Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

BRONKOPNEUMONIA PADA ANAK


DI RUANAGAN ANAK RAWAT INAP MELATI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ADNAAN WD PAYAKUMBUH

DISUSUN OLEH :
UthamiRahmadila
YeniDeswita
Yuli Silvia
Yunita Eka Putri Rangkuti

PROGRAM STUDI KEBIDANAN PROGRAM


SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
UNIVERSITAS FORT DE KOCK
BUKITTINGGI
2019 / 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Kasus Kebidanan yang
berjudul “Bronkopneumonia” ini dapat terselesaikan sesuai rencana yang
diharapkan.
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas .....
serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai permasalahan penyakit pada
anak khususnya Bronkopneumonia. Penyusun menyampaikan terima kasih kepada
pembimbing kami atas segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan
kepada kami selama proses pembuatan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini belumlah sempurna. Untuk
itu, saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi
perbaikan laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun
ucapkan terima kasih.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca
serta rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di
bidang kedokteran.

Payakumbuh, 10 Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. i


Daftar Isi ............................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ............................................................................
B. Rumusan Masalah ......................................................................
C. Tujuan .........................................................................................
D. Manfaat .......................................................................................

BAB II Tinjauan Pustaka


A. .....................................................................................................
B. .....................................................................................................
C. .....................................................................................................
D. .....................................................................................................

BAB III Laporan Kasus


A. .....................................................................................................
B. .....................................................................................................

BAB III Penutup


A. Kesimpulan ..................................................................................
B. Saran .............................................................................................

Daftar Pustaka .....................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
sejumlah penyebab non infeksi yang kadang-kadang perlu dipertimbangkan.
Penyebab non infeksi ini meliputi aspirasi makanan dan atau asam lambung,
benda asing, hidrokarbon, dan hipersensitivitas serta pneumonitis akibat obat
atau radiasi(Behrman, Kliegman, Arvin, Nelson, 2000).
Pneumonia sampai sekarang masih tercatat sebagai masalah
kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan
penyebab utama kesakitan dan kematian anak usia dibawah lima tahun
(balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, kira-
kira 2 juta anak usia di bawah lima tahun meninggal setiap tahun oleh karena
pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan di Asia Tenggara1 . Di
Indonesia menurut Survei Kesehatan Nasional 2001, 27,6 % kematian bayi
dan 22,8 % kematian balita disebabkan oleh penyakit sistem pernapasan
terutama pneumonia.
Adanya berbagai faktor risiko menyebabkan tingginya angka
kematian pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut adalah: bila terjadi di masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi
vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di nasofaring dan
tingginya paparan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok)
(Said, 2014).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis dinyatakan
dengan adanya daerah infeksi yang berbecak dengan diameter sekitar 3
sampai 4 cm yang mengelilingi dan melibatkan bronkus (Price, 2012).
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru pada bagian lobularis
yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh

1
agen infeksius seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang ditandai
dengan gejala demam tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal
(terdengar adanya ronki basah), muntah, diare, batuk kering dan produktif
(anggraeni, 2017).
Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut
tersering yang menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi.
Penyakit ini dapat terjadi secara primer ataupun merupakan kelanjutan
manifestasi infeksi saluran napas bawah lainnya misalnya sebagai perluasan
bronkiektasis yang terinfeksi. Bronkopneumonia sebagai penyakit yang
menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk
pneumonia yang terjadi akibat peradangan pada paru dimana proses
peradangannya menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat di alveoli dan
melibatkan bronkiolus terminal. (Arisanti, 2015).
Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal
ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan
baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi
dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.
Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumonia
berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini
dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga memacu
timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan
dengan antibiotika yang tidak sempurna (Arisanti, 2015).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penyusun mengangkat
kasus ini sebagai bahan pembelajaran dalam upaya penanganan penyakit
bronkopneumonia pada anak.

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Bronkopneumonia ?
2. Bagaimana karakteristik pasien dengan penyakit bronkopneumonia?
3. Bagaimana manifestasi klinis dan penegakan diagnosa pada pasien
dengan bronkopneumonia?

2
4. Bagaimana penatalaksanaan, prognosis dan komplikasi pasien dengan
bronkopneumonia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Bronkopneumonia.
2. Untuk mengetahui Karakteristik pasien dengan penyakit
bronkopneumonia.
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dan penegakan diagnosa pada pasien
dengan bronkopneumonia.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan, prognosis dan komplikasi pasien
dengan bronkopneumonia.

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Hasil penulisan laporan kasus ini bisa dijadikan acuan untuk
pengembangan keilmuan dimasa yang akan datang terutama pada
mahasiswa kesehatan terutama mengenai penyakit bronkopneumonia
pada anak.
2. Bagi Penulis
Penulisan laporan yang dilakukan diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman penulis dalam laporan kasus ini dan dapat
mengaplikasikan ilmu yang didapat di dalam penulisan laporan kasus ini.
3. Bagi Pembaca
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum
tentang penyakit bronkopneumonia, sehingga dapat dijadikan tambahan
ilmu pengetahuan dalam penegakan diagnosa maupun
penatalaksanaannya pada pasien.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bronkopneumonia
1. Pengertian
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat(Hasan R, 2002).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses
peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang
berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus
terminal(Hasan R, 2002).
Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernapasan
yang terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru.
Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi,
biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan
Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil
isolasi. Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia
pada balita diperkirakan antara 10-20% pertahun (samuel, 2014).
Anak dengan daya tahan atau imunitas terganggu akan menderita
bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu
mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor
iatrogen juga memicu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada
paru, anastesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna
(Rahajoe, 2010).
Bronkopneumonia merupakan masalah kesehatan yang mencolok
walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal ini
disebakan oleh munculnya organisme nosokomial yang resisten terhadap
antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas

4
spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia (samuel,
2014).

2. Tanda gejaa Bronkopneumonia.


Bronkopneumonia ditegakkan berdasarkan gejala klinik. Gejala-
gejala klinis tersebut antara lain(samuel, 2014) :
a. Adanya retraksi epigastrik, interkostal, suprasternal.
b. Adanya pernapasan yang cepat dan pernapasan cuping hidung.
c. Biasanya didahului infeksi traktus respiratorius bagian atas selama
beberapa hari.
d. Demam, dispneu, kadang disertai muntah dan diare.
e. Batuk biasanya tidak pada permulaan penyakit, mungkin terdapat
batuk, beberapa hari yang mula-mula kering kemudian menjadi
produktif.
f. Pada auskultasi ditemukan ronkhi basah halus nyaring.
g. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan adanya leukositosis dengan
predominan PMN.
h. Pada pemeriksaan rontgen thoraks ditemukan adanya infiltrat
interstitial dan infiltrat alveolar serta gambaran bronkopneumonia

3. Klasifikasi Bronkopneumonia
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih
sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan
berdasarkan (Rahajoe, 2010) :
a. Bronkopneumonia sangat berat : bila terjadi sianosis sentral dan anak
tidak sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan
diberi antibiotik.
b. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan
masih sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan
diberi antibiotik.

5
c. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan
yang cepat yakni >60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan;
>50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1 tahun; >40 x/menit pada anak
usia 1-5 tahun.
d. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda
seperti di atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.

4. Diagnosis
Diagnosis pasti dilakukan dengan idientifikasi kuman penyebab
pneumonia. Identifikasi kuman penyebab dapat dilakukan melalui
(Rahajoe, 2010) :
a. Kultur sputum / bilasan cairan lambung.
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama
virus.
c. Deteksi antigen bakteri.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat
melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara; aspirasi
dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring; perluasan
langsung dari tempat lain; dan penyebaran secara hematogen(samuel,
2014).
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian
bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi dan terdiri dari :
a. Susunan anatomis rongga hidung.
b. Jaringan limfoid di naso-oro-faring.
c. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret liat yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
d. Refleks batuk.
e. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi.

6
f. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe
regional.
g. Fagositosis, aksi enzimatik, dan respon immuno-humoral terutama
dari immunoglobilin A (IgA).
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab
terhisap ke paru perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi
jaringan berupa edema yang mempermudah proliferasi dan penyebaran
kuman. Bronkhopneumonia dalam perjalanan penyakitnya akan menjalani
beberapa stadium, yaitu (samuel, 2014):
a. Stadium kongesti (4-12 jam pertama). Mengacu pada peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler.
Ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel mast.
Mediator tersebut mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi
sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan
histamin dan prostagladin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru
dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial sehingga
terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini paling berpengaruh dan
sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya). Lobus dan lobulus
yang terkena menjadi padat tidak mengandung udara, warna menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam alveolus didapatkan
fibrin, leukosit netrofil, eksudat, dan banyak sekali eritrosit dan
kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
c. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari). Lobus masih tetap padat dan
warna merah berubah menjadi pucat kelabu terjadi karena sel-sel
darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Permukaan
pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi fibrin dan

7
leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi
kongestif.
d. Stadium resolusi (7-11 hari). Disebut juga stadium resolusi yang
terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan dan eksudasi lisis. Eksudat berkurang. Dalam alveolus
makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan degenerasi
lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang
terjadi dapat di batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin
agar sistem bronkopulmonal yang tidak terkena dapat diselamatkan.
Penatalaksanaan pada pasien ini, yaitu terapi suportif berupa
pemberian O2 1 L/menit sudah tepat. Oksigen diberikan untuk mengatasi
hipoksemia, menurunkan usaha untuk bernapas, dan mengurangi kerja
miokardium. Oksigen penting diberikan kepada anak yang menunjukkan
gejala adanya tarikan dinding dada (retraksi) bagian bawah yang dalam;
SpO2<90%, frekuensi nafas 60x/menit atau lebih merintih setiap kali
bernafas untuk bayi muda dan adanya head nodding (anggukan kepala).
Pemberian Oksigen melalui nasal pronge yaitu 1- 2 L/menit atau 0,5
L/menit untuk bayi muda (samuel, 2014).
Untuk kebutuhan cairan, sesuai dengan berat badan yaitu 7 Kg,
sehingga pasien diberikan cairan N4D5 melalui mikrodrip infus dengan
25-30 tetes per menit. N4D5 terdiri dari 100 cc D5% dengan 25 cc NaCl,
dimana kandungan dekstrosa 50 g (200 kkal), Na 38,5 mEq/L, Cl 38,5
mEq/L, Ca 200 mg/dL, dan total Osm 353. Sedangkan untuk mengatasi
demamnya pasien diberikan antipiretik parasetamol yang diberikan selama
pasien demam. Dosis yang digunakan adalah 10-15 mg/kgBB/kali
pemberian. Dapat diulang pemberiannya setiap 4-6 jam (samuel, 2014).
Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pada kasus ini, dipilih antibiotik ceftriaxone yang
merupakan antibiotik sefalopsorin generasi ketiga dengan aktivitas yang
lebih luas terhadap bakteri gram negatif. Dosis ceftriaxone yaitu 50-100
mg/KgBB/hari, dalam dua dosis pemberian. Antibiotik ceftriaxone

8
diberikan sebanyak 350 mg dua kali sehari secara intra vena (samuel,
2014).

B. Karakteristik Pasien dengan Bronkopneumonia


1. Definisi
Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan
oleh penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat (Hasan R, 2002).
Bronkopneumonia adalah peradangan pada paru dimana proses
peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang
berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus
terminal(Hasan R, 2002).

2. Epidemiologi
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Pneumokokus
merupakan penyebab utama pneumonia. Pneumokokus dengan serotipe 1
sampai 8 menyebabkan pneumonia pada orang dewasa lebih dari 80 %
sedangkan pada anak ditemukan tipe 14, 1, 6 dan 9(Pusponegoro HD,
2004).
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun
dan mengurang dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir
selalu disebabkan oleh pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan
anak besar, sedangkan Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada anak
kecil dan bayi(Pusponegoro HD, 2004).

9
3. Klasifikasi pneumonia
Menurut buku Pneumonia Komuniti, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia(Behrman RE,
2000)..
Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
b. Pneumonia nosokomial, (hospital-acquired pneumonia/nosocomial
pneumonia).
c. Pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised.
Berdasarkan bakteri penyebab:
a. Pneumonia bakteri/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka,
misalnya klebsiella pada penderita alkoholik, staphyllococcus pada
penderita pasca infeksi influenza. Pneumonia Atipikal disebabkan
mycoplasma, legionella, dan chalamydia.
b. Pneumonia virus.
c. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised).
Berdasarkan predileksi infeksi:
a. Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus
(percabangan besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-
bercak infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri
yang disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau
orang tua.
c. Pneumonia interstisial.

10
4. Etiologi
a. Faktor Infeksi
1) Bakteri
a) Pneumococcus, penyebab utama penumonia. Pada orang
dewasa disebabkan oleh penumokokus 1 – 8, pada anak –
anak tipe 14, 1, 6, 9. Insiden meningkat pada usia lebih kecil
dari 14 tahun dan menurun dengan meningkatnya umur.
b) Streptokokus, sering merupakan komplikasi dari penyakit
virus lain seperti morbili, influenza, cacar air atau komplikasi
dari bakteri lain seperti pertusis, pneumonia oleh
pneumokokus(Behrman RE, 2000).
2) Virus
Virus respiratori sinsial, virus influenza, virus adeno, virus
situmegalik.
3) Pneumonia Hipostatik
Disebabkan oleh tidur terlentang terlalu lama, misalnya
pada anak yang sakit dengan kesadaran menurun, penyakit lain
yang harus istirahat di tempat tidur yang lama sehingga terjadi
kongesti pada paru belakang bawah. Kuman yang tadinya
komensal berkembang biak menjadi patogen dan menimbulkan
radang. Oleh karena itu pada anak yang menderita penyakit dan
memerlukan istirahat panjang seperti tifoid harus diubah – ubah
posisi tidurnya.
4) Jamur: Candida albikans, Blastomycetes dermatitis,
Koksidiomikosis, Aspergilosis dan Aktinimikosis.
5) Sindrom Loeffler
Etiologi oleh larva A. Lumbricoedes
Secara klinis biasa, berbagai etiologi ini sukar dibedakan.
Untuk pengobatan tepat, pengetahuan tentang penyebab
pneumonia perlu sekali, sehingga pembagian etiologis lebih
rasional daripada pembagian anatomis.

11
a) Pada neonatus : Streptokokusgrup B, Respiratory Sincytial
Virus (RSV).
b) Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus,
RSV,Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
c) Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
d) Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
b. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
1) Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah
atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak
tanah dan bensin).
2) Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak
secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian
makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak
tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak
ikan .

12
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh
untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada
penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon
imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan
faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

5. Patogenesis
Pneumococcus
masukkedalamparumelaluijalanpernafasansecarapercikan (droplet).
Pneumokokusumumnyamencapai alveoli lewatpercikanmukusatau saliva.
Lobusbagianbawahparu paling seringterkenaefekgravitasi.Agen-
agenmikroba yang menyebabkan Pneumonia memiliki 3 bentuktransisi
primer(Behrman RE, 2000) dan (Price, 2012) :
1. Aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah
berkolonisasi pada orofaring
2. Inhalasi aerosol yang infeksius
3. Penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal
Aspirasidaninhalasiagen-ageninfeksiusadalahduacaratersering yang
menyebabkan pneumonia,
sementarapenyebarancarahematogenlebihjarangterjadi. Akibatnya, faktor-
faktor predisposisi termasuk juga berbagai defisiensi mekanisme
pertahanan sistem pernafasan. Kolonisasi basilus gram negatif telah
menjadi subjek penelitian akhir-akhir ini.Mekanisme daya tahan traktus
respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang
terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius
dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
4. Refleks batuk

13
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama Ig A
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai anti mikroba yang non spesifik.
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di
alveoli mementuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium,
yaitu:
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini
ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di
tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin
dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan
saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)

14
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh
sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu
(host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak. Stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah
putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi
fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 12 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon
imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan
diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya
semula.

C. Manifestasi klinis dan penegakan diagnosa


1. Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak
sampai 39–40°C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.
Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai di awal penyakit, anak akan mendapat

15
batuk setelah beberapa hari, dimana pada awalnya berupa batuk kering
kemudian menjadi produktif(Hasan R, 2002).
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada
luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai
adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah
gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi
satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup
dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium
resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses
penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu(Hasan R, 2002).
2. Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan
hal-hal sebagai berikut :
a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal,
suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan
adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang
terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan
yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan
retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada,
yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae supraklavikula
dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting
dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif.
Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan
ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang
lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat

16
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga
tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem
saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif
akan adanya distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi
memendek secara abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada).
Pengembangan hidung memperbesar pasase hidung anterior dan
menurunkan resistensi jalan napas atas dan keseluruhan. Selain itu
dapat juga menstabilkan jalan napas atas dengan mencegah tekanan
negatif faring selama inspirasi.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak
menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka,
namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis)
maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi
pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000
Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya
frekuensi yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari
amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles
individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya).
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui
sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
3. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang
tersebar di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada
lobus bawah.

17
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral
dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak
melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit
meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan. Pada
hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED.
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme
dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga tidak rutin
dilakukan.
5. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :
a. Sesak nafas disertai pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
b. Panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan
limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)
Diagnosis BronkopneumoniamenurutWHO :
a. BP sangatBerat : Sianosissentraldan tidak bisa minum
b. BP Berat : Ada retraksitanpasianosis, masih bisa minum
c. BP : Tidak adaretraksitapiTakhiepnea
d. Bukan BP : Hanyabatuktanpa gejal diatas

D. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang
atau PaO2pada analisis gas darah ≥ 60 torr

18
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

2. Penatalaksanaan khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan
interpretasi reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan
hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita
kelainan jantung.
b. Antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi
klinis
Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di
wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat
dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari) (Mansjoer A, 2000).
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72
jam pertama) menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
1) ampicillin + aminoglikosid
2) amoksisillin-asam klavulanat
3) amoksisillin + aminoglikosid
4) sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
1) beta laktam amoksisillin
2) amoksisillin-amoksisillin klavulanat
3) golongan sefalosporin
4) kotrimoksazol
5) makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
1) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
2) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

19
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and
error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal
tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih
tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu
diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang
menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan
epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Antibiotik :
Tabel pemilihan antibiotika berdasarkan etiologi :
Mikroorganisme
Streptokokus dan Penicilin G 50.000-100.000 unit/hari
StafilokokusM. Pneumonia IV atauPenicilin Prokain 6.000.000
unit/hari IM atau
Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hariatau
Ceftriakson 75-200 mg/kgBB/hari
H. Influenza Eritromisin 15 mg/kgBB/hari
Klebsielladan P. Aeruginosa Kloramfenikol 50-100 mg/kgBB/hari
Sefalosporin
Pencegahan :
Penyakitbronkopneumoniadapatdicegahdenganmenghindarikontak
denganpenderitaataumengobatisecaradinipenyakit-penyakit yang
dapatmenyebabkanterjadinyabronkopneumoniaini.Selainituhal-hal yang
dapatdilakukanadalahdenganmeningkatkandayatahantubuhkaitaterhadapbe
rbagaipenyakitsalurannafasseperti :carahidupsehat,
makanmakananbergizidanteratur ,menjagakebersihan ,beristirahat yang

20
cukup, rajinberolahraga, dll.Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat
mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
a. VaksinasiPneumokokus
b. Vaksinasi H. Influenza
c. VaksinasiVarisela yang dianjurkanpadaanakdengandayatahantubuh
rendah
d. Vaksin influenza yang diberikanpadaanaksebelumanaksakit.
2. Komplikasi
Komplikasibiasanyasebagaihasillangsungdaripenyebaranbakterid
alamrongga thorax (sepertiefusi pleura, empiemadanperikarditis)
ataupenyebaranbakteremiadanhematologi. Meningitis, artritissupuratif,
danosteomielitisadalahkomplikasi yang
jarangdaripenyebaraninfeksihematologi.Dengan antibiotik komplikasi
hampir tidak pernah dijumpai(Arisanti, 2015).
3. Prognosis
Dengan penggunaan antibiotik yang tepat dan cukup, mortalitas
dapat diturunkan sampai kurang dari 1 %. Anak dalam keadaan
malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan
mortalitas yang lebih tinggi(Hasan R, 2002).
Pada bronkopneumonia yang disebabkan oleh Staphylococcus
aureus, angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan
penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10 – 30% dan
bervariasi dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat,
umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang
menyertai(Hasan R, 2002).

21
BAB III
TINJAUAN KASUS

MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI “G” DI RUANG


ANAK RSUD Dr. ADNAAN WD PAYAKUMBUH

I. PENGUMPULAN DATA
A. DATA SUBJEKTIF
1. IDENTITAS/BIODATA
NamaBayi : An. G
Umur : 4 Bulan 3 Hari
Tanggal/ jam lahir : 04 Agustus 2019
Jeniskelamin : Laki - Laki
BB/PB : 5,8 kg / 57 cm

NamaIbu : Ny. W NamaSuami : Tn.R


Umur : Umur :
Suku : Minang Suku : Minang
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMK Pendidikan : DIV
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan :
Alamat : Payolansek Alamat : Payolansek

Anamnesis
Keluhan utama :os. sesak+ 2 hari yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :os. batuksejak+ 2 hari yang lalu, demam (+)
sejak 4 harilalusekarangos. Tidakdemam, muntah (-) BAB cair (-),
sesaknafas (+)
2. RIWAYAT ANTENATAL

22
P2A0H2 Usia kehamilan : 39 minggu

Pemeriksaan kehamilan : Rutin setiap bulan

Penyakit yang menyertai kehamilan : Tidak ada

Kebiasaan waktu hamil : Tidak ada

Komplikasi ibu dan janin : Tidak ada

3. RIWAYAT INTRANATAL

Jenis persalinan : Normal

Penolong persalinan : Dokter

Tempat persalinan : Klinik Bersalin

Komplikasi Persalinan : Tidak ada

Ketuban Pecah : Spontan

Keadaan bayi saat lahir : Merintih, warna kulit kemerahan, dan

gerakannya aktif.

4. KEADAAN BAYI

BB/PB : 3000gr/48cm

A/S : Tidak dilakukan

Caput sucedneum : Tidak ada

Cephal hematoma : Tidak ada

Cacat bawaan : Tidak ada

Resusitasi : Tidak ada

Rangsangan : iya

Penghisapan lender : iya

Ambubag : Tidak ada

23
Intubasi indotrakeal : Tidak ada

O2 : Ada

B. DATA OBJEKTIF

1. Pemeriksaan Umum

Keadaan Umum : sedang RR : 72x/menit

N : 164x/menit S : 38,70C

Antropometri

BB :4600 gr LD : 33 cm

PB : 50 cm LILA : 15 cm

LK : 35 cm

2. Pemerisaan Fisik

a. Kepala

UUK : Datar/normal Caput Succedenum : Tidak ada

UUB : Datar/normal Cephal Hematoma : Tidak ada

Bentuk : Simetris Moulage : Tidak ada

b. Mata

Bentuk : Simetris Konjungtiva : Merah muda

Tanda Infeksi : Tidak ada Sklera : Tidak kuning

c. Hidung

Bentuk : Simetris Pernafasan : cuping hidung

Lubang : 2 lubang kanan/kiri

d. Mulut

24
Bentuk : Simetris R. Rooting : ada (+)

Bibir : Pucat, kering R. Sucking : ada (+)

Langit-langit : Tidak ada kelainan Gusi : Kemerahan

Lidah : Tidak ada bintik putih Sekret : Tidak kuning

e. Telinga

Bentuk : Simetris Dauk : ada

Pengeluaran : Tidak ada Lekak : ada

f. Leher

Pembengkakan dan Pembesaran Kelenjar : Tidak ada

Reflek Tonic neck : ada (+)

g. Dada

Bentuk : Simetris Bunyi nafas : Ronchi

Putting susu : Tenggelam/simetris Retraksi : Ada

Bunyi jantung : Teratur

h. Bahu, lengan dan tangan

Gerakan : aktif R. Graps : ada (+)

Jumlah jari : lengkap

i. Abdomen

Bentuk : simetris

Tali pusat : menonjol

Penonjolan sekitar talpus : ada saat menangis

Perdarahan talpus : tidak ada

j. Tungkai

25
Gerakan : aktif R. walking and stapping : ada (+)

Jumlah jari : lengkap R. babinsky : ada (+)

k. Punggung

Benjoan/cekungan : Tidak ada

R. gallant : ada (+)

l. Anus : berlubang

m. Kulit

Warna : kemerahan

Pembengkakan : tidak ada

Bercak hitam : tidak ada

Lanugo : ada dipunggung dan bahu

Tanda lahir : tidak ada

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Hasil Laboratorium

Hb : 12,4 gr% Trombosit :329.000 mm3

Leukosit : 11.500 mm3 PVC : 38 v%

Eritrosit : 4,8 jt/mm3 Gol. Darah :O

Terpasang IVFD D5-1/4NS 8 tetes/menit

II. INTERPRETASI DATA


a. Diagnosa :

26
Data Dasar
JK :
PB :
BB :
A/S :
KU :
b. Masalah :
c. Kebutuhan
II. DIAGNOSA POTENSIAL

III. TINDAKAN SEGERA

IV. INTERVENSI

V. IMPLEMENTASI

VI. EVALUASI

CATATAN PERKEMBANGAN

27
Nama klien : Bayi “G” No. MR :

Diagnosis Medis : bronchopneumonia Ruang Rawat :

TANGGAL/PUKUL SOAP

BAB IV

28
PEMBAHASAN

Bronkopneumonia adalah merupakan peradangan pada parenkim paru

yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun benda asing yang ditandai

dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan dangkal,

muntah, diare, serta batuk kering dan produktif. (A. Aziz Alimul Hidayat, 2008).

Berdasarkan teori diatas maka bayi ”G” usia 4 bulan 3 haridapat dikatakan

menderita bronkopneumonia yang ditandai dengan panas tubuh yang tinggi, nafas

cepat, serta batuk kering.Untuk dapat menegakkan diagnosa dapat digunakan cara

pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan darah. Pada kasus bronkopneumonia

oleh bakteri akan terjadi leukositosis (meningkatnya jumlah neutrofil). (Sandra M.

Nettina, 2005)

Setelah melakukan asuhan kebidanan pada bayi “G” usia 4 bulan 3

haridi ruang anak RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh maka dapat dinyatakan

bahwa bayi “G” usia 4 bulan 3 harimenderita bronkopneumonia didasarkan

dengan hasil laboratorium yaitu leukosit 11.500 mm3, melebihi batas normal yaitu

5000 – 10.000 mm3.

Pemberian terapi serta pemberian KIE yang jelas diharapkan bisa

dimengerti oleh keluarga pasien dan bisa melaksanakan semua yang telah

dianjurkan sehingga masalah dapat teratasi. Pada bayi “G” telah dilakukan analisa

data maka tidak ada kesenjangan dengan teori dan praktek. Dengan demikian

penulis memberikan asuhan kebidanan dengan melakukan pemantauan tanda-

tanda vital yaitu pengukuran suhu, nadi, dan pernafasan serta melakukan

29
kolaborasi dengan dokter spesialis anak dalam terapinya sehingga diharapkan

masalah yang terjadi dapat teratasi.

BAB V
PENUTUP

30
A. Kesimpulan

Bronkopneumonia adalah merupakan peradangan pada parenkim paru

yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun benda asing yang

ditandai dengan gejala panas yang tinggi, gelisah, dispnea, napas cepat dan

dangkal, muntah, diare, serta batuk kering dan produktif. Timbulnya

bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa,

mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia.

Pada kasus asuhan kebidanan pada pada bayi “G” usia 4 bulan 3 hari

di ruang anak RSUD Dr. Adnaan WD Payakumbuh maka dapat dinyatakan

bahwa bayi “G” menderita bronkopneumonia. Ibu pasien mengeluh anaknya

demam tinggi disertai batuk. Diberi terapi Infus D5-1/4NS 8 tetes/menit,

Injeksi cefoferazone 1x 200 mg, Injeksi Ceftriaxone 1x 200mg,

Paracetamol syrup 3x 2ml, Ambroxol 3x 1/5 tablet jika ada batuk.

B. Saran

Dengan adanya laporan tentang bronkopneumonia ini diharapkan

pada tenaga kesehatan dapat menyesuaikan tindakan berdasarkan prinsip

pengelolaan bronkopneumonia. Pada keluarga pasien setelah pulang ke

rumah dapat memantau perkembangan bayinya, terutama penambahan berat

badan bayinya.

31
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/23704673/MAKALAH_Laporan_Kasus

32

Anda mungkin juga menyukai