kopi HS relatif aman dikemas dalam karung dan disimpan dalam gudang
pada kondisi lingkungan tropis (Ditjen Perkebunan, 2012).
Faktor yang berpengaruh terhadap nilai rendemen antara lain tingkat
kematangan buah, komposisi senyawa kimia penyusun buah dan jenis proses.
Proses basah umumnya menghasilkan rendemen yang lebih sedikit lebih kecil,
karena perlakuan pengolahan lebih intensif sehingga biji kopi lebih bersih
(Budiman, 2012).
III. PEMBAHASAN

A. Proses Pascapanen (Sortasi)


1. Sortasi buah dilakukan untuk memisahkan buah yang superior (masak,
bernas dan seragam) dari buah yang inferior (cacat, hitam, pecah,
berlubang dan terserang hama penyakit ). Kotoran seperti daun, ranting,
tanah dan kerikil harus dibuang karena benda-benda tersebut dapat
merusak mesin pengupas dan dapat menurunkan mutu.
2. Biji merah (superior) diolah dengan metoda pengolahan basah, agar
diperoleh biji kopi HS kering dengan tampilan yang bagus. Sedangkan
buah campuran hijau, kuning, dan buah kering, diolah dengan metoda
pengolahan kering.
3. Buah kopi segar hasil sortasi sebaiknya langsung diolah untuk
mendapatkan hasil yang optimal, baik dari segi mutu (terutama cita rasa)
maupun kemudahan proses berikutnya.
4. Buah kopi yang tersimpan dalam karung plastik atau sak selama lebih dari
36 jam akan menyebabkan prafermentasi sehingga aroma dan cita rasa biji
kopi menjadi kurang baik dan berbau busuk ( stink ). Demikian juga,
penampilan fisik bijinya juga menjadi kusam.
B. Teknologi Pengolahan Buah Kopi
Pengolahan buah kopi dapat dibagi dua bagian yaitu :
1. Pengolahan Buah Kopi Primer
Pada prinsipnya pengolahan buah kopi primer terdiri dari dua cara
pengolahan yaitu pengolahan basah (Wet Process) dan pengolahan kering
(Dry Process). Perbedaan kedua cara tersebut adalah pengolahan basah
menggunakan air untuk pengupasan maupun pencucian buah kopi,
sedangkan pengolahan kering setelah buah kopi dipanen langsung
dikeringkan (pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan
setelah kering) (Najiyati et al., 2004).
a. Pengolahan Kopi Cara Basah
Perkembangan industri kopi dan tuntutan pasar saat ini menuntut
produk yang konsisten dalam kualitas dan aman dikonsumsi semakin
tinggi. Pasca panen dan pengolahan kopi dengan cara basah dengan
menerapkan konsep Good Management Practicess (GMP) dan
menerapkan konsep Hazard Analisis Critical Control Point (HACCP)
diharapkan dapat memperbaiki kualitas kopi. Peningkatan mutu kopi
dapat dilakukan melalui “Pengolahan Cara Basah”. Pengolahan kopi
cara basah dapat menghasilkan mutu yang lebih baik, aroma, serta rasa
kopi yang enak, sehingga harga kopi dapat lebih terjamin, hanya saja
memakan waktu lebih lama dibanding pengolahan kering. Pengolahan
kopi cara basah adalah proses pengolahan buah kopi yang
menggunakan air sebagai pengolahan (perendaman dan pencucian).
Pengolahan basah dapat dilakukan untuk skala kecil (tingkat petani),
menengah (semi mekanis dan mekanis), maupun skala besar.
Tahap pengolahan kopi cara basah :
1) Pemanenan

Biji kopi yang bermutu baik dan disukai konsumen berasal dari
buah kopi yang sudah masak. Pada pengolahan kopi cara basah
pemanenan dilakukan secara selektif hanya pada buah yang masak
saja, sehingga bisa menghasilkan kopi yang bermutu tinggi dan
disukai oleh konsumen. Pemanenan dilakukan secara manual dengan
tangan dan menggunakan wadah bambu.

2) Penanganan Buah Kopi Setelah Panen

Buah kopi yang diolah secara basah harus masak atau dipetik
merah/orange (95% buah merah/orange). Buah kopi yang baru
selesai dipanen harus segera disortasi/dipisahkan antara buah yang
superior dan buah yang inferior, serta kotoran (daun, ranting, tanah
dan kerikil) dibuang. Sortasi buah kopi dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu (Najiyati dan Danarti, 2004):

a) Perambangan cara manual : dilakukan dengan merendam


buah kopi dalam air, buah yang mengapung (buah yang
kering di pohon, dan terkena penyakit) diambil dan
dipisahkan dan biasanya diproses dengan pengolahan kering.
Sedangkan buah yang terendam (yang bagus) digunakan
untuk proses pengolahan selanjutnya dengan cara basah.
b) Perambangan cara semi mekanis : buah kopi dimasukkan ke
dalam tangki yang dilengkapi dengan air untuk
memindahkan buah kopi yang mengambang, sedangkan
buah kopi yang terendam langsung masuk menuju bagian
alat pemecah kulit (pulper).
3) Pengupasan Kulit Buah Kopi (Pulping)
Pulping bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit terluar
dan mesocarp (bagian daging). Prinsip kerjanya adalah melepaskan
exocarp dan mesocarp buah kopi. Pengupasan ini dapat dilakukan
baik secara manual maupun menggunakan mesin. Proses
pengupasan kulit yang dilakukan dengan menggunakan mesin
disebut pulper . Buah kopi setelah dipanen, dipecah dengan pulper,
sehingga diperoleh biji kopi yang telah terpisah dari kulit buahnya.
Saat ini dikenal beberapa jenis mesin pulper, tetapi yang sering
digunakan adalah vis pulper dan raung pulper. Perbedaannya adalah
vis pulper berfungsi hanya sebagai pengupas kulit sehingga hasilnya
harus difermentasi dan dicuci lagi. Sementara raung pulper
berfungsi juga sebagai pencuci sehingga tidak perlu difermentasi dan
dicuci lagi, tetapi langsung masuk ke tahap pengeringan.
4) Fermentasi

Proses fermentasi bertujuan untuk membantu melepaskan/


menghilangkan lapisan lender yang masih tersisa dipermukaan kulit
tanduk biji kopi setelah proses pengupasan. Disamping itu
fermentasi juga bertujuan untuk mengurangi rasa pahit dan
mendorong terbentuknya kesan mild pada cita rasa seduhannya.
Prinsip dari fermentasi adalah penguraian senyawa senyawa yang
terkandung di dalam lapisan lendir oleh mikroba alami dan dibantu
dengan oksigen dari udara. Hidrolisis pektin disebabkan oleh
pektinase yang terdapat di dalam buah atau reaksinya bisa dipercepat
dengan bantuan jasad renik.
Proses fermentasi ini dapat terjadi dengan bantuan jasad renik
Saccharomyses yang disebut dengan proses peragian dan
pemeraman. Lamanya proses fermentasi dipengaruhi oleh jenis kopi,
suhu dan kelembaban lingkungan serta ketebalan tumpukan biji
kopi. Akhir fermentasi ditandai dengan mengelupasnya lapisan
lendir yang menyelimuti kulit tanduk. Fermetasi dapat dilakukan
dengan cara basah dan cara kering (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2008). Fermetasi basah dilakukan sebagai berikut:

a) Biji kopi dimasukkan ke dalam bak berisi air, direndam


selama 10 jam
b) Air rendaman diganti setiap 3 – 4 jam sekali sambil diaduk
c) Perendaman dihentikan setelah 36 – 40 jam
Fermentasi kering dilakukan dengan cara menumpuk kopi
yang baru keluar dari mesin pengupas kulit (pulper) di tempat
yang teduh selama 2- 3 hari. Tumpukan kopi ditutup dengan goni
agar tetap lembab sehingga proses fermentasi berlangsung
dengan baik.
5) Pencucian Lendir (Washing)
Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa lendir
hasil fermentasi yang masih menempel pada kulit tanduk. Setelah
kulit buah kopi terkupas dilakukan proses pencucian (washing).
Kapasitas besar menggunakan mesin pencuci (washer), sedangkan
untuk kapasitas kecil, pencucian secara sederhana dapat dilakukan
di dalam bak atau ember, segera diaduk-aduk dengan tangan atau
dinjak-injak dengan kaki. Bagian-bagian yang terapung berupa sisa-
sisa lapisan lender.
6) Pengeringan (Drying)

Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam


biji kopi yang semula 60-65% menjadi sekitar 20%. Pengeringan
dapat dilakukan dengan penjemuran atau pengeringan dengan alat
pengering. Hal ini dilakukan agar dapat mempermudah dalam proses
berikutnya yaitu pengupasan kulit tanduk. Penjemuran merupakan
cara paling mudah dan murah untuk pengeringan biji kopi.
Penjemuran dapat dilakukan di atas para-para atau lantai penjemuran
atau alat penje-muran dengan ketebalan hamparan biji kopi sekitar
6-10 cm lapisan biji. Pembalikan dilakukan setiap jam pada waktu
kopi masih basah. Rata-rata pengeringan antara seminggu sampai 10
hari.

Pengeringan secara mekanis/buatan dapat dilakukan jika cuaca


tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran. Pengeringan
mekanis dilakukan dengan alat pengering yang hanya memerlukan
waktu 18 jam (tergantung jenis alat). Kadar air yang dihasilkan pada
tahap ini masih tinggi yaitu berkisar 20 %.

7) Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)

Biji kopi yang dihasilkan dari proses di atas masih dilapisi oleh
kulit tanduk, dikenal dengan kopi HS. Untuk menghilangkan kulit
tanduk pada biji kopi dilakukan pengupasan kulit tanduk.
Pengupasan kulit tanduk dapat dilakukan secara manual maupun
menggunakan mesin pengelupas (huller). Pada pengupasan kulit
tanduk dengan huller, biji kopi hasil pengeringan didinginkan dulu
(tempering) selama minimal 24 jam. Biji kopi yang dihasilkan pada
tahap ini dikenal dengan kopi beras.

8) Pengeringan Kopi Beras

Pengeringan kopi beras bertujuan untuk memperoleh kadar air


biji kopi sekitar 11%, untuk menjaga stabilitas penyimpanan. Hal ini
dilakukan 2 – 3 hari di bawah sinar matahari dengan menggunakan
tempat pengeringan/lantai jemur/ para-para. Pengeringan tahap ini
dapat juga dilakukan secara mekanis dengan pemanasan pada suhu
50-60ºC selama 8-12 jam sampai kadar air 11%. Teknologi
pengeringan alternatif lain yang dapat diaplikasikan ditingkat petani
adalah penge-ring kopi tenaga surya yang mempunyai kapasitas
pengolahan 5 ton biji kopi (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, 2008).

Rendemen hasil pengolahan (dari buah kopi ke kopi beras) adalah


perbandingan antara berat biji kopi beras hasil pengupasan dengan
berat buah kopi hasil panen yang diolah. Rendemen hasil pengolahan
kopi berkisar antara 16-20% artinya setiap 1 kg biji kopi beras
dibutuhkan buah kopi gelondong antara 5 sampai 6 kg. Faktor yang
berpengaruh terhadap nilai rendemen antara lain tingkat kematangan
buah, komposisi senyawa kimia penyusun buah dan jenis proses.
Proses basah umumnya menghasilkan rendemen lebih kecil, karena
perlakuan pengolahan lebih intensif sehingga biji kopi lebih bersih.
Namun demikian penurunan rendemen dari proses basah dapat
dikompensasi dengan harga jual. Patokan pasar menunjukkan harga
jual biji kopi cara basah (WP) lebih tinggi dari harga biji kopi cara
kering (DP).

9) Pengemasan dan Penyimpanan

Pengemasan biji kopi yang sudah dikeringkan dan telah mencapai


kadar air 11% (batas kadar air biji kopi yang aman untuk disimpan)
dilakukan dalam karung-karung plastik ataupun karung goni yang
bersih dan jauh dari bau-bau asing. Penyimpanan dilakukan hanya
sementara sebelum biji kopi dijual ke eksportir atau sebelum diolah
selanjutnya. Penyimpanan harus dilakukan di ruang yang bersih,
bebas dari bau asing dan kontaminasi lainnya. Ruang mempunyai
ventilasi dengan lubang udara yang memadai untuk menghindari
terjadinya migrasi udara ke biji kopi. Atur tumpukan karung kopi di
atas landasan papan/kayu setinggi 10 cm sehingga tidak langsung
bersentuhan dengan lantai. Monitor kondisi biji selama disimpan
terhadap kondisi kadar airnya, keamanan terhadap organisme
pengganggu (tikus, serangga, jamur, dll) dan faktor lain yang dapat
merusak kopi.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penyimpanan
adalah: kadar air, kelembaban relatif gudang (sebaiknya 70%), suhu
gudang optimum 20-250C dan kebersihan gudang. Untuk lebih
jelasnya pengolahan kopi secara basah dapat dilihat sebagai berikut

b. Pengolahan Kopi Cara Kering

Pengolahan kering dilakukan setelah buah kopi dipanen langsung


dikeringkan (pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari
dilakukan setelah kering). Kopi dikatakan kering apabila waktu diaduk
terdengar bunyi gemerisik. Pengeringan dapat dilakukan secara manual
atau dengan mesin pengering. Penjemuran dilakukan pada cuaca cerah,
sampai memperoleh kadar air 11-12%. Pengeringan memerlukan waktu 2
– 3 minggu dengan cara dijemur. Pada awal pengeringan buah kopi yang
masih basah harus sering dibalik dengan alat penggaruk. Jenis mikro
organisme yang dapat berkembang pada kulit buah terutama jamur
(Fusarium sp. , Colletotricum coffeanum), pada permukaan buah yang
terlalu kering yaitu Aspergillus niger, Penicillium sp., dan Rhizopus sp.
Pengeringan dengan mesin pengering dilakukan apabila sering hujan.

Pengupasan kulit buah pada cara kering bertujuan untuk memisahkan


biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari. Pengupasan kulit buah
dengan menggunakan mesin pengupas (huller). Pengupasan kulit dengan
cara menumbuk tidak dianjurkan karena mengakibatkan banyak biji yang
pecah. Hasil pengupasan akan diperoleh biji kopi beras, yang siap untuk
disimpan atau diolah lebih lanjut.

2. Pengolahan Buah/Biji Kopi Primer


a. Penyiapan Bahan Baku
Biji kopi merupakan bahan baku untuk minuman, sehingga aspek
mutu (fisik, kimiawi, kontaminasi dan kebersihan) harus diawasi
dengan baik, karena menyangkut cita rasa, kesehatan konsumen, daya
hasil (rendemen) dan efisiensi produksi. Hasil pengolahan optimal
akan didapatkan dengan syarat bahan baku utama yang digunakan
adalah biji kopi yang telah diolah secara baik dan benar (yang
memenuhi SNI 012907-1992 – Rev.1998).
Dari aspek cita rasa dan aroma serta seduhan kopi akan sangat baik
jika biji kopi yang digunakan berasal dari pengolahan yang baik.
Aspek kebersihan, biji kopi harus bebas dari jamur dan kotoran yang
mengganggu kesehatan peminumnya. Kontaminasi jamur juga akan
menyebabkan rasa tengik atau apek, sedangkan dari aspek efisiensi
produksi, biji kopi dengan ukuran seragam akan mudah diolah dan
menghasilkan mutu produk yang seragam pula. Kadar kulit, kadar
kotoran dan kadar air akan berpengaruh pada rendemen hasil. Kadar
air yang tinggi juga menyebabkan waktu sangrai lebih lama yang
berarti kebutuhan bahan bakar banyak. Kontaminasi benda keras (batu
atau besi) selain akan menyebabkan komponen mesin cepat aus, juga
berpengaruh negatif terhadap kehalusan kopi bubuk dan kesehatan
peminumnya.
b. Penyangraian (Roasting)
Penyangraian adalah proses dimana aroma, keasaman, dan
komponen rasa lainnya diciptakan, diseimbangkan, atau diubah
dengan tujuan untuk meningkatkan atau memperkuat rasa, tingkat
keasaman, dan kekuatannya sebagaimana yang dinginkan atau dengan
kata lain penyangraian merupakan tahapan pembentukan aroma dan
cita rasa khas kopi dengan perlakuan panas dan “kunci” dari produksi
kopi bubuk.
Penyangraian dapat dilakukan secara manual atau menggunakan
mesin. Penyangraian secara tradisional umumnya dilakukan petani
dengan wajan yang terbuat dari tanah liat atau dari besi. Caranya
adalah sebagai berikut:
1) Wajan dipanaskan, kemudian kopi dimasukkan dan kopi selalu
diaduk agar panasnya merata dan warna seragam.
2) Bila warna sudah coklat kelam (kehitam-hitaman) dan mudah
pecah, kopi segera diangkat dan didinginkan di tempat terbuka.
Cara mengetahui apakah kopi sudah mudah pecah atau belum,
biasanya kopi dipencet dengan jari, digigit, atau dipukul perlahan
dengan batu.
Dalam proses penyangraian biji kopi mengalami dua proses, yaitu
penguapan air pada suhu 1000 C dan reaksi pirolisis pada suhu 180-
2250 C. Reaksi ini merupakan reaksi dekomposisi senyawa
hidrokarbon antara lain karbohidrat, hemiselulosa dan selulosa yang
ada dalam biji kopi. Reaksi ini umumnya terjadi setelah suhu sangrai
di atas 1800C. Pada tahap pirolisis, kopi mengalami perubahan kimia
antara lain pengarangan serat kasar, terbentuknya senyawa volatil,
penguapan zat-zat asam (evolusi gas CO2 dalam jumlah banyak dari
ruang sangrai berwarna putih), dan terbentuknya zat beraroma khas
kopi. Perubahan secara fisik juga terjadi yang ditandai dengan
perubahan warna biji kopi yang semula kehijauan menjadi kecoklatan,
kemudian menjadi hitam dengan permukaan berminyak. Bila kopi
sudah berwarna kehitaman dan mudah retak maka penyangraian
segera dihentikan. Selanjutnya kopi segera didinginkan.
Proses penyangraian bisa dilakukan secara tertutup (menggunakan
mesin) dan secara terbuka (tradisional dengan menggunakan wajan).
Penyangraian secara tertutup menghasilkan kopi bubuk yang terasa
agak asam akibat tertahannya air dan beberapa jenis asam yang mudah
menguap. Namun aromanya lebih tajam karena senyawa kimia yang
beraroma khas kopi tidak banyak menguap. Selain itu, kopi terhindar
dari pencemaran bau yang berasal dari luar seperti bau bahan bakar
atau bau gas hasil pembakaran yang tidak sempurna. Waktu
penyangraian yang dibutuhkan untuk mencapai tahap roasting point
bervariasi mulai dari 7 sampai 20 menit, tergantung pada kadar air biji
kopi beras dan mutu kopi bubuk yang dikehendaki. Salah satu tolok
ukur proses penyangraian adalah perubahan warna biji kopi yang
disangrai. Proses sangrai dihentikan pada saat warna sampel
mendekati warna standar (ada 3 warna) yaitu: coklat muda, coklat
agak gelap dan coklat gelap kehitaman. Kisaran suhu sangrai yang
umum adalah sebagai berikut:
1) Suhu 190-1950C untuk tingkat sangrai ringan (warna coklat
muda).
2) Suhu 200-2050C untuk tingkat sangrai medium (warna coklat
agak gelap).
3) Suhu diatas 2050C untuk tingkat sangrai gelap (warna coklat tua
agak hitam).
Setelah proses penyangraian selesai, biji kopi didinginkan agar
proses sangrai tidak berlanjut. Selama pendinginan, biji kopi sangrai
diaduk agar proses sangrai menjadi rata dan tidak berlanjut (over
roasted). Biji kopi sangrai diaduk sambil dikipas menggunakan kipas
angin, sehingga sisa kulit ari yang terlepas dari biji kopi saat proses
sangrai terbuang dan biji kopi sangrai lebih bersih.
c. Penghalusan/Penggilingan (Miling)
Proses penggilingan biji kopi sangrai bertujuan untuk
mempermudah dalam pengkonsumsian kopi, karena pada tahapan ini
dihasilkan kopi dalam bentuk bubuk. Proses ini dapat dilakukan
secara manual dan menggunakan mesin. Biji kopi sangrai yang
dihaluskan dengan alat penghalus (grinder) sudah dilengkapi dengan
alat pengatur ukuran partikel kopi sehingga secara otomatis bubuk
kopi yang dihasilkan berukuran seperti yang diinginkan atau sampai
diperoleh butiran kopi bubuk dengan kehalusan tertentu agar mudah
diseduh dan memberikan sensasi rasa dan aroma yang lebih optimal.
Rendemen hasil pengolahan (penyangraian dan penggilingan)
adalah perbandingan antara berat kopi bubuk yang diperoleh dengan
berat biji kopi beras yang diproses. Rendemen makin turun pada
derajat sangrai yang makin gelap. Rendemen tertinggi yaitu 81%,
diperoleh pada derajat sangrai ringan, dan terendah yaitu 76% dengan
derajat sangrai gelap. Rendemen juga dipengaruhi oleh susut berat biji
kopi selama penyangraian. Makin tinggi kadar air biji dan makin lama
waktu penyangraian menyebabkan rendemen menjadi lebih kecil.
d. Penyimpanan
Kopi yang sudah direndang dan digiling mudah sekali mengalami
perubahan, misalnya perubahan aroma, kadar air, dan ketengikan.
Kopi bubuk yang disimpan ditempat terbuka akan kehilangan aroma
dan berbau tengik setelah 2-3 minggu. Kehilangan aroma ini
disebabkan oleh menguapnya zat caffeol yang beraroma khas kopi.
Sementara ketengikan disebabkan oleh reaksi antara lemak yang
terdapat dalam kopi dengan oksigen diudara.
Penurunan mutu kopi yang telah direndang selama penyimpanan
dapat dihindari dengan menyimpan kopi sebelum digiling. Hal ini
disebabkan kopi rendang sebelum digiling mempunyai daya simpan
2-3 kali kopi yang telah digiling (kopi bubuk). Kopi yang sudah
digiling sebaiknya segera dikemas dengan kemasan kedap udara
seperti plastik atau alumunium foil.
e. Pengemasan
Tujuan pengemasan adalah untuk mempertahankan aroma dan cita
rasa kopi bubuk selama di distribusikan ke konsumen dan selama
dijual di toko, di pasar tradisional dan swalayan. Jika tidak dikemas
secara baik, kesegaran, aroma dan cita rasa kopi bubuk berkurang
secara signifikan setelah satu atau dua minggu. Beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap keawetan kopi bubuk selama dikemas adalah
kondisi penyimpanan (suhu lingkungan), tingkat sangrai, kadar air
kopi bubuk, kehalusan bubuk dan kandungan oksigen di dalam
kemasan. Air di dalam kemasan akan menghidrolisa senyawa kimia
yang ada dalam kopi bubuk dan menyebabkan bau apek, sedang
oksigen akan mengurangi aroma dan cita rasa kopi melalui proses
oksidasi. Masa simpan kopi bubuk yang telah dikemas dapat
diperpanjang dengan menggunakan kemasan vakum seperti plastik
atau alumunium foil sebelum di masukkan ke dalam kotak kertas.
Bahan pengemas yang baik harus mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:
1) Daya transmisi rendah terhadap uap air.
2) Daya penetrasi rendah terhadap oksigen.
3) Sifat permeabel rendah terhadap aroma dan bau
4) Sifat permeabel terhadap gas CO2
5) Daya tahan tinggi terhadap minyak dan sejenisnya
6) Daya tahan tinggi terhadap goresan dan sobekan
7) Mudah dan murah diperoleh
Beberapa jenis kemasan yang umum digunakan, antara lain plastik
transparan dan alumunium foil. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan baik dari aspek daya simpan, kepraktisan
penggunaan dan harga. Selain keawetan, kemasan juga harus dapat
menarik minat pembeli kopi bubuk melalui rancangan gambar, warna
dan tulisan yang ada diluarnya. Kopi bubuk dapat disimpan lebih lama
dengan mengurangi oksigen di dalam kemasan ke tingkat yang paling
rendah (<1%) atau jika mungkin 0% dengan pengemas vakum.

KESIMPULAN
Kopi merupakan salah satu usaha yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga
proses pasca panen biji kopi harus dilakukan secara tepat dan maksimal agar
mendaptkan biji kopi yang berkuslitas sangat baik. Untuk mendapatkan biji kopi
yang berkualitas sangat baik harus melewati beberapa proses, mulai dari
pemanenan hingga menjadi biji yang siap dipasarkan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Haryanto. 2012. Prospek Tinggi Bertanam Kopi. Yogyakarta: Pustaka


Baru Press.
Ciptadi dan MZ Nasution. 1985. Pengolahan Kopi. Agro Industri Press: Bogor.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2011. Kebijakan Peningkatan Produksi,
Produktivitas, dan Mutu Kelapa Sawit. Disampaikan pada : Indonesia Palm
Oil, Mechinery and Technology Exhibition & Conference 2012; Riau, 26-27
April 2012.
Najiyati, S. dan Danarti. 2004. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pascapanen. Edisi
Revisi.Penebar Swadaya. Jakarta.
Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. PT. Agro Media Pustaka. Jakarta. 226 hlm.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2008. Pengolahan Biji Kopi Primer.
Informasi Paket Teknologi. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Jember.

Anda mungkin juga menyukai