id/category/muslimah/)
Aktualita (http://hizbut-tahrir.or.id/category/muslimah/aktualita/)
Release (http://hizbut-tahrir.or.id/category/muslimah/release-muslimah/)
Reportase (http://hizbut-tahrir.or.id/category/muslimah/reportase/)
tahrir.or.id/category/muslimah/release-
Selasa, 02/09/14 1:13
WIB
muslimah/)
tahrir.or.id/2014/09/02/tanggapan-
(http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-anak/pidana-anak/)
muslimah-hti-pelarangan-kerudung-di-
papua/)
AQJ, anak Ahmad Dhani, yang masih berusia 13 tahun ditetapkan sebagai tersangka dalam di Papua
kendali. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan menyeruduk Granmax yang melaju dari arah memakai kerudung (jilbab) ke sekolah (18/8).
Kasus kecelakaan ini mengundang kontroversi yang hangat karena melibatkan anak di bawah
sekolah tetap …
umur, dengan jumlah korban tidak sedikit. Beberapa pihak menuding orang tua AQJ adalah
tahrir.or.id/category/muslimah/release-muslimah/)
Kadiv Pengawasan dan Monev Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), M Ihsan menilai
Abdul Qodir Jaelani atau yang lebih akrab disapa Dul ini merupakan korban salah asuh orang
tua. “Orang tuanya tidak memahami ada hal yang sudah dibolehkan untuk anak-anak dan yang
yang belum, baik secara hukum, maupun nilai dan norma,” katanya (Republika online,
08/09/2013).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia merekomendasikan kasus kecelakaan yang melibatkan AQJ
dapat diselesaikan di luar jalur hukum jika ada kesepakatan antara keluarga korban dan pelaku.
“Jika keluarga korban setuju, polisi dapat menggunakan deskresi dan kewenangannya untuk
menyelesaikan kasus ini di luar jalur hukum formal,” ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh. Asrorun mengatakan, penyelesaian
di luar jalur hukum dapat dilakukan, namun tidak boleh mengingkari rasa keadilan korban,
Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akbar
jika setelah pulih ia dihadapkan pada proses hukum. Pendampingan ini dilakukan agar AQJ
mendapatkan keadilan yang menjunjung tinggi asas restoratif dan hak-hak anak. Ini sesuai
dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. (Tempo.co.id, 16/09/13).
Sementara itu, Adrianus Meliala, Kompolnas dan kriminolog UI berpendapat AQJ lebih tepat
dijerat dengan UU Pidana dan UU Lalu Lintas, terutama untuk menjerat orang tua AQJ, Ahmad
Dhani yang juga harus bertanggungjawab, karena membiarkan seorang anak 13 tahun
Kasus AQJ mengangkat kembali pembahasan tentang penyelesaian masalah anak berhadapan
dengan hukum (ABH) yang pernah mengemuka beberapa waktu lalu pada kasus AAL, anak yang
mencuri sandal jepit di Palu. Perdebatan yang muncul sama, apakah anak layak untuk dijatuhi
hukum pidana, atau masalahnya dapat diselesaikan di luar pengadilan? Jawaban masalah ini
menjadi krusial karena data Komnas Perlindungan Anak menyebutkan ada 6000-an anak yang
Untuk mengatur masalah anak yang berkonflik dengan hukum, telah disahkan UU No 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam UU yang terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan
bahwa yang disebut Anak dalam kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
Asas yang dianut dalam Sistem Peradilan Anak di antaranya adalah: kepentingan terbaik bagi
anak; penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
Pasal 3 UU tersebut menyatakan, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak di
umurnya; b. Dipisahkan dari orang dewasa; c. Melakukan kegiatan rekreasional; d. Bebas dari
penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta
merendahkan derajat dan martabatnya; e. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
dan f. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu
Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, serta wajib
(http://hizbut-
diupayakan diversi dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan anak;
tahrir.or.id/feed/rss/)
(http://www.facebook.com/Htiinfokom)
menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan
tandatangani-uu-sistem-peradilan-anak.html)).
tahrir.or.id/wp-
(http://www.twitter.com/hizbuttahrirID)
content/uploads/bb/htimobile.jad)
Pada prinsipnya pendekatan hukum pada kasus ABH didasari dua asumsi, Pertama : anak-anak
(http://www.youtube.com/htiinfokom)
dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya
dengan orang dewasa. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan
atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya. Kedua :
bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan
disadarkan.
Berdasarkan asumsi di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang
yang digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan nilai,
prinsip, dan norma Konvensi Hak Anak adalah pendekatan yang murni mengedepankan
kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervensi
Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restoratif
atau disebut restorative justice saat ini dianggap lebih layak diterapkan dalam menangani
pelanggar hukum usia anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara
Konsep keadilan Restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mendefinisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan
memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada
Diskresi adalah kebijaksanaan dalam memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan hukum
yang berlaku tetapi atas dasar kebijakan, pertimbangan atau keadilan ( Pramadya, 1977 :91).
Diskresi dalam kasus ABH dapat dilakukan oleh polisi saat proses penyidikan, misalnya dengan
menghentikan proses penyidikan dan mengalihkannya kepada solusi lain seperti musyawarah
Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang diduga telah melakukan tindak
pidana keluar dari proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah dengan atau tanpa
syarat.
untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
untuk melakukan intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui
proses formal;
menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
umur anak (minimal 12 tahun) dan pertimbangan pihak lain dalam hal ini Balai Pemasyarakatan.
Keputusan Diversi dapat berupa penggantian dengan ganti rugi, penyerahan kembali ke orang
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan
keluarga;
kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain,
diversi tersebut berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection
Sasaran dari proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah menuntut
merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban) seperti pada posisi sebelum
pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik aspek materiil maupun aspek immateriil.
Dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), konsep pendekatan keadilan
restoratif menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Keadilan
kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan
lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal
karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu
pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum
pidana (formal dan materil). Keadilan restoratif harus juga diamati dari segi kriminologi dan
Keadilan restoratif ini dianggap memiliki kelebihan dibandingkan dengan keadilan restributif
yaitu :
2. Berusaha memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ada akibat tindak pidana yang terjadi.
3. Meminta pertanggungjawaban langsung dari seorang pelaku secara utuh sehingga korban
Tidak semua kalangan sepakat dengan paradigma keadilan restoratif dalam kasus ABH. Salah
satunya seperti yang diungkapkan oleh Martina dalam Kompasiana tanggal 21 Agustus 2012.
1. Anak Berhadapan dengan Hukum dinilai sebagai subyek hukum yang belum cakap dan
tidak dapat memahami apa yang dilakukannya. Tetapi, pada jaman globalisasi seperti
sekarang ini pembentukan karakter dan pola pikir anak sangat dipengaruhi oleh
lingkungan baik rekan bergaul maupun hal-hal lain yang mudah sekali didapatnya melalui
media informasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Sehingga, suatu perbuatan
pidana yang dilakukan oleh ABH bisa jadi memang dikehendaki oleh ABH dan dia juga
memahami apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu. Bila tindak pidana yang
dilakukan anak tersebut ancaman pidananya dibawah 7 tahun dan dilakukan diversi
terhadapnya, maka dikuatirkan hal itu tidak memberi efek jera dan ABH akan melakukannya
lagi.
2. Penerapan konsep Diversi ditakutkan akan menjadi celah bagi pelaku kejahatan yang
mempergunakan anak sebagai subyek pelaku, seperti misal : maraknya sindikat yang
mengeksploitasi anak untuk mencopet (human trafficking). Mencopet adalah sama dengan
mencuri yang pada pasal 362 KUHP diancam pidana maksimal 5 tahun dan wajib untuk
diupayakan diversi. Hal tersebut tidak memberi efek jera bagi si dader (orang yang
menyuruh melakukan), jika dalam hal ini ABH juga dianggap sebagai korban (human
trafficking). Jika ternyata tindak pidana tersebut juga diniati/ dikehendaki oleh ABH dan
secara sadar ABH melakukan perintah si Dader dengan kerjasama dan mengetahui serta
mengkehendaki akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut, maka konsep diversi
tidak memberi efek jera. Diversi malah berpotensi menjadi celah bagi si ABH untuk
melakukan kejahatan serupa lagi atau tindak pidana lainnya tanpa khawatir dihukum.
Adanya efek negatif dari sistem diversi dalam keadilan restoratif ini menunjukkan kelemahan
paradigma yang mendasarinya. Adanya ancaman pidana saja tidak mampu untuk mengurangi
tindak pidana anak di bawah 18 tahun, apalagi jika hukuman pidana digantikan dengan prinsip
keadilan restorasi.
Fakta di lapang menunjukkan angka kriminalitas anak terus bertambah tiap tahunnya. Data
Komnas Perlindungan Anak menunjukkan, kasus ABH tahun 2011 yang sampai pada lembaga ini
sebanyak 1.851 kasus, meningkat dibanding tahun 2010 sebanyak 730 kasus.
Memang benar, kejahatan yang dilakukan anak tidak dapat dibebankan sepenuhnya di pundak
anak. Ada banyak faktor yang menjerumuskan anak ke dalam kejahatan. Kemiskinan, kerusakan
moral, kontrol sosial lemah, keluarga tidak harmonis, dan sebagainya. Masing-masing memiliki
peran yang tidak dapat diabaikan dalam memunculkan kriminalitas di kalangan anak.
Sayangnya, paradigma penyelesaian kasus kriminal anak selalu terpaku pada bentuk hukuman
yang akan dijatuhkan pada anak. Upaya konstruktif untuk menjauhkan anak dari tindak
kriminalitas tidak banyak dilirik dalam rumusan penyelesaian kasus ini. Ibarat anak berdiri di tepi
jurang tidak ada yang mencegahnya, tetapi begitu anak sudah terpeleset jatuh, baru semua
Pendefinisian anak dan sampainya ia pada kedewasaan adalah pembahasan mendasar dalam
hukum Islam. Ini karena ketika anak sampai di usia baligh, maka ia terbebani dengan taklif, yang
membuat amalnya diperhitungkan sebagai pahala dan dosa. Begitu pula anak yang sudah
anak yang tidak tepat memiliki implikasi terhadap cara pandang kita kepada anak yang nantinya
Islam mendefinisikan anak adalah mereka yang belum mencapai masa baligh. Prof. Dr.
Hj.Huzaemah T.Yanggo, MA dalam bukunya Fiqih Anak, mengatakan bahwa al-bulugh adalah
habisnya masa kanak-kanak. Pada laki-laki, baligh ditandai dengan bermimpi (al ihtilam), dan
“Pena –pencatat amal- itu diangkat dari tiga : dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak
kecil sampai ia dewasa (yahtalima), dan dari orang gila sampai ia sadar.” (HR Baihaqi).
Kata yahtalima adalah orang yang sudah bermimpi (al-ihtilam). Maka dipahami bahwa anak
yang sudah baligh telah menerima beban taklif, yaitu menjalankan hukum syara’, dan dihisab
sebagai implikasi dari pembebanan tersebut. Ini berarti pada saat baligh, anak dianggap telah
Dengan pemahaman dewasa adalah saat baligh, anak harus dipersiapkan sedemikian rupa
hingga ia siap untuk menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggungjawab atas
perbuatannya saat baligh. Ini berbeda dengan pandangan yang ada saat ini yang menganggap
anak dewasa bila sudah menginjak usia 18 tahun. Pandangan ini membuat kontradiksi pada diri
anak. Di satu sisi saat ia baligh, hormon-hormon dan alat reproduksinya sudah matang,
sehingga secara biologis ia dewasa, namun di sisi lain ia tetap diperlakukan seperti anak-anak
dan tidak mendapat pembekalan bagaimana bertanggungjawab dengan kondisi balighnya
tersebut. Akibatnya secara akal pikiran, ia masih jauh dari matang. Kondisi ini membuat anak
Baligh tidak hanya menyebabkan perubahan fisik atau psikis. Tapi juga berpengaruh pada
kewajiban memenuhi seruan Allah. Mulai saat itu, seorang anak dikatakan telah dewasa. Dia
bukunya Fiqh Anak, dia telah memiliki kelayakan mendapat tugas ( ahliyat al-wujub), serta
kelayakan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara sempurna (ahliyat al-‘ada).
Jika dia mentaati aturan, maka dia akan memperoleh pahala, dan sebaliknya jika melanggar
aturan syariat, maka akan kena sanksi. Semua yang dilakukan akan dipertanggung jawabkan
Begitupun di hadapan hukum pidana, anak ketika mencapai usia baligh dapat dimintai
dilakukannya. Dalam Islam, hal itu adalah mungkin, karena saat seseorang mencapai baligh, ia
sekaligus juga mencapai “aqil”, sehingga layak untuk dihadapkan pada konsekuensi hukum.
Jika anak belum baligh, Huzaemah T. Yanggo menjelaskan terperinci dalam bukunya, anak
seperti ini tidak dapat dihukum dengan hukuman seperti orang dewasa. Ini dikarenakan asas
dalam pemberian hukuman tersebut adalah pelakunya mesti memiliki maksud dan tujuan yang
Anak kecil tidak memiliki tujuan atau maksud yang jelas dari tindak pidananya, karena akalnya
pemahamannya tentang hakekat kejahatan. Ia juga belum mampu memahami khithab Syari’
secara sempurna. Karena itu anak tidak dijatuhi hukuman pidana. Ini juga sesuai dengan hadist
Rasulullas saw :
“Diangkat pena dari tiga golongan, dari yang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia
Diriwayatkan pula bahwa seorang pencuri dihadapkan pada Khalifah Utsman. Sebelum
memutuskan hukum potong tangan, Utsman memerintahkan untuk menyingkap sarung sang
pencuri agar diketahui sudah baligh atau belum. Ketika ternyata terbukti pencuri tersebut
belum baligh, Utsman tidak menjatuhkan hukuman padanya. Ini tidak dsanggah oleh para
Sekalipun tidak dijatuhi hukuman pidana, namun jumhur ulama fiqh berpendapat, dalam kasus
pembunuhan, anak sebagai pelaku dikenakan diyat pembunuhan tidak disengaja atau keliru.
Bila anak tidak memiliki harta, maka kewajiban diyat ini dibebankan kepada walinya.
Sekalipun demikian, negara boleh mengambil kebijakan khusus bila terjadi masalah tindak
pidana anak. Negara bisa memaksa orangtua atau wali untuk mendidik anaknya, atau negara
mengambil anak dari pengasuhnya dan menyerahkannya pada pengasuh lain yang mampu dari
Bila anak sebatang kara tidak memiliki pengasuh dan wali, maka negara berkewajiban
memelihara anak tersebut dan mendidiknya agar tidak menjadi pelaku kriminal.
dijatuhkan pada anak. Islam lebih mengedepankan pendekatan sistemik yang akan mencegah
Sebagai benteng pertama, Islam mewajibkan orangtua untuk mendidik anak sebaik-baiknya.
Bahkan Islam meng”iming-imingi” orangtua dengan doa anak shaleh akan menjadi investasi
Berikutnya Islam menjamin nafkah anak melalui serangkaian hukum yang wajib diterapkan.
Nafkah anak dibebankan pada para wali. Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara wajib
untuk menjamin nafkah anak. Dengan demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan
Islam juga memiliki kebijakan dalam pendidikan dengan menjadikan kurikulumnya berdasarkan
aqidah Islam sehingga memiliki daya dorong bagi anak untuk menerapkan nilai-nilai dan hukum
syara’.
Begitu juga Islam memiliki mekanisme penjagaan aqidah dan moralitas. Islam mewajibkan
negara untuk mencegah beredarnya miras, pornografi, dan media massa yang memiliki konten
membahayakan aqidah dan akhlak umat. Negara dibekali dengan hak untuk menghukum
siapapun yang menyebarkan kerusakan. Ini berbeda dengan system demokrasi di Indonesia,
yang sampai Menkominfo pun mengeluh tidak memiliki hak untuk membreidel semua konten
Dengan serangkaian hak dan kewajiban yang Islam telah membebankannya kepada orangtua,
masyarakat dan negara, maka Islam telah melindungi anak sepenuhnya dari berbuat tindak
kriminal.
pub=&url=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-
phase=2&url=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-
op=add&bkmk=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-
Anak&u=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-anak/)
(http://reddit.com/submit?url=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-
url=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-pidana-anak/&title=Batas
(http://technorati.com/faves?add=http://hizbut-tahrir.or.id/2013/10/12/batas-tanggungjawab-
pidana-anak/)
Baca juga :
tahrir.or.id/2011/02/08/tuntutan-pidana-terhadap-murhali-barda-terlalu-dipaksakan/)
tahrir.or.id/2013/01/29/predator-berkeliaran-memangsa-wanita-dan-anak-anak-di-alam-
liberalisme/)
tahrir.or.id/2012/02/16/pasukan-nato-membantai-anak-anak-afghanistan/)
4. Anak-anak Jadi Korban Pemerkosaan di AS (http://hizbut-tahrir.or.id/2013/01/10/anak-
anak-jadi-korban-pemerkosaan-di-as/)
tahrir.or.id/2009/12/09/tiga-tahapan-yang-dicurigai-kpk-ada-pidana-korupsi/)
Nama(required) Komentar:
E-Mail(required)
Website
Submit
Comments
anak/#comment-97566)
nb; minta tolong ….apa aja refrensi yang membahas tentang pidana anak menurut islam selai buku
fikih anak???
anak/#comment-97947)
artikel yang sangat menarik dan sangat dibutuhkan bagi daerah2 yang ingin menerapkan syari’at
Islam….hal ini sangat jarang didiskusikan karena tidak banyak ulama yang mau membahasnya,
Aceh punya qanun perlindungan anak tapi unsur khusus ke Islaman belum nampak didalamnya
terutama yang terkait dengan definisi anak dan hak-hak anak, pembinaan anak dan kewajiban
Crown Palace A25, Jl Prof. Soepomo No. 231, Jakarta Selatan 12390
Email: info@hizbut-tahrir.or.id