Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. B
Umur : 60 tahun
Tanggal lahir : 10 February 1959
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Cibatur RT/RW 013/003 Ds. Ciakar
Status pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal masuk : 31 Juli 2019

1.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 31 Juli 2019 pukul 9.45

KELUHAN UTAMA
Sesak 2 minggu dan nyeri dada sampai ke bahu dan punggung
KELUHAN TAMBAHAN
Mual, nyeri ulu hati terkadang
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Adjidarmo dengan keluhan sesak 2 minggu, sesak
berkurang bila istirahat, memberat saat aktifitas, hari ini diperberat dengan nyeri dada
menjalar hingga ke bahu dan punggung, mual (+), muntah (-), terkadang ada nyeri pada
bagian ulu hati, BAK dan BAB normal, masih dapat makan dan minum
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Asma (+), hipertensi, diabetes, dan alergi disangkal. Riwayat trauma sebelumnya
disangkal
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga tidak mempunnyai gejala serupa

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal 31 Juli 2019 pukul 9.45

1
PEMERIKSAAN UMUM
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah : 150/102
Frekuensi Nadi : 97x/menit, regular, isi cukup, kuat angkat
Frekuensi nafas : 24x/menit
Suhu : 36,8C
SpO2 : 95%
PEMERIKSAAN SISTEMIK
Kepala : Raut muka simetris, normocephal, rambut hitam
Mata : Refleks cahaya langsung dan tidak langusng +/+, Sklera ikterik -/-,
konjungtiva anemis -/-, edem palpebral -/-
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-) tepi hiperemis, tonsil T1-T1 dengan
permukaan licin, kripta tonsil tidak melebar, tidak ada dendritus, faring merah
muda.
Telinga : Daun telinga bentuk sempurna, tidak ada nyeri tekan tragus dan mastoid.
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), JVP meningkat
Paru : Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-), massa (-), eritem (-)
Palpasi : stemfremitus kanan dan kiri sama kuat, pergerakan dada tidak
ada yang tertinggal, massa (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba selebar 3 ujung jari di sela iga 5
midclavicular line sinistra
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Bentuk abdomen datar
Auskultasi : Bising usus (+) 17x/menit
Perkusi : timpani di ke 4 kuadran
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (+) pada epigrastrium
Genitalia : Tidak dilakukan

2
Ekstremitas : Akral dingin (-), edema (-), capillary refill time < 2 detik
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit normal
KGB : pembesaran (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Reflek fisiologis : patella (+)
Reflek patologis : Babinski (-)

RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Adjidarmo dengan keluhan sesak 2 minggu, sesak
berkurang bila istirahat, memberat saat aktifitas, hari ini diperberat dengan nyeri dada
menjalar hingga ke bahu dan punggung, mual (+), muntah (-), terkadang ada nyeri pada
bagian ulu hati, BAK dan BAB normal, masih dapat makan dan minum, asma (+),
hipertensi, diabetes, dan alergi disangkal. Riwayat trauma sebelumnya disangkal.
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : Tekanan Darah : 150/102
Frekuensi Nadi : 97x/menit, regular, isi cukup, kuat angkat
Frekuensi nafas : 24x/menit
Suhu : 36,8C
SpO2 : 95%
Kepala : Raut muka simetris, normocephal, rambut hitam
Mata : Refleks cahaya langsung dan tidak langusng +/+, Sklera ikterik -/-,
konjungtiva anemis -/-, edem palpebral -/-
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-) tepi hiperemis, tonsil T1-T1 dengan
permukaan licin, kripta tonsil tidak melebar, tidak ada dendritus, faring merah
muda.
Telinga : Daun telinga bentuk sempurna, tidak ada nyeri tekan tragus dan mastoid.
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), JVP meningkat
Paru : Inspeksi : bentuk dada simetris, retraksi (-), massa (-), eritem (-)
Palpasi : stemfremitus kanan dan kiri sama kuat, pergerakan dada tidak
ada yang tertinggal, massa (-)
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

3
Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba selebar 3 ujung jari di sela iga 5
midclavicular line sinistra
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung I & II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : Bentuk abdomen datar
Auskultasi : Bising usus (+) 17x/menit
Perkusi : timpani di ke 4 kuadran
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (+) pada epigrastrium
Genitalia : Tidak dilakukan
Ekstremitas : Akral dingin (-), edema (-), capillary refill time < 2 detik
Kulit : sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit normal
KGB : pembesaran (-)

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Reflek fisiologis : patella (+)
Reflek patologis : Babinski (-)

DIAGNOSIS KERJA
Chest pain ec NSTEMI inferior
Obs. Dyspneu ec CHF
Dyspepsia sindrom
HT grade I

PENATALAKSAAN
Infus NaCl / 24 jam
O2 3 lpm NK
OMZ 1x40mg (iv)
Aspilet 2tab lanjutkan 1x1
CPG 4tab lanjutkan 1x1
ISDN 3x5mg
Simvastatin 1x20mg

4
Konsul dr. Ibnu Adam Sp.JP :
Diagnosis :
NSTEMI inferior
CHF
Tatalaksana :
Aspilet 2 (lanjut 1x1)
CPG 4 (lanjut 1x1)
Arixtra 1x2,5mg
ISDN 3x5mg
Lasix 2x1
Simvastatin 1x20mg
Laxadin 2x1cth
Alprazolam 1x0,5mg
Rawat HCU
Konsul dr. Musa Sp.An
Acc rawat HCU

PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG

5
HASIL LAB

6
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Koroner Akut


Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan kumpulan gejala klinik
yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah
ke jantung, sindrom ini meliputi unstable angina pectoris sampai perkembangan menjadi
miokard infark akut. Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis
dengan diikuti agregasi trombosit dan pembentukan thrombus intrakoroner.1
ACS merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit jantung koroner (PJK), salah
satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok iskemik serta peripheral arterial disease
(PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks
dan multifaktor serta saling terkait.2
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009). Hal
ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus
oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran
darah kolateral.3
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria, yaitu
adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG) dan peningkatan pertanda
biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau
latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen
ST dan inversi gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler
akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler
lokal dan aliran limfatik.4

B. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)


1. Definisi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian dari spektrum sindrom
koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA
dengan elevasi ST.5
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner, maka terjadi
infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner

8
tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh
darah kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat.6
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat
yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi dan akumulasi lipid.7
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada akhirnya akan
menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard yang terjadi bergantung pada letak
dan lamanya sumbatan aliran darah, ada atau tidaknya kolateral dan luas wilayah miokard yang
diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat.8
2. Diagnosis

a. Anamnesis


Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan


anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari
koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard sebelumnya
serta factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok stres
serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.5
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas
fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi
sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.5

b. Nyeri dada


Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien 
 SKA. Nyeri dada atau rasa

tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang
dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA.5
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :

1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial 


9
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda 
 berat, seperti ditusuk,

rasa diperas, dan dipelintir. 


3)Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/ 
 interskapula, dan dapat juga

ke lengan kanan.

4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat 


5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah 
 makan 


6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, 
 dan lemas.6


c. Elektrokardiografi (EKG) 


Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti kuat
menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk
dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus
diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.9
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang
Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil
menetap menjadi infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.9

d. Laboratorium

Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase
(CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot
skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan
elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pemeriksaan biomarker. Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).

10
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan 
 mencapai puncak dalam

10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi

elektrik dapat meningkatkan CKMB 


2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14

hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari 


3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH),
reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam
beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai
12.000-15.000/uL.6
3. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada,
penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi
IMA.10
Penanganan kegawat daruratan.

a. Tatalaksana awal: 


Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/ menit (saturasi dipertahankan >
90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri, Aspirin 160mg

(dikunyah), Morfin iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.9


b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda reperfusi).

1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis. 


2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel. 


3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH). 


4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin. 
 Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi:

Bolus iv 60 u/ kg BB maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48


jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 – 70s. Monitoring aPTT 3, 6, 12,
24 jam setelah terapi dimulai. LMWH dapat digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-

11
pasien berusia < 75 tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki- laki atau
< 2 mg/ dl pada wanita).9
4. Komplikasi

1. Disfungsi ventrikuler


Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam


bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikuler dan umumnya mendahului
berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Segera setelah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari
ekspansi infark al; slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan
penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara
keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca
infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata,
lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk. Progresivitas dilatasi dan
konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada
pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE
harus diberikan.5

2. Gangguan hemodinamik


Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama


kematian dirumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang
baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung
S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi paru.5

C. Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)


1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI)
diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gejala klinis
sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI
ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis
miokard berupa peningkatan biomarker jantung.11
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai karena

12
lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien dengan
IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai
2 minggu.11
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association
(AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah
apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada
miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis
angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan troponin
maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk iskemi, seperti adanya depresi
segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya gelombang T yang negative.8
2. Etiologi
Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat
disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta
Insufisiensi.12
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris tidak stabil :

a. Ruptur Plak
 Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina

pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik
terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic
cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi
sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang
normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi,
adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus
menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan
bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan

terjadi angin tak stabil. 


b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
 Agregasi platelet dan pembentukan thrombus

merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak
terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang
kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak
berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan

13
dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap
gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet melepaskan isi granulasi
sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus.
Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil.

c. Vasospasme
 Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak

stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina
tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.

d. Erosi pada plak tanpa ruptur
 Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena

terjadinya poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel;
adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan

penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia. 


e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi sistemik.12

Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan Complication) pada


plak aterosklerosis. 12

14
3. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidakadekuatan suplay oksigen ke
sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri
koroner (arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab arteriosklerosis,
namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang bertanggung jawab atas perkembangan
arteriosklerosis. Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga
meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri
koroner akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Akan
tetapi apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat aterosklerosis dan
tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian
akan terjadi iskemia (kekurangan suplai darah) miokardium. Adanya endotel yang cedera
mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk menghambat
berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyebabkan otot polos
berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai
oksigen ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang
begitu nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75% serta dipicu dengan
aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Oleh karena itu, sel-sel
miokardium mulai menggunakan glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan eneginya.
Proses pembentukan energi ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat.
Asam laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan dengan
angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel- sel jantung berkurang, suplai oksigen menjadi
adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses
ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri
angina pektoris mereda. Dengan demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang
berlangsung singkat.13
4. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.14
a. Berdasarkan angina :
1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri dada
2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi tidak ada

serangan angina dalam 48 jam terakhir 


3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara akut baik sekali atau
lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.14

15
b. Keadaan klinis:

1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi 
 lain atau febris 


2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak 


3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.14


c. Intensitas pengobatan:

1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal 


2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar 


3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan 
 yang maksimum,

dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis 
 kalsium.14

5. Diagnosis

a. Anamnesis
 Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan

angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan
lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal.
Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai
keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.15

b. Pemeriksaan Fisik
 Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi

dapat terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi
denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.16
c. Pemeriksaan Penunjang

1) EKG

EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal, stress test harus
dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari stress test adalah:

a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak

b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada 
 pembuluh darah utama akan

c) memberi hasil positif kuat. 16 


16
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi segmen ST disertai
inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan
segmen ST dan gelombang T. perubahan EKG pada ATS berdifat sementara dan masing-
masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan tersebut imbul di saat
serangan angina dan kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang
dalam waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi
gelombang Q, maka disebut sebagai IMA. 16

2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
 Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau

meningkat tetapi tidak melebihi 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling
sensitive untuk nekrosis otot miokard, tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini
menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar enzim secara serial untung menyingkirkan
adanya IMA.16

7. Penatalaksanaan 


a. Tindakan Umum


Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif 
 koroner, pasien perlu

diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu
pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.17
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer, dengan efek
mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan
oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatsai
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin
atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian
intravena : 1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.

Preparat :
 Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual 
 Nitrodisc 5- 10 mg

tempelkan di kulit 
 Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg

tablet sublingual Isodil 5-10 mg tablet sublingual 
 Cedocard 5-10 mg tablet sublingual 


17
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek penurunan
denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti

propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta 
 antra lain

dengan asma bronkial, bradiaritmia. 


c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan 
 menurunkan tekanan

darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :

- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat 
 dan penghambatan nodus

sinus maupun nodus AV lebih sedikit 
 dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh:

nifedipin) 


- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan mengurangi


infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin
pada sindrom koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).17
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak stabil maupun
infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat
seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.

a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat 
 mengurangi kematian

jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien
dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup

dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari. 


b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat kedua
dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian

tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia. 


c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat agregasi
platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi
strok, infark dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan

selanjutnya75 mg/hari. 


18
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
 Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet

ialah ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki
reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak
terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :

- absiksimab suatu antibodi mooklonal 


- eptifibatid suatu siklik heptapeptid 


- tirofiban suatu nonpeptid mimetik 


Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk obata tambahan
dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak stabil.17
3) Obat anti-trombin

a) Unfractionated Heparin 
 Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi

rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-
beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan
faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi
bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk

mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT). 


b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
 LMWH dibuat dengan melakukan

depolimerisasi rantai plisakarida heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin,


LMWH mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH
yang ada di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara subkutan dan
tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.

c) Direct Thrombin Inhibitors
 Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai

kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh
plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark
miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk
menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun
bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin

(HIT).17


19
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi berat dan refakter
dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan
pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass
(CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang
masih baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila
ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.13
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) dan
bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi
aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri
femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon
yang ada di kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri.
Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena
dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah dipulihkan melalui
pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering ditransplantasikan adalah vena safena atau
arteri mamaria interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap
terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner
menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-
panjang.13

c. Terapi Non Medika Mentosa


1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume


sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini
menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk adalah
postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran balik
darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan
curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB, penyesuaian
diet, olahraga teratur dan lain-lain.17
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi, penyakit DM,
hiperlipidemia, obesitas, anemia.18
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan

20
serangan angina klasik pada seseorang.13
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk meningkatkan
kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.17
9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat kekurangan
oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap iskemia miokardium
yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami
kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara

aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.18


b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat
berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak,
berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.17
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan

disfungsi diastolik atau sistolik. 


Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung
dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal
jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.17
10. Prognosis
Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat serta memberikan
pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat menghasilkan prognosis yang baik. Namun bila
tidak dapat menimbulkan kematian.

BAB III
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki usia 60 tahun datang ke RSUD dr. Adjidarmo dengan diagnosis
kerja NSTEMI inferior, CHF, dyspepsia sindrom, dan HT grade I. diagnosis klinis
diteggakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis diketahui pasien datang dengan keluhan sesak 2 minggu, sesak berkurang bila

21
istirahat, memberat saat aktifitas, hari ini diperberat dengan nyeri dada menjalar hingga ke
bahu dan punggung, mual (+), muntah (-), terkadang ada nyeri pada bagian ulu hati, BAK
dan BAB normal, masih dapat makan dan minum

Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital didapatkan TD 150/102, nafas 24x/menit, SpO2
95%, pada pemeriksaan sistemik ditemukan JVP meningkat dan nyeri tekan epigastrium

Pada pemeriksaan penunjang EKG didapatkan ST depresi lead II, III, AVF. Pada
pemeriksaan darah didapatkan CKMB meningkat menjadi 64 dan troponin <40.

Penatalaksaan pasien ini terdiri dari penatalaksaan di IGD. Pemasangan infus NaCl
500cc/24 jam agar tidak overload cairan, pemberian O2 3 lpm untuk sesak nafas, pemberian
injeksi OMZ untuk dyspepsia sindrom, dan obat-obat yang diberikan pada pasien dengan
ACS yaitu aspilet 2, CPG 4, dan ISDN 5mg, lalu di tambah dengan simvastatin 20mg, lalu
di konsulkan pada specialist terkait yaitu Sp.JP

Pembatasan cairan dilakukan agar tidak overload dikarenakan pasien memiliki CHF yang
ditegakkan dengan adanya peningkatan dari JVP, pemberian O2 NK 3lpm diberikan karena
dengan 1lpm dapat kurang lebih menaikan kadar SpO2 sebanyak 2%, pemberian OMZ
kalau bisa sebenarnya kurang disarankan karena dapat menghambat kinerja dari obat CPG
yang membutuh kan ezim di hepar CYP2, obat statin yang diberikan bertujuan untuk
mencegak thrombus baru dan mencegah thrombus yang lepas secara mendadak (fenofibrat)
yang dapat mengakibatkan sumbatan ditempat lain dan pleotropik, pemberian ISDN harus
hati-hati pada serangan bagian inferior karena memperberat kerja jantung dan kebutuhan
O2, namun bila tidak ada kontraindikasi pemberian ISDN tetap boleh diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical


Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams &

Wilkins, 2007; 225-243. 


22
2. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the
management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial
infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines 50:e1. Diunduh dari:
www.acc.org/qualityandscience/ clinical/statements.htm (accessed September 18,
2007).
3. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S.,
Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB. Evaluation of chest

pain in the emergency department. Ann Intern Med 1995; 123:315;. 


4. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin
Pathol. Diambil dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC501424/?page=1. Di akses
Desember 20,2012
5. Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S., Bambang
S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
6. Antman, E.M., Braunwald, E., ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In:
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.
L., (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA. 2005. pp.1532-

44 


7. Brown, T.C., Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M.,
(ed.) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta.

2006. Hal : 580-587 


8. Barriento, Aida Sua ́rez; Romero, Pedro Lo ́pez; Vivas, David and et al. Circadian
Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011. Accessed 9 Nov
2011. Avalaibale form: http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-
51_archivos/Heart-2011- CircadianVariations.pdf
9. Chou, T., Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W.

B. Saunders Company. 1996. 


10. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST. In:
Irmalita, Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S.,, (ed). Standard

23
Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita

Edisi 3.2009; 12-16 


11. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA Guidelines for
The Management of Patients with ST Elevation Myocardial Infarction. Cardiac

Cath Conference 


12. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST dalam
Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta. 


13. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC;2009.hal.492-504. 


14. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S., Bambang
S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

III. Edisi IV. FK UI. Jakarta. 


15. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised Circulation,


2000. Accssed 9 Nov 2011. Avalaible from:

www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm 


16. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting
without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 9 Nov 2011. Avalaible
form: http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc- guidelines/Pages/ACS-non-

ST-segment-elevation.aspx 


17. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna

Publishing;2009.hal.1728-34. 


18. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC;2000.

24

Anda mungkin juga menyukai