Di Susun Oleh
Witdya Ayu Setianingsih
141620046
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………… i
KATA PENGANTAR…………………………………………….. ii
1.4 Manfaat………………………………………………………. 2
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… 11
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
pembaca dalam menggali informasi terhadap penyakit kolera dan antibiotik
tetrasiklin serta memudahkan pembaca dalam memahami mekanisme yang terjadi,
mulai dari mekanisme pembentukkan penyakit kolera oleh bakteri Vibrio cholera
hingga mekanisme kerja obat antibiotik tetrasiklin dalam menghambat bakteri
Vibrio cholera (Mycek,2001).
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Kolera dan gejala penyakit
Kolera.
2. Untuk mengetahui ekanisme Kolera (Diare) oleh Kolera Toksin.
3. Untuk mengetahui pengertian Tetrasiklin.
4. Untuk mengetahui Mekanisme Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Tetrasiklin.
5. Untuk mengetahui Dosis Tertasiklin.
6. Untuk mengetahui Efek Samping Obat Tertasiklin.
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan dalam memilih obat yang tepat untuk
menyembuhkan penyakit kolera.
2. Sebagai referensi bagi pembaca mengenai mekanisme obat Tetrasiklin.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kolera
2.1.1 Penyakit Kolera
Kolera adalah penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Vibrio cholerae
dengan manifes diare disertai muntah yang akut dan hebat akibat enterotoksin
yang dihasilkan bakteri tersebut. Bentuk manifest klinisnya yang khas adalah
dehidrasi, berlanjut dengan rejatan hipovolemik dan asidosis metabolic yang
terjadi dalam waktu singkat akibat diare sekretorik dan dapat mengakibatkan
kematian apabila tidak ditanggulangi. Bakteri Vibrio cholerae banyak ditemukan
di permukaan air yang terkontaminasi dengan feses yang mengandung kuman
tersebut. Oleh karena itu, penularan penyakit kolera ini dapat melalui air,
makanan dan sanitasi yang buru. Setelah Vibrio cholerae tertelan dan masuk
kedalam tenggorokkan, bakteri berjalan dan masuk ke usus kecil di mana mereka
mulai berkembang biak. Bakteri Vibrio cholera berikan dengan permukaan sel
diusus halus. Kemudian menyebabkan mual, muntah dan kehilangan cairan dan
mengalami diare. Dan kolera dapat menyebar dengan cepat di tempat - tempat
yang tidak mempunyai penanganan pembuangan kotoran/sewage dan sumber air
yang tidak memadai (Gomez, 1992).
3
5. Terjadinya muntah setelah didahului dengan diare yang terjadi,
penderita tidaklah merasakan mual sebelumnya.
6. Kejang otot perut bisa juga dirasakan dengan disertai nyeri yang hebat.
7. Banyaknya cairan yang keluar akan menyebabkan terjadinya dehidrasi
dengan tanda-tandanya seperti: detak jantung cepat, mulut kering,
lemah fisik, mata cekung, hypotensi dan lain-lain yang bila tidak
segera mendapatkan penangan pengganti cairan tubuh yang hilang
dapat mengakibatkan kematian.
4
sub unit A2 mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen sub unit
A1 bertugas meningkatkan aktivitas Adenil siklase akibatnya produksi cyclic
AMP meningkat yang menyebabkan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit.
Sehingga menimbulkan diare masif dengan kehilangan cairan mencapai 20 liter
perhari yang dikenal dengan Watery Diarrhea. Pada kasus berat dengan gejala
dehidrasi, syok, dan gangguan elektrolit dapat menyebabkan kematian(Amelia,
2005).
Cholera Toxin (CT) yang dihasilkan oleh Vibrio cholerae merupakan molekul
protein yang terdiri dari sub unit beta (terdiri dari 5 molekul yang berikatan secara
nonkovalen) dan sub unit alpha (memiliki 2 peptida, alpha 1 and 2) dengan BM
~84,000. Sub unit 5B, berfungsi sebagai alat pengikatan (penempelan) CT ke
membran reseptor spesifik (disebut GM1-ganglioside) yang ada pada membrane
luminal dari enterosit. Sub unit A1 kemudian masuk kedalam sel dan
mengaktivasi adenilat siklase yang ada pada membrane basolateral, menginisiasi
pembentukan AMP siklik dari ATP. Peningkatan jumlah AMP siklik ini
mengubah proses metabolisme yang berperan dalam mengatur transport garam
dan air didalam usus. Kondisi ini akhirnya menyebabkan penghambatan absorpsi
NaCl netral dan menstimulasi sekresi anion sehingga terjadi akumulasi fluida
didalam luminal yang memicu terjadinya diare(Amelia, 2005).
2.3. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk
garam natrium atau garam HClnya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk
basa dan garam HCl tetrasiklin bersifat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan
tetrasiklin sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya. Tetrasiklin adalah zat
5
anti mikroba yang diperolah dengan cara deklorrinasi klortetrasiklina, reduksi
oksitetrasiklina, atau dengan fermentasi. Tetrasiklin mempunyai mempunyai
potensi setara dengan tidak kurang dari 975 μg tetrasiklin hidroklorida,
(C22H24N2O8.HCl), per mg di hitung terhadap zat anhidrat. Tetrasiklin adalah
salah satu antibiotik yang dapat menghambat sintesis protein pada perkembangan
organisme(Istriyati, 2006).
Struktur kimia dari tetrasiklin adalah sebagai berikut:
Gambar.2.4.Struktur Tetrasiklin
1. Absorbsi
Kira-kira 30-80% tetrasklin diserap lewat saluran cerna. Doksisiklin dan
minosiklin diserap lebih dari 90%. Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di
lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai faktor dapat menghambat
penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam lambung (kecuali
doksisiklin dan monosiklin), pH tinggi, pembentukan kelat (kompleks tetrasiklin
dengan zat lain yang sukar diserap seperti kation Ca2+, Mg2+, Fe2+, Al3+, yang
terdapat dalam susu dan antasid). Oleh sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan
sebelum atau 2 jam setelah makan(Koto, 2010).
6
2. Distribusi
Dalam plasma serum jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam
jumlah yang bervariasi. Obat golongan ini tidak dimetabolisme secara berarti di
hati. Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga obat
ini boleh diberikan pada gagal ginjal. Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar
golongan tetrasiklin hanya 10-20% kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak
tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dalam jaringan
tubuh cukup baik. Obat golongan ini ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di
hati, limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email gigi yang belum
bererupsi(Koto, 2010).
3. Ekskresi
Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi
glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira 20-55% golongan tetrasiklin
diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hati ke dalam
empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat yang diekskresi
ke dalam lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih
terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi
obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami
kumulasi dalam darah. Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja(Koto,
2010).
7
Gambar.2.6. Mekanisme Tetrasiklin
8
Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti
leukositosis, limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia.
Reaksi fototoksik dapat menimbulkan demam dan eosinofilia. Pigmentasi
kuku dan onikolisis, yaitu lepasnya kuku dari dasarnya, juga dapat terjadi.
3. Efek samping akibat perubahan biologik
Seperti antibiotik lain yang berspektrum luas, pemberian golongan
tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya superinfeksi oleh kuman resisten
dan jamur. Superinfeksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, faring,
bahkan kadang-kadang menyebabkan infeksi sistemik. Faktor predisposisi yang
memudahkan terjadinya superinfeksi ini ialah diabetes melitus, leukimia, lupus
eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid dalam waktu lama.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit kolera (cholera) adalah penyakit infeksi saluran usus bersifat akut
yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, bakteri ini masuk kedalam tubuh
seseorang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi.
Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feaces
(kotoran) manusia, bila kotoran yang mengandung bakteri ini mengkon-taminasi
air sungai dan sebagainya maka orang lain yang terjadi kontak dengan air tersebut
beresiko terkena penyakit kolera itu juga.
Tetrasiklin menghambat sintesis protein dengan cara mengikat unit
ribosoma sel kuman 30 S sehingga t-RNA tidak menempel pada ribosom yang
mengakibatkan tidak terbentuknya amino asetil RNA. Antibiotik ini dilaporkan
juga berperan dalam mengikat ion Fe dan Mg. Ada 2 proses masuknya antibiotik
ke dalam ribosom bakteri gram negativ, pertama secara difusi pasif melalui kanal
hidrofilik, kedua melalui sistem transport aktif. Setelah antibiotik tetrasiklin
masuk maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S pada mencegah ikatan
tRNA – amino asil pada kompleks mRNA – ribosom. Hal tersebut mencegah
perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat terhentinya
sintesis protein bakteri.
Efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian tetrasiklin dapat
dibedakan dalam 3 kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritatif serta
reaksi yang timbul akibat perubahan biologik
3.2 Saran
10
DAFTAR PUSTAKA
Gomez H.F dan Cleary T.G. 1992. Kolera, Nelson, Ilmu Kesehatan Anak,
Bagian 2, edisi 12, EGC, Jakarta, , hal 102.
11