Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia angka kejadian fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas meningkat, kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan
tinggi sering menyebabkan trauma fisik, salah satu contohnya adalah fraktur. Pada
umumnya dampak yang ditimbulkan pada fraktur adalah terjadinya kerusakan
neuromuskuler akibat kerusakan jaringan atau terputusnya tulang, adanya
perubahan tandatanda vital dan gangguan pergerakan lainnya, tindakan darurat
secara cepat dan tepat pada fraktur adalah melakukan imobilisasi di daerah yang
fraktur (Utara, 2003)

Berdasarkan prevalensi data menurut World Health of Organisation (WHO)


menyebutkan bahwa 1,24 juta korban meninggal tiap tahunnya di seluruh dunia
akibat kecelakaan lalu lintas. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(Depkes RI) tahun 2013 menyebutkan bahwa Kejadian kecelakaan lalu lintas di
Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan yaitu 21,8% dalam jangka waktu
5 tahun. Kecelakaan lalu lintas dapat mengakibatkan kerusakan fisik hingga
kematian. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun
2013 menyebutkan bahwa dari jumlah kecelakaan yang terjadi, terdapat 5,8%
korban cedera atau sekitar delapan juta orang mengalami fraktur dengan jenis
fraktur yang paling banyak terjadi yaitu fraktur pada bagian ekstremitas atas sebesar
36,9% dan ekstremitas bawah sebesar 65,2%.

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 juga menyebutkan bahwa kejadian
kecelakaan lalu lintas di daerah Jawa Tengah sebanyak 6,2% mengalami fraktur. Di
Indonesia kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39%
diikuti fraktur humerus 15%, fraktur tibia dan fibula 11%, dimana penyebab terbesar
fraktur femur adalah 2 kecelakaan lalu lintas yang biasanya disebabkan oleh
kecelakaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi 62,6% dan jatuh 37,3% dan
mayoritas adalah pria 63,8% .4,5% Puncak distribusi usia pada fraktur femur adalah
pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan orang tua (diatas 70 tahun) (Medika, No,
Desiartama, & Aryana, 2017). Hasil Riskesdas tahun 2018 menyatakan bahwa
proporsi bagian tubuh yang terkena cedera paling besar adalah Anggota Gerak
Bawah 67,9%, Anggota Gerak Atas 32,7%, kepala 11,9%, punggung 6,5%, dada
2,6%, dan perut 2,2%.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Eldawati tahun 2011 di
RSUP Fatmawati Jakarta yang menyatakan bahwa jenis fraktur yang banyak terjadi
yaitu fraktur ekstremitas bawah, seperti fraktur femur, fraktur tibia, dan fraktur
fibula ( Syahputra, Jumaini, Novayelinda., 2011).

Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal


yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang,fraktur patologis terjadi
tanpa trauma pada tulang yang lemah karena dimineralisasi yang berlebihan (Ii,
2002). Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga,keadaan tulang, dan jaringan lunak
disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau
tidak lengkap. Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas
jaringan tulang lebih dari satu garis (Silvia A. Prince, 2000)

Fisioterapi menurut PMK No. 80 Tahun 2013 adalah bentuk pelayanan


kesehatan yang ditunjukan kepada individu atau kelompok untuk mengembangkan,
memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentan kehidupan
dengan menggunakan penanganan secara manual dan peralatan. Menurut PMK no
65 tahun 2015 Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan
gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis
dan mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi. Berdasarkan beberapa definisi
diatas, maka dapat disimpulkan multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi
hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis yang disebabkan oleh
tekanan eksternal yang di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan
gangguan fungsi pada area fraktur.

Peran fisioterapi memberikan layanan kepada individu atau kelompok individu


untuk memperbaiki, mengembangkan, dan memelihara gerak dan kemampuan
fungsi yang maksimal selama perjalanan kehidupan individu atau kelompok
tersebut. Layanan fisioterapi diberikan dimana individu atau kelompok individu
mengalami gangguan gerak dan fungsi pada proses pertambahan usia dan atau
mengalami gangguan akibat dari injuri atau sakit. Gerak dan fungsi yang sehat dan
maksimal adalah inti dari hidup sehat (Appendiktomi, Ke, Di, Cempaka, & Ilmiah,
2010).

Peran fisioterapi dalam penanganan sebelum dan setelah operasi pembedahan


multiple fraktur sangatlah penting. Dimulai dari tindakan sebelum operasi, dimana
fisioterapi dapat memberikan breathing exercise guna membuat pasien rileksasi dan
pemberian setting muscle exercise guna mengurangi nyeri, mencegah atrofi, dan
memobilisasi serabut otot (Amin, Amanati, & Siswanto, 2018). Sedangkan
permasalahan yang muncul pada pasca operasi antara lain adalah oedema atau
bengkak, nyeri, penurunan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta
penurunan aktivitas fungsional. Dari permasalahan tersebut, peran fisioterapi sangat
diperlukan. Apabila fisioterapi dapat menangani permasalahan tersebut dengan
cepat dan tepat, maka dapat menurunkan derajat permasalahan yang ada, bahkan
fisioterapi dapat menyembuhkannya sehingga pasien dapat melakukan aktivitas
seperti semula. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, modalitas yang digunakan
oleh fisioterapi dalam upaya pemulihan dan pengembalian kemampuan fungsional
pada pasien fraktur adalah terapi latihan. Terapi latihan merupakan salah satu upaya
pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan
gerak aktif maupun pasif. Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static
contraction yang dapat membantu mengurangi oedema, sehingga nyeri akan
berkurang.

Berdasarkan uraian di atas, kami tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang
penanganan fisioterapi pada kasus multiple fraktur femur bilateral dan fraktur cruris
sisi kiri. Ditinjau dari angka kejadian, fraktur akibat kecelakaan merupakan kejadian
paling banyak terjadi dan mengakibatkan kecacatan fisik bagi seseorang. Kecacatan
fisik mengakibatkan seseorang tidak sehat secara fisik, dengan keadaan tidak sehat
maka seseorang tidak dapat produktif secara sosial dan ekonomi. Kasus yang akan
kami analisa kali ini adalah multiple fraktur pada femur bilateral dan fibula sisi kiri.

B. Identifikasi Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun identifikasi masalah yang kami temukan dalam kasus ini adalah:
a. Oedema
b. Nyeri
c. Gangguan lingkup gerak sendi
d. Penurunan kekuatan otot
e. Gangguan Activity Daily Living
2. Pembatasan Masalah
Pada kasus pre dan post operasi multiple fraktur femur bilateral dan fraktur
cruris sisi kiri yang kami gambarkan di atas, muncul berbagai maslah sehingga
kami membatasi kajian pada:
a. Gangguan nyeri
b. Gangguan lingkup gerak sendi
c. Penurunan kekuatan otot
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran fisioterapi pada multiple fraktur femur bilateral dan
fraktur cruris sisi kiri dengan intervensi breathing exercise, statik kontraksi,
ankle pumping, dan latihan endurance upper extremity terhadap penurunan
nyeri, peningkatan lingkup gerak sendi, dan peningkatan kekuatan otot.

2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui assesment fisioterapi pada kasus pre dan post operasi
multiple fraktur femur bilateral dan fraktur cruris sisi kiri
b. Untuk menentukan problematika dan menegakkan diagnosa fisioterapi
pada kasus pre dan post operasi multiple fraktur femur bilateral dan
fraktur cruris sisi kiri.
c. Untuk mengetahui intervensi fisioterapi yang efektif dan sesuai pada
kasus pre dan post operasi multiple fraktur femur bilateral dan fraktur
cruris sisi kiri.
d. Untuk mengetahui target yang akan dicapai pada penanganan kasus pre
dan post operasi multiple fraktur femur bilateral dan fraktur cruris sisi
kiri.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi
Diharapkan dapat dijadikan sumber informasi terkait dengan kasus pre
dan post operasi multiple fraktur femur bilateral dan fraktur cruris sisi kiri yang
dapat dikembangkan dalam ilmu fsioterapi.

2. Bagi Profesi Fisioterapi


Diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam pemberian terapi
untuk kasus pre dan post operasi multiple fraktur femur bilateral dan fraktur
cruris sisi kiri.
3. Bagi Pasien
a. Diharapkan dapat membantu pasien / keluarga dalam mengetahui
tentang penyakit dan kondisi saat ini sehingga pasien / keluarga dapat
memahami apa yang harus dilakukan.
b. Diharapkan dapat membantu pasien / keluarga dalam memberikan terapi
yang tepat terkait penyakit dan kondisi pasien saat ini.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
1. Fraktur
Menurut Price dan Wilson (2005) fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi
jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer dan Bare, 2002). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,
kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap
proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang
patologis . Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh
rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan
krepitasi (Doenges, 2002). Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk
patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal
(kondilus), diafisis, atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
Fraktur dapat terjadi pada setiap bagian tubuh, termasuk pada ekstremitas
bawah.
Menurut (Mansjoer, 2002) ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur)


Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan
kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka :

1) Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen


minimal.
2) Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi
fragmen jelas.
3) Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.

Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya dengan


mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a. Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblique : fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma
angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara
lain:
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas
jaringan tulang lebih dari satu garis ( Silvia A. Prince, 2000 ). Berdasarkan
beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan multiple fraktur adalah
keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu
garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas dan gangguan fungsi pada area fraktur.

2. Open Reduction Internal Fixation (ORIF)


Open Reduction Internal Fixation (atau yang biasa disebut ORIF)
adalah intervensi bedah dengan cara terbuka (atau mungkin tertutup) dengan
memberikan stabilisasi internal untuk fiksasi di dalam tulang dan
diindikasikan untuk beberapa jenis fraktur femur proksimal, yaitu:
a. Mengganti atau tidak mengganti fraktur intracapsular femoral neck
b. Fraktur - dislokasi caput femur
c. Stabil atau tidak stabil fraktur intertrochanteric
d. Fraktur subtrochanter

3. Open Reduction Internal Fixation (OREF)


External fixasi adalah suatu tindakan orthopedic open reduction yang
digunakan untuk fiksasi tulang, terutama fraktur yang kompleks sehingga
dapat mengoreksi deformitas organ (Suarsedewi, 2017).
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk
fraktur kominutif ( hancur atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga
agar tetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi
ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan
fragmen tulang (Dila, 2017).
4. Nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik yang multidimensional.
Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas (ringan, sedang, berat),
kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,
intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir
atau difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen
kognitif dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan
(Bahrudin, 2018). Nyeri juga berkaitan dengan reflex menghindar dan
perubahan output otonom (Meliala,2004).
Menurut (Pinzon, 2007) dalam jurnal menyebutkan bahwa mekanisme
terjadi nyeri disebabkan oleh stimulus noksious yang diperantarai oleh
sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
spinalis, batang otak, talamus, dan korteks cerebri. Apabila telah terjadi
kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya, dari
fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang
rusak. Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
perbaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga
stimulus nonnoksious atau noksious ringan yang mengenai bagian yang
meradang akan menyebabkan nyeri. Sebagai akibatnya, individu akan
mencegah adanya kontak atau gerakan pada bagian yang cidera tersebut
sampai perbaikan jaringan selesai. Hal ini akan meminimalisasi kerusakan
jaringan lebih lanjut. Pada kasus-kasus cedera elektif (misalnya:
pembedahan), cedera karena trauma, atau rheumatoid arthritis,
penatalaksanaan yang aktif harus dilakukan untuk mencegah
keterbatasannya ruang gerak. Tujuan terapi adalah menormalakan
sensitivitas nyeri untuk meningkatkan lingkup gerak sendi.
Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri yaitu
manajemen farmakologi dan manajemen nonfarmakologi. Manajemen
farmakologi merupakan kolaborasi antara dokter dengan perawat dengan
pemberian obat yang mampu menghilangkan sensasi nyeri, sedangkan
manajemen nonfarmakologi merupakan manajemen untuk menghilangkan
nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri meliputi, stimulus dan
massage kutaneus, terapi es dan panas (pemberian kompres dingin atau
panas) serta stimulus saraf elektrikal. (Mediarti & Seprianti, 2015). Teknik
relaksasi nafas dalam adalah teknik melakukan nafas lambat dan
menghembuskan nafas dalam secara perlahan, kemudian pasien dapat
memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama
yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan
lambat bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekshalasi
(hembuskan, dua, tiga) (Brunner & Suddarth, 2013). Relaksasi secara
umum sebagai metode yang paling efektif terutama pada pasien yang
mengalami nyeri (National Safety Council, 2003 dalam jurnal Ernawati
dkk, 2010).

5. Lingkup Gerak Sendi (LGS)


Lingkup gerak sendi adalah kemampuan gerak persendian tubuh untuk
dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Gerak sendi merupakan suatu
mekanisme hubungan tulang yang digerakkan oleh otot ataupun gaya
eksternal lain dalam lingkup geraknya. Ketika sendi bergerak dalam
lingkup tertentu maka semua struktur yang berada di sekitar persendian
akan ikut bergerak diantaranya otot, permukaan sendi, kapsul sendi,
ligamen, fascia, pembuluh darah dan saraf. Lingkup gerak sendi (LGS)
merupakan dasar untuk mengidentifikasi fisiologis dari suatu hubungan
tulang yang dapat bergerak dan hasilnya dapat digunakan sebagai dasar
indikatif pemberian intervensi terapeutik tertentu. Untuk mempertahankan
kemampuan LGS, setiap sendi harus memiliki lingkup gerak
(Trisnowiyanto, 2016).

B. Anatomi, Fisiologi, dan Kinesiologi/ Biomekanik


1. Anatomi
a. Tulang pada lower extremity
Tulang merupakan salah satu struktur tubuh yang paling penting
dan kompleks, tulang atau kerangka merupakan sistem alat gerak pasif
yang berfungsi sebagai alat penopang tubuh dan menciptakan struktur
tubuh manusia. Kerangka aksial (kerangka sumbu tubuh) terdiri dari 80
segmen tulang, beberapa diantaranya adalah tulang kepala (cranium),
tulang leher (os hyoideum dan vertebrae cervicales), dan tulang batang
tubuh (costae, sternum, vertebrae dan sacrum). Kerangka apendikular
yaitu kerangka tambahan terdiri dari tulang-tulang ekstremitas baik
ekstremitas atas maupun ekstremitas bawah dengan total 126 segmen
tulang (Moore dan Agur, 2002).
Pada sistem anggota gerak pasif ekstremitas bawah, dibedakan menjadi
2 bagian, yaitu :
1) Ossa cinguli extremitas inferior (tulang-tulang gelang panggul)
a) os. Coxae
Tulang coxae adalah penghubung antara vertebra dan
ekstremitas bawah. Terdapat dua tulang coxae pada bagian kanan
dan kiri yang terdiri dari beberapa tulang yang saling terkait; crista
iliaca, sakro iliaca, sacrum, pelvic, acetabulum, ischium dan tulang
pubis.

Gambar 2.1. Pelvic Bone


Sumber : https://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat/notes/

2) Ossa liberae extremitas inferior (tulang--tulang anggota badan


bawah bebas)
a) os. Femur
Terdapat tulang femur pada kedua tungkai. Komponen pada
tulang femur diawali dari bagian proximal adalah caput femur, pada
bagian lateral terdapat trochanter major dan minor, kemudian di
sepanjang tulang femur terdapat linea aspera, dan pada bagian distal
terdiri dari epicondylus lateral, epicondylus medial serta fossa
patella (tempat melekat tulang patella). Pada beberapa kasus sering
sekali terjadi fraktur pada tulang femur. Hal ini disebabkan karena
bentuk dari tulang femur yang panjang sehingga resiko terjadinya
patah tulang cukup tinggi.
b) os. Tibiae
Seperti tulang femur yang terdapat pada kedua tungkai, tulang
tibia juga memiliki beberapa komponen tulang penyusun. Dilihat
dari sisi proximal terdiri atas intercondylaris, condyles lateral dan
medial, tuberositas tibialis, crista anterior, maleolus medial dan
facet articularis. Terdapat pula membran interoseus yang
menghubungkan tulang tibia dan fibula.
c) os. Fibulae
Tulang fibula bersinggungan langsung dengan tulang tibia.
Seperti yang telah disebutkan, membran interoseus menjadi
penghubung antara tulang tibia dan fibula. Letaknya memanjang
dari sisi proximal hingga distal. Komponen yang menjadi penyusun
tulang fibula terdiri atas caput fibula dan maleolus lateralis.
d) os. Patella
Patella merupakan tulang sesamoid terbesaryang ada di tubuh,
menduduki femoral trochlea. Bentuknya yang oval asimetris dengan
puncaknya mengarah ke distal. Serat tendon quadriceps
menyelimuti bagian anterior dari patella dan bersatu dengan patellar
ligament pada bagian dista
e) os. Tarsalia
f) os. Metatarsalia
g) os. Phalanges (pedis)
Gambar 2.2. Foot Bone
Sumber :https://accessmedicine.mhmedical.com/data/books/mort/mo
rt_c034f002.gif

b. Sendi pada lower extremity


1) Persendian pada tungkai atas (hip)
Pelvic girdle (tulang panggul) menghubungkan ekstremitas
bawah dengan trunk dan berperan penting dalam fungsional pelvic
serta persendian tulang belakang. Penyatuan antara tulang ilium,
ischium, dan symphysis pubis pada pelvic adalah acetabulum. Pusat
dari acetabulum terisi oleh jaringan lemak yang tertutup oleh
membran synovial. Sendi hip dibentuk dari hubungan antara caput
femur sebagai konveks dan accetabulum (pada pelvic) sebagai
konkaf sehingga membentuk satu kesatuan yang kompleks, yaitu ball
and socket (spheroidal) triaxial joint. (Kisner & Colby, 2007)

Gambar 2.3. Hip Joint


Sumber : https://orthoinfo.aaos.org/en/treatment/total-hip-replacement/

2) Persendian pada tungkai bawah (knee)


a) Tibiofemoral joint
b) Patellofemoral joint

Gambar 2.4.
Sumber :
3) Persendian pada kaki (ankle)
a) Talocrucal joint (Talotibial joint)
b) Subtalar joint
c) Transverse tarsal joint
d) Metatarsophalangeal joint
e) Proximal interphalangeal joint
f) Distal interphalangeal joint
g) Interphalangeal joint

Gambar
Sumber : https://id.pinterest.com/pin/469148486172248477/
c. Otot dan persarafan pada lower extremity
1) Otot-otot panggul (hip)
Otot-otot pada sendi panggul dikelompokkan berdasarkan
fungsinya yaitu otot-otot fleksor panggul, otot-otot adduktor panggul,
otot-otot rotator internal panggul, otot-otot ekstensor panggul, otot-
otot abduktor panggul, otot-otot rotator eksternal panggul.
Gambar
Sumber : https://boneandspine.com/muscles-of-hip/
Tabel 2.1. Otot Fleksor Panggul
Otot Origo Insertio Persarafan
Psoas major Processus Trochanter Rami anterior
transversus minor L1, L2, L3
lumbalis,
discus
intervertebralis,
dan corpus
vertebra dari
TXII-LV
Iliacus Fossa illiaca Trochanter Nervus
minor femoralis (L2,
L3)
Tensor Fascia Crista iliaca di Tractus Nervus
Latae antara SIAS iliotibialis femoralis (L2,
dan tuberculum L3, L4)
iliacum
Sartorius SIAS Tendo Nervus
quadriceps femoralis (L2,
femoris L3, L4)
Rectus Caput rectum: Tendo Nervus
Femoris SIAI; caput quadriceps gluteus
reflectum: tepat femoris superior (L4,
L5, S1)
di atas
acetabulum

Tabel 2.2. Otot Adduktor Panggul


Otot Origo Insertio Persarafan
Pectineus Linea pectinea Linea obliq Nervus
(pecten pubis) (dari dasar Femoralis (L2,
dan tulang pelvis trochanter L3)
yang berdekatan minor sampai
linea aspera)
Adductor Permukaan luar Linea aspera Nervus
longus dari corpus ossis pada 1/3 tengah obturatorius
pubis corpus ossis divisi anterior
femoris (L2, L3, L4)
Gracillis Suatu garis pada Facies medialis Nervus
permukaan luar tibia bagian obturatorius
dari corpus ossis proximal (L2, L3)
pubis, ramus
inferior ossis
pubis, dan ramus
ossis ischium
Adductor Permukaan luar Permukaan Nervus
brevis dari corpus ossis posterior dari obturatorius
pubis dan ramus femur bagian (L2, L3)
inferior ossis proximal dan
pubis linea aspera 1/3
atas
Adductor  pars Permukaan  Nervus
magnus adductores: posterior dari obturatorius
ramus femur bagian (L2, L3)
ischiopubica proximal, linea
 pars aspera, dan  Nervus
hamstring/ linea ischiadicus
extensores: supracondylaris pars tibialis
tuber medialis (L2, L3,
ischiadica tuberculum L4)
adductorium
dan linea
supracondylaris

Tabel 2.3. Otot Ekstensor Panggul


Otot Origo Insertio Persarafan
Gluterus Maximus Fascia yang aspek nervus
menutupi posterior gluteus
gluteus medius, dari tractus inferior (L5,
permukaan iliotibialis S1, S2)
eksternal ilium dan
di belakang tuberositas
linea glutea glutea dari
posterior, femus
permukaan bagian
sacrum bagian proximal
dorsal, tepi
lateral coccyx,
ligamentum
sacrotuberale
Biceps Femoris caput longum: Caput Nervus
tuber ischiadica fibulae Ischiadicus
bagian (L5, S1, S2)
inferomedial
caput breve:
labium laterale
dari linea
aspera
Semimembranosus tuber ischiadica permukaan Nervus
bagian medial dan Ischiadicus
superolateral posterior (L5, S1, S2)
dari
condylus
medialis
tibia
Semitendinosus tuber ischiadica permukaan Nervus
bagian medial dari Ischiadicus
inferomedial bagian (L5, S1, S2)
proximal
tibia

Tabel 2.4. Otot Abduktor Panggul


Otot Origo Insertio Persarafan
Gluterus Medius permukaan Permukaan Nervus
eksternal dari lateral dari gluteus
ilium di antara trochanter superior (L4,
linea glutea majo L5, S1)
anterior dan
posterior
Gluteus Minimus permukaan aspectus Nervus
eksternal dari anterolateral gluteus
ilium di antara dari superior (L4,
linea glutea trochanter L5, S1)
inferior dan major
anterior

Tabel 2.5. Otot Abduktor Panggul


Otot Origo Insertio Persarafan
Gluterus Medius permukaan Permukaan Nervus
eksternal dari lateral dari gluteus
ilium di antara trochanter superior (L4,
linea glutea majo L5, S1)
anterior dan
posterior
Gluteus Minimus permukaan aspectus Nervus
eksternal dari anterolateral gluteus
ilium di antara dari superior (L4,
linea glutea trochanter L5, S1)
inferior dan major
anterior

Tabel 2.6. Otot Rotator Eksternal Panggul


Otot Origo Insertio Persarafan
Piriformis permukaan Sisi medial dan Cabang dari
anterior dari tepi superior dari L5, S1, S2
sacrum di trochanter major
antara femu
foramina
sacralis
anteriora
Gemellus bagian atas pada sepanjang Nervus
Inferior dari tuber permukaan untuk
ischiadica inferior tendo quadratus
musculus femoris (L5,
obturator S1)
internus dan pada
sisi medial dari
trochanter major
femur
Gemellus permukaan pada sepanjang Nervus
Superior eksternal dari permukaan untuk
spina superior tendo obturator
ischiadica musculus internus
obturator (L5, S1)
internus dan pada
sisi medial dari
trochanter major
femur

Quadratus aspectus tuberculum Nervus


Femoris lateral dari quadratum pada untuk
ischium tepat crista quadratus
di anterior intertrochanterica femoris (L5,
dari tuber femur S1)
ischiadica
Obturator permukaan Fossa Nervus
Externus eksternal dari Trochanterica
obturatorius
membrana divisi
obturatoria posterior
(L3, L4)
Obturator dinding sisi medial dari Nervus
Internus anterolateral trochanter major untuk
pelvis minor, femur obturator
permukaan internus
profundus (L5, S1)
dari
membrana
obturatoria

2) Otot-otot tungkai bawah (knee)


Gambar
Sumber : https://id.pinterest.com/pin/622763454697315696/?lp=true

Tabel 2.7. Otot Fleksor Knee


Otot Origo Insertio Persarafan
Biceps Femoris Tuber Caput Nervus
ischiadicum longum : tibialis,
lateral linea caput fibula nervus
aspera lateralis peroneus
Caput communis
Brevis :
candylus
lateralis
tibia.
Semimembranous tuber permukaan Nervus
ischiadica medial dan Ischiadicus
bagian posterior (L5, S1, S2)
superolateral dari
condylus
medialis
tibia
Semitendinous tuber permukaan Nervus
ischiadica medial dari Ischiadicus
bagian bagian (L5, S1, S2)
inferomedial proximal
tibia
Tabel 2.7. Otot Ekstensor Knee
Otot Origo Insertio Persarafan
Rectus Femoris Spina Iliaca Tuberositas nervus
Anterior tibia (di atas Femoralis
Inferior (SIAI) ligament
patella)
Vastus Medialis 2/3 distal dari Tuberositas nervus
labium medial tibia (di atas Femoralis
linea aspera ligament
patella)
Vastus Pars superior Tuberositas nervus
Intermedianus facies tibia (di atas Femoralis)
medialis ligament
femoris patella)
Vastus Lateralis Trochanter Tuberositas nervus
major (bagian tibia (di atas Femoralis
distal) ligament
patella)

3) Otot-otot kaki (ankle)

Gambar
Sumber : https://www.malehealthclinic.com/how-strong-is-your-foots-
core/
Tabel 2.8. Otot Inversi ankle
Otot Origo Insertio Persarafan
Tibialis Posterior 2/3 proximal Tuberositas Deep
tibia dan distal Navicular peroneal
condylus tibia, nerve tibial
2/3 proximal posterior
dan posterior
caput fibula

Tabel 2.9. Otot Eversi ankle


Otot Origo Insertio Persarafan
Soleus 1/3 proximal Calcaneal
caput fibula
Peroneus Longus 2/3 distal Basis Superficialis
fibula dan metatarsal I peroneal n.
condyles dan sisi peroneus
lateralis lateral longus (L4-
tibialis cuneoforme S1)
Peroneus Brevis 2/3 distal Basis Superficialis
fibula metatarsal peroneal n.
peroneus
brevis
longus (L4-
S1)

Tabel 2.10. Otot Dorsi Fleksi ankle


Otot Origo Insertio Persarafan
Tibialis Anterior Condylus Metatarsal I Deep
lateralis tibia peroneal n.
tibialis
anterior(L4-
S1)

Tabel 2.11. Otot Plantar Fleksi ankle


Otot Origo Insertio Persarafan
Gastrocnemius Condylus Calcaneus n. tibialis
lateralis dan (medial
medialis popliteal,
femuris S1-S2)

d. Ligamen pada lower extremity


1) Ligamen pada tungkai atas (hip)
a) Iliofemoral ligament
b) Pubofemoral ligament
c) Ischiofemoral ligament

Sumber : https://learnmuscles.com/blog/2017/08/30/ligaments-of-
the-lumbar-spine-and-pelvis/

2) Ligamen pada tungkai bawah (knee)


a) Anterior cruciate ligament
b) Posterior cruciate ligament
c) Medial collateral ligament
d) Lateral collateral ligament
Sumber : https://www.aclinjuryrecovery.com/acl-injury-operation-
overview/

3) Ligamen pada kaki (ankle)

Sumber : https://www.earthslab.com/anatomy/ankle-joint-talocrural-
joint/

e. Vaskularisasi pada lower extremity


1) Vaskularisasi pada tungkai
a) Arteria tibialis anterior
(1) Arteri recurrens tibialis anterior
(2) Arteri malleolus lateralis
(3) Arteri malleolus madialis
(4) Arteri dorsalis pedis
b) Arteria tibialis posterior
(1) Arteri Peronealis
(2) Arteri plantar medialis
(3) Arteri plantaris lateralis
2) Vaskularisasi pada kaki
a) Arteria dorsalis pedis
(1) Arteri arcuate
(2) Arteri metatarsal dorsal
b) Arteria plantaris
(1) Arteri plantaris medialis
(2) Arteri plantaris lateralis

Sumber : https://teachmeanatomy.info/lower-
limb/vessels/arterial-supply/
2. Fisiologi
a. Fisiologi Pertumbuhan Tulang

Penyembuhan fraktur umumnya dilakukan dengan cara


imobilisasi. Akan tetapi, penyembuhan fraktur alamiah dengan kalus
dan pembentukan kalus berespon terhadap pergerakan bukan terhadap
pembidaian. Pada umumnya fraktur dilakukan pembidaian hal ini
dilakukan tidak untuk menjamin penyatuan tulang namun untuk
meringankan nyeri dan menjamin penyatuan 9 tulang pada posisi yang
benar dan mempercepat pergerakan tubuh dan pengembalian fungsi
(Solomon et al., 2010). Fraktur disembuhkan dengan proses
perkembangan yang melibatkan pembentukan fibrokartilago dan
aktivitas osteogenik dari sel tulang utama. Fraktur merusak pembuluh
darah yang menyebabkan sel tulang terdekat mati. Pembekuan darah
dibuang bersamaan dengan debris jaringan oleh makrofag dan matriks
yang rusak, tulang yang bebas dari sel di resorpsi oleh osteoklas
(Mescher, 2013).

1) Penyembuhan dengan kalus


Proses ini adalah bentuk alamiah dari penyembuhan fraktur pada
tulang tubular tanpa fiksasi, proses ini terdiri dari lima fase, yaitu
(Solomon et al., 2010) :
a) Destruksi jaringan dan pembentukan hematom
Pembuluh darah robek dan terjadi pembentukan hematom
disekitar fraktur. Tulang pada permukaan yang patah, kehilangan
asupan darah, dan mati.
b) Inflamasi dan proliferasi selular
Dalam 8 jam, fraktur mengalami reaksi inflamasi akut dengan
migrasi sel inflamatorik dan inisiasi proliferasi dan diferensiasi
dari stem sel mesenkimal dari periosteum menembus kanal
medular dan sekitar otot. Sejumlah besar mediator inflamasi
seperti sitokin dan beberapa faktor pertumbuhan dilibatkan.
Selanjutnya bekuan darah hematom diabsorbsi perlahan dan
membentuk kapiler baru pada area tersebut.
c) Pembentukan kalus
Diferensiasi stem sel menyediakan sejumlah sel kondrogenik dan
osteogenik. Pada kondisi yang tepat mereka akan mulai
membentuk tulang dan pada beberapa kasus, juga membentuk
kartilago. Di sejumlah sel ini terdapat osteoklas yang siap
membersihkan tulang yang mati. Massa seluler yang tebal
bersama pulau‒pulau tulang imatur dan kartilago, membentuk
kalus atau rangka pada permukaan periosteum dan endosteum.
Saat anyaman tulang yang imatur termineralisasi menjadi lebih
keras, pergerakan pada lokasi fraktur menurunkan progresivitas
dan fraktur menyatu dalam 4 minggu setelah cidera.
d) Konsolidasi
Tulang anyaman terbentuk menjadi tulang lamelar dengan
aktivitas osteoklas dan osteoblas yang kontinyu. Osteoklas pada
proses ini melakukan pelubangan melalui debris pada garis
fraktur, dan menutup kembali jaringan tersebut. Osteoblas
mengisi ruang yang tersisa antara fragmen dan tulang baru.
Proses ini berjalan lambat sebelum tulang cukup kuat untuk
menopang beban dengan normal.
e) Remodeling
Fraktur telah dijembatani dengan lapisan tulang yang solid. Pada
beberapa bulan atau bahkan tahun, dilakukan pembentukkan
ulang atau reshaped dengan proses yang kontinu dari resorpsi
dan pembentukan tulang.

Gambar
Sumber : https://www.orthobullets.com/

2) Penyembuhan dengan penyatuan langsung (direct union)


Proses penyatuan langsung tidak lagi melibatkan proses
pembentukan kalus. Jika lokasi fraktur benar‒benar dilakukan
imobilisasi dengan menggunakan plate, tidak dapat memicu kalus.
Namun, pembentukan tulang baru dengan osteoblas timbul secara
langsung diantara fragmen. Gap antar permukaan fraktur diselubungi
oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh dimulai dari
pangkal dan tulang baru terdapat pada permukaan luar (gap healing).
Saat celah atau gap sangat kecil, osteogenesis memproduksi
tulang lamelar, gap yang lebar pertama‒ 12 tama akan diisi dengan
tulang anyaman, yang selanjutnya dilakukan remodeling untuk
menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu, fraktur sudah cukup
kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin kadang
ditemukan tanpa adanya fase pertengahan atau contact healing
(Solomon et al., 2010)
b. Fisiologi Otot
Otot adalah spesialis kontraksi tubuh. Terdapat tiga tipe otot adalah
otot rangka, otot jantung, dan otot polos. Otot rangka membentuk sistem
otot. Dalam satu sel otot terdiri dari berbagai komponen intrasel tertentu
yang dapat menghasilkan tegangan dan memendeknya otot atau biasa
disebut dengan kontraksi. Dan jika otot mengalami peregangan
kemudian otot memanjang setelah terjadinya pemendekan pada otot
disebut dengan relaksasi. Mekanisme kontraksi otot terjadi karena
asetilkolin yang dibebaskan oleh akson neuron motorik menyebrangi
celah dan berikatan dengan reseptor/saluran di motor end-plate.
Kemudian terbentuk potensial aksi sebagai respon terhadap pengikatan
asetilkolin dan potensial end-plate yang kemudian timbul disalurkan ke
seluruh membran permukaan dan turun ke tubulus T sel otot. Potensial
aksi di tubulus T memicu pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma.
Ion kalsium yang dibebaskan dari kantung lateral berikatan dengan
troponin di filamen aktin; menyebabkan tropomiosin secara fisik
bergeser untuk membuka penutup tempat pengikatan jembatan silang di
aktin. Jembatan silang miosin berikatan dengan aktin dan menekuk,
menarik filamen aktin ke bagian tengah sarkomer dan dijalankan oleh
energi yang dihasilkan dari ATP sehingga terjadilah proses kontraksi
pada otot.
Apabila Ca2+ secara aktif diserap oleh retikulum sarkoplasm maka
tidak ada lagi potensial aksi lokal sehingga Ca2+ tidak lagi terikat ke
troponin, tropomiosin bergeser kembali ke posisinya menutupi tempat
pengikatan di aktin, kontraksi berakhir dan aktin secara pasif bergeser
kembali ke posisi istirahatnya semula sehingga terjadilah proses
relaksasi pada otot (Sherwood, 2009).
3. Kinesiologi/ Biomekanik
a. Hip Joint
Pada sendi Hip, terdapat 3 pasang gerakan yang terjadi. Gerakan
tersebut adalah fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi, dan eksternal rotasi-
internal rotasi. Pada bidang sagital, gerakan fleksi terjadi hingga 20° dan
gerakan ekstensi terbatas sekitar 15°. Pada bidang frontal, terjadi
gerakan abduksi sekitar 45° dan gerakan adduksi biasanya dianggap
kembali pada posisi anatomi dengan tambahan luas gerak hingga 25°.
Pada bidang transversal, terjadi gerakan internal dan eksternal rotasi
dengan luas gerak hingga 45° dari posisi anatomi.

Gambar
Sumber :
1) Arthrokinematik dan Osteokinematik
a) Pelvic on femoral
Pergerakan pelvis terhadap caput femur.
Gambar
Sumber :

Gambar
Sumber :
b) Femoral on pelvic
Pergerakan rotasi caput femur terhadap acetabulum.
Gerak fleksi – ekstensi merupakan gerak rotasi spin
dalam bidang sagittal, gerakan abduksi – adduksi
merupakan gerakan pendular dalam bidang frontal
(caudal translasi), gerakan internal rotasi – eksternal
rotasi merupakan gerak rotasi putar pada bidang
transversal (dorsal/ventral translasi). Seluruh komponen
artrokinematik traksi arah lateral serong ventrocaudal.
MLPP (Maximum Loose Packed Position) dari hip joint
addalah fleksi-abduksi ± 40° dan sedikit eksternal rotasi.
CPP (Close Pack Position) dari hip joint adalah fleksi-
adduksi-internal rotasi full.
Gambar
Sumber :

b. Knee Joint
Sendi lutut merupakan sendi terbesar dalam tubuh dan
diklasifikasikan sebagai synovial hinge joint. Gerakan yang terjadi pada
knee joint hanya pada bidang sagital yaitu fleksi-ekstensi. Luas gerak
pada fleksi knee sekitar 120°-135° an pada gerakan ekstensi tidak terjadi
gerakan. Terbatas pada posisi anatomi atau 0°.
1) Arthrokinematik dan Osteokinematik

Gambar
Sumber : (Neumann, 2010)
c. Ankle Joint
Gerakan yang terjadi pada ankle joint adalah plantar flexi, dorsal
flexi, eversi dan inversi. Dalam keadaan normal besarnya Gerakan
dorsal fleksi adalah 20°, sedangkan plantar flexi adalah 50° dan
Gerakan eversi yaitu 20°, Gerakan inversi 40° (Russe, 1975).
Luas gerak sendi ankle untuk gerak plantar flexi sebesar 50 derajat
dan gerak dorsi flexi sebesar 20 derajat yang diukur pada posisi
anatomis. Sedangkan untuk gerak inversi sebesar 40 derajat dan eversi
sebesar 20 derajat. Bila penulisan disesuaikan dengan standar ISOM
maka untuk gerak dorsi flexi dan plantar flexi akan tertulis (S) 20-0-50
dan gerak inversi dan eversi tertulis (S) 20-0-40 (Russe, 1975).
1) Arthrokinematik dan Osteokinematik
a) Proksimal dan Distal Interphalangeal Joint
Head of (Caput) proximal phalang convex dan basis distal
phalangeal concave membentuk sendi hinge. Gerak flexion–
extension. MLPP = Flexion 10° dan CPP = Full Extension.
Gerak translation searah gerak angular, traction selalu kearah
distal searah axis longitudinal phalang.
b) Meta Tarso Phalangeal Joint
Distal metatarsal convex dan basis phalangeal concave
membentuk sendi ovoid-hinge. Gerak flexion–extension dan
abduction–adduction. MLPP = Extension 110 dan CPP = Full
Extension. Gerak translation searah gerak angular, traction
selalu kearah distal searah axis longitudinal phalang
c) Tarso Meta Tarsal Joint
Traksi gerak MT ke distal. Saat Pada plantar flexion terjadi
peningkatan arcus, MT I gerak roll slide ke plantar lateral, MT
III-IV-V roll slide ke ventromedial

d) Inter Tarsal Joint


Gerak translasion antar ossa tarsalia satu terhadap lainnya
e) Sub Talar Joint (Talo Calcaneal)
Traction calcaneus kearah distal terhadap os talus. Gerakan
yang terjadi abduction (valgus) dan adduction (varus) keduanya
hard end feel.

Gambar
Sumber :
f) Talo Crural Joint
Traction terhadap talus selalu kearah distal. Translation untuk
gerak dorsal flexion kearah posterior dan untuk plentar flexion
kearah anterior. Gerakan plantar fleksi dengan ROM : 40° – 500
hard end feel dan gerakan dorsal fleksi dengan ROM : 20° –
300 elastic end feel.

g) Distal tibiofibular joint


Gerak angulasi dalam bidang frontal sebagi gerak frontal
sebagai gerak geser (slide) dalam bidang sagital dengan range
motion yang kecil.

C. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) telah menetapkan dekade (2000-2009)
menjadi dekade tulang dan persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah
karena kecelakaan lalulintas seperti kecelakaan motor dan mobil serta
kecelakaan pejalan kaki sewaktu menyebrang. Data dinas kesehatan Provinsi
Sumatra Barat (DINKES SUMBAR) tahun 2009 didapatkan sekitar 2700 orang
mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24%
mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami
gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian faraktur.
Fraktur dapat disebabkan oleh keadaan patologis selain dari faktor
traumatik. Fraktur pada tulang lemah yang disebabkan oleh trauma minimal
disebut dengan fraktur patologis. Penyebab tersering fraktur patologis pada
femur proksimal adalah osteoporosis.
Jenis fraktur femur mempunyai insiden yang tinggi diantara fraktur tulang
lain dan fraktur femur paling sering terjadi pada batang femur 1/3 tengah.
Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan
atau kecelakaan.

D. Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (Mansjoer, 2000) :
1. Cedera traumatic
a. Cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang
patah secara spontan.
b. Cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari
benturan, misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan
fraktur klavikula, Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot
yang kuat.
2. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada
keadaan :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas)
b. Infeksi seperti osteomyelitis
c. Rakhitis, suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh devisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.
3. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas di kemiliteran. Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma namun dapat juga disebabkan oleh kondisi lain
menurut Appley dan Salomon (1995: 238) fraktur dapat terjadi karena :
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan
yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran
atau penarikan.
i. Terkena kekuatan langsung
Tulang dapat patah dan dapat mengenai jaringan lunak. Karena
pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.
ii. Terkena kekuatan tak langsung
Tulang mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang
terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur
mungkin tidak ada.
b. Fraktur kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan
pada tibia dan fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari dan
calon tentara yang jalan berbaris dengan jarak jauh.
c. Fraktur patalogik
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang berkurang atau rapuh
oleh karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara
lain adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.

E. Patofisiologi
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidakseimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak sedangkan fraktur
terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot, tendon, ligamen
dan pembuluh darah. ( Smeltzer, Suzanne C. 2001 ).
Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena fragmen
tulang keluar menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta peradangan yang
dapat memungkinkan infeksi, keluarnya darah dapat mempercepat
perkembangan bakteri. Tertariknya segmen karena kejang otot pada area
fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika tulang dikarnakan
oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya. Multiple fraktur
dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah jaringan
disekitarnya akan terpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan keotot dan sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf 7 dan kerusakan
pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang. (Smeltzer, Suzanne C.
2001).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya. (Chirudin Rasjad, 2000).
F. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala dari multiple fraktur antara lain sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus sampai tulang diimobilisasi
2. Setelah terjadi fraktur, bagian – bagian yang tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah ( gerakan luar biasa ) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau
tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas
yang dapat diketahui dengan membandingkan ekstremitas yang normal,
ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antra fragmen satu dengan
yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal, pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera. (Smeltzer, Suzanne C.
2001)

G. Prognosis
Prognosis Menurut Laer tahun 2000 menyatakan bahwa dalam kasus
fraktur terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosa pertumbuhan
tulang antara lain yaitu usia pasien dan tempat fraktur. Prognosa pada pasien
post operasi multiple fraktur femur bilateral dan fraktur cruris sisi kiri dengan
pemasangan fiksasi internal dapat dikatakan baik apabila pasien secepatnya
dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan tindakan medis setelah terjadinya
trauma. Serta usia pasien juga sangat mempengaruhi dalam prognosa pasien.
Menurut Appley.A.Gaham prognosis pada pasien fraktur meliputi Qua ad vitam
yaitu dapat dikatakan baik apabila pasien dilakukan tindakan operasi dengan
pemasangan internal fiksasi (ORIF), yang kedua Qua ad sanam yaitu dikatakan
baik apabila pasien telah direposisi dan difiksasi dengan baik maka fragmen
yang fraktur akan stabil sehingga mempercepat proses penyambungan tulang,
yang ketiga Qua ad fungsionam yaitu berkaitan dengan proses penyambungan
tulang, yang terakhir Qua ad cosmeticam yaitu dikatakan baik apabila fragmen
yang telah direposisi dan difiksasi menyambung dengan baik, sehingga tidak
terjadi deformitas.
Pada penderita multiple fraktur femur bilateral dan fraktur cruris sisi kiri
belum boleh menumpu sampai 6-8 minggu, jadi untuk sementara pasien hanya
boleh melakukan aktivitasnya dengan kursi roda (Hoyt, Pavey, Pasquina, &
Potter, 2015). Tingkat perubahan fungsi pasien untuk mencapai tujuan
tergantung pada tingkat fungsional sebelumnya, komorbiditas dan komplikasi
pasca operasi (Brigham and Women’s Hospital 2010).

H. Teknologi Fisioterapi
Penanganan pasien yang mengalami fraktur terdapat beberapa cara yang
digunakan tergantung dari bagaimana bentuk fraktur yang terjadi. Penanganan
yang dilakukan yaitu dengan cara fiksasi interna dan fiksasi eksterna. Fiksasi
interna yakni dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan (plate) atau
batang logam pada pecahan-pecahan tulang atau sering disebut open reduction
with internal fixation (ORIF) dan fiksasi eksterna yang digunakan untuk
menstabilkan fraktur dengan menggunakan pin yang dihubungkan dengan bars
atau frame yang dapat dilihat diluar tubuh atau sering disebut open reduction
with external fixation (OREF) (Munawaroh, 2014).
Modalitas yang digunakan fisioterapi dalam menang atasi permasalahan
akibat dari tindakan operasi diantaranya adalah terapi latihan. Terapi latihan
berarti suatu upaya untuk memepercepat penyembuhan pada pasien dari cedera
dan penyakit yang telah merubah cara hidup normal pasien. Tujuan dari terapi
latihan adalah (1) untuk meningkatkan aktifitas kapan saja dan kemana saja
yang dimungkinkan untuk memperkecil pengaruh dari inaktivitas, (2) untuk
memperbaiki suatu otot atau group otot yang tidak efisien dan memperoleh
jarak gerak sendi yang normal tanpa memperlambat untuk memperoleh gerakan
yang fungsional dan efisien, (3) untuk mendorong pasien agar menggunakan
kemampuan yang telah dia punya untuk melakukan aktifitas fungsional yang
normal dan juga mempercepat pemulihannya.
Adapun tehnik-tehnik terapi latihan dapat di klasifikasikan menjadi 2
gerakan yaitu: (1) gerakan aktif, yang terdiri dari gerakan voluntary (assisted
active movement, free active movement, assisted-resisted active movement, dan
resisted active movement) dan gerakan involuntary reflex, (2) gerakan pasif,
yang terdiri dari relax passive movement, force pasive movement, dan
manipulative passive movement (Gardiner, 1964). Semua gerakan baik aktif
maupun pasif diawali dan diakhiri pada suatu sikap tubuh. Sikap tubuh
dikatakan baik bila dengan usaha yang minimal dapat dicapai hasil yang baik
secara maksimal.
Pada kasus ini, terdapat penanganan fiksasi interna pasca fraktur femur
bilateral (femur distal sisi dextra dan femur proximal sisi sinistra) dan fiksasi
eksterna pasca fraktur cruris sisi sinistra. Bentuk terapi latihan yang dapat
diberikan sesuai dengan problematiknya adalah berupa :
1. Diaphargm Breathing Exercise
Latihan relaksasi pernapasan diafragma (DBT) telah terbukti efektif
mengurangi persepsi dan gejala kecemasan. Pernapasan diafragma (DB)
adalah teknik pernapasan yang menggunakan kontraksi otot diafragma untuk
menggerakkan udara ke bawah ke dalam tubuh, meningkatkan panjang
diafragma dan efisiensi pernapasan serta memfasilitasi pernafasan yang
lebih efisien (Chen, Huang, Chien, & Cheng, 2017).
2. Ankle Pumping Exercise
Latihan ankle pumping menggunakan fungsi pompa otot betis untuk
memompa darah ke jantung melalui kontraksi otot. Latihan memompa
pergelangan kaki sering digunakan untuk menghilangkan edema dan
pencegahan deep vein thrombosis (DVT), atau karena tirah baring lama di
tempat tidur yang lama (Toya et al., 2016).
3. Resisted Active Exercise
Resistance exercise (RE) diketahui memiliki peran dan manfaat yang
besar untuk pemeliharaan massa tulang dan otot (Hong & Kim, 2018).
Resisted active exercise merupakan bagian dari active exercise di mana
terjadi kontraksi otot secara statik maupun dinamik dengan diberikan
tahanan dari luar, dengan tujuan meningkatkan kekuatan otot dan
meningkatkan daya tahan otot. Tahanan dari luar bisa manual atau mekanik.
Sedangkan, static contraction adalah kontraksi otot dengan mengangkat atau
mendorong beban yang tidak bergerak dengan tanpa gerakan anggota tubuh,
dan panjang otot tidak berubah. Lamanya perlakuan kira-kira 5-10 detik
dengan pengulangan 3 kali (Yudiana et al. 2007).
Tahanan manual adalah tahanan yang kekuatannya berasal dari terapis
dengan besarnya tahanan disesuaikan dengan kemampuan pasien dan
besarnya beban tahanan yang diberikan tidak dapat diukur secara kuantitatif,
sedangkan tahanan mekanik adalah tahanan dengan besar beban
menggunakan peralatan mekanik, dimana jumlah besarnya tahanan dapat
diukur secara kuantitatif.
Pemberian tahanan mekanik dapat menggunakan dumbbel, dimana
penentuan besarnya tahanan beban dan pengulangan ditentukan dengan
menggunakan tes submaksimal. Tes submaksimal yaitu tes untuk
memperkirakan kekuatan maksimal, dengan menggunakan Diagram Holten.
Diagram Holten menggambarkan hubungan antara jumlah pengulangan
dan persentase kemampuan pasien yang digunakan untuk menghitung 1 RM
(Repetition Maximum). 1 RM adalah beban maksimal yang mampu diangkat
satu kali dalam tes submaksimal. Dengan rumus sebagai berikut :
1 RM = A Kg X 100%
B%
Keterangan :
A Kg = perkiraan berat beban awal yang diberikan.
B % = jumlah pengulangan dalam %.

Gambar
Sumber : https://www.fpta.org/page/ExerciseDosingPT

Penentuan jenis dan dosis latihan berdasarkan Diagram Holten


tergantung dari tujuan yang ingin dicapai seperti dapat dilihat dalam tabel
2.1 , berikut ini :
Tabel 2.1. Jenis Metode Latihan
Metode Intensitas Repetisi Seri Istiraha Tujuan
Dari 1 (kali) t (detik)
RM
Meningkatkan
Endurance 30 – 65 % > 22 1–3 0 – 30 kekuatan aerobik
lokal
Melatih kecepatan
Velocity 70 – 80 % 11 – 22 3–4 90 – 150
massa otot
Memperbaiki
Mobilisasi 10 – 30 % 5 – 15 1- 4 60
mobilitas lokal
Mempelajari
Koordinasi 10 – 35 % 10 – 20 2–6 30 – 60
kembali pergerakan
Meningkatkan mas
Hipertrofi 75 – 85 % 6 – 12 3–5 2–5
sa otot
Kekuatan Meningkatkan
90-100 % 1–4 3–6 3–6
absolut kekuatan absolut

4. Forced Passive Movement Exercise


Forced Passive Movement adalah gerakan yang terjadi oleh karena kekuatan
dari luar tanpa diikuti kerja otot tubuh itu sendiri tetapi pada akhirnya
gerakan diberikan penekanan. Semua gerakan dilakukan sampai batas nyeri
atau toleransi pasien. Gerakan ini bertujuan: (1) mencegah pembentukan
perlengketan jaringan lunak, (2) menjaga elastisitas jaringan, (3) mencegah
kontraktur, (4) mengurangi nyeri (Kisner, 1996). Perlu diperhatikan
ketentuan melakukan passive movement sebelum melakukan latihan yaitu :
a) Bagian yang tidak digerakan harus di support dengan baik. (Kay,
Haensel, & Stiller, 2000)
b) Bagian yang akan digerakan harus di pegang dengan benar (comfort).
c) Gerakan yang terjadi dapat dari distal ke proksimal atau sebaliknya.
d) Pegangan harus dekat dengan sendi untuk memberikan gerakan yang
memungkinkan.
e) Gerakan yang terjadi pada sendi memungkinkan memberikan slight
traksi dan tekanan harus mempunyai pengaruh dorongan pada jarak
ekstremitas.
f) Gerakan harus halus dan teratur, pengulangan gerakan diberikan dengan
selang waktu (tempo).
g) Pengubahan pegangan harus dilakkukan dengan halus dan posisi
pengaturan tangan atau pegangan seminimal mungkin yang diperlukan.
I. Penatalaksanaan Fisioterapi
Berdasarkan PERMENKES 65 tahun 2015 pasal 1 fisioterapi ialah
bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau
kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan
fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan
secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan
mekanis) pelatihan fungsi, dan komunikasi. Proses pelayanan fisioterapi
meliputi:

1. Assesmen
Asesmen merupakan suatu proses kegiatan berupa mencari untuk
memperoleh data yang akan digunakan untuk mengidentifikasi suatu
permasalahan yang ada. Data tersebut bisa bersifat pribadi atau biodata, dan
data dari hasil pemeriksaan. Data-data tersebut juga dapat digunakan untuk
menentukan rencana dan program fisioterapi yang sesuai dengan kondisi dan
keadaan pasien. Asesmen memiliki beberapa bagian :

a. Anamnesis
1) Keluhan Utama
Merupakan keluhan atau kondisi yang paling dirasakan atau yang
paling berat sehingga mendorong pasien atau keluarga pasien untuk
datang berobat atau mencari pertolongan medis dengan harapan
keluhan tersebut dapat tertolong. Keluhan utama akan memberikan
acuan kepada terapis apa yang diinginkan oleh pasien sehingga ini
akan menjadi goal dari intervensi yang dilakukan terapis.

2) Keluhan Penyerta
Keluhan yang menyertai keluhan utama yang dirasakan pasien di
area tubuh lain.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan rincian dari keluhan utama
yang berisi tentang riwayat perjalanan pasien selama mengalami
keluhan secara lengkap.

4) Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit fisik
maupun psikologik yang pernah diderita pasien sebelumnya.

b. Pemeriksaan Umum
1) Kesadaran

Proses dimana seseorang memahami dan mengerti akan suatu


keadaan yang menjadikan individu itu sendiri sadar dan paham
betul apa yang akan terjadi.

2) Tekanan darah

Tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri darah ketika


darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia.

3) Denyut nadi

Denyutan arteri dari gelombang darah yang mengalir melalui


pembuluh darah sebagai akibat dari denyutan jantung.

4) Pernafasan

Peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 ke


dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.

5) Kooperatif
Suatu sistem yang di dasarkan pada alasan bahwa manusia sebagai
makhluk individu yang berbeda satu sama lain sehingga
konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk
sosial,makhluk yang berinteraksi dengan sesama.

c. Pemeriksaan Fisioterapi, yang terdiri dari:


1) Inspeksi
Inspeksi yaitu melihat dan mengevaluasi pasien secara visual dan
merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji/menilai
pasien. Ispeksi ini bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik dan
keadaan umum pasien.

a) Statis
Mengamati keadaan fisik pasien pada saat diam.

b.) Dinamis
Mengamati keadaan fisik pasien pada saat bergerak.

2) Tes Cepat
Tes cepat adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
secara cepat kasus yang dialami oleh pasien, sehingga dapat
menentukan pemeriksaan selanjutnya yang berhubungan dengan
pasien.

3) Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)

Pemeriksaan fungsi gerak yang meliputi gerak aktif, pasif, dan


isometrik.

a) PFGD Aktif
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan secara mandiri oleh
pasien tanpa bantuan dari orang lain atau terapis. Hasil yang
didapat dari pemeriksaan fungsi gerak dasar aktif adalah nyeri
dan keterbatasan gerak.
b) PFGD Pasif
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan terapis sementara
pasien dalam keadaan pasif atau rileks. Hasil yang didapat dari
pemeriksaan fungsi gerak dasar pasif adalah nyeri, keterbatasan
gerak dan end feel.
c) PFGD Isometrik
Pemeriksaan fungsi gerak yang dilakukan oleh pasien sementara
terapis memberikan tahanan dan dilakukan untuk setiap bidang
gerak. Hasil yang didapat dari pemeriksaan fungsi gerak dasar
isometric adalah nyeri dan keterbatasan gerak.
4) Tes Khusus
a) Palpasi
Pemeriksaan dengan cara menyentuh atau merasakan dengan
tangan untuk mengetahui adanya nyeri tekan, spasme otot,
suhu lokal, tonus otot, dan oedem.
b) Nyeri

Pemeriksaan nyeri dapat dilakukan dengan VAS. VAS adalah


alat ukur nyeri yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri
dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap
ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi
tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri
hebat)).

c) Ekspansi Thorak
Kemampuan sangkar thorax untuk mengembang dan
mengempis saat melakukan inspirasi maupun ekspirasi. Saat
terjadi inspirasi volume thoraks bertambah dan rongga dada
membesar saat ekspirasi volume thoraks uberkurang dan rongga
dada menyempit. Pengukuran ekspansi thoraks dilakukan secara
kuantitatif menggunakan midline dengan satuan cm, yaitu dibagi
menjadi 3 bagian axilla, intercostal space ke-5 dan xypoideus
(Humami, 2011).

d) HADS (Hospital Anxiety and Depression Scale Anxiety)


e) Pengukuran LGS

Lingkup gerak sendi adalah kemampuan gerak persendian tubuh


untuk dapat melakukan kegiatan sehari-hari. Gerak sendi
merupakan suatu mekanisme hubungan tulang yang digerakkan
oleh otot ataupun gaya eksternal lain dalam lingkup geraknya.
Pengukuran LGS dapat dilakukan dengan menggunakan
goniometer.

5) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk


membantu atau melengkapi data untuk diagnosis pasien.

2. Penegakan Diagnosis

Diagnosis fisioterapi dituliskan berdasarkan International Classification of


Functioning, Disability and Health (ICF) atau berkaitan dengan masalah
kesehatan sebagaimana tertuang pada International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD-10).
Diagnosis fisioterapi terdiri atas:

a. Body Function and Structure Impairment


Body function and structure impairment adalah bagian diagnosa
untuk menggambarkan struktur dan fungsi anatomi yang terganggu,
seperti adanya spasme pada otot hamstring, adanya subluksasi dari
sendi bahu, dan lainnya.
b. Activity Limitation
Activity limitation adalah keterbatasan aktivitas yang dialami oleh
individu yang diakibatkan dari kerusakan/gangguan yang terjadi pada
struktur anatomi yang terkait.
c. Participation Restriction
Participation restriction adalah keterbatasan yang dialami individu
disertai hubungannya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik
maupun non-fisik.
3. Perencanaan intervensi
Fisioterapis melakukan perencanaan intervensi fisioterapi berdasarkan
hasil assesmen dan diagnosis fisioterapi, prognosis dan indikasi-kontra
indikasi, setidaknya mengandung tujuan jangka pendek dan jangka
panjang.
a. Tujuan jangka pendek

Tujuan jangka pendek digunakan mengarahkan tindakan terapi yang


segera dan dibuat berdasarkan prioritas masalah yang utama dengan
memerhatikan waktu pencapaian, kondisi pasien, dan lingkungan.

b. Tujuan jangka Panjang


Tujuan jangka panjang digunakan untuk mengarahkan tindakan terapi
namun bukan yang segera. Tujuan jangka panjang menggambarkan
pencapaian maksimal dari pasien dengan memerhatikan harapan pasien
serta target yang memungkinkan berdasarkan hasil pemeriksaan.
4. Intervensi
a. Preoperasi
1) Breathing exercise
2) Ankle pumping merupakan salah satu latihan dalam terapi latihan
yang berupa gerakan fisik secara aktif atau mandiri.
3) Latihan isometrik

Suatu latihan untuk melatih kekuatan otot tanpa mengubah


panjang, sehingga tidak terjadi gerak sendi, tetapi hanya terjadi
peningkatan tonus otot.

b. Post-operasi
i. Setting Muscle Exercise
ii. Active Stability Resisted Exercise

5. Evaluasi/Re-Evaluasi
Dilakukan oleh fisioterapis sesuai tujuan perencanaan intervensi, dapat
berupa kesimpulan, termasuk dan tidak terbatas pada rencana penghentian
program atau merujuk pada dokter/profesional lain terkait. Kewenangan
melakukan evaluasi/re-evaluasi diberikan berdasarkan hasil kredensial
fisioterapi yang ditetapkan oleh pimpinan fisioterapis.

6. Komunikasi dan Edukasi


Penyelenggaraan pelayanan fisioterapi di fasilitas pelayanan kesehatan,
didukung media komunikasi dan edukasi agar proses pelayanan
berlangsung sesuai dengan tujuan, termasuk media edukasi berupa
leaflet/brosur yang diperlukan.

7. Dokumentasi

Seluruh proses fisioterapi didokumentasikan pada lembar rekam


medik pasien/klien baik pada lembar rekam medik terintegrasi dan/atau
pada lembar kajian khusus fisioterapis, serta dapat diakses oleh profesional
kesehatan lain terkait.

c. Kerangka Fikir Kasus

Mutiple Fraktur Femur Cruris Problematika Fisioterapi


1. Nyeri pada kedua tungkai
2. Penurunan LGS (Lingkup Gerak
Pre-Operasi Sendi) lower limb
3. Kelemahan otot kedua tungkai
4. Gangguan ekspansi thorax
Post -Operasi

Problematika Fisioterapi
1. Nyeri pada kedua tungkai Tujuan
2. Penurunan LGS pada kedua tungkai 1. Mengurangi nyeri
3. Adanya oedem pada area foot sinistra 2. Melancarkan aliran
4. Penurunan kekuatan otot pada kedua tungkai peredaran darah
bawah 3. Memaksimalkan kekuatan
5. Gangguan ekspansi thorax otot
4. Mempertahankan kapasitas
fungsional pernapasan

Tujuan :
Hasil
1. Mengurangi nyeri Intervensi Fisioterapi
2. Melancarkan aliran peredaran darah 1. Nyeri berkurang
3. Memaksimalkan kekuatan otot 1. Diafragma Breathing 2. Kapasitas
4. Mempertahankan kapasitas fungsional 2. Ankle pumping fungsional paru
pernapasan 3. Isometric exercise terjaga
5. Menambah lingkup gerak sendi lower 4. Latihan endurance 3. Daya tahan otot
extremity upper extremity tangan lebih
meningkat

Hasil :
Intervensi Fisioterapi
1. Nyeri berkurang
1. Diafragma Breathing 2. LGS pada ankle dan knee
2. Ankle pumping bertambah
3. Isometric exercise 3. Kapasitas fungsional paru
4. Latihan endurance terjaga

Anda mungkin juga menyukai