Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Studi Terdahulu


Pada penelitian ini penulis memaparkan beberapa studi terdahulu yang
berkaitan tentang Studi Penggunaan Kapur Tohor Dalam Proses Penetralan Air
Asam Tambang yakni sebagai berikut:
1. Herlina, dkk (2014) dalam Jurnal Ilmu Teknik Universitas Sriwijaya volume 6
yang berjudul “Pengaruh Fly ash dan Kapur Tohor pada Netralisasi Air Asam
Tambang Terhadap Kualitas Air Asam Tambang (pH, Fe dan Mn) di IUP
Tambang Air Laya PT Bukit Asam (Persero) Tbk”. Dari hasil kegiatan
penelitian yang telah dilakukan, metode yang digunakan yaitu kuantitatif
dilakukan dengan penanganan aktif yaitu dengan penambahan bahan reagen
kimia dengan pencampuran larutan fly ash dan kapur tohor. Fly ash dapat
digunakan untuk tujuan pengapuran karena mengandung CaO dan MgO. Hasil
uji coba fly ash untuk penetralan air asam juga menunjukkan hasil yang positif
dengan kadar 55 gr/l berhasil menaikkan pH dari 4,25 menjadi pH 7,25.
Penurunan kandungan Fe sebesar 45,65 % dari 0,81 mg/l menjadi 0,44 mg/l
dan Mn 49,01 % dari 10,2 mg/l menjadi 5,2 mg/l pada air asam tambang. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan kapur lebih optimal karena dengan
kadar 1,0 gr/l berhasil menaikkan pH dari 4,25 menjadi 8,00. Penurunan
kandungan Fe sebesar 51,85 % dari 0,81 mg/l menjadi 0,39 mg/l dan Mn 62,54
% dari 10,2mg/l menjadi 3,82 mg/l pada air asam tambang.
2. Tresnadi, (2014) dalam conference paper Seminar Nasional Fakultas
Teknologi Mineral Tahun 2014 yang berjudul “Pengelolaan Air Asam
Tambang di Pit 1 Banko Barat Tanjung Enim Sumatera Selatan”.
Penambangan batubara di Banko Barat Pit 1 Tanjung Enim telah
mengakibatkan terbentuknya air asam tambang, sehingga terjadi penurunan pH
air di sekitarnya. Metode yang digunakan yaitu kuantitatif dilakukan adalah
pengamatan pH air pada active treatment air asam tambang dan mine sump Pit
1 Bangko Barat dan stockpile batubara di Banko Barat dan kolam atau

5
6

genangan air hujan sebagai pembandingnya. Hasil pengamatan pH air di


stockpile batubara mendekati pH di kolam air hujan, sedangkan pH air di kolam
treatment, kolam pengendapan, mine sump Banko Barat lebih rendah dari pada
ketiganya, yaitu dari 2 hingga 3. Kandungan SO42ˉ air telaga dan stockpile
batubara lebih rendah dibandingkan dengan di kolam treatment pit 1 Banko
barat. Rendahnya pH, antara 2 hingga 3 pada keluaran water treatment
menunjukkan bahwa fasilitas ini harus diperbaiki prosesnya, seperti
peningkatan kuantitas dan kontinuitas proses penambahan kapur sebagai
material yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja proses water treatment
yang ada.
3. Anshariah, dkk dalam Jurnal Geomine volume 7 tahun 2015 yang berjudul
“Studi Pengelolaan Air Asam Tambang pada PT Rimau Energy Mining
Kabupaten Barito Timur Provinsi Kalimantan” dimana permasalahan yang ada
yaitu air yang berada di sump pit 1 PT Rimau Energy Mining merupakan air
yang berasal dari limpasan hujan dan berdasarkan pengukuran pH air di
lapangan menunjukkan dalam kondisi normal yakni 6,6 namun berdasarkan
pengamatan sifat fisik air yang berada di sump pit yakni berwarna coklat dan
keruh, sehingga perlu adanya penanganan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan metode kuantitatif yaitu melakukan pengukuran pH
air di area pit dan settling pond, mengukur debit air di saluran inlet dan outlet,
serta menghitung besaran kuantitas air berdasarkan data curah hujan.
Pengelolaan air tambang di Pit 1 PT Rimau Energy Mining dilakukan dengan
proses dewatering, berdasarkan hasil penelitian diperoleh debit limpasan yang
masuk ke sump pit adalah 8,05 m³/detik. Air yang berada di sump pit kemudian
di pompa keluar dari pit dengan menggunakan pompa tipe Mitsubishi 6D15
dengan kapasitas maksimum pompa yaitu 639 m³/jam. Air yang dipompa
kemudian dialirkan menuju settling pond melalui saluran dengan kapasitas
saluran 0,416 m³/detik. Total volume tampungan air settling pond sebesar
14.270 m³ sehingga waktu yang dibutuhkan partikel untuk mengendap yaitu
9,519 jam. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap stabilitas endapan didapatkan
kesimpulan bahwa settling pond existing aman terhadap scouring dengan
7

parameter tidak melebihi syarat bilangan Reynold yaitu Re<2000 dan angka
Froude yaitu Fr<0,005. Pengolahan air asam tambang dilakukan dengan
menggunakan metode pengolahan aktif yaitu pemberian kapur dan tawas
dengan rapid mixing yang tenaga pengadukannya berasal dari terjunan hidrolis.
4. Isnaeni, dkk (2016) dalam Jurnal Teknologi Pertambangan volume 4 tahun
2016 yang berjudul “Kajian Teknis Dimensi Kolam Pengendapan di Settling
pond 71 C PT Perkasa Inakakerta Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai
Timur Provinsi Kalimantan Timur” dimana saat ini untuk parameter kualitas
air yang belum memenuhi standar baku mutu adalah pH dan TSS, koagulan
yang digunakan terlalu banyak, faktor yang mempengaruhi adalah dimensi
kolam pengendapan yang terlalu luas sehingga kurang efektif. Metode yang
digunakan yaitu kuantitatif dilakukan agar parameter kualitas air memenuhi
baku mutu dan koagulan yang digunakan tidak terlalu banyak adalah
melakukan perbaikan pada dimensi kolam menjadi 2 kompartemen sebagai
proses pengendapan material padatan dan 3 kompartemen untuk perawatan
(treatment) dengan luas 5.505 m2 dan volume 24.663 m3 sehingga koagulan
yang digunakan sebanyak 48 kg/jam.
5. Arisepta, dkk (2014) dalam Jurnal Ilmu Teknik Universitas Sriwijaya Vol 2
No 6 Tahun 2014 yang berjudul “ Kajian Efektivitas Penentuan Dosis
Kuriflock PC-702 untuk Mengurangi TSS (Total Suspended Solid) pada Air
Tambang di KPL Stockpile 1 PT Bukit Asam Tbk. Pada musim penghujan laju
debit air yang masuk ke catchment area seluas 35 Ha di kawasan KPL
stockpile 1 PT BA akan meningkat dan menyebabkan air di KPL stockpile 1
menjadi lebih keruh daripada kondisi tidak hujan. Akibat kekeruhan itu
didapatlah tingkat TSS yang tinggi merupakan salah satu standar baku mutu
lingkungan yang wajib dipenuhi oleh PT BA sebagai perusahaan pertambangan
batubara di Indonesia yang sangat peduli terhadap kestabilan ekosistem alam
sekitar. Oleh sebab itu perlu dilakukan proses pengendalian dengan cara aktif
yang dalam hal ini menggunakan reagen kimia polimer flokulan yaitu
Kuriflock PC-702 yang dapat mengurangi kadar TSS air, sehingga diharapkan
hasil akhir pengendalian air asam tambang memenuhi baku mutu lingkungan
8

dan air dapat dimanfaatkan perusahaan dan selebihnya dibuang ke badan


sungai dengan aman sesuai baku mutu lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah
menentukan dosis yang efektif untuk menurnkan kadar TSS air tambang.
metode yang digunakan yaitu kuantitatif Untuk mencapai tujuan dilakukan uji
laboratorium jartest dengan kecepatan adukan 150 rpm, sehingga terjadi proses
flokulasi yaitu terikatnya partikel – partikel padat dan kemudian mengendap
secara gravitasi. Uji jartest dilakukan berdasarkan sample air yang diambil
dengan tingkat TSS yang tertinggi. Sample yang diambil berasal dari saluran
inlet dan outlet. Dari hasil uji jartest didapatkan dosis yang efektif yaitu 0,2
ppm untuk menangani TSS air dalam kondisi tidak hujan dan 0,8 ppm untuk
menangani TSS air pada kondisi hujan.

2.2 Air Asam Tambang


Menurut Sogaya (2014) Air Asam Tambang yang dalam bahasa Inggris
dikenal dengan Acid Mine Drainage (AMD) atau Acid Rock Drainage (ARD)
terjadi sebagai hasil dari proses fisika dan kimia yang cukup kompleks yang
mengakibatkan terbentuknya air yang bersifat asam sebagai hasil dari oksidasi
mineral sulfida yang terpapar (exposed) di udara dengan kehadiran air. Air asam
tambang merupakan limbah pencemar lingkungan yang terjadi akibat aktivitas
pertambangan. Limbah ini terjadi karena adanya proses oksidasi bahan mineral pirit
(FeS2) dan bahan mineral sulfida lainnya yang tersingkap ke permukaan tanah
dalam proses pengambilan bahan mineral tambang.
Proses kimia dan biologi dari bahan-bahan mineral tersebut menghasilkan
sulfat dengan tingkat keasaman yang tinggi. Secara langsung maupun tidak
langsung tingkat keasaman yang tinggi mempengaruhi kualitas lingkungan dan
kehidupan organisme. Kualitas air digunakan sebagai pembanding dalam usaha
pemantauan ketika tambang sedang berjalan. Mineral sulfida tertentu yang ada pada
batuan terpapar dengan kondisi dimana terdapat air dan oksigen (sebagai faktor
utama) yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi dan menghasilkan air dengan
kondisi asam. Air yang bersifat asam ditandai dengan nilai pH yang rendah yaitu
dibawah < 6 (tingkat keasamannya yang tinggi) dan sering tidak sesuai dengan baku
9

mutu air pH normal adalah 6-9. Air yang bersifat asam dapat keluar dari asalnya
jika terdapat air pereaksi aktif yang cukup, umumnya air hujan yang pada timbunan
batuan dapat meresap (infiltrasi). Air yang keluar dari sumbernya inilah yang lazim
disebut dengan istilah air asam tambang (AAT).
Menurut Said (2014) Tipe air tambang merupakan hasil dari reaksi kimia
yang menghasilkan berbagai macam senyawa kimia yang mengalami degradasi
secara alami dan mengakibatkan ditemukannya berbagai macam tipe atau bentuk
senyawa air tambang tersebut. Dalam menentukan kualitas air tambang diperlukan
beberapa kriteria yang dapat menentukan apakah air tambang dapat dimanfaatkan
untuk kehidupan manusia, seperti air minum, air mandi dan cuci, air toilet, air
irigasi untuk pertanian, air minum untuk pertenakan atau air untuk usaha budidaya
perikanan atau juga untuk dimanfaatkan sebagai wilayah pariwisata. Adakalanya
wilayah kolam air dapat juga digunakan untuk tempat pengembangan pemukiman
atau sering dimanfaatkan sebagai water front city area.
Air asam tambang adalah air bersifat asam dan mengandung zat besi dan
sulfat yang terbentuk pada kondisi alami pada saat strata geologi yang mengandung
pyrite terpapar ke atmosfir atau lingkungan yang bersifat oksidasi. Air asam
tambang dapat terbentuk dari tambang batubara, baik pada pertambangan
permukaan maupun pertambangan bawah tanah. Air tambang alkali (alkaline mine
drainage) adalah air tambang yang mempunyai tingkat keasaman (pH) 6 atau lebih,
mengandung alkalinitas, tetapi masih mengandung logam terlarut. Kualitas air
tambang, asam atau alkali, bergantung pada ada atau tidaknya kandungan mineral
asam (sulfida) dan material alkali (material karbonat) di dalam strata geologi.
Umumnya material yang banyak mengandung sulfida dan mengandung sedikit
material alkali cenderung membentuk air asam tambang. Sebaliknya material yang
banyak mengandung alkali, walaupun mengandung material sulfida dengan
konsentrasi yang banyak, sering menghasilkan air alkali (net akaline water).
Menurut Skousen dan Ziemkiewicz (1996) air tambang dapat dikelompokkan ke
dalam 5 tipe yaitu:
a) Air Tambang Tipe 1
Air tambang yang tidak atau sedikit mengandung alkalinitas (pH < 4,5)
10

dan mengandung Fe, Al, Mn, dan logam lainnya, asam (H+ ) dan oksigen dengan
konsentrasi yang tinggi. Air tambang tipe ini disebut air asam tambang (acid
mine drainage, AMD). Air asam tambang (AMD) mungkin juga merujuk pada
air yang mempunyai pH < 6 dan mengandung keasaman bersih (net acidity),
yaitu keasamannya lebih besar daripada alkalinitasnya.
b) Air Tambang Tipe 2
Air tambang yang mempunyai kandungan zat padat terlarut yang tinggi, yakni
mengandung besi ferro dan Mn yang tinggi, sedikit atau tanpa megandung
oksigen, dan pH > 6. Pada kondisi teroksidasi, pH air tipe ini dapat turun secara
tajam, sehingga berubah menjadi air tipe 1.
c) Air Tambang Tipe 3
Air tambang yang mengandung zat padat terlarut dengan konsentrasi sedang
sampai tinggi, mengandung besi ferro dan Mn dengan konsentrasi rendah sampai
sedang, tanpa atau sedikit mengandung oksigen, pH > 6, dan alkalinitas lebih
besar dari keasaman (acidity). Umumnya disebut juga dengan air tambang alkali
(alkaline mine drainage). Pada kondisi teroksidasi, asam yang terbentuk dari
hidrolisa logam dan reaksi pengendapan akan dinetralkan oleh senyawa alkali
yang sudah terdapat di dalam air.
d) Air Tambang Tipe 4
Air asam tambang tipe 1 yang dinetralkan hingga pH-nya > 6 dan mengandung
partikel tersuspensi dengan konsentrasi yang tinggi. Pengendapan hidroksida
logam di dalam air belum terjadi. Dengan waktu tinggal yang cukup di dalam
kolam, maka partikel tersuspensi akan mengendap.
e) Air Tambang Tipe 5
Air asam tambang yang telah dinetralkan sehingga pH-nya > 6 dan mengandung
zat padat terlarut dengan konsentrasi yang tinggi. Setelah hampir seluruh
hidroksida logam diendapkan di dalam kolam pengendap, kation utama yang
masih tertinggal di dalam air dengan konsentrasi yang tinggi umumnya adalah
kalsium (Ca) dan magnesium (Mg) terlarut. Anion terlarut seperti bikarbonat dan
sulfat masih tertinggal di dalam air. Jika pada proses netralisasi mengalami
kekurangan alkalinitas, air tambang tipe 5 ini tidak akan terbentuk.
11

Tipe lain dari air tambang terjadi dari tambang yang mengandung sedikit
sulfida dan karbonat dengan konsentrasi rendah sampai sedang. Air tipe ini
biasanya mendekati pH netral, spesifik konduktan rendah (< 100 μS/mm) dan
alkalinitas mendekati setimbang. Air tipe ini dikelompokkan sebagai air netral
atau inert. Di antara tipe-tipe air tambang di atas terdapat kemungkinan adanya
tipe transisi sehingga pengambilan data yang sesuai dan analisa konsentrasi
logam, pH air, serta status oksigen perlu dilakukan untuk menentukan tipe atau
karakteristik air tambang.

2.3 Proses Terbentuknya Air Asam Tambang


Menurut Johnson (2003) Pada pertambangan Batubara lokasi yang paling
berpotensi menghasilkan air asam tambang adalah pit area dan disposal area. Pit
area merupakan lokasi dimana dilakukannya penambangan sedangkan disposal area
adalah lokasi penumpukan batuan-batuan yang tidak digunakan. Batuan-batuan
yang tidak digunakan tersebut biasanya tergolong PAF (Potentially Acid Forming)
dan NAF (Non Acid Forming). Batuan yang tergolong PAF biasanya dijauhkan dari
udara sebisa mungkin batuan ini tidak terkontak langsung dengan oksigen dan air
agar tidak teroksidasi membentuk air asam tambang. PAF merupakan batuan yang
berpotensi menghasilkan air asam tambang sedangkan NAF merupakan batuan
yang tidak berpotensi membentuk air asam tambang.
Air asam tambang terbentuk saat mineral sulfida tertentu yang ada pada
batuan terpapar dengan kondisi dimana terdapat air dan oksigen (sebagai faktor
utama) yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi dan menghasilkan air dengan
kondisi asam. Hasil reaksi kimia ini beserta air yang sifatnya asam dapat keluar dari
asalnya jika terdapat air pengelontor yang cukup umumnya air hujan yang pada
timbunan batuan dapat mengalami infiltrasi/perkolasi. Air yang keluar dari
sumbernya inilah yang lazimnya disebut dengan istilah air asam tambang tersebut.
Keterdapatan air yang bersifat asam secara alamiah bisa terjadi di daerah yang
dicirikan oleh derajat mineralisasi yang tinggi. Aliran air alami tersebut umumnya
memiliki tingkat keasaman dan kandungan logam tinggi. Hal ini tampak dari nama-
12

nama daerah yang sedikit banyak mengindikasikan adanya aliran air alami yang
bersifat asam.
Pada suatu areal penambangan AAT dapat terbentuk melalui berbagai proses,
antara lain :
1. Air limpasan hujan yang mengalir dan kontak dengan dinding pit
penambangan.
2. Air hujan yang jatuh dan terinfiltrasi pada timbunan batuan pnutup.
3. Air hujan yang jatuh dan terinfiltrasi pada timbunan batubar atau bijih hasil
penambangan ( Run of mine, ROM), tumpukan bijih pada ekstrasi mineral
berharga dengan metode heapleach, timbunan tailing dan timbunan limbah sisa
cucian batubara.
4. Air tanah mengalir ke dalam bukaan tambang bawah tanah dan kontak dengan
batuan dinding bukaan.
5. Air tanah dan limpasan air hujan yang mengalir ke zona ambrukan pada
tambang bawah tanah dengan metode ambrukan.
Proses pembentukan AAT dapat berlangsung cepat tetapi dapat juga
berlangsung dengan lama setelah mineral sulfida terendapkan. Pembentukan AAT
ditemukan baik dilokasi penambangan dengan tinggkat curah hujan yang tinggi
maupun pada daerah yang relatif kering, jadi pembentukan AAT tidak tergantung
pada iklim, AAT ditemukan terjdi pada lokasi penambangan di daerah tropis seperti
di indonesia maupun di wilayah dekat kutub seperti di kanada.
Proses oksidasi mineral sulfida tidak hanya menghasilkan asam tetapi juga
dapat melepaskan logam dan sulfat ke dalam AAT dan melindi unsur-unsur lain
yang terdapat di dalam mineral ganggue. AAT umumnya diasosiasikan dengan
kandungan sulpaf, logam berat (F, Cu, Pb, Zn, Cd, Co, Cr, Ni, Hg), metalloid
(As,Sb) dan unsur lain seperti Al, Mn, Si,Ca, Na, Mg,Ba, dan F. Kandungan logam
yang tinggi umumnya ditemukan pada AAT yang dibangkitkan di tambang bijih
logam dasar atau emas sementara di tambang batubara kandungan logam dan
metalloid lebih rendah. AAT biasanya dicirikan oleh kandungan sulfat yang tinggi
(>1000 mg/l), kandungan besi dan alumunium yang tinggi (>100 mg/l) dan
konsentrasi tembaga, kromonium, nikel, timbal dan zinc dari 10 mg/l ( Lottermoser,
13

2010). Kandungan Fe dan Al terlarut umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan


unsur lainnya. Unsur-unsur lain seperti kalsium, magnesium, natrium, dan kalium
juga meningkat. Walaupun unsur-unsur tersebut dari sudut pandang lingkungan
hidup tidak menjadi perhatian tetapi mempengaruhi kualitas untuk penggunaan air.
Kandungan natrium yang tinggi membatasi penggunaan air untuk irigasi dan
kekerasan akan mempengaruhi toksitasi dari logam berat seperti zinc.
Berdasarkan hal diatas apabila air asam tambang keluar dari tempat
terbentuknya dan masuk ke sistem lingkungan umum (diluar tambang) maka
beberapa faktor lingkungan dapat terpengaruhi. Air asam tambang terbentuk karena
selama proses penambangan mineral sulfida teroksidasi oleh oksigen menjadi asam
sulfat yang terlarut ke dalam air.
Dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut mineral sulfida penghasil asam yang
paling umum yaitu :
Tabel 2.1 Mineral sulfida penghasil asam
Mineral Komposisi
Pirit FeS2
Markasit FeS3
Kalkopirit CuFeS2
Kalkosit Cu2S
Spalerit ZnS
Galena PbS
Milerit NiS
Arsenopirit FeAsS
Sinabar HgS
Sumber : Sogaya, 2014

Menurut Stumm & Morgan (1996) Reaksi pembentukan air asam tambang
dapat dirinci menjadi empat tahap reaksi yaitu :
1. Reaksi pertama adalah reaksi pelapukan dari pyrite disertai proses oksidasi.
Sulfur dioksidasi menjadi sulfat dan besi fero dilepaskan. Dari reaksi ini
dihasilkan dua mol keasaman dari setiap mol pyrite yang teroksidasi.
14

2 FeS2 + 7 O2 + 2 H2O →2 Fe2+ + 4 SO42- + 4 H+


Pyrite + Oxygen + Water → Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
2. Reaksi kedua terjadi konversi dari besi ferro menjadi besi ferri yang
mengkonsumsi satu mol keasaman. Laju reaksi lambat pada pH <5 dan kondisi
abiotik. Bakteri thiobacillus akan mempercepat proses oksidasi.
4 Fe2++ O2 + 4 H+ → 4 Fe 3+ + 2 H2O
Ferrous Iron + Oxygen + Acidity → Ferric Iron + Water
3. Reaksi ketiga adalah hidrolisa dari besi. Hidrolisa adalah reaksi yang
memisahkan molekul air. Tiga mol keasaman dihasilkan dari reaksi ini.
Pembentukan presipitat ferri hidroksida tergantung pH, yaitu lebih banyak
pada pH diatas 3,5.
4 Fe3++ 12 H2O → 4 Fe(OH)3 + 12 H+
Ferric Iron + Water → Ferric Hydroxide (yellowboy) + Acidity
4. Reaksi keempat adalah oksidasi lanjutan dari pyrite oleh besi ferri. Reaksi ini
adalah reaksi merambat (propagasi) yang berlangsung sangat cepat dan akan
berhenti jika pyrite atau besi ferri habis. Agen pengoksidasi dalam reaksi ini
adalah besi ferri.
FeS2 + 14 Fe3+ + 8 H2O → 15 Fe2++ 2 SO42-+ 16 H+
Pyrite + Ferric Iron + Water → Ferrous Iron + Sulfate + Acidity
Faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya AAT disuatu tempat
adalah:
1. Konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulfida.
2. Jumlah dan komposisi kimia air yang ada.
3. Temperatur.
4. Mikroorganisme.
Terbentuknya air asam tambang ditandai oleh satu atau lebih karakteristik
kualitas air sebagai berikut :
1. Nilai pH yang rendah (1,5 - 4).
2. Konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi, aluminium, mangan,
cadmium, tembaga, timbal, seng, arsenik dan mercury.
3. Nilai acidity yang tinggi (50–1500 mg/L).
15

4. Nilai sulfat yang tinggi (500–10.000 mg/L).


5. Kadar garam terlarut (salinitas) (1–20 mS/cm).
6. Konsentrasi oksigen terlarut yang rendah.
pH adalah ukuran konsentrasi ion hidrogen dari larutan. Pengukuran pH
(potensial Hidrogen) akan mengungkapkan jika larutan bersifat asam atau alkali
(atau basa). Jika larutan tersebut memiliki jumlah molekul asam dan basa yang
sama, pH dianggap netral. Air yang sangat lembut umumnya asam, sedangkan air
yang sangat keras umumnya basa, meskipun kondisi yang tidak biasa dapat
mengakibatkan pengecualian.

2.4 Sumber – Sumber Air Asam Tambang dan Kandungannya


Menurut Morgan (1996) Air asam tambang dapat terjadi pada kegiatan
penambangan baik itu tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Umumnya
keadaan ini terjadi karena unsur sulfur yang terdapat didalam batuan teroksidasi
secara alamiah didukung juga dengan curah hujan yang tinggi semakin
mempercepat perubahan oksida sulfur menjadi asam sumber–sumber air asam
tambang antara lain berasal dari kegiatan–kegiatan berikut :
1. Tambang terbuka
Tambang terbuka adalah suatu kegiatan penambangan yang langsung
berhubungan dengan udara luar. Lapisan batuan akan terbuka sebagai akibat dari
terkupasnya lapisan penutup, sehingga unsur sulfur yang terdapat dalam batuan
sulfida akan mudah teroksidasi dan bila bereaksi air dan oksigen akan
membentuk air asam tambang.
2. Air dari unit pengolahan batuan buangan
Material yang banyak terdapat pada limbah kegiatan penambangan adalah
batuan buangan (waste rock). Jumlah batuan buangan ini akan semakin
meningkat dengan bertambahnya kegiatan penambangan. Sebagai akibatnya
batuan buangan yang banyak mengandung sulfur akan berhubungan langsung
dengan udara terbuka membentuk senyawa sulfur oksida selanjutnya dengan
adanya air akan membentuk air asam tambang.
16

3. Air dari lokasi penimbunan batuan


Timbunan batuan yang berasal dari batuan sulfida dapat menghasilkan air asam
tambang karena adanya kontak langsung dengan udara yang selanjutnya terjadi
pelarutan akibat adanya air.
4. Air dari unit pengolahan limbah tailing
Kandungan unsur sulfur di dalam tailing diketahui mempunyai potensi dalam
membentuk air asam tambang, pH dalam tailing pond ini biasanya cukup tinggi
karena adanya penambahan hydrated lime untuk menetralkan air yang bersifat
asam yang dibuang kedalamnya. Air yang masuk ke dalam tailing pond yang
bersifat asam tersebut diperkirakan akan menyebabkan limbah asam bila
merembes keluar dari tailing pond.

2.5 Syarat Baku Mutu Air


Berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 113 tahun
2003 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha dan kegiatan penambangan
batubara pasal 2 ayat 1, maka baku mutu air limbah untuk kegiatan penambangan
batubara dapat di lihat pada tabel Tabel 2.3 di bawah ini :
Tabel 2.3 Baku mutu air limbah kegiatan penambangan batubara
Parameter Satuan Kadar Maksimum
Ph - 6–9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn)
mg/l 4
Total
(Sumber : KLH nomor 113 Tahun 2003)
Berikut ini akan diuraikan beberapa elemen penting dari baku mutu air serta
dampaknya terhadap lingkungan.
1. Tingkat keasaman (pH)
Nilai pH adalah nilai yang menyatakan tingkat keasaman suatu air baik itu air ir
tanah dan air sisa penambangan. Nilai pH air yang normal berada antara 6–9. pH
air terpolusi berbeda-beda tergantung dari jenis buangannya. Buangan yang banyak
17

mengandung asam-asam organic biasanya akan meningkatkan keasaman air. Air


buangan industri-industri bahan organic pada umumnya mengandung asam mineral
dalam jumlah yang tinggi, sehingga keasaman juga tinggi atau pH nya rendah.
Perubahan keasaman pada air buangan, baik kearah alkali (pH naik) maupun
kearah asam (pH turun) akan sangat mengganggu kehidupan ikan dan hewan air
lainnya. Air buangan yang mempunyai pH rendah juga bersifat sangat korosif
terhadap baja dan besi, bangunan semen atau beton mudah rusak pada kondisi asam
dan dapat terjadi penyumbatan aquifer atau sumur akibat pengendapan besi (besi
oksida).
2. Residu Tersuspensi
Residu tersuspensi adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan
dengan ukuran partikel maksimal 2μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid.
Yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam oksida, sulfida, ganggang,
bakteri dan jamur. TSS umumnya dapat dihilangkan dengan cara flokulasi dan
penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan
membatasi penetrasi cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Sehingga
nilai kekeruhan tidak dapat dikonversi ke nilai TSS. Kekeruhan adalah
kecenderungan ukuran sampel untuk menyebarkan cahaya. Sementara hamburan
diproduksi oleh adanya partikel tersuspensi dalam sampel. Kekeruhan adalah murni
sebuah sifat optik.
3. Besi (Fe)
Besi adalah salah satu elemen kimiawi yang dapat ditemui pada hampir setiap
tempat – tempat di bumi, pada semua lapisan geologis dan semua baan air. Pada
umunya, besi yang ada di dalam air dapat bersifat terlarutsebagai Fe2+ (fero) atau
Fe3+ (feri) ; tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter <1 μm) atau lebih besar,
seperti Fe2O3, FeO, Fe (OH)2, Fe(OH)3 dan sebagainya, tergabung dengan zat
organis atau zat padat yang inorganis (seperti tanah liat). Pada air permukaan jarang
ditemui kadar Fe lebih besar dari 1 mg/l, tetapi di dalam air tanah kedar Fe dapat
jauh lebih tinggi. Konsentrasi Fe yang tinggi ini dapat dirasakan dan dapat menodai
kain dan perkakas dapur.
18

Besi (Fe) berada dalam tanah dan batuan sebagai ferioksida (Fe2O2) dan
ferihidroksida (Fe(OH)3). Dalam air, besi berbentuk ferobikarbonat (Fe(HCO3)2),
ferohidroksida (Fe(OH)2), ferosulfat (FeSO4) dan besi organik kompleks. Air tanah
mengandung besi terlarut berbentuk ferro (Fe2+). Jika air tanah dipompakan keluar
dan kontak dengan udara (oksigen) maka besi (Fe2+) akan teroksidasi menjadi
ferihidroksida (Fe(OH)3).
Ferihidroksida dapat mengendap dan berwarna kuning kecoklatan. Hal ini dapat
menodai peralatan porselen dan cucian. Bakteri besi (Crenothrix dan Gallionella)
memanfaatkan besi fero (Fe2+) sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya dan
mengendapkan ferrihidroksida. Pertumbuhan bakteri besi yang terlalu cepat (karena
adanya besi ferro) menyebabkan diameter pipa berkurang dan lama kelamaan akan
tersumbat.
4. Mangan (Mn)
Mangan merupakan unsur logam yang termasuk golongan VII, dengan berat
atom 54,93, titik lebur 1247˚C, dan titik didihnya 2032˚C (BPPT, 2004). Menurut
Slamet (2007), Mangan (Mn) adalah metal berwarna kemerah – merahan, di alam
mangan (Mn) umumnya ditemui dalam bentuk senyawa dengan berbagai macam
valensi. Air yang mengandung mangan (Mn) berlebih menimbulkan rasa, warna
(coklat/ungu/hitam), dan kekeruhan (Fauziah, 2010).
Toksisitas mangan relatif sudah tampak pada konsentrasi rendah. Kandungan
mangan yang diizinkan dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik yaitu
dibawah 0,05 mg/l. Air yang berasal dari sumber tambang asam dapat mengandung
mangan terlarut dengan konsentrasi ±1 mg/l. Pada pH yang agak tinggi dan kondisi
aerob terbentuk mangan yang tidak larut seperti MnO2, Mn3O4 atau MnCO3
meskipun oksidasi dari Mn3+ itu berjalan relatif lambat (Achmad, 2004).

2.6 Teknologi Pengolahan Air Asam Tambang


Menurut Guide (2009) Pengolahan air asam diperlukan agar air limbah dari
pertambangan yang menjadi air asam tambang tersebut memenuhi baku mutu
lingkungan dengan pengolahan sebelum dilepaskan ke badan perairan alami.
19

Pengolahan air asam tambang umumnya digolongkan menjadi dua yaitu


pengolahan aktif dan pengolahan pasif Untuk mengondisikan pH antara 6-9 maka
diperlukan penambahan basa melalui :
 Proses netralisasi yang merupakan reaksi pengabungan ion dengan cara
mencampurkan air asam tambang dengan ion hidroksil.
 Oksigen yaitu dengan merubah ion Fe2+ menjadi Fe3+
 Presipitasi
2.6.1 Pengolahan aktif
Menurut Skousen (2000) Sistem pengolahan aktif adalah pengolahan air asam
tambang dengan menggunakan bahan kimia alkali untuk meningkatkan pH air,
menetralkan keasaman dan pengendapan logam. Meskipun efektif, pengolahan
aktif mahal bila biaya peralatan, bahan kimia, dan tenaga kerja dianggap sebagai
pertimbangan. Pengolahan kimia mungkin akan dilakukan dalam jangka panjang.
Jika masalah Air Asam Tambang (AAT) terjadi selama waktu penambangan atau
setelah reklamasi, rencana untuk mengolah air pembuangan harus dikembangkan.
Pengolahan AAT meliputi netralisasi keasaman dan presipitasi ion logam
untuk memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Berbagai metode alternatif
pengolahan dapat digunakan untuk memenuhi batas-batas yang ditentukan.
Pengolahan air asam tambang secara aktif (active treatment) umumnya
menggunakan bahan kimia yang mengandung kapur, bisa dalam bentuk CaCOᴣ,
Ca(OH)2, CaO atau penambahan soda kaustik (NaOH) dan amoniak (NH3).
Pengolahan aktif harus mempertimbangkan :
- Debit aliran air
- pH
- padatan terlarut total ( total suspended solid )
- keasaman dan alkalinitas
- konsentrasin Fe dan Mn
- debit badan air penerima dan penggunaannya
- ketersediaan listrik atau sumber energi
- Jarak antara titik pemberian bahan kimia
- penetral dan aliran air masuk ke kolam pengendap
20

- Keekonomian berbagai bahan penetral dan alternative sistem pengolahan aktif.


Untuk melakukan pemilihan sistem pengolahan aktif, beberapa hal yang
harus diperhatikan antara lain adalah debit aliran air baku, pH, total padatan
tersuspensi (TSS), keasaman atau alkalinitas dalam mg/l sebagai CaCOᴣ,
konsentrasi Fe dan Mn, badan air penerima dan penggunaannya, ketersediaan
listrik, jarak antara penambahan bahan kimia dan tempat air masuk ke kolam
pengendap, volume serta bentuk kolam pengendap.
Setelah mengevaluasi variabel-variabel tersebut selama periode waktu
tertentu, operator dapat mempertimbangkan secara ekonomi terhadap bahan kimia
berbeda dan alternatif sistem pengolahan aktif. Kebanyakan sistem pengolahan
aktif secara kimia terdiri dari pipa aliran masuk (inflow pipe) atau parit atau ditch
(kadang-kadang sebuah kolam penampungan air baku dan aerator untuk aliran yang
besar), sebuah tangki penyimpanan atau tangki (bin) untuk melakukan pengolahan
kimia, peralatan kontrol penggunaan bahan kimia, kolam pengendap untuk
memisahkan endapan logam-logam oksihidroksida, dan titik pengeluaran atau
pembuangan.
Beberapa bahan kimia yang sering digunakan di dalam pengolahan air asam
tambang secara aktif antara lain yaitu:
Tabel 2.2 Bahan kimia yang banyak digunakan untuk pengolahan air
asam tambang
Nama umum Nama kimia Rumus Faktor Effisiensi
Molekul konversi Netralisasi
Batu Kapur Kalsium Karbonat CaCOᴣ 1,00 50 %
(Limestone)
Hydrate Lime Kalsium Hidrok Ca(OH)2 0,74 95%
sida
Kapur Tohor Kalsium Oksida CaO 0,56 90%
(Pebble Quicklime)
Soda Abu (Soda Sodium Karbonat Na2COᴣ 1,06 60%
Ash)
21

Soda Api (Caustic Sodium NaOH 0,80 100 %


Soda) Padatan Hidroksida
Soda Api cair 25 %
Soda Api cair 50 % Sodium NaOH 256 100 %
Hidroksida
Amoniak Amonia NHᴣ 0,34 100 %
Anhidrous
(Sumber : Skousen, 2000)
2.6.2 Pengolahan pasif (Passive Treatment)
Pada pengolahan pasif, tidak lagi membutuhkan penambahan bahan kimia
secara terus menerus. Ini akan mengurangi peralatan operasional dan pemeliharaan.
Pengolahan secara pasif mengandalkan terjadinya proses bio-geokimiawi, yang
berlangsung menerus secara alami dalam peringatan pH dan pengikatan serta
pengendapan logam-logam terlarut.
Berikut merupakan beberapa contoh teknologi pengolahan pasif :
1. Lahan Basah Aerobik (Aerobic Wetland)
Lahan basah Aerobik merupakan lahan basah yang dangkal sehingga
memungkinkan proses aerasi. Untuk meningkatkan proses aerasi bisa dibuat
bertingkat (kaskade). Tanaman lahan basah yang umum adalah typha dan dasar
dari lahan basah dapat berupa tanah, lempung, bergantung pada konsentrasi
logam terlarur, oksigen terlarut, pH, keasaman/alkalinitas dan waktu tinggal.
Lahan basah aerobik baik untuk diretapkan untuk air alkalin.
2. Anaerobic Wetland dan Biochemical Reactors
Sistem Anaerobic pada dasarnya memanfaatkan reaksi reduksi secara kimiawi
dan microbial untuk mengendapkan logas dan menetralkan keasaman. AAT
dialirkan melalui material organik yang permeabel dan tebal yang bersifat
anaerobik karena tingginya BOD ( biological oxygen demand). Mekanisme
yang dapat berlangusng didalam lahan basah anarobik antara lain mencangkup
reaksi pertukaran logam, pembentukan dan pengendapan sulfida logam, reaksi
reduksi yang menghasilkan alkalinitas atas peran mikroba, dan pembentukan
karbonat karena pelarutan batu gamping pada kondisi anonic. Sistem ini cocok
22

untuk AAT yang memiliki keasaman bersih, nilai pH ysng rendah, kandungan
Fe yang tinggi dan oksigen terlarut tinggi (> 2 mg/l), serta telah berhasil untuk
pengolahan AAT dengan debit rendah dan kualitas sedang.
Anaerobic biochemical reactor (BCR) Menggunakan bahan organik
(umumnya kompos) untuk mereduksi sulfat menjadi H2S. Penambahan alkalin
dilakukan untuk menetralkan keasaman. Sistem ini terdiri atas lapisan subtrat
dasar dari campuran material alami (misalnya potongan kayu, pecahan batu
gamping, limbah pengolahan, alang-alang, kotoran binatang dan kompos).
3. Anoxic Limestone Drain (ALD)
ALD adalah sel atau saluran batugamping dengan penudungan untuk
meminimalkan kontak deangan oksigen di atmosfer dan memaksimalkan
akumulasi CO2. Lapisan penudung yang umum adalah lempung setebal 1-3m.
Bisa juga ditambahkan lapisan plastik di antara batu gamping dan lempung
untuk mencegah peluang infiltrasi oksigen. Pada sistem ini batugamping larut
dalam AAT dan meningkatkan pH serta menambahkan alkalinitas. Pada
kondisi anaxic tidak akan terjadi pelapisan batugamping oleh ferihidroksida
karena Fe²+ tidak akan mengalami presipitasi pada kondisi pH dekat nertal.
Batugamping dengan kandungan CaCO3 tinggi (>80%) lebih cepat melarut
dari pada tinggi. Batugamping yang baik untuk sitem ini adalah yang
mengandung CaCO3 atau CaMg(CO3)² yang tinggi. Batugamping yang baik
untuk sistem ini adalah yang mengandung CaCO3 antara 80-95% dan
berukuran 5-20 cm.
Keberhasilan ALD bergantung pada beberapa hal berikut :
 Besi harus dalam bentuk besi ferro (Fe II) karena besi feri (Fe III) akan
melapisi batu gamping.
 Jangan sampai kandungan oksigen bebas agar tidak memicu prepitasi besi
feri (Fe III).
 Konsentrasi Al rendah atau kurang dari 2 mg/l karena presipitasi aluminium
hidroksida akan menyumbat lapisan batuganping.
 Menungkinkan pelepasan CO2 yang terbentuk.
23

4. Reducing And Alkalinity Producing Systems (RAPS)


Kontruksi RAPS mirip dengan Anaerobic BCR namun fungsi RAPS adalah
untuk mereduksi besi feri pada lapisan organik yang tipis dan menetralkan
keasaman melalui lapisan batugamping di bawah lapisan organik tersebut.
Sistem ini akan berfungsi lebih baik dibandingkan ALD untk AAT yang
mengandung oksigen telarut atau besi feri. Reduksi sulfat berlangsung dan
akan mengendapkan logam dalam bentuk senyawa sulfida.
Tebal batugamping di bagian dasar berkisar antara 0,6-1,2 m dan di atasnya
lapisan material organik, biasanya berbentuk kompos, setebal 0,15-0,6 m.
Material organik akan menyediakan nutrien untuk bakteri pereduksi besi dan
sulfat. Kedalaman air mencapai 1-3 m dan tekanan air akan membentu alira
AAT pada lapisan organik.
5. Open limestone drain (OLD)
OLD dirancang untuk menambahkan alkalinitas melalui pelarutan
batugamping di dasar dan dinding saluran. Kinerja sitem ini akan terganggu
jika sudah terjadi pelapisan oleh endapan Fe dan Al hidroksida. Hasil penelitian
menunjukkan efektiitas berkurang sekitar 10 sampai 50%. Oleh kerena itu,
direkomendasikan untuk membuat OLD dengan kemirinagn yang curam
(>20%) sehingga kecepatan serta membersihkan endapan pada permukaan
batugamping. Harus juga dimungkinkan untuk membilas OLD dengan air yang
nertal.
Reaksi penetralan asam dengan bahan yang mengandung kapur adalah sebagai
berikut :
Ca(OH) 2 + H2SO4 <==> CaSO4 + 2 H2O
Ca(OH)2 + FeSO4 <==> Fe(OH)2 + CaSO4
Ca(OH)2 + Fe2(SO4)3 <==> 2 Fe(OH)3+ 3 CaSO4

2.7 Proses Penetralan Air Asam Tambang


Kolam pengendap lumpur berfungsi sebagai tempat mengendapkan lumpur
lumpur, atau material padatan yang bercampur dari limpasan yang disebabkan
adanya aktifitas penambangan maupun karena erosi. Disamping tempat
24

pengendapan, kolam pengendap juga akan dialirkan keluar kolam pengendapan,


baik itu kandungan materialnya, tingkat keasaman maupun kandungan material lain
yang dapat membahayakan lingkungan. Dengan adanya kolam pengendap lumpur
diharapkan semua air yang ada keluar dari daerah penambangan benar - benar air
yang sudah memenuhi ambang batas yang diizinkan sesuai dengan baku mutu
lingkungan. Pemerintah telah menetapkan baku mutu air dan baku mutu limbah cair
sebagai rambu - rambu dalam pengendalian kualitas air.
Ada beberapa jenis bahan kimia utama yang banyak digunakan untuk
mengolah air asam tambang (AAT). Tiap-tiap bahan memiliki karakteristik kimia
yang membuatnya lebih atau kurang sesuai untuk kondisi tertentu. Pilihan terbaik
di antara berbagai alternatif bergantung pada faktor-faktor teknis dan ekonomi.
Faktor-faktor teknis meliputi tingkat keasaman, laju aliran, jenis dan konsentrasi
logam yang ada di dalam air, laju dan tingkat pengolahan kimia yang diperlukan,
dan yang terakhir adalah kualitas air yang dikehendaki.
Faktor-faktor ekonomi meliputi harga bahan kimia, tenaga kerja, mesin dan
peralatan, jangka waktu pengolahan yang diperlukan, pemindahan dan pembuangan
lumpur, tingkat suku bunga, dan faktor risiko. Alkalinitas yang cukup harus
ditambahkan untuk menetralkan asam dan untuk meningkatkan pH air sampai
tingkat tertentu dimana logam yang terlarut dalam air akan membentuk logam
hidroksida yang tidak larut dan mengendap. pH yang dibutuhkan untuk
mengendapkan sebagian besar logam dari air berkisar antara pH 6-9. Namun, feri
hidroksida mengendap pada sekitar pH 3,5 dan aluminium hidroksida mengendap
pada pH 4,5. Oleh karena itu, jenis dan jumlah logam di dalam air sangat
mempengaruhi pemilihan sistem pengolahan AAT. Besi fero (Fe2+) mengendap
sebagai padatan fero hidroksida yang berwarma hijau kebiruan pada pH > 8.5.
Dengan adanya oksigen, besi fero akan teroksidasi menjadi besi feri (Fe3+), dan feri
hidroksida membentuk padatan berwarna oranye kekuningan (biasanya disebut
yellow boy), yang mengendap pada pH > 3,5.
2.7.1 Menghitung Debit Air
Debit air merupakan ukuran banyaknya volume air yang dapat lewat dalam
suatu tempat atau yang dapat di tampung dalam suatu tempat tiap satu satuan waktu.
25

Aliran air dikatakan memiliki sifat ideal apabila air tersebut tidak dapat
dimanfaatkan dan berpindah tanpa mengalami gesekan, hal ini berarti pada gerakan
air tersebut memiliki kecepatan yang tetap pada masing-masing titik dalam pipa
dan gerakannya beraturan akibat pengaruh gravitasi bumi.
Dalam hidrologi dikemukakan, debit air sungai adalah, tinggi permukaan air
sungai yang terukur oleh alat ukur pemukaan air sungai. Pengukurannya dilakukan
tiap hari, atau dengan pengertian yang lain debit atau aliran sungai adalah laju aliran
air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai
per satuan waktu. Dalam sistem satuan SI besarnya debit dinyatakan dalam satuan
meter kubik per detik (m³/detikt). Kemampuan pengukuran debit aliran sangat
diperlukan untuk mengetahui potensi sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Debit
aliran dapat dijadikan sebuah alat untuk memonitor dan mengevaluasi neraca air
suatu kawasan melalui pendekatan potensi sumberdaya air permukaan yang ada.
Untuk menghitung aliran debit air menggunakan persamaan di bawah ini :
v
Q= ....................................................................................................(2.1)
t
Keterangan : Q = Debit Air (m³/detik)
V = Volume alat tampung (m³)
t = Waktu (m³/s)

Untuk dapat menentukan debit air maka kita harus mengetahui satuan ukuran
volume dan satuan ukuran waktu terlebih dahulu, karena debit air berkaitan erat
dengan satuan volume dan satuan waktu. Perhatikan konversi satuan waktu berikut:

1 jam = 60 menit
1 menit = 60 detik
1 jam = 3.600 detik
1 menit = 1/60 jam
1 detik = 1/60 detik
1 jam = 1/3.600 detik
26

Konversi satuan volume :


1 liter = 1 dm³ = 1.000 cm³ = 1.000.000 mm³ = 0.001 m³
1 cc = 1 ml = 1 cm

Fungsi dari pengukuran debit aliran adalah untuk mengetahui seberapa


banyak air yang mengalir pada suatu sungai dan seberapa cepat air tersebut
mengalir dalam waktu satu detik. Aliran air, dibedakan menjadi dua yaitu: aliran
laminar dan aliran turbulen. Aliran laminar adalah aliran fluida yang bergerak
dengan kondisi lapisan-lapisan (lanima-lamina) membentuk garis-garis alir yang
tidak berpotongan satu sama lain. Sedangkan aliran turbulen adalah aliran fluida
yang partikel-partikelnya bergerak secara acak dan tidak stabil dengan kecepatan
berfluktuasi yang saling interaksi. Cara mengetahui aliarn tersebut laminar atau
turbulen yaitu dengan melihat bagaiman air tersebut mengalir apakah dia
membentuk benang atau membentuk gelombang. Debit aliran dapa dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti: besar kecilnya aliran dalam sungai, angin, hujan dan
lain sebagainya.
2.7.2 Kapur Tohor
Kalsium Oksida (CaO), secara umum dikenal sebagai kapur mentah atau
kapur bakar, adalah senyawa kimia yang digunakan secara luas. Kalsium oksida
merupakan kristal basa, kaustik, zat padat putih pada suhu kamar (William,2011).
Istilah yang luas digunakan “kapur” berkonotasi bahan anorganik yang
mengandung kalsium, yang meliputi karbonat, oksida dan hidroksida kalsium,
silikon, magnesium, aluminium, dan besi mendominasi, seperti batu gamping.
Sebaliknya,“kapur mentah” khusus berlaku untuk senyawa kimia tunggal.
Kapur mentah harganya relatif murah. Karana Keduanya dan turunan kimia
(kalsium hidroksida, yang mana kapur mentah anhidrida basa) adalah zat kimia
komoditas penting.
Nama IUPAC kapur tohor adalah kalsium oksida, nama lainnya yaitu kapur
mentah, kapur bakar, kapur tohor. Adapun sifat-sifatnya adalah (William, 2011):
 Rumus molekul: CaO
 Berat molekul: 56,0774 gr/mol
 Penampilan: Serbuk putih sampai kuning pucat/coklat
27

 Bau: Tidak berbau


 Densitas: 3,34 gr/cm3
 Titik lebur: 2613 °C, 2886 K, 4735 °F
 Titik didih: 2850 °C, 3123 K (100 hPa)
 Kelarutan dalam air : 1,19 g/L (25 °C); 0,57 g/L (100 °C); reaksi eksoterm
 Kelarutan dalam asam: Larut (juga dalam gliserol, larutan gula)
 Kelarutan dalam methanol: Tidak larut (juga dalam dietil eter, n-oktanol)
 Keasaman (pKa): 12,8
 Entropi molar standar So298: 40 J·mol−1·K−1
 Entalpi pembentukan standar ΔfHo298: −635 kJ·mol−1
 Titik nyala: Tidak terbakar
Perhitungan perbandingan jumlah penggunaan kapur tohor dilakukan untuk
mengetahui berapa perbandingan jumlah kapur tohor yang digunakan untuk
menetralkan air asam tambang di KPL dengan hasil pengujian ulang di
laboratorium. Sehingga diperoleh persentase nilai penurunan dosis penggunaan
kapur tohor sebesar :

Nilai penurunan
Persentase penurunan ₌ × 100 % ....................................(2.2)
Nilai sebelum penurunan

2.7.3 Total Suspended Solid (TSS)


Total Suspended Solid (TSS) adalah jumlah berat dalam mg/l kering lumpur
yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran
berukuran 0.45 mikron. Suspended solid (material tersuspensi) dapat dibagi
menjadi zat padat dan koloid. Selain suspended solid ada juga istilah disolved solid
(padatan terlarut). TSS adalah residu dari padatan total yang tertahan oleh saringan
dengan ukuran partikel maksimum 2 micrometer atau lebih besar dari ukuran
partikel koloid. Adapun yang termasuk TSS adalah lumpur, tanah liat, logam
oksida, sulfida, ganggang, bakteri dan jamur. Pada umumnya TSS dihilangkan
dengan cara pengadukan (flokulasi) dan penyaringan. Total suspended solid (TSS)
memberikan konstribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan membatasi penetrasi
cahaya untuk fotosintesis dan visibilitas di perairan. Sehingga nilai kekeruhan tidak
28

dapat dikonversi ke nilai TSS. Kekeruhan adalah kecenderungan ukuran sampel


untuk menyebarkan cahaya.
(Blom, 1994) menjelaskan kandungan Total Suspended Solid memiliki
hubungan yang erat dengan kecerahan perairan. Keberadaan padatan tersuspensi
tersebut akan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke perairan sehingga
hubungan antara Total Suspended Solid (TSS) dan kecerahan akan menunjukan
hubungan yang berbanding terbalik. Penetralan air asam tambang dapat
menggunakan bahan kimia diantaranya seperti limestone carbonat (Calcium
Carbonat), Hydrate Lime (Calcium Hydroxide), Caustic Soda (Sodium
Hydroxide), Soda Ash Briquettes(Sodium Carbonate), Penggunaan Kapur tohor
(CaCOᴣ).
Zat padat tersuspensi adalah tempat berlangsungnya reaksi - reaksi kimia
yang bersifat heterogen dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik
disuatu perairan, serta berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling
awal. Menurut bentuknya, TSS dapat dibedakan menjadi partikel tersuspensi biasa
dan partikel koloid. Partikel koloid merupakan partikel yang dapat menimbulkan
kekeruhan pada suatu larutan yang disebabkan oleh penyimpangan sinar yang
menembus suspensi tersebut. Larutan yang terdiri dari molekul - molekul dan ion -
ion tanpa mengandung partikel koloid, maka larutan tersebut tidak akan keruh.
Larutan dikatan keruh jika terjadi pengendapan dari suatu senyawa kimia.
Partikel tersuspensi biasa memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan
partikel koloid, sehingga suspensi tidak dapat dikatakan keruh karena sinar
dihalangi oleh partikel tersuspensi biasa, sehingga tidak dapat menembus suspensi
tersebut. Karena pada dasarnya air diantara partikel - partikel tersuspensi tidak
keruh dan sinar tidak menyimpang.
Persamaan menghitung kadar TSS dalam contoh air dengan rumus yaitu:
( B - A)×1000
TSS (mg/L) = ................................................................. .(2.3)
Vol (ml)
Pengambilan sampel dilakukan 1 kali untuk tiap titik sampel. (Alaerts &
Santika, 1984). Pengujian meliputi pengujian pH dan TSS. Berikut adalah
29

pengujian derajat keasaman (pH) sesuai dengan SNI 06-6989.11-2004 (Air dan Air
Limbah) :
a. Uji Kekeruhan Sampel
Sampel dibawa ke laboratorium dalam 1 x 24 jam untuk diuji kekeruhannya
menggunakan Turbidity meter MicroTPW 20000. Sampel diambil sebanyak 10
mL dengan cuvet untuk diukur tingkat kekeruhannya, dengan aquades sebagai
larutan pembanding (kalibrasi).
b. Uji Total Padatan Tersuspensi Sampel
Sampel dibawa ke laboratorium dalam 1 x 24 jam untuk diuji total padatan
tersuspensi. Sampel diambil sebanyak 50-100 ml untuk diuji menggunakan
metode berdasar SNI 06 - 6989.27-2005 Cara uji kadar padatan terlarut total
secara gravimetri.
c. Besar tingkat kekeruhan dan total padatan tersuspensi
Berdasarkan hasil uji dari beberapa sampel, diambil nilai terbaik yang mewakili
kelusuhan sampel. Nilai tertinggi digunakan untuk membuat kekeruhan dan total
padatan tersuspensi artificial menggunakan kaolin clay dan aquadest.
d. Pengkondisian kekeruhan dan total padatan tersuspensi artificial Kekeruhan dan
total padatan tersuspensi artificial dibuat dengan cara melarutkan kaolin clay
dengan jumlah bervariasi pada aquadest sebanyak 1 Liter, kemudian dilakukan
pengukuran nilai kekeruhan dan totalpadatan tersuspensi seperti langkah diatas
hingga didapatkan nilai yang mendekati hasil uji sampel (trial and error).
Larutan terbentuk akan digunakan untuk diuji penurunan kekeruhan dan total
padatan tersuspensi menggunakan roughing filter GRF desain terpilih.
e. Mengetahui kemampuan roughing filteram menurunkan tingkat kekeruhan dan
l padatan tersuspensi pada air hujan diampung air hujan langkah yang dilakukan
adalah :
 Memilih diameter media filter yang akan digunakan berdasarkan kriteria
desain roughing filter.
 Memilih jenis material filter yang akan digunakan berdasarkan kriteria desain
roughing filter berupa kerikil (gravel), batu kapur (limestone), pecahan batu
30

bata (broken bricks), batu belah (broken stones), potongan plastik (plastic
chips) atau ijuk (coconut fibre).
 Desain roughing filter dalam skala laboratorium
- GRF (Gravity Roughing Filter) atau Down flow Roughing Filter
Tinggi : 100 cm
Lebar : 15 cm
Panjang : 15 cm
- HRF (Horizontal Roughing Filter)
Tinggi : 20 cm
Lebar : 15 cm
Panjang : 95 cm
2.7.4 Kolam Pengendapan Lumpur (KPL)
Kolam pengendapan lumpur adalah sebagai tempat menampung air tambang
sekaligus untuk mengendapkan partikel-partikel padatan yang ikut bersama air dari
lokasi penambangan. Kolam pengendapan dibuat pada daerah terendah dari suatu
daerah penambangan, sehingga air akan masuk ke kolam pengendapan secara alami
dan selanjutnya dialirkan ke sungai melalui saluran pembuangan.
Kolam pengendapan akan berfungsi dengan baik apabila rancangan kolam
pengendapan yang dibuat sesuai dengan debit air limpasan yang akan ditampung
untuk pengendapan lumpur. Rancangan kolam pengendapan dari segi geometri
harus mampu menampung debit air dari lokasi penambangan, sedangkan dari segi
operasional dapat menjamin partikel-pertikel padatan mempunyai waktu yang
cukup untuk mengendap serta mudah dibersihkan dari segi lumpur yang
mengendap. Keberadaan kolam pengendapan lumpur diharapkan pada saat air yang
keluar dari daerah penambangan sudah bersih dari partikel-partikel padatan,
sehingga tidak menimbulkan kekeruhan pada sungai atau laut sebagai pembuangan
akhir. Selain itu juga tidak menimbulkan pendangkalan sungai akibat dari partikel
padatan yang terbawa bersama air.
Untuk menghitung volume kolam pengendapan lumpur (KPL) dapat
menggunakan rumus dibawah ini:
Volume = P x L x T ................................................................................ (2.4)
31

Ketetangan : P = Panjang Kolam (m)


L = Lebar Kolam (m)
T = Tinggi Kolam (m)
Waktu yang dibutuhkan oleh partikal untuk mengendap dengan kecepatan
menggunakan persamaan yaitu:
H
Tv = ............................................................................................(2.5)
𝑉𝑡
Keterangan : Tv = Waktu pengendapan partikal (menit)
Vt = Kecepatan pengendapan partikel (m/s)
H = Kedalaman saluran (m)
Bentuk kolam pengendapan biasanya digambarkan secara sederhana yaitu
berupa kolam berbentuk empat persegi panjang. Sebenarnya bentuk tersebut dapat
bermacam-macam, namun pada setiap kolam pengendap akan selalu ada 4 zona
penting yang terbentuk karena proses pengendapan material padatan. Zona pertama
yaitu inlet, zona ke dua treatment, ketiga yaitu zona pengendapan dan yang ke
empat zona outlet.
1. Zona masukan
Zona masukan adalah tempat masuknya aliran air berlumpur kedalam kolam
pengendapan dengan anggapan campuran antara padatan dan cairan terdistribusi
secara merata.
2. Zona pengendapan (treatment)
Zona pengendapan (treatment) adalah tempat dimana partikel akan mengendap.
Material padatan disini akan mengalami proses pengendapan disepanjang
saluran masing-masing.
3. Zona pengendapan lumpur
Zona pengendapan lumpur adalah tempat dimana partikel padatan dalam cairan
(relatif) mangalami sedimentasi dan terkumpul pada bagian bawah saluran
pengendap.
4. Zona keluaran
Zona keluaran adalah tempat keluarnya buangan cairan yang relatif bersih, zona
ini terletak pada akhir saluran.

Anda mungkin juga menyukai